• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kebijakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kebijakan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Kebijakan

Kebijakan merupakan pengaturan yang sifatnya berlaku umum. Bila dikaitkan dengan pengertian publik hal itu akan mencakup upaya pengaturan bagi dimensi kegiatan manusia dalam suatu wilayah. Kebijakan dihasilkan karena ada hal-hal yang memerlukan pengaturan, yang dalam hal ini khususnya oleh pemerintah, sesuai dengan kewenangan dan lingkup kerangka kebutuhan sosial kelompoknya. Pengaturan tersebut merupakan bentuk intervensi atau aplikasi tindakan umum yang dapat dilakukan oleh pemerintah (Parson, 1995). Dikatakan pula bahwa kebijakan adalah suatu keputusan untuk bertindak yang dibuat atas nama suatu kelompok sosial yang memiliki implikasi yang kompleks, dan yang bermaksud mempengaruhi anggota kelompok dengan penetapan sanksi-sanksi.

Kebijakan operasional dari suatu lembaga didasarkan pada suatu pijakan landasan kerja. Landasan kerja ini merupakan dasar dari kebijakan yang ditempuh atau dengan kata lain kebijakan merupakan dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan. Dunn (2003) mendefinisikan bahwa :

“ Suatu keputusan adalah suatu pilihan terhadap berbagai alternatif yang bersaing mengenai suatu hal “. Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Karena itu dalam pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan akan lebih mudah bila menggunakan suatu model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang disederhanakan mengenai aspek-aspek terpilih dari situasi problematis yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus.

Kebijakan pengelolaan (policy management) merujuk pada upaya atau tindakan yang sedemikian rupa (delibrate way) untuk menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir. Selanjutnya Parson (1995) menyatakan bahwa kebijakan yang dianggap resmi adalah kebijakan pemerintah yang mempunyai kewenangan dan dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya dimana dibuat sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan merupakan pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do).

(2)

Kebijakan secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis.

Kebijakan umum antara lain dalam bentuk Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah. Sedangkan kebijakan teknis adalah kebijakaan operasional yang berada dibawah kebijakan pelaksanaan tersebut.

Parson (1995) selanjutnya menyatakan bahwa ilmu kebijakan banyak dipengaruhi oleh hasil interaksi antar materi ilmu interdisipliner seperti ilmu-ilmu di bidang lingkungan hidup maupun di bidang lain. Kebijakan publik sebagai suatu pola atau rumusan intervensi pemerintah, umumnya ditetapkan dalam lingkup sistem dan kondisi politik tertentu. Aplikasi suatu kebijakan dapat ditentukan oleh dukungan kelompok publik yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat luas. Implikasi kebijakan dapat merupakan bagian dari suatu program atau sebaliknya program merupakan bagian dari suatu kebijakan. Tegasnya dalam rangka sistem penyelenggaraan pembangunan, maka keduanya merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan model dan strategi pembangunan nasional.

Hariyoso (2002) menyatakan bahwa kebijakan publik dapat dinyatakan sebagai realisasi langkah pengkajian atau pengaturan konstitusional, atau penyelesaian konflik di masyarakat. Karena itu orientasi kebijakan publik adalah mengatur perilaku para pengambil keputusan di lapangan, disamping melakukan pengorganisasian berokrasi dan pendistribusian manfaat yang ada. Melalui kebijakan ini akan dapat diterapkan suatu sistem nilai tertentu dengan maksud untuk dapat menolong terlaksananya aplikasi pengaturan secara otoritatif kepada kelompok masyarakat luas, walaupun mungkin saja pemerintah memilih keputusan dengan tidak berbuat apa-apa. Kebijakan publik juga dapat berfungsi sebagai salah satu sumber pengembangan rencana atau program pembinaan sebagai wujud akuntabilitas aplikasi fungsi pemerintah.

Kebijakan publik adalah segala ketentuan yang ditetapkan oleh pejabat publik yang bersangkut paut dengan publik dan apa yang dilakukan oleh pejabat publik sesuai dengan kewenangannya. Masalah dalam perumusan kebijakan publik terletak pada aktor, mekanisme dan proses kebijakan publik dan substansi. Oleh karena itu

(3)

dalam rangka mencapai tujuan terciptanya suatu kebijakan publik yang berpihak kepada rakyat serta lahirnya kebijakan yang menjamin partisipasi publik, diperlukan beberapa strategi. Advokasi kebijakan dengan merancang aturan main dalam formulasi kebijakan publik yang proporsional dan partisipatif, komunikasi politik dengan memperbanyak ruang interaksi antar pihak dalam hal-hal yang menyangkut kebijakan publik.

Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui apa yang sesungguhnya dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal tersebut dan apa yang menyebakan mereka melakukannya dengan cara yang berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran yang didasarkan pada penggambaran dan penjelasan mengenai sebab-sebab dan akibat dari tindakan pemerintah.

Ada tiga jenis analisis kebijakan yaitu (1) analisis prospektif, (2) analisis retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis prospektif dan analisis retrospektif.

Kebijakan pembangunan kehutanan yang diterapkan selama lebih dari 30 tahun ternyata belum mampu mewujudkan keberpihakan kepada rakyat karena masih berorientasi sentralistik. Oleh karena itu dalam era reformasi saat ini rakyat menginginkan terjadi perubahan dalam pembangunan kehutanan (Alikodra, 2000). Adanya perubahan kebijakan diharapkan mampu memenuhi harapan : (1) menghilangkan dan mencegah terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme di lingkungan institusi kehutanan; (2) menerapkan azas-azas profesionalisme dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan; (3) memberikan manfaat yang maksimal dan berkelanjutan bagi rakyat serta mengembangkan peranserta rakyat dalam segala aspek pembangunan kehutanan dan (4) menjaga dan menjamin terwujudnya kelestarian sumberdaya hutan.

Menurut LPP Mangrove (2001), berkaitan dengan kebijakan pelestarian hutan mangrove, berbagai kegiatan kehutanan yang berlaku selama ini dirasakan kurang

(4)

menyentuh dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas, terutama bagi kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan mangrove. Akibatnya masyarakat menjadi kurang peduli terhadap pengamanan hutan, artinya aspek lingkungan dan keamanan hutan menjadi terganggu, dan aspek sosial juga sulit untuk dipertahankan. Oleh karena itu pemerintah diharapkan dapat menindaklanjuti kebijakan yang ada dengan memperhatikan aspek sosial dalam masyarakat.

2.2. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan merupakan proses pengelolaan sumberdaya alam dan pendayagunaan sumberdaya manusia dengan memanfaatkan teknologi. Dalam pola pembangunan tersebut, perlu memperhatikan fungsi sumberdaya alam dan sumber daya manusia agar terus menerus menunjang kegiatan atau proses pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilitas politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahan, kelembagaan sosial dan kegiatan dunia usahanya (Sumarwoto,2006).

Konsep pembangunan berkelanjutan memberikan implikasi adanya batas yang ditentukan oleh tingkat masyarakat dan organisasi sosial mengenai sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer dalam menyerap berbagai pengaruh aktifitas manusia. Proses pembangunan berlangsung secara berlanjut dan didukung sumber alam yang ada dengan kualitas lingkungan dan manusia yang semakin berkembang dalam batas daya dukung lingkungan.

Konsep keberlanjutan dikemukakan oleh Roderic et al., (1997) memerlukan pengelolaan tentang segala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antar generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang serta adil, serta efisiensi dalam pengalokasian sumberdaya. Menurut World Commision on Environment and Development (WCED, 1987) Pembangunan Berkelanjutan atau sustainable development adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Greend dan

(5)

Szabalcs (1994) menyatakan bahwa kebutuhan masa mendatang tergantung pada cara keterkaitan antara pertumbuhan penduduk, pengelolaan sumberdaya energi dan proteksi lingkungan secara harmonis. Pembangunan berkelanjutan telah menempatkan kebijakan pelestarian lingkungan hidup menjadi suatu kebutuhan dalam pembangunan ekonomi. Dengan kata lain kebijakan pelestarian lingkungan hidup adalah salah satu variabel tetap dalam proses pembangunan ekonomi suatu bangsa. Prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya sederhana, tidak kompleks dan mudah dicerna. Hal ini didasarkan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi ada batasnya dan perekonomian yang mengandalkan hasil ekstraksi sumberdaya alam tidak bertahan lama. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak berarti jika degradasi lingkungan yang ditimbulkannya tidak diperhitungkan (Arief, 2001).

Keberlanjutan merupakan persyaratan ideal dimana masyarakat hidup untuk menikmati kebutuhan mereka yang ramah lingkungan dan berkeadilan sosial, bukan kompromi dari kemampuan manusia untuk melakukan hal yang sama di masa kini dan akan datang. Dalam prakteknya keberlanjutan lebih pada proses penerimaan, pengimplementasian dan pengembangan kebijakan strategi, institusi dan teknologi yang sesuai untuk memajukan masyarakat menuju kondisi yang ideal (WCED, 1987). Untuk mencapai keberlanjutan, keterpaduan lingkungan dan keadilan sosial harus direalisasikan dan ditegakan secara simultan.

Sumberdaya alam seharusnya dikelola secara berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Dengan demikian telah disepakati secara global bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi dan sosial. Sejalan dengan itu maka upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang.

Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak, melainkan merupakan batas yang luwes yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta

(6)

kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak.

World Bank telah menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (environmentally sustainable development triangle) seperti pada Gambar 2 berikut.

• Pertumbuhan pendapatan • Efisiensi produksi • Stabilitas suplai bahan baku

• Sumberdaya alam Keadilan

(termasuk lahan) Pemerataan pendapatan

Gambar 2. Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1993)

Berdasarkan kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan termasuk pengelolaan sumberdaya alam dan berbagai dimensinya dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin, 1996). Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Menurut Munasinghe (1993) pendekatan ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia dengan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi

SOSIAL EKONOMI EKOLOGI Penanggulangan kemiskinan Pemerataan Kelestarian Nilai-nilai /budaya Partisipasi • Assesmenlingkungan • Valuasi lingkungan • Kesempatan kerja • Distribusi pendapatan • Solusi konflik

(7)

penggunaan kapital dalam keterbatasan dan kendala sumberdaya serta keterbatasan teknologi. Peningkatan output pembangunan ekonomi dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian aset ekologi dan sosial sepanjang waktu dan memberikan jaminan kepada kebutuhan dasar manusia serta memberikan perlindungan kepada golongan.

Serageldin (1996) menyatakan bahwa berkelanjutan secara ekologi artinya bahwa kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Adanya pandangan ekologis yang didasarkan pada pertimbangan bahwa perubahan lingkungan akan terjadi di masa yang akan datang dan dipengaruhi oleh segala aktivitas manusia. Rees (1994) mengemukakan bahwa pandangan ekologis didasarkan pada tiga prinsip yang fundamental, yakni :

1. Aktivitas ekonomi yang dilakukan manusia adalah tidak terbatas dan berhadapan dengan ekosistem yang terbatas. Kerusakan lingkungan dan polusi yang ditimbulkannya akan mempengaruhi life support system-nya.

2. Aktivitas ekonomi yang lebih maju dan pertumbuhan populasi akan meningkatkan kebutuhan akan sumberdaya alam dan meningkatkan waste.

3. Pembangunan yang dilaksanakan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang irreversible.

Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan (Serageldin, 1996).

Dalam kaitan dengan kebijakan pemerintah agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dan efisiensi kapital yang merupakan tujuan ekonomi pembangunan harus pula disertai dengan peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat dan berbagai usaha yang dilakukan untuk tujuan pemerataan pembangunan.

(8)

Tujuan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan mempunyai hubungan dengan tujuan lingkungan. Keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan tidak akan tercapai apabila tidak didukung oleh kondisi lingkungan hidup yang mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Pembangunan ekonomi tanpa memperhatikan efisiensi penggunaan sumberdaya dan kelestarian alam akan menyebabkan degradasi alam yang tidak dapat pulih kembali, sehingga diperlukan berbagai upaya penanganannya seperti : efisiensi penggunaan sumberdaya alam dan memberikan evaluasi lingkungan dengan menginternalisasikan dan mengevaluasi dampak lingkungan yang ditimbulkannya.

Sedangkan dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, pembangunan yang dilaksanakan disamping menekankan pada usaha konservasi dan perlindungan sumberdaya juga harus memperhatikan masyarakat yang bergantung pada sumberdaya tersebut. Apresiasi terhadap hak-hak kepemilikan masyarakat terhadap sumberdaya harus mendapat perhatian. Pengukuhan hak kepemilikan bagi masyarakat sekitar sumberdaya merupakan hal yang sangat penting dan akan merupakan insentif bagi masyarakat lokal untuk melakukan konservasi dan pelestarian lingkungan. Dalam hubungan dengan tujuan sosial dan ekologi, maka strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi.

2.3. Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berkelanjutan

Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir secara berkelanjutan dapat diartikan cara mengelola segenap kegiatan pembangunan yang terdapat di suatu wilayah yang berhubungan dengan wilayah pesisir, agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas fungsionalnya. Setiap ekosistem alamiah, termasuk ekosistem pesisir memiliki empat fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yakni : (1) jasa-jasa pendukung kehidupan; (2) jasa-jasa kenyamanan; (3) penyedia sumberdaya alam dan (4) penerima limbah (Ortolano, 1984).

Dari keempat fungsi ekosistem alamiah tersebut, bahwa kemampuan dua fungsi yang pertama sangat bergantung pada dua fungsi yang terakhir. Hal ini berarti bahwa jika kemampuan dua fungsi terakhir dari suatu ekosistem alamiah tidak rusak

(9)

akibat kegiatan manusia, maka fungsinya sebagai pendukung kehidupan manusia dan penyedia jasa-jasa kenyamanan dapat diharapkan tetap terpelihara.

Berdasarkan keempat fungsi ekosistem tersebut, secara ekologis terdapat tiga kaidah pokok yang dapat menjamin tercapainya pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan, yaitu : keharmonisan spasial; kapasitas asimilasi dan pemanfaatan berkelanjutan ( Dahuri et al., 2001)

Dalam keharmonisan spasial, kegiatan pembangunan ruang atau lahan tidak boleh dialokasikan hanya untuk zona pemanfaatan saja, akan tetapi perlu ada yang digunakan untuk zona preservasi (jalur hijau pantai, sempadan dan hutan lindung) serta zona konservasi. Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu pengelolaan wilayah pesisir sangat penting terutama dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidapan, siklus hidrologi dan unsur hara. Sementara dalam kapasitas asimilasi, dampak dari kegiatan pembangunan wilayah pesisir tidak boleh melebihi kemampuan akseptasinya dalam menerima atau menyerap limbah yang dapat membahayakan kesehatan lingkungan dan manusia. Dalam pemanfaatan zona secara berkelanjutan, eksploitasi sumberdaya yang dapat diperbaharui di wilayah pesisir tidak boleh melampaui kemampuan regenerasinya dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya baik sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui harus dilakukan dengan cermat, sehingga dampak lingkungan yang timbul tidak mengganggu atau merusak ekosistem dan kegiatan pembangunan lainnya.

2.4. Ekosistem Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya

Ekosistem hutan mangrove seringkali disebut sebagai hutan bakau, hutan pasang surut atau hutan payau. Pengertian mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas tumbuhan atau semak-semak/rumput-rumputan yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh di laut.

Menurut Nybakken (1993) hutan mangrove biasanya ditemukan di daerah pesisir seperti pantai-pantai yang terlindung dan muara-muara sungai yang merupakan zona peralihan antara darat dan laut. Pada umumnya mangrove mempunyai tanah yang ditandai oleh kadar oksigen yang rendah dan kadar garam yang tinggi serta mempunyai butiran-butiran yang halus dengan kandungan organik

(10)

yang tinggi. Hutan mangrove merupakan wilayah penting sebagai sumber makanan berbagai organisme. Sumber makanan tersebut berasal dari serasah yang dihancurkan menjadi detritus. Detritus merupakan masukan makanan utama bagi komunitas binatang akuatik seperti udang, ikan, kepiting, molusca dan berbagai zooplankton (Odum, 1993).

Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang didominasi oleh beberapa species pohon bakau yang mampu tumbuh dan berkembang pada kawasan pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini pada umumnya tumbuh pada kawasan intertidal dan supratidal yang mendapat aliran air yang mencukupi, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan kawasan-kawasan pantai yang terlindung (Dahuri et al.,2001). Struktur, fungsi, komposisi dan distribusi species dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Menurut Kusmana (2003) beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove adalah sebagai berikut : topografi pantai; iklim; pasang surut; gelombang dan arus; salinitas; oksigen terlarut; tanah; nutrien dan proteksi. Pasang surut merupakan faktor yang sangat menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi species mangrove, terutama distribusi horisontal. Pada areal yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedangkan Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang.

Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun aspek sosial ekonomi. Besarnya peranan ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem tersebut.

Kusmana (2003) menyatakan bahwa fungsi mangrove dapat dikategorikan ke dalam tiga macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis), dan fungsi ekonomis seperti di bawah ini :

a. Fungsi fisik

(11)

• Mempercepat perluasan lahan • Mengendalikan intrusi air laut

• Melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang

• Mengolah limbah organik b. Fungsi biologis (ekologis)

• Tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya.

c. Fungsi ekonomis

• Hasil hutan berupa kayu

• Hasil hutan non kayu seperti madu, obat-obatan, minuman, makanan dan tanin. • Lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain (permukiman,

pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain.

Sumberdaya mangrove yang potensial dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat dilihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component.

Hutan mangrove secara mencolok mengurangi dampak negative tsunami di pesisir pantai berbagai Negara di Asia (Santoso, 2008). Dikatakan pula bahwa Rhizophora memantulkan, meneruskan dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun Rhizophora (bakau). Hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok alami. Dibuktikan di desa Moawo (Nias) penduduk selamat dari terjangan tsunami karena daerah ini terdapat hutan mangrove yang lebarnya 200-300 m dan dengan kerapatan pohon berdiameter > 20 cm sangat lebat. Hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara, yaitu: kecepatan air berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.

(12)

Dampak utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat bakau bersumber dari keinginan manusia untuk mengganti kawasan ekosistem mangrove menjadi kawasan perumahan, aktivitas komersial, industri dan pertanian. Disamping itu peningkatan permintaan terhadap produksi menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap ekosistem mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan ekosistem hutan mangrove seperti pembukaan kawasan hutan untuk tambak udang atau ikan. Menurut Santoso (2008) kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak terkontrol, karena ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi serta konversi hutan mangrove untuk berbagai kepentingan (perkebunan, tambak, pemukiman, kawasan industri, wisata) tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan sekitar.

Alikodra (1998) menyatakan bahwa konversi daerah mangrove terbesar dipergunakan untuk mendukung kegiatan pertambakan udang di Indonesia yang pada tahun 1977 mencakup wilayah seluas 174.605 Ha dan sampai pada tahun 1993 diperkirakan telah mencapai 268.743 Ha dengan peningkatan sebesar 47 %. Tingginya harga udang di pasar internasional dan kebutuhan akan peningkatan komoditi ekspor Indonesia memberikan tekanan yang lebih besar terhadap ekosistem mangrove. Menurut Anwar (2009), keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas perikanan pada perairan bebas. Oleh karena itu dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisir.

Menurut Alikodra (1998) kerusakan hutan mangrove juga disebabkan adanya penyebab tidak langsung berupa pencemaran air dari berbagai aktivitas di sekitar kawasan, misalnya pabrik-pabrik, pengeboran minyak bumi serta adanya sedimentasi yang tidak terkendali. Adanya berbagai tekanan terhadap ekosistem mangrove yang mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem tersebut menunjukkan rendahnya persepsi masyarkat terhadap arti pentingnya mangrove dan pelestariannya, sehingga menurut (Bengen et al., 2002) perlu ditingkatkan persepsi masyarakat melalui strategi pembinaan partisipasi pasif.

(13)

2.5. Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove

Tujuan utama pengelolaan hutan termasuk hutan mangrove adalah untuk mempertahankan produktivitas lahan hutan, sehingga kelestarian hasil merupakan tujuan utama pengelolaan hutan. Kelestarian produktivitas mempunyai dua arti yaitu kesinambungan pertumbuhan dan kesinambungan hasil panen (Dahuri et al., 2001).

Pengelolaan hutan mangrove merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya alam harus berdasarkan filosofi konservasi, sebagai langkah awal dalam mencegah semakin rusaknya ekosistem hutan mangrove. Oleh karena itu pengelolaan hutan mangrove harus mencakup rencana pengelolaan yang mengoptimumkan konservasi sumberdaya mangrove untuk memenuhi kebutuhan manusia, dengan tetap mempertahankan cadangan yang cukup untuk melindungi keanekaragaman flora dan fauna yang ada di dalamnya (Saenger et al., 1983 dalam Parawansa, 2007).

Dalam konteks pengembangan mangrove, rencana pengelolaan hutan mangrove dibuat untuk lokasi-lokasi yang telah ditetapkan. Rencana pengelolaan ini harus dijadwalkan dan dikoordinasi secara resmi di dalam rencana tata ruang wilayah daerah tersebut dan merupakan rencana tata ruang kabupaten. Penyusunan rencana ini didasarkan pada data survei untuk mengetahui potensi sumberdaya alam yang ada dan aspirasi masyarakat melalui komunikasi langsung dan dipertimbangkan dalam rencana pengelolaan (Alikodra,1999).

Pengelolaan hutan mangrove harus memperhatikan keterkaitan dengan ekosistem di sekitarnya sehingga tidak berorientasi dalam lingkup yang lebih kecil. Saenger et al., (1983) dalam Parawansa (2007) menyatakan bahwa pengelolaan hutan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut, sehingga secara ideal merupakan pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan.

Aspek sosial ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dan pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal. Pengelolaan hutan mangrove tidak boleh mengesampingkan masyarakat setempat, namun membuka akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti pentingnya pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya alam tersebut. Aspek sosial ekonomi diwujudkan dalam bentuk

(14)

pengelolaan multiguna (Parawansa, 2007). Pengelolaan multiguna akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan mangrove (Dahuri et al., 2001). Selanjutnya Soetrisno (1995) mengatakan bahwa peranserta masyarakat merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan masyarakat dalam merencanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.

Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan, maka perlu ada kewenangan pemerintah desa dalam membuat peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove, terutama pengelolaan mangrove di luar jalur hijau. Peraturan-peraturan tersebut harus disosialisasikan pada masyarakat luas di desa. Kegiatan lain yang perlu dikembangkan adalah mendorong pemerintah daerah agar membuat Perda tentang pengelolaan kawasan pesisir (mangrove) dan mensosialisasikannya. Keberadaan Perda akan menjadi payung terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan desa dalam kaitannya dengan pengelolaan mangrove.

Disamping itu menurut Soetrisno (1995), pemerintah harus merevitalisasi dan mereform lembaga untuk dapat berfungsi secara efektif dengan menyesuaikan pada budaya dan nilai-nilai yang dimiliki dalam organisasi. Budaya dan nilai-nilai antar organisasi dalam melaksanakan perumusan perencanaan sampai pada pelaksanaan dan pengendalian berbentuk kebersamaan. Kebersamaan menjadi faktor penting untuk memberikan kejelasan tugas dan fungsi serta kewenangan dari masing-masing lembaga atau sektor yang terlibat.

2.6. Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove

Valuasi terhadap suatu sumberdaya alam dapat membantu memberikan informasi data potensi nilai ekonomi suatu sumberdaya. Dalam konsep dasar penilaian ekonomi sumberdaya alam, nilai sumberdaya mangrove ditentukan oleh fungsi dari sumberdaya itu sendiri. Menurut Bann (1998), fungsi ekologi sumberdaya mangrove antara lain sebagai stabilitas garis pantai, menahan sedimen, perlindungan habitat dan keanekaragaman, produktivitas biomassa, sumber plasma nutfah, rekreasi dan wisata, memancing, serta produk-produk hutan lainnya. Nilai ekonomi atau Total Nilai Ekonomi hutan mangrove secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua,

(15)

yaitu : (1) nilai penggunaan (use value) dan (2) nilai intrinsik (non-use value), selanjutnya nilai penggunaan dapat diuraikan menjadi nilai penggunaan langsung (direct use value) dan nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value). Sedangkan nilai intrinsik (non use value) diuraikan menjadi nilai pilihan (option value) dan nilai keberadaan (existence value).

Nilai penggunaan secara ekonomi berhubungan dengan nilai, dimana masyarakat memanfaatkan di masa yang akan datang. Nilai penggunaan langsung berhubungan dengan output langsung yang dapat dikonsumsi masyarakat, misalnya makanan, biomas, kesehatan, rekreasi. Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung diperoleh dari manfaat jasa-jasa lingkungan sebagai pendukung aliran produksi dan konsumsi, misalnya hutan mangrove sebagai pelindung dari badai, gelombang dan abrasi. Nilai pilihan berhubungan dengan pemanfaatan lingkungan di masa yang akan datang, kesediaan membayar untuk konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem yang berhadapan dengan beberapa kemungkinan pemanfaatan oleh masyarakat di masa yang akan datang. Nilai keberadaan muncul karena adanya kepuasan atas keberadaan sumberdaya meskipun tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya.

Pendekatan dengan total ekonomi dapat juga dibedakan menjadi analisa dampak (impact analysis) dan penilaian parsial (partial valuation). Menurut Barton (1994), analisa dampak merupakan sebuah penilaian terhadap kerusakan pada sistem pesisir dari dampak lingkungan yang khas, penilaian parsial merupakan sebuah alternatif penilaian alokasi sumberdaya alam. Total nilai ekonomi memfokuskan pada perkiraan bersih tidak jadinya konversi suatu sumberdaya alam yang dibandingkan dengan manfaat ekonomi suatu wilayah jika dikonversi ke dalam alternatif penggunaannya, seperti : perairan sawah, perkebunan tebu dan tambak udang (Duxon and Lal, 1994 dalam Sathirathai, 1998).

Analisa manfaat dan biaya sebagian besar digunakan di dalam penilaian secara parsial. Hanya pengaruh-pengaruh mendasar dari kebijakan ekonomi dan ekosistem yang dipertimbangkan karena sifat pendekatannya yang parsial. Ruitenbeek (1994) menyarankan bahwa penggunaan beberapa bentuk analisa ekonomi yang terpenting mampu menyatukan hubungan ekologis dari berbagai komponennya. Hal ini penting di dalam memberikan informasi pengambilan kebijakan dalam pengelolaan seluruh sumberdaya secara optimal.

(16)

2.7. Interpretasi Digital Citra Landsat

Pendekatan pada interpretasi citra dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan manual (visual) dan pendekatan dengan komputer (digital). Analisis visual mempunyai kekurangan antara lain : kesulitan dalam mendeteksi perbedaan warna, terutama warna abu-abu; kegiatan interpretasi tidak bisa diulang-ulang dalam waktu yang singkat; kemampuan menyimpan data terbatas. Sedangkan keunggulan analisis digital adalah : interpretasi citra dapat dilakukan dengan cepat, efisien dan sistematik (Soesilo, 1994).

Dalam rangka penggunaan analisis digital, Lillesand dan Kiefer (1990) mengelompokan dalam tiga tahap, yaitu : (1). pemulihan citra (image restoration); (2) penajaman citra (image enhancement); (3) klasifikasi citra (image classification).

1. Pemulihan citra (image restoration)

Pemulihan citra (image restoration ) adalah kegiatan yang berkaitan dengan koreksi distorsi, degradasi yang terjadi akibat kesalahan pada saat perekaman (imaging) Kegiatan ini akan menghasilkan citra yang telah dikoreksi baik radiometrik maupun geometrik (Jaya, 2002). Untuk mengoreksi data, sumber dan macam kesalahan data eksternal dan internal harus ditentukan terlebih dahulu. Koreksi radiometrik merupakan perbaikan akibat kesalahan sistem optik, kesalahan karena gangguan radiasi elektromagnetik pada atmosfer dan kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari (Purwadhi, 2001). Koreksi geometrik adalah suatu proses memproyeksikan data pada suatu bidang sehingga mempunyai proyeksi yang sama dengan proyeksi peta (Jaya, 2002).

2. Penajaman Citra (Image Enhancement)

Sebelum menampilkan data citra untuk analisis visual, teknik penajaman dapat diterapkan untuk menguatkan penampakan kontras diantara kenampakan dalam scene. Pada berbagai penerapan langkah ini banyak meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara visual (Lillesand dan Kiefer, 1990). 3. Klasifikasi citra (Image Classification)

Klasifikasi adalah proses pengelompokan piksel-piksel ke dalam kelas-kelas atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan piksel yang bersangkutan (Jaya, 2002). Teknik klasifikasi dapat dilakukan dengan tiga cara,

(17)

yaitu : klasifikasi terbimbing (supervised classification) ; klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) dan klasifikasi pengkelasan hibrida (hybrid classification) dengan menerapkan model restorasi dan teknik penajaman di dalam klasifikasi (Purwadhi, 2001). Klasifikasi tidak terbimbing menggunakan algoritma untuk mengkaji atau menganalisis sejumlah besar piksel yang tidak dikenal dan membaginya dalam sejumlah kelas berdasarkan pengelompokan nilai digital citra. Kelas yang dihasilkan dari klasifikasi tidak terbimbing adalah kelas spektral.

2.8. Rapid Appraisal Analysis (RAP)

Rapid Appraisal analysis adalah teknik yang dikembangkan oleh University of British Columbia Canada untuk suberdaya perikanan, untuk mengevaluasi keberlanjutan sumberdaya perikanan secara multidisipliner. Metode ini adalah metode yang sederhana dan fleksibel yang menampung kreatifitas dalam pendekatannya terhadap suatu masalah. Metode ini memasukkan pertimbangan-pertimbangan melalui penentuan atribut yang akhirnya menghasilkan skala prioritas (Fauzy dan Anna, 2005).

Dalam Rapid Appraisal Analysis, sumberdaya dapat saja didefinisikan sebagai suatu entitas dalam lingkup yang luas, atau dalam lingkup sempit, misalnya dalam suatu yurisdiksi. Sejumlah atribut sumberdaya dapat dibandingkan, atribut dari setiap aspek/dimensi yang akan dievaluasi dapat dipilih untuk merefleksikan keberlanjutan serta dapat dapat diperbaiki atau diganti ketika informasi terbaru diperoleh (Fauzi dan Anna, 2005). Penggunaaan Rapid Appraisal yang mencakup aspek ekologi, ekonomi dan sosial akan diperoleh gambaran yang jelas mengenai kondisi sumberdaya hutan mangrove di lokasi penelitian, sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.

CIFOR (1999) mendefinisikan indikator adalah variabel atau komponen dari ekosistem hutan atau sistem pengelolaan yang digunakan untuk menyimpulkan status suatu kriteria. Penentuan indikator di sektor kehutanan haruslah menyampaikan suatu pesan tunggal yang berarti. Pesan yang berarti tersebut disebut informasi.

(18)

Informasi ini akan mewakili suatu kumpulan atau beberapa data yang saling berhubungan.

Indikator pembangunan berkelanjutan dari setiap dimensi dapat dianalisis dan digunakan untuk menilai secara cepat status keberlanjutan pembangunan sektor tertentu dengan menggunakan metode multi variabel non parametrik yang disebut multidimensional scaling (MDS). Metode Rapid Appraisal pernah digunakan untuk mengevaluasi pembangunan perikanan yang dikenal dengan nama RAPFISH (The Rapid Appraisal of the status of Fisheries) dan di bidang peternakan untuk desain sistem budidaya sapi potong berkelanjutan (Susilo, 2003).

Dalam Rapid Appraisal , analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu (1). Tahapan penentuan indikator deskriptor yang mencakup 3 dimensi (ekologi, ekonomi dan sosial); (2) tahap penilaian setiap indikator dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi; (3) Tahap analisis ordinasi indeks keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan metode multi variabel non parametrik yang disebut multidimensional scalling (MDS). Selanjutnya analisis Monte Carlo untuk menentukan aspek anomali dari indikator yang dianalisis dan analisis leverage untuk mengukur sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu dalam perangkat lunak (Mersyah, 2004).

Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa prosedur Rapid Appraisal indeks status keberlanjutan sumberdaya dilakukan melalui lima tahapan, yaitu : (1) analisis terhadap data sektor yang diteliti melalui data statistik, studi literatur dan pengamatan di lapangan; (2) melalui skoring dengan mengacu pada literatur dengan menggunakan Excell; (3) melakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Alogaritma; (4) melakukan rotasi untuk menentukan posisi sumberdaya pada ordinasi bad dan good dengan excell dan Visual Basic; (5) melakukan Monte Carlo analysis untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian dan melakukan analisis sensitivitas (Leverage analysis).

2.9. Analytical Hierarchy Process (AHP)

Proses analitik secara hirarkhi pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan

(19)

tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif.

Analitycal hierarchy process (AHP) ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur, biasanya ditetapkan untuk memecahkan masalah-masalah yang terukur, masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks, pada situasi dimana data, informasi statistik sangat minim atau tidak sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman atau intuisi. AHP juga banyak digunakan pada pengambilan keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik (Saaty, 1991).

AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem dimana pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan (Saaty, 1991). Proses pengambilan keputusan pada dasarnya adalah memilih suatu alternatif. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarkhi fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia. Dengan AHP suatu masalah kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarkhi.

Penggunaan AHP dimaksudkan untuk proses penelusuran permasalahan untuk membantu pengambilan keputusan memilih strategi terbaik dengan cara : (1) mengamati dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik, (2). membandingkan secara kuantitatif dari segi biaya/ekonomis, manfaat dan resiko dari tiap alternatif, (3) memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan, dan (4) membuat strategi kebijakan pengelolaan ekosistem hutan mangrove secara optimal, dengan cara menetukan prioritas kegiatan.

Saaty (1991) mengemukakan tiga prinsip dasar AHP, yaitu : (1) Menggambarkan dan menguraikan secara hirarkhi, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (2) Pembedaan prioritas dan sintesis atau penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif

(20)

pentingnya, (3) Konsistensi logis, menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria logis.

Beberapa keuntungan menggunakan AHP sebagai alat analisis adalah : 1. Memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam, persoalan

yang tidak terstruktur;

2. Memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan masalah kompleks;

3. Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas;

4. Dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier;

5. Mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat yang berlainan dan mengelompokan unsur serupa dalam setiap tingkat.

6. Menutun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif;

7. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menerapkan berbagai prioritas;

8. Mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik suatu tahapan pelaksanaan kegiatan, berdasarkan tujuan masing-masing;

9. Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda;

10. Memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalu pengulangan.

Kelebihan AHP dibandingkan dengan yang lainnya adalah : (1) struktur yang berhirarkhi, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada sub-sub kriteria yang paling dalam, (2) memperhitungkan validitas sampai batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan, dan (3) memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. Selain itu AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalaah yang multiobyek dan multikriteria yang berdasar pada pertimbangan

(21)

preferensi dari setiap elemen dalam hirarkhi. Jadi model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif.

Model ini memerlukan konsekuensi pendapat dari stakeholder untuk memberikan dukungan kebijakannya, sebagai salah satu bentuk akuntabilitas dalam kebijakan publik. Untuk itu akan lebih optimal survey aspirasinya bila dilakukan pada para pakar, tokoh organisasi yang terkait dengan pengelolaan ekosistem hutan mangrove dan atau pejabat yang terkait dengan obyek penelitian. Dalam konteks ini pemberian peran pada masyarakat terkait untuk memberikan bobot pemilihan prioritas kebijakan dapat diakomodasikan.

Dalam survey stakeholder tidaklah berarti dapat menampung seluruh komponen masyarakat. Karena sifatnya pemilihan kebijakan strategis maka hanya masyarakat terpilih yang mewakilinya. Oleh karena itu, kelemahannya adalah tidak bisa optimal digunakan untuk menjaring pendapat dari seluruh komponen masyarakat, karena akan terlalu bias terhadap variabel/kriteria yang telah diuji (diduga) sebelumnya.

2.10. Studi Terdahulu

Dalam rangka mencegah kerusakan hutan mangrove yang lebih luas, maka upaya konservasi dan pelestarian terhadap hutan mangrove yang masih tersisa mutlak perlu terus dilakukan agar luas hutan mangrove yang ada saat ini dapat dipertahankan dan ditingkatkan, baik luasan maupun mutu pertumbuhannya sehingga dapat menjamin kelestarian dan kepentingan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Sehubungan dengan itu maka Khazali (2001) dalam penelitiannya di desa Karangsong, kabupaten Indramayu menyimpulkan bahwa partisipasi yang optimal dari seluruh stakeholders sangat penting dalam menjaga kelestarian hutan mangrove.

Hasan (2004) dalam penelitiannya di beberapa desa di kabupaten Indramayu dan Subang menyatakan bahwa masyarakat setempat belum menyadari dampak langsung dari pentingnya hutan mangrove, seperti memberikan plasma nutfah dan kegunaan hutan mangrove bagi jasa-jasa tradisional sehingga kegiatan mengambil kayu bakar diperbolehkan dan konversi hutan mangrove masih terus berlangsung.

Berdasarkan studi Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor dan Direktorat jenderal Pembangunan Daerah Departemen

(22)

Dalam Negeri di dusun Blebu Jawa Timur (1998) disebutkan bahwa untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam pesisir dan laut diperlukan pendekatan pengelolaan yang mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat lokal dan stakeholder lainnya, yang dikenal dengan istilah Co-Operative Management.

Tulungen (2001) menyatakan bahwa melalui Pendekatan pengelolaan Sumberdaya Pesisir berbasis Masyarakat (PSWP-BM) dalam kegiatan penanaman kembali hutan mangrove di kabupaten Minahasa berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan partisipasi masyarakat diintegrasikan sejak awal proses perencanaan dengan keterlibatan secara aktif dari lembaga pemerintah.

Penelitian yang dilakukan oleh Cleave (2002) dan Hue (2001) menyatakan bahwa dalam upaya pengelolaan mangrove secara optimal untuk menjamin fungsi keberlanjutannya, perlu adanya lembaga informal dan kebijakan pengelolaan yang tepat di tingkat desa dan kabupaten.

Hasil riset dari ( Al-Tahir et al., 2005) terhadap hutan mangrove di Trinidad menunjukkan bahwa habitat hutan mangrove berada di bawah tekanan akibat aktivitas manusia, pembangunan ekonomi dan proses-proses alamiah, dan ini mengakibatkan terjadinya “wasteland “yang menyebabkan degradasi dan penurunan angka pertambahan mangrove. Dengan demikian diperlukan pengelolaan mangrove baik dari aspek ekologi maupun aspek spasial yang diprioritaskan pada program pemantauan untuk pemetaan spasial dan perubahan temporal terhadap habitat mangrove, sehingga dapat dipantau perubahan penggunaan dan penutupan lahan mangrove setiap waktu.

Healthy Rivers Commission (2000) menyatakan bahwa guna menjamin keberhasilan strategi perencanaan pengelolaan mangrove diperlukan kerangka kerja perencanaan secara menyeluruh. Hal ini penting dalam implementasi prioritas program yang berpengaruh secara keseluruhan dan diperlukan pula penaksiran hasil berdasarkan outcome sistem. Strategi perencanaan ditujukan sebagai tindakan proteksi mangrove dari kerusakan lebih lanjut. Disamping itu diperlukan partisipasi masyarakat untuk menjamin kepemilikan lokal serta monitoring implementasi program.

Harty (2004) dalam risetnya terhadap perubahan habitat mangrove dan rawa di Australia bagian Tenggara menyatakan bahwa salah satu strategi perencanaan untuk

(23)

membatasi kerusakan mangrove dan rawa adalah memperkenalkan kebijakan perencanaan dan pemantauan untuk kepastian perlindungan terhadap mangrove dan rawa dari berbagai aktivitas penggunaan lahan dan aktivitas pembangunan lainnya melalui pembuatan zonasi (zoning) sesuai peraturan undang-undang yang berlaku.

Pramudji (2000) dalam berbagai penelitian terhadap kondisi hutan mangrove di Indonesia menyatakan bahwa mengingat adanya berbagai fungsi dan peranan hutan mangrove serta kompleksnya permasalahan akibat pemanfaatan lahan mangrove, maka pengelolaan mangrove hendaknya diarahkan untuk pemberian status peruntukan berdasarkan urutan prioritas, misalnya hutan lindung, hutan produksi dan hutan wisata sesuai potensi ekosistem setempat. Disamping itu perlu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan nilai ekologis, ekonomis dan sosial serta manfaat dan fungsi dari hutan mangrove, serta perlu adanya upaya pengelolaan hutan mangrove secara ekologis dan berkelanjutan.

Parawansa (2007) mengatakan bahwa kondisi hutan mangrove di Jakarta sudah terdegradasi, sehingga prioritas kebijakan yang perlu dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat, penerapan teknologi dan pengelolaan terpadu dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan pengelolaan hutan mangrove. Ketiga kebijakan ini hendaknya dilakukan secara terpadu dan konsisten dengan berbagai langkah strategis yang telah disepakati bersama.

Gambar

Gambar 2. Segitiga Konsep Pembangunan Berkelanjutan (Munasinghe, 1993)

Referensi

Dokumen terkait

Kedepan pendekatan yang paling tepat dalam penanganan sampah melalui sistem pengelolaan sampah terpadu yang disebut Silarsatu dimana sistem ini merupakan sistem

Penulis lain seperti Surin Pitsuwan 53 dalam tesisnya melihat kepada sejarah latar belakang konflik, usaha orang Melayu untuk mendapatkan status autonomi, aturan-aturan

Ketika kita akan membuat kesimpulan mengenai mean data berpasangan, kita cari selisih skor masing-masing pasangan dan kemudian kita gunakan selisih-selisih skor tersebut bersama

Besarnya kompensasi pegawai yang bekerja di lapangan berbeda dengan pekerjaan yang bekerja dalam ruangan, demikian juga kompensasi untuk pekerjaan klerikal akan berbeda

Untuk respon laju pengerjaan bahan ( Material Removal Rate ) normalisasi rasio S/N akan menggunakan karakteristik semakin besar semakin baik, dengan rumus (6) ,

Click to edit Master title style Human Capital Competency Click to edit Master title style • Click to edit Master text styles Human Capital Competency y • Second level

Penerapan model PCL ternyata dapat meningkatkan rata-rata skor gain <g> hasil keterampilan berpikir kreatif pada kelompok eksperimen 1 sebesar 0,72 dan pada kelom-

 Kelompok terbaik pada hari itu diberikan reward oleh guru  Siswa bersama guru mengevaluasi hasil pembelajaran hari ini.. Rincian Kegiatan