• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI MUKHTALIF AL-HADITH TENTANG TIYARAH DALAM SUNAN AL-NASA’I NOMOR INDEKS 3568 DAN MUSNAD AHMAD NOMOR INDEKS 4171.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI MUKHTALIF AL-HADITH TENTANG TIYARAH DALAM SUNAN AL-NASA’I NOMOR INDEKS 3568 DAN MUSNAD AHMAD NOMOR INDEKS 4171."

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI MUKHTALIF AL-H}ADI>TH TENTANG T}IYARAH

DALAM SUNAN AL-NASA>

’I

> NOMOR INDEKS 3568 DAN

MUSNAD AH}MAD NOMOR INDEKS 4171

Skripsi:

Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana strata satu

(S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

MOH. ISTIKROMUL UMAMIK

E53212103

PROGRAM STUDI ILMU ALQURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Moh. Istikromul Umamik, 2016. STUDI MUKHTALIF AL-H}ADI>>TH

TENTANG T}IYARAH DALAM SUNAN AL-NASA>’I> NOMOR INDEKS

3568 DAN MUSNADAH}MAD NOMOR INDEKS 4171.

Periwayatan h}adi>th secara ma’na karena proses pengkodifikasian h}adi>th

yang berlangsung jauh setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW berdampak pada

perbedaan pemahaman h}adi>th pada generasi Islam selanjutnya. Salah satunya

adalah hadis tentang kebolehan dan kesyirikan t}iyarah. Sehingga masalah yang

diteliti: 1). Bagaimana kualitas sanad dan matan h}adi>th tentang kebolehan

t}iyarah?, 2). Bagaimana kualitas sanad dan matan h}adi>th tentang kesyirikan

t}iyarah?, 3) Bagaimana penyelesaian h}adi>th tentang kebolehan t}iyarah dengan

h}adi>th tentang kesyirikan t}iyarah?.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas sanad dan matan

h}adi>th tentang kebolehan t}iyarah dan kesyirikan t}iyarah serta penyelesaianya

diantara dua h}adi>th yang bertentangan tentang t}iyarah tersebut.

Dalam menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini bersifat

kepustakaan (library research). Jadi, pengumpulan data diperoleh dengan meniliti

kitab sunan al-Nasa>’i> dan Musnad Ah}mad, serta dibantu dengan kitab standar

lainya, kemudian dianalisa dengan menggunakan metode takhrij, kritik sanad dan

matan kemudian penyelesaianya dengan menggunakan ilmu mukhtalif al-h}adi>th.

Penelitan ini dilakukan karena terdapat dua h}adi>th yang bertentangan

tentang t}iyarah, karena terdapat teori yang mengatakan bahwa apabila dua h}adi>th

yang s}ah}i>h} maka tidak mungkin bertentangan, kemudian dilakukan penelitian

kualitas terhadap kedua h}adi>th baik yang membolehkan t}iyarah dan yang

menggap t}iyarah itu syirik.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu kualitas h}adi>th tentang dibolehkan

t}iyarah dan h}adi>th tentang t}iyarah adalah syirik adalah s}ah}i>h}, karena statusnya

sama-sama s}ah}i>h}}, maka metode yang digunakan dalam menyelesaikan perbedaan

h}adi>th tersebut yaitu metode al-jam’u wa al-tawfiq. H}adi>th pertama menyatakan

bahwa wanita (istri), kuda (kendaraan) dan rumah termasuk dalam al-Shu’mu

(adanya kesialan), sedangkan h}adi>th yang kedua menyatakan bahwa t}iyarah

(menganggap sial sesuatu) termasuk syirik. Imam Muslim menyatakan bahwa

al-Shu’mu dan t}iyarah mempunyai makna yang satu. Sehingga kesimpulan akhirnya

bahwa t}iyarah termasuk syirik, namun Rasulullah memberi peringatan hendaknya

manusia berhati-hati terhadap 3 hal yakni wanita (istri), kuda (kendaraan) dan rumah.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM……….ii

ABSTRAK………..iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI………...iv

PENGESAHAN SKRIPSI ……….v

PERNYATAAN KEASLIAN………...……vi

MOTTO ………vii

PERSEMBAHAN……….viii

KATA PENGANTAR………ix

DAFTAR ISI ……….xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI ……….xvi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….……….1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ………6

C. Rumusan Masalah ………7

D. Tujuan Penelitian ………..7

(8)

F. Kajian Pustaka ………..8

G. Metode Penelitian ……….9

H. Sistematika Pembahasan………..………12

I. Outline………14

BAB II: TEORI KESAHIHAN H}ADI>>>TH DAN MUKHTALIF AL-H}ADI>>TH DAN SEPUTAR T}IYARAH A. Teori Ke-S}ahi>h-an H}adi>th ……….. 15

B. Mukhtalif al-H}adi>th ………..………33 C. Pengertian T}iyarah ………43

BAB III: TINJAUAN REDAKSIONAL H}ADI>TH TENTANG T}IYARAH A. Biografi Singkat Imam Al-Nasa>’i>> ……….49

B. Biografi Singkat Ah}mad Ibn Hanbal ………54

C. Data H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah Riwayat al-Nasa>’i>> …………..62

D. I‟tibar H}adi>th ……….88

E. Data H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah Riwayat Ah}mad Ibn Hanbal…88 F. I‟tibar H}adi>th ………..……….107

BAB IV: ANALISIS H}ADI>TH TENTANG T}IYARAH A. Penelitian Sanad Dan Matan H}adi>th Tentang Thiyarah………….…….109

1. Penelitian Sanad H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah ……….……109

2. Penelitian Matan H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah ………116

B. Penelitian Sanad Dan Matan H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah ……121

(9)

2. Penelitian Matan H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah ……..……..130

C. Penyelesaian H}adi>th Yang Tampak Bertentangan ………..…..135

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ……….145

B. Saran ………146

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’a>n dan h}adi>th adalah dua ajaran pokok Islam. Al-Qur’a>n sebagai sumber hukum pertama, memuat tata nilai dan kehidupan yang sempurna, pokok-pokok ajaran ketauhidan, ibadah dan muamalah, janji dan ancaman yang bersifat

global dan universal.1 Sedangkan h}adi>th sebagai sumber hukum kedua setelah

Al-Qur’a>n, merupakan penafsiran dari ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’a>n.

Al-Qur’a>n dan h}adi>th masing-masing memiliki perbedaan bila ditinjau

dari segi periwayatanya. Semua periwayatan ayat-ayat dalam Al-Qur’a>n

berlangsung secara muta>watir,2 sehingga berkedudukan sebagai qat}’i>, al-wuru>d.3

Sedangkan h}adi>th sebagian kecil periwayatanya berlangsung secara muta>watir,

dan sebagian besar berlangsung secara a>ha>d, sehingga berkeduduan sebagai z}anni>

al-wuru>d.4

Dengan demikian orisinalitas Al-Qur’a>n tidak diragukan lagi dan tidak

perlu untuk diteliti. Akan tetapi h}adi>th masih perlu dilakukan kegiatan penelitian

terutama terhadap h}adi>th yang bersifat a>ha>d, agar h}adi>th yang bersangkutan dapat

1 Miftah Faridl dan Agus Syihabuddin, Alquran Sumber Islam Yang Pertama, (Bandung: Pustaka, 1989), cet 1, hal 60

2 M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1966), hlm 150 3 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm 93

(11)

dipertanggungjawabkan periwayatnya, berasal dari Nabi Muhammad saw atau tidak.5

Arkaoun menyatakan bahwa proses dari kegiatan “menafsir ” Alquran

itulah yang kemudian terimplementasi dalam tindakan perkataan, perbuatan, dan ketetapan atau taqriri. Aktifitas Nabi tersebut yang kemudian disebut dengan Sunnah Nabi. Kegiatan periwayatan pada masa Nabi pada dasarnya telah mulai berlangsung, baik melalui pendengaran langsung dari Nabi, melalui hafalan dari sahabat, maupun catatan pribadi yang dimiliki oleh sahabat tertentu. Apabila

sahabat ragu terhadap kebenaran suatu h}adi>th maka langsung saja dapat

menanyakannya kepada sumber yang meriwayatkan atau langsung meriwayatakan

kepada Nabi. 6

Menurut Komaruddin Hidayat, h}adi>th dapat dipahami secara tekstual dan

kontekstual, keduanya saling bersebrangan pemahaman kedua cara tersebut bagaikan bagaikan dua keping mata uang yang tidak bisa di pisahkan secara

dikotomis, sehingga tidak semua h}adi>th dapat dipahami secara tekstual dan atau

kontekstual. Selain itu, dibalik sebuah teks sesungguhnya terdapat sekian banyak variable serta gagasan yang tersembunyi yang harus dipertimbangkan agar

mendekati kebenaran mengenai gagasan yang disajikan pengarangnya. 7

Dalam sejarah periwayatan h}adi>th, diketahui bahwa sepeninggal

Rasulullah SAW, terjadi penelitian periwayatan Nabi secara komprehensif hal ini bertujuan supaya tidak ada periwayatan yang bukan berasal dari Nabi. Selain itu

5 M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hlm. 4

6 Journal Hunaifa. Vol. 4. No. 4 Desember 2007: 403-416

(12)

periwayatan h}adi>th harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau

pengurangan.8 Namun pada kenyataanya terdapat h}adi>th yang termasuk riwayat bi

al-ma’na yang mempunyai pengertian bahwa periwayatan suatu h}adi>th yang dilakukan seorang periwayat dengan menggunakan lafaz dari sendiri tanpa

mengacu pada teks aslinya.9 di samping itu ada juga h}adi>th yang redaksi dan

kandungan isinya berbeda antara h}adi>th yang satu dengan h}adi>th yang lain atau

disebut dengan Mukhtalif al-hadi>th.

Dalam khazanah Ilmu h}adi>th menunjukkan bahwa terdapat sejumlah

h}adi>th Nabi yang lainya tampak saling bertentangan atau kontradiktif.10 Menurut

Yusuf al-Qardawi dalam kitabnya Kayfa Nata’a>mal Ma’a al-Sunnah

menyebutkan bahwa nash syariat tidak mungkin bertentangan. Perentangan yang mungkin terjadi adalah lahiriyahnya bukan dalam keadaan hakikinya dan kedua

secara metodologinya.11 Sesungguhnya Tidak mungkin h}adi>th Nabi bertentangan

dengan h}adi>th Nabi yang lainya atau malah bertentangan dengan ayat-ayat

al-Qur’a>n, alasan yang paling utama karena keduanya berasal dari sumber yang sama

yakni dari Allah. Semua ulama telah sepakat bahwa h}adi>th yang tampak

bertentangan tersebut harus diselesaikan supaya tidak menimbulkan polemik

dikalangan masyarakat dalam pengamalan h}adi>th - h}adi>th Nabi.

8 Mu. Zuhri, Hadis nabi, Telaah Historis dan metodologis (Yogyakarta : PT. Tria Wacana, 2003) 112

9 Salamah Nurhidayati, Kritik Teks Hadis (Yogyakarta : teras, 2009) 45

10 Untung Ranuwijaya Said Husain al-Munawar, Ilmu Hadis (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996), 26

11 Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muhammad

(13)

Para ulama h}adi>th berbeda pendapat dalam melakukan penyelesaian

h}adi>th yang bertentangan. Ibn Hazm secara tegas menyatakan bahwa matan

h}adi>th yang bertentangan, masing-masing h}adi>th harus diamalkan. Ibnu Hazm

menekankan perlunya metode istisna’. Imam Syafi‟i memberi gambaran bahwa

mungkin saja matan-matan h}adi>th yang bertentangan itu mengandung petunjuk

bahwa matan yang satu bersifat global dan yang satunya bersifat rinci, mungkin yang satu bersifat umum dan yang satu bersifat khusus, mungkin yang satu

bersifat penghapus (al-Na>sikh) dan yang lain bersifat sebagai dihapus (

al-mansu>kh) atau mungkin keduanya bisa diamalkan. Sedangkan Ibnu Hajar

menempuh empat tahap yaitu, jam’u, na>sikh wa mansu>kh, tarji>h dan

al-tawqi>f. 12

Dari beberapa penyelesaian yang digunakan oleh para ulama ketika

terdapat matan h}adi>th yang bertentangan dengan mata h}adi>th yang lain, maka

penulis tertarik untuk meneliti pertentangan h}adi>th yang berkaitan dengan

menganggap sial sesuatu, sebagaimana disebutkan dalam sunan al-Nasa>’i> bahwa

kesialan itu terdapat dalam 3 hal yakni, kuda (Kendaraan), wanita dan rumah. Di

samping lain Nabi juga meriwayatkan h}adi>th yang dikutip dari Musnad Ahmad

bahwa berfirasat buruk (t}iyarah) terhadap sesuatu itu termasuk bagian dari syirik.

Kedua h}adi>th tersebut sekilas bertentangan satu sama lain dalam artian bahwa

disatu sisi Rasulullah mengajarkan tentang beberapa hal yang didalamnya terdapat kesialan, namun disisi lain Rasul juga melarang berfirasat buruk terhadap sesuatu.

(14)

H}adi>th yang menerangkan bahwa Rasulullah menunjukkan tentang adanya

kesialan di tiga hal adalah Riwayat al-Nasa>’i> Nomer indeks 3568 yang berbunyi:

أ

وُصْنَم ُنْب ُدمََُُو ٍديِعَس ُنْب ُةَبْ يَ تُ ق َََرَ بْخ

ْنَع ُناَيْفُس اَنَ ثدَح ََاَق ُهَل ُظْفللاَو ٍض

ِِِّنلا ْنَع ِهيِبَأ ْنَع ٍِِاَس ْنَع ِّيِرْزلا

ٍةَث َََث ِِ ُمْؤشلا َلاَق َملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص

ضادلاَو ِسَرَفْلاَو ِةَأْرَمْلا

.

13

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dan Muhammad bin Manshur dan ini adalah lafaz Muhammad bin Manshur, berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri dari Salim dari ayahnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Kesialan ada dalam tiga hal: wanita, kuda, dan rumah."

Riwayat tersebut diatas Bertentangan dengan riwayat Ah}mad bin Hanbal

Nomer indeks 4171

َْلا ىَسيِع ْنَع ٍلْيَمُك ِنْب َةَمَلَس ْنَع َةَبْعُش ْنَع ٌجاجَحَو ُةَبْعُش اَنَ ثدَح ٍرَفْعَج ُنْب ُدمَُُ اَنَ ثدَح

ِدْبَع ْنَع ٍّضِز ْنَع ِّيِدَس

ِهْيَلَع َُا ىلَص ِِِّنلا ْنَع َِا

َلاَق َملَسَو

ِلكَو تلِِ ُهُبِ ْذُي ََا نِكَلَو َِإ انِم اَمَو ِكْرِّشلا ْنِم ُةَرَ يِّطلا

14

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dan Hajjaj dari Syu'bah dari Salamah bin Kuhail dari Isa Al Asadi dari Zirr dari Abdullah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Thiyarah (berfirasat buruk) termasuk syirik, tidaklah dari kami melainkan (bisa melakukannya) akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal."

Dengan melihat h}adi>th diatas, perlu kiranya untuk menemukan solusi tepat

yang dapat menyelesaikan pertentangan dua h}adi>th tersebut. Problemnya adalah

apakah benar Rasulullah menganjurkan dan mengingatkan kepada kita bahwa tempat kesialan itu berada di tiga hal yakni kuda (kendaraan), wanita dan rumah. Kalau melihat faktanya ternyata banyak ajaran-ajaran yang termasuk ke-adat-an

13

Abi> Abdi al-Roh}man Ah}mad bin Shu’aib bin ‘Ali al- Shahir al-Nasa>’i>, Sunan al- Nasa>’i> (Riyadh : Maktabah al-Ma’arif, 303 H.), 556.

14

(15)

khusunya adat jawa berpijak pada h}adi>th tersebut, seperti dalam primbon jawa yang menyatakan bahwa seseorang bisa sukses jika perhitungan wetonnya tepat dengan istri, keadaan rumahnya dan juga kendaraan yang ditumpanginya.

Selain itu, Rasulullah mengingatkan bahwa mengggap sial sesuatu atau berfirasat buruk terhadap sesuatu itu termasuk syirik karena semua yang terjadi pada diri manusia berasal dari takdir dan kuasa Allah , tidak karena atau akibat dari suatu hal

Dengan demikian, perlu kiranya diteliti intisari dari kedua h}adi>th tersebut

baik melalui pemahaman tekstual dan secara kontekstual supaya kehujjahan

h}adi>th dapat diketahui diantara keduanya dan bisa diamalkan oleh masyarakat secara luas.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Mengingat keluasan pembahasan tentang h}adi>th tentang Menganggap sial

sesuatu, khususnya yang terkait dengan petunjuk h}adi>th Nabi dalam hubunganya

dengan kehati-hatian umat Islam kepada tiga hal yakni, kuda (kendaraan), wanita dan rumah, dan juga pelarangan menganggap sial sesuatu maka permasalahan yang akan diangkat dalam rangka untuk memproyeksikan penelitian ini lebih

lanjut adalah penyelesaian tentang h}adi>th Nabi yang tampak bertentangan

tersebut.

Termasuk juga dalam rangkaian penyelesaian mukhtalif h}adi>th. H}adi>th

tentang menganggap sial sesuatu adalah penelitian tehadap kualitas h}adi>th yang

(16)

ulama h}adi>th yakni melalui kegiatan takhri>j, I’tiba>r dalam meneliti kualitas sanad dan matan.

Dari beberapa identifikasi masalah diatas penulis membatasi pembahasan

pada permasalahan h}adi>th yang tampak bertentangan dan cara penyelesain

sekaligus solusinya, hal ini agar fokus masalah yang penulis teliti terarah dan tidak meluas.

C. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas masalah yang akan dikaji dalam studi ini, maka dirumuskanlah masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut

1. Bagaimana kualitas h}adi>th tentang kesialan ada di tiga hal dalam

h}adi>th Nomor indeks 3568 pada kitab Sunan al-Nasa>’i>?

2. Bagaimana kualitas h}adi>th tentang berfirasat buruk adalah kesyirikan

dalam h}adi>th Nomor indeks 4171 pada kitab Musnad Ah}mad bin

Hanbal?

3. Bagaimana penyelesaian h}adi>th yang tampak berbeda satu sama lain?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini, berdasarkan pada pokok masalah yang telah dirumuskan diatas, bertujuan untuk

1. Untuk menguji kualitas h}adi>th tentang kesialan ada di tiga hal dalam

(17)

2. Untuk menguji kualitas h}adi>th tentang berfirasat buruk adalah

kesyirikan dalam h}adi>th Nomor indeks 4171 pada kitab Musnad

Ah}mad bin Hanbal

3. Mendiskripsikan penyelesaian h}adi>th yang tampak berbeda satu sama

lain.

E. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis penelitian ini dilakukan sebagai bentuk upaya pengujian

kritis terhadap h}adi>th - h}adi>th yang berkaitan dengan menganggap sial sesuatu

sebagai refrensi yuridis dogmatis dalam ajaran Islam. Pengujian yang dimaksud

adalah untuk mengetahui pertentangan h}adi>th Nabi yang mengenai himbauan

kesialan terhadap sesuatu, dengan h}adi>th Nabi yang tidak boleh menganggap sial

sesuatu, dan metode yang dipakai dalam mengkrompromikan h}adi>th - h}adi>th

kontradiktif terebut.

Secara praktis, penelitian ini berguna untuk menjadi salah satu

pertimbangan dalam upaya pengkajian secara mendalam terhadap h}adi>th yang

diterima dengan meniliti kualitas sanad dan matan. Secara khusus dapat memberikan kontribusi yang refrensial dan sebagai wacana dalam memaknai perintah dalam himbauan menganggap sial sesuatu dan pelarangan menganggap sial sesuatu, sehingga hasilnya dapat dijadikan hujjah dan dasar bagi pelaksanaan muamalah diantara manusia secara umum dan umat Islam secara khsusus.

F. Kajian Pustaka

Dalam hal ini penulis belum menemukan karya ilmiah yang membahas

(18)

pembahasan dalam bukunya Yusuf al-Qardhawi Studi Kritik H}adi>th (Kayfa

Nata’a>mal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyah), tentang bagaimana cara

menyelesaikan ketika terdapat dua h}adi>th yang saling bertentangan. Dalam hal ini

Yusuf al-Qardhawi membahas pertentangan yang memperbolehkan wanita

melihat laki-laki dan h}adi>th yang tidak memperbolehkan wanita melihat laki-laki

dan juga h}adi>th yang memperbolehkan wanita untuk berziarah kubur.15 namun

demikian dalam pembahasanya Yusuf al-Qaradhawi hanya sekilas saja tidak dijelaskan secara detail.

Sehubungan dengan kenyataan diatas, h}adi>th mukhtalif tentang

menganggap sial sesuatu, perlu diangkat dalam bentuk penelitian yang mendalam, karena dari literature-literature yang ada hanya membahas mengenai gambaran

umumnya saja, dan belum menyangkut masalah kaidah kesahihan h}adi>th.

G. Metode Penelitian

1. Model dan jenis penelitian

Penelitian ini merupakan model penelitian kualitatif.16 yang

bermaksud untuk mengungkapkan kehujjahan h}adi>th dalam himbauan dan

pelarangan menganggap sial sesuatu melalui riset kepustakaan dan disajikan secara deskriptif-analitis. Yakni dengan berusaha memaparkan

data-data tentang suatu hal atau masalah dengan analisa dan interpretasi

15

Mah}mu>d al-Tah}ha>n, Taysir Mustalah al-H}adi>th (Bairut: Da>r al-Qur’a>n al-Kari>m, 1979), 131.

16 Metode kualitatif merupakan proses penelitian yang ingin menghasilkan data bersifat

(19)

serta komperasi yang tepat.17 Penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan bagaimana status kehujjahan di antara dua h}adi>th yang

bertentangan.

Jenis dari penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library

Research), yakni penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber

datanya.18 Baik itu buku-buku yang termasuk sumber primer maupun

buku-buku yang termasuk sumber sekunder.

2. Sumber data penelitian

Data primer dalam penelitian ini adalah kitab sunan al-Nasa>’i> dan

Musnad Ah}mad bin Hanbal.

Sumber yang sekunder berasal dari Karya-karya para ulama lain sebagai pelengkap dalam penelitian ini diantaranya adalah:

1. Taysi>r Must}alah al-h}adi>th, karya Mah}mu>d T}ahha>n

2. Tahdhib al-Tahdhi>b, karya Shiha>b al-Din Ah}mad ibn ‘Ali> bin Hajar al-‘Asqalani>

3. Tahdhib al-Kama>l fi al-Asma’ al-Rija>l, karya Jama>l al-Din Abi> al-Hajja>j Yu>suf al-Mizzi

4. Mukhtalif al-H}adi>th Bayna al-Fuqaha’ wa al-Muh}addithi>n, karya Na>fis H}usain Hammad

5. Metodologi Penelitian H}adi>th Nabi, karya M. Syuhudi Ismail

6. Kaidah Kesahihan Sanad H}adi>th : Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, karya M. Syuhudi Ismail.

(20)

7. Dan buku-buku lain yang erat hubungannya dengan pembahasan penelitian ini.

3. Teknik pengumpulan data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara menelaah literatur-literatur dan mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan topik mengaggap sial sesuatu.

4. Teknik analisis data

Analisis data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh melalui

penelitian ini. Dari penelitian h}adi>th secara dasar terbagi dalam dua

komponen yakni sanad dan matan. Dalam mengenalisis data sanad dan matan, data-data yang sudah terkumpul dan tersusun tersebut, kemudian dianalisis dan atau di interpretasikan hingga diperoleh pengertian data

yang jelas. 19

Dalam penelitian sanad, digunakan metode kritik sanad dengan

pendekatan keilmuan Rija>l al-H}adi>th dan al-Jarh} wa al-Ta’di>l serta

mencermati silsilah guru murid dan proses penerimaan h}adi>th tersebut

(Tah}ammul wa al-Ada>’)20 sedangkan dalam kaitanya dengan penelitian

matan menggunakan analisis isi (conten analysis). Validitas matan h}adi>th

diuji pada tingkat kesesuaian h}adi>th dengan penegasan eksplisist al-Qura>n,

logika atau akal sehat, fakta sejarah informasi h}adi>th-h}adi>th lain yang

19 Winarni Surahmat, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito. 1992), 139.

(21)

berkualitas s}ah}i>h} serta hal-hal yang oleh masyarakat umum diakui sebagai

bagian integral ajaran Islam.21

Dalam upaya penyelesaian h}adi>th yang tampak bertentangan

tersebut penulis menggunakan beberapa metode penyelesain yang telah

ada dalam ilmu mukhtalif al-h}adi>th, yakni yang baik berupa al-jam’u wa

al-tawfiq (menggabungkan dan mengkompromikan h}adi>th) atau tarji>h

(memilih dan mengunggulkan kulaitas h}adi>th yang lebih baik) atau

Nasakh – mansukh dan atau tawaquf (menghentikan atau mendiamkan).

H. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Bab pertama adalah pendahuluan yang membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoretik, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

Bab kedua membahas tentang landasan teori seputar mukhtalif al-h}adi>th.

Dalam bab ini dijelaskan pengertian mukhtalif al-h}adi>th sekaligus teori ke-s}ahi>h

an h}adi>th. Pada bab ini juga dibahas metode penyelesaian mukhtalif al-h}adi>th

h}adi>th yang bertentangan khususnya tentang menganggap sial sesuatu.

Bab ketiga mengandung berupa tinjauan redaksional h}adi>th - h}adi>th yang

terkait dengan perintah dan pelarangan mengaggap sial sesuatu. Didalamnya

tercakup h}adi>th - h}adi>th dari beberapa kitab yang berhubungan dengan materi

h}adi>th yang mengalami kontradiktif. Selain itu juga membahas mengenai biografi

(22)

singkat al-Nasa>’i>, biografi singkat Ah}mad bin Hanbal data h}adi>th, skema sanad,

takhri>jh}adi>thdan I‟tibar.

Bab keempat berisi analisis kajian tentang menganggap sial sesuatu dalam

h}adi>th Nabi yang meliputi klasifikasi h}adi>th - h}adi>th tentang himbauan tentang

menggap sial sesuatu dan h}adi>th pelarangan menggap sial sesuatu berikut

validitas dan kualitasnya, solusi yang digunakan dalam menyelesaikan h}adi>th

-h}adi>th kontradiksi tentang menggap sial sesuatu.

Bab kelima berisi tentang kesimpulan yakni simpulan dari pembahasan pada penelitian ini, selain itu juga berisi kritik dan saran. Kritik dimaksudkan

untuk pengamalan h}adi>th Nabi, dan saran dimaksudkan untuk perkembangan dari

(23)

I. Outline

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Identifikasi Masalah Dan Batasan Masalah

C. Rumusan Masalah

D. Tujuan Penelitian

E. Kegunaan Penelitian

F. Kajian Pustaka

G. Metode Penelitian

H. Sistematika Pembahasan

I. Outline

BAB II

TEORI KESAHIHAN H}ADI>>TH DAN MUKHTALIF AL-H}ADI>TH DAN

SEPUTAR T}IYARAH

A. Teori Ke-S}ahi>h-an H}adi>th

B. Mukhtalif al-H}adi>th

C. Pengertian T}iyarah

BAB III

TINJAUAN REDAKSIONAL H}ADI>TH TENTANG T}IYARAH

A. Biografi Singkat Imam Al-Nasa>’i>>

B. Biografi Singkat Ah}mad Ibn Hanbal

C. Data H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah Riwayat al-Nasa>’i>> D. I‟tibar H}adi>th

E. Data H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah Riwayat Ah}mad Ibn Hanbal

F. I‟tibar H}adi>th BAB IV

ANALISIS H}ADI>TH TENTANG T}IYARAH

A. Penelitian Sanad Dan Matan H}adi>th Tentang Thiyarah

1. Penelitian Sanad H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah

2. Penelitian Matan H}adi>th Tentang dibolehkan T}iyarah

B. Penelitian Sanad Dan Matan H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah

1. Penelitian Sanad H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah

2. Penelitian Matan H}adi>th Tentang Kesyirikan T}iyarah

C. Penyelesaian H}adi>th Yang Tampak Bertentangan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

(24)

BAB II

TEORI

KES{AH{I>H{AN

H}ADI>TH

, MUKHTALIF AL-

H}ADI>TH

DAN

T}IYARAH

A. Teori Ke-S}ah}i>h-an H}adi>th

H}adi>th s}ah}i>h menurut ahli h}adi>th, adalah h}adi>th yang sanad-nya

bersambung, dikutip oleh orang yang adil, sempurna ingatanya, tidak ber-‘illat

dan tidak janggal.1 Kes}ah}i>han h}adi>th merupakan hal yang harus dipenuhi dalam

suatu pengamalan h}adi>th, Kes}ah}i>han h}adi>th di sini tidak hanya mengacu pada segi

sanadnya namun juga redaksi dari h}adi>th tersebut. Ulama h}adi>th baik itu

kontemporer maupun salaf telah memberikan kriteria khusus mengenai syarat adanya Kes}ah}i>han sebuah h}adi>th.

Dari definisi yang telah dikemukakan oleh para muh}addithi>}n maka dapat

disimpulkan, bahwa suatu h}adi>th dapat dinilai s}ah}i>h apabila telah memenuhi lima

syarat, yakni sanadnya bersambung, perawinya „adil, d{a>bit{, tidak mengandung

„illat dan tidak janggal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa h}adi>th s}ah}i>h adalah

h}adi>th yang terpenuhi unsur-unsur Ke-s}ah}i>h-an baik itu dalam segi sanad maupun

matan, karena dimungkinkan sanad-nya s}ah}i>h tetapi matan-nya tidak, atau

sebaliknya.

Adapun kreteria Ke-s}ah}i>h-an h}adi>th Nabi terbagi dalam dua pembahasan,

yaitu kreteria Ke-s}ah}i>h-an sanad h}adi>th dan Ke-s}ah}i>h-an matan h}adi>th. Jadi,

(25)

sebuah h}adi>th dikatakan s}ah}i>h apabila kualitas sanad dan matan-nya sama-sama bernilai s}ah}i>h.

1. Kreteria Ke-s}ah}i>h-an sanadH}adi>th

Menurut bahasa, sanad adalah sesuatu yang dijadikan sandaran.

Sedangkan menurut Istilah, sanad adalah berita tentang jalan matan, dan

ada juga yang mengatakan bahwa sanad adalah silsilah para perawi yang

meriwayatkan h}adi>th dari sumber yang pertama.2

Para ulama h}adi>th telah sepakat tentang syarat-syarat Ke-s}ah}i>h-an

sanadH}adi>th, sebagaimana berikut:

a. Ittis}a>l al-Sanad (Ketersambungan sanad)

Menurut as-Shiddiqy Ittisa>l al-Sanad yakni tiap-tiap perawi

dalam sanad h}adi>th menerima riwayat h}adi>th dari periwayat

terdekat sebelumnya yang terus bersambung sampai akhir sanad.3

Menurut Mah{mu>d T{a>h}h{a>n sanad-nya bersambung yang

dimaksudkan disini adalah bahwa setiap rawi yang besangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang diatasnya dan begitu

selanjutnya sampai kepada pembicara pertama. 4

Ittisa>l al-Sanad dimaksudkan bahwa kodifikator h}adi>th urutan pertama sampai pada perawi terakhir tidak mengalami

keputusan sanad. Tiap perawi menerima h}adi>th dari sanad

2

Munzier Suprapta, Ilmu Hadis (Jakarta: Raja Grafido Persada. 2002), 45. 3

Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 322-337.

4 Mah}mu>d al-T}ahh}}an, Taisi>r Must}alah al-H}adi>th

(26)

sebelumnya keadaan saling menerima ini sampai akhir sanad.

Sehingga dengan kata lain periwayat Mukharrij sampai perawi

yang menerima h}adi>th Nabi secara langsung, saling memberi dan

menerima dengan perawi terdekatnya.5

Suatu sanad dapat diketahui bersambung atau tidak dengan

langkah-langkah yang dibuat muh}addithi}n sebagaimana berikut:

1) Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti

2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat

melalui kitab Rija>l al-Hadi>th dengan tujuan untuk

mengetahui apakah setiap periwayat dengan periwayat terdekat dalam sanad itu terdapat satu zaman dan hubungan

guru murid dalam periwayatan h}adi>th.

3) Meneliti lafaz} yang menghubungkan antara periwayat

dengan periwayat terdekat dalam sanad.6

Jadi suatu sanad h}adi>th dapat dinyatakan bersambung

apabila:

1) Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar thiqah („adil dan

d{a>bit{)

2) Antara masing-masing rawi dan rawi terdekat dalam sanad

itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan h}adi>th

5 Subh}i al-S}a>lih, Ulu>m al-Hadi>th Wa Must}alahuhu, (Bairut: al-Ilmu li al-Malaym, 1997), 145.

6

M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

(27)

secara sah menurut ketentuan tah}{ammul wa ada>’

al-hadi>}th

Para ulama juga menetapkan dasar-dasar terhadap rawi yang tertolak riwayatnya, antara lain:

1) Orang yang berdusta atas nama Rasulullah SAW

2) Orang yang berdusta dalam bicaranya meskipun hanya

sekali dan tidak atas nama Rasulullah SAW

3) Ahli bid‟ah yang selalu mengikuti hawa nafsunya

4) Zindiq, fasik, selalu lupa dan tidak mengerti apa yang

dibicarakan.7

b. Ada>lat al-Ra>wi> (Rawinya bersifat „a>dil)

Kata adil dalam kamus bahasa Indonesia berarti tidak berat

sebelah (tidak memihak) atau sepatutnya,tidak sewenang-wenang. 8

Menurut al-Ra>zi>. „a>dil adalah tenaga jiwa yang selalu mendorong untuk selalu takwa, menjahui dosa-dosa besar, menjahui untuk melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan

mubah yang dapat menodai keperwiraan (Muru’ah) seperti makan

di jalan umum, buang air kecil tidak pada tempat yang ditentukan

dan bersenda gurau yang berlebih-lebihan.9 Menururt al-Irshad

7

Musthafa al-Shiba‟i. Hadis Sebagai Sumber Hukum, Cet III (Bandung: CV. Diponegoro. 1990), 147-150.

8

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia cet ke 8 (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), 16.

9

(28)

„adi>l adalah berpegang teguh pada pedoman dan adab-adab

shara’.10

Sedangkan Menurut Ibn Sam`a>ni>, bisa dikatakan „a>dil

seseorang jika memenuhi empat syarat sebagai berikut :

1) Selalu memelihara perbuatan taat dan menjahui perbuatan

maksiat

2) Menjahui dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan

santun

3) Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat

merendahkan citra diri, membawa kesia-siaan dan mengakibatkan penyesalan

4) Tidak mengikuti pendapat salah satu madzab yang

bertentangan dengan shara’..11

Kaitanya dengan ilmu h}adi>th, Muh}addith>in berpendapat

bahwa seluruh sahabat dinilai „a>dil berdasarkan al-Qur’a>n, h}adi>th

dan Ijma’. Namun demikian setelah dilihat lebih lanjut, ternyata

ke-„a>dil-an sahabat bersifat mayoritas dan ada beberapa sahabat

yang tidak adil. Jadi, pada dasarnya para sahabat Nabi dinilai „a>dil

kecuali apabila terbukti telah berprilaku yang menyalahi sifat „a>dil.

12

10

Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadits (Yogyakarta: Insan Madani, 2008), 9. 11

Rahman, Ikhtis}ar Mus}t}alah..,95. 12

(29)

Jadi, sifat ke-„a>dil-an mencakup beberapa hal unsur penting diantaranya adalah:

1) Islam. Sehingga periwayatan orang kafir tidak diterima,

sebab ia dianggap tidak dapat dipercaya

2) Mukallaf. Karenanya periwayatan dari anak yang belum

dewasa, menurut pendapat yang lebih s}ahi>h tidak dapat

diterima, sebab ia belum terbebas dari kedustaan. Demikian pula periwayatan orang gila.

3) Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik

dan mencacatkan kepribadian. 13

ke-„a>dil-an dalam periwayatan h}adi>th lebih umum dari pada ke-„a>dil-an dalam persaksian, di dalam persaksian, dikatakan „a>dil jika terdapat dari dua orang laki-laki yang merdeka. Sementara

itu,dalam periwayatan hadith, cukup seorang perawi saja, baik

laki-laki maupun perempuan, seorang budak ataupun merdeka. 14

c. D}a>bit}

D}a>bit} adalah perawi atau orang yang ingatanya kuat dalam artian bahwa apa yang diingatnya lebih banyak dari pada apa yang ia lupa. Dan kualitas kebenaranya lebih besar dari pada kesalahanya. Pembagian d}a>bit} ada dua yakni d}a>bit{ s{adri> dan d}a>bit{

al-kita>bi, d}abit{ s{adri> adalah jika seseorang memiliki ingatan yang

kuat sejak menerima sampai menyampaikan h}adi>th kepada orang

13

Rahman, Ikhtis}ar Mus}t}alah.., 120. 14

(30)

lain dan ingatanya itu sanggup dikeluarkan kapanpun dan dimanapun ia kehendaki. Apabila yang disampaikan itu berdasarkan pada buku catatanya maka ia disebut sebagai orang

yang d}a>bital-kita>bi (memeliki hafalan catatan yang kuat).15

D}a>bit adalah orang yang benar-benar sadar ketika

menerima h}adi>th, faham ketika mendengarnya dan menghafalnya

sejak menerima sampai menyampaikanya.16 Ke-d}a>bit-an seorang

perawi dapat diketahui dengan kesaksian ulama, kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain

yang telah dikenal ke-d}abita-nya dan hanya sekali mengalami

kekeliruan. 17

Tingkat ke-d}abit-an yang dimiliki oleh para periwayat

tidaklah sama, hal ini disebabkan oleh perbedaan ingatan dan kemampuan pemahaman yang dimiliki oleh masing-masing perawi, perbedaan tesebut dapat dipetakan sebagai berikut:

1) d}a>bit, istilah ini diperuntukkan bagi perawi yang mampu menghafal dengan baik dan mampu menyampaikan dengan

baik h}adi>th yang dihafalnya itu kepada orang lain.

15

Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab …, 10.

16 Muh}ammad Aj>jaj al-Kha>tib, Us>}ul al-H}adi>th, (Beirut, Da>r al-Fikr, tth), 278. 17 Al-S}a>lih, Ulu>m al-H}adi>th..

(31)

2) Tama>m al-d}a>bit}, istilah ini diperuntukkan bagi perawi yang hafal dengan sempurna, mampu untuk menyampaikan dan

faham dengan baik h}adi>th yang dihafalnya itu. 18

Upaya untuk mendeteksi ke-d}a>bit-an rawi adalah dengan

memperbandingkan h}adi>th-h}adi>th yang diriwayatkan dengan

h}adi>th lain atau dengan al-Qur’a>n, yang dapat dilakukan dengan

enam perbandingan h}adi>th yaitu:

1) Memeperbandingkan h}adi>th -h}adi>th yang diriwayatkan

oleh sejumlah sahabat Nabi, antara satu dengan yang lain

2) Memperbandingkan h}adi>th yang diriwayatkan oleh seorang

rawi pada masa yang berlainan

3) Memperbandingkan h}adi>th - h}adi>th yang diriwayatkan oleh

rawi-rawi yang berasal dari seorang guru h}adi>th

4) Memperbandingkan suatu h}adi>th yang sedang diajarkan

oleh seorang dengan h}adi>th semisal yang diajarkan gurunya

5) Memperbandingkan antara h}adi>th - h}adi>th yang tertulis

dalam buku dengan yang tertulis dalam buku lain, atau hafalan h}adi>th

6) Memperbandingkan h}adi>th-h}adi>th dengan ayat-ayat

al-Qur’a>n.19

d. Terhindar dari Shudhu>dh

18

Musahadi Yuslem, Ulumul Hadis (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), 363. 19Ali Musthafa Ya‟qub,

(32)

al-Sha>dh menurut bahasa adalah seseorang yang

memisahkan diri dari jama‟ah. H}adi>th yang mengandung shudhu>dh

oleh ulama disebut dengan h}adi>th sha>dh sedangkan lawan dari

h}adi>thsha>dh disebut dengan h}adi>thmah{fu>z}.20

Menurut al-H}a>kim al-Naysa>bu>ri>. sha>dh berarti h}adi>th yang

diriwayatkan oleh orang yang thiqah, tetapi orang-orang yang

thiqah lainya tidak meriwayatkan h}adi>th tersebut.21 Sedangkan menurut Istilah h}adi>thsha>dh adalah H}adi>th yang diriwayatkan oleh

rawi yang maqbu>l yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama

darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi

hafalanya. 22

Jadi untuk mengetahui ke-sha>dh-an suatu h}adi>th, harus

mengumpulkan semua sanad h}adi>th yang memiliki kesamaan

pokok masalah dalam matanya kemudian diperbandingkan pada

mulanya mungkin semua sanad dan matan itu kelihatan s}ahi>htetapi

setelah diadakan terdapat shudhu>dh.23

Berdasarkan definisi di atas, dapat diketahui bahwa syarat

sha>dh adalah penyendirian dan perlawanan. Syarat sha>dh ini bersifat komulatif. Jadi, selama tidak terkumpul padanya dua unsur

20

Nuruddin Itr, Ulumul Hadis, Jilid 2 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), 228 21

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) 86

22

Nuruddin Itr, Ulumul Hadis, Jilid 2.., 228 23

(33)

tersebut, maka tidak dapat disebut sebagai h}adi>th sha>dh.24 Ulama

h}adi>th telah sepakat bahwa penelitian tentang adanya sha>dh suatu

h}adi>th sangat sulit diteliti karena terletak pada sanad yang tampak

s}ahi>h dan baru dapat diketahui dengan penelitian yang lebih mendalam.

Sha>dh dalam h}adi>th tidak hanya terjadi dalam sanad saja

tetapi ditemukan juga pada matan. Dalam menentukan sha>>dh

tidaknya suatu h}adi>th, para ulama menggunakan cara

mengumpulkan semua sanad dan matan h}adi>th yang mempunyai

masalah yang sama. Secara sepintas h}adi>th sha>dh itu sahih karena

rawinya orang-orang thiqah, tetapi setelah dikaji lebih dalam

ternyata ada sesuatu yang menggugurkan ke-s}ahi>h-an s}ahi>h

tersebut sehingga dalam mengetahui adanya ke-shudhu>dh-an pada

suatu h}adi>th sangat sulit. Oleh karena itu, tidak setiap ulama

mampu untuk melakukanya. Hanya orang-orang yang mumpuni

dan biasa melakukan upaya penelitian h}adi>th saja yang dianggap

mampu melakukan hal tersebut.

e. Tidak ada unsur ‘illah

H}adi>th yang ber‘illah oleh kalangan ulama h}adi>th dikenal

dengan istilah mu`allal, ada juga sebagian mereka yang menamakan

dengan istilah ma`’lu>l.25 suatu h}adi>th yang setelah diadakan

penelitian, tampak adanya salah sangka dari rawinya, dengan

24 Al-S}a>lih, „Ulu>m al-H}adi>th..

, 197.

25

(34)

mewas{alkan (menganggap bersambung suatu sanad) h}adi>th yang

munqat{i` (terputus) atau memasukkan sebuah h}adi>th pada suatu

h}adi>th yang lain yang semisal dengan itu. 26

Pada umumnya ‘illah yang sering ditemukan adalah pada :

1) Sanad yang tampak muttas}il (bersambung) dan marfu>`

(bersandar kepada Nabi), tetapi kenyataannya mauqu>f

(Bersandar kepada sahabat Nabi) walaupun sanad-nya

dalam keadaan muttas}il. Contohnya adalah h}adi>th riwayat

al-Bukhari :

و ءاسما رظت ت اف تحبصأ اذإو حابصلا رظت ت اف تيسمأ اذإ : لوقي

كتوم كتايح نمو كضرم كتحص نم ذخ

H}adi>th ini bersanad ‘ali ibn ‘abdillah , Muh}ammad ibn

‘abdur rah}man ‘abdul mundzir thufawiy, sulaiman

al-a’masi>, Mujahid dan Ibnu Umar . ini adalah h}adi>thmauqu>f

sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu Umar sendiri,

tidak ada petunjuk kalau itu sabda Rasul yang ia ucapkan setelah ia menceritakan bahwa Rasul memegang bahunya bersabda:

ليبس رباع وا بيرغ كنأك ايندلا ي نك

26

(35)

2) Sanad yang tampak muttas}il (bersambung) dan marfu>’

(bersandar kepada Nabi), tetapi kenyataanya mursal

(bersandar kepada tabi’in, orang Islam generasi setelah

sahabat Nabi dan sempat bertemu dengan sahabat Nabi)

walaupun sanad-nya dalam keadaan muttas}il. Contohny

adalah:

H}adi>th yang diriwayatakan oleh Malik dari Ibu Shihab dari

‘Ubaidillah ibn ‘Abdillah dari ‘abdullah ibn ‘Abbas. Kata Ibn Abbas:

يح ماصف ناضمر ي حتقلا ماع موي ةكم يإ جرخ ه لوسر نأ

غلب

سا لا رطفاف رطفا م ديدكلا

3) Dalam h}adi>th itu telah terjadi kerancuan karena bercampur

dengan h}adi>th yang lain.

4) Dalam sanad h}adi>th itu telah terjadi kekeliruan penyebutan

nama periwayat yang memiliki kemiripan atau kesamaan

dengan periwayat lain yang kualitasnya berbeda. 27

contohnya adalah penyebutan sahabat ‘Abdullah bahwa

yang diamaksud adalah ‘Abdullah ibn Umar bukan

‘Abdullah bin Mas’ud

27

(36)

Untuk mengetahui terdapat ‘illah tidaknya suatu h}adi>th, para ulama menentukan beberapa langkah yaitu: pertama,

mengumpulkan semua riwayat h}adi>th, kemudian membuat

perbandingan antara sanad dan matannya, sehingga bisa ditemukan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya akan diketahui di

mana letak ‘illah-nya dalam h}adi>th tersebut. Kedua,

membandingkan susunan rawi dalam setiap sanad untuk mengetahui posisi mereka masing-masing dalam keumuman sanad. Ketiga, pernyataan seorang ahli yang dikenal keahlianya, bahwa

h}adi>th tersebut mempunyai ‘illah dan ia menyebutkan letak ‘illah pada h}adi>th tersebut. 28

Maka untuk mengetahui keadaan sanad h}adi>th dan juga

keadaan rawi suatu h}adi>th makan dalm ilmu h}adi>th ada ilmu

khusus yang membahas yaitu rija>l al-hadi>th. Ilmu ini dimaksudkan

dapat secara spesifik mengupas keberadaan rawi h}adi>th. Selain itu

dalam ilmu ini juga dibahas tentang data-data para perawi yang

terlibat dalam civitas periwayatan h}adi>th dan dengan ilmu ini juga

dapat diketahui sikap ahli h}adi>th yang menjadi kritikus terhadap

para perawi h}adi>th tersebut. 29 2. Kreteria ke-s}ah}i>h-}an matan

28

Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadis, ed III (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 163.

29

(37)

Apabila sanad h}adi>th menjadi obyek penting ketika melakukan

penelitian maka dengan demikian matan h}adi>th juga harus diteliti, karena

keduanya adalah dua unsur penting yang saling berkaitan. Belum lagi ada

beberapa redaksi matan h}adi>th yang menggunakan periwayatan semakna,

sehingga sudah barang tentu matan h}adi>th juga harus mendapatkan

perhatian untuk dikaji ulang.30

Hal yang perlu diperhatikan pada penelitian matan h}adi>th adalah

mengetahui kualitas matan tersebut, ketentuan kualitas ini adalah dalam hal ke-s}ah}i>h-}an sanad h}adi>th atau minimal tidak berat ke-d}a`i>f-nya. 31

Menurut Ibn al-S}ala>h, ke-s}ah}i>h-}an matan h}adi>th tercapai ketika telah memenuhi dua kritera, antara lain:

a. Matan h}adi>th tersebut harus terhindar dari kejanggalan (sha>dh)

b. Matan h}adi>th tersebut harus terhindar dari kecacatan (`illat)

Maka dalam penelitian suatu matan h}adi>th kedua hal tersebut harus

menjadi acuan tujuan utama, namun dalam prakteknya para ulama h}adi>th

tidak memberikan pasti dan baku mengenai langkah-langkah penelitian

matan. Agar kritik matan tersebut dapat menntukan akan ke-s}ah}i>h-}an suatu

matan yang benar-benar mencerminkan keabsahan h}adi>th, para ulama

telah menentukan tolok ukur tersebut menjadi empat kategori, antara lain:

a. Tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n

b. Tidak bertentangan dengan h}adi>th yang kualitasnya lebih kuat

30

Ismail, Metodologi Penelitian…, 26. 31

(38)

c. Tidak bertentangan dengan akal sehat, panca indra dan fakta sejarah

d. Susunan pernyataanya yang menunjukkan ciri-ciri sabda

kenabian.32

Menurut Muh}ammad ‘Ajjaj al-Kha>tib ilmu ini merupakan ilmu

yang membahas hal ihwal para rawi h}adi>th dari segi diterima atau

ditolaknya periwayatanya.33

Terdapat beberapa kaidah dalam men-Jarh}} dan men-Ta’di>l-kan

perawi diantaranya: 34

a.

حر ا يلع مدقم ليدعتلا

(penilaian ta`’di>l didahulukan atas penilaian

jarh}). Kaidah ini dipakai apabila ada kritikus yang memuji seorang

rawi dan ada juga ulama h}adi>th yang mencelanya, jika terdapat

kasus demikian maka yang dipilih adalah pujian atas rawi tersebut alasanya adalah sifat pujian itu adalah naluri dasar sedangkan sikap celaan itu itu merupalan sifat yang datang kemudian. Ulama yang

memakai kaidah ini adalah al-Nasa>’i>, namun pada umumya tidak

semua ulama h}adi>th menggunakan kaidah ini.

b.

ليدعتلا يلع مدقم حر ا

(penilaian jarh{ didahulukan atas penilaian

ta`di>l). Dalam kaidah ini yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan terhadap seorang rawi, karena didasarkan asumsi

32

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2007), 128. 33 M. A>jjaj al-Kha>tib, Us}u>l al-H}adi>th :

Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Terj. M. Nur Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),23.

34

(39)

bahwa pujian timbul karena persangkaan, baik dari pribadi kritikus

h}adi>th, sehingga harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh perawi yang bersangkutan. Kaidah

ini banyak didukung oleh ulama h}adi>th, fiqih dan usul fiqih.

c.

رسفما حر ا تبث اذإ اإ لد

ع

ملل مك اف لد

عما

و حر

ا

ا ضراعت اذإ

(apabila terjadi pertentangan antara pujian dan celaan, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji kecuali bila celaan itu disertai dengan penjelasan tentang sebab-sebabnya). Kaidah ini

banyak dipakai oleh para ulama kritikus h}adi>th dengan syarat

bahwa penjelasan tentang ketercelaan itu harus sesuai dengan upaya penelitian.

d.

ةقث

ل

حرج

لبقي اف افيعض ح

ا ر

ا ناك اذإ

(apabila kritikus yang

mengemukakan ketercelaan adalah golongan orang yang d{a`i>f

maka kritikanya terhadap orang yang thiqah tidak diterima kaidah

ini juga didukung oleh para ulama ahli kritik h}adi>th.

(40)

f.

ب دت

ع

ي ا ةيوايند

ةوادع نع ئ

شا لا حر ا

(jarh{ yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawiaan tidak perlu diperhatikan hal ini jelas berlaku, karena pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak obyektif.

Meskipun banyak ulama yang berbeda dalam memakai kaidah

al-jarh} wa al-ta`di>l namun keenam kaidah di atas yang banyak terdapat dalam

kitab ilmu h}adi>th. Yang terpenting adalah bagaimana menggunakan

kaidah-kaidah tersebut dengan sesuai dalam upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran.

3. Keh}ujjahanh}adi>ths}ah}i>h

Sesuai dengan ijma‟ para ulama h}adi>th dan ulama ushul fiqih,

menyatakan bahwa h}adi>th yang telah memenuhi persyaratan h}adi>th s}ah}i>h

wajib diamalkan sebagi hujjah atau dalil shara’. Tidak ada alasan bagi

seorang muslim untuk tidak mengamalkanya. h}adi>ths}ahih} li ghayrih lebih

tinggi derajatnya dari pada h}asan li dha>tih tetapi lebih rendah dari ada

s}ah}ih} li dha>tih. Sekalipun demikian, ketiganya dapat dijadikan hujjah. 35

Dalam kaitanya dengan sanad h}adi>th para ulama h}adi>th berbeda

pendapat dalam menilai tinggi rendahnya kualitas sanad, hal ini berkaitan dengan tingkat ke-d}a>bit}-an dan ke-`a>dil-an perawi h}adi>th tersebut. Dalam hal ini ulama membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:

35

(41)

a.

ديناسأا حص

أ

yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya,

menurut sebagian ulama h}adi>th, sanad yang paling s}ah}ih secara

mutlak adalah sebagai berikut:

1) H}adi>th yang diriwayatkan oleh Ibn Shiha>b al-Zuhri> dari

Sa>lim bin `Abd al lah bin`Umar dari Ibn `Umar

2) Sebagian ulama berpendapat, sanad yang paling s}ah}ih adalah

periwayatan Sulayma>n al A`mashi> dari Ibra>hi>m al Nukha>’i> dari Alqamah bin Qays dari `Abd al lah bin Mas`u>d

3) Menurut al-Bukha>ri dan yang lain, sanad yang paling s}ah}ih

adalah periwayatan Ima>m Ma>lik bin Anas dari Na>fi` budak (Mawla>) Ibn `Umar dari Ibn `Umar dan sanad inilah yang

disebut sislsilah Al-dhahab (Rantai Emas).36

b.

ديناسأا نسحأ

yaitu rangkaian sanad dari yang tingkatanya di bawah

tingkat pertama diatas, seperti periwayatan sanad dari H}amma>d bin

Salamah dari Tha>bit dari Anas.

c.

ديناسأا فعضأ

yaitu rangkaian sanad h}adi>th yang tingkatanya lebih

rendah dari tingkatan kedua. Seperti periwayatan Suhayl bin Abu>

S{a>lih{ dari ayahnya dari Abu> Hurayrah.37

36

Ibid.,176. 37

(42)

B. Mukhtalif al-H}adi>th

Secara bahasa, mukhtalif berasal dari kata Ikhtila>f (berbeda) yang

merupakan lawan dari ittifa>q (sesuai), maksudnya ialah h}adi>th - h}adi>th yang

sampai pada seluruh umat Islam namun berbeda makna antara h}adi>th satu dengan

yang lainya dalam bahasa lain h}adi>th yang saling bertentangan.38 Sedangkan

menurut Istilah: Ilmu yang membahas h}adi>th - h}adi>th yang tampaknya saling

bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkromomikanya, di

samping membahas h}adi>th yang sulit difahami atau dimengerti, lalu

menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.

Sehingga kesimpulanya, „Ilmu Mukhtalif al-H}adi>th merupakan ilmu yang

memperbincangkan tentang bagaimana memahami dua h}adi>th yang secara lahir

bertentangan dengan menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikanya.

Di samping itu membahas tentang h}adi>th yang sulit dipahami dan dimengerti,

kemudian mengungkap kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.39 Sehingga,

menurut banyak ulama „Ilmu Mukhtalif al-H}adi>th juga biasa disebut dengan ilmu

Mushki>l al-H}adi>th, Ilmu Ta’wi>l al-H}adi>th, Ilmu Ikhtila>f al-H}adi>th ataupun Talfi>q al-H}adi>th semuanya memeliki pengertian yang sama.

Mukhtalif al-H}adi>th adalah dua h}adi>th maqbu>l yang secara lahir maknaya bertentangan satu sama lain, namun dapat dikompromikan muatan makna

keduanya dengan cara yang wajar. Ilmu ini membahas mengenai h}adi>th - h}adi>th

yang secara lahiriyah bertentangan, namun ada kemungkinan dapat diterima.

38 al-T}ah}h}}a>n, Taisi>r Must}alah} al-H}adi>th

.., 46. 39 Al-Kha>tib, Us}u>l al-H}adi>th…,

(43)

Mungkin dengan cara membatasi kemutlakan atau keumumanya dan lainya, yang biasa disebut dengan talfi>q al-h}adi>th.40

Al-Suyu>t}i> menyebutkan dalam Tadri>b al-ra>wi>, bahwa h}adi>th - h}adi>th

mukhtalif adalah dua buah h}adi>th yang saling bertentangan pada makna

z}ahir-nya, maka di antara keduanya itu dikompromikan atau di-tarji>h}-kansalah satunya.

Sehingga ilmu ini biasa disebut dengan sebuah pengetahuan antara ilmu fiqih dan

h}adi>th dan akan sampai kepada kesimpulan yang benar. 41

Terdapat beberapa istilah yang memiliki keterkaitan dengan Mukhtalif

al-H}adi>th. Diantaranya adalah:

1. Mushki>l al-H}adi>th adalah penggambaran yang mengandung kejanggalan karena adanya kesamaan-kesamaan. Jika diterapkan dalam konteks

penalaran h}adi>th, maka penggambaran penuh dengan kejanggalan itu

dapat disebabkan dan menyebabkan kontradiksi antar h}adi>th yang

berlainan. Satu h}adi>th sepertinya menunjukkan obyek yang sama dengan

yang ditunjuk oleh yang lain, namun penunjukkan keduanya berasal dari

sisi yang berbeda sehingga muncul kontradiksi. 42

2. Ta’wi>l al-Ha{di>th, kata Ta’wi>l yang semakna atau bahkan lebih spesifik

dari sekedar tafsir menunjukkan proses lanjutan dari Mukhtalif al-H}adi>th

yang merupakan bagian dari solusi yang ditawarkan.43

40 Subh}i al-S}a>lih,

Membahas Ilmu-Ilmu Hadis cet: IX (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,

2013), 114.

41 Abdurrohman bin Abi> Bakar al-Suyut}i>, Tadri>b al-Rawi> fi Sharh Taqri>b al-Nawawi>, juz 1 (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), 310.

42

Ibnu Mandhur, Lisa>n al-‘Arab, Jilid III (Kairo: Da>r al-H}adi>th, 2003),169.

43

(44)

3. Ta`a>rud{ al-Ah}a>di>th (Ta`a>rud{ al-‘Adillah). Merupakan terminologi yang banyak dipakai oleh kalangan fikih dan Ushul Fikih. Ia menjadi bagian

dari kajian Ta`a>rud{ al-‘Adillah (Pertentangan antar dalil). Pengertian

kebahasaan Ta`a>rud{ memiliki kesaman dengan Mushki>l.44

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pertentangan yang

terjadi pada Mukhtalif bersifat lahir, bukan hakiki. Hal ini berangkat dari asumsi

bahwa tidaklah mungkin suatu h}adit>h akan bertentangan karena h}adit>h - h}adit>h tersebut pastilah bersumber dari satu orang yakni Rasululah SAW. Perlu diingat

juga bahwa yang dimaksud dengan h}adit>h yang tampak Mukhtalif itu adalah dua

h}adit>h yang mempunyai derajat h}adit>h yang sama. Seperti h}adit>h yang

sama-sama shahih, jika ada dua h}adit>h yang berbeda derajat dan berbeda yang satu d}a’i>f

dan yang satu s}ahi>h maka kedua h}adit>h itu tidak perlu untuk dikompromikan atau

dalam kata lain haruslah dipilih yang s}ahi>h.

Secara metodologis, penyelesaian pada h}adit>h Mukhtalif pada langkah

pertama dilakukan al-jam`’uatau al-tawfi>q. Ibn H{ajar menegaskan bahwa, h}adit>h

maqbu>l jika tidak ada h}adit>h lain yang maqbu>l yang bertentangan dengannya

disebut al-muh}kam, tetapi apabila ada h}adit>h yang setara (maqbu>l) lain yang

bertentangan dengannya, bila dikompromikan secara wajar maka h}adit>h tersebut

dipandang h}adi>th Mukhtalif.45 Jika tidak dapat dikompromikan dan ada data

sejarah yang memastikan bahwa kedua h}adit>h itu tidak datang secara bersamaan,

maka yang terakhir dipandang Na>sikh dan lainya dipandang mansu>kh. Jika

44

Ahmad Ibn Muhammad al-Dimyati, Hashi>yah al-Dimyat}i> ‘Ala> Sharh} Al-Waraqat,

(Semarang: Maktabah al-„Alawiyah, tt), 16. 45

(45)

langkah ini tidak dapat dilakukan (tidak ada data sejarah yang dapat

dipertanggungjawabkan) maka jalan yang ditempuh selanjutnya adalah tarji>h}.

Namun bila hal ini tidak dapat dilakukan maka h}adi>th-h}adi>th yang bertentangan

tersebut akhirnya di tawwaqquf-kan.

Dengan demikian, penyelesaian ikhtila>f dilakukan secara bertahap bukan

pilihan, yakni dengan metode al-jam`’, al-tawfi>q, al-ta’li>f atau al-talfi>q. Istilah-istilah ini secara terminology bermakna sama, jika tidak dapat dengan langkah

pertama ini maka barulah secara bertahap dilakukan pendekatan Na>sikh, Tarji>h},

dan al-tawaqquf46

Kata Mukhtalif secara bahasa berarti berselisih atau bertentangan

sedangkan dalam dunia ilmu h}adit>h istilah ini diperuntukkan dari adanya dua

h}adit>h yang sama-sama s}ahi>h yang secara lahir bertentangan, namun pada

substansinya tidak.47 Sebagian ulama menamai ilmu ini dengan ilmu mushki>l

al-h}adi>th, ilmu ta’wi>l al-al-h}adi>th, dan ilmu tawfi>q al-h}adi>th. Ima>m al Nawawi> berkata

dalam Taqri>b ini adalah salah satu disiplin ilmu dirayat yang terpenting, yang

harus diketahui oleh seluruh ulama dan berbagai golongan.48

Suatu h}adit>h tidak lepas dari penelitian dua unsur penting h}adit>h yakni

sanad dan matan h}adit>h. Keduanya merupakan dua kompenen penting dalam

khazanah penelitian h}adit>h. Sebab, tujuan akhir dari penelitian h}adit>h adalah

untuk memperoleh validitas sebuah matan h}adit>h.

1. Sebab-sebab Mukhtalif al-h}adi>th

46

Ibid., 113

47 Ahmad Umar Hasyim, Qawa>id Us}u>l al-H}adi>th (Beirut: ‘ali>mul kutub, 1997), 203. 48 Subh}i al-s}a>lih,

(46)

Disebabkan banyak masalah baru muncul setelah Rasullah SAW wafat, sehingga mengharuskan para sahabat untuk berijtihad dalam menentukan suatu hukum, seperti hukum fiqih, dan beberapa sebab yang :

a. Faktor internal H}adi>th (Al ‘A>mil al-Da>khil )

Ialah factor internal h}adi>th yang berkaitan dengan internal

redaksi h}adi>th tersebut, biasanya karena terdapat `’illah di dalam

h}adit>h tersebut yang nantinya kedudukan h}adit>h tersebut menjadi

d}a`i>f lalu secara otomatis h}adit>h tersebut ditolak ketika berlawanan dengan h}adit>hs}ahi>h.

b. Faktor Eksternal H}adi>th (Al-‘A>mil al-Kha>ri>ji>)

Ialah faktor eksternal, yakni factor yang disebabkan oleh konteks penyampaian dari Nabi SAW, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini waktu dan tempat di mana Nabi Muhammad

SAW menyampaikan h}adi>thnya.

c. Faktor Metodologi (Al-Bu>du>’ al-Manhaj)

Ialah faktor metodologi yang berkaitan dengan bagaimana

cara dan proses seseorang memahami h}adit>h tersebut, dan

sebagian h}adit>h yang dipahami secara tekstualis dan belum secara

kotekstual yaitu dengan keilmuan dan kecenderungan yang

dimiliki oleh seorang yang memahami h}adit>h, sehingga

memunculkan h}adit>h - h}adit>h yang mukhtalif.

(47)

Factor yang berkaitan dengan ideologi suatu mazhab dalam

memahami suatu h}adi>th, sehingga memungkinkan terjadinya

perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.49

2. Penyelesaian h}adit>hmukhtalif

a. Metode al-Tawfi>q atau al-Jam`u

Al-jam’u` (bisa dikatakan al-Tawfi>q atau al-talfi>q), yakni kedua

h}adit>h yang tampak bertentangan dikompromikan, atau sama-sama

diamalkan sesuai konteksnya.50 Metode ini dilakukan dengan cara

menggabungkan dan mengkompromikan dua h}adit>h tersebut

sama-sama berkualitas S}ahi>h, metode ini dinilai lebih baik ketimbang

melakukan tarji>h} (mengunggulkan salah satu dari dua h}adit>h yang

tampak bertentangan )

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika mengkompromikan

h}adi>th:

1) Menguasai dan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih dan

kajian kebahasaan, seperti memerhatikan Mujmal, Mubayyan,

Mut}laq, Muqayyad, `’A>mm dan Kha>s}, Hakikat dan Majaz, dan lainnya.

2) Kontekstual, yakni sisi lain dari tekstual artinya memahami

suatu teks berdasarkan keadaan dan situasi ketika h}adi>th itu

ada.

49

Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-Hadit: Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan

Metode Memahami Hadis Nabi (Yogyakarta: Idea Press, 2008), 87.

50

(48)

3) Pemahaman korelatif

4) Menggunakan Ta’w>il. 51

b. Metode Na>sikh-Mansu>kh

Metode Na>sikh dapat dilakukan jika jalan tawfi>q tidak dapat

dilakukan, itupun bila data sejarah kedua h}adi>th yang Ikhtilaf dapat

diketahui dengan jelas, tanpa diketahui taqaddum dan ta’akhkhur dari

kedua h}adi>th tersebut, metode Na>sikh mustahildilakukan.

Na>sikh wa mansu>kh (petunjuk dalam h}adi>th yang satu

dinyatakan sebagai “penghapus” sedang h}adi>th yang lain sebagai

“yang dihapus”)52

kata Na>sikh menurut Sha>fi`i> bermakna Iza>lah yang

berarti penghapusan atau pembatalan.53 Dalam kerangka teori

keilmuan, Na>sakh dipahami sebagai sebuah kenyataan adanya

sejumlah h}adi>th Muktali>f bermuatan takli>f. h}adi>th yang berawal

datang wuru>d dipandang tidak berlaku lagi karena ada h}adi>th lain yang

datang kemudian dalam kasus yang sama dengan makna yang

berlawanan dan tidak dapat ditawfi>qkan. Na>sakh itu sendiri sangat

terikat dengan waktu awal dan akhir datang, Yang datang lebih awal

disebut mansu>kh dan akhir datang disebut na>sikh atau Mah}mu>d. 54

Adanya Na>sakh dapat diketahui dengan beberapa cara,

diantaranya:

51

Al-Shafi‟i, al-Risalah, terj. Masturi Irham dan Asmui Taman…, 198-200. 52

Ibid., 109 53

Ibid.., 109 54

(49)

1) Adanya penegasan dari Rasulullah sendiri, seperti Na>sakh larangan ziarah kubur bagi wanita

2) Adanya keterangan berdasarkan pengalaman, seperti

keterangan bahwa terakhir kali Rasulullah tidak berwudlu ketika hendak Sholat, setelah mengkonsusmsi makanan yang dimasak dengan api.

3) Berdasarkan fakta sejarah, seperti diketahui h}adi>th yang

menjelaskan batalnya puasa karena berbekam

4) Berdasarkan Ijma’, seperti Na>sakh hukuman mati bagi orang

yang meminum arak sebanyak empat kali. Na>sakh ini diketahui

secara ijma’ oleh seluruh sahabat bahwa hukuman seperti itu

sudah mansu>kh. Ini tidak bermakna mansu>kh dengan ijma’,

tapi berdasarkan ijma’ terhadap fakta bahwa hukuman itu pada

masa kahir tidak diterapkan oleh Rasulullah Saw.55

c. Metode tarji>h}

Tarji>h} pada lughah ialah tafd}i>l (mengutamakan) atau taqwiyah

(menguatkan). Dalam pengetian sederhana, tarji>h} adalah suatu upaya

komperatif untuk menentukan sanad yang lebih kuat pada h}adi>th

-h}adi>th yang tampak ikhtilaf.56 Tarji>h} sebagai salah satu langkah penyelesaian h}adi>th - h}adi>th mukhtalif tidak bersifat opsional, yakni

dapat dilakukan kapan saja bila terdapat h}adi>th mukhtalif. Penerapan

tarji>h} tanpa didahului oleh pendekatan tawfi>q mengandung

55 Ibn Jama’ah

, al-Minha>l al-Ra>wi(Bairut: Da>r al-Fikr, 1406 H),63. 56 Ibn S}ala>h, „Ulu>m al-H}adith

(50)

konsekuensi yang besar. Karena dengan memilih atau menguatkan

h}adi>th tertentu akan mengakibatkan ada atau bahkan banyak h}adi>th

lain yang terabaikan.57

Sha>fi`i> dalam analisis h}adi>th mukhtalifmenyimpulkan bahwa jika

ada dua h}adi>th mukhtalif yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan

tawfi>q maka yang diamalkan adalah h}adi>th yang lebih kuat, yang

paling penting adalah persyaratan yang paling mendasar dalam tarji>h}

adalah kenyataan bahwa kedua h}adi>th mukhtalif tidak dapat lagi

dikompromikan.

Adapun jalan untuk men-tarji>h-}kan dua dalil yang tampak

bertentangan itu dapat ditinjau dari berbagai segi

Pertama, segi sanad (I`tiba>r Sanad), misalnya:

1) H}adi>th yang rawinya banyak, me-ra>jih-kan h}adi>th yang rawinya sedikit

2) H}adi>th yang diriwayatkan oleh rawi besar, merajihkan

h}adi>th yang diriwayatkan oleh rawi kecil.

3) H}adi>th yang rawinya lebih thiqah, merajihkan h}adi>th yang

rawinya kurang thiqah

Kedua segi matan (I`tiba>r Matan), misalnya:

1) H}adi>th yang mempunyai arti hakikat, me-ra>jih-kan h}adi>th

yang mempunyai arti majazi

57

(51)

2) H}adi>th yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi, me-ra>jih-kan h}adi>th yang hanya mempunyai petunjuk maksud dari satu segi.

Ketiga, segi hasil penunjukkan (madlu>l), misalnya: madlu>l yang positif, me-ra>jih-kan yang negatif (didahulukan muthbi>t `’ala al

na>fi’>).

Keempat, dari segi luar (al-‘`>Amil al-Kha>rijah), misalnya, dalil

yang qawliyah merajihkan dalil fi`’liyah. 58

Adapun syarat-syarat tarji>h} itu ada dua macam, yaitu:

1) Adanya persamaan antara dua dalil tentang status ketetapan

dalilnya. Oleh karena itu tidak terjadi Ta`’a>rud} antara

al-Qur’a>n yang Qat}`‘i> al-thubu>t dengan h}adi>th ah}a>d yang

z}anni> al-thubu>t, kecuali jika ada perbedaan dari segi

dala>lah-nya.

2) Adanya persamaan dalam kekuatanya, jadi tidak ada ta`a>ru

Gambar

Tabel urutan  periwayat 1:
Tabel urutan periwayat 2 :
Tabel urutan  periwayat:
Tabel urutan  periwayat:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karang Suci, Jalan Lingkungan Bongkok D.5 Ketahun, Jalan Lingkungan Slamet D.5 Ketahun, Jalan Lingkungan Taba Tembilang, Jalan Lingkungan Tidar Desa Marga Sakti, Jalan Lingkungan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa aspek- aspek pembelajaran dari evaluasi PBM ada yang sekornya rendah (dikategorikan kurang baik).. Mengetahui

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, perlindungan serta anugerah kasih dan karuniaNya sehingga penulis dapat

Komitmen negara untuk menjamin upaya perlindungan anak dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2) yang

Penelitian yang dilaksanakan pada PT Semen Baturaja (persero). Tujuan dari penelitian ini adalah 1) Mengetahui kriteria fungsi audit intern dalam meningkatkan

Mendengarkan suara-suara di sekitarnya Ingin tahu lebih dalam dengan benda yang dipegangnya (misal: cara membongkar, membanting, dll) Mengamati berbagai.. benda yang

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh Kompetensi, etika auditor, risiko kesalahan, akuntanbilitas, independensi dan due professional care terhadap kualitas audit

Setelah membaca teks tentang ASEAN dan kehidupan sosial budayanya, siswa mampu menyebutkan kehidupan sosial budaya dari dua negara ASEAN terkait kondisi geografisnya