• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Pangalengan BPKH Pangalengan, KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Stategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Pangalengan BPKH Pangalengan, KPH Bandung Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ALAM DI KECAMATAN PANGALENGAN

BKPH PANGALENGAN, KPH BANDUNG SELATAN

PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN

Oleh :

LINDA SETIONINGRUM

E 14102034

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)
(3)

DI KECAMATAN PANGALENGAN, BKPH PANGALENGAN KPH BANDUNG SELATAN, PERUM PERHUTANI UNIT III

JAWA BARAT DAN BANTEN

LINDA SETIONINGRUM

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Nama Mahasiswa

NRP

:

:

ALAM DI KECAMATAN PANGALENGAN, BKPH PANGALENGAN, KPH BANDUNG SELATAN, PERUM PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN

Linda Setioningrum

E 14102034

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS

NIP. 131 412 316

Mengetahui,

Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. NIP. 131 430 799

(5)

Linda Setioningrum. E14102034. Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Di bawah bimbingan Dr Ir. Nurheni Wijayanto, MS.

Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di

Indonesia yang belum banyak dilakukan, padahal usaha ini memiliki banyak

kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain waktu yang singkat dalam budidaya

murbei hingga panen kokon, mudah dilakukan, tidak memerlukan tempat yang

luas, dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah tangga dan keuntungan yang

dihasilkan cukup tinggi.

Secara umum daerah Pangalengan memiliki kondisi fisik lingkungan yang

sangat menunjang usaha persuteraan alam sehingga usaha tersebut sangat cocok

dilakukan di daerah Pangalengan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di

Kecamatan Pangalengan, karena daerah tersebut sangat berpotensi untuk

pengembangan usaha persuteraan alam.

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu strategi pengembangan

usaha persuteraan alam. Penelitian dilakukan dengan dua tahapan yakni analisis

strategis menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan analisis struktural dengan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM).

Data primer pada penelitian ini diperoleh dari hasil kuisioner dan

wawancara mendalam (in-depth interview) bersama pakar yang mengetahui seluk

beluk mengenai usaha persuteraan alam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari

hasil studi literatur.

Pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan

ditentukan keberhasilannya oleh unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan

unsur eksternal (peluang dan ancaman). Unsur kekuatan yang paling tinggi nilai

pengaruhnya adalah kondisi biofisik lingkungan dan total nilai pengaruh unsur

kekuatan adalah 3,302. Pada unsur kelemahan, keterbatasan modal dinilai sebagai

kelemahan yang sangat berpengaruh dan total nilai pengaruh unsur kelemahan

adalah 2,259. Peluang yang memiliki nilai pengaruh tertinggi yang perlu direspon

(6)

unsur ancaman yang memiliki nilai pengaruh tertinggi adalah penghasilan yang

lebih menjanjikan dari bidang lain selain persuteraan alam. Dan total nilai

pengaruh unsur ancaman adalah 2,259.

Pada Diagram SWOT, diketahui bahwa posisi strategi pengembangan usaha

persuteraan alam di Pangalengan terletak pada kuadran I. Menurut Rangkuti

(2000) berarti situasi yang terjadi sangat menguntungkan. Maka strategi yang

diterapkan adalah strategi SO dengan memaksimalkan kekuatan sehingga dapat

memanfaatkan peluang yang ada.

Menurut Saxena, 1992 dalam Eriyatno 1999 bahwa suatu program dengan teknik ISM dapat dibagi menjadi 9 elemen. Dalam penelitian ini, struktur program

yang digunakan adalah sektor masyarakat yang terpengaruhi, tujuan dari program,

kebutuhan dari program, kendala utama, lembaga yang terkait dengan program,

dan perubahan yang dimungkinkan.

Hasil dari analisis struktural menunjukkan bahwa sub-elemen kunci dari

elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi adalah petani murbei dan ulat sutera,

sub-elemen ini termasuk dalam sektor III. Sub-elemen kunci dari elemen tujuan

program adalah meningkatkan usaha persuteraan alam dan memenuhi permintaan

pasar yang besar akan kain sutera, sub-elemen ini termasuk dalam sektor III dan

IV. Sub-elemen kunci dari elemen kebutuhan program adalah permodalan,

sub-elemen ini termasuk dalam sektor IV. Sub-sub-elemen kunci dari sub-elemen kendala

utama adalah kurangnya permodalan dan kualitas SDM rendah, sub-elemen ini

termasuk dalam sektor III dan IV. Sub-elemen kunci dari elemen lembaga yang

terkait dengan program adalah BKPH pangalengan dan KPH Bandung Selatan,

sub-elemen ini termasuk dalam sektor III.. Sub-elemen kunci dari elemen

perubahan yang dimungkinkan adalah peningkatan kualitas SDM, sub-elemen ini

termasuk dalam sektor IV.

Berdasarkan hasil analisis strategis dan analisis struktural, diperoleh strategi

pengembangan usaha persuteraan alam antara lain pemanfaatan kondisi alam

untuk memperluas usaha, pemanfaatan sumberdaya manusia, pemberian kredit

(7)

Departemen Manajemen Hutan

Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan,

KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten

Oleh :

Linda Setioningrum dan Nurheni Wijayanto

PENDAHULUAN. Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di Indonesia yang belum banyak dilakukan, padahal usaha ini memiliki banyak kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain waktu yang singkat dalam budidaya murbei hingga panen kokon, mudah dilakukan, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah tangga dan keuntungan yang dihasilkan cukup tinggi. Secara umum daerah Pangalengan memiliki kondisi fisik lingkungan yang sangat menunjang usaha persuteraan alam sehingga usaha tersebut sangat cocok dilakukan di daerah Pangalengan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pangalengan, karena daerah tersebut sangat berpotensi untuk pengembangan usaha persuteraan alam.

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu strategi pengembangan usaha persuteraan alam. Penelitian dilakukan dengan dua tahapan yakni analisis strategis menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan analisis struktural dengan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM). Perangkat analisis SWOT yang digunakan adalah External Factor Evaluation Matrix (matriks EFE) dan Internal Factor Evaluation Matrix (Matriks IFE), Diagram SWOT dan Matriks SWOT. Metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub-elemen. Analisis struktural menghasilkan model interpretasi struktural bagi pengembangan usaha persuteraan alam. Data primer pada penelitian ini diperoleh dari hasil kuisioner dan wawancara mendalam (in-depth interview) bersama pakar yang mengetahui seluk beluk mengenai usaha persuteraan alam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi literatur.

(8)

Departement of Forest Management

Development Strategy of Natural Silk Effort in Subdistrict Pangalengan, BKPH Pangalengan,

KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III of West Java and Banten

By :

Linda Setioningrum and Nurheni Wijayanto

INTRODUCTION. Natural silk activity is one of the business opportunities which haven’t conducted by Indonesian society. Though this effort has many advantages, for example its not need long time in murbei plantation until cocoon harvest, easy to do and doesn’t need wide place. In the other hand, it can be done as a household activity and give a lot of earnings. Generally, Pangalengan has an environmental condition which is support and very compatible with the natural silk effort. Therefore this research is conducted in Subdistrict Pangalengan, because this area has a potency to develop natural silk effort.

MATERIALS AND METHODS. This research has an aim to formulate a development strategy of natural silk effort. This research is done with two step namely the strategic analysis use SWOT analysis (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) and the structural analysis with technique of Interpretative Structural Modelling ( ISM). External Factor Evaluation Matrix (EFE) and Internal Factor Evaluation Matrix (IFE), Diagram of SWOT and Matrix SWOT used for SWOT analysis. Methodologies and technique of ISM is divided become two shares that is compilation of hierarki and sub-element classification. The result of structural analysis is a structural interpretation model for development of natural silk effort. Primary data of this research is obtained from circumstantial result of quiz interview and in-depth interview with expert who knowing the ins and outs hit the natural silk effort. While secondary data is obtained from literature study.

(9)

A. Latar Belakang

Sistem agroforestry merupakan sistem yang telah biasa dilakukan masyarakat di Indonesia yang saat ini sedang diupayakan pengembangannya.

Salah satu contoh dari sistem agroforestry adalah kegiatan persuteraan alam. Kegiatan ini perlu diperhatikan dan diterapkan dalam praktek di lapangan.

Karena kegiatan ini memiliki sifat yang padat karya sehingga dapat

memperluas lapangan pekerjaan, dapat meningkatkan taraf hidup, dapat

menambah penghasilan masyarakat, dapat menanggulangi masalah

kependudukan dan tenaga kerja dan juga dapat berperan serta dalam

meningkatkan produksi sandang (garmen).

Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu peluang bisnis di

Indonesia yang belum banyak dilakukan, padahal usaha ini memiliki banyak

kelebihan. Waktu yang singkat dalam budidaya murbei hingga panen kokon

adalah salah satu kelebihannya. Kelebihan lainnya adalah mudah dilakukan,

tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah

tangga dan keuntungan yang dihasilkan cukup tinggi.

Kegiatan persuteraan alam sebenarnya telah lama dikenal dan dilakukan

oleh manusia. Sebagai bangsa yang tercatat sebagai pelopor budidaya, bangsa

Cina sejak sekitar tahun 200 SM sudah memiliki pabrik benang sutera yang

besar dan dapat memasarkannya ke berbagai penjuru dunia. Usaha ini terus

menyebar ke berbagai negara seperti Jepang, Korea, India, dan akhirnya

sampai ke Indonesia.

Kebutuhan akan benang sutera dunia mencapai 700 ton per tahun,

sedangkan produksi hanya sebesar 81,2 ton, sehingga Indonesia harus

mengimpor benang sutera sekitar 618,8 ton pada tahun 2005. Pemerintah

menargetkan produksi benang sutera nasional mencapai 400 ton pada tahun

2010, sehingga impor bisa ditekan hanya sekitar 275 ton (Seno, 2006). Maka

peluang untuk berusaha di bidang persuteraan alam di Indonesia cukup besar,

(10)

cocok untuk budidaya sutera alam, baik untuk penanaman tanaman murbei

sebagai sumber pakan ulat sutera, juga untuk pembudidayaan ulat sutera.

Kegiatan persuteraan alam ini dalam pelaksanaannya melibatkan petani,

pengusaha serta pemerintah. Petani sebagai produsen awal yang memelihara

ulat sutera (Bombyx mori) dan menanam daun murbei (Morus sp.) sebagai pakan bagi ulat. Sedangkan peran pengusaha sebagai penampung hasil

produksi petani yang kemudian dilakukan kegiatan pengolahan lebih lanjut.

Pemerintah disini berperan sebagai pembina kegiatan persuteraan alam ini.

Pemerintah saat ini perlu memperhatikan dan menggalakkan budidaya

ulat sutera karena komoditi sutera dianggap penting sedangkan produksi di

dalam negeri masih rendah. Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi

benang sutera mulai diusahakan, diantaranya adalah dengan pembukaan dan

perluasan daerah pemeliharaan baru, perbaikan penanaman murbei, perbaikan

pembibitan ulat sutera dan intensifikasi pemeliharaan ulat sutera.

Usaha persuteraan alam belum banyak dilakukan oleh masyarakat

Kecamatan Pangalengan karena usaha tersebut begitu dikenal. Maka perlu

dilakukan suatu penelitian terhadap strategi yang dapat menentukan

upaya-upaya pengembangan kegiatan persuteraan alam yang diharapkan dapat

menjadi daya tarik para petani sutera untuk lebih menekuni usahanya sehingga

dapat meningkatkan taraf hidup petani sutera serta dapat merangsang

masyarakat lainnya untuk melakukan usaha persuteraan alam.

B. Perumusan masalah

Besarnya permintaan benang sutera baik dari dalam negeri maupun dari

luar negeri belum diikuti dengan besarnya pertumbuhan produksi sutera alam.

Untuk mengimbangi hal tersebut, maka diperlukan kegiatan pengembangan

persuteraan alam di Indonesia.

Pengembangan persuteraan alam di Indonesia sebenarnya saat ini telah

banyak dilakukan, salah satunya adalah di wilayah BKPH Pangalengan, KPH

Bandung Selatan, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Akan

tetapi banyak hal lain yang menjadikan para petani beralih ke usaha lain

(11)

karena di wilayah tersebut memiliki potensi alam yang cukup baik untuk

dilakukannya pengembangan usaha persuteraan alam.

Oleh karena itu perlu dilakukan analisis mengenai pengembangan

persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan, BKPH Pangalengan, KPH

Bandung Selatan. Analisis dalam penelitian ini adalah analisis strategis

menggunakan metode SWOT dan juga analisis struktural dengan teknik ISM

(Interpretative Structural Modelling).

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain :

1. Mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor eksternal dan internal yang

dapat mempengaruhi perkembangan usaha persuteraan alam.

2. Menentukan model interpretasi struktural.

3. Merumuskan alternatif-alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam

rangka pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan,

BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Dapat menjadi bahan informasi dan perbandingan suatu analisis strategi

yang dapat diterapkan pada pengembangan persuteraan alam.

2. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat Kecamatan Pangalengan dalam

memanfaatkan potensi alam untuk usaha persuteraan alam.

(12)

A. Persuteraan Alam

Ada beberapa tujuan orang membudidayakan binatang, antara lain untuk

mendapatkan produksi pangan (daging, telur, susu, dan madu), untuk tenaga

kerja, untuk bahan obat-obatan, untuk bahan industri sandang (pakaian) serta

untuk hobi, dan lain-lain. Budidaya ulat sutera memiliki tujuan untuk

menghasilkan benang sutera sebagai bahan sandang (Guntoro, 1994).

Persuteraan alam merupakan kegiatan agroforestry yang mempunyai rangkaian yang cukup panjang sejak penanaman murbei, pembibitan ulat,

sutera, pemeliharaan ulat sutera, processing (pengolahan) kokon, pemintalan serat, pertenunan dan pemasaran kain sutera. Kegiatan ini sudah lama dikenal

dan dibudidayakan sebagian masyarakat Indonesia (Sunanto, 1997).

Usaha persuteraan alam, khususnya produksi kokon dan benang sutera

dirasakan sangat menguntungkan karena cepat mendapatkan hasil dan

memiliki nilai ekonomi tinggi, teknologi yang digunakan relatif sederhana,

tidak memerlukan keterampilan khusus, dapat dilakukan sebagai usaha pokok

ataupun sambilan, serta dapat dilakukan oleh pria, wanita, dewasa maupun

anak-anak. Oleh karena itu, kegiatan ini merupakan salah satu alternatif untuk

meningkatkan peranan sektor kehutanan dan perkebunan dalam mendorong

perekonomian masyarakat di pedesaan, memberikan lapangan pekerjaan serta

mendukung kegiatan reboisasi dan penghijauan (Balai Rehabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah Brantas, 2000).

1. Deskripsi Ulat Sutera

Dalam dunia persuteraan alam dikenal 4 jenis atau ras kupu sutera

unggul yang memiliki produksi kokon yang tinggi dan dapat menghasilkan

benang sutera dengan kualitas yang baik yakni Ras Cina, Ras Jepang, Ras

Eropa dan Ras Tropika. Di Indonesia yang banyak dikembangkan adalah

kupu ras Cina dan Jepang, dan hasil persilangan kedua ras tersebut. Namun,

belakangan ini hasil persilangan ras Jepang dan ras Cina yang lebih banyak

(13)

kelemahan-kelemahannya dapat dikurangi dan sifat unggulnya dapat

ditonjolkan (Guntoro, 1994).

Ulat sutera (Bombyx mori) membutuhkan daun murbei sebagai makanannya. Sebelum mulai melakukan pemeliharaan ulat sutera, tanaman

murbei harus sudah siap diambil daunnya sebagai bahan makanan. Ulat

yang sudah menjadi serangga piaraan sangat peka terhadap faktor-faktor

lingkungan. Maka pemeliharaan ulat sutera memerlukan tempat atau

ruangan yang memiliki suhu dan kelembaban yang cocok dengan ulat sutera

yang dipelihara (Sunanto, 1997).

Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, 1999 menyatakan

terdapat beberapa persyaratan lokasi untuk kegiatan budidaya ulat sutera

dari segi non teknis yakni harus didukung oleh kondisi sosial budaya

setempat, tersedianya sarana transportasi yang memadai, tersedianya pasar

lokal atau akses pasar yang jelas,serta adanya akses untuk memperoleh bibit

tanaman murbei dan bibit ulat sutera secara mudah dan berkesinambungan.

Sedangkan Samsijah dan Andadari (1995) menyatakan bahwa untuk

menjamin berhasilnya suatu pemeliharaan ulat sutera, beberapa hal yang

perlu diperhatikan yakni tersedianya daun murbei yang cukup baik kualitas

maupun kuantitasnya, bibit unggul yang bebas penyakit serta teknik dan

persiapan pemeliharaan perlu dikuasai dan ditingkatkan.

Perkembangan budidaya ulat sutera dapat dibedakan menjadi tiga

fase, dimana setiap fasenya memerlukan lingkungan dan perlakuan yang

agak berbeda. Ketiga fase tersebut adalah fase ulat kecil, fase ulat besar dan

fase pengkokonan. Fase ulat kecil terhitung sejak telur kupu menetas hingga

ulat berumur 1 minggu. Fase ulat besar adalah sejak ulat berumur sekitar

delapan hari hingga 3 minggu (21-22 hari), dan fase pengkokonan adalah

dari umur sekitar 21 hari hingga umur 27 atau 28 hari. Dengan demikian

proses sejak telur menetas (lahir larva) hingga larva atau ulat membentuk

kokon memerlukan makanan berupa daun murbei. Sedangkan untuk fase

pengkokonan memerlukan waktu sekitar 6-7 hari (Guntoro, 1994).

Hasil akhir dari suatu pemeliharaan ulat sutera adalah kokon dan

(14)

ulat membentuk kokon, disamping sifat keturunan dari ulat sutera itu

sendiri. Jadi kualitas kokon dan kualitas serat sutera akan tergantung dari

faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan benang sutera

yang baik, perlu dihasilkan kokon yang baik pula dan untuk mencapai

tujuan ini, maka perlu memperhatikan keadaan bibit ulat sutera pada saat

pemeliharaan dan ulat membentuk kokon (Samsijah dan Andadari, 1992a).

2. Deskripsi Tanaman Murbei

Tanaman murbei (Morus sp.) yang dalam bahasa Jawa disebut Besaran dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah. Namun demikian tanaman ini akan tumbuh baik pada daerah berketinggian di atas 300 meter

dari permukaan laut, dengan kondisi tanah yang gembur dan subur. Dengan

sistem pemeliharaan yang baik, tanaman ini juga dapat diusahakan pada

lahan-lahan yang kurang subur, sebagai tanaman penghijauan di daerah

gundul. Murbei dapat diusahakan secara besar-besaran sebagai tanaman

pagar, atau tanaman sela di pekarangan (Guntoro, 1994).

Gambar 1. Berbagai Jenis Daun Murbei ( Ket : 1. Morus canva II, 2. Morus khumpai, 3. Morus multicaulis, 4. Morus alba, 5. Morus cathayana, 6. Morus nigra)

Tanaman murbei (Morus sp.) mempunyai peranan penting dalam usaha persuteraan alam karena merupakan bahan makanan utama bagi ulat

sutera jenis Bombyx mori. Dalam pemeliharaan ulat tersebut diperlukan daun-daun murbei yang masih segar, sedangkan daun-daun yang sudah layu

dan daun dari tumbuhan lain tidak dapat dipergunakan untuk bahan

(15)

hanya menentukan pertumbuhan dan kesehatan ulat sutera tapi juga

berpengaruh terhadap kualitas kokon yang dihasilkan. Sehubungan dengan

hal tersebut maka akan berpengaruh juga terhadap produksi benang

suteranya (Samsijah dan Andadari, 1992b).

Daun murbei adalah satu-satunya makanan ulat sutera jenis Bombyx mori, dimana untuk pertumbuhannya memerlukan zat-zat makanan yang ada di dalamnya. Susunan kimia daun murbei terdiri dari air, protein,

dekstrin garam-garam anorganik (phosfat, kalium, kalsium, dan lain-lain),

vitamin (provitamin A, B1, B2, C dan sebagainya), karbohidrat, bahan

ekstraksi, macam-macam gula dan juga asam-asam organik (Samsijah dan

Kusumaputera, 1976 dalam Fauziyah, 2003).

Katsumata (1964) menyatakan bahwa dalam rencana penanaman

tanaman murbei di daerah tropis sebaiknya memperhatikan beberapa hal

seperti letak perkebunan murbei dan jenis tanahnya, keadaan sekitar

perkebunan murbei, persiapan tanah untuk tanaman murbei, pengairan

untuk kebun murbei, penggunaan mata air dalam tanah, serta pemilihan

jenis tanaman murbei.

B. Prospek Pengembangan Persuteraan Alam

Perkembangan ulat sutera alam pada tahun-tahun terakhir ini

menunjukkan prospek yang cukup baik. Dapat tergambarkan dari jumlah

produksi raw silk dunia yang terus menurun selama enam tahun terakhir dari 55.222 ton menjadi 52.342 ton, sedangkan kebutuhan dunia cukup besar dan

stabil yaitu sebesar 81.546 ton. Kebutuhan akan benang sutera ini diprediksi

akan terus meningkat seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk

serta semakin membaiknya kondisi perekonomian (Pemda Kabupaten

Tasikmalaya, 2005).

Indonesia memiliki potensi lahan yang masih luas, iklim yang

mendukung, tenaga kerja yang cukup banyak dan murah serta teknologi

persuteraan alam yang telah dikuasai, tetapi perkembangan kegiatan

persuteraan alam di Indonesia selama ini masih mengalami pasang surut

(16)

masih rendah yakni hanya 30 % dari kebutuhan nasional, khususnya untuk

memenuhi kebutuhan industri sutera rakyat. Dan dengan peningkatan

kebutuhan benang sutera negara-negara Eropa dari 30 gram/kapita/tahun

menjadi 100 gram/kapita/tahun, maka memberi peluang yang sangat

prospektif bagi persuteraan alam di Indonesia, dimana persuteraan alam

sifatnya padat karya sehingga sangat cocok bagi Indonesia yang penduduknya

cukup padat terutama di pedesaan (Sunanto, 1997).

Kegiatan usaha persuteraan alam yang telah berkembang di Indonesia

terdapat di propinsi Sulawesi Selatan, D.I. Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa

Tengah dan Sumatera Barat. Dari lima propinsi tersebut dihasilkan benang

sutera rata–rata per tahun sebesar 140 ton. Sesungguhnya kebutuhan benang

sutera mencapai 400 ton per tahun. Hal ini menunjukkan masih terdapat

peluang pasar dalam negeri sebesar 260 ton per tahun yang setara dengan

4500-5000 ha areal tanaman monokultur murbei. Dengan demikian telah

terbuka peluang usaha yang cukup besar dengan tingkat penyerapan tenaga

kerja yang tinggi untuk mengisi pasar sutera alam baik di dalam maupun di

luar negeri (Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Program kemitraan di bidang persuteraan alam dimaksudkan sebagai

bentuk upaya kerjasama yang berlandaskan kepada semangat kekeluargaan

dan kebersamaan antara yang kuat dengan yang lemah dalam rangka

pemberdayaan yang lemah, agar tidak menjadi korban dalam persaingan usaha

dengan tujuan tercapainya tujuan–tujuan pembangunan persuteraan alam

(Atmosoedarjo et al, 2000).

Kegiatan persuteraan alam di Perum Perhutani dimulai sekitar tahun

1960 sebagai proyek Prosperity Approach. Kegiatan ini merupakan salah satu cara pendekatan pengamanan hutan sekaligus sebagai diversifikasi produk

yang cepat menghasilkan. Akan tetapi hingga saat ini usaha persuteraan alam

di Perum Perhutani belum menunjukkan angka yang menggembirakan karena

potensi usaha belum didayagunakan secara optimal. Penyebabnya adalah

belum adanya keterpaduan usaha persuteraan alam mulai dari sektor hulu

(17)

C. Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) adalah suatu analisa lingkungan internal dan eksternal. Analisa internal lebih menitik

beratkan pada kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang dimiliki oleh organisasi, sedangkan analisa eksternal untuk menggali dan

mengidentifikasi semua peluang (opportunity) yang ada dan yang akan datang serta ancaman (threat) dari pesaing dan calon pesaing (Cahyono, 1999).

Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang

(opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses). Analisis SWOT tidak hanya dipakai untuk menyusun strategi di medan pertempuran, melainkan banyak dipakai

dalam penyusunan strategi bisnis yang bertujuan untuk menyusun

strategi-strategi jangka panjang sehingga arah dan tujuan perusahaan dapat dicapai

dengan jelas dan dapat segera diambil keputusan, berikut semua perubahannya

dalam menghadapi pesaing (Rangkuti, 2000).

D. Teknik ISM (Interpretative Structural Modelling)

Teknik ISM (Interpretative Structural Modelling) adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem,

melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta

kalimat (Eriyatno, 1999).

Metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu

penyusunan hierarki dan klasifikasi sub-elemen. Prinsip dasarnya adalah

identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat

yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan

(18)

A. Kerangka Pemikiran

Kegiatan persuteraan alam memiliki arti khusus bagi penduduk di

Kecamatan Pangalengan yang berada di wilayah BKPH Pangalengan, KPH

Bandung Selatan. Hal ini karena kegiatan persuteraan alam dapat membuka

lapangan pekerjaan, menghasilkan pendapatan yang cukup besar sehingga

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu

diperlukan suatu sistem manajemen yang tepat sehingga dapat meningkatkan

hasil dari kegiatan persuteraan alam tersebut.

Analisis yang dilakukan terdiri dari dua tahapan yakni analisis strategis

dengan metode SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan analisis struktural menggunakan teknik ISM (Interpretative Structural Modelling). Pada analisis SWOT, informasi yang diperoleh dari tahap masukan diolah

untuk memadukan antara peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan

kelemahan internal. Perpaduan antara faktor eksternal dan internal merupakan

kunci yang efektif untuk merumuskan strategi.

Sedangkan pada analisis struktural yang menggunakan teknik ISM

merupakan analisis sistematik dari suatu program sehingga memberikan nilai

yang berharga dalam memenuhi kebutuhan masa kini maupun masa yang akan

datang. Dengan menggunakan teknik ISM diharapkan akan diperoleh suatu

model struktural sistem persuteraan alam. Model interpretasi struktural

tersebut termasuk metode yang menitikberatkan pada informasi yang relevan

pada penetapan kebijaksanaan (policy research).

Kerangka pemikiran di atas disajikan dalam bentuk diagram yang dapat

(19)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pendekatan Sistem

System Approach

Model Struktural Usaha Persuteraan Alam

Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam

Faktor Eksternal dan Internal

Usaha Persuteraan Alam Diagram dan

matriks SWOT

Analisis Strategis Analisis SWOT

Analisis Struktural Teknik ISM

Usaha Persuteraan Alam

Elemen penentu usaha persuteraan

(20)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini berlokasi di Kecamatan Pangalengan, BKPH

Pangalengan, KPH Bandung Selatan, Perum Perhutani III Unit Jawa Barat dan

Banten. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat

daerah ini melakukan usaha persuteraan alam yang dibimbing oleh BKPH

Pangalengan. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, mulai bulan Mei

hingga bulan Juni 2006.

C. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa daftar pertanyaan

(kuisioner), alat perekam suara (tape recorder), alat tulis menulis dan alat hitung yang diperlukan. Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini berupa

lahan kegiatan persuteraan alam yang dilakukan oleh masyarakat pada lokasi

penelitian.

D. Metode Pengambilan Contoh

Dalam penelitian ini jumlah responden terdiri dari 8 orang responden

yang terdiri dari petani, pengusaha persuteraan alam, pihak Perum Perhutani,

dan para pakar persuteraan alam, serta masyarakat umum..

Menurut David (2003), dalam analisis ini (SWOT) untuk menentukan

responden tidak ada jumlah minimal yang diperlukan sepanjang responden

yang dipilih merupakan ahli (expert) pada bidangnya. Hal ini berarti bahwa responden adalah orang-orang yang mengenal betul bisnis yang dijalani.

Namun demikian semakin banyak responden yang dilibatkan akan semakin

baik untuk mengurangi unsur subyektivitas.

E. Metode Pengumpulan Data

Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam

terhadap para pakar yang terpilih. Selain itu juga dilakukan pengamatan

terhadap pembudidayaan tanaman murbei dan cara pemeliharaan ulat sutera.

Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur dan data-data dari

(21)

F. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan dua tahapan, yakni analisis strategis

dengan metode SWOT dan analisis struktural dengan teknik ISM.

1.Identifikasi dan Evaluasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Metode SWOT merupakan identifikasi yang sistematis dari faktor

kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Metode ini diawali dengan mengidentifikasi variabel lingkungan internal dan eksternal kegiatan persuteraan alam. Variabel

lingkungan internal dijadikan rujukan dalam menentukan kekuatan dan

kelemahan dari kegiatan persuteraan alam. Sedangkan variabel eksternal

dijadikan rujukan dalam penentuan peluang dan ancaman yang dihadapi

kegiatan persuteraan alam. Selanjutnya dilakukan pembandingan antara

faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan

kelemahan yang mempengaruhi usaha persuteraan alam.

Data yang termasuk faktor internal dimasukkan ke dalam Matriks

Internal Factor Evaluation (IFE) sedangkan data yang termasuk faktor eksternal dimasukkan ke Matriks External Factor Evaluation (EFE).

a. Matriks EFE dan Matriks IFE

Tahapan untuk menentukan faktor-faktor lingkungan dalam

matriks EFE dan IFE adalah sebagai berikut :

1. Tuliskan faktor-faktor eksternal dan internal yang diidentifikasi

dalam proses evaluasi sebanyak 5-10 faktor.

2. Beri bobot masing-masing faktor dengan skala mulai dari 0,00

(tidak penting) sampai dengan 1,00 (sangat penting). Penentuan

bobot ini diperoleh dengan mengisi tabel dengan metode Paired Comparison. Jumlah dari pembobotan ini tidak boleh melebihi skor total 1,00. Bobot setiap peubah diperoleh dengan menentukan nilai

setiap peubah terhadap jumlah nilai keseluruhan peubah, dengan

(22)

Keterangan :

ά = Bobot peubah ke-i

Xi = Nilai peubah ke-i

i = 1,2,3...n

n = jumlah peubah

3. Untuk Matriks EFE, berikan nilai peringkat 1 sampai 4 pada setiap

faktor. Skala nilai peringkat yang digunakan untuk peluang dan

ancaman eksternal yaitu : 1 = respon rendah (kurang), 2 = respon

sedang (respon sama dengan rata-rata), 3 = respon tinggi (respon di

atas rata-rata), dan 4 = respon sangat tinggi (respon superior).

Sedangkan untuk Matriks IFE, beri peringkat 1 sampai 4 pada setiap

faktor. Skala nilai peringkat yang digunakan untuk kekuatan yaitu :

4 = sangat kuat, 3 = kuat, 2 = lemah dan 1 = sangat lemah.

4. Kalikan setiap bobot pada faktor dengan peringkat untuk

menentukan skor atau nilai yang dibobot untuk setiap variabel.

5. Jumlahkan nilai yang dibobot untuk setiap variabel untuk

menentukan total nilai yang dibobot untuk organisasi.

Analisis faktor eksternal berupa peluang dan ancaman dapat

dilihat pada Tabel 1 dan analisis faktor internal berupa kekuatan dan

kelemahan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini :

(23)

Tabel 2. Matriks IFE

Metode SWOT memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi

peubah-peubah internal dan eksternal secara baik. Kemudian

menggunakan Diagram SWOT dan Matriks SWOT akan dapat

dirumuskan suatu strategi perusahaan. Dan diagram SWOT dapat dilihat

seperti pada Gambar 3 berikut ini.

3. mendukung strategi 1. mendukung strategi turnaround agresif

4. mendukung strategi 2. mendukung strategi defensif diversifikasi

Gambar 3. Diagram SWOT (Rangkuti, 2000)

Gambar 3 menjelaskan bahwa pada kuadran 1 merupakan situasi

yang sangat menguntungkan. Usaha persuteraan alam memiliki peluang

dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Kuadran 2

menyatakan bahwa meskipun menghadapi berbagai ancaman, usaha

persuteraan alam ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Kuadran

3 menyatakan bahwa usaha persuteraan alam menghadapi peluang pasar

yang sangat besar, tapi di lain pihak ia menghadapi beberapa kendala Kekuatan internal Kelemahan internal

(24)

internal. Sedangkan kuadran 4 merupakan situasi yang sangat tidak

menguntungkan, usaha tersebut menghadapi berbagai ancaman dan

kelemahan internal.

Peluang dan ancaman eksternal lebih sistematis bila dibandingkan

dengan kekuatan dan kelemahan dalam pendekatan yang terstruktur. Hal

ini memunculkan empat pola strategi sebagai hasil perpaduan situasi

internal dan eksternal perusahaan. Pendekatan ini dapat ditampilkan dalam

sebuah matriks SWOT yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Matriks SWOT

IFAS

EFAS

Strengths (S) Weaknesses (W)

Opportunities meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman Sumber : Rangkuti, 2000

Strategi SO dibuat dengan berdasarkan jalan pikiran perusahaan

untuk merebut dan memanfaatkan peluang dengan sebesar-besarnya.

Strategi ST adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki

perusahaan untuk mengatasi ancaman. Strategi WO diterapkan

berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan

kelemahan yang ada. Sedangkan strategi WT didasarkan pada kegiatan

yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada

serta menghindari ancaman (Rangkuti, 2000).

2. Model Interpretasi Struktural

(25)

dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem akan

memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif

dan untuk pengembilan keputusan yang lebih baik.

a. Penyusunan Hierarki

Penyusunan hierarki adalah menentukan tingkat jenjang struktur

dari suatu sistem untuk lebih menjelaskan pemahaman hal yang sedang

dikaji. Struktur menggambarkan pengaturan dari elemen-elemen dan

hubungan antar elemen dalam membentuk suatu sistem.

Program yang sedang ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi

menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan

menjadi sejumlah sub-elemen. Menurut Saxena, 1992 dalam Eriyatno, 1999 program dapat dibagi menjadi 9 elemen, namun pada penelitian ini

hanya menggunakan 6 elemen yakni 1) Sektor masyarakat yang

terpengaruhi; 2) Tujuan program; 3) Kebutuhan program; 4) Kendala

utama; 5) Lembaga yang terkait dengan program; dan 6) Perubahan yang

dimungkinkan.

Hubungan kontekstual pada teknik ISM dinyatakan dalam

terminologi sub-ordinat yang menuju perbandingan berpasangan antar

sub-elemen. Keterkaitan antar sub-elemen dapat dilihat pada Tabel 4.

Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual maka disusunlah

Structural Self-Interaction Matrix (SSIM). Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X dan O dimana V adalah eij = 1 dan eji = 0,

A adalah eij = 0 dan eji = 1, X adalah eij = 1 dan eji = 1 dan O adalah eij = 0

dan eji = 0. Dengan pengertian simbol 1 adalah terdapat atau ada

hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 adalah tidak tertapad

hubungan kontekstual antara elemen i dan j dan sebaliknya.

Setelah SSIM dibentuk, kemudian dibuat tabel Reachibility Matrix dengan mengganti V, A, X, O menjadi bilangan 1 dan 0. Dan setelah

(26)

Hasil akhir Reachibility Matrix dapat menunjukkan hubungan antar sub elemen yang diaplikasikan dalam bentuk grafis pada diagram model

struktural tiap elemen program.

Tabel 4. Keterkaitan Antar Sub-elemen pada Teknik ISM

No. Jenis Interpretasi

1. Perbandingan (comparative)

• A lebih penting/besar/indah daripada B

• A adalah sebagian penyebab B • A mengembangkan B

• A menggerakkan B • A meningkatkan B 4. Keruangan

(spatial)

• A adalah selatan/utara B • A di atas B

• A mempunyai prioritas lebih dari B

Sumber : Eriyatno, 1999

b. Klasifikasi Sub-elemen

Pada penentuan model interptretasi struktural dengan teknik ISM,

beragam sub-elemen dalam suatu elemen yang telah disusun dengan

Structural Self–Interaction Matrix (SSIM) dan Reachability Matrix kemudian disusun dalam Driver–Power–Dependence Matrix, yaitu mengklasifikasikan sub-elemen ke dalam 4 sektor yakni :

Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables. (AUTONOMOUS). Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem,

dan mungkin mempunyai hubungan kecil, meskipun

hubungan itu bisa saja kuat.

(27)

Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables. (LINKAGES). Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab

hubungan antar peubah adalah tidak stabil. Setiap tindakan

pada peubah itu akan memberikan dampak terhadap lainnya

dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

Sektor 4 : Strong drive-weak dependent variables. (INDEPENDENT). Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan

disebut peubah bebas.

Dalam keseluruhan proses teknik ISM maka berbagai urutan kerja

dari tahap penyusunan hierarki sampai hasil analisis dapat dilihat pada

(28)

Gambar 4. Diagram Teknik ISM (Eriyatno, 1999) PROGRAM

Tentukan hubungan kontekstual antara sub-elemen pada setiap elemen Uraikan setiap elemen menjadi sub-elemen

Susunlah SSIM untuk setiap elemen Uraikan program menjadi perencanaan

Bentuk Reachibility matrixsetiap elemen

Uji matriks dengan aturan transtivity

Modifikasi SSIM

Tentukan level melalui pemilihan

Ubah RM menjadi format Lower Triangular RM

Susun diagram dari Lower Triangular

RM Tetapkan driver

dependence matrix setiap elemen

Tentukan rank dan hierarki dari sub elemen Tetapkan Driver dan Driver

power setiap sub elemen

Klasifikasi sub elemen pada empat peubah

kategori Plot sub elemen pada

empat sektor

Susunlah ISM dari setiap elemen

(29)

A. Kondisi Fisik

Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Pangalengan merupakan

salah satu bagian dari unit kerja Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)

Bandung Selatan di bawah pengelolaan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat

dan Banten.

Wilayah BKPH Pangalengan secara administratif berada pada

Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung,

Propinsi Jawa Barat. Kecamatan Pangalengan terdiri dari 11 desa hutan dan

Kecamatan Kertasari terdiri dari 5 desa hutan. Penelitian ini dilaksanakan

pada Kecamatan Pengalengan yang merupakan bagian dari BKPH

Pangalengan.

Batas wilayah kerja BKPH Pangalengan yaitu :

Sebelah Utara : Perkebunan teh Kertamanah, wilayah hutan BKPH

Banjaran dan BKPH Ciparay KPH Bandung Selatan.

Sebelah Timur : Batas hutan KPH Garut.

Sebelah Selatan : Perkebunan teh Pasir Malang dan wilayah hutan

BKPH Cileuleuy KPH Garut.

Sebelah Barat : Wilayah hutan BKPH Ciwidey KPH Bandung Selatan.

Luas kawasan hutan BKPH Pangalengan adalah 8.736,81 ha yang

seluruhnya berstatus Hutan Lindung. Pembagian luas hutan BKPH

Pangalengan dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Luas Kawasan Hutan BKPH Pangalengan

No. (1)

Resort Pemangkuan Hutan (RPH) (2)

Luas Hutan (ha) (3)

1. Papandayan 1.077,00

2. Wayang Windu 2.749,38

3. Pangalengan 1.935,77

4. Kancana 2.974,66

Jumlah 8.736,81

(30)

Kawasan hutan BKPH Pangalengan merupakan daerah pegunungan

dengan ketinggian diatas 1.400 m dpl-1.700 m dpl, beriklim dingin dengan

suhu udara rata-rata 20oC, kelembaban udara sekitar 75%-90%, curah hujan

1.250 mm/tahun serta mempunyai kesuburan tanah pegunungan yang

memadai untuk pertanian dan perkebunan. Kawasan BKPH Pangalengan

sebagian besar berbentuk lapangan bergelombang. Pada kawasan ini juga

terdapat hulu sungai DAS Citarum yang sangat potensial, sungai tersebut

mengalir sampai ke Pantai Utara Jawa Barat, sehingga perlu perhatian serius

untuk menjaga baik keamanannya maupun kelestariannya.

Sesuai dengan kondisi fisiknya, kawasan hutan BKPH Pangalengan

terbagi menjadi Blok Perlindungan seluas 5.699,17 ha dan Blok Pemanfaatan

seluas 3.035,50 ha.

Jenis tanaman kehutanan pada BKPH Pangalengan berupa rimba

campur yang terdiri dari rasamala, eucalyptus, pinus, dan lain-lain. Selain itu

kawasan hutan BKPH Pangalengan juga memiliki potensi lahan yang cukup

subur untuk ditanami oleh jenis tanaman tertentu diantara tanaman kehutanan.

Saat ini program yang sedang digalakkan oleh BKPH Pangalengan

yakni program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di bidang

agroforestry dengan mengembangkan beberapa komoditi yang ditanam di

antara tanaman kehutanan yakni rumput gajah, kopi, murbei, terong kori, dan

lain-lain. Program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

mengurangi para perambah hutan selain itu juga lingkungan hutan akan

terjamin baik keamanan maupun kelestariannya.

Melalui sistem PHBM yang sedang digalakkan, dari 16 desa hutan di

BKPH Pangalengan, saat ini telah terbentuk 14 Lembaga Masyarakat Desa

Hutan (LMDH) yang terdiri dari 72 Kelompok Tani Hutan (KTH). Dari 14

LMDH, 11 LMDH diantaranya telah mempunyai Akta Notaris. Sedangkan

yang telah melakukan perjanjian kerjasama dengan Perum Perhutani sebanyak

10 LMDH.

Potensi lain di kawasan hutan BKPH Pangalengan berupa wana wisata

hulu sungai Citarum RPH Wayang Windu dan pemandian air panas Cibolang,

(31)

pengunjung. Potensi wisata lain yang belum dikembangkan berupa arung

jeram di Rahong RPH Pangalengan, dan Kawah Gunung Wayang.

B. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk

Berdasarkan data monografi, penduduk Kecamatan Pangalengan

berjumlah 124.498 jiwa dengan 35.576 kepala keluarga. Berdasarkan jenis

kelamin penduduk Kecamatan Pangalengan terdiri dari 62.363 jiwa laki-laki

dan 62.135 jiwa perempuan (Pemerintah Kabupaten Bandung, 2005).

Sebagian besar mata pencaharian penduduk Kecamatan Pangalengan

adalah petani dengan jumlah 52.270 orang, pengusaha sedang/besar sebanyak

993 orang, perajin 2.675 orang, pedagang 3.466 orang, buruh perkebunan

sebanyak 10.230 orang, transportasi 1.687 orang, pegawai negeri sipil 3.627

orang, ABRI 190 orang, dan pensiunan (ABRI/PNS) 2.271 orang. Jumlah

pencari kerja pria sebanyak 1.953 orang dan wanita berjumlah 1.302 orang.

Mayoritas penduduk Kecamatan Pangalengan mengandalkan sektor pertanian

sebagai mata pencaharian utama (Pemerintah Kabupaten Bandung, 2005).

Jumlah penduduk Kecamatan Pangalengan yang belum sekolah sebesar

22.326 orang, tidak tamat sekolah (SD) sebanyak 526 orang, tamat SD

sebanyak 53.816 orang, tamat SMP 24.321 orang, tamat SMU 6.076 orang,

tamat akademi 2.344 orang, tamat perguruan tinggi 694 orang, dan penduduk

yang buta huruf sebanyak 1.119 orang (Pemerintah Kabupaten Bandung,

2005).

Jumlah penduduk dan pendidikan masyarakat sangat berpengaruh

terhadap keadaan ekonomi, dimana sebagian besar masyarakat bermata

pencaharian sebagai petani hortikultura. Hal tersebut karena keadaan topografi

dan iklim yang cocok di Kecamatan Pangalengan sangat menunjang

(32)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi dan Evaluasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal

Identifikasi dan evaluasi faktor internal dan eksternal pada usaha

persuteraan alam ini dilakukan dengan menggunakan metode SWOT. Metode

SWOT adalah membandingkan antara faktor eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) (Rangkuti, 2000).

Analisis ini menghasilkan peubah-peubah yang bersifat strategis unsur

internal dan unsur eksternal serta nilai pengaruh yang bersifat strategis

terhadap pengembangan usaha persuteraan alam Selanjutnya dengan

menggunakan diagram SWOT dan matriks SWOT akan menghasilkan arahan

strategi dalam pengembangan usaha persuteraan alam.

1. Kekuatan

Tabel 6 menyajikan peubah-peubah unsur kekuatan yang berpengaruh

terhadap pembangunan usaha persuteraan alam dan nilai pengaruhnya.

Peubah-peubah ini harus dipertahankan dan ditingkatkan supaya usaha

persuteraan alam dapat berkembang.

Tabel 6. Peubah-peubah Unsur Kekuatan dan Nilai Pengaruhnya

No. (1)

Peubah (2)

Nilai Pengaruh

(3)

1. Kondisi biofisik lingkungan menunjang 0,618

2. Keuntungan yang cukup tinggi 0,444

3. Dapat dilakukan oleh pria, wanita, dewasa dan anak-anak 0,433

4. Peningkatan penghasilan 0,381

5. Ketersediaan SDM 0,376

6. Waktu dari penanaman murbei hingga produksi kokon singkat 0,374

7. Pemanfaatan lahan kehutanan 0,355

8. Teknologi cukup sederhana 0,321

(33)

Penjelasan setiap peubah yang bersifat strategis unsur kekuatan disajikan

berikut ini.

a. Kondisi biofisik lingkungan menunjang

Kesesuaian suhu udara akan mempermudah usaha persuteraan

alam, karena tidak memerlukan perlakuan-perlakuan khusus. Suhu udara

ideal untuk pemeliharaan ulat sutera adalah 20–30oC. Suhu seperti ini

biasanya terdapat di tempat yang memiliki ketinggian sekitar 400 m

dpl-800 m dpl. Selain itu dalam pemeliharaan ulat sutera dibutuhkan

kelembaban ideal yang berkisar antara 70%-90% (Tim Penulis Penebar

Swadaya, 1995).

Secara umum, daerah Pangalengan merupakan daerah pegunungan

dengan suhu udara rata-rata 20oC dan memiliki kelembaban udara sekitar

75%-90% serta mempunyai tanah yang cukup subur. Kondisi ini sangat

menunjang terhadap pemeliharaan ulat sutera dan penanaman tanaman

murbei sebagai bahan makanan ulat sutera.

b. Keuntungan yang cukup tinggi

Keuntungan usaha kokon per kotak per siklus produksi di

Kabupaten Garut yaitu Rp 35.278, di Sukabumi Rp 139.397, sedangkan

di Soppeng Rp 83.288 (Tim Peneliti IPB, 2006).

Bila diusahakan dalam skala yang cukup besar serta didukung oleh

para petani sutera yang lain, maka usaha ini akan menghasilkan cukup

banyak keuntungan. Namun saat ini pengusahaan sutera alam masih

dilakukan secara sederhana dengan modal yang minim sehingga

keuntungan yang didapatkan tidak begitu banyak.

c. Dapat dilakukan oleh pria, wanita, dewasa dan anak-anak

Memelihara ulat sutera tidak terlalu sulit. Setiap orang baik pria

maupun wanita dan baik dewasa maupun anak-anak dapat melakukannya

dengan bekal keterampilan yang cukup mengenai cara-cara pemeliharaan

ulat sutera yang benar. Tetapi pada kenyataan di lapangan, usaha ini

masih didominasi oleh orang dewasa pria dan wanita. Karena di

Pangalengan kegiatan ini dilakukan pada wilayah hutan yang cukup jauh

(34)

d. Peningkatan penghasilan

Sebagian besar masyarakat Pangalengan memiliki mata

pencaharian sebagai petani sayuran. Penghasilan yang mereka dapatkan

telah cukup dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka.

Apabila kegiatan persuteraan alam mereka lakukan sebagai usaha

sampingan, maka mereka akan mendapatkan penghasilan tambahan

selain dari pekerjaan utama mereka.

e. Ketersediaan sumberdaya manusia

Semenjak dikeluarkannya SK Gubernur No. 522/1224/Bimprod

tanggal 20 Mei 2003 tentang penutupan tumpangsari di kawasan Perum

Perhutani, banyak petani yang kehilangan pekerjaan awal sebagai petani

sayuran. Maka mulai dilakukan kegiatan persuteraan alam dengan

langkah-langkah kegiatan yang tidak bertentangan dengan ketentuan

pemerintah. Karena kegiatan ini memiliki sifat yang padat karya

sehingga dapat memperluas lapangan pekerjaan sehingga dapat

menambah penghasilan masyarakat.

f. Waktu dari penanaman murbei hingga produksi kokon singkat

Hal lain yang menarik dari usaha persuteraan alam ini adalah

relatif singkatnya masa penanaman murbei hingga pemeliharaan ulat.

Mulai penanaman tanaman murbei dan melakukan pemanenan daun

murbei pertama hanya sekitar 9-12 bulan. Dan pada pemeliharaan ulat

sutera, dalam waktu sekitar sebulan, kokon dapat dipanen dan dapat

segera dijual.

Pemeliharaan ulat sebanyak 12 kali dalam setahun dapat saja

dilakukan di Indonesia, asal tersedia paling sedikit empat bagian kebun

murbei yang berlainan waktu penanamannya dan sedikitnya harus ada

dua tempat pemeliharaan ulat sutera (Atmosoedarjo et al, 2000). g. Pemanfaatan lahan kehutanan

Status kawasan BKPH Pangalengan saat ini telah berubah dari

hutan produksi menjadi hutan lindung. Kawasan Hutan BKPH

Pangalengan berdasarkan kondisi fisik terbagi menjadi blok perlindungan

(35)

kegiatan persuteraan alam yang merupakan pola agroforestry adalah solusi yang tepat dalam rangka memanfaatkan lahan di bawah tegakan

serta memanfaatkan lahan yang sebelumnya digunakan untuk

tumpangsari sayuran oleh masyarakat sekitar kawasan hutan.

h. Teknologi cukup sederhana

Kegiatan persuteraan alam sebenarnya tidak begitu sulit. Teknologi

yang digunakan cukup sederhana sehingga petani dapat dengan mudah

melakukannya. Alat yang digunakan dalam usaha persuteraan alam

adalah rak atau sasag kayu, kotak bingkai yang terbuat dari papan, rak

bertingkat, seriframe, floss removal dan lain-lain. Selain itu prasarana berupa rumah ulat kecil dan rumah ulat besar juga perlu dibangun untuk

menunjang kegiatan persuteraan alam.

Gambar 5. Seriframe

Kegiatan seperti budidaya murbei, pemeliharaan ulat sutera dan

produksi kokon cukup mudah dilakukan. Yang diperlukan dalam usaha

persuteraan alam adalah keuletan dan ketelatenan, karena ulat sutera

perlu diberi makan daun murbei yang cukup secara rutin.

2. Kelemahan

Peubah-peubah unsur kelemahan dan nilai pengaruhnya terhadap

(36)

Tabel 7. Peubah-peubah Unsur Kelemahan dan Nilai Pengaruhnya

No. (1)

Peubah (2)

Nilai Pengaruh (3)

1. Keterbatasan modal 0,492

2. Sarana dan prasarana kurang memadai 0,306

3. Keterbatasan akses pemasaran 0,300

4. Kelembagaan masyarakat masih lemah 0,283

5. Tenaga pelatihan masih terbatas 0,259

6. Kualitas SDM rendah 0,247

7. Kurangnya penerapan teknologi standar 0,209

8. Anggapan rendahnya nilai ekonomi sutera alam 0,163

Jumlah 2,259

Penjelasan terhadap setiap peubah strategis unsur kelemahan

disajikan di bawah ini.

a. Keterbatasan modal

Kegiatan usaha persuteraan alam sebenarnya tidak memerlukan

biaya/modal yang banyak. Dalam skala kecil, usaha persuteraan alam

dapat dilakukan sebagai kegiatan rumah tangga. Walaupun demikian,

permodalan merupakan kendala yang paling utama yang dihadapi para

petani sutera di Pangalengan.

Secara sederhana usaha tani persuteraan alam dalam satu hektar

memerlukan biaya sebesar Rp 10.548.000. Untuk selanjutnya penerimaan

yang akan diperoleh setahap demi setahap akan meningkat seiring

dengan volume pemeliharaan ulat sutera yang dilakukan (Pemda

Kabupaten Tasikmalaya, 2003).

b. Sarana dan prasarana kurang memadai

Saat ini baru ada satu rumah ulat kecil dan satu rumah ulat besar

yang berada pada kawasan hutan yang dekat dengan lokasi tanaman

murbei. Rumah ulat besar tersebut memiliki 4 tingkat rak dan dapat

menampung sekitar 8 boks ulat sutera. Selain itu terdapat pula 3 rumah

kokon yang terdapat di Desa Sukamanah(BKPH Pangalengan, 2006).

Sarana dan prasarana dalam produksi ulat sutera dirasakan masih

(37)

menghasilkan tanaman murbei dalam jumlah yang sangat banyak

sehingga apabila rumah ulat ditambah maka akan dapat menampung

lebih banyak ulat sutera dan dapat menghasilkan kokon lebih banyak.

c. Keterbatasan akses pemasaran

Semua kegiatan usaha selain produksi bagus, harga bagus juga

paling penting adalah pemasaran yang menjanjikan dan menjamin. Dan

untuk ulat sutera ini pasaran cukup menjanjikan yaitu dengan jumlah

produksi kokon yang cukup besar, dan untuk bahan jadinya pun pangsa

pasar sudah menunggu.

Namun di lapangan selama ini permintaan yang datang untuk

memenuhi kebutuhan akan kokon masih berasal dari sekitar daerah Jawa

Barat. Hal ini terjadi karena produksi kokon belum dapat dilakukan

secara kontinu dan kokon yang dihasilkan masih belum dapat memenuhi

standar kualitas yang bagus.

d. Kelembagaan masyarakat masih lemah

Salah satu titik lemah dari pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan

hutan dan lahan dalam hal ini usaha persuteraan alam adalah belum

berkembangnya kelembagaan masyarakat serta tingkat kemampuan dan

persepsi masyarakat yang sangat beragam dalam melaksanakan dan

memahami rehabilitasi hutan dan lahan (Balai Rehabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah Brantas, 2000).

Kegiatan persuteraan alam di wilayah Pangalengan baru selama 3

tahun dilakukan, maka kelembagaan yang ada masih belum begitu kuat.

LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan) Sukamanah yang baru

terbentuk sekitar 3 tahun masih berusaha untuk mengarahkan KTH-KTH

(Kelompok Tani Hutan) yang ada di Kecamatan Pangalengan untuk

melakukan usaha persuteraan alam.

e. Tenaga pelatihan masih terbatas

Hingga saat ini baru sedikit tenaga ahli yang benar-benar ahli dan

khusus membidangi persuteraan alam. Tenaga ahli tersebut bertempat

(38)

telah memiliki pengalaman dalam bidang persuteraan alam di daerah

Solok (Sumatera Barat) selama lebih dari 10 tahun.

Selama 3 tahun terakhir seiring dengan program Pengelolaan

Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dilakukan pengembangan usaha

persuteraan alam di daerah Pangalengan, tenaga ahli tersebut mulai

melakukan kegiatan usaha persuteraan alam di Desa Sukamanah

sekaligus memperkenalkan usaha persuteraan alam kepada masyarakat

Pangalengan.

f. Kualitas sumberdaya manusia rendah

Tingkat pendidikan masyarakat Pangalengan yang rendah

menyebabkan masyarakat kurang dapat menerima sesuatu yang baru,

seperti usaha persuteraan alam. Hingga saat ini, mereka belum berani

melakukan usaha persuteraan alam. Selain kendala utama yakni

rendahnya permodalan, mereka akan berani melakukan usaha persuteraan

alam setelah adanya contoh masyarakat yang berhasil dalam usaha

persuteraan alam.

g. Kurangnya penerapan teknologi standar

Dalam kaitannya dengan pemeliharaan ulat sutera, ada beberapa

hal yang perlu diperhatikan yakni keadaan ruangan dan alat harus steril,

membersihkan tangan dengan larutan desinfektan sebelum memulai

pekerjaan dan meminimalkan keluar masuknya orang ke dalam ruangan,.

Selain itu makan, minum serta merokok dalam ruangan juga merupakan

hal yang tidak boleh dilakukan pada kegiatan pemeliharaan ulat sutera

(Guntoro, 1994).

Teknologi yang digunakan dalam usaha persuteraan alam tidak

perlu peralatan canggih. Usaha ini dapat dilakukan hanya dengan

menggunakan alat-alat yang yang cukup sederhana. Masalah yang sering

terjadi adalah petani kurang dapat menjaga kebersihan ruangan untuk

ulat. Merokok dan kurangnya sanitasi terhadap ulat sutera merupakan

hal-hal yang sering terjadi. Padahal bila penyakit sudah masuk ke

(39)

Kelompok petani sutera alam yang telah memperoleh keterampilan

menerapkan teknologi serikultur ulat sutera standar nasional dan alat

pemintal kokon yang bermanfaat dalam meningkatkan produksi

kokon/benang sutera. Selain itu introduksi serikultur ulat sutera standar

nasional dan alat pemintal kokon menjadi benang sutera alam

mendukung manajemen usaha persuteraan alam di wilayah tersebut

(Herminanto dan Mujiono, 2006).

h. Anggapan rendahnya nilai ekonomi sutera alam

Usaha persuteraan alam masih belum populer di daerah

Pangalengan. Padahal dengan potensi lingkungan yang terdapat di

Pangalengan, usaha tersebut akan dapat menghasilkan keuntungan yang

cukup besar.

Selain itu juga pada tingkat mikro menunjukkan usaha tani murbei

dan kokon mampu memberikan keuntungan jika dilakukan secara lebih

intensif dengan pembinaan yang berkelanjutan (Tim Peneliti IPB,

2006).

3. Peluang

Peubah-peubah yang merupakan unsur peluang dan nilai pengaruhnya

dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Peubah-peubah Unsur Peluang dan Nilai Pengaruhnya

No. (1)

Peubah (2)

Nilai Pengaruh (3)

1. Permintaan akan benang sutera meningkat tiap tahun 0,648

2. Harga jual kain sutera yang tinggi 0,597

3. Adanya dukungan dari pemerintah 0,582

4. Belum ada usaha persuteraan di wilayah Pangalengan 0,551

5. Masih ada lahan kehutanan yang tidak produktif 0,401

6. Adanya pola kemitraan 0,365

Jumlah 3,144

Penjelasan setiap peubah yang bersifat strategis unsur peluang

(40)

a. Permintaan akan benang sutera meningkat tiap tahun

Kegiatan persuteraan alam mempunyai prospek yang baik dan

diperkirakan permintaan sutera akan meningkat antara 2 – 3 % per tahun

(ISA) sementara FAO meramalkan lebih besar hingga 5%, sementara

peningkatan permintaan di Indonesia sendiri diperkirakan mencapai

12,24% (Kuncoro, 2000 dalam Pemda Kabupaten Tasikmalaya, 2003). Proyeksi dalam tahun 2000 menunjukkan bahwa permintaan akan

produk sutera akan meningkat menjadi 179,24 ton sedangkan produksi

hanya akan mencapai 148,98 ton. Sehingga dari angka ini dapat

disimpulkan bahwa Indonesia sebenarnya bukan dalam posisi

menawarkan produk sutera tetapi dalam posisi untuk dimasuki produk

sutera dari luar negeri (Kuncoro,1995 dalam Atmosoedarjo et al, 2000). Tingkat produksi sutera alam di dalam negeri masih rendah yakni

hanya 30% dari kebutuhan nasional, khususnya untuk memenuhi

kebutuhan industri sutera rakyat. Oleh karena itu usaha persuteraan alam

akan memiliki peluang yang sangat bagus.

b. Harga jual kain sutera yang tinggi

Dalam usaha persuteraan alam, harga tertinggi diperoleh pada saat

penjualan produk berupa kain. Harga kokon berkisar antara Rp

20.000-Rp 24.000/kg, kokon tersebut dapat dijadikan benang yang kemudian

dapat dijual dengan harga sekitar Rp 450.000/kg dengan asumsi bahwa 8

kg kokon dapat dipintal menjadi 1 kg benang. Selanjutnya apabila

benang tersebut ditenun menjadi kain maka akan dihasilkan kain sutera

dengan harga Rp 70.000/m dengan asumsi bahwa 1 kg benang dapat

ditenun menjadi 12 m kain sutera. Hal inilah yang menjadi salah satu

alasan petani sutera untuk mengembangkan usaha persuteraan alam.

Namun usaha persuteraan alam di Pangalengan baru sampai tahap

pemintalan benang karena belum tersedianya alat tenun.

c. Adanya dukungan dari pemerintah

Dalam rangka pemberian modal kepada para petani sutera,

pemerintah juga menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor

(41)

Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan No.03/Kepts/V/1997 (Atmosoedarjo

et al, 2000).

Usaha persuteraan alam di daerah ini pada awalnya mendapatkan

dukungan dari pemerintah seperti modal usaha dan penyediaan sarana

dan prasarana berupa rumah ulat kecil dan rumah ulat besar. Seiring

dengan berkembangnya usaha persuteraan alam ini, maka petani

mengharapkan bantuan modal yang lebih besar untuk kemajuan usaha

persuteran alam. Akan tetapi setelah sekian lama mengajukan

permohonan pinjaman lunak untuk upaya pengembangan persuteraan

alam, pinjaman tersebut belum juga turun.

d. Belum ada usaha persuteraan di wilayah Pangalengan

Di daerah Pangalengan masih belum banyak masyarakat yang

melakukan usaha persuteraan alam. Usaha persuteraan alam yang berada

paling dekat dengan Pangalengan adalah di daerah Garut, Tasikmalaya

dan Sukabumi. Padahal daerah Pangalengan juga memiliki potensi

lingkungan yang cukup baik untuk usaha persuteraan alam.

Selama ini kondisi fisik lingkungan daerah Pangalengan yang

berpotensi sangat baik hanya dimanfaatkan untuk melakukan

pengembangan usaha pertanian baik sayuran maupun buah-buahan.

Karena keterbatasan pengetahuan para petani akan persuteraan alam,

maka sebagian besar masyarakat menggunakan lahan hanya untuk

bertani sayuran dan buah-buahan. Apalagi saat pemerintah

memperbolehkan masyarakat untuk memanfaatkan lahan hutan, maka

masyarakat menggunakan lahan hutan untuk melakukan tumpangsari.

Padahal di balik itu semua ada pengaruh yang sangat nyata terhadap

masyarakat itu sendiri. Pada saat musim hujan, selalu terjadi bencana

banjir yang akan merugikan masyarakat.

e. Masih ada lahan kehutanan yang tidak produktif

Pengembangan persuteraan alam merupakan salah satu upaya

untuk meningkatkan daya dukung lahan bagi pemenuhan kebutuhan

manusia melalui kegiatan budidaya tanaman murbei yang

(42)

panennya (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Brantas,

2000).

Persuteraan alam di Indonesia sudah ada sejak 1960-an, khususnya

di Sulawesi Selatan. Kebanyakan lokasi budidaya ulat sutera (serikultur)

dilakukan di daerah-daerah kritis, karena tanaman murbei yang

merupakan makanan pokok ulat sutera dijadikan sebagai tanaman

penghijauan (Widagdo dan Sasangka, 2006).

Usaha persuteraan alam mencakup 2 kegiatan utama, yakni

penanaman tanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutera. Tanaman

murbei dapat ditanam di bawah tegakan hutan karena selain dapat

menghasilkan panen daun murbei, tanaman murbei juga berfungsi

sebagai pencegah banjir dan erosi tanah, karena tanaman murbei

memiliki perakaran yang cukup kuat.

f. Adanya pola kemitraan

Dalam usaha persuteraan alam di Pangalengan terdapat pola

kemitraan. Bentuk dari pola kemitraannya adalah bentuk vertikal yaitu

antara petani dan pemerintah (BKPH Pangalengan) serta petani dan

pabrik tekstil Majalaya. Pabrik tekstil Majalaya berfungsi sebagai wadah

penampung dan pemasaran produk kokon dari petani.

Tujuan dari adanya pola kemitraan pada usaha persuteraan alam

adalah melindungi para petani sutera yang memiliki modal lemah dalam

persaingan usaha. Selain itu juga sebagai perantara dalam usaha

mendapatkan modal berupa kredit dengan bunga yang rendah.

4. Ancaman

Tabel 9 menyajikan tentang peubah-peubah unsur ancaman dan nilai

(43)

Tabel 9. Peubah-peubah Unsur Ancaman dan Nilai Pengaruhnya

1. Penghasilan yang lebih menjanjikan dari bidang selain

sutera 0,533

2. Adanya hama dan penyakit tanaman murbei dan ulat

sutera 0,438

3. Kurang stabilnya mutu bibit/telur sutera 0,350

4. Ketergantungan petani sutera kepada pihak lain

masih sangat tinggi 0,333

5. Persaingan dengan komoditas lainnya 0,310

6. Harga kokon masih rendah 0,295

Jumlah 2,259

b. Adanya hama dan penyakit tanaman murbei dan ulat sutera

Salah satu kunci keberhasilan dari pemeliharaan ulat sutera adalah

keahlian petani sutera dalam menghindarkan ulat-ulatnya dari serangan

hama dan penyakit. Kegiatan tersebut tidak dapat dikatakan mudah,

dimana petani harus menghindarkan ulat suteranya dengan jumlah

ratusan ribu bahkan jutaan dari serangan hama dan penyakit. Tetapi,

walaupun sulit, kegiatan tersebut harus tetap dijalankan agar petani

tersebut dapat menghasilkan kokon dengan jumlah yang optimal.

Dalam mengusahakan tanaman murbei banyak menghadapi

masalah gangguan hama dan penyakit, serangannya dapat mengakibatkan

kerusakan tanaman, dengan demikian akan menyebabkan kekurangan

daun murbei untuk pakan ulat kecil maupun ulat besar (Samsijah dan

Andadari, 1992b).

Pada pengusahaan ulat sutera di Pangalengan hampir tidak

ditemukan hama dan penyakit yang mengganggu produksi daun murbei.

Selama 3 tahun penanaman tanaman murbei hanya cacar daun yang

ditemukan, itu pun tidak terlalu menurunkan produksi daun murbei.

c. Kurang stabilnya mutu bibit/telur sutera

Bibit ulat sutera dan pakan berupa daun murbei merupakan sarana

produksi terpenting. Bibit ulat berupa telur dibeli oleh para peternak dari

(44)

Candiroto, Jawa Tengah dan di Kesatuan Pengusahaan Sutera alam di

Soppeng, Sulawesi Selatan. Sedangkan bibit tanaman murbei umumnya

dikembangkan oleh peternak ulat sendiri (Guntoro, 1994).

Selama ini bibit/telur ulat sutera diperoleh dengan memesan telur

ulat ke KPSA Soppeng, Sulawesi Utara. Harga telur ulat sutera

Rp 25.000/box (± 20.000 butir). Dan kendala yang terjadi adalah

perlakuan terhadap telur ulat sutera yang kurang baik pada saat

pengiriman. Selain itu kadang-kadang telur ulat sutera telah menetas

pada saat masih di perjalanan, padahal ulat sutera yang baru menetas

harus segera mendapat perlakuan berupa pemberian kapur dan kaporit

dan memberikan makanan secepatnya. Sehingga banyak ulat yang mati

karena tidak mendapatkan makanan secepatnya.

d. Ketergantungan petani sutera kepada pihak lain masih sangat tinggi

Petani sutera di Pangalengan memiliki ketergantungan yang

sangat tinggi terhadap pemerintah. Mereka sangat mengharapkan bantuan

berupa modal usaha serta sarana dan prasarana sehingga kegiatan

persuteraan alam dapat berjalan dengan lancar. Di sisi lain, usaha

persuteraan alam membutuhkan modal yang tidak sedikit. Kondisi ini

sangat meyulitkan, karena para petani enggan melakukan kegiatan

persuteraan alam bila tidak mendapatkan bantuan modal.

e. Persaingan dengan komoditas lainnya

Selain sutera alam, daerah Pangalengan memiliki komoditas lain

berupa sayuran dan buah-buahan yang cukup banyak jenisnya, teh, kopi,

dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena Pangalengan merupakan daerah

yang cukup subur untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan

perkebunan.

Telah sejak lama mata pencaharian sebagai petani hortikultura

dijalankan oleh sebagian besar masyarakat Pangalengan. Karena

pertanian palawija dapat menghasilkan pendapatan yang cukup tinggi

(45)

f. Harga kokon masih rendah

Di daerah penghasil sutera biasanya para petani sutera tidak

mengolah sendiri hasil kokonnya, akan tetapi menjualnya kepada

pe-reeling setempat. Harga kokon saat ini adalah berkisar antara Rp

20.000-Rp 27.000/kg dalam kedaan basah. Perdagangan kokon yang diuraikan di

atas berlangsung dengan syarat-syarat yang sangat sederhana. Pengujian

mutu nyaris tidak dilakukan, atau dengan kata lain tidak ada standarisasi

(Atmosoedarjo et al, 2000).

Namun kenyataannya, para petani di Pangalengan masih merasa

bahwa harga kokon masih cukup rendah. Karena menurut petani

setempat, biaya produksi seperti harga telur ulat sutera, formalin dan

kaforit makin meningkat tiap tahunnya. Namun harga jual kokon masih

tetap sama yakni berkisar antara Rp 20.000 - Rp 24.000.

5. Diagram dan Matriks SWOT

Tahapan selanjutnya adalah tahap pemaduan dalam proses perumusan

strategi dan berfungsi untuk memadukan peluang dan ancaman dari

lingkungan dengan kekuatan dan kelemahan dari usaha pengembangan

persuteraan alam. Alat analisis yang digunakan selanjutnya adalah diagram

SWOT dan matriks SWOT.

Gambar 6 disajikan untuk mengetahui posisi dari usaha yang sedang

dianalisis. Gambar diagram SWOT diperoleh dari selisih total skor

unsur-unsur dalam faktor eksternal dan internal usaha. Selisih total nilai pengaruh

unsur kekuatan dan kelemahan adalah 1,043 dan selisih total nilai unsur

peluang dan ancaman adalah 0,885 ditempatkan pada titik-titik koordinat

diagram SWOT.

Diagram SWOT pada Gambar 6 dapat terlihat bahwa posisi

pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Pangalengan berada

pada kuadran I. Berdasarkan Rangkuti (2000), hal itu berarti bahwa situasi

yang terjadi sangat menguntungkan. Perusahaan tersebut memiliki peluang

Gambar

Tabel 6. Peubah-peubah Unsur Kekuatan dan Nilai Pengaruhnya
Tabel 7. Peubah-peubah Unsur Kelemahan dan Nilai Pengaruhnya
Tabel 9. Peubah-peubah Unsur Ancaman dan Nilai Pengaruhnya
Gambar 6. Diagram SWOT Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Pangalengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

NIP : 196207051988032010 Email :niken_herawati@uny.ac.id Unit Kerja :Fakultas Bahasa dan Seni Status :Dosen..

Panitia Pengadaan Barang / Jasa Pada Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Kota Administrasi Jakarta Barat akan melaksanakan Pelelangan Sederhana

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi bakteri asam laktat isolat BAL 18A (Lactococcus lactis ssp lactis 1)yang diisolasi dari kolon sapi bali sebagai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh peningkatan konsentrasi sari buah labu kuning terhadap efektivitas daya melembabkan, mengetahui pengaruh humektan

Penggunaan campuran yang paling kuat untuk membantu menaikan kuat tekan adalah campuran dengan abu ampas tebu 8% + abu cangkang kerang 14% pada umur 28 hari dan

Maladministrasi berarti perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk

Guru dan siswa bertanya jawab berkaitan dengan identitas diri yang dibutuhkan sebagai warga negara yang baik.. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan