• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PADA KASUS PEMBAKARAN LAHAN : STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEULABOH NO. 131/PID.B/2013/PN.MBO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PADA KASUS PEMBAKARAN LAHAN : STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEULABOH NO. 131/PID.B/2013/PN.MBO."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PADA

KASUS PEMBAKARAN LAHAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO)

SKRIPSI

Oleh:

Rachmad Rahardjo

C33212067

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Siyasah Jinayah

Surabaya

(2)

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PADA

KASUS PEMBAKARAN LAHAN

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO)

SKRIPSI Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Syariah dan Hukum

Oleh

Rachmad Rahardjo

NIM. C33212067

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Siyasah Jinayah

Surabaya

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian studi kasus dengan judul “Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Hakim pada Kasus Pembakaran

Lahan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No.

131/Pid.B/2013/PN.Mbo)” yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan:

Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Meulaboh terhadap tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.Mbo dan bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.Mbo?

Data ini dihimpun dengan mempelajari dokumen, berkas-berkas perkara dan bahan pustaka, yang selanjutnya diolah dengan beberapa tahap yaitu Editing: Melakukan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang diperoleh secara cermat baik dari sumber primer atau sumber sekunder, Organizing: Menyusun data secara sistematis, dan Analizing: Tahapan analisis terhadap data dengan menggunakan metode deskriptif-analisis dan pola pikir deduktif.

Hasil studi ini adalah dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana pembakaran lahan adalah tuntutan Jaksa/Penuntut Umum dengan Pasal 108 jo Pasal 69 ayat (1) huruf (h) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denda sebesar Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dirasa kurang memberikan efek jera kepada pelaku untuk mengulangi perbuatannya di masa mendatang seperti yang menjadi tujuan dari hukuman ta’zir dalam hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana Islam tindak pidana pembakaran lahan yang dilakukan oleh terdakwa termasuk dalam kategori jarimah ta’zir karena tidak ada ketentuan nash mengenai tindak pidana ini. Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jarimah ta’zir.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Kajian Pustaka ... 12

E. Tujuan Penelitian ... 15

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15

G. Definisi Operasional ... 16

H. Metode Penelitian ... 17

I. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II JARIMAH TA’ZIR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM ... 22

A. Pengertian Jarimah Ta’zir ... 22

B. Dasar Hukum Ta’zir ... 26

C. Macam-macam Jarimah Ta’zir ... 30

D. Macam-macam Hukuman Ta’zir... 33

(8)

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PN. MEULABOH No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO TENTANG TINDAK PIDANA PEMBAKARAN

LAHAN ... 45

A. Deskripsi Kasus dan Landasan Hukum ... 45

B. Keterangan Saksi-saksi, Saksi Ahli, Terdakwa dan Barang Bukti ... 49

C. Pertimbangan Hakim PN Meulaboh terhadap tindak Pidana Pembakaran Lahan ... 57

D. Hal-hal yang memberatkan dan meringankan ... 61

E. Putusan Hakim PN Meulaboh No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO ... 62

BAB IV ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MEULABOH DALAM PUTUSAN No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO TENTANG TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM... ... 64

A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan ... 64

B. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN. MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan ... 68

BAB V PENUTUP ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia memanjang dari Barat ke Timur dengan panjang ± 5.140 kilometer dan lebar dari Utara ke Selatan ± 1.949 kilometer. Secara astronomi, Indonesia terletak antara 06o16’ 20” LU - 11o16’ 00” LS dan 94o

46’ 00” BB – 141o 00’ 00” BT dengan luas 17.027.087 kilometer persegi

dengan garis pantai ± 80.791 kilometer dan luas wilayah perairan ± 3.166.163 kilometer persegi.1

Karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, pegunungan yang sejuk karena ditumbuhi pepohonan, sungai yang bersih mengalir dari pegunungan ke kota, pantai yang indah dan luas, binatang-binatang di hutan, burung-burung berkicau pada pagi hari, ikan di sungai dan di laut, pertambangan-pertambangan minyak, emas, perak, tembaga, batu bara dan lain-lain. Matahari sepanjang tahun terbit pada pagi hari, terbenam sore hari, semua karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Karunia tersebut agar dapat dinikmati generasi mendatang maka harus dilestarikan, harus dipertahankan atau ditingkatkan.2

1

Leden Marpaung, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), 2.

2

(10)

2

Namun, saat ini keadaan sudah sangat berubah. Pembangunan yang dilakukan secara besar-besaran terutama di daerah perkotaan, baik yang terjadi di negara berkembang maupun di negara maju telah merubah cara pandang masyarakat mengenai lingkungan. Mereka menganggap lingkungan sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan dimanfaatkan. Hal ini berakibat ketidaksuaian pada fungsi lingkungan, yaitu fungsi daya dukung, daya tampung, dan daya lenting. Seringkali pembangunan hanya memperhitungkan cost benefit ratio

tanpa memperhitungkan social cost dan ecological cost. Mayoritas pengembang hanya menganggap lingkungan sebagai benda bebas (res nullius) yang digunakan sepenuhnya untuk mendapatkan laba yang sebesar-besarnya dalam waktu yang relatif singkat, yang berakibat terganggunya fungsi lingkungan hidup.3

Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya pencemaran atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya system alami (natural system).4

Lingkungan hidup pada prinsipnya merupakan suatu sistem yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga pengertian lingkungan hidup mencakup semua unsur ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa di bumi ini. Itulah sebabnya lingkungan hidup termasuk manusia dan perilakunya merupakan

3

Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Edisi Kedua, Cetakan Pertama, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), 1.

4

(11)

3

unsur lingkungan hidup yang sangat menentukan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan saat ini oleh sebagian kalangan dianggap tidak bernilai karena lingkungan hidup (alam) hanya sebuah benda yang diperuntukkan bagi manusia. Dengan kata lain, manusia merupakan penguasa lingkungan hidup sehingga lingkungan hidup hanya dipresepsikan sebagai objek dan bukan sebagai subjek.5

Krisis lingkungan di dunia tengah terjadi, degradasi lingkungan tengah dirasakan semakin memburuk dan terpuruk dalam dekade terakhir. Kerusakan hutan, Pemanasan global, kepunahan jenis, kekeringan yang panjang, kelangkaan air bersih, pencemaran lingkungan dan polusi udara, serta ancaman senjata biologis, merupakan sederet permasalahan lingkungan di dunia yang bisa menghancurkan peradaban umat manusia. Oleh karenanya perlu adanya upaya baik pemikiran ataupun tidakan yang dapat mengatasi krisis tersebut.

Meningkatnya kadar CO2 sangat terkait dengan berkurangnya luas hutan dunia baik secara alami maupun ulah manusia. Di Indonesia yang dikenal sebagai paru-paru dunia karena memiliki 10% luas hutan tropis di dunia telah mengalami kerusakan hutan yang mengkhawatirkan. Hal ini terjadi pada tahun 1980 bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai satu juta hektar per tahun, dan pada tahun 2005 kerusakan hutan Indonesia mencapai dua juta hektar pertahun. Diperparah lagi terjadi pada periode tahun 1997-2000 mengalami

5

(12)

4

kerusakan hutan tertinggi mencapai 3,8 juta per tahun.6 Kerusakan hutan itu sendiri bisa terjadi karena berbagai hal seperti penebangan liar (Illegal Logging) yang dilakukan oleh individu atau korporasi dan pembakaran hutan untuk dijadikan sebagai perluasan lahan perusahaan, perkebunan, atau pemukiman.

Pada akhir tahun lalu banyak sekali kasus pembakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Berdasarkan pantauan ada 33 hektare lahan baru yang terbakar tahun ini. Di Sumatera Selatan, kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan tidak hanya menyiksa warga yang tinggal disana. Hembusan angin membuat asap itu bergerak ke Utara dan menyengsarakan negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura. Bau kayu yang terbakar menyelimuti Negeri Merlion tersebut. Kondisi tak kalah buruk juga menimpa Malaysia. Negeri Jiran tersebut terlihat berkabut. Gedung-gedung yang berjarak lebih dari satu kilometer hanya terlihat seperti siluet.7 Hal ini tentu sangat merugikan bagi Indonesia, belum lagi dampak lain yang ditimbulkan dari kabut asap hasil pembakaran hutan dan lahan seperti gangguan pernapasan, gangguan penerbangan dan transportasi lain, macetnya kegiatan perekonomian, dan permasalahan lainnya.

Kelemahan aparat penegak hukum dalam menangani isu lingkungan serta sanksi hukuman yang dinilai masih ringan dirasakan sebagai penyebab

6

Andri N Ardiansyah, “Peranan Agama dalam Pelestarian Alam Lingkungan”, artikel diakses pada 15 September 2015 dari http://pips.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/20-artikel/204-pelestarian-agama-dalam-pelestarian-alam-lingkungan.html

(13)

5

berulangnya kasus pembakaran hutan dari tahun ke tahun. Dari beberapa kasus pembakaran hutan yang pernah terjadi ada beberapa perusahaan dan korporasi yang telah di meja hijaukan.

Sebagai salah satu contoh kasus yang pernah disidangkan di Pengadilan Negeri Meulaboh tentang tindak pidana pembakaran lahan yang dilakukan oleh PT. KALLISTA ALAM pada tahun 2013 yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah.8 Tindak pidana tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana khusus yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan. Kasus ini tergolong tindak pidana karena pembakaran dilakukan dengan sengaja. Data hasil analisa hotspot juga menunjukkan bahwa areal yang terbakar cenderung memiliki hotspot yang mengelompok pada periode tertentu. Perusahaan melakukan kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran secara sistematis dan terencana melalui pembiaran terhadap terjadinya kebakaran. Akibat terjadinya kebakaran tersebut telah merusak lapisan permukaan gambut dengan tebal rata-rata 5-10 cm sehingga 1.000.000 m3 terbakar dan tidak kembali lagi sehingga akan mengganggu keseimbangan ekosistem di lahan bekas terbakar tersebut. Oleh karena itu perusahaan tersebut dikenakan Pasal 108 jo Pasal 69 ayat (1) huruf (h), Pasal 116 ayat (1) huruf (a), Pasal 118, Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.9

8

Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO

9

(14)

6

Menurut Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Syahrul Mahmud menyebutkan penegakan hukum lingkungan ini berkaitan dengan salah satu hak asasi manusia, yaitu perlindungan setiap orang atas pencemaran lingkungan atau environmental protection. Hal ini didasarkan pada munculnya berbagai tuntutan hak perlindungan atas lingkungan, antara lain:10

1. Perlindungan atas harmonisasi menyenangkan antara kegiatan produksi dengan lingkungan manusia (encourage productive and enjoyable harmony between man and his environment)

2. Perlindungan atas upaya pencegahan (prevent) atau melenyapkan kerusakan (eliminate damage) terhadap lingkungan dan biosper serta mendorong (stimulate) kesehatan dan kesejahteraan manusia.

3. Hak perlindungan atas pencemaran udara (air pollution) yang ditimbulkan oleh pembakaran lahan, pabrik, dan kendaraan bermotor dari gas beracun karbon monoksida (carbon monoxide), nitrogen oxide dan hidro carbon, sehingga udara bebas untuk selamanya dari pencemaran.

4. Menjamin perlindungan atas pencemaran limbah industri di darat, di sungai, dan lautan, sehingga semua air terhindar dari segala bentuk pencemaran limbah apapun (clean water).

Ketentuan hukum pidana dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru dapat dijadikan dasar hukum oleh

10

(15)

7

hakim dalam memutus perkara pembakaran lahan karena tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran atau perusakan (generic crimes) atau delik materiil sebagaimana diatur dalam pasal 98 ayat (2,3), 99 ayat (2,3) dan 108, akan tetapi mengatur juga perbuatan pelepasan, pembuangan zat, energi, atau komponen lain yang berbahaya dan beracun, serta mengelola B3 tanpa izin (specific crimes) atau delik formil sebagaimana diatur dalam pasal 98 ayat (1), 99 ayat (1) sampai 109.11 Pasal 99 ayat (1) menggunakan rumusan delik materiil yang mirip dengan pasal 98 ayat (1). Bedanya terletak pada unsur mental atau “mensrea” dari pelaku. Jika rumusan pasal 98 ayat (1) untuk perbuatan yang dilakukan secara sengaja, pasal 99 ayat (1) perbuatan terjadi akibat kelalaian si pelaku.12 Dengan demikian UUPPLH juga membedakan delik materiil atas unsur kesalahan (mensrea, schuld) pelaku, yaitu kesengajaan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 91 ayat (1) dan kelalaian dirumuskan dalam pasal 99 ayat (1).13

Salah satu agama yang dapat memberikan landasan teologis dan hukum bagi pelestarian lingkungan hidup adalah Islam. Berbeda dengan agama-agama lain yang menekankan pada moral, Islam punya penekanan yang kuat pada masalah hukum. Menurut H.A.R Gibb, Islam is a complete system of way of life. Islam adalah sistem kehidupan yang sempurna. Hukum Islam (syari’ah)

11

Ibid., 217.

12 Pasal 99 ayat (1) UUPPLH: “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan

dilampauinnya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

13

(16)

8

mencakup seluruh kehidupan masyarakat muslim dari individu sampai lingkungan hidup. Islam memiliki fleksibilitas dalam menampung berbagai masalah kehidupan. Jantung Islam adalah al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dan rahmat Tuhan kepada manusia. Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyebutkan alam semesta atau lingkungan hidup merupakan salah-satu tanda kekuasaan Allah. Alam semesta dibuat lebih rendah dari manusia. Alam semesta diperuntukkan untuk manusia. Manusia sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi berkewajiban untuk memakmurkan bumi. Manusia dipersilahkan mengelola alam untuk kemaslahatan bersama.14 Namun manusia juga harus memperhatikan kelestarian lingkungan dengan tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan yang menyebabkan kerusakan pada lingkungan.

Dalam hukum pidana Islam terdapat tiga delik (jarimah) yaitu, jarimah hudud, jarimah qishash dan diyat, danjarimah ta’zir. Adapun yang dimaksud dengan jarimah ta’zir adalah semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya, membuat kerusakan di muka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan lain-lain.15 Hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil al-Amri untuk

14 Hanvitra, “Teologi Lingkungan Hidup dalam Islam” artikel diak

ses pada 15 September 2015 dari

http://www.kompasiana.com/hanvitra/teologi-lingkungan-hidup-dalam-islam-54f3893c745513992b6c7a6a

15

(17)

9

menetapkannya. Hukuman ta’zir ini jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada empat kelompok, yaitu sebagai berikut :16

1. Hukuman ta’zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid (dera).

2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman penjara dan pengasingan.

3. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan/ peramapasan harta, dan penghancuran barang.

4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.

Indonesia sebagai negara yang di dalamnya marak akan perbuatan eksploitasi alam yang berlebihan dan tidak memperhatikan kelestariannya dengan melakukan pembakaran lahan secara besar-besaran demi kepentingan segelintir orang, masih banyak terdapat masyarakatnya yang belum mengetahui bagaimana ancaman pidana bagi pelaku pembakaran lahan yang telah diatur. Masyarakat Indonesia belum sadar bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan lainnya adalah karena ulah manusia sendiri.17 Meski pada realitanya mayoritas warga Indonesia adalah beragama Islam. Oleh karena itu perspektif

16

Ibid., 258.

17

Gufron, Rekonstruksi Paradigma Fikih Lingkungan(Analisis Problematika Ekologi di Indonesia

(18)

10

hukum pidana Islam mengenai pemberian sanksi pidana kepada pelaku perusakan lingkungan hidup juga perlu dimasukkan dalam pembahasan ini.

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas maka penulis merasa perlu melakukan studi putusan kasus pembakaran lahan yang terjadi di Pengadilan Negeri Meulaboh dan mengangkatnya menjadi sebuah skripsi yang berjudul: “Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Putusan Hakim pada Kasus Pembakaran Lahan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh

No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO)”

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, terdapat beberapa masalah pada penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagaimana berikut :

1. Tindak pidana pembakaran lahan.

2. Sanksi tindak pidana terhadap pelaku pembakaran lahan.

3. Pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO terhadap tindak pidana pembakaran lahan. 4. Dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam putusan Nomor

(19)

11

Berdasarkan identifikasi masalah diatas dan juga bertujuan agar permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan karya ilmiah dengan batasan :

1. Pertimbangan hakim terhadap tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO.

2. Analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam tindak pidana pembakaran lahan di Pengadilan Negeri Meulaboh.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka secara lebih terperinci perumusan masalah dalam skripsi ini akan memfokuskan pada beberapa pembahasan untuk diteliti lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Meulaboh terhadap tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO?

2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO?

(20)

12

Sejauh pengamatan dan penelitian penyusun mengenai topik yang membahas mengenai masalah lingkungan hidup baik mengenai konsep, unsur, ketentuan-ketentuan, status, maupun masalah lain yang berkaitan dengan pembakaran lahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup baik secara spesifik maupun secara umum penulispun melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum menentukan judul skripsi dan menemukan pembahasan tentang lingkungan hidup dan islam, diantaranya adalah sebagai berikut:

Skripsi Septya Sri Rezeki, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum

IAIN Sunan Ampel yang berjudul “Pertanggungjawaban Korporasi terhadap

Penerapan Prinsip Strict Liability dalam Kasus Kerusakan Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 dalam

Perspektif Hukum Pidana Islam”.18

Dalam skripsinya memaparkan korporasi sebagai legal person merupakan subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan pidananya baik sebagai pimpinan korporasi (factual leader) maupun pemberi perintah (instrument giver), keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Badan hokum atau korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana harus sejalan dengan strict liability. Sejalan dengan strict liability dalam UU No 32 Tahun 2009 Septya Sri Rezeki mengaitkan dengan unsur bersalah yakni ketidakhati-hatian dan

18 Septya Sri Rezeki, “Pertanggungjawaban Korporasi terhadap Penerapan Prinsip

Strict Liability

dalam Kasus Kerusakan Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

(21)

13

ketidakwaspadaan dalam hukum Islam berbeda dengan skripsi penulis yang lebih memfokuskan pada pertimbangan hakim tentang sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku pembakaran lahan dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO kemudian dikaitkan dengan hukum pidana Islam.

Selanjutnya skripsi M. Zahir Mashuri, mahasiswa fakultas Syari’ah dan

Hukum IAIN Sunan Ampel Surabaya yang berjudul “Sanksi Pidana Akibat Pencemaran Limbah Industri terhadap Air Sungai menurut Maqasid As

Syari’ah : Analisis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.19

Persamaan dalam skripsi yang ditulis oleh M. Zahir Mashuri adalah sama-sama membahas tentang sanksi pidana yang harus ditegakkan untuk menghindari adanya kegiatan pencemaran yang nantinya dapat menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan hidup bagi peruntukannya. Namun yang menjadi perbedaan dari skripsi penulis adalah di dalam skripsi yang ditulis oleh M. Zahir Mashuri adalah dicantumkannya Maqasid As Syari’ah dalam pembahasannya sedangkan dalam skripsi penulis lebih berkutat pada ketentuan hukum pidana Islam, selain itu jenis pelanggaran yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan juga terdapat perbedaan, jika dalam skripsinya M. Zahir Mashuri kasusnya adalah pencemaran limbah industri terhadap air sungai sementara penulis menggunakan kasus pembakaran lahan.

19

M. Zahir Mashuri, “Sanksi Pidana Akibat Pencemaran Limbah Industri terhadap Air Sungai menurut Maqasid As Syari’ah : Analisis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

(22)

14

Skripsi ketiga adalah yang ditulis oleh Ahmad Imaduddin dengan judul

“Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Kejahatan Korporasi dan Sanksinya

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”.20 Dari pembahasan skripsi yang dipaparkan oleh Ahmad Imaduddin terdapat persamaan dengan skripsi penulis dalam hal tinjauan hukum pidana islam terhadap pelaku tindak pidana pencemaran lingkungan, yang menjadi perbedaan adalah apabila dalam skripsinya Ahmad Imaduddin sanksi yang dikenakan pada pelaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 sementara penulis lebih ke pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang ditulis di atas, maka skripsi ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang tindak pidana pembakaran lahan yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

2. Untuk mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hukum dalam putusan hakim tentang tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO di Pengadilan Negeri Meulaboh.

20 Ahmad Imaduddin, “Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Kejahatan Korporasi dan

Sanksinya Sebagaimana Diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

(23)

15

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-kurangnya dalam dua aspek yaitu :

1. Aspek keilmuan (teoritis), dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran atau pedoman untuk menyusun hipotesis penulisan berikutnya bila ada kesamaan masalah ini dan memperluas khazanah keilmuan, khususnya tentang tindak pidana pembakaran lahan yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

2. Aspek terapan (praktis), dapat dijadikan masyarakat khususnya para pemerintah maupun korporasi dalam menjaga kelestarian lingkungan agar tidak melakukan pembakaran lahan secara terus menerus dan diharapkan dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara pidana yang berkaitan dengan lingkungan hidup khususnya pembakaran lahan di masa mendatang.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman dan menghindari kesalahpahaman terhadap masalah yang dibahas, maka perlu kiranya dijelaskan beberapa istilah sebagai berikut :

(24)

16

Ta’zir karena berkaitan dengan tindak pidana pembakaran lahan yang

menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

2. Putusan Hakim pada Kasus Pembakaran Lahan : Yang dimaksud dengan putusan hakim pada kasus ini adalah sebuah keputusan yang sudah diputuskan di Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang tindak pidana pembakaran lahan.

Jadi maksud dari judul ini adalah untuk meneliti putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO mengenai pertimbangan hakim yang digunakan untuk memutuskan sanksi bagi pelaku tindak pidana pembakaran lahan kemudian dianalisis dengan hukum pidana Islam.

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah data yang berkaitan dengan tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO.

2. Sumber Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini digunakan dua sumber data, yaitu :

(25)

17

b. Sumber sekunder : Sumber sekunder adalah sumber yang didapat dari sumber tidak langsung berfungsi sebagai pendukung terhadap kelengkapan penelitian. Data yang dimaksud antara lain :

1) Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997 2) Djazuli, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana

Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

3) Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.

4) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

5) Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

6) Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992

7) Abdurrahman Al Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, terj. Syamsuddin Ramadlan. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002. 8) Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,

2012.

3. Teknik Pengumpulan Data

(26)

18

pengumpulan data literatur, yaitu putusan dari Pengadilan Negeri Meulaboh dan penggalian bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan bahasan tindak pidana pembakaran lahan. Bahan-bahan pustaka yang digunakan disini adalah buku-buku yang ditulis oleh pakar atau ahli hukum terutama dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam.

Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditunjukkan pada subjek penelitian melalui dokumen, atau melalui berkas yang ada. Dokumen yang diteliti adalah putusan Pengadilan Negeri Meulaboh tentang tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO.

4. Teknik Pengolahan Data

Data yang didapat dari dokumen dan terkumpulkan kemudian diolah, berikut tahapan-tahapannya:

a. Editing : Melakukan pemeriksaan kembali terhadap data-data yang diperoleh secara cermat baik dari sumber primer atau sumber sekunder, tentang kajian hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO.

(27)

19

(Studi putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO.

c. Analizing : Tahapan analisis terhadap data, kajian hukum pidana Islam mengenai pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan sanksi tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dengan menggunakan pola pikir deduktif, yaitu mendeskripsikan dalil-dalil dan data-data yang bersifat umum tentang tindak pidana membakar lahan ditarik kepada permasalahan yang lebih bersifat khusus dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO dan relevansinya dengan hukum pidana Islam.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam menyusun skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Pidana Islam

terhadap Putusan Hakim pada Kasus Pembakaran Lahan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO)” diperlukan adanya suatu sistematika pembahasan, sehingga dapat diketahui kerangka skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab 1 Berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum yang terdiri dari

(28)

20

Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Alasan sub bab tersebut diletakkan pada bab 1 adalah untuk mengetahui alasan pokok mengapa penulisan ini dilakukan dan untuk lebih mengetahui cakupan, batasan, dan metode yang dilakukan sehingga maksud dari penulisan ini dapat dipahami.

Bab II menguraikan tinjauan umum atau landasan teori mengenai konsep

ta’zir dalam hukum pidana Islam yang memuat pengertian ta’zir,

unsur-unsur ta’zir, macam-macam jarimah ta’zir, macam-macam hukuman ta’zir dan manfaat ta’zir.

Bab III tentang penyajian data dari putusan Pengadilan Negeri Meulaboh

Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO. Bab ini akan memaparkan deskripsi kasus tindak pidana pembakaran lahan, landasan dan pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim Pengadilan Negeri Meulaboh.

Bab IV Menganalisis mengenai tindak pidana pembakaran lahan menurut

hukum pidana Islam dengan pertimbangan hukum yang dijadikan landasan oleh hakim dalam memutuskan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana pembakaran lahan dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 131/Pid.B/2013/PN.MBO.

Bab V Merupakan bab terakhir yang menjadi penutup dengan berisikan

(29)

21

kesimpulan dari bab-bab sebelumnya mengenai apa dan bagaimana isi pokok bahasan tersebut dan selanjutnya memberikan saran untuk Pengadilan Negeri Meulaboh dan lembaga penegak hukum terkait mengenai isi dari penulisan skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Djazuli. Fiqh Jinayah. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997.

---. Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam). Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Gufron. Rekonstruksi Paradigma Fikih Lingkungan (Analisis Problematika Ekologi di Indonesia dalam perspektif fiqhal bi’ah). Surabaya: IAIN SA Press, 2012.

Helmi. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Imaduddin, Ahmad. “Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Kejahatan Korporasi dan Sanksinya Sebagaimana Diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Skripsi— IAIN Sunan Ampel 2007.

Machmud, Syahrul. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Marpaung, Leden. Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya. Jakarta: Sinar Grafika, 1997.

Mashuri, M. Zahir. “Sanksi Pidana Akibat Pencemaran Limbah Industri terhadap Air Sungai menurut Maqasid As Syari’ah : Analisis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011.

(30)

22

Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia Edisi Pertama. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Rezeki, Septya Sri. “Pertanggungjawaban Korporasi terhadap Penerapan Prinsip

Strict Liability dalam Kasus Kerusakan Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 dalam

Perspektif Hukum Pidana Islam”. Skripsi—IAIN Sunan Ampel, Surabaya,

2013.

Soejono. Hukum Lingkungan dan Peranannya dalam Pembangunan. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Supriadi. Hukum Lingkungan di Indonesia (Sebuah Pengantar). Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Ardiansyah, Andri N. “Peranan Agama dalam Pelestarian Alam Lingkungan”, dalam http://pips.fitk.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/20 -artikel /204-pelestarian-agama-dalam-pelestarian-alam-lingkungan.html, diakses pada 15 September 2015.

Hanvitra, “Teologi Lingkungan Hidup dalam Islam” dalam

(31)

BAB II

JARIMAH TA’ZIR DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Jarimah Ta’zir

Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi adalah perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Ta’zir sendiri secara harfiah berarti menghinakan pelaku kriminal karena tindak pidananya yang memalukan.1

Dalam ta’zir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan (dari Allah dan Rasul-Nya), dan Qodhi diperkenankan untuk mempertimbangkan baik bentuk hukuman yang akan dikenakan maupun kadarnya. Pelanggaran yang dapat dihukum dengan metode ini adalah yang mengganggu kehidupan dan harta orang serta kedamaian dan ketentraman masyarakat.2

Sementara berkenaan dengan meninggalkan hal-hal yang makruh, ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak boleh memberikan sanksi ta’zir terhadap orang yang melakukan hal yang makruh atau meninggalkan hal yang sunat. Sebab, tidak ada taklif (keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkan) dalam hal-hal yang sunat dan makruh. Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh memberikan sanksi ta’zir kepada orang yang mengerjakan hal yang makruh atau meninggalkan hal yang sunat.

1 Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 14. 2

(32)

23

Hal ini didasarkan atas tindakan Umar bin Khathab yang telah memberikan sanksi ta’zir kepada seseorang yang tidak cepat-cepat menyembelih kambing, setelah kambing tersebut dibaringkan. Padahal, perbuatan tersebut termasuk perbuatan makruh.3

Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jarimah ta’zir.4 Kata “Hakim” secara etimologi berarti “orang

yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fiqh, hakim merupakan orang yang

memutuskan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan qodhi. Dalam kajian ushul fiqh, hakim juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum

syari’at secara hakiki.5

Hukuman diancamkan kepada seseorang pembuat jarimah agar orang tersebut tidak mengulangi tindak kejahatan, juga memberi pelajaran kepada orang lain agar tidak berbuat jarimah. Mengapa sanksi perlu diterapkan, karena aturan yang hanya berupa larangan dan perintah saja tidak cukup, seperti perintah shalat, zakat, haji bagi orang yang mampu. Pelanggaran terhadap perintah di atas termasuk hal yang biasa, dan orang tidak takut melanggarnya. Hal ini dikarenakan tidak ada sanksi yang tegas dan nyata di dunia. Perbuatan mencuri, zina, menipu, menyerobot hak orang lain, tidak

3

Enceng Arif Faizal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 176-177.

4Achmad Asrofi, “Jarimah Ta’zir dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”, dalam

http://asrofisblog.blogspot.co.id/2015/04/jarimah-tazir-dalam-perspektif-hukum.html, diakses pada 17 November 2015.

5

(33)

24

membayar zakat, tidak membayar kafarah dan lain sebagainya, hal itu boleh jadi membawa keuntungan bagi pelaku jarimah (perorangan tertentu).6

Hukum positif dalam menjatuhkan hukuman bukan berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan itu keji atau tidak, tetapi lebih berdasarkan pada sejauh mana kerugian yang diderita oleh masyarakat. Sedangkan hukum Islam dasar pertimbangan penjatuhan hukuman adalah bahwa perbuatan tersebut adalah merusak akhlak, karena jika akhlak terpelihara maka akan terpelihara juga kesehatan badan, akal, hak milik, jiwa, dan ketentraman masyarakat.7

Menurut kaidah umum yang berlaku selama ini dalam syari’at Islam, hukuman ta’zir hanya dikenakan terhadap perbuatan maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena zat perbuatannya itu sendiri. Akan tetapi, sebagai penyimpangan dari aturan pokok tersebut, syariat Islam membolehkan untuk menjatuhkan hukuman ta’zir atas perbuatan yang bukan maksiat, yakni yang tidak ditegaskan larangannya, apabila hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan atau kepentingan umum. Perbuatan-perbuatan dan keadaan-keadaan yang termasuk dalam kelompok ini tidak mungkin ditentukan sebelumnya, sebab hal ini tergantung kepada sifat-sifat tertentu. Apabila sifat-sifat tersebut ada dalam suatu perbuatan maka barulah perbuatan itu dilarang, dan apabila sifat-sifat tersebut tidak ada maka perbuatan tersebut tidak lagi dilarang, melainkan tetap mubah. Sifat yang dijadikan alasan (illat) untuk menetapkan hukuman

6

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), 7.

7

(34)

25

tersebut adalah adanya unsur merugikan kepentingan atau ketertiban umum. Untuk terpenuhinya sifat tersebut maka harus memenuhi dua hal sebagai berikut:8

1. Ia telah melakukan perbuatan yang menganggu kepentingan dan ketertiban umum.

2. Ia berada dalam kondisi yang mengganggu kepentingan dan ketertiban umum.

Apabila salah satu dari dua hal tersebut sudah dapat dibuktikan maka hakim tidak boleh membebaskan orang yang melakukan perbuatan tersebut, melainkan ia harus menjatuhkan hukuman ta’zir yang sesuai dengan perbuatannya, walaupun sebenarnya perbuatan pelaku tersebut pada asalnya tidak dilarang dan tidak ada ancaman hukuman untuknya.

Penjatuhan hukuman ta’zir untuk keselamatan dan kepentingan umum ini didasarkan kepada tindakan Rasulullah saw yang menahan seorang laki-laki yang dituduh mencuri onta. Setelah terbukti ternyata ia tidak mencurinya maka Rasulullah kemudian melepaskannya. Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan Pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.9

8

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 43.

9

(35)

26

B. Dasar Hukum Ta’zir

Sistematika sumber ajaran Islam terdiri atas: (1) Quran, (2) Al-Sunnah, dan (3) Al-Ra’yu. Sistematika dimaksud diuraikan sebagai berikut.

1. Al-Quran

Al-Quran adalah sumber ajaran Islam yang pertama, memuat kumpulan wahyu-wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. Di antara kandungan isinya ialah peraturan-peraturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah, hubungannya dengan perkembangan dirinya, hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya alam beserta makhluk lainnya. Al-Quran memuat ajaran Islam, diantaranya: (1) Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, malaikat, Kitab, Rasul, Hari akhir, Qadha dan Qadhar dan sebagainya. (2) Prinsip-prinsip syari’ah mengenai ibadah khas (shalat, puasa, zakat, dan haji) dan ibadah

(36)

27

Menurut Syarbini al-Khatib, bahwa ayat al-Quran yang dijadikan landasan adanya jarimah ta’zir adalah Quran surat al-Fath ayat 8-9 yang berbunyi:10

اًريِذَنَو اًرِّشَبُمَو اًدِاَش َكاَْلَسْرَأ اَِإ

(

٨

)

ًةَرْكُب ُوُحِّبَسُتَو ُوُرِّقَوُ تَو ُوُرِّزَ ُ تَو ِِلوُسَرَو ِاَِِ اوُِمْؤُ تِل

ايِصَأَو

(

٩

)

“Sesungguhnya Kami mengutus engkau (Muhammad) sebagai saksi,

pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan

petang.”11

Selain itu Ayat al-Quran yang berkaitan dengan dengan perusakan lingkungan hidup adalah surat al-A’Raf ayat 56:

ُوُ ْااَو اَ ِ َاْصِإ َدْ َ ب ِ ْرَْاا ِ اوُدِسْ ُ ت َ َو

َنِم ٌييِرَق ِاَا َ َْ َر انِإ ۚ اً َ َ َو اًفْوَ

َ ِِسْحُ ْلا

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”12

2. Al-Sunnah

Sunnah Nabi Muhammad saw merupakan sumber ajaran Islam yang kedua. Karena, hal-hal yang diungkapkan oleh al-Quran yang bersifat umum dan memerlukan penjelasan, maka Nabi Muhammad saw menjelaskan melalui sunnah. Sunnah adalah perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad

10

Ibid., 15.

11

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV Toha Putra, 1989), 828.

12

(37)

28

saw (Af’alu, Aqwalu, dan Taqriru). Pengertian sunnah yang demikian mempunyai kesamaan pengertian hadis.13 Sunnah atau hadis dapat dibagi ke dalam beberapa macam berdasarkan kriteria dan klasifikasi sebagai berikut.14

a. Ditinjau dari segi bentuknya terbagi kepada Fi’li (perbuatan Nabi),

Qauli (perkataan Nabi) dan Taqriri (perizinan Nabi) yang artinya perilaku sahabat yang disaksikan oleh Nabi tetapi Nabi tidak menegurnya/melarangnya.

b. Ditinjau dari segi jumlah orang yang menyampaikannya terbagi kepada Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal tidak mungkin mereka bersepakat dusta serta disampaikan melalui jalan indra. Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir, baik karena jumlahnya maupun karena tidak melalui jalan indra. Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai kepada tingkat masyhur dan mutawatir.

c. Ditinjau dari segi kualitas hadis, terbagi kepada shahih, yaitu hadis yang sehat, diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya dan kuat hafalannya, materinya baik dan persambungan sanadnya dapat dipertanggungjawabkan. Hasan, yaitu hadis yang memenuhi persyaratan hadis shahih kecuali dari segi hafalan pembawanya yang kurag baik. Dha’if, yaitu hadis lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau karena salah seorang pembawanya kurang baik dan

13

Zainnuddin Ali, Hukum Pidana..., 16.

14

(38)

29

lain. Maudhu, yaitu hadis palsu, hadis yang dibuat oleh seseorang dan dikatakan sebagai sabda atau perbuatan Rasul.

Pembagian lain yang disesuaikan jenis, sifat, redaksi, teknis penyampaian, dan lain-lain. Dasar hukum disyariatkannya ta’zir terdapat dalam beberapa hadis Nabi saw dan tindakan Sahabat seperti yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya. Hadis-hadis tersebut antara lain sebagai berikut:15

ِِّدَ ْنَ ِْيِبا َ ْنَ ِمْيِكَ ِنْباِزْ َ ب ْنَ

,

ِةَ ْ ُ تلا ِ َسَبَ م ا ِِالا انَا

(

اوااوبا اور

مكلحا ححصو ىق يبلاو ئاس لاو ىزمرلاو

)

“Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw. menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan.” (HR. Abu

Dawud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi serta dishahihkan oleh

Hakim).16

لاق م ا ِِالا انَا ا ةشئا ن و

:

َاْوُدُْحا ا ِا ْمِِِ اَرَ ثَ ِتاَئْ يَْْا ىِوَذ اْوُلْ يِقَا

(

اور

ق يبلاو ئاس لاو اوااوباو د ا

)

“Dari „Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah

gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.”

(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi).17

Secara umum hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zir dalam syariat Islam. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Sedangkan hadis kedua mengatur tentang teknis

15

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 252-253.

16

Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX, PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, 202.

17

(39)

30

pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.

C. Macam-macam Jarimah Ta’zir

Menurut Abd Qadir Awdah, jarimah ta’zir terbagi menjadi tiga yaitu:18

Pertama, jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur

syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti wati’syubhat, pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, pencurian yang bukan harta benda. Kedua, jarimah ta’zir yang jenisnya telah ditentukan oleh nash, tapi sanksinya oleh syar’i

diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengicu timbangan, menipu, mengingkari janji, mengkhinati amanat, dan menghina agama. Ketiga, jarimah ta’zir dan jenis sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah lainnya.19

Dilihat dari segi berubah tidaknya sifat jarimah ta’zir dan jenis hukumannya, para fuqaha membaginya menjadi dua macam. Pertama, jarimah ta’zir yang jenisnya ditentukan oleh syara’, seperti mu’amalah dengan cara

riba, memicu timbangan, mengkhianati amanat, korupsi, menyuap, manipulasi, nepotisme, dan berbuat curang. Semua perbuatan tersebut dilarang dan

18

Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia (Yogyakarta: Teras, 2009),14-15.

19

(40)

31

sanksinya diserahkan kepada penguasa. Kedua, jarimah ta’zir yang ditentukan oleh penguasa atau pemerintah. Bentuknya dapat mengalami perubahan tergantung situasi dan kondisi masyarakat pada waktu tertentu, misalnya UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Dalam menetapkan jarimah ta’zir, pemerintah mengacu dan berpegang pada prinsip menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan di samping itu penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i (nash).

Para ulama membagi jarimah ta’zir menjadi dua bagian, yaitu:20

1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian, pemberontakan, perzinaan, dan tidak taat pada ulil al-amri.

2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan hak perorangan atau hamba, yaitu segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia, seperti tidak membayar hutang dan penghinaan.

Pentingnya pembagian jarimah ta’zir kepada jarimah yang berkaitan

dengan hak Allah dan jarimah yang berkaitan dengan hak hamba;21

1. Untuk yang berkaitan dengan hak hamba disamping harus ada gugatan dari ulil al-amri juga tidak dapat memaafkan, sedang yang berkaitan dengan hak Allah atau jamaah tidak harus ada gugatan dan ada kemungkinan bagi

20

Ibid., 16

21

(41)

32

ulil al-amri untuk memberi pemaafan atau mendeponir bila hal itu membawa kemaslahatan.

2. Dalam ta’zir yang berkaitan dengan hak hamba tidak dapat diberlakukan teori tadakhul. Jadi sanksinya dijumlahkan sesuai dengan banyaknya kejahatan. Misalnya bila seseorang menghina A, B, C dan D, maka hukumannya adalah empat kali. Sedang dalam ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah berlaku teori tadakhul, seperti seseorang tidak mengeluarkan zakat beberapa kali dan beberapa macam zakat, maka dia dikenakan satu kali ta’zir.

3. Ketika tindak pidana ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah berlangsung, semua orang wajib mencegahnya, hal ini merupakan penerapan nahi munkar. Sedang ta’zir yang berkaitan dengan hak hamba setiap orang dapat mencegahnya ketika kejahatan itu terjadi dan penjatuhan hukuman dalam kasus ini sangat tergantung kepada gugatan.

4. Ta’zir yang berkaitan dengan hak hamba dapat diwariskan kepada ahli waris korban bila tak sempat mengajukan gugatan sedangkan ia telah berniat untuk itu. Adapun ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah tidak dapat diwariskan.

Abdul Aziz Amir juga membagi jarimah ta’zir secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu:22

1. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pembunuhan; 2. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan pelukaan;

22

(42)

33

3. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak;

4. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan harta;

5. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu; 6. Jarimah ta’zir yang berkaitan dengan keamanan umum.

Meskipun demikian, perlu ditekankan bahwa tidak ada maksiat yang betul-betul hanya berkaitan dengan hak Allah atau dengan hak perorangan secara murni. Jadi dalam suatu kejahatan kedua hak tersebut pasti terganggu, tetapi dapat dibedakan salah satu dari kedua hal itu mana yang dominan.

D. Macam-macam Hukuman Ta’zir

Hukuman ta’zir adalah hukuman untuk jarimah-jarimah ta’zir. Jarimah ta’zir jumlahnya sangat banyak, karena mencakup semua perbuatan maksiat

yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil al-amri untuk mengaturnya.23\

Seperti yang telah kita ketahui, hukuman pokok pada setiap jarimah hanya dijatuhkan apabila semua bukti secara meyakinkan dan tanpa adanya keraguan sedikitpun mengarah pada perbuatan tersebut. Oleh karena itu, apabila bukti-bukti kurang meyakinkan atau adanya keraguan (syubhat) menurut penilaian hakim, hukuman pokok tersebut tidak boleh dijatuhkan. Kurangnya bukti atau persyaratan pada suatu jarimah hudud dan qishash, mengubah status jarimah tersebut menjadi jarimah ta’zir.24

23

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas..., 158.

24

(43)

34

Hukuman ta’zir ini jumlahnya cukup banyak, mulai dari hukuman yang paling ringan sampai yang paling berat. Dalam penyelesaian perkara yang termasuk jarimah ta’zir, hakim diberi wewenang untuk memilih di antara kedua hukuman tersebut, mana yang paling sesuai dengan jarimah yang dilakukan oleh pelaku. Jenis-jenis hukuman ta’zir ini adalah sebagai berikut.

1. Hukuman Mati

Dalam jarimah ta’zir hukuman mati ini diterapkan oleh para fuqaha secara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil al-amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam jarimah-jarimah yang jenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimah itu dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi, meskipun setelah itu ia masuk Islam.25

Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir untuk jarimah-jarimah tertentu, seperti spionase dan melakukan kerusakan di muka bumi. Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail.

Sebagian fuqaha Syafi’iyah membolehkan hukuman mati sebagai ta’zir dalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran al-Quran dan as-Sunnah.26 Dari uraian tersebut jelas bahwa hukuman mati untuk

25

Abdurrahman Al Maliki, Sistem Sanksi dalam Islam, terj.Syamsuddin Ramadlan, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), 249-250.

26

(44)

35

jarimah ta’zir, hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya, dengan syarat-syarat sebagai berikut;27

a. Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud selain hukuman mati.

b. Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di bumi.

Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati sebagai ta’zir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan

pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik. Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum lebih cepat.28

2. Hukuman Jilid

Hukuman jilid (cambuk) merupakan hukuman pokok dalam syariat Islam. Untuk jarimah hudud, hanya ada beberapa jarimah yang dikenakan hukuman jilid, seperti zina, qadzaf, dan minum khamar. Untuk jarimah-jarimah ta’zir bisa diterapkan dalam berbagai jarimah.29 Hukuman jilid untuk ta’zir ini tidak boleh melebihi hukuman jilid dalam hudud. Hanya saja

mengenai batas maksimalnya tidak ada kesepakatan di kalangan fuqaha. Hal ini oleh karena hukuman had dalam jarimah hudud itu berbeda-beda antara satu jarimah dengan jarimah yang lainnya. Zina hukuman jilidnya seratus kali,

27

Ibid., 259

28

Ibid., 260.

29

(45)

36

qadzaf delapan puluh kali, sedangkan syurbul khamar ada yang mengatakan empat puluh kali dan ada yang delapan puluh kali.30

Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman jilid masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, jilid sebagai ta’zir harus dicambukkan lebih keras daripada jilid dalam hadagar dengan ta’zir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam

had. Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan. Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat jilid dalam ta’zir dengan sifat jilid dalam hudud. Apabila orang yang yang dihukum ta’zir itu laki-laki maka baju yang menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus dibuka. Akan tetapi, apabila orang terhukum itu seorang perempuan maka bajunya tidak boleh dibuka, karena jika demikian akan terbukalah auratnya.

Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena pukulan ke bagian tersebut bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum.31

Selain itu, hukuman jilid tidak boleh sampai menimbulkan cacat dan membahayakan organ-organ tubuh orang yang terhukum, apalagi sampai membahayakan jiwanya, karena tujuannya adalah memberi pelajaran dan pendidikan kepadanya. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa

30

Ibid., 159

31

(46)

37

sasaran jilid dalam ta’zir adalah bagian punggung tampaknya merupakan pendapat yang lebih kuat.32

3. Hukuman Penjara

Pemenjaraan secara syar’i adalah menghalangi atau melarang seseorang untuk mengatur dirinya sendiri. Baik itu dilakukan di dalam negeri, rumah, masjid, di dalam penjara, atau di tempat-tempat lain.33 Penahanan model itulah yang dilaksanakan pada masa Nabi dan Abu Bakar. Artinya, pada Masa Nabi dan Abu Bakar tidak ada tempat yang khusus disediakan untuk menahan seseorang pelaku. Akan tetapi setelah umat Islam bertambah banyak dan wilayah kekuasaan Islam bertambah luas, Khalifah Umar pada masa pemerintahannya membeli rumah Shafwan ibn Umayyah dengan harga 4.000 (empat ribu) dirham34 untuk kemudian dijadikan sebagai penjara.

Atas dasar kebijakan Khalifah Umar ini, para ulama membolehkan kepada ulil amri (pemerintah) untuk membuat penjara. Meskipun demikian para ulama yang lain tetap tidak membolehkan untuk mengadakan penjara, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi maupun Abu Bakar.35

Diriwayatkan dari „Ali ra bahwa beliau membangun penjara dari kayu

(pohon), dan menamakannya Nafi’an. Beliau memasukkan pencuri ke dalamnya. Beliau juga membangun penjara dari tanah liat yang keras, dan menamakannya dengan Makhisan. Pemenjaraan merupakan bagian dari

32

Ibid., 261

33

Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam..., 257.

34

Dirham adalah mata uang beberapa Negara Arab yang berupa perak murni dengan berat 2,975 gram.

35

(47)

38

sanksi, seperti halnya jilid dan potong tangan. Sanksi tersebut harus

memberikan “rasa sakit” yang sangat kepada pihak yang dipenjara. Juga harus

bisa menjadi sanksi yang bisa berfungsi mencegah. Dengan alasan ini, maka bangunan, ruangan, lorong-lorongnya berbeda dengan bangunan, ruangan, maupun lorong-lorong sekolah, tempat singgah, hotel-hotel, ataupun tempat-tempat lain. Dan hendaknya bisa menimbulkan rasa takut dan cemas. Rruang-ruangnya hendaknya remang-remang, baik saat siang maupun malam. Di dalam ruangan tidak boleh ada tempat tidur dan tikar. Bahkan, orang-orang yang dipenjara harus merasakan perlakuan yang keras dan sebagainya. Ia harus merasakan kesepian, ketakutan, dan lain-lain. Makanannya harus berupa makanan yang kasar dan sedikit.36

Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu:37

1) Hukuman penjara yang dibatasi waktunya; 2) Hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya. 4. Hukuman Pengasingan (Al-Taghrib wa Al-Ib’ad)

Hukuman pengasingan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir. Untuk jariman-jarimah selain zina, hukuman ini diterapkan apabila perbuatan pelaku dapat menjalar atau merugikan orang lain.38 Hukuman pengasingan ini tidak boleh diperpanjang waktunya. Sebab tidak ada nash yang menerangkan batas maksimal bagi sanksi pengasingan. Meski demikian, tatkala menjatuhkan sanksi pengasingan bagi pezina (laki-laki dan perempuan) yang

36

Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam..., 258-259.

37

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 262.

38

(48)

39

statusnya ghairu muhshan, syara’ telah menetapkan satu tahun lamanya. Dan meskipun nafiy bukanlah had yang wajib (dalam kasus zina), akan tetapi imam boleh menyandarkan pengasingan kepada jilid, meskipun syara’ tidak menjadikannya lebih dari 1 tahun. Selain itu tidak ada nash yang melarang penjatuhan sanksi pengasingan lebih dari waktu tersebut. Namun dengan syarat batas waktu tersebut tidak dianggap mukim (menetap) menurut kebiasaan. Pengasingan hanya terjadi di dalam batas Daulah Islamiyah saja. Jadi, pengasingan tidak boleh dilakukan di luar batas Daulah Islamiyah. Jika itu terjadi berarti telah keluar dari negeri Islam menuju negeri kufur. Lebih baik, negara menetapkan tempat tertentu untuk pengasingan.39

Dengan demikian, pengasingan yang paling tepat untuk dijadikan sanksi haruslah berupa pengusiran, yang bisa mengucilkan seseorang, supaya pengusiran tersebut benar-benar menyakitkan terpidana, sehingga sanksi tersebut bisa berfungsi sebagai pencegah.40

5. Hukuman Pemboikotan (Al-Hijri)

Pemboikotan, yaitu seorang penguasa menginstruksikan masyarakat untuk tidak berbicara dengan seseorang dalam batas waktu tertentu. Ini dilakukan berdasarkan dalil pada peristiwa yang menimpa tiga orang sahabat yang tidak turut berperang. Ketika mengetahui hal itu, Rasulullah saw melarang kaum Muslim untuk berbicara dengan mereka. Ini merupakan sanksi

bagi mereka. „Umar pun pernah menghukum Shabigh dengan menjilidnya,

39

Abdurrahman al-Maliki, Sistem Sanksi dalam..., 267.

40

(49)

40

mengusirnya, dan memerintahkan masyarakat untuk tidak berbicara dengannya. Namun demikian, sanksi ini diberlakukan jika sanksi tersebut bisa menjadi pencegah, yakni bagi mereka yang memiliki perasaan.41

6. Hukuman Salib

Sanksi ini berlaku dalam satu kondisi, yaitu jika sanksi bagi pelaku kejahatan adalah hukuman mati. Terhadapnya boleh dijatuhi hukuman salib. Ia (terhukum) tidak dilarang untuk makan, minum, wudu, dan salat dengan isyarat. Masa penyaliban ini tidak boleh lebih dari tuga hari. Di antara sumber hukumnya adalah sunnah fi’liyah, di mana Nabi pernah menjatuhkan hukuman salib sebagai ta’zir yang dilakukan di suatu pegunungan Abu Nab.42

7. Hukuman Denda (Ghuramah)

Hukuman denda bisa merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri dan dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok lainnya. Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili perkara jarimah ta’zir, karena hakim diberi kebebasan yang penuh dalam masalah ini. Dalam hal ini hakim dapat mempertimbangkan berbagai aspek, baik yang berkaitan dengan jarimah, pelaku, situasi, maupun kondisi tempat dan waktunya.

41

Ibid.

42

(50)

41

Syariat Islam tidak menetapkan batas terendah atau tertinggi dari hukuman denda. Hal ini sepenuhnya diserahkan kepada hakim dengan mempertimbangkan berat ringannya jarimah yang dilakukan oleh pelaku.43

Apabila seorang qodli telah menetapkan sanksi tertentu, maka ia tidak boleh membatalkan ketetapannya. Dalam kondisi semacam ini, yakni dalam kondisi pelaku dosa tidak mampu membayar ghuramah (ganti rugi), yang lebih tepat adalah denda harus diambil dari harta yang ada padanya, itupun jika ada. Namun jika ternyata tidak ada, maka ditunggu sampai ia memiliki harta, baru kemudian ghuramah (ganti rugi) tersebut diserahkan kepada negara.44

8. Hukuman-hukuman yang lain

Ancaman merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan ancaman kosong. Contohnya seperti ancaman akan dijilid atau dipenjara, atau dijatuhi hukuman yang lebih berat, apabila pelaku mengulangi perbuatannya. Termasuk juga ancaman apabila hakim menjatuhkan keputusannya, kemudian pelaksanaannya ditunda sampai waktu tertentu.

43

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 267.

44

(51)

42

Selain ancaman, teguran, dan peringatan, juga merupakan hukuman ta’zir yang dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila dipandang perlu.45 Di samping hukuman-hukuman yang telah disebutkan, terdapat hukuman-hukuman ta’zir yang lain. Hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai berikut.46

1) Peringatan keras.

2) Dihadirkan di hadapan sidang. 3) Nasihat.

4) Celaan. 5) Pengucilan. 6) Pemecatan.

7) Pengumuman kesalahan secara terbuka.

Hukuman-hukuman ta’zir yang telah disebutkan di atas merupakan hukuman-hukuman yang paling penting, yang mungkin diterapkan untuk semua jenis jarimah ta’zir. Akan tetapi, di samping itu masih ada hukuman-hukuman lain yang sifatnya spesifik dan tidak bisa diterapkan pada setiap jarimah ta’zir. Di antara hukuman tersebut adalah pemecatan dari jabatan atau pekerjaan, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan alat-alat yang digunakan untuk melakukan jarimah, penayangan gambar penjahat di muka umum atau di televisi, dan lain-lain.47

E.Manfaat Hukum Ta’zir

45

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum..., 161.

46

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana..., 268.

47

(52)

43

Maksud ta’zir di dalam syariat adalah memberi pelajaran bagi orang yang berdosa yang tidak ada hukuman dan tidak ada kafarah (tentang dosa yang dilakukan). Berkaitan dengan itu sesungguhnya maksiat ada tiga macam:48

1. Jenis maksiat yang memiliki hukuman seperti zina dan mencuri. Hukuman adalah kafarah bagi pelakunya.

2. Jenis maksiat yang memiliki kafarah dan tidak ada hukumannya seperti bersetubuh di siang hari pada bulan Ramadhan.

3. Jenis maksiat yang hukumannya tidak ditentukan oleh syariat atau syariat menentukan batasan hukuman bagi pelakunya tetapi syarat-syarat pelaksanaannya tidak diterangkan dengan sempurna, misalnya menyetubuhi wanita selain farjinya, mencuri sesuatu yang tidak mewajibkan penegakan hukuman potong tangan di dalamnya, wanita menyetubuhi wanita (lesbian) dan tuduhan selain zina, maka wajib ditegakkan ta’zir pada kasus-kasus itu.

Ta’zir dilakukan oleh seorang pemimpin (hakim), demikian pula bapak

boleh melakukan terhadap anaknya, tuan terhadap budaknya dan suami terhadap istrinya dengan syarat mereka tidak melakukannya dengan berlebih-lebihan. Dibolehkan menambah ta’zir untuk mencapai makrud (dalam memberi pelajaran) atas suatu kesalahan. Tetapi jika menambah ta’zir bukan

48Fadhl Ihsan, “Apakah Hukum Ta’zir itu?” dalam

(53)

44

(54)

BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PN. MEULABOH No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO TENTANG TINDAK PIDANA PEMBAKARAN

LAHAN

A.Deskripsi Kasus dan Landasan Hukum

Dalam putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang tindak pidana pembakaran lahan telah diketahui bahwa identitas terdakwa adalah suatu kor

Referensi

Dokumen terkait

Jika menghadapi sesuatu yang serba tidak pasti, saya mudah

Hasil pengujian terhadap lapisan nickel-chromium di atas menunjukkan, bahwa unsur nikel sebagai anoda terlihat lebih mudah melepaskan elektron dari pada unsur chromium, dan sifat lain

Pembelajaran inovatif yang relevan dengan kondisi sekarang ini adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) , yaitu pembelajaran yang menekankan

4.9 Persentase Pola Respon Siswa Sekolah Kategori Tinggi pada Butir Soal 1 mengenai Konsep Gaya Antarmolekul

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode talking stick berpengaruh untuk meningkatkan prestasi belajar IPA anak tunalaras kelas V SLB E Bhina

Untuk dapat melakukan persaingan bisnis dan berkompetisi dalam persaingan pasar sepeda motor, pihak PT. Astra International Tbk – Honda alias.. Astra Honda Motor yang merupakan

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

 Dibutuhkan input maupun output atau library untuk Arduino yang secara tidak menentu karena disesuaikan dengan kondisi atau permintaan dari user atau orang –