• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual sebagai Prediktor Servant Leadership Pendeta di Gereja Kristen Sulawesi Tengah T2 832009005 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual sebagai Prediktor Servant Leadership Pendeta di Gereja Kristen Sulawesi Tengah T2 832009005 BAB I"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENGANTAR

Setiap organisasi mengharapkan munculnya kepemimpinan yang efektif yang mampu menggerakkan dan mengendalikan semua komponen organisasi supaya berhasil dalam mencapai tujuannya.

Salah satu fenomena kepemimpinan yang efektif yang banyak diteliti dan dipelajari saat ini adalah Kepemimpinan pelayan (servant leadership). Para ahli kepemimpinan menyimpulkan bahwa servant leadership merupakan konsep atau teori kepemimpinan yang otentik dalam kaitannya dengan efektivitas organisasi baik organisasi bisnis, pemerintah, maupun organisasi atau institusi keagamaan khususnya gereja. Karena itu servant leadership merupakan isu penting yang menarik untuk dikaji guna mengetahui sejauh mana perannya dalam menentukan efektivitas kepemimpinan dalam organisasi. Dalam bab ini, penulis akan menguraikan latar belakang mengapa ingin melakukan penelitian tentang kepemimpinan yang difokuskan pada servant leadershippendeta di Gereja Kristen Sulawesi Tengah.

1.1. LATAR BELAKANG

Meningkatnya kompleksitas tantangan dan ketidakpastian serta munculnya persaingan yang lebih kompetitif di era globalisasi setiap organisasi di tuntut untuk memiliki kepemimpinan yang efektif dan kuat yang mampu meningkatkan daya saing organisasi dengan menciptakan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Kepemimpinan yang efektif dan kuat adalah kepemimpinan yang

(2)

orang lain nilai dan potensi diri yang dimilikinya secara amat jelas, amat kuat, dan amat konsisten supaya orang lain tersebut benar-benar mulai bisa melihat nilai dan potensi tersebut di dalam dirinya (Covey, 2005). Definisi ini secara ekspilisit mencoba menjelaskan beberapa hal penting yang patut untuk dicermati dan dihayati, yaitu (1) sebagai seni kepemimpinan dibangun di atas dasar nilai-nilai pemimpin yang akan

(3)

Integritas, kerendahan hati, dan kehambaan merupakan pra-syarat dasar yang harus dimiliki seorang servant leader untuk dapat mengartikulasi dan melihat nilai sekaligus potensi yang dimiliki orang lain agar dapat meretas berbagai daya, kemampuan, dan talenta setiap individu dalam organisasi yang berguna untuk meningkatkan komitmen anggota dalam mencapai tujuan bersama. Pernyataan ini

searah dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ambali, Suleiman, Bakar, dan Tariq (2011) dalam satu kajian tentang Servant Leadership’s Values and Staff’s Commitment: Policy Implementation

Focus, dengan responden PNS diberbagai departemen pelayanan publik di Malaysia dengan jumlah sampel 204 staf, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara karakteristik servant leadership dengan komitmen staf dalam organisasi, karakteristik yang paling menonjol adalah integritas kemudian diikuti oleh kerendahan hati. Selanjutnya Denis (dalam Wong, 2007), melakukan penelitian terhadap ribuan karyawan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketika praktek servant leadership dilaksanakan melalui pelatihan kepemimpinan dalam bisnis, kinerja kerja pemimpin mengalami peningkatan sekitar 15-20% dan produktivitas kerja kelompok meningkat sebesar 20-50%. Handoyo (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa servant leadership merupakan alternatif kepemimpinan yang sangat dibutuhkan dalam era perubahan supaya efektivitas kepemimpinan dapat dirasakan oleh para pengikutnya. Demikian pula Russel (2003) dan Irving (2004) menyatakan bahwa efektivitas kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai karakter yang ditunjukkan servant leader melalui perilaku

(4)

kepercayaan, konsistensi, potensi, dan kehormatan, serta karakter yang kuat memberikan otoritas moral kepada pemimpin untuk mempersatukan pengikut dalam mencapai tujuan organisasi (Maxwell, 2001; Stanley, 2005).

Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa di era globalisasi ini dunia secara global mengalami krisis kepemimpinan. Hal ini bisa

terjadi karena ditunggangi oleh kesalahan cara pandang terhadap kepemimpinan. Baker (2001) menyatakan bagaimana cara "melihat dunia" menentukan "apa yang kita lakukan,"dan"apa yang kita lakukan" menentukan "apa yang kita dapatkan" sebagai suatu hasil. Covey (2005) menyebutkan cara pandang ini dengan istilah “kekuatan paradigma”. Apabila kekuatan paradigma dalam menilai sesuatu tepat maka paradigma tersebut akan menjelaskan lalu mengarahkan, apabila kekuatan paradigma menilai sesuatu kurang tepat maka hal itu akan membawa kepada kehancuran. Dalam kaitannya dengan kepemimpinan, pernyataan ini merupakan suatu gambaran yang sangat tepat bagi situasi dan kondisi kepemimpinan di Indonesia. Kehancuran yang dialami oleh para pemimpin saat ini adalah karena rapuhnya kekuatan paradigma kepemimpinan. Mengapa? Karena kepemimpinan di Indonesia di pandang sebagai posisi atau jabatan dengan kekuatan super power yang menjadi pemicu munculnya penyalahgunaan kekuasaan yang bermuara pada hilangnya pemimpin yang bersih, jujur, bijaksana, rendah hati, tegas, berani, dan layak dijadikan anutan sebagaimana dilansir dalam Majalah Inspirasi Vol 34, Agustus 2012.

Kesalahan cara pandang terhadap kepemimpinan tersebut tidak hanya terjadi dalam konteks negara tetapi juga dalam konteks gereja.

(5)

keagamaan yang seharusnya mencetak para pemimpin yang tinggi iman, tinggi ilmu, bahkan tinggi pengabdian malah terkontaminasi dengan masalah kepemimpinan. Demikian pula Barna (2002) menyatakan bahwa meskipun banyak pendeta yang dilatih secara ekstensif untuk menafsirkan Alkitab dan memiliki karunia untuk menyampaikan kebenaran Tuhan namun mereka gagal memimpin

(6)

Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa aktivis gereja pada tanggal 10 Desember 2011 diketahui bahwa pada prinsipnya model kepemimpinan yang diterapkan GKST adalah model kepemimpinan servant leadership namun dalam prakteknya beberapa pendeta GKST telah bermetamoforse layaknya para pemimpin sekuler, yang lebih cenderung mempraktekkan model kepemimpinan

konvensional. Permasalahan ini bisa ada karena pergeseran paradigma kepemimpinan juga terjadi di dalam gereja, dimana gereja memaknai kepemimpinan sebagai posisi atau kedudukan daripada memaknai kepemimpinan sebagai suatu panggilan. Hal ini berdampak pada melemahnya spirit pelayanan para pendeta dan meningkatnya spirit mentalitas bos yang memiliki tendensi dilayani daripada melayani. Bahkan lebih buruk lagi berdasarkan wawancara dengan salah seorang warga jemaat pada tanggal 30 Maret 2012 menyatakan bahwa ada beberapa pendeta yang telah melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai moral dan etika kristen tetapi masih tetap saja melakukan tugas dan tanggung jawab pelayanan. Perilaku ini tentunya mencoreng citra pendeta yang akhinya berdampak pada menipisnya kepercayaan warga gereja terhadap para pendeta. Melihat kenyataan ini, maka dapat dipastikan bahwa persoalan servant leadership yang paling mendasar yang sedang dihadapi oleh Gereja Kristen Sulawesi Tengah saat ini adalah “KARAKTER”. Tanpa karakter pendeta tidak akan dapat mengembangkan dan memberdayakan sumber daya yang ada di dalam gereja. Ini harus ditanggapi secara serius sebab kalau tidak gereja akan kehilangan pengaruhnya.

Melihat berbagai fenomena yang ada maka penulis tergerak

(7)

pendeta sebagai servant leaderdengan beberapa pertimbangan berikut ini: 1) berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh LitBang Majalah Inspirasi Juni 2012, diketahui bahwa sebagian besar masyarakat khususnya warga gereja menaruh harapan besar kepada para pendeta untuk memulai gebrakan baru untuk mengembalikan citra kepemimpinan yang telah rusak karena cacat karakter yang disandang

oleh para pemimpin masa kini. Karena itu, gereja haruslah menjadi institusi terdepan untuk menerapkan servant leadership. 2) gereja merupakan pusat pendidikan spiritual dan pembinaan karakter warga gereja yang sekaligus menjadi anggota masyarakat, karena itu pendeta memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menciptakan suatu ruang transendensi untuk memfasilitasi perjumpaan warga gereja dengan Allah supaya dapat menggali dan menemukan makna hidup melalui pengalaman hidup sehari-hari, pekerjaan, dan tanggung jawab; 3) tugas dan tanggung jawab pendeta adalah memperbaiki penampilan gereja, membersihkan amoralitas dalam gereja, dan menuntun warga gereja untuk berperilaku sesuai nilai-nilai etis yang telah disepakati secara umum; 4) pendeta merupakan katalisator bagi warga gereja untuk mengejar perubahan supaya dapat mewujudkan karakter Kristus dalam kehidupan sehari-hari; 5) dalam menghadapi kompleksitas permasalahan, kesulitan dan tantangan hidup yang dijalani saat ini dan ke depan warga gereja menaruh harapan besar kepada pendeta untuk menjadi inspirator terbaik dalam mengubah tantangan menjadi sebuah kesempatan untuk menghadirkan kerajaan Allah melalui peningkatan pelayanan yang dapat memberikan shalom Allah kepada semua orang. Selanjutnya, untuk dapat mengoptimalkan penerapan dan

(8)

harus memahami bagaimana cara kerja servant leadership. Untuk menjelaskan cara kerja servant leadership ini, Wong dan Page (2000) membangun bingkai kerja servant leadership yang dikelompokkan dalam empat orientasi yaitu: orientasi karakter, orientasi orang, orientasi tugas, dan orientasi proses. Namun bagaimana pendekatan para pendeta dalam menerapkan servant leadership ini tentunya

berbedadari satu situasi ke situasi lainnya mengingat setiap gereja adalah berbeda, terkadang harus lebih dahulu berorientasi pada orang, proses, tugas, dan karakter. Karena itu formulasi sistem servant leadership merupakan fenomena kompleks yang melibatkan interaksi yang rumit antara pemimpin, pengikut, dan konteks lingkungan organisasi (Higs, 2003; Berman, 2003; Higgs dan Rowlan, 2003).

Dalam kaitannya dengan hal di atas, maka di pandang perlu untuk mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas servant leadership. Menurut Covey (2005) efektivitas servant leadership sangat dipengaruhi oleh kecerdasan fisik atau tubuh (Physical Intelligence atau Physical Quotienct, PQ), kecerdasan mental (IQ), kecerdasan emosi (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).Demikian pula Hogan, Curphy, dan Hogan (1994) mengemukakan efektivitas servant leadership dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual, stabilitas emosional, surgency, conscientiousness, dan agreeableness. Diantara faktor-faktor tersebut penulis memilih faktor kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang akan menjadi prediktor servant

leadership pendeta di GKST, karena kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual mempunyai peran penting dalam menentukan

(9)

Indonesia kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual merupakan variabel yang masih jarang diteliti dalam kaitannya dengan servant leadership, khususnyaservant leadershippendeta GKST.

Dalam hubungannya dengan alasan di atas, penulis melihat bahwa menjadi pemimpin bukanlah tugas yang mudah. Kelemahan umum yang sering dijumpai adalah ketidakmampuan pemimpin dalam

membangun hubungan untuk bisa bekerja bersama-sama orang-orang lain (Maxwell, 1999). Untuk itu penulis berasumsi bahwa dengan memahami pengaruh kecerdasan emosional terhadap servant leadership akan memudahkan pendeta untuk menciptakan lingkungan gereja yang kondusif sehingga pelayanan dapat berjalan dengan baik dan sekaligus menolong pendeta untuk mentransformasi warga gereja secara utuh guna mencapai efektivitas hidup sebagaimana Allah inginkan.

Pada hakekatnya kecerdasan emosional adalah kemampauan mendengarkan emosi sebagai sumber informasi penting untuk membangun efektivitas hubungan intrapersonal dan interpersonal yang diekspresikan melalui kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen relasi (Goleman, 2007). Maka dari itu, kecerdasan emosional perlu diperhatikan karena mendukung efektivitas kepemimpinan, sebagaimana dikemukakan oleh Goleman (2007) bahwa kecerdasan emosional memberikan pengaruh sebesar 85 persen terhadap keberhasilan kepemimpinan dalam organisasi. Hal ini memberikan informasi bahwa 85 persen kepemimpinan menjelaskan tentang hubungan dengan orang lain. Searah dengan hal tersebut Hannay (2009) mengemukakan bahwa perilaku servant leadership

(10)

kecerdasan emosional yang tinggi. Pendapat ini di dukung oleh hasil penelitian Staden (2001) yang membuktikan bahwa kecerdasan

emosional adalah prediktor signifikan servant leadership (R² = 0,873, dan adjusted R² = 0,759). Barbuto dan Bugenhagen (2009) dalam penelitiannya menemukan yang hubungan positif signifikan antara kecerdasan emosional pemimpin dengan pengikut Leader-Member Exchanges (r =.15, p<.01). Hubungan positif yang signifikan juga ditemukan antara pengikut LMX dan perilaku kecerdasan emosional yaitu respon empati (r =.16, p<.01) dan keterampilan interpersonal (r =.13, p<.05). Hasil temuan ini menjelaskan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional yang dimiliki oleh pemimpin akan berdampak pada semakin baiknya kualitas hubungan yang terbentuk antara pemimpin dengan pengikut. Hal ini bisa terjadi karena pemimpin yang cerdas secara emosional akan menampilkan pengendalian diri yang

kuat, dapat dipercaya, dan dihormati pengikutnya (Barling, Slater, dan Kelloway, 2000). Selain itu, pemimpin yang cerdas secara emosional

akan mudah diterima oleh pengikutnya sehingga efektif dalam menggunakan motivasi inspirasional (Palmer, Walls, Burgess dan Stough, 2001); pemimpin yang cerdas secara emosional akan lebih mudah memahami dan memberikan respon empati terhadap kebutuhan pengikutnya (Gardner dan Stough, 2002).

(11)

menyatakan bahwa kecerdasan emosional tidak dapat dijadikan prediktor efektivitas kepemimpinan karena adanya kontradiksi dan inskonsistensi yang meragukan perlunya kecerdasan emosional dalam memahami dan memprediksi efektivitas kepemimpinan. Demikian juga Locke (2005) menyatakan bahwa konsep kecerdasan emosional tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak termasuk dalam bentuk

kecerdasan, selain itu kecerdasan emosional memiliki definisi yang luas dan inklusif sehingga tidak dapat dimengerti. Oleh sebab itu secara fundamental konsep kecerdasan emosional tidak memenuhi syarat ketika diterapkan pada kepemimpinan sehingga diperlukan penelitian selanjutnya untuk melihat sejauh mana pengaruh kecerdasan emosional terhadapservant leadership.

Selanjutnya, variabel kecerdasan spiritual dipilih menjadi variabel prediktor kedua terhadap servant leadership karena penulis mengamati bahwa manusia sekarang telah kehilangan pemahaman terhadap nilai-nilai mendasar atau di sebut ‘bodoh secara spiritual’, (yang ditandai dengan materialisme, egoisme, kehilangan makna, dan komitmen), dalam budaya yang seperti ini kecenderungan menggunakan kewenangan kepemimpinan demi kepentingan pribadi terbuka secara luas. Oleh karena itu dibutuhkan kecerdasan spiritual yang akan mengendalikan perilaku tersebut (Zohar dan Marshall, dalam Kumalanty, 2001). Hal ini bisa terjadi karena pemimpin yang cerdas secara spiritual akan memiliki komitmen perjalanan batin. Artinya pemahaman spiritual akan memberi kesadaran untuk melihat jauh sampai ke dalam batin (kesadaran diri) yang membuat pemimpin berkomitmen untuk menjadikan spiritual sebagai pedoman yang

(12)

memungkinkan pemimpin untuk bertahan di masa krisis (tekanan) dan bangkit dari keterpurukan sekaligus memungkinkan pemimpin menampilkan keutuhan dan keaslian yang pada gilirannya menghasilkan pemahaman diri yang didasarkan pada pemahaman untuk menerima orang lain (Hope, 2005).

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Chakraborty dan

Chakraborty (2004) tentang kecerdasan spiritual dan kepemimpinan menyatakan bahwa spiritualitas berpengaruh terhadap bagaimana seseorang bersikap sebagai pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki kecerdasan spiritual. Mengapa? Karena pemimpin yang cerdas secara spiritual akan membawa nilai-nilai spiritualitas dalam proses kepemimpinan. Selanjutnya, Delbecq (1999) melaporkan pengaruh dari sebuah kursus pengembangan spiritual untuk pemimpin-pemimpin bisnis yang terdiri dari 9 CEO dan 9 MBA di Silicon Valley. Kursus tersebut berfokus pada integrasi kepemimpinan bisnis sebagai sebuah panggilan, mendengarkan suara batin di tengah pergolakan, integrasi diri untuk menanggapi segala tantangan maupun hambatan dalam praktek kepemimpinan. Delbecq melaporkan feedback yang positif dari kebanyakan partisipan tentang pengaruh kursus ini dalam praktek kepemimpinan bisnis mereka. Andree dan Kristyanti (2007) melakukan penelitian tentang gambaran peranan kecerdasan spiritual dalam pengambilan keputusan seorang pemimpin terhadap dua orang manajerial tingkat atas masing-masing manajer diwakili oleh satu orang pengikutnya. Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua pemimpin memiliki kualitas kecerdasan

(13)

ditunjukkan melalui adanya visi, makna dan nilai yang di anut oleh masing-masing pemimpin. Amram (2005) melakukan penelitian terhadap 42 orang CEO, menemukan bahwa kecerdasan spiritual memberikan kontribusi untuk efektivitas kepemimpinan bisnis melalui kemampuan memobilisasi makna berdasarkan pemahaman tentang pertanyaan eksistensial, makna dari tujuan hidup, panggilan pelayanan

yang mengikat peran pemimpin dalam menetapkan tujuan serta memobilisasi makna bagi organisasi. Namun hasil penelitian ini kontras dengan hasil penelitian Franklin (2010) yang menemukan bahwa kecerdasan spiritual tidak memiliki hubungan yang positif signifikan terhadap servant leadership untuk itu diperlukan penelitian yang lebih lanjut.

Dari data empiris yang telah dikemukakan di atas, diketahui bahwa masih ada hasil penelitian yang pro dan kontra tentang kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual dapat dijadikan prediktor terhadapservant leadership. Untuk alasan itu penulis merasa penting untuk melakukan kajian lanjutan untuk mengetahui bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dapat dijadikan prediktor potensialservant leadershippendeta GKST.

1.2. RUMUSAN MASALAH

(14)

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan yang telah dikemukakan pada rumusan masalah di atas yaitu untuk mengetahui bahwa kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual secara simultan dapat dijadikan prediktor servant leadershippendeta di Gereja Kristen Sulawesi Tengah.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Sesuai tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan gambaran tentang efektivitas dan kualitas servant leadership pendeta melalui kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

2. Sebagai masukan bagi para pendeta di tempat penelitian untuk meningkatkan kualitas servant leadership yang terus menerus mentransformasi dalam kehidupan gereja baik organisme maupun kelembagaan melalui kematangan emosional dan spiritual.

3. Memberikan sumbangsih pengembangan khasanah ilmu pengetahuan khususnya dibidang kepemimpinan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Kata ‘memberdayakan’ mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekedar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh guru, tetapi pengetahuan tersebut juga menjadi muatan nurani

[r]

Sementara itu tim robot tuan rumah gelaran KRI dan KRCI, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sudah menyiapkan empat robot terbaiknya.. Masing-masing untuk divisi KRI diberi

[r]

Berdasarkan analisis dan pengolahan yang telah dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif komparatif dan juga uji beda independent t test

Laporan hasil praktek terdiri dari identifikasi mahasiswa, identifikasi klien, jenis perawatan yang akan dilakukan, persiapan diri, klien dan areal kerja yang harus

Dibuat oleh : Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen tanpa ijin tertulis dari Fakultas Teknik. Universitas