• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan Seksual terhadap Istri Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kekerasan Seksual terhadap Istri Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Pidana"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

94

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ISTRI DITINJAU DARI SUDUT PANDANG

HUKUM PIDANA1 Oleh: Simson Ruben2

ABSTRAK

Kekerasan seksual pada umumnya sangat berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan seksual adalah segala serangan yang mengarah pada seksualitas seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) yang dilakukan dibawah tekanan. Kekerasan seksual adalah termasuk, tetapi tidak terkecuali pada perkosaan, perbudakan seksual, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, pelecehan seksual, sterilisasi paksa, pengambilan paksa dan prostitusi paksa.Berdasarkan uraian tersebut di atas, yang melatarbelakangi permasalahan dalam penulisan ini ialah apakah konsep kekerasan terhadap istri ini merupakan salah satu jenis tindak pidana pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape)?Dan bagaimanakah bentuk perlidungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilakukan suami pada istrinya ditinjau dari segi hukum pidana. Penulis menggunakan metode penelitian hukum dan metode pengumpulan data secara studi kepustakaan atau library research.Dalam studi kepustakaan ini penulis mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan dengan jalan mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan dan produk-produk undang-undang yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan seksual terhadap istri adalah bentuk konkret dari kekerasan dalam rumah tangga.Adapun kekerasan seksual terhadap istri ini sendiri dibagi atas dua bagian yakni, kekerasan seksual berat dan kekerasan seksual ringan. Bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilakukan terhadap istri, penanganan perkara secara pidana, antara lain adalah denganPerlindungan dengan Proses Peradilan dan Sanksi Hukum Pidana. Dari hasil penelitian

1

Artikel Skripsi, Dosen Pembimbing : Dr. Rodrigo F. Elias, SH, MH; Marnan A. T. Mokorimban, SH, MH; Heronimus Taroreh, SH, MH

2

Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 100711075

dapat ditarik kesimpulan bahwa Kekerasan Seksual Terhadap Istri Sebagai Salah Satu Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam Rumah Tangga (marital rape).Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami Pada Istrinya Ditinjau Dari Segi Hukum Pidana adalah: Perlindungan dengan Proses Peradilan; Pelaporan kepada Pihak Berwajib; Penyelidikan; Penyidikan; Penangkapan; Penahanan; dan Proses Pengadilan. Perlindungan Hukum yang bisa diberikan antara lain: Perlindungan di Luar Jalur Peradilan melalui upaya: Negosiasi; Mediasi; Fasilitasi; dan Arbitrase. Sedangkan perlindungan di dalam peradilan dilakukan dengan proses peradilan.

A. PENDAHULUAN

Kekerasan seksual merupakan sebuah tema menarik yang selalu diperbincangkan oleh berbagai kalangan, mulai dari orangtua, sampai pada anak-anak, mulai dari lembaga pendidikan sampai pada lembaga pemerintahan dan sosial kemasyarakatan.Kekerasan seksual pada umumnya sangat berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan.Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan ini, ada banyak fakta yang telah terjadi di Indonesia yang mengakibatkan korban perempuan yang mengalami kekerasan semakin meningkat. Salah satu bentuk konkret dari kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan seksual.Kekerasan seksual adalah segala serangan yang mengarah pada seksualitas seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) yang dilakukan dibawah tekanan.Kekerasan seksual adalah termasuk, tetapi tidak terkecuali pada perkosaan, perbudakan seksual, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, pelecehan seksual, sterilisasi paksa, pengambilan paksa dan prostitusi paksa.3 Kekerasan seksual terhadap istri yang terjadi dalam rumah tangga lebih dikenal oleh masyarakat umum disebut dengan istilah marital rape atau diartikan secara harfiah adalah pemerkosaan dalam rumah tangga. Marital Rape sendiri merupakan suatu

3

International Criminal Tribunal for Rwanda, Chamber 1., dalam Betty Itha Omas, Dkk., Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Glosari, (Indonesia, Desember, 2006), hlm. 44.

(2)

95 istilah yang berkembang di masyarakat dimana

dianggap telah terjadi pemerkosaan dalam rumah tangga atau yang terjadi dalam perkawinan dimana pada posisi seorang suami yang memaksa dengan kekerasan pada istrinya untuk melakukan hubungan seksual pada saat istri tidak menghendakinya atau di saat istri tidak menghendaki melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai istri.4

Dokumentasi Komnas Perempuan menunjukkan perkosaan dalam perkawinan terjadi.Jumlahnya memang tidak banyak, yaitu 11 kasus.Namun Komnas Perempuan meyakini jumlah tersebut bisa lebih banyak jika faktor-faktor seperti korban mau dan berani melaporkan kasusnya, akses pada lembaga layanan lebih mudah dan adanya dukungan dari keluarga, komunitas dan masyarakat bagi korban.5 Dalam konteks kehidupan keluarga sebagai institusi terkecil, kekerasan seksual pun acap kali terjadi. Suatu keluarga merupakan tempat paling rawan bagi munculnya tindak kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan terhadap istri, namun kekerasan terhadap istri selama ini tak pernah didefinisikan sebagai persoalan sosial.Akibatnya nyaris mustahil bagi istri meminta bantuan untuk mengatasi kekerasan suaminya. Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri atau yang dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang banyak terjadi di masyarakat. Kekerasan seksual terhadap istri berakibat pada kesengsaraan dan penderitaan secara fisik, seksual dan psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang ada di depan umum atau dalam lingkungan pribadi. Masih lemahnya sistem hukum yang berlaku di

4

Dikutip dalam website di internet dengan alamat website: http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_conte nt&view=article&id=27&Itemid=27. Diunduh pada 27 November, 2014.

5

Dikutip dalam tulisan Patriacia Viseur Seller.The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of Interpretation. Diunduh

pada 20 Agustus

2010.http://www2.ohchr.org/english/issues/women/docs /Paper_Prosecution_of_Sexual_Violence.pdf

masyarakat merupakan faktor penyebab kekerasan terhadap istri.6

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah konsep kekerasan terhadap istri ini merupakan salah satu jenis tindak pidana pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape)?

2. Bagaimanakah bentuk perlidungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilakukan suami pada istrinya ditinjau dari segi hukum pidana?

C. METODE PENULISAN

Penulis menggunakan metode penelitian hukum dan metode pengumpulan data secara studi kepustakaan atau library reserch.Dalam studi kepustakaan ini penulis mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan dengan jalan mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan dan produk-produk undang-undang yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan.

PEMBAHASAN

A. Kekerasan Terhadap Istri Sebagai Salah Satu Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam Rumah Tangga (marital rape)

1) Jenis-jenis Kekerasan Terhadap Perempuan

Ada berbagai jenis kekerasan yang sering kita dengar dalam kehidupan. Dalam pembahasan ini hanya akan dibahas kekerasan terhadap perempuan. Adapun jenis kekerasan terhadap perempuan terdiri dari tiga jenis, yakni:7

a. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, perusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek kekejaman

6

Dikutipdalam ^Kekerasan Seksual Yang Dilakukan Suami Terhadap

/•šŒ]vÇ _http://www.lawskripsi.com/index.php?option=co m_content&view=article&id=27&Itemid=27.

7

Pasal 2 CEDAW, dalam Diana Lusi C., (Penyusun), ^<}uv • W Œ u‰µ v l Œi • u vP v vÌ ] ~E Á • o v [• /vš Œv š]}v o ] À o}‰u vš P v Ç_U

Kekerasan Terhadap Perempuan, (Indonesia, 2006)), hlm. 14-15.

(3)

96

tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri, dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.

b. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa.

c. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara, dimana pun terjadinya.

2) Jenis-jenis Kekerasan Seksual Terhadap Istri

Kekerasan seksual terhadap istri adalah salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah

^• š] ‰ ‰ Œ µ š v š ŒZ ‰ • • }Œ vP terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan Zµlµu o u o]vPlµ‰ Œµu Z š vPP X_8

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami.Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.

Berdasarkan defenisi di atas, maka diketahui bahwa kekerasan seksual terhadap istri adalah bentuk konkret dari kekerasan dalam rumah

8

Pasal 1, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT.

tangga. Adapun kekerasan seksual terhadap istri ini sendiri dibagi atas dua bagian, yakni: a. Kekerasan seksual berat, berupa:

a) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.

b) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.

c) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.

d) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.

e) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.

f) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera. b. Kekerasan Seksual Ringan, berupa

pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.

c. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

3) Fakta Perkosaan terhadap Istri dalam Perspektif Hukum Pidana

Hukum pada dasarnya merupakan cerminan dari nilai-nilai kultural tentang seksualitas yang berlaku di masyarakatnya.Melalui hukum, nilai-nilai kultural tersebut disahkan, dikukuhkan, dan dilanggengkan. Hukum, sejauh itu berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan, hanya melegitimasi dari yang sudah berlaku di masyarakat. Di sisi lain, hukum digunakan oleh negara sebagai alat untuk mengatur dan mengontrol seksualitas rakyatnya. Pasalnya, negara memiliki

(4)

97 kepentingan untuk memanfaatkan pengaturan

seksualitas tersebut demi tujuan-tujuan sosial-politik-ekonomi yang "dibenarkan".Seperti, dalam mengontrol fertilitas kaum perempuan lewat kebijakan KB untuk tujuan kependudukan dan ekonomis.9 Sekalipun di dalam KUHP yang berlaku maupun RUU KUHP yang telah disusun di Indonesia tidak dikenal istilah kekerasan seksual, beberapa bentuk-bentuknya seperti perkosaan, perbuatan cabul, dan prostitusi dapat diketemukan di dalamnya, yakni di bawah payung bab kejahatan terhadap kesusilaan. Bila kita lihat lebih jauh, apa yang diatur dalam bab kesopanan/kesusilaan itu sendiri, seperti pasal perkosaan, perbuatan cabul, pelacuran dan perdagangan perempuan dan anak laki-laki, pada dasarnya merupakan kejahatan seksual (sexual violence). Artinya, bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah tindak kejahatan terhadap diri seseorang, yakni berkaitan dengan persoalan seksual.

Tidak adanya penjelasan resmi tentang istilah kesusilaan yang digunakan, menyebabkan masyarakat (khususnya aparat hukum) seringkali terjebak dalam menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai budaya, norma agama atau sopan santun berkaitan dengan nafsu perkelaminan bukan kejahatan terhadap orang (tubuh dan jiwa).10

Pemahaman keliru yang seperti ini akan berakibat mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual itu sendiri, yakni pelanggaran terhadap eksistensi diri manusia meliputi otonomi, integritas tubuh dan kediriannya. Contoh yang paling nyata adalah penolakan hukum dan kebanyakan masyarakat terhadap perkosaan dalam rumah tangga (marital rape).Karena hal ini dipandang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang juga didukung oleh ajaran agama, yang telah

9Z dE d Z DhEd/

U ^Kekerasan Seksual: Mitos dan

Realitas_U o u

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2472/keke rasan-seksual-mitos-dan-realitas.Diunduh pada hari Senin, 23 April 2001.

10

Z dE d Z DhEd/U ^Kekerasan Seksual: Mitos dan

Realitas_U o u

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2472/keke rasan-seksual-mitos-dan-realitas.Diunduh pada hari Senin, 23 April 2001.

memposisikan perempuan sebagai "pelayan seksual" suaminya.

B. Bentuk Perlidungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami Pada Istrinya Ditinjau Dari Segi Hukum Pidana

1) Landasan Hukum Perlindungan Tindak Kekerasan Seksual terhadap Istri

Jaminan hukum bagi tegaknya hukum dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual terhadap istri dalam sistem hukum indonesia dan internasional antara lain:

- Nasional

a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286, 287, 290, 291 b) UU No.23 tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48

c) UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3,7)

d) UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88

e) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

f) UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

- Internasional

a) Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68

b) Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata

c) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW)

d) Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulan Desember 1993

e) Deklarasi Wina Tahun 1993

f) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR).

g) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan

(5)

98

Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR).

2. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami Pada Istrinya Menurut Sistem Hukum Pidana

2.1. Perlindungan dengan Proses Peradilan

Adapun bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual dalam rumah tangga yang dilakukan terhadap istri, penanganan perkara secara pidana, antara lain adalah dengan:

2.1.1. Pelaporan kepada Pihak Berwajib

Untuk mengetahui proses pelaporan ini, berikut diberikan contoh kasus dan mekanisme pelaporannya, yang antara lain adalah sebagai berikut:11

Seorang ibu rumah tangga (H) berusia 35 tahun, yang hidup di Kabupaten X diperkosa oleh suaminya sendiri. Pelaku mengancam agar diam, tidak menceritakan pada siapapun jika masih ingin hidup. Menurut pelaku, H adalah istri sehingga harus mengikuti keinginannya melakukan hubungan seks sesuai kehendak suaminya.Setelah kejadian itu H menjadi murung dan takut serta tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini ia lakukan karena mengingat anak anaknya yang sudah mulai bersekolah. Dari perkawinannya, mereka dikaruniai dua anak.

Pada suatu ketika, seorang anaknya mendengar ibunya (H) sedang berteriak di dalam kamarnya pada jam tidur malam sekitar pukul 23 (jam 11 malam).Awalnya hanya pelan, namun kemudian, terdengar, ibunya menangis.Mendengar itu, anaknya bangun dan mengetuk pintu, namun dimarahi ayahnya.Tanpa menghiraukan ayahnya, anaknya langsung masuk dan menemui ibunya sedang diikat. Melihat kejadian itu, si anak melaporkannya kepada kakeknya (ayahnya pelaku).

Mendengarinformasi tesebut orang tua pelaku melaporkan kepada polsek setempat.Pelaku ditangkap karena hasil visum menunjukkan bahwa terjadi perkosaan dan didukung oleh saksi. Didalam tahanan polisi,

11

Contoh ini dibuat penulis untuk menjadi instrumen penjelas pagi pengembangan konsep.

pelaku ternyata bebas keluar masuk.Hal ini dikarenakania memiliki kedekatan dengan Wakil Kepala Kepolisian Sektor (Wakapolsek). Alih-alih berkas perkara sampai ke Kejaksaan, pelaku justru melarikan diridengan bantuan Wakapolsek. Dalam perjalanannya, kasus ini juga akan diberhentikan penyelindikannya (SP3) dengan alasan pelaku masuk dalamDaftar Pencarian Orang. Padahal SP3 hanya boleh dilakukanjika penyidikan tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tidak pidana.

Melihat kasus di atas LAPPAN sebagai organisasi yang mendampingi kasustersebut melihat adanya kejanggalan dalam proses hukum tersebut. LAPPAN melihat fakta hukum sudah jelas, bukti sudah lengkap, saksi juga ada. Olehkarenanya, LAPPAN mengajukan surat permohonan kepada pihak Profesi danPengamanan (ProPam) Polda X untuk melakukan investigasi terhadapkasus tersebut. Hasil dari investigasi tersebut menunjukkan bahwa Polsektidak serius dalam menangani kasus perkosaan itu.

Tindak lanjut dari hasilinvestigasi adalah Kapolsek dan Wakapolsek yang menangani kasus tersebutdipindahkan. Sementara pengganti Kapolsek yang baru diberi tugas untukmenangkap pelaku dan adili. Pengadilan memutus pelaku dengan hukuman lima tahun penjara, padahal jaksa menuntutnya dengan hukuman 12 tahun penjara.Meskipun putusantersebut dianggap belum adil baik oleh korban maupun keluarga, namun yanglebih penting dari semua itu adalah persoalan tersebut diproses secara hukum.

2.1.2. Penyelidikan

Menurut pasal 1 butir 5 KUHAP, Penyelidikan adalah serangkaian tindakan/penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.12

Dalam konteks tindak pidana kekerasan terhadap istri yang merupakan bentuk tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, penyelidikan dilakukan dengan maksud untuk mencari dan menemukan dugaan tindak pidana

12

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana,

(6)

99 kekerasan seksual terhadap istri guna

menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

2.1.3. Penyidikan

Dalam pasal 1 butir 2 KUHP, dikatakan:

^‰ vÇ] ]l v o Z • Œ vPl ] v š]v l v penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang š Œi ] v Pµv u v uµl v š Œ• vPl vÇ _X13

Dalam konteks tindak pidana kekerasan terhadap istri yang merupakan bentuk tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, penyidikan dimaksudkan untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang menguatkan proses penangkapan tersangka dalam kasus ini. Jika telah ditemukan bukti dalam proses penyidikan, bisa dilakukan penangkapan terhadap tersangka. Bukti dalam kasus ini bisa berupa keterangan korban dan bukti fisik yang nampak pada diri korban.

2.1.4. Penangkapan

Berdasarkan pasal 1 angka 20 KUHAP dijelaskan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.14

Dari pengertian tersebut, diketahui bahwa tujuan penangkapan adalah untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan/atau peradilan. Menurut KUHAP, terdapat dua jenis penangkapan yang dapat dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu, yaitu penagkapan dengan surat perintah dan penangkapan tanpa surat perintah.

Dalam kasus tindak pidana kekerasan terhadap istri yang merupakan bentuk tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, penangkapan dilakukan untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan proses peradilan. Penangkapan dilakukan terhadap pelaku yang

13

Ibid., hlm. 11.

14

Rocky Marbun, Cerdik dan Taktis Menghadapi Kasus Hukum, (Jakarta: Visimedia, 2010), hlm. 8-9.

telah melakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap istri.

2.1.5. Penahanan

Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.15Landasan dilakukannya suatu penahanan adalah meliputi dasar hukum, keadaan, serta syarat-syarat yang memberikan kemungkinan melakukan tindakan penahanan.Unsur yang menjadi landasan dasar penahanan adalah unsur yuridis, unsur kekhawatiran, dan memenuhi syarat Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Dalam konteks tindak pidana kekerasan terhadap istri yang merupakan bentuk tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, maka jika dalam penangkapan, dilakukan penyidikan dan terbukti bahwa yang bersangkutan melakukan tindakan pidana kekerasan seksual, maka yang bersangkutan oleh pengadilan berhak untuk ditahan dan melakukan proses hukum selanjutnya. Penahanan bisa dilakukan di Rumah Tahanan Negara (RUTAN), penahanan rumah, dan penahanan kota.16

2.1.6. Proses Pengadilan

Ketika sebuah perkara sudah sampai di pengadilan negeri proses persidangannya adalah sebagai berikut: Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara. Kejaksaan bertanggungjawab untuk meyakinkan terdakwa berada di pengadilan pada saat persidangan akan dimulai. Maka kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga Permasyarakatan (penjara) ke pengadilan, dan sebaliknya pada saat persidangan selesai.Di Pengadilan Negeri diadakan beberapa ruang tahanan khususnya untuk menahan tahanan sebelum dan sesudah perkaranya disidang.

Keputusan para hakim ada tiga alternatif: pertama, jika perkara terbukti maka terdakwa dihukum, kedua, jika perkara tidak terbukti maka terdakwa dibebaskan, dan ketiga, jika

15

Pasal 1 angka 21 KUHAP., dalam Ibid., hlm. 14.

16

(7)

100

perbuatan terbukti tetapi tidak perbuatan pidana maka terdakwa dilepas dari segala tuntutan (Onslag).

2.2. Sanksi Hukum Pidana

Sanksi hukum pidana dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, menyebutkan bahwa:17

Pasal 44

Ayat (1): Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumahtangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

denda paling banyak

Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Ayat (2): Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkankorban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjarapaling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00(tiga puluh juta rupiah).

Ayat (3): Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkanmatinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima jutarupiah).

Ayat (4): Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan olehsuami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atauhalangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian ataukegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

17

Dikutip dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam C.S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional,

(Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hlm. 125-128.

Pasal 45

Ayat (1): Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkuprumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana denganpidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

Ayat (2): Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukanoleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakitatau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharianatau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Pasal 46

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimanadimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enamjuta rupiah).

Pasal 47

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganyamelakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf bdipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidanapenjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 48

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akansembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnyaselama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidakberturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkantidak

(8)

101 berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan

pidana penjara paling singkat5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau dendapaling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan dendapaling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda palingbanyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Pasal 50

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Pasal 51

Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4)merupakan delik aduan.

Pasal 52

Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)merupakan delik aduan.

Pasal 53

Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yangdilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.

PENUTUP A. Kesimpulan

1. Kekerasan Seksual Terhadap Istri Sebagai Salah Satu Tindak Pidana Pemerkosaan Dalam Rumah Tangga (marital rape). 2. Bentuk Perlidungan Hukum Terhadap

Korban Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami Pada Istrinya Ditinjau Dari Segi Hukum Pidana adalah: Perlindungan dengan Proses Peradilan; Pelaporan kepada Pihak Berwajib; Penyelidikan; Penyidikan; Penangkapan; Penahanan; dan Proses Pengadilan. Perlindungan Hukum yang bisa diberikan antara lain: Perlindungan di Luar Jalur Peradilan melalui upaya: Negosiasi; Mediasi; Fasilitasi; dan Arbitrase. Sedangkan perlindungan di dalam peradilan dilakukan dengan proses peradilan.

B. Saran

1. Bagi para ibu rumah tangga dan atau para istri agar supaya dapat mengenali perilaku menyimpang (tindak perkosaan) yang dilakukan suaminya sebagai salah satu bentuk tindak pidana sehingga dengan demikian mereka dapat memahami bahwa secara hukum mereka dilindungi dan pelakunya dapat ditindak secara hukum.

2. Bagi intitusi hukum yang berlaku di Indonesia agar supaya dapat menjalankan fungsi perlindungannya dengan baik terhadap korban perkosaan atau kekerasan seksual dalam rumah tangga, khususnya terhadap istri.

DAFTAR PUSTAKA

Annisa, Rifka t}u v[ Œ]•]• všŒ dalam Lusia W oµoµvP vU ^ P ] D vPµŒ ] v vP<µ•µšW Bercermin Pada Kasus Rieke Dyah Pitaloka, Sulitnya Pembuktian Pelecehan Seksual, Tatap: Berita Seputar Pelayanan, (Komnas Perempuan,2010).

Anonim, Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2002), hlm. 205-206.

(9)

102

Anonim, Peta Kekerasan, Pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta: Komas Perempuan, 2002), hlm. 100.

Bhasin, Kamla,What is Patriarchy?, (New Delhi: Women Unlimited, 1993), hlm. 3-9.

XU ] v >µ•]~W vǵ•µv•U ^<}uv •W Œ u‰µ v l Œi • u vP v vÌ ] ~E Áo v [ /vš Œv š]}v o ] À o}‰u vš P v Ç_U Kekerasan Terhadap Perempuan, (Indonesia, 2006)).

Chega!, (Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste, Bab 7.7), (Timor-Leste: CAVR, 2006), paragraf 162.

CEDAW, dalam Diana Lusi C., (Penyusun),

^<}uv • W Œ u‰µ v l Œi • u vP v vÌ ] ~E Á • o v [• /vš Œv š]}nal Aid

À o}‰u vš P v Ç_U Kekerasan Terhadap Perempuan, (Indonesia, 2006).

Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, 1993, dalam Betty Itha Omas, Dkk.,Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Glosari, (Indonesia, Desember, 2006), hlm. 19. El Shirazy, Habiburrahman,Pudarnya Pesona

Kleopatra, (Jakarta: Republika, 2005).

Hadiwardoyo, Al. Purwa,Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 42.

Hamzah, Andi Hukum Acara Pidana`Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 282.

International Criminal Tribunal for Rwanda, Chamber1., dalam Betty Itha Omas, Dkk., Op. Cit.hlm. 44.

Kansil, C.S.T. Dkk.,Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009).

Kohlberg, Lawrence,Tahap-tahap Perkembangan Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1995).

Komnas Perempuan, Perempuan dalam Jeratan Impunitas: Pelanggaran dan Penanganan, Dokumentasi Pelanggaran HAM Perempuan Selama Konflik Bersenjata di Poso 1998-2005, (Komnas Perempuan, 2009).

Laporan Pelapor khusu• W ^hvšµl < l Œ • v terhadap perempuan mengenai ‰ Œ P vP v ‰ Œ u‰µ v_U o u ššÇ/šZ Omas, Dkk.,Op. Cit.hlm. 46.

Laporan Pelapor khusus PBB mengenai

^ všµl- všµl ‰ Œ µ l v u • l]v]_U

dalam Betty Itha Omas, Dkk.,Op. Cit.hlm. 46. Lembar Fakta 23, Kampanye Dunia Untuk HAM,

dalam Anonim, Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta HAM, Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia, (Komnas HAM dan the British Council), Jakarta.

Marpaung, Leden,Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). Marbun, Rocky,Cerdik dan Taktis Menghadapi

Kasus Hukum, (Jakarta: Visimedia, 2010). Moeljatno, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012).

Omas, Betty Itha Dkk.,Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Glosari, (Indonesia, Desember, 2006). Rahmadi, Takdir,Mediasi Penyelesaian Sengketa

Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011).

Resolusi 48/104/1993 tentang Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, dikutip dalam, Diana Lusi C.,

~W vǵ•µv•U ^<}uvas Perempuan l Œi • u vP v vÌ ] ~E Á • o v [• /vš Œv š]}v o ] À o}‰u vš P v Ç_U

Kekerasan Terhadap Perempuan, (Indonesia, 2006).

Rekomendasi Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan untuk CEDAW, dalam Betty Itha Omas. Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought:

Pengantar Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, (Jalasutra, 1998).

Sarwono, Sarlito Wirawan,Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001). Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional,

(Jakarta: ELSAM, 2000), Pasal 7 ayat (2 c). Syarief, Elza,Menuntaskan Sengketa Tanah

Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2012).

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (KDRT) dalam C.S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009).

(10)

103 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Yusriyadi.,Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak Milik Atas Tanah, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 111.

Widjaja,Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 18-19.

International Criminal Tribunal for Rwanda, Chamber 1., dalam Betty Itha Omas, Dkk., Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Glosari, (Indonesia, Desember, 2006), hlm. 44.

Kompas, 9 Juni 1984 dalam Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 136.

MUNTI, Z dE d Z U ^Kekerasan Seksual:

Mitos dan Realitas_U o u

http://www.hukumonline.com/berita/baca/ hol2472/kekerasan-seksual-mitos-dan-realitas.Diunduh pada hari Senin, 23 April 2001.

Okezone, Senin (2/1/2012), dalam web site: http://news.okezone.com/read/2012/01/02 /340/550476/kasus-kekerasan-terhadap-istri-di-jombang-tertinggi/large

Seller, Patriacia Viseur.The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of Interpretation. Diunduh pada 20 Agustus 2010. http://www2.ohchr.org/english/issues/wom en/docs/Paper_Prosecution_of_Sexual_Viol ence.pdf

Yayasan Jurnal Perempuan, video Dokumenter Jual Beli Perempuan dan Anak, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Presents, 2005).

Referensi

Dokumen terkait

Nilai KG dengan dalil momen ini digunakan bila terjadi pemuatan atau pembongkaran di atas kapal dengan mengetahui letak titik berat suatu bobot di atas lunas yang

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mencanangkan MP3EI (Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development) untuk melaksanakan pertumbuhan ekonomi yang

(L.) Merril] sebagai Indikator Toleransi Cekaman Kekeringan pada Fase Perkecambahan dalam Larutan Polyethylene Glycol (PEG) ” dengan baik sebagai salah satu

Judul Skripsi : PENGARUH PENDIDIKAN ETIKA, SELF EFFICACY , RELIGIUSITAS, DAN PERILAKU KECURANGAN TERHADAP PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA AKUNTANSI (Studi Kasus

Data diperoleh melalui observasi dengan teknik Simak Libat Cakap (SLC) dan teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC). SLC mengharuskan peneliti untuk terlibat langsung dalam

Pada hemat penulis, keteladanan, bermain, bercerita, pujian, hukuman dan sebagainya merupakan metode atau cara yang dilakukan dalam melaksanakan model tertentu yang digunakan

Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :

Dengan demikian maka menjaga kebersihan pesantren merupakan hal yang sangat penting dan sebagai upaya hidup sehat sekaligus penanaman karakter peduli terhadap lingkungan