• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Qitâl Dalam Perspektif Nashr Hamid Abu Zayd

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makna Qitâl Dalam Perspektif Nashr Hamid Abu Zayd"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

Zayd

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Yayang Zulkarnaen NIM: 11140340000051

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2020 M

(2)

Zayd

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)

Oleh:

Yayang Zulkarnaen 11140340000051

Pembimbing

Kusmana M.A., Ph.D.

NIP: 196504241995031001

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

(3)

dc

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul MAKNA QITAL DALAM PERSPEKTIF NASR HAMID ABU ZAYD telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 September 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 21 Oktober 2020 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha M.Ag. Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Moh. Anwar Syarifuddin, M.A. Dr. Yusuf Rahman, M.A.

NIP. 19720518 199803 1 003 NIP. 19670213 199203 1 002

Pembimbing,

Kusmana M.A., Ph.D.

NIP. 19650424 199503 1 001

(4)
(5)

Makna Qitâl Dalam Perspektif Nashr Hamid Abu Zayd

Skripsi ini membahas makna Qital menggunakan persfektif Nasar Hamid Abu Zayd karena dia mempunyai pertimbangan lain dalam menafsirkan ayat dalam al-Qur’an, yaitu pertimbangan sejarah.

Dengan menggunakan metode deskriptif analitik pengkaji menjawab bagaimana Nasar Hamid Abu Zayd memahami makna Qital dalam al- Quran. Adapun sumber yang diggunakan yaitu sumber primer dan sekunder, sumber primer yaitu Al-Qur’an dan karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd. Sedangkan sumber sekunder, peneliti mengambil buku-buku, jurnal serta tafsir terkait yang ditulis intelektual muslim ataupun intelektual barat.

Dalam memahami ayat qital ini ada tiga tahap yang digunakan Nasar Hamid untuk memahami ayat dalam al-Quran. Pertama melihat konteks sejarah perang sebelum datang di Arab. Kemudian ayat yang ditafsirkan disandingkan dengan ayat lain yang masih satu tema kemudian dilihat dari sisi kebahasaan untuk memperoleh signifikansi makna atau mencari makna yang tidak terkatakan.

Penelitian ini menemukan bahwa tradisi perang di Arab sudah ada sebelum Islam datang. Perang dalam Islam adalah untuk berjuang di jalan Allah bukan untuk kepentingan kelompok atau pribadi serta ada aturan yang harus dipatuhi di dalamnya. Perang ini pun diperbolehkan setelah ada penyerangan terlebih dahulu dari musuh bukan perintah untuk memulai terlebih dahulu. Perang merupakan jalan terakhir yang ditempuh untuk menyebarkan Islam karena sejatinya Islam tersebar dengan jalan damai.

Kata kunci: Qitâl, Hermeneutika, Alquran, Nasr Hamid Abu Zayd.

(6)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt. Atas segala rahmat dan kehendak-Nya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada nabi kita tercinta, junjungan semesta alam, pembimbing umat manusia, yakni Nabi Muhammad Saw. Keselamatan semoga selalu menyertai keluarga, sahabat dan kita sebagai pengikutnya. Semoga kita selalu mendapat syafaat darinya, baik di dunia maupun kelak di akhirat.

Penulis sadar sepenuhnya skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, arahan, motivasi, dan kontribusi banyak pihak. Oleh karenanya, ucapan terimakasih yang tulus dan tak terbilang, penulis tujukan kepada para dosen, keluarga, sahabat, teman, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Maka, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih setulus dan sebanyak mungkin kepada:

1. Segenap sivitas aademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta: Ibu Rektor Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A. beserta jajarannya; Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman, M.A. beserta jajarannya; Ketua Program Studi Ilmu Alquran dan Tafsir Eva Nugraha, M. Ag, dan Sekretaris Jurusan Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH.

2. Bpk, Kusmana M.A. Ph.D., dosen pembimbing yang sangat mengayomi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dari konsultasi judul hingga bab akhir beliau selalu mudah penulis temui.

Penjelasannya yang ringkas dan padat memudahkan penulis memahami apa yang masih kurang dan harus diperbaiki.

Terimakasih pak, tanpa bapak skripsi ini tidak akan selesai.

3. Bpk, Eva Nugraha M.Ag. yang telah mengizinkan penulis menggunakan perpustakaan pribadinya untuk mengerjakan skripsi ini yang juga merupakan penasehat akademik penulis.

4. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta yang banyak membantu penulis selama menempuh studi.

5. Kedua orang tua saya, yang kepada mereka saya akan selalu menaruh hormat. Dan akan terus menjadi orientasi hidup saya.

Kepada adik saya, semoga terus dalam lindungan Allah dan terus dalam rahmat-Nya.

(7)

lindungan Allah.

7. Kepada keluarga besar Riungan Mahasiswa Sukabumi (RIMASI) Jakarta, terimakasih telah menemani selama penulis menempuh studi.

8. Teman-teman di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut. Teman-teman seangkatan 2014, Aisyah Nursyamsi, Dicky Prasetya, Eko Ramdhani, Jannah Arijah, Lia Esdwiyani Syamarif, Zaynuddin. Terimakasih sudah menemani saya belajar di sana.

9. Teman-teman RISALAH di Jakarta mapun di Bandung, terimakasih telah memberikan banyak ilmu di luar kelas. Kepada semua sahabat, teman, rekan, yang tidak bisa saya sebutkan satu persaatu.

Semoga Allah Swt. memberi balasan berlipat kepada semua pihak atas bantuan, dorongan, kebaikannya kepada penulis selama ini. semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Sukabumi, 29 Juli 2020

Yayang Zulkarnaen

(8)

Transliterasi Arab-Latin ysng digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penullisan Kaya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh Tim CeQDA (Center For Quality Development dan Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

A. Konsonan

ARAB NAMA LATIN KETERANGAN

ا Alif - Tidak dilambangkan

ب Ba’ B Be

ت Ta’ T Te

ث Tsa’ Ts Te dan es

ج Jim J Je

ح

Ḥa’ Ḥ

Ha dengan titik di bawah

خ Kha’ Kh Ka dan Ha

د Dal D De

ذ Dzal Dz De dan zet

ر Ra’ R Er

ز Zai Z Zet

س Sin S Es

ش Syin Sy Es dan ye

ص Ṣad

Es dengan titik di bawah

(9)

ط

Ṭa Ṭ

Te dengan titik di bawah

ظ Ẓa

Ẓ Zet dengan titik di bawah

ع ‘Ain ‘ Koma terbalik

غ Ghain Gh Ge dan ha

ف Fa F Fa

ق Qaf Q Qi

ك Kaf K Ka

ل Lam L El

م Mim M Em

ن Nun N En

و Wau W We

ه Ha’ H Ha

ء Hamzah ‘ Apstrof

ي Ya’ Y Ye

(10)

Vokal dalam bahasa Arab, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong, vocal rangkap atau diftong dan vocal panjang. Ketiganya adalah sebagai berikut:

1. Vokal Tunggal Tanda

Vokal

Nama Latin Keterangan

ا Fatḥaḥ A A

ا Kasraḥ I I

ا Ḍammaḥ U U

Contoh: رصن : Naṣara dan بتك : Kataba

2. Vokal rangkap Tanda

Vokal

Nama Latin Keterangan

ي ى Fatḥaḥ dan Ya’sakun Ai A dan I و ى Fatḥaḥ dan Wau sakun Au A dan U Contoh: سيل : Laisa لوحلوح: ḥaula

3. Vokal panjang Tanda

Vokal

Nama Latin Keterangan

اب Fatḥaḥ dan Ba

Ā A dengan garis di atas

يب

Kasrih dan Ba

Ī

I dengan garis di atas

(11)
(12)

KATA PENGANTAR ... ii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Batasan dan Rumusan Masalah ... 11

D. Tujuan Penelitian ... 12

E. Manfaat Penelitian ... 12

F. Tinjauan Kepustakaan ... 13

G. Metode Penelitian ... 18

H. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II NASR HAMID ABU ZAYD : Biografi dan Pemikiran A. Latar Belakang ... 21

B. Biografi ... 22

C. Karya ... 29

D. Pemikiran ... 30

1. Islam ... 30

2. Al-Qur’an ... 31

3. Tafsir ... 37

BAB III TAFSIR, HERMENEUTIKA, DAN AYAT QITÂL A. Tafsir dan Hermeneutika: Pengertian, Ruang Lingkup dan Metode 1. Tafsir: Pengertian dan Ruang lingkupnya ... 41

(13)

C. Penafsiran Ayat-Ayat Qitâl ... 53

1. Teks dan Terjemah ... 54

2. Kata-kata Kunci ... 55

3. Munasabah dan Sabab Nuzul ... 57

4. Tafsir 4.1. Klasik: 4.1.1. Ibnu Katsir... 57

4.1.2. Al-Thabari ... 62

4.2. Tafsir Modern 4.2.1 Sayyid Qutub... 63

4.2.2. Quraish Shihab ... 68

BAB IV HERMENEUTIKA NASR HAMID ABU ZAYD DAN PENAFSIRAN AYAT QITÂL A. Hermeneutika Humanis Nasar Hamid Abu Zayd ... 74

B. Penafsiran Ayat Qitâl ... 80

C. Pemahaman Teroris Tentang Ayat Qitâl ... 85

D. Relevansi Penafsirannya Dalam Wacana Tafsir Qitâl ... 86

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 91

B. Saran-saran ... 92

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karen Amstrong dalam bukunya Sejarah Tuhan: Kisah 4000 tahun pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia menyatakan dari sekian banyak tindakan radikalisme bermotif agama selalu mengklaim dan membenarkannya atas nama Tuhan. Bahkan lebih jauh Amstrong menilai Tuhan seperti barang dagangan yang diobral murah karena tidak terhitung kejahatan mengerikan telah dilakukan atas nama-Nya.1 Lebih dalam lagi Junaidi Abdillah menilai kekuatan yang terkandung dalam klaim ‘atas nama Tuhan’ sangat dahsyat, melebihi dominasi otoritas politik, hal ini dikarenakan ideologi agama merupakan sesuatu yang bersifat sakral dan transendental. Kedua faktor ini menjadi magnet utama yang mampu menarik emosi keagamaan seseorang. Pada akhirnya, konsep “atas nama Tuhan” menjadi spirit radikalisme, lebih dari itu menjadi justifikasi berbagai tindak kejahatan kemanusiaan.

Junaidi menilai bahwa tindakan justifikasi atas perilaku radikalisme merupakan imbas dari reduksi tafsir agama. Lebih lanjut, fenomena ini imbas dari era truth claim (klaim kebenaran). Ciri utamanya sikap reaksioner-destruktif akan pelbagai khilafiyah (Perbedaan). Dampak dari tindakan ini cukup besar; mampu merusak tatanan kerukunan beragama suatu bangsa, baik antar umat satu agama, maupun beda kerukanan antar agama.

1 Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah 4000 tahun pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia, terj: Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2001), h. 511.

(15)

Dari tindakan radikalisme itu Junaidi menilai akan berimbas pada rusaknya simbol-simbol peradaban dan keluhuran martabat manusia, menggoyahkan struktur kehidupan bersama, serta menebarkan citra buruk terhadap agama itu sendiri. Pemanfaatan bahasa dan simbol agama untuk tujuan radikalisme sejatinya menelanjangi nilai luhur agama itu sendiri. 2

Dalam artikelnya Junaidi membagi gerakan fundamentalis agama menjadi beberapa karateristik; Pertama, skripturalisme; yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tidak mengandung kesalahan. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika.

Teks Al-Qur’an dalam pandangan sekte ini harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya. Nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks, bahkan terhadap teks-teks yang satu sama lain bertentangan sekalipun.

Selanjutnya, pada tahap ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme yang dianggap merongrong kesucian teks. Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis yang dianggap membawa manusia semakin jauh melenceng dari doktrin literal kitab suci. Kelima, monopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalisme radikal biasanya cenderung menganggap dirinya sebagai penafsir yang paling absah dan paling benar, sehingga cenderung memandang sesat kepada kelompok lain yang tidak sealiran. 3

Lebih jauh bahkan John Esposito menilai bahwa Islam sebagai agama yang memiliki teks suci (Al-Qur’an) melalui ayat-ayat yang

“dicurigai” memiliki pesan dan ajaran radikalisme. Oleh karenanya banyak

2 Junaidi Abdillah, “Dekonstruksi Tafsir Ayat-Ayat Kekerasan”, Jurnal Analisis, Volume XI, Nomor 1, (Juni, 2011), h. 7

3 Junaidi Abdillah, “Dekonstruksi Tafsir Ayat-Ayat Kekerasan”, h. 77

(16)

muncul penafsiran yang beragam. Sayangnya, belakangan muncul upaya penafsiran tunggal terhadap ayat-ayat polemik tersebut. akibatnya penafsiran itu menimbulkan fanatisme buta. Penafsiran demikian dianggap sebagai realitas kebenaran mutlak.

Salah satu ayat teks yang selalu dikaitkan dengan kekerasan adalah kata “jihad”. Teks ayat ini sering digunakan dalam pelbagai aksi kekerasan atas nama agama. Sebagai doktrin agama, konsep jihad menjadi daya ampuh untuk melakukan ajaran kekerasan. Misalnya lihat dalam QS. Al- Baqarah [2]: 190 yang artinya :

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”.

Selanjutnya ada ayat, surat al-Hajj (22): 39-40 yang artinya : “Telah diizinkan berperang kepada mereka yang diperangi, oleh karena mereka sesungguhnya dianiaya, dan sesungguhnya Allah Maha berkuasa menolong mereka. Yaitu orang-orang yang diusir keluar dari kampungnya dengan tidak ada sesuatu alasan yang patut, kecuali mereka berkata:

Tuhan kami adalah Allah”.

Bila ditilik secara kasat mata teks ayat tersebut terkesan melegitimasi kekerasan. Dalam keadaan ini terjadi penyimpangan makna jihad. Konsep “jihad” disamakan dengan teks perang suci atas nama Tuhan.

Paham ini turut menjadi pijakan legalitas jihad sebagai perang di jalan Allah.

John Esposito menilai bahwa teks jihad bersifat ambivalen atau memiliki dua cabang yang saling bertentangan. Dalam perjalanan sejarah Islam, konsep jihad senantiasa disalahgunakan demi kepentingan tertentu.

Bahkan beberapa tahun ke belakang konsep jihad bergesser makna untuk

(17)

melahirkan revolusi Islam dalam skala global. Inilah titik penafsiran yang kemudian menjadi justifikasi untuk melahirkan ekspresi kekerasan agama.4

Sependapat dengan Jhon, dalam artikelnya Dede Rodin menjelaskan bahwa pemaknaan jihad dan Qitâl dalam Al-Qur’an berbeda dengan tindakan radikalisme. Menurutnya tujuan jihad adalah human welfare dan bukan warfare. Maka jihad merupakan kewajiban setiap muslim selama hidupnya, sedangkan Qitâl merupakan langkah paling akhir setelah tidak ada cara lain lagi yang dapat ditempuh, itu pun harus melalui berbagai persyaratan yang sangat ketat.5

Selanjutnya ada teks “Qitâl ”. Teks ayat ini banyak diartikan sebagai perang atau membunuh. Ayat ini sering dijadikan sebagai justifikasi atas tindakan kekerasan berbasis agama. Lihat saja ayat 5 surat at-Taubah (9) yang artinya:

“Jika habis bulan-bulan Haram, maka bunuhlah orang-orang musrik itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan untuk mereka.”

Dalam surah at-Taubah juga terdapat ayat yang ditengarai sebagai sumber radikalisme agama. Tepatnya Ayat 29 yang artinya:

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang yang diberikan al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah, sedangkan mereka dalam keadaan patuh dan tunduk.”

4 Esposito, “Unholy War, Teror Atas Nama Islam”, (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003) h. 30-31.

5 Dede Rodin “Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat Kekerasan dalam Al-Qur’an” Jurnal Addin Vol. 10 No. 1 Februari 2016, h. 29

(18)

Merujuk apa yang ditulis Arif Chasbllah tentang “Deradikalisasi Penafsiran Ayat-ayat Qitâl ”, Ia menemukan bahwa secara internal paham radikal dalam Islam disebabkan oleh pemahaman teks secara parsial tanpa melihat sisi historisnya. Menurutnya kepentingan kelompok tertentu seringkali menggunakan ayat Al-Qur’an untuk melegitimasi penyerangan terhadap non-muslim. Hal ini bertentangan dengan Islam yang mengajarkan perdamaian, karena perang bukanlah satu-satunya instrument berinteraksi dengan non muslim namun sebagai sarana menegakkan keadilan. Bisa saja perang menjadi boleh jika kondisi umat Islam sama kondisinya ketika ayat Qitâl itu diturunkan yaitu ketika umat Islam ditindas dan diperlakukan semena-mena. Oleh karenanya memahami ayat-ayat Qitâl diperlukan aspek historis untuk memahaminya.6

Selain itu, Abdul Ghofur Maimoen dalam artikelnya tentang Peperangan Nabi Muhammad SAW. dan Ayat-ayat Qitâl menggolongkan ayat-ayat Qitâl kepada ayat mutasyabihat yang memiliki kemungkinan di- naskh dan pembacaan ayat mutasyabihat pun mengacu pada ayat muhkamat. Ghofur menemukan bahwa sikap ramah dan damai merupakan muhkamat sehingga sikap ramah dan damai bersifat permanen dan hanya bisa berubah karena kebutuhan darurat dan kondisional.7

Melihat pembahasan sebelumnya begitu banyak pemaknaan Qitâl yang menjadi bumerang untuk melegitimasi tindakan radikal. Pembacaan ayat-ayat Qitâl yang tidak didasari pengkajian sisi historis dan terjebak dalam teks tanpa melihat konteks menjadi acuan untuk membenarkan tindakan radikal kepada non-muslim.

6 Arif Chasbullah dan Wahyudi “Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Qitâl ” Jurnal Fikri, Vol. 2 No.2 Desember 2017, h. 421

7 Abdul Ghofur Maimoen “Peperangan Nabi Muhammad SAW. dan Ayat-ayat Qitâl ” Jurnal Al-Itqan Vol. 1 No. 1 Februari-Juli 2015, h. 23

(19)

Melihat problematika di atas, tak berlebihan jika penulis merujuk apa yang dikatakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd yang mengatakan,

“Peradaban Islam dan Arab sesungguhnya adalah peradaban yang berputar- putar di sekitar teks,”.8 Menurutnya interpretasi terhadap teks-teks agama bagi wacana agama merupakan salah satu mekanisme yang sangat penting.

Untuk mengatsi kejumudan dalam penafsiran interpretasi yang sejati, yaitu yang menghasilkan makna teks, menuntut pengungkapan makna melalui analisis atas pelbagai level konteks. Sayangnya, wacana agama biasanya mengabaikan keseluruhannya, demi memproteksi pelacakan makna yang telah ditentukan sebelumnya.9

Nasr Hamid Abu Zayd pada dasarnya mencoba memakai analisa hermeneutika konstruktif dalam berbagai kajian Al-Qur’an yang dilakukannya. Dia mengidentifikasi bahwa masalah mendasar dalam kajian Islam adalah masalah penafsiran teks secara umum, teks historis maupun teks keagamaan, Al-Qur’an. Dalam kajian tentang Al-Qur’an, Abu Zayd memandang bahwa hermeneutika berkontribusi pada peralihan perhatian penafsiran Al-Qur’an ke arah penafsir (mufassir).10

Menurut Kusmana dalam pendekatan hermeuntikanya, Abu Zayd banyak meminjam konsep hermeneutika Gadamer. Peminjaman tentang dialektika hermeneutika Gadamer dipergunakan sebagai pisau analisis pengkajian teks Al-Qur’an. Di sisi lain, ia juga meminjam konsep Paul Ricour. Dari Ricour, Ia mengaitkan pentingnya metode, di samping

8 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nass: Dirāsah fī ‘Ulūm Al-Qur’ān (Kairo:

al-Hay’ah al-Misrī ‘Āmmah lil-Kitāb, 1993), h. 11

9 Nasr Hamid Abu Zayd, Teks Otoritas Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema, (Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 111

10 Kusmana, “Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd Al-Qur’an Sebagai Wacana”, Jurnal Kanz Philosophia, Volume 2, Number 2, (December, 2012), h.

267

(20)

pentingnya Bahasa. Hal yang tak tampak pada Gadamer. Pendeknya, Ricouer sangat membantu dalam artian pentingnya metode.

Sebagai lanjutan dari hermeneutika dialektis di atas, Nasr Hamid kemudiam melangkah ke arah vertikal dan horizontal. Dalam dialektis hermeneutika vertikal; Al-Qur’an menempati posisi sentral sebagai tempat terjadinya komunikasi antara Tuhan dan manusia. Sedangkan dalam kajian horizontal, Al-Qur’an sebagai penyebaran pesan Al-Qur’an oleh Muhammad setelah diterima atau penyebaran pesan melalui tafsir. Pendek kata, dimensi vertikal merupakan dimensi tekstualitas Quran, sedangkan dalam horizontal, melangkah jauh, sebagai wacana Al-Qur’an. Wacana al- Quran mewujud dalam konteks kehidupan sehari-hari, sehingga Ia tidak hanya bertutur dengan bahasa Arab di mana wahyu itu diturunkan, tapi juga mempengaruhi pemikiran den kebudayaan penerimanya.11

Untuk menjelaskan hermeneutika ini diperlukan pemikiran yang bebas. Dalam artian tak terjebak dalam manipulasi kekuasaan, dogma, sosial, atau agama agar tercapai formulasi yang ideal. Untuk itu perlu mengkonstruksi hermeneutika demokratik terbuka, yaitu hermenutika humanistik. Dalam pengertian konstruksi hermeneutika humanistik, Nasr Hamid menjelaskan titik utamanya adalah wacana versus mushaf, rekonstruksi dan manipulasi teks. Dalam penjelasan ini tampak Nasr Hamid memberikan pemahaman bahwa wacana Al-Qur’an itu dari sisi internal Al-Qur’an itu sendiri, bukan dari pengaruh luar Quran. Pendeknya Al-Qur’an mewacanakan berbagai isu kehidupan manusia, mulai asal muasal, selama di dunia dan jalan kembali manusia.

11 Kusmana, Hermeneutika Humanistik..., h. 280

(21)

Pemahaman Al-Qur’an sebagai teks (mafhum an-Nashsh) tentu disampaikan dalam bentuk bahasa. Bila dalam tahap ini Al-Qur’an termanifestasi dalam bahasa, maka tak tertutup kemungkinan dalam bahasa itu dimensi budaya, sehingga dalam keadaan ini tercipta dialektika antara teks dan konteks. Ini adalah konsep dasar tentang pemikiran hermeneutika Nasr Hamid. Pada tahap selanjutnya ia pun melangkah ke arah yang lebih besar, yakni dengan konsep Hermeneutika Humanistik.

Dengan mengatakan “Baru-baru ini saya mulai menyadari bahwa menempatkan Al-Qur’an sebagai teks saja mengurangi statusnya dan mengabaikan fakta bahwa Al-Qur’an sebenarnya masih berfungsi sebagai wacana dalam kehidupan sehari-hari” 12

Berangkat kajian di atas, maka yang menjadi peneliti mencoba menawarkan reinterpretasi tentang ayat-ayat Qitâl dalam Al-Qur’an yang diangggap melegalkan kekerasan dan gerakan fundamentalis. Peneliti mengajukan judul “Makna Qitâl Dalam Perspektif Nashr Hamid Abu Zayd”

B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Beberapa masalah yang dapat teridentifikasi dari latar belakang di atas adalah:

Tindakan radikalisme yang membawa nama tuhan sebagai pembenaran atas apa yang dilakukannya merupakan salah satu sebab dari reduksi tafsir agama yang memahami teks secara literal. Pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar peran teks terhadap konteks maupun sebaliknya?

12 Nasr Hamid Abu Zayd, Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics (Utrecht: Humanistics University Press, 2006) h. 10. Dan Kusmana, Hermeneutika Humanistik, h. 267

(22)

i. Ayat-ayat Qitâl dalam Al-Qur’an sering disalahgunakan untuk kepentingan satu kelompok sebagai dalil pembenaran tindakan radikalisme terhadap non-muslim. Namun di sisi lain Islam mengajarkan untuk menjaga perdamaian dan hubungan baik sesama manusia. Apa yang mempengaruhi pemaknaan ayat-ayat Qitâl ini sebagai legalitas radikalisme?

ii. Hasil penelitian yang dilakukan para sarjana ditemukan bahwa dalam belbagai aksi para pembaca terjebak dalam literlek ayat sehingga makna teks menjadi buram. Bagaimana Ayat-ayat Qitâl dijelaskan menggunakan pendekatan Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd?

2. Rumusan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas penulis memilih masalah point kedua Masalah tersebut penulis rumuskan sebagi berikut:

a. Bagaimana menjelaskan ayat-ayat Qitâl dengan menggunakan pendekatan hermeneutika humanistik Nasr Hamid Abu Zayd?

b. Bagaimana relevansi penafsiran tersebut dalam wacana tafsir Qitâl ? 3. Pembatasan Masalah

Penelitian ini akan menjelaskan tentang pemahaman ayat-ayat Qitâl yang sering disalahgunakan untuk legalitas pelaku radikalisme. Penulis membatasi penelitian ayat Qitâl ini menggunakan pendekatan hermeneutika humanistik Nasr Hamid Abu Zayd yang penulis nilai dapat memberikan sudut pandang baru dalam memahami kontekstual ayat.

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya, maka tujua yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

(23)

1. Untuk menjelaskan penafsiran ayat-ayat Qitâl dalam Al-Qur’an 2. Untuk menjelaskan ayat-ayat Qitâl menggunakan pendekatan

Hermeneutik Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd dalam Al-Qur’an.

3. Menambah khazanah keilmuan dalam menguraikan ayat-ayat Qitâl . 4. Untuk memenuhi syarat kelulusan program S1 Fakultas Ushuluddin

Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam meraih gelar S. Ag. (Sarjana Agama)

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini mempunyai kegunaan secara praktis dan teoritis.

Adapun kegunaan tersebut sebagai berikut:

1. Dapat menguraikan ayat-ayat Qitâl dalam Al-Qur’an dengan pendekatan hermeneutik humanistik Nasr Hamid Abu Zayd yang dianggap melegitimasi radikalisme.

2. Diharapkan penelitian ini menjadi referensi akademis bagi civitas akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan pelbagai insan akademis lainnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini adalah menelaah karya-karya tulis seputar radikalisme yang didasari ayat-ayat Qitâl dan karya-karya tulis tentang Nasr Hamid Abu Zayd berupa kitab, buku, skripsi ataupun tesis, untuk kemudian penulis cari perbedaan temanya dengan karya tulis yang sedang penulis susun. Dalam mencari data-data yang penulis butuhkan, penulis menemukan beberapa tulisan yang berkaitan tapi tidak sama dengan kajian yang akan dibahas oleh penulis. Tulisan-tulisan tersebut yaitu:

1. Radikalisasi Atas Nama Agama

(24)

Penelitian dalam bentuk artikel oleh Arif Chasbullah dan Wahyudi tentang Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-ayat Qitâl yang menyimpulkan bahwa secara internal paham radikal dalam Islam disebabkan oleh pemahaman teks secara parsial tanpa melihat sisi historisnya.13

Penelitian dalam bentuk artikel oleh Dede Rodin mengenai Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat “Kekerasan” dalam Al-Quran yang mengemukakan bahwa pemaknaan jihad dan Qitâl dalam Al-Qur’an berbeda dengan tindakan radikalisme. Dede menjelaskan bahwa tujuan jihad adalah human welfare dan bukan warfare.14

Penelitian dalam bentuk artikel oleh Junaidi Abdillah tentang Dekonstruksi Tafsir Ayat-Ayat Kekerasan. Penulis menyimpulkan kalangan radikalis telah menjadikan Islam sebagai sumber kekerasan yang sama sekali bertolak belakang dengan Al-Qur’an yang tidak mengizinkan tindakan kekerasan atas nama Tuhan.15

2. Hermeneutika Nasar Hamid Abu Zayd

Penelitian dalam bentuk artikel oleh Muhammad Fauzinuddin Faiz mengenai Teori Hermeneutika Al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd dan Aplikasinya Terhadap Wacana Gender Dalam Studi Hukum Islam Kontemporer dalam penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa teori hermeneutika Nashr Hamid Abu Zayd yang bercorak humanis-kritis dapat memberikan teori interpretasi yang dapat menyingkap sisi keadilan

13 Arif Chasbullah dan Wahyudi “Deradikalisasi Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Qitâl ” Jurnal Fikri, Vol. 2 No.2 Desember 2017, h. 421

14 Dede Rodin “Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-ayat Kekerasan dalam Al-Qur’an” Jurnal Addin Vol. 10 No. 1 Februari 2016, h. 29

15 Junaidi Abdillah “Dekonstruksi Tafsir Ayat-Ayat Kekerasan” Jurnal Analisis Vol. XI No. 1 Juni 2011, h. 298

(25)

dalam sebuah teks terutama berkaitan dengan teks-teks diskriminatif terhadap perempuan, keadilan, demokrasi dan HAM.16

Penelitian dalam bentuk artikel oleh Kusmana mengenai Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd Al-Qur’an Sebagai Wacana dalam penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa Al-Qur’an Sebagai wacana diklaim sebagai perluasannya untuk melakukan pembacaan baru dengan semangat konstruksi lebih utuh lagi. Menurut penulis Hermeneutika ini berpotensi menggugat kemampuan dan kontroversial tapi niscaya.17 Penelitian dalam bentuk artikel oleh Fikri Hamdani mengenai Nasar Hamid Abu Zayd dan Teori Interpretasinya dalam penelitian ini penulis mengemukakan pemikiran Nasar Hamid Abu Zayd tentang teori intepretasi/metode penafsiran terhadap Al-Qur’an dan pembahasan yang bersifat deskriptif-analitik. Penulis menemukan bahwa dalam metodenya Nasar Hamid mencoba mengungkap makna dan sifnifikansi (maghna) yang kemudian memunculkan makna “yang tak terkatakan”.18

Penelitian dalam bentuk artikel oleh Iqbal Hasanuddin mengenai Mempertimbangkan Hermeneutik ala Nasr Hamid Abu Zayd dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa pendekatan filsafat barat dalam memahami Al-Qur’an secara kontekstual dapat dilakukan untuk mendapatkan makna yang lebih sesuai dengan kondisi kekinian di tempat kita berada (saat ini). Penulis juga menunjukan model pembacaan Nasr Hamid Abu Zayd sebagai salah

16Muhammad Fauzinuddin Faiz “Teori Hermeneutika Al-Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd dan Aplikasinya Terhadap Wacana Gender Dalam Studi Hukum Islam Kontemporer” Jurnal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, vol. 7 no. 1 April 2015, h. 56-57

17 Kusmana “Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd Al-Qur’an Sebagai Wacana” Jurnal Fakultas Ushhuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kanz Philoshopia vol. 2 no. 2 Desember 20112, h. 265

18 Fikri Hamdani “Nasar Hamid Abu Zayd dan Teori Inerpretasinya” jurnal Program Studi Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 1

(26)

satu contoh bagaimana pendekatan filsafat itu digunakan dalam memahami Al-Qur’an.19

Penelitian dalam bentuk artikel oleh Alfitri tentang Studi Qur’an Kontemporer: Telaah atas hermeneutika Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd. Penulis menyimpulkan untuk memahami karya Nasr Hamid Abu Zayd harus dipahami dalam konteks keagamaan dan politik mesir kontemporer karena menurutnya kritiknya yang pedas tentang teks-teks keagamaan dan lainnya tidak dapat dipisahkan dari perdebatan kaum Islamis dan Sekularis Muslim di Mesir.20

Penelitian dalam bentuk skripsi oleh Fitria Gustina tenteng Hermeneutika Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd. Penulis menyimpulkan bahwa Nasr Hamid Abu Zayd cenderung menganggap peradaban ini dengan peradaban teks yaitu peradaban yang lahir dari pergulatan kreatif dan terus menerus masyarakat muslim dengan teks dan lingkungan atau penulis menyebutnya dengan teks sebagai sentral peradaban.21

3. Ayat-Ayat Qitâl

Penelitian dalam bentuk artikel oleh Abdul Ghofur Maimoen tentang Peperangan Nabi Muhammad SAW. dan Ayat-ayat Qitâl menggolongkan ayat-ayat Qitâl kepada ayat mutasyabihat yang memiliki kemungkinan di-naskh dan pembacaan ayat mutasyabihat pun mengacu pada ayat muhkamat. Ghofur menemukan bahwa sikap ramah dan damai merupakan muhkamat sehingga sikap ramah dan damai

19 Iqbal Hasanuddin “Mempertimbangkan Hermeneutik ala Nasar Hamid Abu Zayd dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer” Jurnal Kelompok Kajian ISFA Jakarta.

Refleksi Vol. 13 No. 4 April 2013, h. 529

20 Alfitri “Studi Qur’an Kontemporer: Telaah atas hermeneutika Qur’an Nashr Hamid Abu Zayd” Jurnal Millah STAIN Samarinda Vol. II No. 1 Agustus 2002, h. 63-64

21 Fitria Gustina “Hermeneutika Al-Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd” Skripsi Jurusan Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta 2007, h. 107

(27)

bersifat permanen dan hanya bisa berubah karena kebutuhan darurat dan kondisional.22

4. Pandangan Abu Zayd Tentang Wahyu

Penelitian dalam bentuk artikel oleh Miftahuddin dan Irma Riyani tentang Wahyu Dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd. Penulis menyimpulkan Nasr Hamid Abu Zayd mengkaji wahyu dengan analisis unsur budaya sehingga yang membedakan dengan penafsir lainnya adalah antara wahyu dan budaya. 23

F. Metedologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Metode yang penulis gunakan adalah metode kualitatif karena yang digunakan dalam penelitian ini berupa kepustakaan (library research).

Sebagaimana ditulis oleh Rulam Ahmadi yang merujuk pada Creswell, bahwa karakteristik penelitian kualitatif dilihat dari segi tahapan adalah mengeksplorasi masalah dan mengembangkan sebuah tema utama, mempunyai tinjauan literatur, membuat pertanyaan-pertanyaan penelitian secara khusus dan umum, mengumpulkan berdasarkan kata- kata, dan terakhir menganalisis data untuk deskripsi.24

22 Abdul Ghofur Maimoen “Peperangan Nabi Muhammad SAW. dan Ayat-ayat Qitâl ” Jurnal Al-Itqan Vol. 1 No. 1 Februari-Juli 2015 h. 24

23 Miftahuddin dan Irma Riyani “Wahyu Dalam Pandangan Nasr Hamid Abu Zayd” Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir Vol. 3. No. 1 Juni 2018, h. 17-18

24 Rulam Ahmadi, Metodologi Penelitian Kualitatif (yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016) h. 17-18

(28)

2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam data ini adalah sumber primer dan sekunder yang berkaitan langsung dengan obyek penelitian. Literatur yang digunakan sebagai data primer adalah Al-Qur’an dan karya-karya Nasr Hamid Abu Zayd dalam Bahasa Arab yang didukung dengan karya tulis yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, seperti:

Teks Otoritas Kebenaran, Tekstualitas Al-Qur’an Kritik Terhadap Ulum al-Quran, Kritik Wacana Agama, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan,

Adapun data sekundernya (pendukungnya) adalah buku-buku pakar tafsir yang terkait, Karya-karya yang berupa tesis dan disertasi terkait, dan Kitab-kitab tafsir yang dianggap terkait dengan masalah.

3. Pengolahan Data

Dalam mengumpulkan dan mengolah data yang berkaitan dengan ayat qitâl dan hermeneutika Abu Zayd penulis menggunakan tahapan berikut:

a. Deskripsi

Deskripsi merupakan langkah awal dalam melakukan pengolahan data. Dengan deskripsi, maka penelitian dalam skripsi ini menggunakan penuturan dan penafsiran data yang tersedia, misalnya, mendeskripsikan kondisi yang berhubungan satu sama lain. Deskripsi juga dapat menyajikan objek-objek atau kasus-kasus tertentu agar lebih detail.25

25 Anton Baker dan A. Chris Zubair, Metodologi, Penelitian Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1990, h. 54

(29)

b. Analisis

Adanya deskripsi tentang istilah-istilah tertentu yang membutuhkan pemahaman secara konsepsional guna menemukan pemahaman lebih jauh, dengan melakukan perbandingan pikiran-pikiran yang lain inilah yang disebut analisis.26 Tahap ini merupakan lanjutan dari teknik deksripsi.

Setelah menerapkan metode di atas penulis mencoba menerapkan metode yang digunakan tokoh dalam menganalisis ayat kemudian menerapkannya dengan ayat yang penulis teliti.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini diklasifikasikan menjadi lima bab dan setiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab yang saling berkaitan. Sistematika penulisan dam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I berisikan tentang latar belakang, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Pada bab I isinya merupakan pandangan umum dari isi skripsi ini.

Bab II berisikan tentang latar belakang Nasar Hamid Abu Zayd, biografinya serta karya-karya yang ditulisnya. Dalam bab ini juga menjelaskan pemikiran Abu Zayd tentang Islam, al-Qur’an dan tafsir.

Bab III berisikan pembahasan tafsir dan hermeneutik mulai dari pengertian dan ruang lingkupnya. Kemudian pembahasan Qital dalam al- Qur’an serta penafsiran ayat Qital secara teks dan terjemah, kata kunci dan sabab nuzul. Bab ini juga menjelaskan ayat qital dengan pandangan tafsir

26 Louis Katsof, Pengantar Filsafat, terjemahan Soejono Soemargo, yogyakarta, Tiara Wacana, 1992, h. 18

(30)

klasik: tafsir Ibnu katsir dan tafsir al-Thabari serta tafsir modern: tafsir Sayid Qutub dan Quraish Shihab.

Bab IV, berisikan tentang Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd kemudian penafsira ayat qital menggunakan metode hermeneutikanya serta pemahaman teroris terhadap ayat qital, yang terakhir menjelaskan relevansi penafsirannya dalam wacana tafsir qital.

Bab V peneliti menjawab masalah yang diangkat dan memberikan rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut dan untuk pemanfaatan praktis.

(31)

18 BAB II

NASHR HAMID ABU ZAYD: Biografi dan Pemikiran

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang latar belakang Nasar Hamid Abu Zayd, biografi, karya dan pemikirannya baik pandangannya tentang Islam, pandangannya tentang al-Qur’an dan pandangannya tentang tafsir.

A. Latar Belakang

Nashr Hamid Risk Abu Zayd lahir pada 10 Juli 1943 di Desa Qahafah dekat kota Thantha Mesir dalam lingkungan keluarga yang taat beragama.1 Ayahnya yang merupakan aktivis Al-Ikhawan Al-Muslimin pernah dipenjara ketika Perang Dunia II dan meninggal saat uisia Nashr Hamid 14 tahun. Nasr Hamid mulai belajar menulis dan menghafal al- Qur’an sejak usianya empat tahun dan dengan kecerdasannya dalam usia delapan tahun Nasr Hamid telah menghafal 30 Juz al-Qur’an. Selain telah menghafal al-Qur’an Nasr Hamid juga seorang qori yang pandai dan dapat menceritakan isi al-Qur’an sehingga Nasr Hamid mendapat julukan “Sayikh Nasr” di kampungnya.2

Nasr Hamid yang merupakan pemikir modernis mesir banyak dikenal di kalangan pemerhati perekembangan pemikiran Islam, bahkan banyak dari karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Pemikirannya banyak diakui para dosen dan diajarkan di beberapa

1 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutik Nashr Hamid Abu Zayd (Jakarta: TERAJU, cet. I, 2003), h. 15

2 Navid Kermani, From Revelation to Interpretation: Nashr Hamid Abu Zayd and the Literary Study of the Qur’an, dalam Moderen Muslim intelectual and the Qur’an, ed, by Suha Taji-Farouki, 2014 h. 169.

(32)

perguruan tinggi. Pengajarannya pun hampir tanpa kritik dan pemikirannya banyak dipuja hingga mendapat banyak penghargaan sebagai “hero” dalam tumbuhnya kebebasan berpikir. Namun di negara asalnya dia diputuskan sebagai orang yang kafir yang disahkan oleh mahkamah dan didukung lebih dari 2000 ulama.3

B. Biografi

Nasr Hamid memulai pendidikan formalnya di kampung halamannya di Thantha pada tahun 1951. Ayahnya menyekolahkannya di Madrasah Ibtidaiyah dan setelah lulus keinginannya melanjutkan ke Madrasah Menengah Umum terhambat karena berbenturan dengan keinginan ayahnya yang menghendaki untuk melanjutkan ke sekolah menengah kejuruan teknologi dengan harapan dapat segera mendapatkan pekerjaan dengan waktu yang cepat.4

Pada tahun 1952 terjadi krisis kepemimpinan di mesir yang melahirkan “Revolusi Juli” tepatnya pada tanggal 26 Juli 1952 yang merupakan perpindahan dari sistem kerajaan ke sistem republik dengan ditandai pergantian kepemimpinan Raja Faruq ke tangan Jamal Abd Nashr.5 Kemudian pada 1954 ketika pasukan Al-Ikhwan Al-Muslimin semakin menguat dan hampir di setiap desa ada cabangnya membuat Nasr Hamid tertarik untuk menjadi anggotanya padahal umurnya masih 11 tahun saat itu. Walaupun saat itu sempat tidak diijinkan untuk menjadi anggotaa karena umurnya yang masih kecil namun karena kasian ketua cabang di desanya menuliskan namanya sebagai daftar anggota untuk sekadar menyenangkannya. Karena daftar keanggotaannya dalam Al-Ikhwan Al-

3 Heri Syamsuddin M.A, Al-Qur’an Dihujat, (Jakarta: Al-Qalam, Cet I 2007) h.

1

4 A. Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan: wacana majas dalam al- Qur’an menurut Mu’tazilah (Mizan, 2003), h. 10

5 A. Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan…, h. 11

(33)

Muslimin ini dia pernah dijebloskan ke penjara selama satu hari dan dikeluarkan karena alasan di bawah umur. Sejak saat itu Nasr Hamid mulai tertarik dengan pemikiran Sayyid Qutub setelah membaca karyanya yang berjudul al-Islam wa al-Adalah al-Ijtima’iyyah (Islam dan Keadilan Sosial) terlebih pada pandangannya tentang keadilan manusiawi dalam menafsirkan Islam.6

Beranjak remaja Nasr Hamid banyak menghabiskan waktu di mesjid dengan mengumandangkan adzan dan kadang menjadi imam shalat seperti kebanyakan orang dewasa di Mesir. Setelah lulus dari Sekolah Teknik Thanta pada 1960, Nasr Hamid bekerja di Organisasi Teknisi Nasional Kairo sekaligus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian ayahnya pada 1957. Revolusi Juli telah membentuk karakter Nasar Hamid menjadi pribadi yang kritis, penuh tantangan dan bertanggung jawab.7

Keinginan Nasr Hamid untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi masih menyulut semangatnya hingga akhirnya dia lulus ujian persamaan pada 1964 dan mulai mempublikasikan tulisan-tulisannya di jurnal Al-Adab yang dipimpin oleh Amin Al-Khuli yang menjadi awal hubungan intelektual antara Nasar Hamid dan Amin Al-Khuli. Minatnya pada kritik sastra pun tampak pada dua tulisan awalnya yaitu “Hawl Adab al ‘Ummal wa Al-Falahin” (tentang sastra, buruh dan petani)8 dan “Amah Al-Aghniyyah Al-Mishriyyah” (Krisis Lagu Mesir).9

Pada 1968 Nasr Hamid mulai kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Kairo, dari sini mulai terlihat semangat intelektualnya dengan menjadi mahasiswa yang kritis dan progresif.10 Agar

6 Moch Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan Kritis...., h. 16.

7 A. Kasdi dan Hamka Hasan, Menalar Firman Tuhan, h. 10

8 Moch Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan Kritis..., h. 15

9 Moch Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan Kritis..., h. 17

10 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd: Kritik Teks Keagamaan, eLSAQ Press (Yogyakarta, 2003) h. 39.

(34)

tetap bisa bekerja pada siang harinya Nasr Hamid masuk kuliah pada malam hari, namun meskipun bekerja Nasr Hamid berhasil lulus pada tahun 1972 dengan predikat cum laude dan pada tahun yang sama dia diangkat menjadi asisten dosen di jurusan Bahasa Arab di universitasnya.11

Kebijakan pemimpin fakultas yang mewajibkan asisten dosen mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset Master dan Doktor membuat Nasr Hamid berpindah bidang keilmuan yang asalnya murni linguistik dan kritik sastra menjadi studi Islam, khususnya studi Al- Qur’an.12 Nasr Hamid sempat ragu dengan keputusannya mengambil studi Islam jika melihat kejadian 25 tahun silam yang menimpa Muhammad Ahmad Khalafullah yang mendapat problem serius karena menggunakan studi kritik sastra (literer) atas narasi-narasi al-Qur’an dalam disertasinya.

Disertasi yang berjudul al-Farm Qhashash fi al-Qur’an al-Karim (The Art of Narration in The Qur’an) mendapat penolakan dari pihak universitas karena memandang bahwa cerita yang ada dalam al-Qur’an bukan merupakan cerita sejarah belaka melainkan cerita bercorak sastra yang mengandung perumpamaan (examplication, amtsal), Peringatan (exhortation, mau’idzat), nasihat (admonition, ‘ibrat), dan petunjuk keagamaan (religion guidance, hidayah).13 Setelah penolakan itu ia ditempatkan di tempat kerja yang tidak dapat mengajar yaitu di kementrian pendidikan jauh dari bidang keilmuannya. Sedangkan Amin al-Khulli yang merupakan pembimbing disertasinya dilarang mengampu dalam bidang studi Islam.14

11 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd: Kritik Teks Keagamaan.., h. 38

12 Moch Nur Ichwan “Meretas Kesarjanaan Kritis..., h. 17

13 M. Nur Cholis Setiawan, the literary Interpretation of The Qur’an, dari Al- Jami’ah: Journal of Islamic Studies, No. 61, th 1998, h. 99-100

14 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al Kitab ad-Dini, terj, Khoiron Nahdiyyin, Kritik Wacana Agama (Yogyakarta: LKiS, 2003) h. 4

(35)

Selain Khulafullah jauh sebelum itu pun telah banyak muncul perdebatan lain yaitu ketika dipublikasikannya buku Ali Abdul Razik yang berjudul “al-Islam wa Ushul al-Hukm” tahun 1925. Selanjutnya ada Thantha Husain dengan karyanya “fi Syi’r al-Jahili” Tahun 1928.15 Melihat apa yang telah terjadi Nasr Hamid sadar akan resiko yang mungkin diterimanya akan serupa dengan seniornya, namun dengan berbagai pertimbangan ia tetap menjadi pengajar dengan spesialisasi studi Islam yang dibebankan dan dipercayakan kepadanya. Sejak saat itu dia mulai melakukan studi tentang al-Qur’an, problem interpretasi dan hermeneutika.16 Nasr Hamid juga mengajar Bahasa Arab untuk orang asing di Centre for Diplomatis dan Kementrian Pendidikan selama priode 1976- 1978, di samping mengajar di Universitas Kairo. Dengan kecerdasannya panitia jurusan menetapkannya sebagai asisten dosen dengan mata kuliah pokok “Studi Islam” pada tahun 1982. Kemudian mendapat kehormatan Profesor penuh di bidang yang sama pada tahun 1995.17

Selain pendidikan formal di Kairo, Nasr Hamid juga mendapatkan beberapa penghargaan dan beasiswa. Pada tahun 1975, Abu Zayd mendapatkan beasiswa Ford Foundation Fellowship untuk melakukan studi selama dua tahun di American University yang terdapat di Kairo. Dua tahun kemudian ia mendapat gelar MA dengan predikat cum laude dari jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Kairo dengan tesis yang berjudul “Al- Ittijah Al-‘Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyah Al-Majaz fi Al-Qur’an

‘inda Al-Mu’tazilah (Reasionalisme dalam Tafsir: sebuah Studi tentang problem metafora menurut Mu’tazilah), dan dipubliskan pada 1982. 18

15 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd: Kritik Teks Keagamaan.., h. 31-32.

16 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd: Kritik Teks Keagamaan.., h. 17

17 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd: Kritik Teks Keagamaan.., h. 39

18 Ali Harb (terj.), Naqd an-Nashsh (Kritik Nalar Al-Qur’an) (Yogyakarta: LKiS, cet. II, 2003), h. 307

(36)

Pada tahun 1978 sampai 1979, menjadi fellow pada Centre for Middle East Studies di Universitas Pensylvania, Philadelphia, USA. Di sana dia mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humanistik terkhusus teori-teori cerita rakyat (folklore) dan pada priode ini Nasr Hamid menjadi aktif mengkaji Hermeneutik Barat. Ia menulis artikel berjudul “al-Hirminiyuthiqa wa Mudhilat Tafsir an Nashah” (Tafsir dan problem penafsiran teks).19 Kemudian memperoleh Abdel Aziz al-Ahwani Prize for Humanities pada tahun 1982. Sejak tahun 1985-1989 menjadi Profesor tamu di Osaka University of Foreign Student, Jepang, serta menjadi tamu di Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1995-1998.20 Ia menikah pada usia 49 tahun dengan seorang Profesor Bahasa Prancis dan Sastra Perbandingan bernama Dr. Ibtihal Ahmad Kamal Yunis pada tahun 1992. Sebulan setelah pernikahannya yaitu pada 9 Mei 1992 ia mengajukan promosi profesor penuh di Universitas Kairo dengan menyerahkan dua bukunya yang berjudul Al-Imam asy-Syafi’I dan Naqd al-Khitab ad-Dini ditambah sebelas peper lain kepada panitia penguji dan apa yang ditakutkannya dulu ketika mengambil studi al-Qur’an terjadi kepadanya seperti seniornya dahulu. Saat pengujian profesor ia dituding sebagai perusak ortodoksi Islam, dituding murtad, dan kasasinya ditolak sehingga harus bercerai dengan istrinya sehingga ia memutuskan untuk meminta perlindungan ke Negara Belanda.21

Meskipun kondisi yang demikian sulit menimpanya saat itu Nasar Hamid memperoleh penganugrahan dari Presiden Tunisia sebagai the Republican Order of Merit for Service to Arab Culture pada bulan Mei 1993. Tak sampai di situ, kasus yang menimpanya ini membuat Nasar Hamid semakin produktif dalam berkarya. Karena kasus yang menimpanya

19 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd: Kritik Teks Keagamaan.., h. 13-49

20 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd: Kritik Teks Keagamaan..,, h. 39

21 Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswad (Bandung: RQis, 2003), h.29- 31

(37)

menjadi sorotan di media Mesir maupun negara Arab lainnya, hingga terdapat tujuh volume keliping tebal yang berisi tulisan yang mendukung maupun menentangnya. Prestasi lain pun iya peroleh pada 1994, Ia ditunjuk sebagai anggota dewan penasihat Encyclopedia of the Qur’an.22

Nasr Hamid Abu Zayd memperoleh gelar profesor penuh pada 1995 dengan mengajukan Sembilan tulisan pada panitia promosi baru, dan pada 26 Juli 1995 Ia bersama istri meninggalkan Mesir menuju Leiden, Belanda.

Ia mengajar sebagai profesor tamu di bidang Studi Islam di Universitas Leiden, tapi karena istrinya mengajar di Universitas Kairo, maka Nashr Hamid membagi waktunya antara Leiden dan Kairo.23

Nasr Hamid meninggal pada usia 67 tahun tepatnya pada hari senin tanggal 5 Juli 2010 di rumah sakit Kairo, disebabkan oleh virus yang dinyatakan dokter sebagai virus langka.24

C. Karya

Dalam karirnya Nasr Hamid banyak menghasilkan karya dalam bidang studi Islam, baik yang bersifat pemikiran Islam secara umum maupun tentang ilmu Al-Qur’an secara khusus. Karya-karya tersebut yaitu:

- Mafhûm al-Nâs Dirâsah Fî Ulûm al-Qur’an (“konsep teks” kajian atas ilmu-ilmu al-Qur’an)

- Al-Ittijâhat al-Aql fî al-Tafsîr: Dirâsat fî Qadiyat al-majâz Ind al- Mu’tazilah (Pendekatan Rasional dalam Interpretasi: Studi terhadap Majaz menurut Kaum Mu’tazilah).

22 Nashr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswad (Bandung: RQis, 2003), h.23

23 Muh. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hemeneutika Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Traju, 2003), h. 23.

24 Kompasiana, diakses pada 07/07/2019

(38)

- Falsafat al-Ta’wîl; Dirâsat fî al-Ta’wil al-Qur’an ‘Ind Muhyiddin Ibn

‘Arabi (Interpretasi Filosofis; Studi Terhadap Interpretasi al-Qur’an menurut Ibn ‘Arabi).

- Naqd al-Khitâb al-Dîni (Kritik Wacana Keagamaan).

- Al-Imâm al-Syafi’I wa Ta’sis al-Aidiûlujiyyat al-Wasatiyyat (Imam Syafi’I dan Pembentukan Ideologi Moderat).

- Al-Nass, al-Sultat, al-Haqiqât (Teks, Wewenang Kebenaran).

- Isykâliyyat al-Qira’at wa Âliyat al-Ta’wil (Problematika Pembacaan dan Mekanisme Interpretasi).

- Al-Tafkîr fî Zamân al-Takfîr (Pemikiran di era Pengkafiran).25

D. Pemikiran 1. Islam

Menurut Nasr Hamid Islam merupakan sebuah “pesan” yang diwahyukan dari Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad, yang merupakan Utusan Allah, dan juga seorang manusia. Pesan yang dimaksud Nasar Hamid di sini merupakan pesan yang mewakili jalinan komunikasi antara pengirim dan penerima melalui sebuah kode atau sistem bahasa.

Karena menurutnya sang pengirim dalam kasus Al-Qur’an tidak bisa menjadi objek kajian ilmiah, maka wajar bila pengenalan ilmiah untuk analisis teks Al-Qur’an semestinya melalui realitas kontekstual dan budayanya. Realitas sendiri merupakan kondisi sosio-politik yang melingkupi tindakan-tindakan dari mereka yang disapa oleh teks, dan juga meliputi penerima teks pertama, yakni Nabi dan Rasulullah. Sedangkan

25 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zayd Kritik Teks Keagamaan, h. 43-46

(39)

kebudayaan di sisi lain adalah dunia konsep-konsep yang diwujudkan dalam bahasa, bahasa yang sama yang di dalamnya Al-Qur’an juga diwujudkan. Dalam hal ini, untuk mengawali realitas kultural kontekstual dalam menganalisis teks Al-Qur’an, sebenarnya, adalah memulai dengan fakta-fakta empiris. Melalui analisis atas fakta-fakta demikian ini, suatu pemahaman ilmiah atas Al-Qur’an bisa dilakukan.26

2. Al-Qur’an

Sebagai teks bahasa, Al-Qur’an dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab. Dapat dikatakan bahwa peradaban Arab- Islam adalah peradaban teks. Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan di mana “teks”

sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan.27

Jika peradaban berputas di sekitar teks sebagai poros utamanya (peradaban), maka interpretasi (ta’wil) sebagai sisi lain dari teks merupakan salah satu mekanisme kebudayaan dan peradaban yang penting dalam memproduksi pengetahuan.28 Oleh karena peradaban Arab memberikan prioritas sedemikian rupa terhadap teks Al-Qur’an dan menjadikan interpretasi sebagai metode maka dapat dipastikan bahwa peradaban ini memiliki satu konsep, meskipun implisit, tentang hakikat teks dan metode- metode interpretasinya. Meski demikian dalam kenyataan aspek interpretasi mendapatkan sedikit perhatian dalam beberapa kajian yang difokuskan pada ilmu-ilmu agama semata dengan mengabaikan ilmu-ilmu lainnya,

26 John Cooper, dkk, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, Terj. Wakhid Nur Effendi (Jakarta: Erlangga, 2002) h. 205

27 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an; kritik terhadap ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta, LKiS, 2002, Cet. II) h. 2

28 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an…, h. 2

(40)

sementara konsep teks belum disentuh melalui kajian yang mampu mengeksplorasi konsep tersebut.29

Kajian tentang konsep teks adalah kajian tentang hakikat dan sifat al-Qur’an sebagai teks bahasa. Ini berarti bahwa kajian ini memperlakukan al-Qur’an sebagai Kitab Agung berbahasa Arab, tentang pengaruh abadi kesusastraannya.30

Al-Qur’an berubah dari sebuah nash (teks) menjadi mushaf (buku) dari tanda menjadi sesuatu yang hampa makna. Perubahan sifat dan watak teks, termasuk juga fungsinya merupakan produk dari sejumlah trend kultural yang hegemonik-kultur konservatif.31 Menurut Nasr Hamid, nash (teks) berarti makna (dalalah) dan memerlukan pemahaman, penjelasan, dan interpretasi, sedangkan mushaf (buku) tidak demikian, karena dia telah bertransformasi menjadi “sesuatu” (syay’), baik satu karya estetik.

Kriteria budaya yang Nasr Hamid pergunakan sebagai dasar analisis menegaskan bahwa kata Al-Qur’an merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a yang berarti mengulang-ngulang. Hal itu karena teks terbentuk melalui tradisi lisan, tradisi tulisan pada saat itu belum memiliki peran yang berarti. Selain itu, teks yang muncul dalam beberapa ayat dan surat-surat awal menyebut teks dengan nama Al-Qur’an, dan kata tersebut (Al-Qur’an) menunjuk bacaan Al-Qur’an baik oleh penyampai (Jibril) maupun penerima (Muhammad).

“Sesungguhnya, tanggungjawab kami untuk mengumpulkan dan membacanya (17). Apabila kami membacanya maka ikutilah bacaannya (18)”.32

29 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an…, h. 2

30 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an…, h. 3

31 Muh. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan …, h. 65

32 Surat 75: al-Qiyāmah, 17-18

(41)

Kata qur’an pada ayat 17 yang dihubungkan dengan kata jam’a (hu), menegaskan adanya perbedaan (makna). Ayat yang kedua (18) muncul menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari qara’a dengan arti membaca, yang berarti pengulangan dan pen-tartil-an.

Bacalah Al-Qur’an secara tartil.

Kemudian Nasr Hamid berpendapat bahwa teks menamakan dirinya dengan nama tersebut (Al-Qur’an), terkait dengan kebudayaan melalui mana teks terbentuk. Akan tetapi pada saat yang sama, teks membedakan dirinya dari kebudayaan dengan memilih nama yang tidak umum sama sekali dari sisi format dan konstruksinya. Hal ini lah yang menyebabkan ulama memperdebatkan: apakah ia dalam pengertian membaca (mengulang-ulang) atau mengumpulkan? Al-Jahizh menangkap bahwa nama-nama yang diberikan oleh teks (Al-Qur’an) terhadap dirinya dan bagian-bagiannya, sperti surat, ayat, dan fāshilah, mempertegas perbedaan teks (Al-Qur’an) dengan teks-teks lainnya dalam kebudayaan. Ini penting dicatat, sebab aspek “kelisanan” teks ketika diterima dan diujarkan terkait erat dengan kebudayaan, tetapi ia berbeda dari kebudayaan dalam memilih nama-nama yang menunjuk pada bagian-bagiannya.

Sebagai teks bahasa, Al-Qur’an dapat disebut sebagai teks sentral dalam sejarah peradaban Arab. Dapat dikatakan bahwa peradaban Arab- Islam adalah peradaban teks. Artinya, bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan di mana “teks”

sebagai pusatnya tidak dapat diabaikan.33

Jika Peradaban berpusat di sekitar teks sebagai poros utamanya, maka interpretasi (ta’wil) sebagai sisi lain dari teks merupakan salah satu mekanisme kebudayaan dan peradaban yang penting dalam memproduksi

33 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an; kritik terhadap ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta, LKiS, 2002, Cet. II) h. 2

(42)

pengetahuan.34 Oleh karena peradaban Arab memberikan prioritas sedemikian rupa terhadap teks Al-Qur’an dan menjadikan interpretasi sebagai metode maka dapat dipastikan bahwa peradaban ini memiliki satu konsep, meskipun implisit, tentang hakikat teks dan metode-metode interpretasinya. Meski demikian dalam kenyataan aspek interpretasi mendapatkan sedikit perhatian dalam beberapa kajian yang difokuskan pada ilmu-ilmu lainnya, sementara konsep teks belum disentuh melalui kajian yang mampu mengeksplorasi konsep tersebut. 35

Kajian tentang konsep teks adalah kajian tentang hakikat dan sifat Al-Qur’an sebagai teks bahasa. Ini berarti bhwa kajian ini memperlakukan Al-Qur’an sebagai Kitab Agung berbahasa Arab, tentang pengaruh abdi kesusastraannya.36

Al-Qur’an berubah dari sebuah nash (teks) menjadi mushaf (buku) dari tanda menjadi sesuatu yang hampa makna. Perubahan sifat dan watak teks, termasuk juga fungsinya merupakan produk dari sejumlah trend kultural yang hegemonik-kultur konservatif. Menurut Nasr Hamid, nash (teks) berarti makna (dalalah) dan merupakan pemahaman, penjelasan dan interpretasi, sedangkan mushaf (buku) tidak demikian, karena dia terlah bertransformasi menjadi “sesuatu” (syay’), baik satu karya estetik (tastakhdimu li al-zinah) ataupun alat untuk mendapatkan berkah Tuhan (li- Iltimas al-Barakah).37

Menurut Nasr Hamid, kepentingan utama dari seorang intelektual dan pengkaji yang bertujuan menyerukan pencerahan adalah dengan mengkritik pemikiran keagamaan, dengan menggunakan beberapa gaya dan

34 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an... h. 2

35 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an... h. 2

36 Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur’an... h. 3

37 Muh. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Traju, 2003) h. 65

(43)

metode ilmiah di dalam mengkaji serta menganalisis, puncaknya adalah membentuk “kesadaran ilmiah” terhadap tradisi, karena menciptakan kesadaran seperti ini mernurutnya dapat melahirkan perangkat yang efektif di dalam melawan gagasan fundamentalis dan merupakan persyaratan mendasar bagi keberhasilan kebangkitan dan pembaruan. 38

Sejak tahun 1970-an, karya-karya ilmiah dan kritis mulai bermunculan. Karya-karya ini berakar dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu social dan humanitas, yang diinspirasi oleh pola pikir yang diturunkan dari tiga trend dasar: ilmu social kritis Anglo-American, Marxisme Barat dan pemikiran strukturalis-pascastrukturalis. Beberapa intelektual berupaya untuk membaca dan menginterpretasikan ulang teks al-Qur’an dengan menggunakan perangkat-perangkat studi baru yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu social dan humanitas ini.39

Nasr Hamid Abu Zayd berupaya untuk mengkaji teks al-Qur’an dalam kerangka linguistik dan kritik sastra modern. Hermeneutik al-Qur’an dan kritik al-Qur’an bertemu dalam pendekatannya atas teks al-Qur’an.

Menurutnya, studi al-Qur’an adalah sebuah bidang keilmuan interdisipliner, perkembangan yang dibimbing oleh kemajuan yang dicapai dalam ilmu- ilmu sosial dan humanitas, khususnya dalam bidang linguistik, smiotika, dan hermeneutika. Ia yakin bahwa pendekatan sastra atas teks al-Qur’an akan menjadi pendekatan masa depan dalam bidang studi al-Qur’an.40

3. Tafsir

Nasr Hamid menjelaskan bahwa banyak perbedaan di antara ahli bahasa mengenai asal usul etimologis kata tafsir, apakah ia berasal dari

38 Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur’an, terj. M. Faishol Fatawi (Yogyakarta: LKiS, cet. II, 2003), h. 308

39 Moh. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan ... h.37

40 Moh. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan ... h.42

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis untuk menganalisis kerangka berpikir Nas{ r H{ a> mid Abu> Zayd dalam membangun hermeneutikanya

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana teori Abu Hamid Al- Ghazali dan Jhon Maynard Keynes tentang teori uang dan apa persamaan, perbedaan serta faktor penyebab

Nasr Hamid Abu Zayd tentang ayat-ayat penciptaan manusia dalam al- Qur‟an. Bab kelima, berisi tentang penutup yang memuat kesimpulan,

Berdasarkan judul di atas, yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah penafsiran ayat-ayat tentang penciptaan manusia dalam al-Qur‟an menurut Nasr Hamid Abu

c) Menjaga Kualitas Dan Kuantitas Makanan Serta Relasinya Dengan Kecerdasan Spiritual (SQ).. Sebagai pelaku sepritual sekaligus tokoh akdemisi, Abu Hamid al-Ghazali memiki

Tentang konsep warisan yang mana teks al-Qur’an menyebutkan bahwa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, Abu Zayd mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak boleh dibaca

Justeru, hasil kajian mendapati, terdapat alasan-alasan yang signifikan dalam pembentukan pemikiran Abu Zayd yang secara keseluruhannya dapat difahami faktor

Dan ketiga unsur tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain, karenanya paradigma besar dari konsep yang ditawarkan oleh Nasr Hamid adalah teks al-Qur’an tidak