• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KONSEP ASBAB AL NUZUL DALAM HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAYD.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN KONSEP ASBAB AL NUZUL DALAM HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAYD."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KONSEP

ASBA<

B AL-NUZU<

L

DALAM

HERMENEUTIKA

NAS}

R H}

A<

MID ABU<

ZAYD

   

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

SITI NUR HIDAYAH NIM: E83212124

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

JURUSAN ALQURAN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNANAMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

   

ABSTRAK

Siti Nur Hidayah, E83212124, Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Peran Konsep Asba>b al-Nuzu>l Dalam Hermeneutika Nas}r H}a>mid Abu> Zayd.

Penelitian ini dikarenakan sebagian muslim menganggap hermeneutika tidak cocok jika disandingkan dengan al-Qur’an. Akan tetapi bagi penulis, hermeneutika jelas diperlukan dalam rangka memahami dan memproduksi makna sehingga teks menjadi hidup dalam konteks apapun. Selain itu hal yang menarik di kaji dalam karya ilmiah ini, sebagian ulama Mesir menganggap Nas{r H{a>mid Abu> Zayd adalah tokoh kontroversial.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis untuk menganalisis kerangka berpikir Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dalam membangun hermeneutikanya dan langkah-langkah metodis yang digunakan Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dalam menafsirkan al-Qur’an dengan jenis penelitian library research dengan menggunakan teori asba>b al-Nuzu>l dengan pendekatan hermeneutika.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dan pengaplikasiannya dan mengetahui peran konsep asba>b al-Nuzu>l dalam hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd untuk menghidupkan makna al-Qur’an supaya relevan dengan kondisi saat ini.

Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua hermeneutika ditolak. Hal ini terbukti dengan hadirnya pemikiran hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd masih tidak terlepas dari peran konsep asba>b al-Nuzu>l. Jika

asba>b al-Nuzu>l merupakan metode yang akurat dalam menafsirkan al-Qur’an

berarti hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd adalah langkah solutif menghadapi problematika saat ini.

Kata kunci: Author, reader, teks, konteks.  

(7)

   

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... viii

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...١ B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Rumusan Masalah ... 5

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. KegunaanPenelitian ... 6

F. Penegasan Judul ... 7

G. Kajian Pustaka ... 7

H. Metodologi Penelitian ... 8

(8)

   

BAB II: TAWARAN TEORI INTERPRETASI: ASBA<B AL-NUZU<L DAN

HERMENEUTIKA

A. Asba>b al-Nuzu>l Perspektif Para Ulama ... 12

B. Dala>lah: Antara Ungkapan Umum dan Sebab Khusu ... 15

C. Pengertian Dan Historisitas Nas}r H}a>mid Abu> zayd ... 21

D. Macam-macam Hermeneutika ... 31

E. Pro-Kontra Hermeneutika Sebagai Metode Interpretasi ... 35

BAB III : SKETSA BIOGRAFI NAS}R H}A<MID ABU< ZAYD A. Latar Belakang Sosial dan Perjalanan Intelektual Nas}r H}a>mid Abu> Zayd... 38

B. Karya-karya Nas}r H}a>mid Abu> Zayd ... 44

C. Konsep Teks al-Qur’an Perspektif Nas}r H}a>mid Abu> Zayd ... 46

BAB IV : TELAAH ASBA<B AL-NUZU<L DALAM STRUKTUR HEREMNEUTIKA NAS}R H}A<MID ABU< ZAYD A. Asba>b al-Nuzu>l Perspektif Nas}r H}a>mid Abu> zayd ... 62

B. Hermeneutika Nas}r H}a>mid Abu> zayd: Teori Makna dan Signifikansi ... 64

C. Aplikasi Hermeneutika Nas}r H}a>mid Abu> zayd ... 69

BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA

(9)

   

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Kesadaran akan historisitas dan kontekstualitas pemahaman manusia akan selalu berdampingan dengan ranah al-Qur’an dan pemaknaannya. Al-Qur’an adalah kitab sakral yang berbahasa Arab yang diturunkan kepada Muhammad1

sebagai petunjuk bagi manusia.2 Sebagai dokumen untuk manusia maka sudah

seyogyanya al-Qur’an selalu dapat memberikan bimbingan dalam kehidupan manusia. Inilah sebabnya al-Qur’an merupakan sumber makna dan nilai bagi kehidupan manusia.3

Al-Qur’an turun menggunakan bahasa Arab yang mana terminologi tersebut sudah akrab di kalangan masyarakat Arab yang akhirnya dewasa ini muncullah pemerhati al-Qur’an dengan berbagai kajian yang membahas tentang status original al-Qur’an. Sejauh manakah al-Qur’an itu berdimensi ilahiyah dan sejauh mana ia berdimensi manusiawi.4

      

1Dia diangkat menjadi Nabi pada usia 40 tahun dengan ditandainya turunnya wahyu pertama Iqra’ bismi Rabbik. Muhammad lahir dalam lingkungan kabilah terkemuka di

Kota Mekah, yaitu Kabilah Quraish dalam tahun 571 M. Ia digelari Muhammad atau yang terpuji . Suatu nama yang sejak itu dipakai oleh anak laki-laki di atas muka Bumi ini, dalam Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet VIII (Bandung: Mizan, 1998), 46. 

2Al-Qur’a>n, 2: 185. 

3Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Cet IV (Bandung: Mizan, 1994), 34. 

(10)

2   

Berangkat dari sini muslim kontemporer merumuskan perlunya metode penafsiran al-Qur’an berupa hermeneutika5 yang mencoba menemukan makna di

balik teks dan menemukan instruksi yang terkandung dalam simbol dengan melibatkan tiga entitas, yaitu Author, text dan reader. Structure triadic inilah yang saling berhubungan secara dialektis untuk pembentukan makna.6

Sebenarnya Term khusus yang digunakan dalam wacana keilmuan untuk menginterpretasikan teks al-Qur’an di kalangan umat Islam adalah tafsir. Sedangkan term hermeneutika dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir al-Qur’an klasik tidak ditemukan. Meskipun demikian menurut Farid Essack dalam bukunya Qur’an: Pluralism and Liberation, praktek hermeneutik sebenarnya telah dilakukan oleh umat Islam sejak lama, khususnya ketika menghadapi al-Qur’an.7 Istilah hermeneutika diintroduksi secara definitif oleh pemerhati

al-Qur’an yaitu; Hassan Hanafi,8 Fazlur Rahman,9 Arkoun,10 Amina Wadud Muhsin,

Ashgar Ali Engineer, Farid Essack11 dan Nas{r H{a>mid Abu> Zayd.12       

5Akar kata hermeneutika berasala dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuein yang berarti menafsirkan dan kata benda hemeneia yang berarti interpretasi. Lihat Richard E.

Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenali Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offest, 2005), 15. 

6Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut

Hassan Hanafi (Bandung: Teraju, 2002), 33. 

7Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, 13. 

8Dia adalah seorang pemikir hukum Islam dan professor terkemuka di Mesir. Lahir di Kairo, Mesir pada 13 Februari 1935. Lihat, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), 69. 

9Dia terkenal dengan metode Hermeneutik Double Movement. Baca, Abdul Mustaqim,

Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Lkis, 2012), 173. 

10Arkoun menawarkan metode baru bagaimana mengkaji Al-Qur’an secara lebih kritis. Menurutnya al-Qur’an merupakan teks yang selalu terbuka (korpus terbuka) untuk ditafsirkan sehingga jangan sampai ada Taqdis al-Afka>r al-Diniyyah. 

11Dia menawarkan hermeneutika pembebasan al-Qur’an dengan megambil lokus masyarakat Afrika Utara, dan terakhir adalah kajian al-Qur’an dengan pendekatan historis yang dilakukan John Wansbrough sebagai Outsider

(11)

3   

Sebagai sebuah tawaran metodologi baru dalam pengkajian ilmu al-Qur’an, hermeneutika menunjukkan daya tarik yang luar biasa. Hasan Hanafi dalam tulisannya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa hermeneutik itu tidak sekadar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu mulai dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Ilmu tentang proses wahyu dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis dan juga transformasi wahyu dari pikiran Tuhan kepada kehidupan manusia.13

Terlepas dari ini semua, hermeneutika jelas sangat diperlukan dalam rangka memahami dan memproduksi makna sehingga teks menjadi hidup dalam konteks apapun. Tanpa adanya kesadaran mengenai pentingnya pendekatan hermeneutika maka seseorang akan kehilangan peluang untuk menemukan berbagai dimensi makna dalam al-Qur’an yang sesungguhnya sangat luas.

Dalam konteks ini Arkoun pernah menyitir sebuah pernyataan dari Abu Darda’ yang berbunyi, La> yafqahu al-Raju>l kull al-Fiqh Hatta Yara > li al-Qur’a>n Wuju>han Katsi>ra (Seseorang tidak dikatakan paham benar tentang al-Qur’an hingga ia dapat

melihat berbagai dimensi makna yang ada di dalamnya). Selain itu, orang yang anti hermeneutika juga akan kehilangan daya kritisnya dalam menyikapi hasil penafsiran orang lain, yang notabene sangat terkait dengan dimensi ruang dan waktu dan bahkan juga kepentingan tertentu.14

Menarik untuk dikaji bahwa ternyata banyak mufasir bahkan sejak zaman para pembaharu15 mereka merupakan representasi dari model hermeneutika

filososfis murni ala gadamerian. Hal ini terbukti bahwa apa yang dilakukan Nas{r

memiliki kesamaan dengan Gadammer juga, yaitu dalam interpretasi harus       

13Hasan Hanafi, Dialog Agama dan revolusi, ter. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 1. 

14Mustaqim, Epistemologi Tafsir, 175. 

15Sebut saja Muhammad Abduh dengan tafsir al-Manar-nya yang bercorak Adab

(12)

4   

memberikan potensi teks dan penafsir secara balance serta berusaha menghindarkan diri dari aspek pre understanding (al-Qira>ah al-Mughrid}ah) dalam

diri penafsir.16

Bagi Nas{r teks al-Qur’an diturunkan kepada Muh{ammad bukan pada

masyarakat yang kosong budaya, tetapi teks tersebut terbentuk di dalam realitas dan budaya. Adanya asba>b al-nuzu>l paling tidak mengindikasikan bahwa teks

al-Qur’an merespon budaya pada waktu itu.17Nas{r dalam studinya terhadap hakikat

teks al-Qur’an memaparkan sebagai berikut:

Telaah terhadap konteks teks pada hakikatnya bukanlah terhadap teks itu sendiri, melainkan tentang hakikat al-Qur’an dan karakteristiknya sebagai teks kebahasaan. Yaitu telaah terhadap al-Qur’an dalam posisinya sebagai kitab berbahasa Arab yang agung, dan implikasi susastranya yang abadi. Adapun al-Qur’an adalah karya sastra berbahasa Arab yang suci, apakah sang peneliti itu melihatnya dalam perspektif agama maupun tidak.18

Al-Qur’an maupun pewahyuan al-Qur’an memiliki sejarah kontekstual. Hal ini menandakan adanya korelasi antara realitas (sebagai konteks) dengan teks.

Asba>b al-nuzu>l menjadi urgen dalam memaknai dan menginterpretasikan teks

al-Qur’an. Oleh karena itu Nas{r mengklasifikasikan level konteks, yaitu: konteks

sosio-kultural (al-Siya>q al-Thaqa>fi> al-ijtima>`i>), konteks eksternal (al-siya>q al-Kha>riji>atau al-siya>q al-takha>tub), konteks internal (al-siya>q al-da>khili>),konteks

bahasa (al-siya>q al-lughawi>), dan konteks pembacaan atau penakwilan (al-siya>q al-qira>’ahataual-siya>q al-ta’wi>l).19

      

16Ali Imron, “Hermeneutika al-Qur’an Nas{r H{a>mid Abu> Zayd”, dalam Hermeneutika

al-Qur’an dan Hadis, ed. Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: eLSAQ, 2010), 148. 

17Imron, Hermeneutika Al-Qur’an, 125. 

18Nas{r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas{s{: Dira>sa>t fi>`Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Markaz al-Saqafi al-A’rabi, 1994), 10. 

(13)

5   

Hermeneutika Nas{r ini sejatinya tidak terlepas dari ‘ulu>m al-Qur’a>n yaitu

Asba>b al-Nuzu>l. Orientasi ilmu al-Qur’an yang dalam penelitian ini dimaksudkan

adalah asba>b al-Nuzu>l dan hermeneutika sebenarnya sama yaitu mengungkap

makna yang diharapkan oleh teks. Berangkat dari teori Nas{r yang

mengklarifikasikan level konteks, yaitu al-siya>q al-Kha>riji>mengindikasikan

bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hermeneutika Nas{r tidak terlepas dari

peran ilmu al-Qur’an.

B.Identifikasi Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep asba>b al-Nuzu>l perspektif Nas{r H{a>mid Abu> Zayd?

2. Bagaimanakah hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dan pengaplikasiannya?

3. Bagaimanakah peran konsep asba>b al-Nuzu>l dalam hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd?

C.Rumusan Masalah

Dari kerangka identifikasi masalah di atas agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, maka perlu diformulasikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dan pengaplikasiannya?

(14)

6   

D.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian penulis adalah :

1. Mengetahui hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dan pengaplikasiannya

2. Mengetahui peran konsep asba>b al-Nuzu>l dalam hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd.

E.Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang asba>b al-Nuzu>l. Agar hasil penelitian ini jelas dan berguna untuk

perkembangan asba>b al-Nuzu>l, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian

ini.

Adapun kegunaan hasil dari penelitian ini ada dua yaitu: 1. Kegunaan secara teoretis

Hasil penelitian ini dapat berguna bagi pengembanganasba>b al-Nuzu>l

yang kemudian diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan asba>b

al-Nuzu>l khususnya mengenai peran konsep asba>b al-Nuzu>l dalam hermeneutika

Nas{r H{a>mid Abu> Zayd.

2. Kegunaan secara praktis

Implementasi penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam memberikan penjelasan mengenai peran konsep asba>b al-Nuzu>l dalam hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd lebih luas, sehingga membantu untuk

(15)

7   

F. Penegasan Judul

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pokok bahasan skripsi yang berjudul “Peran Konsep Asba>b al-Nuzu>l Dalam Hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd” ini, maka perlu diuraikan beberapa kata yang dianggap penting, di

antaranya yaitu:

Asba>b al-Nuzu>l : Sesuatu yang meyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat

yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab itu.20

Hermenutika : Suatu model penafsiran terhadap teks, di mana supaya teks selalu dapat dipahami dalam konteks kekinian yang situasinya berbeda.21

G. Kajian Pustaka

Kajian Pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui orisinalitas penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, setelah dilakukan telaah pustaka menemukan beberapa karya yang membahas masalah yang serupa dengan penelitian ini, diantaranya:

1. Manna>` Khali>l al-Qat{t{a>n, dalam bukunya yang berjudul Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, cetakan ke-14yang membahas beberapa poin yang dibahas secara umum, yaitu; pengertian asba>b al-Nuzu>l, Urgensi asba>b- al-Nuzu>l, I sumber dan cara mengetahui serta contoh asba>b-Al-nuzu>l.

      

20Subhi al-Shalih, Maba>>hi>ts fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Ter Firdaus, Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an , Cet XIX (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2004), 173. 

(16)

8   

2. Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis karya Kurdi dkk yang dicetak pada tahun 2010 di Yogyakarta oleh eLSAQ Press membahas biografi Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dan konsep teks menurut Nas}r H}a>mid Abu> Zayd.

H. Metode Penelitian

Dalam penelitian ilmiah diperlukan metode tertentu untuk menjelaskan objek penelitian. Ini dilakukan agar penelitian dapat berjalan secara tepat, terarah dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Secara terperinci metode dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Model dan jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang aspek peran konsep asba>b al-Nuzu>l dalam

hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dalam menafsirkan al-Qur’an.

2. Sumber data penelitian

Objek penelitian ini adalah untuk membahas peran konsep asba>b al-Nuzu>l

dalam hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd. Maka sumber data yang

diperlukan adalah:

a. Data primer, dianataranya adalah:

1) Nas{r H{a>mid Abu> Zayd, Tekstualitas Alquran; Kritik Terhadap Ulum Al-Quran, ter. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2013)

2) Nas{r H{a>mid Abu> Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan:

Kontroversi Penggugatan Hermeneutik al-Qur’an, ter. Dede Iswadi,

(17)

9   

3) Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis

(Yogyakarta: Elsaq Press, 2010)

4) Nas{r H{a>mid Abu> Zayd, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan aras Diskursus

Keagamaan, ter. Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin (Jakarta:

ICIP, 2004).

b. Data sekunder, diantaranya adalah:

1) M. Nur Kholis Setiawan, Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an (Jakarta: Kencana, 2008)

2) Hilman Latief, Nas{r H{a>mid Abu> Zayd: Kririk Teks Keagamaan (Yogyakarta: Elsaq Press, 2003)

3) Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, ter. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005)

4) Amin al-Khulli dan Nas{r H{a>mid Abu> Zayd, Metode Tafsir Sastra, ter. Khoiron Nahdliyin (Yogyakarta: Adab Press IAIN Sunan Kali Jaga, 2004)

5) Manna>` Khali>l al-Qat{t{a>n, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, ter. Mudzakir (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011)

6) Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an dan Hadis: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ, 2005)

(18)

10   

8) Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Lkis Group, 2012)

9) Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur’an (Yogyakarta: Lkis, 2003). 3. Teknik pengumpulan data

Data-data yang berhubugan dengan hermeneutika Nas{r H{a>mid Abu> Zayd ditelusuri dari tulisan Nas{r H{a>mid Abu> Zayd sendiri yang notabene

sebagai sumber primer. Sedangkan data yang berkaitan dengan analisis dilacak dari literatur dan hasil penelitian terkait. Sumber sekunder ini diperlukan terutama dalam mempertajam analisis persoalan.

4. Metode analisis data

Data yang terkumpul baik primer maupun sekunder diklasifikasikan dan dianalisis sesuai dengan sub-bab bahasan masing-masing. Setelah itu dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan content analysis. Dalam hal ini content analysis digunakan untuk menganalisis tujuan, kerangka berpikir Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dalam membangun hermeneutikanya dan langkah-langkah metodis

yang digunakan Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dalam menafsirkan al-Qur’an.

Metode analisis yang diterapkan, utamanya melalui penedekatan hermeneutika. Peran hermeneutik dalam menggarap episteme yang digunakan Nas{r H{a>mid Abu> Zayd dalam dalam kerangka metode tafsirnya,

menunjukkan hubungan triadic dalam proses kreatif penafsirannya.

(19)

11   

I. Sistematika Pembahasan

Penulisan ini akan disajikan dalam lima bab, dan dalam memberikan gambaran yang sistematis dalam penelitian ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, yang mepaparkan latar belakang masalah, identifiksi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan judul, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II mengenai lebih khusus teori iinterpretasi yang ditawarkan penulis yaitu Asbab>b al-Nuzu>l dan hermeneutika sebagai landasan teoretik untuk mempertajam penelitian ini. Hal ini meliputi epistem asba>b al-Nuzu>l dan epistem

hermeneutika dan menkaji pro kontra hermeneutika.

BAB III dalam bab ini menjelaskan tentang sketsa biografi Nas}r H}a>mid Abu> Zayd. Pertama menjelaskan latar belakang sosial dan perjalanan intelektual Nas}r

H}a>mid Abu> Zayd. Kedua mengkaji karya-karya yang pernah dihasilkan selama

hidupnya, baik berupa buku yang sudah diterbitkan maupun beberapa artikelnya.

Ketiga, berisi tentang konsep teks perspektif Nas}r H}a>mid Abu> Zayd.

BAB IV analisis tentang telaah asba>b al-Nuzul dalam hermeneutika Nas}r

H}a>mid Abu> Zayd. Diamati dengan peninjauan terhadap asba>b al-Nuzu>l perspektif

Nas}r H}a>mid Abu> Zayd kemudian dilanjut dengan hereneutika Nas}r H}a>mid Abu>

Zayd yang dilanjutkan dengan pengaplikasikan asbab>l al-Nuzu>l itu sendiri ke

dalam struktur hermeneutika Nas}r H}a>mid Abu> Zayd.

BAB V berisi kesimpulan dan saran.

(20)

BAB II

TAWARAN TEORI INTERPRETASI: ASBA<

B AL-NUZU<

L DAN

HERMENUETIKA

A. Asba>b Al-Nuzu>l Perspektif Para Ulama

Pengertian seseorang mengenai sesuatu biasanya akan jelas jika yang

bersangkutan mengetahui suasana, situasi, keadaan atau waktu yang mengitarinya.

Demikian pula dalam memahami al-Qur’an. Para ahli memandang bahwa

pemahaman seseorang tentang ayat akan menjadi terang jika yang bersangkutan

mengetahui asba>b al-Nuzu>l-nya. Yang dimaksud asba>b al-Nuzu>l ialah bukan

hanya sebab yang melatarbelakangi pewahyuanan al-Qur’an, melainkan dapat

pula pertanyaan dan peristiwa atau kejadian yang mengiringi pewahyuan tersebut.

Bagi mereka, meskipun tidak semua ayat memiliki asba>b al-Nuzu>l,

penelusurannya harus dilakukan.1

Ilmu asba>b al-Nuzu>l termasuk di antara ilmu-ilmu penting. Ilmu ini

menunjukkan dan menyingkap hubungan dan dialektika antara teks dengan

realitas. Secara etimologis kata asba>b al-Nuzu>l terdiri dari dua kata yaitu asba>b

dan nuzu>l.2 Kata”asba>b” (bentuk plural dari kata “sabab”) yang mempunyai arti

latar belakang, alasan atau sebab atau ’illa>t3 sedang kata “al-Nuzu>l” berasal dari

      

1Pewahyuan al-Qur’an “Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran Peradaban” Vol. 4,

ed. Taufik Abdullah dan Ahmad Sukardja Dkk (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), 29. 

2Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an, Cet. III (Bandung: Daftar Pustaka, 20060, 60. 

3Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Cet. XIV (Surabaya:

(21)

13   

kata Nazala yang berarti turun.4 Penurunan di sini berkaitan dengan penurunan

wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw berupa ayat-ayat yang terkumpul

dalam al-Qur’an.

Sedangkan secara terminologis banyak rumusan asba>b al-Nuzu>l yang

telah diformulasikan oleh para ulama al-Qur’an, di antaranya adalah sebagai

berikut:

1. A, M. Hasbi Ash-Shiddiqy5 mengartikan asba>b al-Nuzu>l sebagai kejadian

yang karenanya diturunkan untuk menerangkan hukumnya di hari terjadinya

kejadian-kejadian itu dan suasana yang di dalamnya al-Qur’an diturunkan.6

2. Menurut al-Zarqani, asba>b al-Nuzu>l kasus atau sesuatu yang terjadi serta ada

korelasinya dengan turunnya ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum saat

peristiwa itu terjadi.7

3. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Subhi al-Shalih bahwa asba>b

al-Nuzu>l adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat

yang memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada

masa terjadinya sebab itu.8

      

4Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan ‘Ulum al-Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Yasa,

1998), 30. 

5Dia adalah seorang ulama Indonesia, ahli ilmu fiqh dan ushul fiqh, tafsir, hadis, dan ilmu

kalam. Selain itu, ia juga ulama yang produktif menuliskan ide pemikiran keislamannya. Karya Tulisnya mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman. Lahir 10 Maret 1904 dan wafat di Jakarta tahun 1975. Lihat, Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid An-Nur (Semarang: PustakaRizki Putra, 2000), xvii. 

6Chirzin, Al-Qur’an dan ‘Ulum,30. 

7Muhammad Abd. Al-Adzim al-Zarqani, Mana>hil al-Irfa>n Fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n (Beirut:

Da>r al-Fikr, 1988), 106. 

8Subhi al-Shalih, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-‘Ilm Li al-Malayin, 1997),

(22)

14   

4. Bagi Abu Syuhbah, asba>b al-Nuzu>l diartikan sebagai sesuatu yang terjadi

serta ada hubungannya dengan turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an

sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.9

5. Al-Shabuni> mengartikan asba>b al-Nuzu>l dengan peristiwa atau kejadian yang

menyebabkan turunnya suatu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan

dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan

kepada Nabi mengenai hukum syara’ atau meminta penjelasan yang berkaitan

dengan urusan agama.10

6. Menurut Manna>’ Khali>l Al-Qat}t}a>n asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa yang

menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya waktu pertistiwa itu

terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan

kepada Nabi.11

7. Kementerian Agama Indonesia memberikan definisi Asba>b al-Nuzu>l dengan

Sesuatu yang turun (ayat al-Qur’an) karena waktu terjadinya peristiwa, seperti

peristiwa atau pertanyaan.12

Para penyelidik ilmu-ilmu al-Qur’an menaruh perhatian besar terhadap

pengetahuan tentang asba>b al-Nuzu>l. Untuk menafsirkan al-Qur’an, pengetahuan

tentang asba>b al-Nuzu>l sangat diperlukan sekali, sehingga ada beberapa pihak

yang menghususkan diri dalam pembahasan mengenai bidang ini. Di antara

      

9Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkha>l li Dira>sati al-Qur’a>n al-Kari>m

(Kairo: Maktabah al-Sunah, 1992), 122. 

10Muhammad Ali> As-S}abuni>, at-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Damaskus: Maktabah

al-Ghazali, 1390), 22. 

11Manna>’ Khali>l Al-Qat}t}a>nMaba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n”dalam Mudzakir, Studi

Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet 14 (Jakarta: Litera Antar Nusa, 2011), 106. 

(23)

15   

mereka yang terkenal antara lain adalah Ali bin Madini, Bukhari, Wahidi13 dalam

kitabnya; asba>b al-Nuzu>l, kemudian al-Jabari14 yang meringkas kitab al-Wahidi

dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu. Menyusul

Syaikh al-Islam Ibn Hajar15 mengarang satu kitab mengenai Asba>b al-Nuzu>l ini.16

Berangkat dari beragam perspektif para ulama di atas, secara umum

Asba>b al-Nuzu>l merupakan segala sesuatu yang menjadi sebab turunnya ayat,

baik untuk mengomentari, menjawab atau menerangkan hukum pada saat suatu

peristiwa terjadi. Jadi, bukan semua hal yang terjadi pada masa zaman Nabi dan

rasul bukan berarti pasti Asba>b al-Nuzu>l karena peristiwa yang menjadi Asba>b

al-Nuzu>l adalah yang menjadi latar belakang turunnya ayat.

B. Dala>lah: Antara Ungkapan Umum dan Sebab Khusus

Mengetahuai Asba>b al-Nuzu>l bukan sekadar melacak dan mengetahui

fakta-fakta sejarah yang menyelimuti pembentukan teks. Pengetahuan ini

bertujuan memahami teks dan menghasilkan maknanya karena pengetahuan

tentang sebab menghasilkan pengetahuan mengenai akibat (musabab), seperti

yang ulama katakan. Selain itu, kajian mengenai sebab-sebab dan

peristiwa-peristiwa akan membuktikan pemahaman mengenai hikmah tasyri’ (mengapa

aturan tertentu diturunkan), khususnya berkaitan dengan ayat-ayat hukum.

      

13Dia adalah Abul Hasan Ali bin Ahmad al-Nahwi al-Mufassir yang wafat pada 427 H.  14Dia adalah Burhanuddin Ibrahim bin Umar, ia mempunyai perhatian sangat besar

terhadap ilmu al-Qur’an. 

15Ia adalah Ahmad bin Ali Abu al-Fadl Shihhabuddin al-Hafiz bin Hjar al-Asqalani.

Kitabnya menjadi acuan dalam bidang ini. 

16Sauqiyah Musyafa’ah dkk, Studi al-Qur’an (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013),

(24)

16   

Pemahaman atas “hikmah” atau “sebab” tentunya dapat membantu ahli fiqh

mentransformasikan hukum dari realitas partikular atau sebab khusus dan

mengeneralisasikannya keperistiwa-peristiwa dan kondisi-kondisi yang

menyerupainya melalui qiya>s (analogi). Akan tetapi harus disadari bahwa

transformasi dari sebab ke musabab, atau dari realitas khusus ke realitas yang

menyerupainya harus didasarkan pada “tanda-tanda” yang terdapat dalam struktur

teks itu sendiri. Tanda-tanda inilah yang akan membantu mentransformasikan

makna dari “yang khusus” dan partikular ke “yang umum” dan menyeluruh. Oleh

karena itu, penulis di sini membicarkan konsep mengenai hubungan erat antara

maknaAsba>b al-Nuzu>lsebagaimana yang dijelaskan ulama kuno.17

Ada yang beranggapan bahwa disiplin ini tidak memiliki kegunaan karena ia hanya berfungsi sebagai sejarah. Dalam hal ini ia salah, justru disiplin ini memiliki beberapa kegunaan, di antaranya: mengetahui aspek hikmah yang mendorong munculnya hukum ditasyri’kan (diundangkan); mentakhsisi hukum bagi mereka yang mempunyai pendapat bahwa yang mempunyai pertimbangan adalah “sebab khusus”; terkadang ada kata yang umum dan ada dalil yang berfungsi men-takhsisnya. Apabila “sebab” diketahui(dalam keadaan seperti ini) maka takhsish dibatasi pada selain formatnya karena yang termasuk dalam format sebab bersifat pasti dan mengeluarkan nya melalui ijtihad tidak diperkenankan, sebagaimana dikatakan oleh al-Qadhi Abu Bakar dalam kitab al-Taqrib bahwa ketentuan tersebut telah menjadi ijma’, dan tidak diperkenankan mengikuti orang yang berpendapat lain, yaitu yang memperkenankan demikian (mengeluarkan format sebab). Kegunaan lainnya adalah dapat memahami makna dan menghapuskan kesulitan. Al-Wahidi berkata: “mengethui tafsir ayat tanpa memahami cerita dan penjelasan turunnya adalah tidak mungkin. Ibnu Daqiq al-‘Id berkata: “Penjelasan sebab turun merupakan metode yang ampuh untuk memahami makna-makna al-Qur’an.18

Ibnu Taimiyah berkata: “pengetahuan mengenai Asba>b al-Nuzu>l dapat

memahami ayat karena pengetahuan mengenai sabab dapat melahirkan

      

17Nas}r H}a>mid Abu> Zayd, “Mafhu>m al-Nas}s}: Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n” dalam Khiron

Nahdliyyin, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulum al-Qur’an (Yogyakarta: Lkis,

2013), 121. 

(25)

17   

pengetahuan mengenai musabab.19 Meskipun demikian, jumhur ulama tidak memberikan keistimewaan terhadap ayat-ayat yang mempunyai asba>b al-nuzu>l.

Karena apa yang terpenting bagi mereka adalah yang terdapat dalam redaksi ayat.

Dari pandangan inilah akhirnya jumhur ulama menetapkan suatu kaidah:

ِﻌ ﺒ

ْـ

َﺮ

ُة

ِ

ُﻌ

ُﻤ

ْﻮ

ِم

َ ﺒ

ْﻔ

ِﻆ

َﻻ

ُِﲞ

ُﺼ

ْﻮ

ِص

َﺴ ﺒ

َ

َ

.

“yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafaz bukan kekhususan

sebab”.20

Contoh ayat yang diturunkan dengan lafad yang umum tetapi dengan sebab

yang khusus dan pada akhirnya yang dijadikan pegangan oleh Jumhur ulama

adalah tetap pada keumuman lafaznya adalah.

ä−Í

‘$

¡

¡

9

$

#

u

ρ

èπ

s

‘$

¡

¡

9

$

#

u

ρ

(

#

þθã

è

s

Ü

ø%

$

$

s

ù

$

y

ϑßγ

t

ƒÏ

÷ƒ

r

&

L™

!

#

t

y

_

$

y

ϑÎ

/

$

t

7

|

¡

x

.

Wξ≈

s

3

t

Ρ

z

⎯ÏiΒ

«

!

$

#

3

ª

!

$

#

u

ρ

î

ƒÍ

t

ã

ÒΟŠÅ3

y

m

∩⊂∇∪

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.21

Ayat ini turun berkenaan dengan pencurian sejumlah perhiasan yang

dilakukan seseorang pada masa Nabi. Akan tetapi dalam ayat ini menggunkan

lafaz ‘Am, yaitu isim Mufrad yang ditakrifkan dengan alif-lam (al) jinsiyyah.

      

19As-Suyu>thi, al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n, Juz I, 28. Lihat juga az-Zarkasyi, al-Burha>n fi>

‘Ulu>m al-Qur’a>n, Juz I, 23. 

20Sauqiyah Musafa’ah dkk,Studi al-Qur’an, Cet III (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,

2013), 181. 

(26)

18   

Mayoritas ulama memahami ayat tersebut berlaku umum, tidak hanya tertuju pada

yang menyebabkan turunnya ayat.22

Sedangkan minoritas ulama beranggapan bahwa dalam memahami suatu

ayat perlu memandang penting keberadaan riwayat-riwayat asba>b al-nuzu>l.

Kelompok ini akhirnya menetapkan kaidah:

ِﻌ ﺒ

ْـ

َﺮ

ُة

ُِﲞ

ُﺼ

ْﻮ

ِص

َﺴ ﺒ

َ

َ

َﻻ

ِ

ُﻌ

ُﻤ

ْﻮ

ِم

َ ﺒ

ْﻔ

ِﻆ

.

Yang dijadikan pegangan ialah kekhususan sebab bukan keumuman lafaz.23

Sahabat Umar mewajibkannya “hukuman (had)” pencurian. Hukuman ini

telah diberlakukan Umar terhadap dua sahaya yang mencuri (harta) tuannya yang

membuat keduanya kelaparan. Dari kisah ini apabila menggunakan kaidah

pertama maka dua sahaya tersebut dipotong tangannya, sesuai dengan penjelasan

surat al-Maidah ayat 38 tersebut. Akan tetapi yang menarik di sini, Umar bin

Khatab tidak langsung memberikan had kepada dua sahaya tersebut melainkan ia

mengancam tuan tersebut dengan potong tangan apabila kedua sahaya tersebut

masih mencuri lagi.24

Melihat problem yang terjadi pada masa sahabat Umar, apakah masuk

akal apabila para ulama memprioritaskan keumuman kata tanpa

mempertimbangkan kekhususan sebab. Jika keumuman kata yang dijadikan

pegangan atau pijakan dalam menyingkap dala>lah maka sangat dimungkinkan

      

22Problem ini bisa ditelaah lebih dalam dengan melihat Ali As-Shabuni, Rawa’i al-Baya>n

Tafsi>r Aya>t Ahkam min Al-Qur’a>n, Juz I (Beirut: Dar al-Kutub, 1987), 615. 

(27)

19   

sekali sebagian orang memegangi ayat pertama dan pada akhirnya hal ini akan

menyebabkan seluruh tasyri’ dan hukum akan berantakan. Hal ini bukan sekadar

hipotesa, sebab fuqaha telah terperangkap dalam situasi yang sama dengan di

atas ketika berhadapan dengan suatu ayat yang mereka pegang keumuman

lafaznya dan menghiraukan kekhususan sebabnya.

Di sinilah penulis mempunyai asumsi, bahwa wacana agama kontemporer

tidak dapat mengabaikan ijtihad Umar itu. Meskipun pada kenyataannya apabila

terjadi problem serupa pada masa kini yang dijadikan pegangan adalah bahwa

yang menjadi pertimbangan adalah “kata yang umum bukan sebab yang khusus”.

Memang keumuman kata (ungkapan) dan mengabaikan kekhususan sebab dalam

menghadapi semua teks al-Qur’an akan membawa konsekuensi yang sulit

diterima oleh pemikiran agama. Akibat yang paling serius yang disebakan oleh

sikap “berpegang pada keumuman kata” dengan mengabaikan “kekhususan

sebab” adalah bahwa sikap ini menyebabkan hikmah tasyri’ diturunkan secara

bertahap, seperti masalah-masalah halal dan haram,25 terutama dalam masalah

makanan dan minuman, akan terabaikan. Selain itu, bahwa memegang

keumuman kata dalam menghadapi semua teks yang khusus berkaitan dengan

hukum akan menghancurkan hukum itu sendiri.26

Jika terdapat pertanyaan mengapa teks diturunkan secara bertahap,

khususnya orang musyrik Mekah sebagai penolakan27 atas hadirnya kitab sakral

yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw yang tidak seperti kitab-kitab

      

25Secara berurutan: al-Qur’a>n, 2: 219;4: 43; 5: 90-91.  26Ibid. 

(28)

20   

yang diturunkan kepada orang Yahudi yang dibawa Musa As secara lengkap dan

terbukukan,28 mungkin kaidah di atas cukup sebagai alasannya juga. Disisi lain

yang terpenting bukan hal itu sajaakan tetapi supaya mengetahui apa hikmah

Allah SWT menurunkan teks al-Qur’an secara bertahap, di antaranya ialah:29

1. Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah. Nabi Muhammad dalam

menyampaikkan dakwahnya tidak berjalan mulus, ia mendapatkan tantangan

yang begitu keras bagi penentangnya tetapi rasul tetap bersabar30 menghadapi

penolakan mereka.

2. Tantangan dan mukjizat. Orang-orang musyrik senantiasa dalam kesesatan

dan kesesatan. Hal ini terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak

masuk akal yang diajukan Kepada Nabi Muhammad saw, seperti kapan

datangnya kiamat31.

3. Mempermudah hafalan dan pemahamannya. Al-Qur’an diturunkan di

tengah-tengah umat yang ummi (buta huruf). Cara mereka menjaga ayat al-Qur’an adalah dengan menghafalkannya.

4. Kesesuaian dengan peristiwa dan pentahapan dalam penetapan hukum, poin

ini adalah akibat berlakunya kaidah yang dijelaskan di atas tadi.

5. Bukti yang pasti bahwa al-Qur’a>n al-Kari>m diturunkan dari sisi yang Maha

Bijaksana dan Maha Terpuji32. Selain itu, al-Qur’an merupakan kitab sakral

      

28Nahdliyyin, Tekstualitas al-Qur’an,114.  29Mudzakir, Studi Ilmu, 157-175.  

30Dari kesabaran menghadapi kaumnya maka sudah seyogyanya Nabi Muhammad

termasuk u>lu>l ‘azmi,Lihat al-Qur’a>n, 46: 35. 

(29)

21   

dan dalam bentuk susunan yang serasi dan harmoni sehingga tidak akan yang

bisa menandinginya.33

C. Pengertian dan Historisitas Hermeneutika

Tidak mudah untuk memberikan definisi yang tepat dan akurat tentang

hermeneutika hanya dalam satu-dua kalimat. Hermeneutika berasal dari bahasa

Yunani hermeneuine dan hermenia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran”. Penjelasan dua kata ini membuka wawasan pada karakter dasar

interpretasi dalam teologi dan sastra, dan dalam konteks sekarang ia mejadi

keyword untuk memahami hermeneutika modern.34

Term Hermenutika dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam

sejumlah literatur peninggalan masa Yunani Kuno, seperti Organon karya

Aristoteles yang di dalamnya terdapat risalah terkenal Peri hermeneias (Tentang Penafsiran). Ia juga digunakan dengan bentuk nominal dalam epos Oedipus at Colonus, beberapa kali muncul dalam tulisan-tulisan Plato, dan pada karya-karya para penulis kuno, seperti Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius,

dan Longinus.35

Hermeneutika secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau

filsafat tentang interpretasi makna.36 Sedangkan pengertian hermeneutik secara

       33al-Qur’a>n,17: 88. 

34Richard E. Palmer, Hermeneutika; Teori Baru mengenai Interpretasi. Ter, Musnur Hery

dan Damanhuri Muhammed, Cet II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 14. 

35Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebesan Metodologi Tafsir Al-quran Menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002), 23. 

(30)

22   

istilah adalah sebuah teori tentang operasi-operasi pemahaman dalam

hubungannya dengan teks.37

Studi hermeneutik dengan kata lain mencoba menganalisis dan

menjelaskan teori penafsiran teks (naz}ariya>t ta’wi>l al-nus}u>s) dengan mengajukan

pendekatan-pendekatan keilmuan yang lain yang dengan sendirinya menguji

proses pemahaman, mekanisme penafsiran dan penjelasan teks.38 Menurut Rudolf

Bultman istilah hermeneutika secara umum dipakai untuk mendeskripsikan upaya

menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini.39 Hal inilah yang

menjadikan kajian hermeneutika begitu menarik dan penting.

Hermeneutika sebagai metode penafsiran, dalam sejarahnya muncul lebih

awal dari pada hermeneutika dalam pengertian filsafat pemahaman. Meskipun

baru berkembang luas sejak abad ke-17, hermeneutika sebagai metode dapat

dilacak kemunculannya paling tidak sejak periode Patristik, jika bukan pada

filsafat Stoik yang mengembangkan penafsiran alegoris terhadap mitos atau

bahkan pada tradisi sastra Yunani kuno. Hanya saja model hermeneutika sebelum

abad ke-17 tersebut disamping belum memperkenalkan istilah hermeneutika

secara definitif juga belum direfleksikan secara filosofis. Hermeneutika yang

dikembangkan pada masa-masa itu bahkan lebih menyerupai “seni” dari pada

metode dalam pengertian filsafat modern.40

      

37Hasan Sutanto, Hermeneutik Prinsip dan Metode Penafsiran Al-Kitab, (Magelang:

Departemen Literature Saat, 2000), 1. 

38Lihat Nasr Hamid Abu zaid, Isykaliya>t al-Qira>’at wa ‘Aliayat al-Ta’wi>l (Beirut:

Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1992), 7. 

39Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas Alqur’an, Liberalism, Pluralisme, terj.

Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 199), 83. 

(31)

23   

Dalam agama Yahudi dan Kristen telah ada tradisi penafsiran atas kitab

suci, mereka terbiasa menyebutnya dengan isitilah Biblical Exegesis. Seorang Filusuf Yunani yang bernama Philo (30 SM-50 M) telah melakukan penafsiran

terhadap kitab suci agama Yahudi, akan tetapi ia menggunakan model exegesis belum dengan hermeneutika. Sedangkan di kalangan para teolog41 dan filusuf

Kristen Protestan berupa memasukkan hermeneutika menjadi metode penafsiran

Bibel. Mereka memasukkan model hermeneutika dalam menginterpretasikan

Bibel karena adanya ayat-ayat yang belum atau tidak jelas maknanya dan adanya

ayat-ayat yang menyimpan misteri yang perlu diperjelas.42

The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bibel43 (the study of the general

principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam bibel.44

Hermeneutika bukan sekadar tafsir melainkan satu metode tafsir tersendiri

atau satu filsafat tentang penafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode

tafsir al-Qur’an. Di kalangan Kristen saat ini, penggunaan hermeneutika dalam

interpretasi Bibel sudah sangat lazim meskipun juga menimbulkan perdebatan.

Salah satu yang dijadikan rujukan oleh kalangan akademisi adalah buku karya

Sumaryono yang berjudul Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Ditulis dalam

buku tersebut

      

41Mereka adalah Spinoza (1632-1677), Flacius, dan Cladenius. 

42Muslihah, “Hermeneutika Sebagai Metode Interpretasu Teks”, Mutawa>tir: Jurnal Keilmuan tafsir Hadis, Vol. 4 No.2 (Juli-Desember, 2014), 267-268. 

43Dalam sejarah interpretasi Bibel, ada empat model utama interpretasi bibel, yaitu literal interpretation, moral interpretation, allegorical interpretation, dan anagogical interpretation

(32)

24   

“Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunkan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab, semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti al-Qur’an, Kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik”45

Cara pandang Sumaryono sebagai seorang Katolik memang khas konsep

Kristen tentang Bibel. Tetapi, Sumaryono jelas tidak cermat, karena di kalangan

Kristen seperti. C. Groenen, banyak yang sadar akan perbedaan antara konsep teks

al-Qur’an dengan Bibel. Al-Qur’an bukanlah kitab yang mendapatkan inspirasi

dari Tuhan sebagaimana dalam konsep Bibel, tetapi al-Qur’an adalah kitab yang

tanzi>l, lafdzhan wa ma’nan (lafaz dan maknanya dari Allah). Konsep ini berbeda

dengan konsep teks dalam Bibel yang merupakan teks yang ditulis oleh manusia

yang mendapat inspirasi dari roh Kudus.46

Bahkan Paus sendiri mengakui perbedaan antara al-Qur’an dengan Bibel.

Pada 17 Januari 2006, Surat kabar New York Sun menurunkan tulisan Daniel

Pipes47 berjudul “The Pope and the Koran” (Paus dan al-Qur’an). Paus, seperti

yang dikutip Pipes dari Pastor Joshep D. Fessio menyatakan, bahwa dalam

pandangan tradisional Islam, Tuhan telah menurunkan kata-kata-Nya kepada

Muhammad yang merupakan kata-kata abadi. Al-Qur’an sama sekali bukan kata

Muhammad. Karena itu bersifat abadi sehingga tidak ada peluang untuk

menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi atau menafsirkannya kembali. Dari

statement tersebut Pipes tidak setuju, baginya al-Qur’an tetap bisa

diinterpretasikan, dan penafsiran itu selalu berubah. Al-Qur’an sebagaimana

      

45E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yoogyakarta: Penerbit

Kanisius, 1999), 28. 

46Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an

(Jakarta: Gema Insani, 2008), 9. 

(33)

25   

Bibel, juga memiliki sejarah. Jadi bagi Pipes, Islam bukanlah statis, fixed, atau

beku (stuck).48

Terlepas dari problem di atas, istilah hermeneutika sendiri muncul secara

definitif pertama kali dalam karya J.C. Dannhauer, Hermeneutica Sacra Sive

Methodus Exponendarum Litterarum yang terbit tahun 1654. Hanya saja berbeda dengan pengertian dan lingkup studi kontemporer mengenai hermeneutika, buku

tersebut terbatas pada pembicaraan tentang metode menafsirkan teks-teks bibel.49

Baru pada Schleeiermarcher dan terutama oleh Wilhelm Dilthey, yakni

kira-kira satu abad setelah Spinoza menjadikan hermeneutika sebagai metode

penafsiran yang direfleksikan secara filosofis.50 Dari hal inilah akhirnya

Schleiermarcher dianggap bapak hermeneutika modern, pemikir dari Jerman yang

lahir pada tahun 1813. Dikatakan juga bahwa ia adalah seseorang yang

mempresentasikan hermeneutik klasik.51

Schleiermarcher beranggapan, hermeneutika dimaksudkan sebagai usaha

untuk mengangkat filologi dan segala disiplin penafsiran lainnya kepada level

Kunstlehre, yakni kumpulan metode yang tidak terbatas pada kegiatan penafsiran yang parsial dengan membawa disiplin ini kepada perumusan prinsip-prinsip

penafsiran yang lebih bersifat umum. Untuk itu, dalam mencapai makna teks

seorang penafsir hendaknya menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan

linguistik dan pendekatan psikologis yang memiliki kemampuan dalam

memahami karakter manusia. Dengan demikian, setiap teks mempunyai dua sisi,       

48Husaini, Hermeneutika dan Tafsir, 9-11.  49Palmer, Hermeneutika, 39. 

50Ilham B. Saenong, Hermenutika pembebasan 27. 

51Nasr Hamid Abu Zayd, al-Qur’an Hermeneutika dan Kekuasan, terj. Dede Iswadi dkk

(34)

26   

yaitu pertama sisi objektif yang menunjuk kepada bahasa yang menjadikan proses

memahami menjadi mungkin dan kedua sisi subjektif yang menunjuk pada isi

pemikiran pengarang yang termanifestasikan pada style bahasa yang

digunakannya.52

Kemudian Dilthey (1833-1911) mengembangkan displin hermeneutika

secara lebih dalam dengan menjadikannya sebagai pondasi metodologis bagi

ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Ia dalam hal ini merumuskan

metode verstehen (memahami) yang spesisfik bagi ilmu sosial dan budaya yang berbeda dengan erkleren (menjelaskan) yang lazim dalam ilmu-ilmu alam. Menurutnya, fenomena sosial bersifat ekuifok sehingga hanya dapat “dipahami”

dan bukunya “dijelaskan”. Karena yang terakhir ini hanya cocok untuk

mengetahui dan memanipulasi fenomena-fenomena alam yang bersifat univok.53

Dilthey juga menegaskan bahwa prinsip-prinsip hermeneutika bisa mencerahkan

jalan manusia menuju teori pemahaman secara umum.54

Dalam perkembangan mutakhir pasca Dilthey, hermenutika mengalami

pergeseran penting dari fungsinya sebagai metode pemahaman dan pencarian

kebenaran yang merepresentasikan cara kerja epitemologi kepada kecenderungan

baru sebagai sebuah filsafat dengan titik penekanan pada aspek ontologis dalam

pemahaman. Di sini hermeneutika lebih concern dalam merefleksikan fenomena

dasariah yang terjadi dalam proses penafsiran. Kecenderungan baru tersebut

muncul, sebagaimana yang tampak dalam karya-karya Martin Heidegger dan       

52Ibid, 43. 

53Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 27. 

54Nas}r H}ami>d Abu> Zayd “Isyka>liya>t al-Qira’ah wa A>liya>t al-Ta’wil” dalam Muhammad

(35)

27   

Hans-Georg Gadammer, dengan suatu pendirian kuat bahwa hermeneutika tidak

semata-mata berkaitan dengan metode yang selama ini dianggap menentukan

benar salahnya sebuah penafsiran. Akan tetapi, penafsirannya justru harus

merefleksikan apa-apa yang berada di balik berbagai metode dan keterbatasan

setiap klaim kebenaran pemahaman manusia.55

Perkembangan teoretis yang terjadi selanjutnya adalah hermeneutika Paul

Recoeur yang mana diringkas ke dalam dua kecenderungan, pertama, terjadi

gerakan “deregionalisasi” atau “radikalisasi” dari hermeneutika spesifik, yakni

metode-metode yang diterapkan secara khusus dalam displin yang berbeda-beda

sebagaimana yang terjadi sebelum Schleiermarcher kepada hermeneutika yang

bersifat umum dan drefleksikan secara filosofis secara epostemologi pemahaman.

Selanjutnya, terjadi pula pergeseran dari wujud hermeneutika sebagai

epistemologi yang tercermin dalam metode-metode umum untuk mencapai

kebenaran penafsiran menuju hermeneutika yang lebih menekankan ontologi

pemahaman di tangan Heidegger dan Gadamer yang berfungsi reflektif terhadap

berbagai fenomena dasariah dalam proses penafsiran.56

Akan tetapi, sebagaimana dicatat oleh Ellman Crasnow, pergeseran

Mutakhir ke arah ontologi tersebut hanya bersifat sementra, karena hermeneutika

kontemporer berkembang lagi menjadi disiplin yang mencakup segala teori

tentang interpretasi. Di satu pihak hermeneutika telah merangsang kembalinya

pencarian metodologi penafsiran objektif dalam pemikiran E.D. Hirsch tentang

Validity in Interpretation yang terwujud dalam teks-teks sastra, dan pada gagasan       

(36)

28   

Emilio Betti tentang hermeneutika hukum (legal hermeneutics). Jika yang pertama mengarahkan penyelidikan pada pengujian akan kemungkinan

diperolehnya “makna” objektif (meaning) yang dibedakan dengan “artinya” (significance) bagi kita sekarang, maka yang terakhir ini berusaha merumuskan pedoman interpretasi atau yang disebutnya “the canon of the autonomy of the

object” untuk membimbing penafsiran agar tidak terjatuh pada supermasi subjektivitas penafsir.57

Di lain pihak, diskursus hermeneutika modern juga memperoleh kritisisme

tajam dari luar disiplin penafsiran. Dalam hal ini, muncul wacana baru tentang

kritik ideologi atau relasi ideologi dengan penafsiran setelah terjadi perdebatan

sengit antara hermneutika filosofis yang diwakili Gadamer dan madzhab “kritik

ideologi” yang diwakili oleh Jurgen Habermas. Dalam debat sengit tersebut

Habermas sama-sama berusaha menghindari argumen mengenai kemungkinan

dicapainya kebenaran penafsiran dalam pengertian objektif, sembari menyediakan

kerangka penjelasan mengenai kemungkinan dicapainya makna eksistensial dari

teks yang ditafsirkan. Namun demikian, keduanya bertentangan dalam sumber

makna eksistensial itu di mana Gadamer lebih terfokus pada rehabilitasi tradisi

sementara Habermas pada anti atau kritik tradisi.58

Demikianlah hermeneutika yang berawal dari Scheleirmarcher,

hermeneutika dialektis Gadamer hingga Pail Recoeur. Dari perkembangan yang

terajadi pada hermeneutika ini, Umat Islam dapat menyingkap posisi

paradigma-paradigma kontemporer dalam penafsiran teks Qur’ani, dan kita juga bisa melihat       

(37)

29   

signifikansi keragaman penafsiran, baik dalam teks keagamaan maupun sastra

terhadap posisi penafsir di tengah realitas kontemporernya dengan klaim

objektifitas apapun dan oleh penafsir manapun.

Berbicara tentang hermeneutika bagi penulis tidak hanya berputat pada

sejarah perkembagan hermeneutika akan tetapi perlu diruntut pula asal kata

hermeneutika tersebut. Jika asal kata hermeneutika diruntut, maka kata tersebut

merupakan derivasi dari kata Hermes, seorang Dewa dalam mitologi Yunani yang

bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari sang Dewa kepada manusia. Sedangkan di kalangan pendukung hermeneutika ada yang

menghubungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris As.59 Tugas utama Hermes

yang digambarkan sebagai seorang yang memiliki kaki bersayap dan lebih dikenal

dengan sebutan Mercurius adalah menerjemahkan pesan-pesan dari gunung

Olimpus ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah

Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan misi tertentu.60

Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes ini saja secara sekilas

menunjukkan adanya tiga unsur yang pada akhirnya menjadi variabel utama pada

kegiatan manusia dalam memahami, yaitu:

1. Tanda (sign), pesan (message) atau teks (text) dari sumber yang diinginkan 2. Perantara (a mediator) atau penafsir (interpreter) untuk:

3. Menyampaikan pesan kepada audien.61

(38)

30   

Bagan II: Struktur triadik62

Unsur triadik di atas saling berhubungan secara dialektis dan

masing-masing saling memberi sumbangan bagi proses pembentukan makna, seperti yang

tergambar dalam struktur triadik tersebut. Unsur-unsur yang membentuk kegiatan

interpretasi di atas pada gilirannya merangsang dan memperluas penyelidikan

terhadap unsur-unsur utama dari “problem hermeneutis” yang menjadi perhatian

hermeneutika modern. Jika dirinci kembali, maka para teoretisus hermeneutika

bergerak pada tiga wilayah pendidikan: pertama, asal-usul teks; kedua, apa makna

“memahami teks”; ketiga, bagaimana pemahaman atau penafsiran dideterminasi oleh berbagai asumsi, kepercayaan dan cakrawala orang-orang yang menjadi

tujuan penafsiran.63

Berkisar kurang lebih dua puluh tahun yang lalu, terjadi perdebatan serius

tentang karakteristik dinamika antara pengarang, teks dan pembaca. Perdebatan

tersebut berkaitan dengan problem tentang apa atau siapa yang harus menentukan

      

62Kutub-kutub dalam struktur triadik tersebut berhubungan secara dialektis (yang

digambarkan sebagai proses siklus) di mana tidak ada pusat, inti dan hubungan struktural atas-bawah). 

63Saenong, Hermenutika Pembebasan, 33.  Teks

Makna

(39)

31   

makna dalam sebuah penafsiran.64 Ada tiga teori utama yang berkaitan dengan hal

ini, yaitu: pertama, teori yang berpusat pada penulis (pengarang). Teori ini

berasumsi bahwa makna adalah arti yang ditentukan oleh author. Pengarang sebuah teks tampaknya telah memformulasikan maksudnya ketika ia membentuk

sebuah teks, dan pembaca berusaha memahami maksud author atau berusaha memahaminya.65 Kedua, yaitu teori yang berpusat pada peranan teks. Asumsinya

adalah bahwa makna suatu teks itu ada pada teks itu sendiri. Maksud penulis atau

pengarang tidaklah terlalu penting, karena begitu teks itu lahir maka ia terlepas

dari pengarangnya.66 Artinya, teks memiliki realitas dan integritasnya sendiri, dan

realitas serta integritas teks itu berhak untuk dipatuhi.67 Ketiga, yaitu teori yang

berpusat pada pembaca. Asumsinya bahwa makna suatu teks adalah apa yang

mampu diterima dan diproduksi oleh pembacanya dengan segala horizon

pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Yang terpenting di sini adalah bagaimana

teks itu berfungsi dalam suatu masyarakat (pembacanya)68.

D. Macam-Macam Hermeneutika

Berkembangnya zaman maka berkembang pula disiplin ilmu pengetahuan

yang dihasilkan, begitu juga dengan hermeneutika. Ada yang membagi

hermeneutika menjadi tiga, yaitu hermeneutical theory yang berisi aturan       

64Khaled Abou El-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women

(Inggris: Oneworld, 2003), 120. 

65Ibid., 121. 

66Moch Nur Ihwan, “AlQur’an Sebagai Teks (Teori Teks dalam Hermeneutik Nasr

Hamid Abu Zayd)” dalam, Studi Al-Qur’an Kontemporer; Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, ed. Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2002), 162-163.  

(40)

32   

metodologis untuk sampai kepada pemahaman yang diinginkan pengarang

(author), dan hermeneutical philosophy yang lebih mencermati dimensi

filosofis-fenomenologis pemahaman serta hermeneutical critis yang mengungkap

kepentingan dibalik teks.69

Dalam kaitan hubungan antara pembaca dengan teks dan penggagas

terdapat tiga bentuk hubungan hermeneutika seperti halnya yang disinggung di

atas. Akan tetapi untuk memudahkan pemahaman tentang perbedaan jenis-jenis

hermeneutika tersebut, penulis beraggapan perlunya dijelaskan lebih detail lagi

ketiga perbedaan hermeneutika secara definitif.

1. Hermeneutika Teoretis

Hermeneutika teoretis adalah bentuk hermeneutika yang menitik

beratkan kajiannya pada problem pemahaman, yakni bagaimana memahami

dengan benar.70 Tentu saja sebagai asumsi awal bahwa perbedaan konteks

mempengaruhi perbedaan pemahaman, maka hermenutika dalam kelompok

pertama ini merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek

yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang

konprehensif.

Selain pertanyaan-pertanyaan seputar makna teks sebagaimana makna

teks secara morfologis, leksikologis, dan sintaksis71 perlu pula

pertanyaan-pertanyaan seperti dari siapa teks itu berasal, untuk tujuan apa dalam kondisi

      

69Fahrudin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta:

eLSAQ Press, 2005), 8. 

70Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi dkk

(Bandung: Rqis, 2003), 42-26. 

71Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Refolusi, terj. Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka

(41)

33   

apa dan bagaimana kondisi pengarangnya ketika teks tersebut disusun dan

lain sebagainya, Orang-orang yang dapat dipandang sebagai pelopor dalam

hermeneutika ini adalah Schleiermarcher, Wilhem Dilthey dan juga Emilio

Betti.

Tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang

dikehendaki penggagas teks. Oleh karena tujuannya memahami secara

objektif maksud penggagas maka hermeneutika model ini dianggap juga

sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk merekonstruksi

makna.72

2. Hermeneutika Filosofis

Problem utama hermemeneutika ini bukanlah memahami teks dengan

benar dan objektif sebagaimana hermeneutika teoretis. Problem utamanya

adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Heideger dan Gadamer

bisa diletakkan sebagai representasi kelompok kedua ini. Menurut Gadamer

hermeneutika berbicara tentang watak interpretasi bukan teori interpretasi.

Hermeneutika jenis kedua ini fokus perhatiaannya bukan lagi bagaiman agar

biasa mendapatkan pemahaman yang komprehensif tetapi lebih jauh

mengupas seperti apa kondisi manusia yang memahami itu. Baik dalam aspek

psikologinya, sosiologisnya, historisnya dan lain sebagainya termasuk dalam

aspek-aspek filosofis yang mendalam seperti kajian terhadap pemahaman

dan penafsiran sebagai pra syarat eksistensial manusia.73

(42)

34   

3. Hermeneutika Kritis

Hermneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik

teks, degan tokohnya Habermas. Habermas sebagai penggagas hermeneutika

kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem

hermeneutika yang oleh dua model hermeneutika sebelumnya justru

diabaikan. Sesuatu dimaksud adalah dimensi ideologis penafsir dan teks,

sehingga ia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman

sebagaimana dipahami dua model hermeneutika sebelumnya, melainkan

sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan

kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks harus

ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.74

Pada dasarnya, berbagai gagasan dari hermeneutika kritis memang

tidak berkaitan langsung dengan wilayah dan kegiatan penafsiran. Akan tetapi

kritik-kritiknya terhadap hermeneutika teoretis dan hermeneutika filosofis

yang mengabaikan persoalan di luar bahasa yang justru sangat

mendeterminasi hasil penafsiran, tidak pelak justru memberi kontribusi besar

bagi diskursus hermneutika kontemporer. Menurut Grondin, sumbangan

orang-orang seperti Habermas dan mereka yang berasal dari tradisi pemikiran

Marxis dan dekonstruksi terletak pada kekuatannya dalam menghancurkan

ilusi-ilusi penafsiran; suatu hal besar yang gagal ditangkap oleh hermeneutika

teoretis dan hermeneutika filosofis. Hermeneutika teoretis dan hermeneutika

filosofis lebih layak disebut “hermeneutika kekinian”, sebab berorientasi ke       

(43)

35   

depan untuk mengapresiasi teks. Sebaliknya, hermeneutika kritis dapat

disebut “hermeneutika kecurigaan” karena berkepentingan untuk menyingkap

tabir-tabir ideologis di balik teks.75

E. Pro-Kontra Hermeneutika Sebagai Metode Interpretasi al-Qur’an

Hermeneutika tidak dapat diterima semua kalangan sarjana muslim

sebagai metode interpretasi teks al-Qur’an. Hal ini karena hermeneutika lahir dari

tradisi Barat. Kelompok yang pro terhadap hermeneutika sebagai metode

interpetasi teks al-Qur’an beralasan bahwa hermeneutika tidak hanya memandang

teks dan berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu,

hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon yang

meliputi teks tersebut. Horizon yang dimaksud adalah horizon teks, horizon

pengarang dan horizon pembaca.76

Dengan hermeneutika semua orang punya hak yang sama dalam

menafsirkan al-Qur’an sejauh dan sebatas kemampuan yang dimiliki

sebagaimana yang dikatakan oleh Gamal al-Banna yang mengutip pendapat

Syaikh Muhammad al-Ghazali yaitu jangan ada seorang pun menyangka bahwa

tafsir al-Qur’an merupakan monopoli era tertentu dan berhenti pada komunitas

tertentu dan manusia.77

      

75Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 44. 

76Akhmad Khusaini, “Metode Hermeneutika Dalam Penafsiran al-Qur’an” (Skripsi tidak

diterbitkan, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel, 2005), 94.  77Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir dari Jaman Klasik hingga jaman Modern, terj.

(44)

36   

Berbeda dengan anggapan kelompok yang kontra, bahwa hermeneutika

sebagai metode interpetasi atas teks al-Qur’an mengetengahkan rasa keberatan,

karena adanya efek-efek metodik yang muncul di antaranya yaitu:78

1. Munculnya sikap yang menuntut praktisi hermeneutik untuk selalu skeptik,

selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya. Paradigma yang

seperti inilah yang ditolak mentah-mentah oleh mereka karena jika hal ini

lakukan berarti juga meragukan al-Qur’an.

<

Referensi

Dokumen terkait

Paradigma penelitian kualitatif kaitannya dengan penelitian ini akan digunakan untuk mengkaji bagaimana konsep desakralisasi al-Qur ‟ an yang dicetuskan Nasr Hamid Abu

“ Konsep Tafsir dan Tantangannya .” Dalam Adian Husaini (Ed.), Islamic Worldview: Bahan-Bahan Mata Kuliah di Program Pendidikan dan Pemikiran Islam Pasca Sarjana

pertama dibangun kemudian Abu Zayd menyatakan bahwa umat Islam saat ini memerlukan kebebasan mutlak dari otoritas teks- teks keagamaan (khususnya al-Qur ’an) dalam

28 Pembedaan level makna yang oleh Abu Zayd tersebut, di sisi lain juga berarti bahwa makna suatu pesan tidak selalu menuntut ditariknya suatu signifikansi, seperti

23 Dalam kosa kata Bahasa Arab sendiri, sesuatu yang terdiri dari huruf jim dan nun dengan berbagai bentuknya, memiliki makna benda atau makhluk yang

Penelitian dalam bentuk artikel oleh Iqbal Hasanuddin mengenai Mempertimbangkan Hermeneutik ala Nasr Hamid Abu Zayd dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer dalam

Tentang konsep warisan yang mana teks al-Qur’an menyebutkan bahwa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, Abu Zayd mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak boleh dibaca

Peminjamannya dari dialektika hermeneutika Gadamer diarahkan untuk pengkajian teks al-Qur’an, di mana di dalamnya dia mencoba melakukan pembacaan atau lebih tepatnya pembacaan ulang