• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MAKE A MATCH PADA MATERI POKOK ALJABAR DITINJAU DARI KETERAMPILAN SOSIAL DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MAKE A MATCH PADA MATERI POKOK ALJABAR DITINJAU DARI KETERAMPILAN SOSIAL DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP."

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan. Di era globalisasi ini diperlukan pendidikan untuk menghadapi kompetisi yang begitu cepat. Melalui pendidikan, seseorang tidak hanya belajar intelektual saja, tetapi juga mendapatkan pengetahuan tentang sikap/ karakter dan keterampilan. Oleh karena itu, pendidikan dapat memberikan bekal pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam kehidupan masyarakat dan menghadapi era globalisasi yang penuh dengan kompetisi.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan di Indonesia. Mata pelajaran matematika merupakan ibu dari mata pelajaran yang lain. Matematika mengajarkan siswa untuk mengonstruksikan pengetahuannya sendiri dan belajar tentang logika. Namun, siswa sering mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep dasar matematika. Jika siswa sudah merasa kesulitan, maka siswa akan menjadi malas dan tidak dapat memahami pelajaran. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting dalam rangka mengembangkan daya pikir manusia. Oleh karena itu, pembelajaran matematika sangat penting untuk dilaksanakan.

(2)

2

dalam belajar masih kurang mengakibatkan rasa ingin tahu siswa juga masih kurang. Kurangnya rasa ingin tahu siswa ditandai dengan apabila tidak ada perintah dari guru untuk mempelajari materi selanjutnya, maka siswa juga tidak akan belajar. Selain itu, pada saat pembelajaran masih ada siswa yang malu untuk mengajukan pertanyaan maupun menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru. Kurangnya rasa ingin tahu siswa juga akan mempengaruhi prestasi belajar siswa.

Selain rasa ingin tahu yang masih kurang dan prestasi belajar yang belum optimal, keterampilan sosial yang dimiliki oleh siswa SMP Negeri 1 Ngaglik juga masih kurang. Keterampilan siswa belum terasah dengan baik. Keterampilan sosial juga dapat mempengaruhi prestasi siswa. “Social skills are positively predictive of concurrent levels of academic achievement” (Malecki & Elliot, 2002: 1). Makna dari pernyataan di atas adalah keterampilan sosial mempengaruhi tingkat prestasi akademik. Apabila keterampilan sosial siswa kurang, siswa juga akan memiliki prestasi akademik yang rendah.

(3)

3

Dalam proses pembelajaran, guru lebih menekankan pada aspek pengetahuannya saja, tetapi untuk aspek keterampilan dan sikap masih kurang, khususnya keterampilan sosial. Pembelajaran hanya terjadi satu arah sehingga kurang adanya timbal balik antara guru dengan siswa untuk aktif dan kreatif dalam menyampaikan gagasannya. Siswa masih merasa malu untuk bertanya kepada guru tentang materi yang belum dipahami sehingga siswa kurang aktif dalam pembelajaran.

Dalam mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya, tidak semua siswa ikut dalam mempresentasikan hasil diskusinya. Masih ada siswa yang malu untuk berbicara di depan sehingga kadang hanya beberapa siswa saja yang berani mempresentasikan hasil diskusinya. Ketika disuruh maju untuk menuliskan jawaban soal yang dikerjakan, masih ada siswa yang merasa malu. Berdasarkan semua permasalahan tersebut yang berkaitan dengan aspek dan indikator keterampilan sosial, menunjukkan bahwa keterampilan sosial siswa masih kurang. Selain faktor dari siswa, model pembelajaran yang digunakan juga mempengaruhi keterampilan sosial dan prestasi belajar siswa. Guru berperan penting dalam pembelajaran. Seorang guru harus mengetahui model pembelajaran yang tepat bagi peserta didiknya. Peran penting guru dalam pembelajaran bukan sebagai peran utama tetapi guru hanya sebagai fasilitator. Peran aktif dilakukan oleh siswa. Guru berperan dalam merancang rencana pelaksanaan pembelajaran yaitu tujuan pembelajaran, topik, dan model pembelajaran yang akan digunakan.

(4)

4

ketertarikan siswa dalam belajar. Model pembelajaran yang tepat diperlukan agar dapat menarik minat belajar dan rasa ingin tahu bagi siswa. Apabila minat belajar dan rasa ingin tahu siswa tinggi, prestasi belajar siswa juga akan meningkat.

Begitu pula dalam pembelajaran matematika diperlukan model pembelajaran yang tepat. Karena matematika dipandang sebagai mata pelajaran yang sulit, pembelajaran matematika dibuat dengan model pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan akan membuat siswa tidak merasa tertekan dan dapat memahami pelajaran matematika. Pembelajaran matematika juga dibuat semenarik mungkin agar siswa antusias dalam pembelajaran. Siswa juga tidak akan merasa bosan.

Mulai tahun ajaran 2014/2015 semester genap, kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Pembelajaran matematika di kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik, guru masih mendominasi dalam proses pembelajaran. Pembelajaran masih berpusat pada guru. Salah satu pembelajaran yang berpusat pada guru adalah pembelajaran langsung (Direct Instruction), yaitu guru memberi penjelasan materi pelajaran, latihan soal, tanya

jawab, dan pemberian tugas. Siswa kurang termotivasi untuk terlibat aktif dalam pembelajaran.

(5)

5

diperoleh bahwa prestasi belajar siswa sudah baik tetapi belum optimal. Selain itu, keterampilan sosial siswa juga belum terasah dengan baik.

Untuk meningkatkan keterampilan sosial dan prestasi belajar siswa, banyak model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika, salah satunya model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif yaitu model pembelajaran dengan membuat kelompok-kelompok diskusi. Model pembelajaran kooperatif melatih siswa dalam kerja sama dengan kelompok melalui diskusi. Siswa dapat berlatih menyampaikan pendapatnya masing-masing.

Slavin (2005: 4) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam model pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Menurut Arends (2007: 345), “The cooperative learning model was developed to achieve at least three important instructional

goals: academic achievement, tolerance and acceptance of diversity, and social skill development”. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan penting dalam pembelajaran yaitu prestasi akademik, toleransi dan penerimaan perbedaan individual dan pengembangan keterampilan sosial. Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif perlu dilaksanakan untuk meningkatkan keterampilan sosial dan prestasi belajar siswa.

(6)

6

pemegang kartu soal dan jawaban. Teknik Mencari Pasangan (Make A Match) merupakan teknik yang dikembangkan oleh Loma Curran pada tahun 1994. Teknik ini memiliki keunggulan yaitu siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan (Isjoni, 2010: 67). Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia.

Pemilihan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match memiliki potensi meningkatkan prestasi belajar lebih daripada pembelajaran dengan teknik yang lain. Karena suasana yang diciptakan dalam kelas lebih menyenangkan dan melibatkan semua siswa dalam proses pembelajaran. Siswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan dari guru tetapi dari teman mereka sendiri.

Model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match dapat digunakan dalam pembelajaran matematika. Prestasi belajar matematika diharapkan akan lebih optimal menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match. Karena melalui model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match semua siswa terlibat dalam pembelajaran sehingga efektif terhadap prestasi belajar matematika siswa.

(7)

7

teman lain untuk menemukan pasangan kartunya. Selain itu, penghargaan juga diberikan kepada siswa yang dapat menemukan pasangan kartunya yang tepat paling cepat.

SMP Negeri 1 Ngaglik belum pernah menerapkan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match. Selain itu, berdasarkan penelitian yang relevan yaitu tesis penelitian eksperimen yang ditulis oleh Seri Ningsih dengan hasil penelitiannya bahwa prestasi belajar matematika siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match lebih baik daripada menggunakan pembelajaran langsung (Direct Instruction) pada materi luas bangun datar (trapesium dan layang-layang). Oleh karena itu, peneliti memilih judul “Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make A Match pada

Materi Pokok Aljabar Ditinjau dari Keterampilan Sosial dan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP”.

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang timbul sebagai berikut:

1. Proses pembelajaran matematika di SMP Negeri 1 Ngaglik belum menekankan pada keterampilan sosial siswa.

2. Prestasi belajar siswa masih kurang.

(8)

8

5. Model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match belum diterapkan di SMP Negeri 1 Ngaglik.

C. Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada beberapa permasalahan yang teridentifikasi, yakni prestasi belajar siswa masih kurang, keterampilan sosial siswa masih kurang, dan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match belum diterapkan di SMP Negeri 1 Ngaglik. Untuk meningkatkan keterampilan sosial dan prestasi belajar matematika, model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match dan pembelajaran langsung (Direct Instruction).

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, maka rumusan masalah yang dapat disimpulkan adalah:

1. Apakah model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match efektif ditinjau dari keterampilan sosial siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik?

2. Apakah model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match efektif ditinjau dari prestasi belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik? 3. Apakah pembelajaran langsung (Direct Instruction) efektif ditinjau dari

keterampilan sosial siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik?

(9)

9

5. Apakah model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match lebih efektif daripada pembelajaran langsung (Direct Instruction) ditinjau dari keterampilan sosial siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik?

6. Apakah model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match lebih efektif daripada pembelajaran langsung (Direct Instruction) ditinjau dari prestasi belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran kooperatif teknik Make A

Match ditinjau dari keterampilan sosial siswa kelas VII SMP Negeri 1

Ngaglik.

2. Mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match ditinjau dari prestasi belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1

Ngaglik.

3. Mendeskripsikan keefektifan pembelajaran langsung (Direct Instruction) ditinjau dari keterampilan sosial siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik. 4. Mendeskripsikan keefektifan pembelajaran langsung (Direct Instruction)

ditinjau dari prestasi belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik.

(10)

10

(Direct Instruction) ditinjau dari keterampilan sosial siswa kelas VII SMP

Negeri 1 Ngaglik.

6. Mendeskripsikan model pembelajaran yang lebih efektif diantara model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match dengan pembelajaran langsung (Direct Instruction) ditinjau dari prestasi belajar matematika siswa kelas VII

SMP Negeri 1 Ngaglik.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi Peneliti

Menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan peneliti khususnya yang terkait dengan penelitian yang menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match dapat meningkatkan keterampilan sosial dan prestasi belajar siswa, serta pengetahuan yang diperoleh dapat digunakan sebagai bekal ketika sudah mengajar.

2. Bagi Guru

(11)

11 3. Bagi Siswa

(12)

12 BAB II KAJIAN TEORI

A. Kerangka Teori

1. Pembelajaran Matematika a. Belajar

“Learning is an active process of constructing knowledge” (Hewitt, 2008: 5). Pernyataan tersebut berarti bahwa belajar adalah suatu proses aktif mengkonstruksi pengetahuan. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2010: 2). Muhibbin Syah (2008: 92) mengatakan bahwa belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.

“Learning is an active process that means that the learner must actively

participate in the process; learning does not occur when the learner passively

receives information” (Pritchard & Woollard, 2010: 44). Belajar adalah sebuah proses aktif yang berarti siswa harus secara berpartisipasi dalam proses, belajar tidak terjadi saat siswa pasif menerima informasi.

Gagne (1977: 3) mengatakan “Learning is a change in human disposition or capability, which persists over a period of time, and which is not simply

(13)

13

merupakan perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus menerus, bukan hanya disebabkan karena proses pertumbuhan saja.

“Learning is not just about absorbing (remembering and understanding)

knowledge; much more it is about developing positive attitudes and useful skills”

(Barnett, 1992: 56). Belajar tidak hanya dalam hal menyerap (mengingat dan memahami) pengetahuan, tetapi lebih dari itu tentang mengembangkan sikap yang positif dan keterampilan yang bermanfaat. Dari definisi-definisi di atas, belajar merupakan proses mengonstruksi pengetahuan secara terus menerus dan siswa membangun pengetahuannya sendiri dengan mengaitkan pengalaman atau pelajaran yang sedang dipelajari dengan pengetahuan sebelumnya.

Kesuksesan dalam belajar membantu untuk mengembangkan keterampilan sehingga pengetahuan dan yang dipahami oleh seseorang dapat digunakan dalam hal baik. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh Barnett (1992: 56) “Successful learning helps to develop skills so that the knowledge and individual possesses

can be used to good effect”. Oleh karena itu, belajar itu untuk membantu mengembangkan pengetahuan sehingga dapat digunakan dalam hal yang bermanfaat.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar

Keberhasilan dari belajar dipengaruhi oleh banyak faktor. Nana Syaodih Sukmadinata (2005: 162-165) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar sebagai berikut:

(14)

14

Faktor-faktor dalam diri individu menyangkut aspek jasmaniah maupun rohaniah dari individu. Aspek jasmaniah mencakup kondisi dan kesehatan jasmani dari individu. Sedangkan aspek psikis atau rohaniah tidak kalah pentingnya dalam belajar dengan aspek jasmaniah. Aspek psikis menyangkut kondisi kesehatan psikis, kemampuan-kemampuan intelektual, sosial, psikomotor serta kondisi afektif dan konatif dari individu.

2) Faktor-faktor lingkungan

Keberhasilan belajar juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar diri siswa, baik faktor fisik maupun sosial-psikologis yang berada pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam pendidikan, memberikan landasan dasar bagi proses belajar pada lingkungan sekolah dan masyarakat. Faktor-faktor fisik dan sosial psikologis yang ada dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan belajar anak. Lingkungan sekolah juga memegang peranan penting bagi perkembangan belajar para siswanya. Faktor selanjutnya yaitu lingkungan masyarakat di mana siswa atau individu berada juga berpengaruh terhadap semangat dan aktivitas belajarnya.

Selain itu, menurut M. Ngalim Purwanto (2007: 102-106), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu:

1) faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang kita sebut faktor individual, dan

2) faktor yang ada di luar individu yang kita sebut faktor sosial. Yang termasuk ke dalam faktor individual antara lain: faktor kematangan/ pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi. Sedangkan yang termasuk faktor sosial antara lain faktor keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi belajar ada 2 yaitu:

1) Faktor yang berasal dari dalam diri individu

Faktor yang berasal dari dalam individu yaitu aspek jasmani dan rohani. 2) Faktor yang berasal dari luar diri individu

(15)

15 c. Pembelajaran Matematika

Matematika merupakan salah satu bagian penting dalam kurikulum. Hal itu seperti yang disampaikan oleh Sullivan (2011: 3) “... mathematics is an

important element of the school curriculum.” Matematika diajarkan di jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah.

Matematika menurut Soedjadi (2000: 11), sebagai berikut:

1) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik.

2) Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi.

3) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan.

4) Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.

5) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik. 6) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Menurut Soedjadi (2000: 13), beberapa karakteristik matematika itu adalah :

1) Memiliki objek kajian abstrak 2) Bertumpu pada kesepakatan 3) Berpola pikir deduktif

4) Memiliki simbol yang kosong dari arti 5) Memperhatikan semesta pembicaraan 6) Konsisten dalam sistemnya

Menurut James dan James (1976: 239), “mathematics is the logical study

of shape, arrangement, quantity, and many related concepts.” Matematika merupakan ilmu tentang logika suatu bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang saling berhubungan. Menurut Chambers (2008: 9), “mathematics is a study

of pattern, relationship, and rich interconnected ideas (the purist view).”

(16)

16

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu yang mempelajari tentang logika, pola, hubungan dan konsep-konsep yang saling terkait dan agar berpikir dengan pola deduktif.

Selanjutnya adalah definisi dari pembelajaran. “Instruction is the manipulation of the learner’s environment by the instructor(s) in order to foster

learning. It thus involves: 1) manipulating what the learner experiences, and 2)

intention to cause learning” (Dumont, Istance, & Benavides, 2010: 188). Menurut Oemar Hamalik (2005: 57), pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses belajar yang terjadi berulang-ulang dan terus-menerus sehingga menyebabakan adanya perubahan perilaku yang disadari dan cenderung bersifat tetap (Muhammad Thobroni & Arif Mustofa, 2013: 21).

“Instruction should involve students in reflecting, explaining, reasoning,

(17)

17

Menurut NCTM (2000: 11) terdapat enam prinsip utama dalam pembelajaran matematika sekolah, diantaranya adalah:

1) Equity. Exellence in mathematics education require equity high expectations and strong support for all student;.

2) Curriculum. A curriculum is more than a collection of activities, it must be coherent, focused on important mathematics, and well articulated across the grades;

3) Teaching. Effective mathematics teaching requires understanding what students know and need to learn and then challenging and supporting them to learn it well;

4) Learning. Students must learn mathematics with understanding, actively building new knowledge from experience and prior knowledge;

5) Assessment. Assessment should support the learning of important mathematics and furnish useful information to both teachers and students;

6) Technology. Technology is essential in teaching and learning mathematics, it influences the mathematics that taught and enhances

students’ learning.

Oleh karena itu, pembelajaran matematika merupakan suatu serangkaian kegiatan yang disusun berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam mata pelajaran matematika serta tujuan pembelajarannya sebagai proses perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik yang berhubungan dengan penalaran/ logika.

Students in grades 6 through 8 are forming conclusions about their mathematical abilities, interest, and motivation that will influence how they approach mathematics in later years. Instruction at this level should build on their emerging capabilities to think hypothetically, comprehend cause and effect, and reason in both concrete and abstract terms. Algebra and geometry form a large part of the recommended curriculum during these years (Protheroe, 2007: 52).

(18)

18

tingkat ini harus membangun kemampuan mereka untuk berpikir hipotesis, memahami sebab dan akibat, serta beralasan yang baik secara konkret dan abstrak. Aljabar dan geometri merupakan bagian besar dari kurikulum yang dianjurkan.

2. Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)

Pengajaran langsung (Direct Instruction) adalah suatu model pengajaran yang bersifat teacher center (Trianto, 2010: 41). Menurut Trianto (2010: 46), pengajaran langsung (Direct Instruction) dapat diterapkan dalam bidang studi apapun, namun model ini paling sesuai untuk mata pelajaran yang berorientasi pada penampilan atau kinerja seperti menulis, membaca, matematika, musik dan pendidikan jasmani.

Slavin (2006: 235) mengatakan bahwa “Direct instruction is a teaching approach that emphasizes teacher control of most class-room events and the

presentation of structured lesson.” Makna dari pernyataan di atas adalah pembelajaran langsung adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan kontrol guru dari kegiatan kelas dan penyajian pelajaran yang terstruktur. Program-program dari pembelajaran langsung menurut Slavin (2006: 235) yaitu

“Direct instruction programs call for active teaching, clear lesson organization,

step-by-step progression between subtopics, and the use of many examples,

(19)

19

Gambaran dari bagian-bagian pembelajaran langsung seperti yang dijelaskan oleh Slavin (2006: 210) sebagai berikut:

A brief description of the parts of a direct instruction lesson follows. The next section of this chapter will cover each part in detail.

a. State learning objectives and orient students to the lesson: Tell students what they will be learning and what performance will be

expected of them. Wht students’ appetites for the lesson by informing

them how interesting, important, or personally relevant it will be to them.

b. Review prerequisites: Go over any skills or concepts students need in

order to understand today’s lesson.

c. Present new material: Teach the lesson, presenting information, giving examples, demonstrating concepts, and so on.

d. Conduct learning probes: Pose questions to students to asses their level of understanding and correct their misconceptions.

e. Provide independent practice: Give students and opportunity to practice new skills or use new information on their own.

f. Asses performance and provide feedback: Review independent practice work or give a quiz. Give feedback on correct answers, and reteach skills if necessary.

g. Provide distributed practice and review: Assign homework to provide distributed practice on the new material. In later lessons, review material and provide practice opportunities to increase the chances that students will remember what they learned and will be able to apply it in different circumstances.

Bagian-bagian dari pembelajaran langsung yaitu memberikan informasi tentang tujuan pembelajaran dan mengarahkan siswa dalam belajar, mereview materi prasyarat, menyajikan materi baru, melakukan pembelajaran penyelidikan, menyediakan praktik yang independen, menilai kinerja dan memberikan umpan balik, serta menyediakan praktik yang didistribusikan pada materi baru dan meninjaunya.

“Direct instruction is a teacher-centered model that has five steps:

establishing set, explanation and/or demonstration, guided practice, feedback,

(20)

20

model yang terpusat pada guru yang memiliki lima langkah: membuka pelajaran, penjelasan, dan/atau demonstrasi, latihan terbimbing, balikan, dan latihan lanjut.

Lalu Slavin (2006: 227) mengatakan keuntungan dari pembelajaran langsung adalah “It is clear that direct instruction methods can improve the teaching of certain basic skills, but it is equally clear that much is yet to be

learned about how and for what purposes they should be used.” Pembelajaran langsung (Direct Instruction) dapat meningkatkan pengajaran dari keterampilan dasar tertentu, tetapi jelas masih banyak yang dipelajari tentang bagaimana dan apa tujuan yang dilakukan.

“Direct instruction aims at accomplishing two major learner outcomes:

mastery of well-structured knowledge and acquisition of all kinds of skills”

(Arends, 2012: 297). Pembelajaran langsung bertujuan mencapai dua hasil utama yaitu: penguasaan pengetahuan yang terstruktur dengan baik dan penguasaan semua jenis keterampilan.

Lima fase pembelajaran langsung menurut Arends (2012: 304) yaitu The five phases of the direct instruction model are summarized in: Phase 1: Clarify goals and establish set.

Teachers gains students’attention and ensures they are ready to learn by

going over goals for the lesson, giving background information, and explaining why the lesson is important.

Phase 2: Demostrate knowledge or skill

Teacher demonstrate the skill correctly or presents step-by-step information.

Phase 3: Provide guided practice. Teacher structures initial practice.

Phase 4: Check four understanding and provide feedback.

Teacher checks to see if students are performing correctly and provides feedback.

Phase 5: Provide extended practice and transfer.

(21)

21 Lima fase pembelajaran langsung yaitu:

a. Fase 1: Menjelaskan tujuan dan membuka pelajaran.

Guru mendapatkan perhatian siswa dan memastikan mereka siap untuk belajar dengan mengulangi kembali tujuan pembelajaran, memberikan informasi dasar, dan menjelaskan mengapa pelajaran itu penting.

b. Fase 2: Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan.

Guru mendemonstrasikan keterampilan secara benar atau menyajikan informasi berjenjang.

c. Fase 3: Menyediakan praktik terpadu. Guru menyusun praktik awal.

d. Fase 4: Memeriksa pemahaman dan menyediakan balikan.

Guru memeriksa untuk melihat apakah siswa berkinerja secara benar dan memberikan balikan.

e. Fase 5: Menyediakan latihan dan transfer yang lebih lanjut.

Guru mengatur kondisi untuk latihan yang lebih luas dengan perhatian untuk mentransfer keterampilan ke situasi yang lebih kompleks.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan langkah-langkah dalam pembelajaran langsung (Direct Instruction) sebagai berikut.

a. Membuka pelajaran dan menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. b. Menjelaskan materi pembelajaran.

c. Memberikan contoh soal dan penyelesaiannya. d. Memberikan latihan soal kepada siswa.

(22)

22

f. Guru mengecek pemahaman siswa dengan menunjuk beberapa siswa untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas.

g. Setelah selesai mengerjakan, guru dan siswa secara bersama-sama melakukan pembahasan.

h. Guru memberikan umpan balik kepada siswa terhadap materi yang belum terpecahkan.

i. Memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pada pertemuan berikutnya.

3. Pembelajaran Konstruktivisme

Menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang aktif di mana si subjek belajar membangun sendiri pengetahuannya (Sardiman, 2012: 38). Dalam hal sarana belajar, pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, melalui bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya yang disediakan untuk membantu pembentukan tersebut (Eveline Siregar & Hartini Nara, 2011: 41). Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman (M. Hosnan, 2014: 270).

Di dalam pendidikan, ide-ide konstruktivis diterjemahkan sebagai berarti bahwa semua pelajar benar-benar mengonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap” oleh murid

(23)

23

pembelajaran siswa menggunakan pengetahuannya sendiri dan pengetahuan siswa diperoleh bukan berasal dari seorang guru tetapi dari pengetahuannya siswa sendiri.

Pritchard & Woollard (2010: 32) menyatakan bahwa “Constructivism, in terms of learning, considers that individuals construct their own understanding of

the world around them by accumulating information and interpreting it in relation

to previous experiences.” Hal itu berarti bahwa konstruktivisme, dalam hal belajar, menganggap individu membangun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia di sekitar mereka sendiri dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan itu berhubungan dengan pengalaman sebelumnya.

“Constructivist approaches to teaching typically make extensive use of

cooperative learning, on the theory that students will more easily discover and

comprehend difficult concepts if they can talk with each other about the

problems” (Slavin, 2006: 245). Pendekatan konstruktivis untuk pengajaran biasanya menggunakan pembelajaran kooperatif, pada teori ini siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka dapat berdiskusi/ berbicara satu sama lain tentang masalah. Oleh karena itu, pembelajaran konstruktivisme adalah pembelajaran di mana siswa mengonstruksi pengetahuannya sendiri dari pengetahuan yang sudah dimiliki siswa dan dari lingkungan sekitar.

Dalam konstruktivisme ada hal-hal sebagai berikut (M. Hosnan, 2014: 270)

(24)

24

b. Kegiatan belajar dikemas menjadi proses mengonstruksi pengetahuan, bukan menerima pengetahuan sehingga belajar dimulai dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta didik menemukan ide dan pengetahuan (konsep, prinsip) baru, menerapkan ide-ide, kemudian peserta didik mencari strategi belajar yang efektif agar mencapai kompetensi dan memberikan kepuasan atas penemuan (discovery).

c. Belajar adalah proses aktif mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman alami maupun manusiawi, yang dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari makna dengan memproses informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimiliki.

Arends (2012: 355) mengatakan “...three learner-centered constructivist models: cooperative learning, problem-based learning, and classroom

discussion.” Tiga model pembelajaran konstruktivis yang berpusat pada siswa yaitu pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis masalah, dan diskusi kelas. Dari pernyataan di atas diketahui bahwa pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model dari pembelajaran konstruktivisme yang berpusat pada siswa.

4. Pembelajaran Kooperatif

a. Pengertian dan Tujuan Pembelajaran Kooperatif

Slavin (2005: 4) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam model pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Menurut Isjoni (2010: 20-21) pembelajaran kooperatif dapat didefinisikan sebagai satu pendekatan mengajar di mana murid bekerjasama di antara satu sama lain dalam kelompok belajar yang kecil untuk menyelesaikan tugas individu atau kelompok yang diberikan oleh guru.

(25)

25

dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur (Tukiran Taniredja, dkk, 2012: 55). Menurut Johnson, Johnson, & Holubec (2004: 4), pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah proses belajar mengajar yang melibatkan penggunaan kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan siswa untuk bekerja secara bersama-sama di dalamnya guna memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan pembelajaran satu sama lain.

Model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan atau inquiry (M. Hosnan, 2014: 202). Slavin (2006: 255)

menyatakan bahwa “Cooperative learning instructional approaches in which

students work in small mixed ability groups”. Pendekatan pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran di mana siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki kemampuan berbeda-beda. Jadi, pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu yang menekankan pada aspek kerjasama dalam kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang masing-masing memiliki tanggung jawab dalam penyelesaian tugas individu dan kelompok.

“The cooperative learning model was developed to achieve at least three

important instructional goals: academic achievement, tolerance and acceptance

(26)

26

M. Hosnan (2014: 234) berpendapat bahwa tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta pengembangan keterampilan sosial. Pembelajaran kooperatif dapat digunakan dengan cukup meyakinkan pada setiap level kelas, dalam berbagai mata pelajaran, dan dengan berbagai macam tugas (Johnson, Johnson & Holubec, 2004: 28). Jadi, tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah mengembangkan prestasi akademik, toleransi adanya perbedaan individual, dan pengembangan keterampilan sosial.

b. Karakteristik dan Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif

Wina Sanjaya (2009: 246) mengatakan bahwa terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, seperti dijelaskan di bawah ini.

1) Prinsip Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)

Keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota sehingga semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.

2) Tanggung Jawab Perseorangan (Individual Accountability)

(27)

27

Pembelajaran kooperatif dapat memberikan ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan.

4) Partisipasi dan Komunikasi (Participation Communication)

Pembelajaran kooperatif dapat melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi karena sangat penting sebagai bekal dalam kehidupan di masyarakat kelak.

Johnson, Johnson & Holubec (2004: 8-9) menyebutkan ada 5 komponen penting dalam pembelajaran kooperatif, yaitu:

1) Interdependensi positif (Positive interdependence)

Setiap anggota dalam kelompok terhubung satu sama lain dan seseorang tidak akan berhasil jika semua belum berhasil sehingga akan memunculkan interdependensi positif. Usaha yang dilakukan oleh individu tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi untuk kelompoknya juga.

2) Interaksi yang mendorong (Promotive interaction)

Individu yang satu akan saling mendorong kepada individu lain untuk mencapai keberhasilan.

3) Tanggung jawab individual (Individual accountability)

(28)

28

menyelesaikan tugas dan menyadari bahwa mereka tidak bisa hanya “menyontek” hasil kerja siswa lain.

4) Keterampilan-keterampilan interpersonal dan kelompok-kecil (Interpersonal and small-group skills)

Keterampilan-keterampilan interpersonal dan kelompok-kecil dapat membantu seseorang untuk berfungsi sebagai bagian dari tim.

5) Pemrosesan kelompok (Group processing)

Pemrosesan kelompok terjadi ketika anggota kelompok berdiskusi mengenai seberapa baik mereka telah mencapai tujuan masing-masing dan seberapa baik mereka telah memelihara hubungan kerja yang efektif.

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan komponen penting atau prinsip dasar dari pembelajaran kooperatif adalah adanya ketergantungan positif, interaksi antar siswa yang saling mendorong, tanggung jawab individual, tatap muka, keterampilan-keterampilan interpersonal dan kelompok kecil, dan kelompok.

Arends (2007: 346) menyebutkan ada enam fase atau langkah utama yang terlibat dalam model cooperative learning, yaitu

1) A lesson begins with the teacher going over the goals of the lesson and getting students motivated to learn.

2) This phase is followed by the presentation of information, often in the form of text rather than lecture.

3) Students are then organized into study teams.

4) In the next step, students, assisted by the teacher, work together to accomplish interdependent tasks.

5) Presentation of the group’s end product or testing on what students have learned.

(29)

29

Enam fase atau langkah dalam model pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

1) Pelajaran dimulai dengan guru membahas tujuan-tujuan pembelajaran dan membangkitkan motivasi siswa.

2) Fase ini diikuti oleh presentasi informasi, seringkali dalam bentuk teks daripada ceramah.

3) Siswa kemudian diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok belajar.

4) Siswa dibantu oleh guru bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas interdependen.

5) Siswa mempresentasikan hasil akhir kelompok atau guru menguji segala yang sudah dipelajari siswa.

6) Memberikan pengakuan pada usaha kelompok maupun individu.

Lalu, prosedur pembelajaran kooperatif menurut Wina Sanjaya (2009: 248-249) pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu: 1) penjelasan materi; 2) belajar dalam kelompok; 3) penilaian; dan 4) pengakuan tim.

1) Penjelasan Materi

Tujuan utama dalam tahap ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran. Tahap ini guru memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai yang selanjutnya siswa akan memperdalam materi dalam kelompok (tim).

2) Belajar dalam Kelompok

(30)

30

(sharing) informasi dan pendapat, mendiskusikan permasalahan secara

bersama, membandingkan jawaban mereka, dan mengoreksi hal-hal yang kurang tepat.

3) Penilaian

Penilaian melalui tes atau kuis dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Nilai kelompok adalah nilai bersama dalam kelompoknya yang merupakan hasil kerja sama setiap anggota kelompok.

4) Pengakuan Tim

Penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim yang paling berprestasi untuk diberikan penghargaan atau hadiah.

Jadi, langkah-langkah dalam model pembelajaran kooperatif sebagai berikut.

1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa.

2) Guru memberikan gambaran umum tentang apa yang akan dipelajari karena siswa akan memperdalam materi saat belajar dalam kelompok.

3) Siswa diorganisir dalam kelompok-kelompok belajar.

4) Siswa dibantu guru dalam menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipahami. 5) Siswa mempresentasikan hasil diskusi dengan kelompok.

6) Siswa bersama guru membuat kesimpulan dari apa yang dipelajari pada pertemuan itu.

7) Guru memberikan tes/ kuis kepada siswa

(31)

31

c. Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Make A Match

Teknik Mencari Pasangan (Make A Match) (Isjoni, 2010: 67), teknik yang dikembangkan oleh Loma Curran pada tahun 1994. Salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia.

Menurut Miftahul Huda (2012: 135), teknik Make A Match, siswa mencari pasangan sambil mempelajari suatu konsep atau topik tertentu dalam suasana yang menyenangkan. Make A Match dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas.

Langkah-langkah Make A Match (Miftahul Huda, 2012: 135).

1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa topik yang mungkin cocok untuk sesi review (persiapan menjelang tes atau ujian).

2) Setiap siswa mendapatkan satu buah kartu.

3) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.

4) Siswa bisa juga bergabung dengan 2 atau 3 siswa lain yang memegang kartu yang berhubungan.

Langkah-langkah teknik Make A Match (Cari Pasangan) (M. Hosnan, 2014: 251) sebagai berikut:

1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.

2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

3) Tiap siswa memikirkan jawaban/ soal dari kartu yang dipegang.

4) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban).

5) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.

6) Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya.

(32)

32

Menurut Anita Lie (2008: 55), salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Oleh karena itu, siswa dapat memahami materi dengan mudah dengan saling berdiskusi dalam suasana yang menyenangkan.

Langkah-langkah dalam model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match:

1) Guru dan siswa melakukan persiapan sebelum pembelajaran dimulai

Guru mempersiapkan kartu soal-jawaban dan menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

2) Pengelompokkan siswa

Siswa dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok I dan kelompok II. 3) Teknik mencari pasangan

Permainan mencari pasangan meliputi tata cara sebagai berikut: a) Siswa memperoleh satu kartu berisi soal dan jawaban.

b) Siswa memikirkan jawaban dari soal pada kartu masing-masing selama 3 menit. Siswa tidak diperkenankan mencari pasangan terlebih dahulu sebelum waktu untuk memikirkan jawaban selesai.

c) Siswa mencari pasangan kartunya selama 2 menit. Siswa mencari jawaban dari soal kartunya di dalam kartu anggota lain dalam kelompoknya.

(33)

33

e) Setelah menemukan pasangannnya, siswa duduk berdekatan dengan pasangannya untuk mendiskusikan jawaban dari soal dalam kartunya. Siswa yang menemukan pasangan kartu yang tepat mendapat satu poin. f) Siswa tidak diperbolehkan mengganggu teman lain yang masih mencari

pasangan.

4) Presentasi dan pembahasan hasil permainan

Pasangan kartu soal dan jawaban yang sudah cocok dapat mempresentasikan soal dan jawaban yang ada di kartunya.

5) Penghargaan kelompok

Kelompok dengan poin tertinggi mendapat penghargaan dari guru. 6) Penyimpulan materi

Siswa bersama guru menyimpulkan materi yang dipelajari pada saat pembelajaran.

7) Penugasan dan persiapan materi berikutnya.

5. Keefektifan Pembelajaran

Menurut Hamzah B. Uno (2011: 21), keefektifan pembelajaran biasanya diukur dengan tingkat pencapaian si belajar. Hamzah B. Uno (2011: 21) juga mengatakan aspek penting yang dapat dipakai untuk mempreskripsikan keefektifan pembelajaran, yaitu:

(34)

34

Menurut Muijs & Reynolds (2005: 3), faktor-faktor kelas yang memberikan kontribusi pada hasil yang efektif di siswa adalah sebagai berikut

“Mortimore concluded that the classroom factors contributing to effective student

outcomes were structured sessions, intellectually challenging teaching, a work

orientated environment, communication between teachers and pupils, and a

limited focus within the sessions.”

Makna pernyataan di atas adalah bahwa faktor-faktor kelas yang memberikan kontribusi pada hasil yang efektif di siswa adalah sesi yang terstruktur, cara mengajar yang menantang secara intelektual, lingkungan yang berorientasi-tugas, komunikasi antara guru dan murid, dan fokus yang terbatas di setiap sesinya.

Dick & Reiser (1989: 2) menyatakan bahwa “effective instruction that

enable students to acquire specified skill, knowledge, and attitudes.” Pernyataan tersebut bermakna pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mendapatkan keterampilan khusus, pengetahuan, dan sikap.

Pembelajaran yang efektif harus mempunyai syarat kesesuaian antara kebutuhan belajar siswa dan sistem ujian (M. Hosnan, 2014: 187). “Effective learning induces curiosity, self confidence and self awareness with respect to

(35)

35 6. Keterampilan Sosial

Setiap individu dituntut untuk memiliki keterampilan sosial agar dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul di lingkungannya. Keterampilan-keterampilan sosial menurut Syamsul Bachri Thalib (2013: 159) sebagai berikut:

Keterampilan-keterampilan sosial tersebut meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, memberi atau menerima umpan balik (feedback), memberi atau menerima kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku.

Individu dengan keterampilan sosial rendah tidak akan mampu berbagi dengan orang lain dan ingin menang sendiri (Syamsul Bachri Thalib, 2013: 164-165).

Muijs & Reynolds (2005: 130) mengatakan “social skills are not just

important in and of themselves, but are also linked to other desirable outcomes”.

Keterampilan sosial tidak hanya penting di dalam dan dari keterampilan itu sendiri, tetapi juga terkait dengan hasil lainnya yang diinginkan. “Social skills are

positively predictive of concurrent levels of academic achievement”(Malecki & Elliot, 2002: 1). Makna dari pernyataan di atas adalah keterampilan sosial mempengaruhi tingkat prestasi akademik.

Gresham, Sugai, and Horner pada tahun 2001 (Bremer & Smith, 2004: 1) mengatakan “social competence as “the degree to which students are able to establish and maintain satisfactory interpersonal relationships, gain peer

acceptance, establish and maintain friendships, and terminate negative or

(36)

36

mendapatkan penerimaan oleh orang lain, membangun dan memelihara persahabatan, dan mengakhiri hubungan interpersonal yang negatif atau bersifat merusak.

“Social skills are those behaviors that promote successful social

relationships enable individuals to work effectively with others” (Arends, 2007:

367). Keterampilan sosial adalah perilaku-perilaku yang mendukung kesuksesan hubungan sosial dan memungkinkan individu untuk bekerja secara efektif bersama orang lain. Dari definisi-definisi di atas keterampilan sosial adalah perilaku-perilaku terhadap lingkungan, menjalin hubungan dengan orang lain atau suatu kelompok, menghargai diri sendiri dan orang lain, serta bekerja secara efektif bersama orang lain dengan menghormati norma-norma dan nilai yang ada dalam kelompok atau masyarakat tertentu.

Menurut Syamsul Bachri Thalib (2013: 165), adanya keterampilan sosial dalam diri seseorang terdiri dari sejumlah sikap yaitu,

Seseorang memiliki keterampilan sosial tinggi, apabila dalam dirinya memiliki keterampilan sosial yang terdiri dari sejumlah sikap, termasuk: a. kesadaran situasional atau sosial (social awareness); b. kecakapan ide, efektivitas, dan pengaruh kuat dalam melakukan komunikasi dengan orang atau kelompok lain; c. berkembangnya sikap empati atau kemampuan individu melakukan hubungan dengan orang lain pada tingkat yang lebih personal; d. terampil berinteraksi (interaction style).

Keterampilan sosial seperti yang dikemukakan Kachala & Bialo (2009: 3) sebagai berikut:

Social skills as defined by the SSRS-includes four components, each of which corresponds to an SSRS social skills subscale:

(37)

37

b. Self-Control-behaviors that emerge in conflict situations, such as responding appropriately to teasing, and in non-conflict situations that require taking turns and compromising.

c. Assertion-initiating behaviors, such as asking others for informations and introducing oneself and responding to the actions of others.

d. Cooperation-behaviors such as helping others, sharing materials, and complying with rules and directions.

Keterampilan sosial seperti yang didefinisikan oleh SSRS (Kachala & Bialo, 2009: 3), terdiri dari empat komponen, yaitu:

a. Tanggung jawab-perilaku yang menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang dewasa dan memperhatikan hal kerja.

b. Kontrol terhadap diri sendiri-perilaku yang muncul dalam situasi konflik, seperti menanggapi secara tepat, dan dalam situasi tidak konflik dapat saling membutuhkan dan berkompromi.

c. Sikap tegas, yaitu menanyakan kepada orang lain tentang informasi, memperkenalkan diri dan menaggapi tindakan orang lain.

d. Kerjasama yaitu perilaku membantu orang lain, berbagi, dan mematuhi aturan dan arahan.

Aspek-aspek keterampilan sosial (NASP, 2002) yaitu:

a. Survival skills (e.g., listening, following directions, ignoring distractions, using nice or brave talk, rewarding yourself)

b. Interpersonal skills (e.g., sharing, asking for permission, joining an activity, waiting your turn)

c. Problem-solving skills (e.g., asking for help, apologizing, accepting consequences, deciding what to do)

(38)

38

Aspek-aspek keterampilan sosial (NASP, 2002) yaitu:

a. Keterampilan bertahan hidup (misalnya mendengarkan, mengikuti petunjuk, mengabaikan gangguan, menggunakan secara baik atau berani berbicara, menghargai diri sendiri)

b. Keterampilan interpersonal (misalnya, berbagi, meminta ijin, mengikuti kegiatan, menunggu giliran)

c. Keterampilan menyelesaikan masalah (misalnya meminta bantuan, menerima konsekuensi, memutuskan apa yang akan dikerjakan)

d. Keterampilan menyelesaikan konflik (misalnya, berurusan dengan sindiran, kehilangan, tuduhan, ditinggalkan, tekanan dari teman sebaya)

Caldarella & Merrel (1997: 264) mengatakan terdapat 5 dimensi keterampilan sosial yaitu:

Peer relations skills, self management skills, academic skills, compliance skills, and assertion skills.

a. Peer relations skills dimension (complimenting or praising others, offering help or assistance, and inviting others to play or interact) b. Self management skills (able to control his or her temper, follow rules

and limits, compromise with others, and receive criticism well)

c. Academic skills (accomplishing tasks or assignments independently, completing individual seatwork/assigments, and heading teacher directions)

d. Compliance skills or “cooperation” (compatible with others by complying with social rules and expectations, appropriately using free time, and sharing things)

e. Assertion skills (initiating conversations with others, acknowledging compliments, and inviting others to interact)

Lima dimensi keterampilan sosial:

(39)

39

b. Keterampilan Manajemen Diri (dapat mengontrol emosi, mengikuti aturan dan batasan, kompromi dengan orang lain, menerima kritik dengan baik)

c. Keterampilan akademik (menyelesaikan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual, mengikuti arahan/petunjuk guru)

d. Keterampilan kepatuhan atau sering disebut juga dengan “cooperation” atau

kerjasama (kompatibel dengan orang lain dengan mematuhi aturan-aturan dalam kehidupan sosial, menggunakan waktu luang dengan tepat, dan berbagi) e. Keterampilan penegasan atau sikap tegas (memulai percakapan dengan orang

lain, mengakui pujian, mengajak orang lain untuk berinteraksi)

Secara umum keterampilan sosial dapat dirangkum ke dalam 5 dimensi yaitu:

a. Keterampilan yang berhubungan dengan teman sebaya (memuji teman, menawarkan bantuan, mengajak teman untuk bermain atau berinteraksi) b. Keterampilan Manajemen Diri (dapat mengontrol emosi, mengikuti aturan dan

batasan, kompromi dengan orang lain, menerima kritik dengan baik)

c. Keterampilan akademik (menyelesaikan tugas secara mandiri, menyelesaikan tugas individual, mengikuti arahan/petunjuk guru)

d. Keterampilan kepatuhan (kompatibel dengan orang lain dengan mematuhi aturan-aturan dalam kehidupan sosial, menggunakan waktu luang dengan tepat, dan berbagi)

(40)

40 7. Prestasi Belajar

Prestasi belajar merupakan salah satu hal yang menentukan kesuksesan dalam hidup. Hal itu seperti yang dikemukakan oleh Calaguas (2012: 49) bahwa “Academic achievement is one of the determinants of success in life”. Pada tahun 2007, Nuthana juga mengatakan bahwa “Academic achievement has been one of

the most important goals of the educational process” (Calaguas, 2012: 50). Menurutnya, prestasi akademik merupakan salah satu tujuan terpenting yang hendak dicapai dalam proses pendidikan.

Winkel (2014: 453) mengatakan bahwa prestasi adalah bukti nyata dari hasil yang dituju telah tercapai. Sedangkan menurut M. Hosnan (2014: 158), prestasi belajar merupakan perubahan perilaku baik peningkatan pengetahuan, perbaikan sikap, maupun peningkatan keterampilan yang dialami siswa setelah menyelesaikan kegiatan pembelajaran. Linn (2011: 28) berpendapat bahwa “student achievement is the status of subject-matter knowledge, understandings,

and skills at one point in time. The most commonly used measure of student

achievement is a standardized test”. Pernyataan tersebut berarti prestasi belajar siswa adalah status subjek-materi pengetahuan, pemahaman, keterampilan pada saat tertentu. Untuk mengukur prestasi belajar siswa digunakan tes yang standar.

(41)

41

prestasi belajar diukur setelah melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan tes yang berupa seperangkat soal matematika pada materi pokok Aljabar.

Tes prestasi belajar menurut Gronlund (1977: 1) adalah “Achievement tests should support and reinforce other aspects of the instructional process. They

can aid both the teacher and the student in assessing learning readiness,

monitoring learning progress, diagnosing learning dificulties, and evaluating

learning outcomes.”

Tes prestasi sebaiknya mendukung dan memperkuat aspek lain dari proses pembelajaran. Tes prestasi dapat membantu guru maupun siswa dalam menilai kesiapan belajar, memantau kemajuan belajar, mendiagnosis kesulitan belajar, dan mengevaluasi hasil belajar.

Pada tahun 1997, Zimmerman & Risemberg (Dembo, 2004: 10) mengatakan ada 6 komponen penting dalam pengaturan diri dalam hal prestasi akademik yaitu “motivation, methods of learning, use of time, physical

environment, social environment, and performance”. Enam komponen penting yang diperlukan untuk meningkatkan prestasi akademik adalah motivasi, model pembelajaran yang digunakan, memanfaatkan waktu dengan baik, lingkungan fisik, lingkungan sosial dan kinerja.

B. Penelitian yang Relevan

(42)

42

tahun 2010. Hasil penelitiannya yaitu prestasi belajar matematika siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match lebih baik daripada menggunakan pembelajaran langsung (Direct Instruction) pada materi luas bangun datar (trapesium dan layang-layang). Dalam penelitian ini Make A Match merupakan salah satu teknik dalam model pembelajaran kooperatif yang

membentuk kelompok berpasangan.

Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Supriyono, Supriyono & Puji Nugraheni pada tahun 2012. Hasil penelitiannya adalah prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match lebih baik daripada prestasi belajar siswa dengan metode konvensional pada materi segiempat siswa kelas VII SMP Negeri 1 Mirit Kebumen tahun pelajaran 2011/2012.

C. Kerangka Berpikir

Keterampilan sosial mempengaruhi prestasi belajar siswa. Keterampilan sosial yang baik dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Keterampilan sosial adalah perilaku-perilaku yang mendukung kesuksesan hubungan sosial dan memungkinkan individu untuk bekerja secara efektif bersama orang lain. Namun, keterampilan sosial siswa masih kurang yang tampak saat diskusi tidak semua ikut terlibat aktif. Tidak semua siswa ikut menyampaikan ide di dalam kelompok diskusinya.

(43)

43

dilihat dari apabila guru tidak menyuruh membaca materi selanjutnya, maka siswa tidak akan belajar. Ada juga yang masih merasa malu dalam mengajukan pertanyaan kepada guru. Itulah faktor yang menyebabkan prestasi belajar siswa masih kurang.

Selain keterampilan sosial dan prestasi belajar yang belum optimal, model pembelajaran juga merupakan faktor penting dalam pembelajaran. Dalam proses pembelajaran guru mempunyai peranan yang sangat penting. Seorang guru diharapkan memiliki dan dapat menerapkan model pembelajaran yang tepat dalam proses pembelajaran. Melalui model pembelajaran yang tepat, diharapkan proses belajar mengajar dapat terlaksana dengan efektif. Selain itu, model pembelajaran yang tepat diharapkan mampu meningkatkan keterampilan sosial dan prestasi belajar siswa. Model pembelajaran yang dipilih adalah model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match.

(44)

44

Siswa dilibatkan dalam proses pembelajaran apabila menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match. Dalam model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match, siswa menjadi pemeran utama. Pemegang kartu berisi soal dan jawaban berlomba-lomba mencari pemegang kartu yang cocok dengan kartu yang ia miliki.

Dilihat dari proses pembelajarannya, model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match dapat membuat siswa memahami konsep sambil mencari pasangannya dalam suasana yang menyenangkan. Keterampilan sosial diperlukan saat siswa mencari pasangan kartunya agar dapat menemukan dengan tepat. Agar dapat menemukan pasangan kartunya siswa juga harus memahami konsep matematikanya. Prestasi belajar siswa akan meningkat karena siswa telah memahami konsep matematika. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian tentang keefektifan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match ditinjau dari keterampilan sosial dan prestasi belajar matematika siswa.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match efektif ditinjau dari keterampilan sosial siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik.

2. Model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match efektif ditinjau dari prestasi belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik.

(45)

45

4. Pembelajaran langsung (Direct Instruction) efektif ditinjau dari prestasi belajar matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik.

5. Model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match lebih efektif daripada pembelajaran langsung (Direct Instruction) ditinjau dari keterampilan sosial siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik.

(46)

46 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu. Tujuan penelitian kuasi eksperimen menurut Sumadi Suryabrata (2013: 58), adalah untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol atau memanipulasikan semua variabel yang relevan. Penelitian ini mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match ditinjau dari keterampilan sosial dan prestasi belajar matematika.

Langkah-langkah pelaksanaan penelitian eksperimen semu adalah sebagai berikut:

1. Menentukan sampel yakni sampel kelas yang menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match dengan kelas yang menggunakan pembelajaran langsung (Direct Instruction).

2. Memberikan pretest dan angket awal keterampilan sosial untuk kedua kelas sampel.

3. Memberikan perlakuan dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match dan pembelajaran langsung (Direct Instruction).

4. Memberikan posttest dan angket akhir keterampilan sosial pada kedua kelas sampel.

(47)

47 B. Desain Penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah Pretest-Postest Nonequivalen Control Group Design. Pada desain ini terdapat dua kelompok

yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Sebelum perlakuan, kedua kelompok diberikan pretest dan setelah perlakuan, kedua kelompok diberikan posttest. Berikut ini rancangan desain penelitian mengenai “pretest-posttest nonequivalen control group design” yang diterapkan dalam bentuk tabel.

Tabel 1 Rancangan Pretest-Posttest Nonequivalen Control Group Desain

Kelompok Sebelum

Perlakuan

Perlakuan Setelah Perlakuan

C Pretest XE Posttest

Angket Angket

A Pretest XK Posttest

Angket Angket

Keterangan:

C : Kelas yang diberi perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match.

A : Kelas yang menggunakan pembelajaran langsung (Direct Instruction). XE : Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif teknik Make A

Match.

XK : Pembelajaran langsung (Direct Instruction).

C. Tempat dan Waktu Penelitian

(48)

48

[image:48.595.134.492.167.469.2]

Berikut ini merupakan rincian jadwal pelaksanaan penelitian untuk kedua kelas tersebut.

Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Kelas VII A dan VII C SMP Negeri 1 Ngaglik Tahun Ajaran 2014/2015

No Hari/ Tanggal Waktu Kelas Materi

1. Rabu, 4 Maret 10.20-11.40 VII A Pretest dan Angket 2. Kamis, 5 Maret 07.20-08.40 VII A Bentuk Aljabar

11.40-13.00 VII C Pretest dan Angket 3. Sabtu, 7 Maret 07.00-08.20 VII C Bentuk Aljabar 4. Rabu, 11 Maret 10.20-11.40 VII A PLSV 5. Kamis, 12

Maret

07.20-08.40 VII A PLSV 11.40-13.00 VII C PLSV 6. Sabtu, 14 Maret 07.00-08.20 VII C PLSV 7. Rabu, 1 April 10.20-11.40 VII A PtLSV 8. Kamis, 2 April 07.20-08.40 VII A Model Matematika

PLSV 11.40-13.00 VII C PtLSV 9. Sabtu, 4 April 07.00-08.20 VII C Model Matematika

PLSV 10. Rabu, 8 April 10.20-11.40 VII A Model Matematika

PtLSV 11. Kamis, 9 April 07.20-08.40 VII A Posttest dan Angket

11.40-13.00 VII C Model Matematika PtLSV 12. Sabtu, 11 April 07.00-08.20 VII C Posttest dan Angket

D. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 1 Ngaglik tahun ajaran 2014/2015 sebanyak 184 siswa. Terdapat 6 kelas di SMP Negeri 1 Ngaglik yaitu VII A, VII B, VII C, VII D, VII E, VII F.

(49)

49 E. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yaitu model pembelajaran kooperatif teknik Make A Match dan pembelajaran langsung (Direct Instruction). Kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran

kooperatif teknik Make A Match. Kelas kontrol menggunakan pembelajaran langsung (Direct Instruction).

2. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan sosial dan prestasi belajar matematika siswa. Data keterampilan sosial siswa diperoleh dari lembar angket. Data prestasi belajar matematika siswa diperoleh dari tes prestasi belajar.

3. Variabel Kontrol

Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah guru yang mengajar, jumlah jam mata pelajaran materi yang diajarkan, angket keterampilan sosial, dan soal tes prestasi belajar yang sama.

F. Definisi Operasional

Penelitian ini memberi batasan definisi operasional sebagai berikut:

(50)

50

a. Guru dan siswa melakukan persiapan sebelum pembelajaran dimulai Guru mempersiapkan kartu soal-jawaban dan menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

b. Pengelompokkan siswa

Siswa dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok I dan kelompok II. c. Teknik mencari pasangan

Permainan mencari pasangan meliputi tata cara sebagai berikut: 1) Siswa memperoleh satu kartu berisi soal dan jawaban.

2) Siswa memikirkan jawaban dari soal pada kartu masing-masing selama 3 menit. Siswa tidak diperkenankan mencari pasangan terlebih dahulu sebelum waktu untuk memikirkan jawaban selesai. 3) Siswa mencari pasangan kartunya selama 2 menit. Siswa mencari

jawaban dari soal kartunya di dalam kartu anggota lain dalam kelompoknya.

4) Setelah menemukan pasangan kartunya, siswa mengucapkan kata "berhasil" untuk dicatat dan dicek kebenaran jawaban oleh pengamat.

5) Setelah menemukan pasangannnya, siswa duduk berdekatan dengan pasangannya untuk mendiskusikan jawaban dari soal dalam kartunya. Siswa yang menemukan pasangan kartu yang tepat mendapat satu poin.

(51)

51

d. Presentasi dan pembahasan hasil permainan

Pasangan kartu pertanyaan dan jawaban yang sudah cocok dapat mempresentasikan soal dan jawaban yang ada di kartunya.

e. Penghargaan kelompok

Kelompok dengan poin tertinggi mendapat penghargaan dari guru. f. Penyimpulan materi

Siswa bers

Gambar

Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Kelas VII A dan VII C SMP Negeri 1 Ngaglik Tahun Ajaran 2014/2015 No Hari/ Tanggal Waktu Kelas Materi
Tabel 3 Kisi-kisi Instrumen Keterampilan Sosial
Tabel 4 Penetapan Skor untuk Skala Keterampilan Sosial Kadang-kadang
Tabel 5 Hasil Analisis Faktor Instrumen Keterampilan Sosial No.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui penerapan model belajar kooperatif pada materi FPB dan KPK, meningkatkan respon dan prestasi belajar

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) manakah yang memberikan prestasi belajar matematika lebih baik, pembelajaran menggunakan pendekatan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peningkatan prestasi belajar siswa antara lain. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan make a match

Kata kunci : Kontekstual, Prestasi Belajar Matematika, Komunikasi Matematis Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan : (1) prestasi belajar matematika yang diajar dengan model

Untuk memperoleh data motivasi belajar siswa yaitu dengan menggunakan angket motivasi belajar, sedangkan untuk memperoleh data prestasi belajar dalam penelitian ini menggunakan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) keefektifan pendekatan open-ended dan CTL ditinjau dari prestasi belajar; (2) keefektifan pendekatan open-ended dan

Hasil penelitian ini adalah bahwa menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe make a match dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar