• Tidak ada hasil yang ditemukan

QUO VADIS NASYIATUL AISYIYAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "QUO VADIS NASYIATUL AISYIYAH"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

QUO VADIS NASYIATUL AISYIYAH

Duapuluh tahun terakhir, krisis kader dapat dikatakan sebagai mantra wajib yang selalu dirapal oleh seluruh jajaran pimpinan Nasyiatul Aisyiyah dari pusat sampai ranting, melengkapi lagu klasik melankolis problem konsolidasi yang juga selalu diputar dalam setiap pidato pertangungjwaban di tiap jenjang kepemimpinan. Kalau DPR telah mengubah lagu wajib mereka dari lagu setuju menjadi lagu korupsi dan interupsi maka tidak demikian dengan nasib Nasyiatul ’Aisyiyah. Dilihat dari umur NA yang sudah lebih dari 80 tahun dan khittah NA yang menasbihkan diri sebagai organisai kader, kenyataan ini jelas merupakan sebuah tragedi namun sayangnya tragedi itu telah berubah menjadi tradisi yang selalu diwariskan pada setiap generasi.

Sebagaimana organisasi otonom Muhammadiyah yang lain, NA juga dibebani kewajiban untuk menyemaikan kader bangsa, kader ummat, dan kader Persyarikatan (dalam hal ini juga kader ‘Aisyiyah). Akan tetapi jangankan untuk melakukan

transformasi keluar, sekedar mencari kader untuk NA sendiri saja saat ini NA sudah agak kesulitan. Di banyak daerah nama NA semakin tidak dikenal dan bahkan nyaris tenggelam digilas oleh beberapa organisasi keperempuanan yang muncul belakangan yang lebih nyata arah dan gerak perjuangannya.

Secara normatif organisatoris sebenarnya NA sudah memiliki seperangkat gagasan cerdas untuk menjawab seluruh tantangan yang ada. Misalnya saja sejak tahun 1995 NA sudah merumuskan program jangka panjang yang terbagi dalam tiga periode Muktamar. 1995-2000 menitikberatkan pada program kemubalighatan, tahun 2000-2004 memfokuskan diri pada program kebangsaan, dan program keummatan pada tahun 2004-2010.

Tiga tahapan normatif ini diulas dari sisi manapun terlihat sangat baik dan visioner. Program kemubalighatan dapat ditafsiri sebagai penyiapan kader internal yang disiapkan untuk bisa menjadi penganjur sekaligus agen untuk teraplikasikannya nilai-nilai masyarakat utama yang sesuai dengan cita-cita NA ke dalam masyarakat. Program kebangsaan adalah untuk memperkuat posisi tawar NA dalam percaturan kebijakan publik, dan program keummatan adalah amal nyata untuk mengubah kondisi ummat dari alam kegelapan ke alam yang tercerahkan.

Menurut Dyah Nuraini, adanya program jangka panjang yang dicanangkan NA sesungguhnya NA dapat dikatakan sebagai organsasi yang mempunyai pandangan jauh ke depan dan cukup serius mempersiapkan para kadernya untuk bisa berperan optimal dalam melaksanakan tugas khalifatullah yang harus memberi warna positif dalam peradaban kemanusiaan. “Programing jangka panjang yang dibagi menjadi tiga tahap muktamar ini dapat diartikan kalau NA sudah (mempunyai rencana)

mempersiapkan kader-kadernya untuk menjadi kader bangsa dan kader ummat dengan basis kemubalighotan”. Tutur mantan Aktivis Nasyiatul Aisyiyah ini menegaskan.

Mengingat makna istilah Mubalighat dalam tradisi keluarga besar

(2)

Dilihat dari periodesasi rencana program yang telah digariskan permuktamar tersebut, periode tahun ini merupakan tahap penguatan visi NA bidang kebangsaan. Itu artinya NA saat ini harus sudah bisa mengambil peran cukup dalam penentuan-penentuan kebijakan publik kebangsaan. Akan tetapi kenyataan di lapangan sangat berbeda dengan hitungan perencanaan yang ndakik-ndakik tersebut, “sejauh ini kami belum mampu menentukan kebijakan publik, karena masih ikut dengan keputusan yang dibuat oleh Muhammadiyah” ungkap Nikmah, Ketua PW NA Jawa Barat.

Akan tetapi dengan menyebut beberapa nama semisal, Nurjanah Djohantini (mantan ketua PP NA) yang kini jadi anggota Panswaslu Pusat, Latifah Iskandar (mantan bendahara PP NA) yang baru dilantik sebagai anggota DPR RI, Eni Khoironi (ketua PW NA Bengkulu) yang terpilih jadi anggota DPD, Istianah ZA menjadi anggota DPRD Tk I DIY, Nur Rosyidah terpilih menjadi anggota DPRD Tk II Kota Yogyakarta, dan masih banyak nama lain yang telah sukses meraih beberapa posisi strategis. Menurut Dyah Nur Aini dapat dikatakan sebagai salah satu bukti kalau kader-kader sebenarnya juga bisa berperan sebagai kader bangsa.

Pendapat mantan aktivis NA yang sekarang menjadi salah satu Pengasuh Pondok Hj Nuriyah Sabran UM Surakarta dan Pimpinan Pusat Aisyiyah ini juga dibenarkan oleh ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jatim, Nurlaila “Programing jangka panjang PP NA yang menekankan fokus tertentu dalam tiap periode muktamar, sebenarnya sangat baik tetapi sosialisasi praktisnya ke tingkat bawah selalu menjadi permasalahan tersendiri. Bayangkan saja kalau ada sosialisasi program yang datang di akhir periode kepemimpinan, apa itu mungkin bisa diteruskan ke bawah? Secara teori mungkin bisa, karena NAnya tetap ada tetapi orang-orangnya kan harus berganti sehingga sangat mungkin terjadi distorsi informasi dan bahkan berkas, apalagi kalau arsipnya juga ada yang keselip. Tanpa bermaksud mengkritik, saya menilai PP yang sekarang ini memang sering telat dalam mensosialisasikan beberapa hal penting”.

Selanjutnya Ketua PW NA Jatim ini juga menyatakan kalau kelambanan PP NA dalam mensosioalisasikan kebjiakan juga sering diperparah dengan ketimpangan informasi antara pusat dan daerah. Misalnya saja PP seringkali mengubah (untuk tidak mengatakan menelikung) hasil keputusan musyawarah. Muktamar atau Tanwir memutuskan A ditanfidz yang keluar A- atau A+ atau bahkan B. “Kalau hanya penyempurnaan bahasa mungkin kami bisa menerima tetapi yang substantifpun kadang dirubah oleh PP” tandas ketua PP NA Jatim ini yang kemudian juga diamini oleh Nurhidayah (Departemen Dokumentasi dan Informasi PW NA Jatim).

Lepas dari semua kesilangsengkarutan belenggu birokrasi organisatoris tersebut, faktor usia juga menjadi permasalahan yang sangat rumit dan kompleks dalam

melaksanakan perkaderan. Hal ini menurut Maria Ulfa (ketua PB Fatayat NU) juga di alami oleh Fatayat dan mungkin semua organsasi sejenis. “Usia anggota NA itukan usia ‘rawan’ yang belum lulus, tengah sibuk menyelesaikan skripsi yang telah lulus sibuk nyari pekerjaan dan urusan keluarga (rumah tangga baru dan hamil memasuki saat berumah tangga), belum lagi memutuskan apa yang harus dikerjakan, yang usia 17 tahun mengatakan belum gaduk kuping (belum saatnya) yang berusai 40 tahun menyatakan kok kayak urusan ABG. Memang sulit. Dan inilah yang membuat NA semakin tidak menarik” tandas Nurlaila.

(3)

relatif gaptek dan agak tidak familiar dengan aneka teknologi informasi. Tetapi realitasnya memenag seperti itu, maka di sinilah justeru menariknya karena akan ada semacam tantangan yang harus kita taklukkan dengan ‘pengetahuan’ baru”. Sergah Nurhidayati dengan semangat.

Mantan Sekjend PP NA, Misma Kasim menyebut faktor budaya juga sering menjadi faktor penghambat transformasi kader NA. Misalnya saja budaya tidak percaya diri. Karena entah dari mana dan kapan mulainya saat ini kader NA banyak yang tidak Percaya Diri ketika tampil di hadapan umum. Hal ini terbukti ketika PP NA mengadakan Seminar Nasional pra muktamar tgl 6 Oktober 2004 yang lalu, PP NA tidak cukup percaya diri menampilkan kadernya sendiri untuk sekedar menjadi moderator. Tidak ada kader NA yang berani atau PP tidak yakin pada kemampuan kadernya hasilnya sama saja. Seminar pra-Muktamar tersebut terpaksa mengimpor Direktur Lembaga Studi Pengembangan Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Saud el-Hujaj untuk menjadi moderatornya. Tragis memang.

Dalam koridor ini tidak jelas siapa yang mesti dipersalahkan. Kader NA yang tidak mempunyai kepercayaan diri atau PP NA yang tidak memberi kesempatan kadernya sendiri untuk melatih keprecayaan dirinya, atau justeru sang penolong yang mau jadi moderator itu yang samasekali tidak mempertimbangkan perlunya

pengkaderan.

Selain tidak adanya rasa percaya diri mantan aktivis IMM tahun 1988-an ini juga menyebut budaya ‘arogan’ sebagai penghambat transformasi kader NA ke Aisyiyah. Kader NA yang merasa sudah lulus Master (apalagi dari luar negeri) sangat jarang yang mau aktif di Aisyiyah tingkat daerah ke bawah.karena merasa bukan levelnya lagi. Terlebih ketika di NA sudah biasa bermain-main dengan lembaga donor dari luar negeri. Dan ketika kegiatan-kegiatan Aisyiyah tersebut tidak ‘bermutu’ orang-orang ini kemudian sambil kasak-kusuk mengatakan kalau Aisyiyah tidak bermutu.

Babak belurnya internal NA ini kemudian juga berimbas pada dunia luar. Nama Nasyiatul Aisyiyah relatif tidak dikenal oleh publik. Keadaan ini menjadi

permasalahan tersendiri bagi organisasi perempuan yang telah berusia kurang lebih 80 tahun ini. Umi Maisarah Ativis Putri Remaja Masjid Al Qudus Kedunggalar Ngawi ketika ditanya tentang NA maka jawabnya adalah “Saya kok belum pernah dengar NA itu apa ya mas?, kalau Aisyiyah saya memang pernah dengar, itukan nama Taman Kanak-Kanak milik Muhammadiyah, tetapi kalau NA saya belum pernah dengar”

Ketika sedikit di beri penjelasan tentang NA maka komentarnya adalah “Putrinya Muhammadiyah? Kalau gitu bukan NAnya yang tidak terkenal mas tetapi saya saja yang mungkin kurang gaul dan kurang baca koran. Jadi NA itu para jilbababer yang sering ikut demonstrasi di tv-tv itu, kalau itu bagus mas, kalau

organisasi itu ada di sini saya juga mau ikut bergabung juga”. Nah hebatkan? Apalagi Umi Maisaroh ternyata tidak sendirian masih ada lagi Nurhandayani dari Karangrejo Sawah Surabaya, guru SD Islam Al-Azhar Surabaya yang berkomentar, “Dengar nama NA sih pernah tetapi tidak jelas dan wujudnya saya kok belum pernah lihat juga”. Nury Mey Sulistyowati, penggiat TPA di daerah Nguter Sukoharjo juga menyatakan hal yang tidak jauh berbeda. Kenyataan ini juga diakui secar jujur oleh ketua PW NA Jabar, Nikmah dan juga Hulaiyah (ketua PW NA Banten) yang

(4)

Ketidakpopuleran NA ini sebenarnya juga diakui sendiri oleh PP NA yang merencanakan menggelar muktamar secara mandiri yang salah satu tujuanya adalah agar gaungnya bisa agak terdengar, tidak seprti yang dulu-dulu, selalu tenggelam dalam gemuruh Muktamar Muhammadiyah. Akan tetapi kesadaran ini kurang diimbangi oleh perangkat pendukung yang lain yang bisa mengangkat gema NA. Seminar tanggal 6 Oktober 2004 yang lalu misalnya, sangat tidak tercover dalam pemberitaan media (mungkin hanya akan diberitakan SM dan SA).dan dihadiri oleh sangat sedikit peserta, sangat tidak imbang dengan tema yang diangkat dan pembicara yang diundang.

Mukatamar NA sudah semakin dekat, dan tampaknya PP NA harus segera membenahi persiapan-persiapannya dalam menggelar muktamarnya, sebab kalau tidak muktamar mandiri NA yang bertujuan mengangkat gaung NA justeru akan semakin menenggelamkan NA. NA memang sangat dikenal oleh lembaga-lembaga donor dari luar (sebagaimana yang sering dikemukan beberapa pimpinan teras PP NA) maka akan sangat naif apabila tidak dikenal oleh ummat sendiri. Begitu, kok mau muktamar sendiri!!(tulisan ISMA; bahan fikr, wi2k, k’ies)

Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Mampu memberikan motivasi positif guna membantu para remaja yang gemar berbelanja pakaian baru dan mahal untuk tidak berpelilaku konsumtif dengan cara kreatif

3DGD7DEHOGDQWDPSDNEDKZDSHQJJXQDDQ EDKDQ ILQLVKLQJ NRPHUVLDO 0) GDQ 16 PDPSX PHPEHUL SURWHNVL SDGD ND\X WXVDP GDQ NDUHW WHUKDGDS LQWUXVL DLU GLEDQGLQJNDQ

Telah Melaksanakan Pakta Integritas sesuai dengan Formulir Model B3-PARPOL.. PARTAI BULAN BINTANG

Typically, issues of problem analysis, overall program design, documentation, testing, and mainte- nance, as well as the management of all of this, dwarf the task of writing

Antibiotik yang menunjukkan waktu bebas panas paling cepat adalah seftriakson, namun secara statistik tidak ada perbedaan waktu bebas panas yang bermakna antara

tubuh : jantung pembuluh darah, pernafasan, sistem saraf... • Kerusakan sel,

Hasil diatas menunjukkan nilai signifikansi 0,858 (nilai signifikansi lebih besar dari 0,05) sehingga tidak terdapat hubungan yang signifikan dari lama menderita DM

Dari hasil uji kuat lekat tulangan baja terhadap kedua bahan diperoleh nilai 11,4729 MPa untuk beton dan 11,1963 MPa untuk mortar, dengan kata lain nilai ini tidak berbeda