• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Rajungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Rajungan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Pertumbuhan Rajungan

Pertumbuhan merupakan hasil metabolisme zat dalam tubuh organisme hidup. Wickins (1982) mengemukakan bahwa pertumbuhan pada udang merupakan pertambahan protoplasma dan pembelahan sel yang terus menerus pada waktu ganti kulit. Pada rajungan pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor eksogen yang sangat bervariasi di antara berbagai spesies. Faktor- faktor-faktor eksogen yang mempengaruhi pertumbuhan adalah suhu, salinitas, pakan, ruang gerak dan lama pencahayaan (Heasman et al. 1985). Apabila keadaan lingkungan baik dan pakan yang bergizi cukup tersedia, maka pada saat ganti kulit akan terjadi pertumbuhan, sebaliknya apabila keadaan lingkungan kurang baik dan kekurangan pakan, maka ganti kulit tidak diikuti dengan pertumbuhan, bahkan dapat terjadi penurunan bobot tubuh.

Tingkat perkembangan (pertumbuhan) pada rajungan dapat dibagi dalam tiga fase yaitu : fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting. Pada fase larva dikenal tingkat zoea I, II, III, IV dan megalopa, sedangkan pada fase rajungan dikenal dengan tingkat rajungan muda dan rajungan dewasa. Pada fase telur, tingkatan perkembangan indung telur (gonada) merujuk pada tingkat kematangan indung telur.

Pada fase larva tingkat perkembangan yang setiap tingkatnya dibatasi dengan penggantian kulit (moulting) sebelum mencapai tingkat megalopa. Pada saat matang telur menjelang ditetaskan, calon larva yang akan ditetaskan tersebut disebut pre- (proto) zoea. Setelah ditetaskan disebut zoea pertama, kedua, ketiga dan keempat. Pada setiap penggantian kulit zoea tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar dan lebih berat dan pada tingkat megalopa bentuk tubuhnya sudah mirip rajungan dewasa kecuali abdomennya masih berbentuk seperti ekor yang relatif panjang.

Juwana (2002) menyatakan rajungan memerlukan pergantian kulit untuk tumbuh ke tingkat perkembangan selanjutnya. Pada suhu yang relatif tinggi, interval moulting menjadi pendek. Berarti pertumbuhan rajungan lebih cepat dan keseragaman ukuran tercapai. Proses moulting setiap fase pada tingkat zoea

(2)

terjadi setelah 3 – 4 hari bila salinitas perairan 31 ± 2 ppt, sedangkan fase megalopa menjadi juvenil memerlukan waktu 11 – 12 hari bila berada pada kisaran salinitas yang tinggi dan memerlukan waktu 7 - 8 hari bila berada pada kisaran salinitas yang rendah.

Fase zoea sampai fase megalopa berlangsung selama 18 – 20 hari. Pada fase kedua atau fase megalopa, perkembangannya untuk mencapai juvenil (crab I) memerlukan waktu 11 – 21 hari. Fase ketiga atau fase juvenil membutuhkan waktu kurang lebih 30 – 34 hari. Fase keempat atau fase menjelang dewasa dicapai setelah mengalami moulting kurang lebih 20 kali sejak dari fase zoea dan kepiting bakau mulai dewasa pada ukuran panjang karapas 42.70 mm.

Pertumbuhan udang dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu pertumbuhan yang mencakup pertumbuhan larva melalui proses metamorphose dan pertumbuhan dalam pengertian pertambahan biomas atau ukuran tubuh. Berdasarkan ciri morfologinya, tahap pertumbuhan udang dibedakan menjadi empat yaitu : stadia nauplius (N), Zoea (Z), mysis (M) dan pascalarva (PL). Setiap stadia terdiri dari N1-6, Z1-3, dan M1-3, sehingga dari stadia N1 sampai menjadi

pascalava (PL1) udang mengalami 12 kali metamorphose (Nurdjana, 1986).

Secara umum dinyatakan bahwa laju pertumbuhan krustasea merupakan fungsi dari frekuensi ganti kulit (moulting) dan pertambahan bobot badan setiap proses ganti kulit tersebut (Nurdjana, 1986). Kehilangan bobot setiap ganti kulit mengakibatkan model pertumbuhan krustasea tidak kontinyu (Allen et al. 1984). Pada udang ukuran kecil yang frekuensi ganti kulitnya tinggi, maka model pertumbuhannya mendekati kontinyu (Sedwick, 1979). Lebar karapas juga merupakan salah satu parameter pertumbuhan kepiting (Giri et al. 2003).

Kebutuhan Protein dan Energi

Protein merupakan komponen pakan yang sangat dibutuhkan sebagai pembentuk jaringan tubuh dalam proses pertumbuhan, tetapi jika kebutuhan energi dari sumber lemak dan karbohidrat tidak mencukupi, maka sebagian besar protein juga akan digunakan sebagai sumber energi.

Sumber protein yang sering digunakan dalam pembuatan pakan udang meliputi: tepung ikan, tepung udang, tepung kedelai, tepung kepala udang dan

(3)

daun lamtoro. Protein tepung rebon mempunyai kualitas yang lebih baik dari pada kasein dan tepung ikan untuk pertumbuhan pascalarva udang windu (Giri, 1988). Kualitas protein dari berbagai sumber tersebut ditentukan oleh susunan dan kandungan asam aminonya. Ada kecenderungan bahwa komposisi asam amino dari protein yang baik untuk udang adalah menyerupai komposisi asam amino protein untuk udang.

Cowey dan Foster (1971) dalam National Research Council (1983) mengemukakan bahwa untuk pertumbuhannya, udang membutuhkan 10 jenis asam amino esensial yang terdiri dari: arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, valin, metionin, fenilalanin, treonin dan triptofan.

Kebutuhan protein untuk udang bervariasi bergantung kepada umur atau ukuran dan spesies udang, serta sumber protein pakan. Bervariasinya kadar protein pakan dipengaruhi oleh kandungan energi yang berbeda untuk tiap-tiap pakan. Ekawati (1990) melaporkan bahwa pascalarva udang windu (Penaeus

monodon Fab.) yang berumur 20 hari dengan bobot rata-rata 20.42 ± 0.85 mg

dapat tumbuh dengan baik jika diberi pakan dengan kadar protein 39.02% dengan kandungan energi 3.58 kkal/gr pakan.

Benih kepiting bakau membutuhkan pakan dengan kandungan protein 47.6% untuk dapat tumbuh baik (Giri et al. 2002). Chin et al. (1992) melaporkan bahwa kepiting bakau yang diberi pakan dengan kandungan protein 35% dan 40% menghasilkan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata. Djunaidah (2004) melaporkan bahwa larva yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau (Scylla

paramamosain) yang diberi pakan dengan kadar protein 60% mempunyai kualitas

yang lebih baik dibandingkan dengan larva yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau (S. paramamosain) yang diberi pakan dengan kadar protein 40%. Jumlah protein yang diperlukan dalam pakan secara langsung dipengaruhi oleh komposisi asam amino pakan. Rajungan seperti hewan lain tidak memiliki kebutuhan protein yang mutlak tetapi memerlukan suatu campuran yang seimbang antara asam amino esensial dan non esensial. Selanjutnya NRC (1983) mengemukakan pula bahwa kekurangan asam amino esensial mengakibatkan penurunan pertumbuhan. Sumber protein terbesar dalam pakan buatan Ictalurus punctatus adalah tepung ikan dan tepung kacang kedelai. Tepung kacang kedelai kekurangan asam amino

(4)

metionin dan kekurangan ini dicukupi dari tepung ikan yang kaya akan asam amino lisin dan metionin.

Kebutuhan energi hewan dipengaruhi oleh umur, musim dan lingkungan. Hewan muda memerlukan energi yang lebih tinggi per unit bobot tubuh untuk hidup pokok dibanding dengan hewan dewasa meskipun reproduksi meningkatkan kebutuhan energi hewan dewasa (Watanabe, 1988 ).

Keberadaan tingkat energi yang optimum dalam pakan adalah penting sebab kelebihan atau kekurangan energi dapat mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan. Kandungan energi dari pakan bergantung pada komposisi bahan kimianya, dengan nilai pembakaran panas dari protein, lipid dan karbohidrat berturut-turut adalah 5.64, 9.44 dan 4.11 kkal/g dimana kandungan total pakan yang diperoleh dari pengukuran nilai kalori disebut energi kotor (Watanabe, 1988). Akan tetapi secara kimia pakan hanya dipengaruhi oleh panas dari pembakaran, atau energi kotor dan tidak ada informasi tentang apakah energi atau nutrien tersedia untuk ikan melalui proses penyerapan. Oleh karena itu dalam pembuatan pakan perlu mengetahui bioavailability energi pakan untuk hewan yang diberi pakan (NRC, 1993).

Pertumbuhan ikan sangat bergantung kepada energi yang tersedia dalam pakan dan pembelanjaan energi tersebut. Kebutuhan energi untuk metabolisme standar (maintenance) harus dipenuhi terlebih dahulu dan apabila berlebih, maka kelebihannya akan digunakan untuk pertumbuhan (Lovell, 1988). Ini berarti apabila energi dalam pakan jumlahnya terbatas, maka energi tersebut hanya digunakan untuk hidup pokok saja dan tidak untuk pertumbuhan .

Dalam penyusunan pakan buatan pada krustasea (khusus udang) perlu diperhatikan keseimbangan rasio energi protein, dimana pakan dengan kandungan energi yang tinggi mengakibatkan konsumsi protein berkurang dan pertumbuhan terhambat. Sebaliknya pakan dengan kandungan energi yang rendah mengakibatkan terjadinya perombakan protein untuk mencukupi kebutuhan energinya dan menghasilkan efisiensi protein yang rendah serta terhambatnya pertumbuhan udang.

Pertumbuhan atau pembentukan jaringan tubuh paling besar dipengaruhi oleh keseimbangan protein dan energi dalam pakan. Pakan yang mempunyai

(5)

kadar protein tinggi belum tentu dapat mempercepat pertumbuhan apabila total energi pakan rendah. Karena energi pakan terlebih dahulu dipakai untuk kegiatan metabolisme standar (maintenance) seperti untuk respirasi, transportasi ion/metabolit dan pengaturan suhu tubuh serta untuk aktivitas fisik lainnya. Energi untuk seluruh aktivitas tersebut diharapkan sebagian besar berasal dari nutrien non-protein (lemak dan karbohidrat). Apabila sumbangan energi dari bahan non-protein tersebut rendah, maka protein akan didegradasi untuk menghasilkan energi, sehingga fungsi protein sebagai nutrien pembangun jaringan tubuh akan berkurang. Dengan kata lain, penambahan nutrien non-protein sebagai penghasil energi dapat menurunkan penggunaan protein sebagai sumber energi

(protein sparing effect) sehingga dapat meningkatkan fungsi protein dalam

menunjang pertumbuhan ikan ( Furuichi, 1988).

Kebutuhan Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi yang murah untuk manusia dan hewan peliharaan, tetapi pemanfaatannya oleh ikan air tawar bervaria si (NRC, 1993). Peranan karbohidrat selain sebagai sumber energi juga sebagai preucursor berbagai hasil intermediet yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan misalnya, untuk biosintesis asam amino non esensial dan asam-asam nukleat. Kemudian manfaat lain dengan adanya karbohidrat dalam pakan adalah pakan yang mengandung karbohidrat dan lemak yang tepat dapat mengurangi penggunaan protein sebagai sumber energi yang dikenal sebagai protein sparing effect. Terjadinya protein sparing effect oleh karbohidrat dan lemak dapat menurunkan biaya produksi (pakan ) dan mengurangi pengeluaran limbah nitrogen ke lingkungan (Peres dan Teles, 1999). Sparing effect dari karbohidrat dan lemak terhadap penggunaan protein pakan untuk pertumbuhan ikan telah dilaporkan antara lain pada juvenil rockfish, Sebastes schlegeli (Lee et al. 2002).

Ikan mempunyai kemampuan lebih rendah dalam memanfaatkan karbohidrat dibanding hewan darat, namun karbohidrat harus tersedia di dalam pakan ikan, sebab jika karbohidrat tidak tersedia, maka nutrien yang lain seperti protein dan lemak akan dikatabolisme untuk dijadikan energi sehingga pertumbuhan ikan akan menjadi rendah (Wilson, 1994). Selanjutnya NRC (1993)

(6)

mengemukakan bahwa pertumbuhan fingerling catfish lebih tinggi ketika pakannya mengandung karbohidrat dibandingkan hanya mengandung lemak sebagai sumber energi non-protein .

Ikan- ikan air tawar dan ikan- ikan air laut mencerna karbohidrat. Kemampuan ikan laut mencerna karbohidrat adalah sekitar 20%, sedangkan ikan air tawar mampu mencerna diatas 20% seperti 30 – 40% untuk ikan Cyprinus

carpio, 25 – 30% untuk ikan Ictalurus punctatus dan sekitar 40% untuk Tilapia

sp (Wilson, 1994).

Kebutuhan Lemak

Lemak memegang peranan penting sebagai sumber energi dalam pakan ikan, terutama ikan- ikan karnivora termasuk di dalamnya golongan krustasea. Satu unit lemak yang sama mengandung energi dua kali lipat dibandingkan dengan protein dan karbohidrat. Jika lemak dapat menyediakan energi untuk pemeliharaan metabolisme, maka sebagian besar protein yang dikonsumsi dapat digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan bukan digunakan sebagai sumber energi (NRC, 1983).

Sheen dan Wu (1999) melaporkan bahwa pakan crab kepiting yang ditambahi dengan minyak ikan memberikan frekuensi pergantian kulit yang lebih tinggi daripada pakan tanpa pemberian lemak. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan lemak memberikan pengaruh pada pertumbuhan crab kepiting. Selanjutnya dikatakan bahwa penambahan lemak 5.3% - 13.8% merupakan level lemak yang dapat diserap dengan baik oleh crab kepiting, Scylla serrata.

Asam lemak esensial, terutama kelompok HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acids) dan PUFA ( Polyunsaturated Fatty Acids ) mempunyai peranan yang penting untuk kegiatan metabolisme tubuh organisme, komponen membran (fosfolipid dan kolesterol), hormon (metabolisme steroids dan vitamin D), aktivasi enzim- enzim tertentu dan preucursor dari prostanoids dan leucosit. Asam lemak yang esensial bagi krustasea yaitu 18:2n-6 (linoleat), 18:3n-3 (linoleat), 20:5n-3 (eikosapentaenoat, EPA) dan 20:6n-3 (dokosahexaenoat, DHA) (Kanazawa dan Teshima Tokiwa, 1979 dalam Karim, 1998).

(7)

EPA dan DHA memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup krustasea (D’Abramo dan Sheen, 1993). Takeuchi (2000) menyatakan bahwa rajungan dan kepiting memerlukan EPA untuk kelangsungan hidupnya, sedangkan DHA dibutuhkan untuk pergantian kulit (moulting). Suprayudi et al. (2002) menyatakan bahwa rasio perbandingan antara EPA dan DHA dalam pakan merupakan ukuran penting dalam menentukan perkembangan dan kelangsungan hidup larva Scylla serrata. Pakan rotiver yang mengandung DHA dan EPA yang seimbang cenderung menyebabkan kelangsungan hidup yang rendah pada stadia megalopa Scylla serrata (Takeuchi, 2000).

Rusdi (1999) menyatakan bahwa pakan yang mengandung asam lemak n-3 HUFA seperti 20:5n-3 dan 22:6n-3 merupakan asam lemak yang esensial bagi larva ikan laut dan krustasea. Kandungan asam lemak pakan alami untuk larva rajungan seperti rotifer memiliki komposisi 20:5n-3 sebesar 0.73 dan Artemia sebesar 4.52. Djunaidah (2004) menyatakan bahwa larva yang dihasilkan oleh induk kepiting bakau yang diberi pakan segar yang dicampur dengan biomassa Artemia mempunyai kualitas yang baik dibandingkan dengan larva yang dihasilkan oleh induk yang diberi pakan buatan.

Pakan dengan kadar lemak 5% menghasilkan rata-rata pertumbuhan mutlak tertinggi, sedangkan pemberian lemak 8%, 11% dan 14% meningkatkan akumulasi lemak di dalam tubuh dan hepatopankreas terlihat dari peningkatan retensi lemak ovarium (Fatah, 1998). Sheen (2000) menyatakan bahwa selain asam lemak, golongan kepiting juga memerlukan adanya kolesterol. Lebih lanjut dikatakan bahwa Scylla serrata memerlukan kandungan kolesterol untuk menghasilkan pertumbuhan berat dan kelangsungan hidup yang maksimal. Kandungan kolesterol optimal untuk krustasea berkisar antara 0.2% - 0.8%.

Kebutuhan Vitamin

Vitamin C merupakan salah satu unsur vitamin yang harus tersedia di dalam pakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan yang antara lain adalah pertama ikan tidak mampu mensintesa vitamin C di dalam tubuhnya (Matsumoto

(8)

metabolis penting, antara lain adalah berperan dalam sintesa kolagen, berperan dalam menormalkan fungsi kekebalan tubuh serta sebagai antioksidan di dalam tubuh. Sebagai akibat dari tidak terpenuhinya jumlah vitamin tersebut, maka fungsi- fungsi metabolis berjalan tidak normal yang pada akhirnya seperti terlihat pada kasus udang yang kekurangan vitamin C, yakni ditandai dengan rendahnya pertumbuhan dan konversi pakan, frekuensi moulting berkurang, mudah stress dan kematian tinggi (He dan Lawrence, 1993).

Fungsi lain dari vitamin C adalah sebagai kofaktor reaksi hidroksilase asam-asam amino triptopan, tirosin, lisin, penilalanin dan prolin (Tacon, 1991). Jadi dengan adanya vitamin C ikan akan memanfaatkan protein dengan lebih baik. Peran lain dari vitamin C adalah didalam sintesa kolagen yang merupakan komponen utama matriks tulang. Kolagen ini merupakan komponen protein yang terbanyak, yakni sekitar 25 – 30% dari total protein tubuh (Combs, 1992). Oleh karena itu berdasarkan kedua peran vitamin C tersebut, ikan dapat memanfaatkan protein dan melakukan sintesa kolagen dengan lebih baik, sehingga pada akhirnya tercapai pertumbuhan yang lebih baik juga.

Ekskresi Amonia

Protein yang dikonsumsi ikan akan dicerna dan diserap dengan efisien. Asam amino yang tercerna yang berlebih dari yang dibutuhkan serta tidak digunakan dalam sintesis protein akan dideaminasi, sedangkan rantai karbon akan dioksidasi atau dikonversi menjadi lemak, karbohidrat atau senyawa lainnya. Selanjutnya nitrogen hasil deaminasi asam amino tadi dikeluarkan dari tubuh karena asam amino tidak disimpan dalam tubuh sebagaimana halnya lemak dan karbohidrat (Dosdat et al. 1996).

Jika karbohidrat dan lemak yang digunakan sebagai sumber energi, maka lemak dan karbohidrat ini akan menghasilkan oksidasi lengkap menjadi karbondioksida dan air, tetapi jika protein dipakai sebagai sumber energi, hanya ikatan karbonnya yang dipakai sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen (Amino) tidak dipakai sebagai sumber energi, maka tidak dapat dimetabolisme dan harus dikeluarkan. Proses kimia dimana gugus amino dikeluarkan dari asam amino dikenal sebagai proses transaminasi dan deaminasi. Reaksinya dikatalisis

(9)

oleh enzim amino transferase di dalam sitosol hepatocyt dan enzim glutamat dehidrogenase dalam mitokondria. Amonia yang telah terbentuk kemudian dilepaskan ke pembuluh darah hepatik untuk selanjutnya diangkut ke organ pengeluaran yang dalam hal ini insang melalui sistem sirkulasi darah (Hepher, 1990; Dosdat et al. 1996). Nitrogen yang diekskresikan oleh ikan khususnya ikan-ikan teleostie sebagian besar berupa amonia (75 – 90 %), selebihnya berupa urea (5 – 15%), asam urat, kreatin, kreatinin, trimetil oksida (TMAO), inulin, asam para-aminohippurik dan asam amino (Jobling, 1994). Karena ikan mengeluarkan kelebihan nitrogen dalam bentuk amonia, maka ikan dikenal dengan hewan ammonotelik.

Meningkatnya ekskresi amonia dengan cepat lebih banyak disebabkan oleh laju ekskresi nitrogen eksogenous ya ng lebih tinggi dibandingkan ekskresi nitrogen endogenous (Ming, 1985). Laju ekskresi amonia eksogenous lebih banyak dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi (kadar protein pakan, kualitas protein bahan pakan, keberadaan energi non-protein) dan laju pemberian pakan, sedangkan ekskresi amonia endogenous diperoleh dari deaminasi asam amino hasil katabolisme protein jaringan tubuh (Jobling, 1994).

Ming (1985) mengemukakan bahwa ekskresi amonia meningkat dengan cepat sebagai respon terhadap penambahan protein pakan. Selanjutnya Degani et

al. (1985) mengemukakan bahwa produksi amonia berkolerasi secara linier

dengan kadar protein pakan. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitiannya dimana produksi ikan Anguilla-anguilla yang diberi pakan dengan protein 25 – 35% lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi pakan 45 – 55% protein..

Jobling (1994) mengemukakan bahwa ekskresi amonia ikan yang diberi pakan lebih tinggi dibandingkan ikan- ikan yang puasa, peningkatan tersebut bahkan bisa sampai 2 kali lebih tinggi (Koshio et al. 1993). Ekskresi amonia akan meningkat begitu selesai mengkonsumsi pakan dan beberapa jam kemudian terjadi puncak ekskresi. Selanjutnya Dosdat et al. (1996) dalam penelitiannya melihat bahwa ekskresi amonia tertinggi pada ikan berukuran 10 g ditemukan 3 – 5 jam sehabis mengkonsumsi pakan dan pada ikan berukuran 100 g terlihat 5 – 8 jam setelah makan. Tinggi rendahnya amonia yang dikeluarkan ikan bergantung pada kadar protein pakan, keberadaan energi non-protein (rasio energi protein),

(10)

kualitas protein bahan pakan dan kondisi lingkungan hidupnya (pH dan temperatur).

Tingkat toksisitas amonia dipengaruhi oleh pH dan temperatur lingkungan perairan, dimana konsentrasi amonia meningkat dengan meningkatnya pH dan temperatur. Lingkungan yang mempunyai konsentrasi amonia tinggi dapat menyebabkan ikan stres, menghambat pertumbuhan dan dapat menyebabkan kematian ikan (Degani et al. 1985; Jobling, 1994).

Tingkat toleransi hewan akuatik terhadap amonia berbeda dan bergantung pada spesies, kondisi fisiologis ikan dan kondisi lingkungan hidupnya (Ming, 1985). Secara umum konsentrasi amonia dalam air tidak boleh lebih dari 1 mg/1. Konsentrasi amonia sebesar 0.4 – 2 mg/1 dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan kematian pada ikan.

Kualitas Air

Dalam pemeliharaan benih rajungan selain pakan, faktor lingkungan (kualitas air) banyak menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu agar pertumbuhan dan kelangsungan hidup optimal, maka diperlukan kondisi lingkungan yang optimal untuk kepentingan proses fisiologis pertumbuhan. Beberapa faktor lingkunga n yang berpengaruh, antara lain: suhu, salintas, pH, oksigen dan lain- lain.

Juwana (2003) menyatakan bahwa kondisi yang baik untuk pendederan benih rajungan adalah pencahayaan 3300 lux selama 12 jam/hari dengan suhu 28 – 30.5oC dan salinitas yang memberikan laju pertumbuhan tertinggi adalah 32 ppt yang merupakan salinitas alami. Kandungan oksigen terlarut adalah 5.2 ppm sampai dengan 6.5 ppm dan kisaran pH media adalah 7.0 hingga 7.7

Suhu dapat mempengaruhi berbagai fungsi metabolisme dari organisme akuatik seperti laju perkembangan embrionik, pertumbuhan dan reproduksi. Selain itu suhu juga mempengaruhi moulting dan nafsu makan kepiting bakau. Juwana (1996) menyatakan bahwa dalam pemeliharaan benih rajungan suhu air diatur 31oC dan salinitas 31 – 33 %o. Menurut Giri et al. (2003) suhu yang baik untuk pemeliharaan benih kepiting bakau berkisar 30 – 31oC.

(11)

Kondisi lingkungan dalam hal ini suhu dapat mempengaruhi kebutuhan ikan terhadap protein. Setiap fase dalam siklus hidup suatu spesies membutuhkan kisaran salinitas dan pH yang berbeda. Menurut Giri et al. (2003) salinitas yang layak bagi kelangsungan hidup benih kepiting bakau adalah 30 – 33 ppt dan pH berkisar antara 7.0 – 7.8. Larva kepiting bakau pada stadia zoea dapat mengalami kematian apabila berada pada salinitas lebih rendah dari 17 ppt. Larva kepiting bakau pada substadia zoea-I tidak toleran terhadap salinitas rendah (di bawah 17 ppt). Kepiting dapat hidup pada perairan dengan kelarutan oksigen 5.2 ppm.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada minyak ikan hasil ekstraksi dengan pemanasan yang telah dimurnikan menggunakan metode II terjadi penurunan nilai asam lemak bebas sebesar 50,30%;

Tujuan dari prosedur pemetaan piksel adalah untuk menemukan warna yang sesuai yang paling dekat dari palet untuk merepresentasikan piksel dari suatu citra dengan menimbulkan

Setelah merumuskan segemen – segmen pasar smartphone xiaomi, kami menganalisa target pasar yang akan dituju oleh perusahaan xiaomi dengan produk smartphonenya adalah yaitu segmen

Terjadinya waktu tungguyang terjadi pada proses tersebut diakibatkan belum selesainya pelanggaan sebelumnya, sehingga menjadi antrian yang lumayan lama akan tetapi

Walaupun total biaya terapi febrile neutropenia dengan menggunakan antibiotik meropenem lebih mahal dari antibiotik ceftazidime, hasil dari penelitian ini tidak menunjukkan adanya

Hal-hal yang belum tercantum dalam persyaratan dan ketentuan/tata tertib ini akan diatur, kemudian akan disesuaikan dengan kebutuhan pada saat

Hasil dari penelitian menunjukan bahwa : Perilaku Konsumen (X) yang terdiri dari variabel budaya ( ), sosial ( ), pribadi ( ) dan psikologis ( ) secara bersama –

Hasil penelitian ini menunjukkan (1) faktor-faktor yang melatarbelakangi pura Beji dijadikan Cagar Budaya adalah faktor politik yaitu adanya usulan dari tetua desa