• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPEC. dan Diplomasi Energi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPEC. dan Diplomasi Energi"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

OPEC

dan Diplomasi Energi

6

(3)
(4)

OPEC, Optimalisasi Diplomasi Energi dan Strategi Mendatang

Penanganan Keanggotaan Indonesia

Makalah dalam Pertemuan Kelompok Ahli “Diplomasi Energi Dalam Konstelasi Politik Kawasan”, Denpasar, Bali, 10-11 Juni 2005 dikombinasikan dengan tulisan sebagai penanggap Roundtable Discussion Lemhannas, mengenai ‘ Kebijakan Indonesia keluar dari Keanggotaan OPEC dan Strategi Indonesia Dalam Meningkatkan Ketahanan Energi Guna Mencapai Ketahanan Nasional’ . Jakarta, 12 Agustus 2008.

Tujuan dan Operasionalisasi OPEC

OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) lahir sebagai reaksi terhadap tindakan International Oil Cartel (IOC, yang kemudian terkenal dengan nama Seven Sisters) yang dengan sepihak telah mengatur harga minyak secara sangat merugikan negara-negara produsen, yang notabene memiliki hak menentukan terhadap sumber daya alam mereka sendiri. Dalam perjalanannya, dengan susah payah, diwarnai berbagai krisis harga minyak dan konflik antar anggota, organisasi ini telah tumbuh menjadi pemain utama dunia yang disegani di bidang energi. Sejak berdirinya pada tahun 1960, OPEC, berbeda dengan IOC, menjaga stabilitas harga minyak berdasarkan pertimbangan kepentingan produsen, konsumen, investor dan kelanggengan kemajuan ekonomi dunia, yang telah dibuktikan dalam berbagai langkah-langkah OPEC menenangkan pasar dan harga minyak pada saat-saat kritis, yang kalau dibiarkan dapat menyebabkan melambungnya harga minyak.

Tindakan-tindakan OPEC dijiwai oleh Anggaran Dasar (Statute) OPEC yang menyatakan tujuan OPEC sebagai berikut:

• Mengkoordinasikan dan menyatukan kebijakan negara-negara anggota di bidang minyak dan menentukan cara-cara terbaik untuk melindungi kepentingan mereka secara individual maupun kelompok. • Menjaga stabilitas pasar dan harga minyak dengan sasaran

menghilangkan fluktuasi yang membahayakan dan tidak menguntungkan.**

(5)

• Menjamin penerimaan yang layak dan stabil bagi negara-negara produsen.

• Menjamin pasokan minyak yang cukup, efisien, teratur dan ekonomis bagi negara konsumen

• Menjamin diperolehnya keuntungan yang wajar bagi investor

** Catatan : Diciptakannya sistem price band yang menstabilkan harga pada kisaran 22-28 dollar per barel, yang cukup berhasil di tahun 2000-2003 membuktikan organisasi ini lebih mengutamakan stabilitas daripada harga yang tinggi. Sistem tersebut kemudian tidak lagi efektif sejak tahun 2004 karena walaupun untuk meredam harga OPEC sudah menaikkan produksi beberapa kali sampai kapasitas maksimalnya, harga terus melonjak tidak tertahankan mendekati 150 dollar pada tahun 2008 ini. Ini menunjukkan bahwa azas OPEC yang berpegang pada pengendalian kesetimbangan pasokan dan permintaan dewasa ini sedang tidak berdaya menghadapi faktor-faktor non fundamental lain yang lebih dominan seperti geopolitik dan spekulasi.

Tujuan OPEC tersebut lebih jauh berkembang dalam Konferensi Tingkat Tinggi (OPEC Summit ) ke 1 (tahun 1975 ) dan ke 2 (tahun 2000) serta ke 3 (tahun 2007) yang pada intinya menyatakan “solidaritas alami yang menyatukan negara-negara OPEC dengan negara-negara berkembang lainnya dalam memerangi keterbelakangan”. Jadi peran OPEC telah meluas ke arah masalah-masalah kemanusiaan seperti pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan dan memerangi kemiskinan, dengan penekanan pada kebutuhan negara-negara miskin. Salah satu perwujudan dari komitmen tersebut adalah dibentuknya OPEC Fund sekarang disebut OPEC Fund for International Development atau OFID, organisasi yang menyediakan dana untuk membantu negara-negara berkembang yang bukan anggota OPEC dalam kegiatan pembangunannya, terutama di bidang infra struktur, energi, pertanian, pendidikan dan kesehatan. Sampai saat ini telah disalurkan sebagian besar dari 9.5 milyar dolar komitmen dana pinjaman sangat lunak. Kontribusi Indonesia dalam OFID ini sangat kecil, sekitar 9 juta dollar. Di OFID ini Indonesia diwakili oleh Departemen Keuangan.

Perlu dicatat bahwa OFID membantu negara-negara yang terkena bencana alam tanpa melihat keanggotaannya di OPEC. Misalnya pada waktu Aceh

(6)

dilanda tsunami, OFID juga langsung menyumbang sebesar setengah juta Euro melalui Palang Merah Internasional.

Di samping itu secara terpisah, bantuan anggota-anggota OPEC sendiri ikut mendukung pembangunan di negara-negara yang paling miskin dengan jumlah komitmen mencapai sekitar 90 milyar dolar dan telah disalurkan separonya. Bantuan ini, dalam proporsi terhadap GNP, jauh lebih besar dari yang diberikan negara-negara donor kaya.

Di dalam operasionalisasinya fungsi OPEC telah berkembang, yaitu di samping sebagai media komunikasi antar negara-negara anggota OPEC, juga dengan negara-negara produsen non-OPEC dan dengan negara-negara konsumen, terutama OECD, yang kemudian melahirkan IEF (International Energy Forum). IEF merupakan wadah komunikasi semua negara di bidang energi dan bermarkas di Ryad. Keamanan pasokan energi (Energy Security) dan keamanan permintaan ( demand security), stabilitas harga, dan ketertataan permintaan dan pasokan minyak dunia merupakan salah satu tema sentral IEF. Perjuangan OPEC ini juga membuahkan kesadaran bagi dunia akan nilai tak terbarukan energi fosil sehingga telah menghasilkan upaya efisiensi. Krisis-krisis yang terjadi juga sekaligus telah mendorong tumbuhnya produsen non-OPEC. Indonesia memasuki OPEC pada tahun 1962 karena melihat perjuangan OPEC merupakan suatu perjuangan negara ketiga, bahwa OPEC adalah kumpulan negara berkembang yang berjuang melawan kesewenangan negara-negara industri/perusahaan-perusahaan multinasional. Indonesia pada waktu itu sudah mulai mengekspor minyak sehingga memiliki kepentingan yang sama dengan negara-negara OPEC lainnya. Terjaminnya stabilitas harga pada tingkat yang layak selain memberikan sumber dana yang signifikan bagi anggaran belanja negara, juga untuk kestabilan anggaran itu sendiri. Sebagai ilustrasi, Indonesia sangat menikmati kenaikan harga dari 2 dollar per barel menjadi 12 dollar setelah embargo minyak perang Arab-Israel tahun 1974. Harga yang bagus tersebut sangat membantu pembangunan Indonesia.

(7)

Pemanfaatan OPEC untuk Kepentingan Indonesia

Pengamanan Sumber Pasokan Minyak Indonesia

Makin merosotnya produksi minyak negara-negara non-OPEC (suatu gejala global yang juga ikut melanda Indonesia), dan tidak ditemukannya lagi lapangan-lapangan minyak raksasa selama 20 tahun terakhir ini membuat OPEC akan menjadi lebih dominan di masa depan. Perkembangan cadangan minyak dunia menunjukkan bahwa pertambahan signifikan cadangan selama dua puluh tahun terakhir hanya terjadi di negara-negara OPEC Timur Tengah, yang meningkat 90 % (dari 475 milyar barel tahun 1983 menjadi 905 milyar barel pada akhir tahun 2006). Hanya Timur Tengah, Rusia serta sedikit wilayah di Afrika dan Amerika Latin yang kelebihan minyak alias eksportir. Kawasan Asia, Eropa dan Amerika ternyata negatif dalam neraca minyaknya sehingga semua mata tertuju ke Timur Tengah untuk mengamankan masa depan pasokan minyak mereka. Mereka menyadari bahwa pengamanan dan stabilitas pasokan energi tidak dapat hanya diandalkan kepada kekuatan dan mekanisme pasar, ini tercemin dari politik dan diplomasi energi mereka kepada negara-negara pemilik minyak tersebut.

Selama sepuluh tahun terakhir Indonesia menghadapi penuaan lapangan minyak, penurunan produksi dan makin sukarnya ditemukan lapangan-lapangan minyak baru di samping kurangnya kegiatan eksplorasi (yang terimbas oleh krisis politik dan ekonomi). Cadangan terbukti Indonesia sekarang sebesar 4.1 milyar barel hanya 0.3% dunia. Setelah mencapai puncaknya pada tahun 1996, produksi Indonesia terus menurun sesuai karakter alamiahnya, sementara makin sukarnya kondisi wilayah eksplorasi baru. Belakangan ini kegiatan eksplorasi sudah makin ditingkatkan, namun hasil yang signifikan baru akan dirasakan dalam kurun waktu 6-8 tahun kedepan.

Dari produksi minyak Indonesia kurang dari 1 juta bph (barel per hari) dewasa ini, Indonesia hanya memiliki sekitar 60-70 persennya dan sisanya merupakan porsi biaya produksi dan hak mitra bagi hasil. Dengan konsumsi Indonesia yang lebih dari satu juta bph BBM, harus diimpor 300 ribu bph minyak mentah dan 400 ribu bph BBM, yang artinya secara keseluruhan Indonesia sudah benar-benar menjadi net importer.

(8)

Indonesia memiliki kepentingan jangka panjang dalam pengamanan sumber- sumber minyak dan gas untuk kebutuhan dalam negeri. Usaha yang dilakukan di dalam negeri adalah meningkatkan cadangan terbukti dan jumlah produksi melalui peningkatan investasi dan kegiatan eksplorasi dan produksi. Cetak biru Pengelolaan Energi Nasional (PEN) memprediksi bahwa selama 20 tahun ke depan Indonesia masih akan sangat tergantung kepada minyak sebagai sumber energi. Keadaan tersebut menuntut Indonesia mau tidak mau untuk mencari sumber-sumber minyak di luar negeri.

Hal yang sama juga dialami oleh negara-negara Asia yang lain sehingga akan terjadi kompetisi yang berat dalam kegiatan ini. China dan India, juga Malaysia sudah lebih dulu memulai insiatif ini sehingga mereka sudah banyak menguasasi wilayah kerja eksplorasi dan produksi minyak di kawasan Timur Tengah dan Afrika.

Ketergantungan dunia kepada minyak OPEC akan makin besar. Bilamana sebagai bukan anggota, status Indonesia akan sama dengan pembeli lainnya sehingga berkompetisi dalam mendapatkan pasokan. Membeli di pasar spot akan membayar lebih mahal dan membeli dari penjual non-OPEC juga sulit karena biasanya dikonsumsi sendiri, sudah terjual untuk jangka panjang atau diolah di kilang-kilang mereka sendiri. Karena itu negara-negara di dunia sekarang menempatkan bobot/kepentingan kerjasama bilateral energi dengan negara produsen di atas kerja sama lainnya.

Untuk itu Indonesia perlu mengembangkan sumber-sumber minyak di luar negeri oleh perusahaan nasional kita. Hubungan baik dengan negara-negara OPEC dapat dijadikan aset yang baik dalam usaha ini. Contoh adalah diperolehnya konsesi lapangan minyak di Irak bagi Pertamina. Pertamina juga sudah memperoleh wilayah kerja di Libya dan Qatar dan sedang dijajaki di Equador. Kerjasama patungan juga sudah diperoleh dengan perusahaan Iran untuk mengelola produksi minyak di satu kawasan di negara tersebut.

Menstabilkan dan Mempertahankan Harga Minyak, Gas dan Batu Bara yang layak.

Walau jumlah ekspor minyak Indonesia saat ini tidak terlalu signifikan, di lain pihak Indonesia masih sebagai eksporter besar gas bumi dan batu bara,

(9)

layak minyak mentah yang secara langsung akan menentukan harga gas dan batu bara.

Kerja sama ekonomi dan investasi

Forum OPEC dapat didayagunakan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan investasi antar sesama anggota. Beberapa negara OPEC memiliki dana yang sangat besar dan mengembangkan investasi mereka di negara-negara lain yang juga dapat dimanfaatkan untuk investasi di Indonesia. Untuk itu, Indonesia sebaiknya menawarkan proyek-proyek investasi menarik. Salah satu contoh adalah proyek pembangunan kilang di Banten bersama Iran serta rencana kilang baru di Tuban bersama Saudi Arabia. Contoh lain adalah pembangunan resort di Lombok dengan investasi dari Uni Emirat.

Negara-negara OPEC di Timur Tengah sekarang menunjukkan minat untuk investasi di bidang produksi pangan. Hal mana Indonesia merupakan tempat yang cocok karena didukung ketersediaan lahan dan iklim.

Perusahaan-perusahaan Indonesia juga ada yang ikut kegiaran pembangunan infrastruktur di negara-negara OPEC. Demikian juga negara-negara OPEC juga merupakan pasar bagi produk-produk industri Indonesia.

Indonesia juga memiliki peluang memasok tenaga kerja berkualitas di luar negeri. Sebagai contoh adalah dipakainya tenaga trampil dan ahli Indonesia di Qatar dan negara-negara Teluk lainnya. Indonesia harus dapat membina lebih banyak tenaga kerja berkualitas tersebut karena peluangnya masih luas. Dalam hal ini lembaga pelatihan milik pemerintah dan swasta dapat diberdayakan.

Masuknya wisatawan dari negara-negara OPEC ke Indonesia juga merupakan potensi yang bagus (kunjungan wisatawan Timur Tengah sudah lama dinikmati Malaysia). Promosi Indonesia yang gencar serta fasilitasi pelaksanaannya perlu dilakukan.

Dalam berbagai hal tersebut di atas, sektor atau departemen terkait (Perdagangan, Perindustrian, Tenaga Kerja, Pariwisata, KADIN, BKPM, DESDM) dihimbau untuk memanfaatkan peluang ini dengan merintis hubungan-hubungan dengan instasi terkait di negara-negara anggota OPEC tersebut dan mengkoordinasikannya dengan pelaku bisnis di Indonesia.

(10)

Mendukung diplomasi luar negeri.

Di bidang politik luar negeri sangat diperlukan adanya dukungan terhadap diplomasi Indonesia melalui kemitraan internasional. Keanggotaan Indonesia di OPEC meningkatkan posisi Indonesia di forum internasional karena OPEC merupakan organisasi yang sangat disegani di antara organisasi-organisasi negara berkembang. OPEC memiliki solidaritas diplomasi yang tinggi yang sering dimanfaatkan untuk diplomasi Indonesia, misalnya dalam menghadapi permasalahan nasional kita seperti HAM dan integritas nasional.

Indonesia juga dapat memanfaatkan OPEC Fund untuk memperkuat diplomasi Indonesia. Misalnya membantu negara tetangga Indonesia untuk memperoleh dana OPEC Fund. Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja, Filipina, Myanmar, Papua Niugini adalah negara-negara sekitar Indonesia yang sudah menikmati dana tersebut. Karena itu yang dapat diusulkan Indonesia selanjutnya adalah bantuan untuk Timor Leste.

Kerja sama pengembangan teknologi.

OPEC sudah mulai membina kerjasama riset teknologi antar negara anggota yang hasilnya dapat dinikmati dengan biaya relatif murah karena ditanggung bersama. Dalam hal ini Puslitbang Teknologi Minyak dan Gas ‘LEMIGAS’ sudah ikut berkoordinasi dengan Sekretariat OPEC.

Pemanfaatan Hasil Kegiatan Sekretariat OPEC

Sekretariat OPEC bertempat di Wina, Austria, yang menjalankan kegiatan riset energi dan riset pasar minyak untuk mendukung kebijakan dan strategi organisasi ini. Hampir 80% dari aktivitas Sekretariat OPEC merupakan kegiatan studi dan riset yang berwawasan global seperti riset pasar dan harga minyak yang bersifat jangka pendek dan menengah, dan kegiatan studi-studi energi, yang bersifat jangka menengah dan panjang. Untuk itu lebih dari 70 persen personil Sekretariat OPEC terdiri dari para peneliti. Tenaga-tenaga ahli Indonesia mendapat kesempatan untuk berkiprah di bidang profesional di Sekretariat OPEC. Indonesia saat ini menempatkan 4 tenaga ahlinya.

Seluruh anggota OPEC mendapat akses penuh kepada semua hasil kegiatan riset dan studi sekretariat, baik berupa data dan informasi, maupun hasil

(11)

penelitian berupa laporan konfidensial maupun publikasi. Jenis informasi serta hasil studi dan riset tersebut relatif sama dengan yang mutlak diperlukan suatu negara. Indonesia tidak perlu melakukan kembali kegiatan yang sama, tapi dapat memanfaatkannya untuk keperluan Indonesia dalam melakukan kajian yang spesifik dengan kepentingan Indonesia namun yang terkait dengan aspek global.

Pembiayaan lembaga ini diambil dari iuran anggota masing-masing sekitar 2 juta euro per tahun. Dilihat dari bobot kegiatan riset yang dilakukan yang hasilnya dapat dinikmati semua anggota, jumlah tersebut sangatlah wajar.

Manfaat bagi OPEC atas kehadiran Indonesia sebagai anggota

Indonesia adalah salah satu anggota penuh OPEC yang terlama di luar anggota pendiri. Dalam sejarah perjalanan OPEC, Indonesia secara setia telah ikut dalam suka duka organisasi ini dan telah memainkan peran sebagai mediator yang menonjol dalam organisasi ini, baik ke dalam maupun ke luar. Sekretaris Jenderal OPEC dari Indonesia, Professor Subroto, dalam dua periode masa tugasnya (1988-1994) telah berhasil membawa OPEC untuk lebih terbuka dan merintis dialog konsumen dan produsen. Demikian juga Presiden OPEC dan Sekretaris Jenderal OPEC pada tahun 2004, Purnomo Yusgiantoro, dalam suasana harga minyak yang meningkat tinggi berhasil membawa OPEC untuk melakukan usaha menurunkan harga minyak dengan tiga kali menaikkan tingkat produksi.

Indonesia, negara dengan penduduk 230 juta jiwa dan memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, pelopor dunia ketiga, dan satu-satunya negara Asia Timur jauh yang menjadi negara OPEC, merupakan aset penting bagi OPEC. Nilai politis ini dianggap jauh lebih besar dari sekadar permasalahan status ekspor minyak Indonesia.

Aspek Legal Keanggotaan Indonesia di OPEC

Di dalam statuta OPEC dinyatakan secara tegas bahwa anggota penuh OPEC adalah yang sudah mendapat keanggotaan dengan persetujuan anggota-anggota penuh lainnya tanpa mempersoalkan apakah masih net exporter

(12)

atau tidak. Persyaratan net exporter minyak mentah (crude petroleum) hanya diterapkan bagi calon yang ingin menjadi anggota baru. Calon juga dapat menjadi Associate Member apabila hanya memenuhi kriteria net petroleum

exporter, artinya sebagai eksportir gabungan gas dan produk minyak tapi tidak

memenuhi kriteria sebagai net exporter minyak mentah. Associate Member tetap harus membayar sejumlah iuran keanggotaan, memiliki hak akses kepada seluruh fasilitas informasi dari Sekretariat, dapat diundang hadir di Sidang OPEC dan Sidang Gubernur tapi tidak memiliki hak pilih.

Penerimaan keanggotaan baru harus disetujui oleh anggota OPEC sekarang ini. Observer hanya ada bila Sidang OPEC memutuskan untuk mengundang satu negara bukan anggota untuk menghadiri sidang. Observer tidak memiliki hak ataupun kewajiban.

Jadi jelas Statuta OPEC tidak mengatur tentang penurunan status keanggotaan bagi anggota penuh. Bila Indonesia ingin menjadi Associate Member, harus menyatakan keluar dulu dari anggota OPEC dan kemudian mengajukan permohonan untuk jadi Associate Member. Kejadian ini dapat sangat disesalkan para anggota OPEC lainnya karena Indonesia sudah lebih 40 tahun sebagai salah satu penggerak organisasi tersebut. Di mata mereka, Indonesia tetap sebagai pemain penting dalam industri petroleum internasional, karena masih sebagai eksportir gas besar dan masih memiliki potensi cadangan minyak dan gas yang substansial, yang sewaktu-waktu dapat membawa kembali Indonesia sebagai eksportir. “ Why remain outside

the club to which she already belongs?”. Tidak ada anggota OPEC sekarang

termasuk anggota Pendiri yang menginginkan salah satu anggotanya berada di luar. Sebaliknya mereka sangat memahami dan sangat solider atas situasi negara anggota tersebut dan sangat menginginkan anggota tersebut tetap berada di dalam organisasi.

Strategi Penentuan Status Keanggotaan Indonesia Saat Ini

Untuk sementara ini kepentingan Indonesia sudah bergeser dari net exporter menjadi net importer. Beberapa pendapat menyatakan bahwa dewasa ini status di luar OPEC dianggap lebih pas bagi Indonesia. Pertama, menghindari konflik kepentingan dalam forum OPEC. Dalam situasi sekarang Indonesia

(13)

merasa sangat canggung berada satu meja dengan para eksportir. Kedua, keluarnya dari keanggotaan OPEC diharapkan lebih menyadarkan masyarakat bahwa negara kita bukan lagi ‘kaya raya’ dengan minyak tapi sudah sebagai pengimpor, sehingga harus lebih terpacu untuk meningkatkan efisiensi serta mengembangkan energi alternatif yang cukup banyak di negeri ini.

Manfaat atau keuntungan keanggotaan Indonesia di OPEC sudah di bahas di atas. Kerugiannya, disamping adanya konflik kepentingan Indonesia saat ini di forum OPEC, juga adalah dapat terkenanya Indonesia dalam masalah litigasi, terutama di Amerika, karena OPEC dituduh melakukan praktek kartel. Ancaman tersebut masih berupa potensi karena dalam perjalanannya selama ini masih dapat diatasi melalui jalur hukum dan selalu dapat ditepis dengan argumen bahwa kebijakan produksi OPEC merupakan kedaulatan masing-masing negara yang didukung konstitusi masing-masing-masing-masing.

Identifikasi keuntungan dan kerugian keanggotaan di OPEC untuk Indonesia tersebut disajikan dalam matriks terlampir.

Karena itu, jalan terbaik saat ini bagi Indonedia adalah status pembekuan sementara keanggotaan, bukan keluar. Dengan status ini antara Indonesia dan OPEC dapat memelihara ‘feeling sekeluarga’ dan itu memudahkan dalam hubungan bilateral dengan negara-negara anggota. Di samping itu, bila mengacu anggaran dasar OPEC, permintaan keanggotaan baru setelah keluar akan lebih rumit prosedurnya dibanding menghidupkan kembali keanggotaan yang sudah ada. Contoh kasus adalah Equador, yang setelah 15 tahun keluar, tahun lalu masuk lagi ke organisasi ini. Indonesia tentu dapat melakukan hal yang sama pada saat yang tepat dan diperlukan nantinya. Dalam status pembekuan keanggotaan nantinya, strategi Indonesia adalah memelihara persahabatan dengan negara-negara OPEC, yang sudah sangat baik secara bilateral maupun multilateral. Indonesia juga dapat menawarkan peran negara kita untuk membantu upaya OPEC dalam stabilisasi pasar minyak dunia, antara lain sebagai jembatan antara produsen dan konsumen, khususnya negara-negara berkembang.

Ke depan, Indonesia akan memerlukan tambahan impor minyak mentah yang tidak selalu dapat diperoleh hanya dengan pendekatan bisnis.

(14)

Kedekatan Indonesia dengan OPEC dapat merupakan posisi tawar Indonesia dalam berkompetisi dengan negara-negara konsumen lainnya yang dapat menawarkan lebih banyak seperti dana investasi, teknologi ataupun peralatan pertahanan untuk mendapatkan pasokan jangka panjang dari negara-negara OPEC.

Jadi dengan banyaknya kepentingan kerja sama di bidang diplomasi, ekonomi dan investasi tersebut di atas, walaupun bukan lagi anggota, pemeliharaan dan peningkatan persahabatan Indonesia dengan negara-negara OPEC merupakan kemestian.

Proses keluarnya Indonesia ini dapat dilakukan seelegan mungkin oleh kedua belah pihak. Perlu dicatat bahwa OPEC sendiri sudah menyatakan tidak menginginkan dan sangat menyayangkan keluarnya Indonesia karena Indonesia sudah merupakan ‘bagian sejarah OPEC’ dan secara de facto dianggap sejajar dengan anggota pendiri. Mengingat Indonesia masih memiliki hak anggota sampai akhir tahun 2008 (karena sudah membayar penuh iuran 2008) pembekuan keanggotaan tersebut tidak perlu tergesa-gesa tapi baru dieffektifkan terhitung mulai 1 Januari 2009.

(15)

TINJAUAN ASPEK-ASPEK KEANGGOTAAN INDONESIA DI OPEC

NO ASPEK BOBO T KEUNTUNGAN KER UGIAN JAL AN KEL U AR BIL AM ANA KEL U AR D ARI KEANGGO TAAN 1 KEA M ANAN PASOK AN MIN YAK MENT AH Besar Indonesia memer luk an ke depan tambahan pasok an min yak men tah. Negar a-negar a kon -sumen/maju ber kompetisi un tuk mendapa t-kan pasok an jangk a panjang ke negar a-negar a OPEC. Sebagai c on toh C

ina dan Jepang y

ang mem -ber ik an pinjaman pembangunan jangk a

panjang dengan pengembalian pasok

an

min

yak

. D

ew

asa ini persetujuan pasok

an kadang-k adang memer luk an kemauan poli -tik dar i negar a pemasok . Kedek atan I ndonesia di f

orum OPEC dapa

t dipak ai/memudahk an dalam mencar i tambahan pasok an dan men

-jamin kelanggengan komitmen pasok

an y

ang

sudah ada (seper

ti dar i S audi A rabia, K uw ait , Lib ya, I ran, N iger ia). Ket er gan

tungan dunia kepada min

yak OPEC

ak

an mak

in besar

. Bilamana sebagai buk

an

anggota, sta

tus sama dengan pembeli lainn

ya sehingga ber kompetisi dalam mendapa tk an pasok an. M

embeli di pasar spot ak

an mem

-ba

yar lebih mahal y

ang jumlahn

ya jauh lebih

besar dibanding iur

an tahunan OPEC. M

em

-beli dar

i penjual

non-OPEC juga sulit k

ar ena biasan ya dikonsumsi sendir i, sudah t erjual un -tuk jangk a panjang a tau diolah di k ilang-k ilang mer ek a sendir i. Negar a-negar a di dunia sek ar ang menempa t-kan bobot/kepen

tingan kerjasama bila

ter al en -er gi dengan negar a pr odusen di a

tas kerja sama

lainn ya. Sta tus keuangan I ndonesia harus di -per kua t un tuk mendapa t keper ca yaan penjual . K ar

ena itu harus memelihar

a hubungan baik yang sudah ter bina se -belumn ya dengan negar a-negar a Opec .

(16)

2 POLITIK LUAR NEGERI

Besar

Keanggotaan di OPEC meningk

atk an posisi/le -ver age I ndonesia di f orum in ter nasional . OPEC memilik i solidar itas diplomasi y ang tingg i yang dapa t dimanfaa tk an un tuk memperjuang -kan kepen tingan diplomasi I ndonesia. Sebagai sa tu-sa tun ya anggota dar i A sia-P asifik kehadir an I ndonesia diper luk an OPEC. OPEC ser ing dituduh sebagai k ar tel dan dianggap sebagai bi

-ang keladi tingg

in ya har ga min yak . C itr a ini ik ut meng imbas ke Indonesia. M emelihar a hubungan baik yang sudah ter bina sebelumn ya dengan negar a-negar a Opec . M enda yagunak an dan meningk atk an kerjasama/f orum bila t-er al dan multila ter al dengan anggota OPEC maupun dengan negar a-negar a lainn ya seper ti OKI, IEF , D8, Sela tan-sela tan dll . 3 OPINI MAY AR AK AT INDONESIA Besar M asy ar ak at menilai keber adaan I ndo

-nesia di OPEC saa

t ini agak ir onis/aneh kar ena posisi I ndone

-sia sudah sebagai im

-por tir min yak . 4 KERJA SA M A EK ONOMI Sedang

Forum OPEC dapa

t dida yagunak an un tuk me -ningk atk

an kerja sama ekonomi an

tar sesama anggota. B eber apa negar a OPEC memilik i dana yang sanga t besar yang dapa t dimanfaa tk an un tuk in vestasi di I ndonesia. P erusahaan-peru -sahaan I

ndonesia juga ada y

ang ik ut keg iar an pembangunan infr astruktur di negar a-negar a OPEC. . Indonesia kehilangan f orum pen ting un tuk pengembangan

kerja sama eko

-nomi. Namun kerja sama t

etap bisa dilak uk an tanpa jadi anggota. Per lu di -ca ta t bah w a sampai saa ti ini I ndonesia kur ang pr

oduktif dalam memanfaa

tk an pot ensi in vestasi dar i negar a-negar a OPEC di Timur Tengah. K ar ena itu y ang

juga lebih pen

ting adalah kesiapan in

-dustr i dan k alangan bisnis I ndonesia un tuk meng

isi kerja sama ekonomi.

Un

tuk itu agar men

yiapk

an industr

i dan

kalangan bisnis I

(17)

5 STUDI, DAT A D AN INFORM ASI, PELA TIHAN Sedang

Hampir 80% dana dan keg

ia

tan OPEC dicur

ah -kan un tuk melak uk an r iset

, studi dan pen

-gadaan da ta dan inf or masi y ang mutak hir ,

yang juga dapa

t dimanfaa tk an I ndonesia un tuk penen tuan kebijak an ener gi I ndonesia. S ek re -tar ia t OPEC men yelenggar ak an ber bagai pela -tihan dan w or kshop bag i par a ahli dar i negar a anggota. .

Indonesia kehilangan sumber inf

or

masi

yang handal

. I

ndonesia harus mening

-ka tk an par tisipasi di or ganisasi ener gi lainn ya seper ti IEA, IEF , APECEC, A CE dan lainn ya. 6 HAR GA MIN YAK MENT AH Sedang D

ulu sebagai net ekspor

ter I

ndonesia ber

ke

-pen

tingan dengan har

ga min

yak y

ang pan

tas

.

Selain itu ekspor ba

tu bar a dan gas I ndonesia har gan ya t er

kait dengan min

yak

.

Sebagai net impor

ter min yak I ndonesia ti -dak meng ing ink an har ga y ang ter lalu tingg i k ar ena t er kait dengan beban sub

-sidi di dalam neger

i. 7 IUR AN T AHU

-NAN dan bia

ya per -jalanan dele -gasi I ndonesia menghadir i per temuan. Sedang Iur an tahunan sek

itar 2 juta eur

o a

tau hampir

30 mily

ar rupiah per tahun. Iur

an ini cuk up log is kar ena 80% dipak ai un tuk keper luan r iset dan studi ener gi aktuil y

ang juga dapa

t dimanfaa t-kan oleh I ndonesia. S ek itar 25 % iur an I ndone -sia diser

ab kembali oleh ahli2 I

ndonesia y ang bekerja di sana. Iur an dapa t dikompensasi bila -mana mendapa t pasok an min yak y ang lebih mur ah dar

ipada di pasar spot

.

Iur

an ini paling besar

dian tar a semua ke -anggotaan I ndonesia di or ganisasi I nt er -nasional . M asy ar ak at menilai dana t ersebut dapa t dimanfaa tk an un tuk kepen tingan lain. .

(18)

8 PENGARUH DI FORUM OPEC

Kecil

D

engan sta

tus sebagai net impor

ter/pembeli min yak saa t ini. I ndonesia dapa t memposisik an dir in

ya juga sebagai konsumen dan bisa mem

-ber ik an masuk an/pandangan ke f orum OPEC dalam menen tuk an kebijak an OPEC. Posisi I ndonesia mi -nor

itas dan tidak

dapa t member ik an pengaruh y ang sig -nifik an w alau memi -lik i suar a y ang sama.

Indonesia dengan negar

a-negar a ang -gota lainn ya ak an ber

ada pada suasana

tidak n yaman k alau selalu ber beda pan -dangan.

Di luar OPEC, sebagai konsumen I

ndo

-nesia dapa

t lebih bebas member

ik

an

masuk

an un

tuk stabilisasi pasar min

-yak dunia dan dapa

t sebagai media

tor

pihak konsumen dalam dialog kon

-sumen-pr

odusen.

9

LITIGASI OPEC DI NEGAR

A

-NEGAR

A

KONSUMEN (terutama di USA

)

Kecil

OPEC dan NOC n

ya ser ing ditun tut seb -agai k ar tel y ang me -naik kan har ga min -yak . I ndonesia dan Per tamina ik ut t er -ba w a dan harus ik ut

berjuang membela diri.

10

Pemasok

an

tenaga kerja ke negar

a-negar

a OPEC

Kecil

Indonesia memasok t

enaga kerja per

min yak an ter la tih ke negar a-negar a OPEC. A da r encana menjadik an P usdik la t M igas C epu sebagai OPEC C en ter of e xc ellenc e un tuk pendidik an tenaga migas . Kar ena diper luk an oleh negar a-negar a OPEC, pasok an t

enaga kerja tidak ak

an ter ganggu . Hubungan baik y ang sudah ter bina agar terus dipelihar a dan diting -ka tk an.

(19)
(20)

OPEC, Jendela Indonesia Memandang “Halaman”

Suara Karya, Minggu, 31 Juli 2005

T

idak disangkal lagi, saat ini semua bangsa di dunia, terutama China dan AS terus mencari sumber-sumber minyak, baik itu dalam bentuk pembelian produk BBM, atau penanaman investasi mereka di luar negeri. China adalah yang paling gencar melakukan hal itu karena pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat tadi. Di sinilah posisi Indonesia harus jelas, karena kalau Indonesia terus-menerus menjadi penonton dan tidak mengembangkan pencarian minyak, maka posisinya akan terus terjepit. Bahkan untuk membeli minyak pun nanti akan sulit karena semua yang ada di pasaran akan ditelan oleh China dan AS.

Untuk lebih melihat apa yang mesti dilakukan oleh Indonesia dalam konstelasi pergumulan pencarian pasok minyak dunia di market maupun di lapangan-lapangan minyak, dan bagaimana sebaiknya kiprah Indonesia di forum OPEC, berikut wawancara Sabpri Piliang dan fotografer Hedy Suryono dari Suara

Karya dengan Gubernur Indonesia untuk OPEC, Dr Maizar Rahman.

Secara historis, mengapa OPEC ini harus dibentuk, di mana salah satunya Indonesia menjadi negara yang turut mendeklarasikannya?

Terbentuknya OPEC, lebih pada adanya perlawanan negara-negara berkembang terhadap bentuk kapitalisme. Sebab dulunya, sebelum ada OPEC, harga minyak dunia sangat ditentukan oleh perusahaan-perusahaan minyak yang berpusat di Eropa dan AS. Mereka yang disebut dengan seven sister ini sudah seperti kartel yang sangat menentukan harga minyak dunia. Alhasil, negara-negara yang mempunyai kedaulatan di sektor minyak, sangat sedikit menikmati hasil kekayaan alamnya.

Apakah tantangan OPEC, sebagai satu-satunya organisasi negara-negara berkembang, yang paling berat saat itu dan saat ini?

Tantangan OPEC dalam perjalanannya sangatlah berat, saat itu baik internal maupun eksternal OPEC mengalami masa-masa sulit. Di mana secara internal, terdapat konflik di dalam, dan dari luar. Sementara negara-negara industri besar juga menentang OPEC.

(21)

Sebagai negara OPEC, Anda melihat cadangan minyak Indonesia ini hanya berapa persen dari cadangan minyak dunia?

Satu hal yang mesti masuk dalam kerangka berpikir semua rakyat Indonesia, bahwa kita ini bukanlah negara minyak, karena cadangan minyak Indonesia hanyalah 0,4 persen dari total sources dunia, yaitu 1.140 miliar barel. Artinya, minyak kita cuma ada 4 miliar barel. Bandingkan dengan Arab Saudi 250 miliar barel.

Kalau begitu dengan sebegitu kecilnya cadangan kita, untuk apa Indonesia tetap ada di OPEC? Bukankah itu mubazir?

Persoalannya bukan sesederhana itu. Memang dari sisi produksi kita ini nomor dua terkecil setelah Qatar. Namun, keberadaan Indonesia di OPEC akan banyak manfaatnya dalam hal -- salah satunya -- mempercepat koneksi untuk mendapatkan pasokan minyak di saat kita perlu.

Artinya, Anda ingin mengatakan bahwa keberadaan Indonesia di OPEC untuk menjaga Indonesia dalam kompetisi percarian minyak besar-besaran seperti saat ini?

Prinsipnya, hubungan dengan negara-negara OPEC tidak boleh kita lepaskan karena berkaitan dengan ketatnya kompetisi pencarian minyak di market antara China dan AS saat ini.

Anda setuju, kalau keberadaan Indonesia di OPEC saat ini semata-mata karena faktor sejarah?

Indonesia menjadi negara OPEC sejak tahun 1962, sehingga kalau dihitung sampai saat ini sudah sekitar 43 tahun, dan ini harus dipertimbangkan. Sehingga, adalah benar, kalau keanggotaan kita di OPEC tersebut sudah merupakan bagian dari sejarah OPEC itu sendiri. Sehingga, teman-teman OPEC lainnya menganggap Indonesia itu bukanlah sembarangan anggota. Indonesia adalah full founder, dan mereka meminta kita tetap berada di OPEC dalam keadaan produksi Indonesia saat ini.

Melihat produksi minyak kita yang hanya sekitar 1.025.000 juta bph, dan cenderung sudah menjadi net oil importer, apakah ada suara-suara anggota OPEC untuk mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan?

(22)

Dari segi legal dan diatur dalam statuta OPEC, Indonesia merupakan full member, yang dalam kondisi apa pun serta sampai kapan pun tidak akan bisa diutak-atik untuk dikeluarkan dari OPEC. Sebagai perbandingan, untuk menjadi anggota OPEC itu memiliki ketentuan dan syarat yang berat, yaitu harus net exporter dan di samping itu sebelumnya mereka harus disetujui oleh anggota yang full member. Setelah itu, baru dia diterima.

Karena Indonesia sudah menjadi full member, dan tidak dikenai peraturan harus net exporter, maka Anda berasumsi tidak menjadi keharusan bagi Indonesia untuk keluar dari OPEC?

Betul, kalau memang tidak ada keharusan, mengapa kita mesti keluar. Di samping itu, banyak manfaatnya kita untuk tetap berada di OPEC.

Sebenarnya dari sisi OPEC, apakah tetap mempunyai kepentingan untuk mempertahankan Indonesia berada di forum tersebut?

Indonesia selama ini dianggap banyak berperan dalam menjalankan fungsi mediasi terhadap negara-negara lain untuk kepentingan OPEC. Lebih-lebih ketika Subroto masih menjabat Sekjen OPEC. Di samping itu, Indonesia merupakan satu-satunya jembatan OPEC yang berada di Asia, dalam pengertian Asia di Timur Jauh.

Selain itu, apalagi yang menjadi dasar pertimbangan strategis OPEC untuk tetap mempertahankan Indonesia dalam forum ini?

Indonesia itu memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia. Jumlah ini jauh lebih besar dari jumlah penduduk Muslim negara-negara OPEC lainnya, sehingga ini menjadi pertimbangan yang kokoh bagi seluruh anggota OPEC. Lagi pula, kalau Indonesia keluar, maka OPEC akan menjadi organisasi negara-negara Arab penghasil minyak (OAPEC-sambil bergurau-red).

Jadi, kepentingan Indonesia tetap berada di OPEC sangat diperlukan oleh OPEC sebagai kepentingan politis dan menjaga keseimbangan?

Saya pikir asumsi itu tidak salah, karena OPEC melihatnya tidak hanya dari sisi ekspor saja, namun juga menyangkut kepentingan diplomasi.

Anda bisa memberikan alasan mendasar dan bisa diterima logika, mengenai pentingnya Indonesia tetap berada di OPEC?

(23)

Karena, tidak semua pihak memahami kalau keberadaan Indonesia di sana semata-mata karena kepentingan historis dan diplomasi saja.

Ya, sekalipun kita tidak berkepentingan lagi dengan ekspor minyak, namun kita sangat berkepentingan dengan harga minyak yang bagus karena Indonesia termasuk salah satu negara pengekspor gas.

Karena itu Indonesia masih tetap diperhitungkan banyak pihak?

Keberadaan Indonesia di OPEC sekali lagi saya katakan sangat diperhitungkan oleh banyak orang di luar negara OPEC. Sebab, efek tersebut akan dibawa Indonesia dalam Asian Energy Meeting, misalnya. Selaku anggota OPEC, kita akan bisa menjalankan fungsi kepanjangan tangan OPEC dalam hal mediasi. Apalagi, masalah energi ini merupakan soal hidup, sehingga posisinya sangat penting bagi masyarakat luas.

Melihat betapa pentingnya masalah energi, banyak negara yang mengesampingkan soal politik asal kepentingan energinya bisa dipecahkan?

Itu sangat betul. Kita bisa mengambil contoh negara India dan Pakistan yang sudah lama bertikai soal Kashmir, jelas mengesampingkan masalah politik. Hal ini tampak dari kebutuhan India akan gas dari Irak, maka dia membuat saluran pipa dari India melewati Pakistan. Kesepakatan mereka capai, Pakistan membolehkan namun Pakistan mendapat bagian dari gas tersebut lewat investasi India.

Itu berarti energi bisa jadi juru damai bagi bangsa-bangsa di dunia?

Memang begitu, energi sangat dimungkinkan menjadi juru damai bagi bangsa-bangsa di dunia ini. Apalagi, 75 persen minyak dunia berasal dari OPEC. Jadi, mengapa Indonesia mesti meninggalkan OPEC?

Tapi dengan membayar 2 juta dolar AS, tentu terlalu besar bagi Indonesia dalam keadaan seperti saat ini?

Katakanlah, negara OPEC jumlahnya 11 dikalikan dua juta dolar. Sebanyak 80 persen dari 22 juta dolar tersebut dipakai untuk kepentingan riset energi dan riset oil market. Kalau kita melakukan riset sendiri maka Indonesia akan sangat berat.

(24)

Kalau begitu singkatnya keberadaan kita di OPEC bagi kepentingan jangka panjang kita?

OPEC merupakan jendela bagi Indonesia untuk memandang dunia lain di halaman dunia sekitarnya. OPEC juga menjadi acuan kita untuk melihat isu-isu global yang ada di dunia. Sebab, kalau tidak, dari mana kita bisa dapat informasi? ***

Salah satu sidang Konferensi OPEC, 2004, dipimpin oleh Presiden OPEC, Purnomo Yusgiantoro, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia

(25)

Keamanan, Kebijakan, dan Diplomasi Energi

Warta Ekonomi No 11/XX/26 Mei 2008

S

etelah terdampar di pulau, Robinson Crusoe sibuk mencari kayu dan membuat api untuk memasak makanannya. Kisah klasik ini mengilustrasikan bahwa, di samping makanan, energi juga merupakan komoditas pokok manusia. Sejarah berbagai negeri maju serta berbagai peperangan menunjukkan bahwa energi merupakan mesin pertumbuhan ekonomi dan pendukung mesin perang yang menentukan harga diri suatu bangsa. Keamanan energi merupakan kondisi pokok yang harus dipunyai oleh setiap negara.

Keamanan energi makin penting seiring kenaikan harga minyak yang di luar kemampuan negara kita untuk menyerapnya. Oleh karena itu, langkah-langkah ke kemandirian atas pengelolaan energi harus dipercepat, terutama dengan mengembangkan sumber-sumber sendiri, sambil juga mengamankan sumber-sumber impor energi.

Tahun 2006, Presiden RI menetapkan Kebijakan Energi Nasional untuk mewujudkan keamanan pasokan di dalam negeri. Didasarkan pada sumber-sumber yang kita miliki, kebijakan tersebut menetapkan sasaran energy mix tahun 2005 dengan porsi konsumsi minyak ditargetkan turun menjadi 20% (dari 54% dewasa ini), gas bumi naik menjadi 30%, batu bara naik menjadi 33%. Selain itu, bahan bakar nabati harus dapat berperan sebesar 5%, panas bumi 5%. Selain itu, dimanfaatkan juga energi lainnya, seperti nuklir, biomassa, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin, menjadi 5%. Bahan bakar minyak dari batu bara yang dicairkan harus dikembangkan sekurang-kurangnya sebesar 2%.

Ketersediaan cadangan minyak terbukti Indonesia hanya 4,3 miliar barel atau untuk 10 tahun konsumsi, masa yang cukup singkat. Sementara itu, pertambahan cadangan baru, seperti di banyak negara lainnya, juga sangat kecil. Dengan sumber minyak dalam negeri yang terbatas, Indonesia ke depan masih harus mencari sumber-sumber di luar negeri, baik dengan pengusahaan sendiri maupun impor.

(26)

Dunia sendiri kesulitan memperoleh sumber energi yang mudah. Penduduk dunia menjadi lebih dari 8 miliar jiwa pada tahun 2030 dari 6,5 miliar jiwa dewasa ini. Jika diikuti pertumbuhan ekonomi, maka ini akan menaikkan konsumsi energi menjadi 120 miliar ekuivalen barel minyak per tahun. Lebih dari 80% dari energi primer dunia masih akan berupa energi fosil (minyak, gas, dan batu bara) dan porsi minyak masih tetap dominan. Pada tahun 2030, dunia akan memerlukan minyak sebesar 116 juta barel/hari, dibanding 87 juta barel/hari dewasa ini. Dengan cadangan terbukti minyak dunia hanya sekitar 1,2 triliun barel, tentu ketersediaan pasokan minyak hanya untuk 30 tahun. Ke mana mencari sumber-sumber baru? Dunia makin cemas karena, jika dipetakan, sebagian besar negara-negara dunia adalah pengimpor minyak. Hanya Timur Tengah, Rusia, serta sedikit wilayah di Afrika dan Amerika Latin yang kelebihan minyak alias eksportir. Kawasan Asia, Eropa, dan Amerika ternyata negatif dalam neraca minyaknya sehingga semua mata tertuju ke Timur Tengah untuk mengamankan masa depan pasokan minyak mereka. Mereka menyadari bahwa pengamanan dan stabilitas pasokan energi tidak dapat hanya mengandalkan kekuatan dan mekanisme pasar. Ini tercermin dari politik dan diplomasi mereka.

Diplomasi Energi Mancanegara

India akan mengalirkan gas dari Iran, yang memiliki salah satu cadangan gas besar dunia. Iran akan mendapatkan pasar potensial bagi gasnya sekaligus “teman” di kancah politik internasional. Gas harus dialirkan melewati Pakistan dan negara ini, yang juga memerlukan gas, akan mendapat sewa tanah dan sewa ribuan kilometer pipa. Ketidaksenangan Washington dijawab India bahwa urusan bilateral mereka tidak boleh dicampuri siapa pun. Kerja sama ini menunjukkan bahwa energi memberikan prioritas paling atas kepada diplomasi suatu negara.

Cina baru-baru ini memberikan pinjaman investasi sebesar US$40-50 miliar untuk pembangunan infrastruktur di Nigeria, yang tentu dengan harapan memperoleh akses ke lapangan-lapangan minyak di Nigeria. Hal ini mengingat ketergantungan Cina terhadap minyak impor akan lebih dari 60% pada 2010 dan akan terus membesar. Cina juga menetapkan Timur Tengah

(27)

sebagai kepentingan strategis utama sehingga harus mengedepankan perdagangan dan hubungan ekonomi yang terpusat pada minyak dengan kawasan tersebut.

Jepang, Korea, dan negara-negara konsumen pada umumnya melakukan upaya diplomasi yang sama dengan mengandalkan kekuatan ekonomi, pendanaan, dan teknologi mereka.

Sudah dua kali Presiden Amerika Serikat George Bush Jr. mengunjungi Arab Saudi, meminta negara tersebut menaikkan produksi. Bahkan, anggota Kongres Amerika Serikat sudah minta untuk mengaitkan pasokan senjata dengan produksi minyak kepada negara-negara Timur Tengah.

Berbagai aliansi maupun kerja sama sudah tercipta, baik antarnegara produsen energi dalam rangka mengamankan harga energi, maupun antarnegara produsen dan konsumen dalam rangka mengamankan pasar dan pasokan energi dari masing-masingnya, dan antarnegara konsumen sendiri dalam rangka mengatasi krisis energi. Uni Eropa, misalnya, menciptakan kebijakan energi bersama yang menuju kepada pasar tunggal. Pasar tunggal akan menciptakan kompetisi yang menciptakan efisiensi dan harga energi yang lebih murah.

Semua gerakan diplomasi tersebut menunjukkan bahwa komoditas minyak dan gas tidak telepas dari interaksi politik antarnegara dan setiap negara sudah menyusun strategi diplomasi energinya.

Apa yang bisa ditawarkan Indonesia dalam kompetisi diplomasi energi tersebut?

Undang-Undang Energi yang disahkan tahun 2007 menyatakan bahwa untuk menjamin ketahanan energi nasional dapat dilakukan kerja sama internasional di bidang energi. Namun, Indonesia tidak sekuat negara-negara maju dalam pendanaan, teknologi, serta kekuatan ekonomi lainnya sehingga harus mencari aspek-aspek lain yang dapat dipakai sebagai kekuatan tawar. Misalnya, memperbesar investasi negara eksportir minyak di Indonesia di berbagai sektor.

Lalu, meningkatkan kerja sama energi ASEAN untuk ketahanan energi kawasan, memelihara solidaritas antarnegara berkembang seperti OKI dan

(28)

kesetiakawanan yang sudah terbina selama ini seperti dengan OPEC, dan kerja sama lainnya.

Para menteri OPEC sesudah sidang Konferensi OPEC di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, 5 Desember 2007. Delegasi Indonesia dipimpin Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro.

(29)

OPEC dan Indonesia

Suara Pembaruan 9 Juni 2008

O

rganisasi negara- negara pengekspor minyak (OPEC) didirikan pada 1960 dengan tujuan mengembalikan penguasaan sumber daya alam minyak kepada kedaulatan pemiliknya, yang umumnya negara berkembang. Organisasi ini, menurut anggaran dasarnya, bertujuan menyatukan kebijakan serta melindungi kepentingan anggotanya.

Upaya organisasi ini adalah menstabilkan harga di pasar internasional dan mencegah fluktuasi, mengamankan penerimaan minyak yang tetap untuk anggota sambil menjamin pasokan yang teratur, efisien, dan ekonomis kepada negara-negara konsumen, serta memperhatikan keuntungan yang pantas bagi investor.

Diciptakannya sistem price band yang menstabilkan harga pada kisaran 22-28 dolar per barel, yang cukup berhasil pada 2000-2003, membuktikan organisasi ini lebih mengutamakan stabilitas daripada harga yang tinggi. Sistem tersebut kemudian tidak lagi efektif sejak 2004 karena walaupun untuk meredam harga OPEC sudah menaikkan produksi beberapa kali sampai kapasitas maksimalnya, harga terus melonjak tidak tertahankan sampai sekitar 130 dolar sekarang ini. Ini menunjukkan bahwa asas OPEC, yang berpegang pada pengendalian keseimbangan pasokan dan permintaan, tidak lagi berdaya oleh faktor-faktor non-fundamental lain yang lebih dominan seperti geopolitik dan spekulasi.

OPEC sering dianggap sebagai kartel negara-negara penghasil minyak, yang pada kenyataannya jauh dari praktik kartel murni. Semangat solidaritas negara berkembang telah mendorong ‘kartel’ ini mendirikan OPEC Fund untuk membantu proyek-proyek ekonomi dan sosial negara-negara miskin yang terkena imbas tingginya harga minyak.

Sampai saat ini sekitar US$ 9,5 miliar sudah disetujui dan sebagian besar sudah disalurkan. Walau bantuan lebih ditujukan kepada negara-negara di luar

(30)

OPEC, namun pada waktu Aceh dilanda tsunami OPEC Fund juga langsung menyumbang sebesar setengah juta euro melalui Palang Merah Internasional. Indonesia memasuki OPEC pada 1962 karena melihat perjuangan OPEC adalah perjuangan negara ketiga dan juga Indonesia pada waktu itu sudah mulai mengekspor minyak, sehingga memiliki kepentingan yang sama dengan negara-negara anggota OPEC lainnya. Indonesia menikmati kenaikan harga dari US$ 2 per barel menjadi US$ 12 setelah embargo minyak perang Arab-Israel, 1974. Harga yang bagus tersebut sangat membantu pembangunan Indonesia.

Keanggotaan di OPEC meningkatkan posisi Indonesia di forum internasional, karena OPEC merupakan organisasi yang sangat disegani di antara organisasi- organisasi negara-negara berkembang. OPEC memiliki solidaritas diplomasi yang tinggi, yang sering dimanfaatkan untuk diplomasi Indonesia menghadapi permasa- lahan nasional, seperti HAM dan integritas nasional. Sekretariat OPEC bertempat di Wina, Austria, yang menjalankan kegiatan riset energi dan riset pasar minyak untuk mendukung kebijakan dan strategi organisasi ini. Indonesia saat ini menempatkan empat tenaga ahlinya. Pembiayaan lembaga ini diambil dari iuran anggota masing-masing sekitar 2 juta euro per tahun. Dilihat dari bobot kegiatan riset yang dilakukan, yang hasilnya dapat dinikmati semua anggota, jumlah tersebut sangatlah wajar. Makin merosotnya produksi minyak negara-negara non-OPEC (suatu gejala global yang juga ikut melanda Indonesia), dan tidak ditemukannya lagi lapangan-lapangan minyak raksasa selama 20 tahun terakhir ini, membuat OPEC akan menjadi lebih dominan di masa depan. Hanya Timur Tengah, Rusia, serta sedikit wilayah di Afrika dan Amerika Latin yang kelebihan minyak alias eksportir. Kawasan Asia, Eropa, dan Amerika ternyata negatif dalam neraca minyak, sehingga semua mata tertuju ke Timur Tengah untuk mengamankan masa depan pasokan minyak mereka. Mereka menyadari bahwa pengamanan dan stabilitas pasokan energi tidak dapat hanya diandalkan kepada kekuatan dan mekanisme pasar. Ini tercemin dari politik dan diplomasi energi mereka kepada negara-negara pemilik minyak tersebut.

(31)

Selama 10 tahun terakhir, Indonesia menghadapi penuaan lapangan minyak, penurunan produksi, dan makin sukarnya ditemukan lapangan minyak baru. Setelah mencapai puncaknya pada 1996, produksi Indonesia terus menurun sesuai karakter alamiah, sementara makin sukar mencari wilayah eksplorasi baru. Kegiatan eksplorasi makin ditingkatkan, namun hasil yang signifikan baru akan dirasakan dalam kurun waktu 5-7 tahun ke depan.

Dari produksi minyak Indonesia kurang dari 1 juta bph (barel per hari), dewasa ini, Indonesia hanya memiliki sekitar 60-70 persen dan sisanya porsi biaya produksi dan hak mitra bagi hasil. Dengan konsumsi Indonesia yang lebih dari satu juta bph BBM, harus diimpor 300.000 bph minyak mentah dan 400.000 bph BBM, yang artinya secara keseluruhan Indonesia sudah benar-benar menjadi net importer. Oleh karena itu, kepentingan Indonesia sudah bergeser dari net exporter menjadi net importer.

Konflik Kepentingan

Berkaitan dengan itu, dewasa ini status di luar OPEC dianggap lebih pas bagi Indonesia. Pertama, menghindari konflik kepentingan dalam forum OPEC. Dalam situasi sekarang Indonesia merasa sangat canggung berada satu meja dengan para eksportir. Kedua, keluarnya Indonesia dari keanggotaan OPEC diharapkan lebih menyadarkan masyarakat bahwa negara kita bukan lagi “kaya raya” dengan minyak, tapi sudah sebagai pengimpor, sehingga harus lebih terpacu untuk meningkatkan efisiensi serta mengembangkan energi alternatif yang cukup banyak di negeri ini.

Dalam sejarah OPEC yang hampir mencapai 50 tahun, OPEC dan dunia mengakui peran penting Indonesia dalam masa-masa sulit organisasi ini, antara lain, dalam membina hubungan antara negara produsen dan konsumen demi mencari jalan stabilisasi pasar minyak dunia. Figur-figur Indonesia dikenal sebagai mediator yang tangguh. Sebagai negara besar dan satu-satunya anggota dari Asia Timur Jauh, OPEC menganggap posisi Indonesia sangat strategis di organisasi itu. Indonesia sudah dianggap sama seperti founding members karena di samping peran historisnya, negara kita juga salah satu anggota tertua. OPEC akan merasa sangat kehilangan salah

(32)

satu anggotanya yang terbaik, tapi tetap dapat memahami dan menghormati keputusan Indonesia.

Keluar dari OPEC bukan kata mati, karena itu bergantung pada dinamika kepentingan kita. Misalnya Ekuador, setelah 15 tahun keluar, tahun lalu masuk lagi ke organisasi ini. Indonesia dapat saja melakukan hal yang sama pada saat yang tepat dan diperlukan. Yang penting, dalam status masih di luar OPEC, strategi Indonesia adalah memelihara persahabatan dengan negara-negara anggota OPEC, yang sudah sangat baik secara bilateral maupun multilateral. Indonesia tetap dapat menawarkan peran ke OPEC dalam stabilisasi pasar minyak dunia, antara lain, sebagai jembatan antara produsen dan konsumen, khususnya negara-negara berkembang.

Ke depan, Indonesia akan memerlukan tambahan impor minyak mentah yang tidak dapat diperoleh hanya dengan pendekatan bisnis. Kedekatan Indonesia dengan OPEC dapat merupakan posisi tawar dalam berkompetisi dengan negara-negara konsumen lainnya yang menawarkan dana investasi, teknologi ataupun peralatan pertahanan untuk mendapatkan pasokan minyak jangka panjang dari negara-negara OPEC.

Beberapa negara OPEC memiliki dana yang sangat besar yang juga sangat ingin berinvestasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan Indonesia juga sudah mulai ikut kegiatan pembangunan infrastruktur, perdagangan, dan pemasokan tenaga kerja ahli di negara-negara OPEC .

Jadi, dengan banyaknya kepentingan kerja sama di bidang diplomasi, ekonomi, dan investasi, walaupun bukan lagi anggota, namun pemeliharaan dan peningkatan persahabatan Indonesia dengan negara-negara OPEC merupakan kemestian.

(33)

Forecast Of The World Oil and Gas Market Development

By Dr Maizar Rahman, Indonesian Governor for OPEC, Acting for the OPEC Secretary General on behalf of Dr Purnomo Yusgiantoro, OPEC President and Secretary General and Minister of Energy and Mineral Resources for Indonesia. The 4th Russian Oil and Gas Week, Moscow, Russia 26–28 October 2004

Excellency’s, ladies and gentlemen,

I should like to begin by thanking the organizers for inviting me to address this opening plenary session of the 4th Russian Oil and Gas Week, here in Moscow. As this vast country’s petroleum sector continues to play a growing role on the world stage, so do the importance and relevance of this event establish themselves on the international energy calendar.

At the present time, the eyes of the world are focused on the near-term outlook, due to the volatile state of the international oil market. This is understandable. However, as I am sure all of us here today appreciate, this constitutes only part of the challenge facing us. We are also committed to the future of the industry. And so, during this address, I shall be looking at both the present and future outlooks, which are, of course, linked. My remarks will focus on oil, because this is OPEC’s principal area of interest.

The current market volatility and high prices have been a major cause for concern among OPEC’s Member Countries. Prices for OPEC’s Reference Basket of seven crudes have recently reached record levels, since this yardstick was introduced in January 1987. They rose above US $45 a barrel for the first time earlier this month; this compares with an average level of $25.8/b from the inception of the OPEC price band in 2000 through 2003. In other words, the average was close to the centre of the $22–28/b price band during that period, and this won wide acceptance among producers and consumers, as being both fair and reasonable.

We see a combination of factors contributing to the rising price trend this year — even though, throughout, the market has remained well-supplied with crude and fundamentals have been sound: higher-than-expected oil demand growth, especially in China and the USA; refining and distribution

(34)

industry bottlenecks in some major consuming regions, coupled with more stringent product specifications and compounded by the recent hurricanes in the Americas; and the present geopolitical tensions and concern about adequacy of spare capacity to meet possible supply disruptions. Combined, these factors have led to fears about a possible future supply shortage of crude oil, which, in turn, have resulted in increased speculation in the futures markets, with substantial upward pressure on prices.

To help restore order and stability, OPEC raised its production ceiling twice, at Meetings of our Ministerial Conference on 3 June and 15 September. The total rise for OPEC-10 (that is, OPEC excluding Iraq) was 3.5 million barrels a day, to take the ceiling to 27.0 mb/d, with the final increase of 1.0 mb/d coming into effect on 1 November. These decisions were taken, even though our assessments had indicated that there was sufficient crude already in the market and that Member Countries were already pumping out levels of crude well above previous ceilings. It was believed that, as well as the actual physical fact of agreeing to these big increases in supply, such actions, in themselves, would also send a powerful psychological signal that OPEC was ready to act in order to help stabilise prices.

With regard to the ability to meet rising demand in the short-to-medium term, OPEC has spare production capacity of around 1.5–2.0 mb/d, which would allow for an immediate additional increase in production. Furthermore, in response to the expected demand growth in the near future, Member Countries have plans in place to further increase capacity by at least 1 mb/d towards the end of this year and through 2005. In addition, plans for additional capacity expansion are available and could be enacted soon; however, this capacity would, typically, become available around 18 months after commencement of this process.

Nevertheless, in saying all this, it must be pointed out that our latest studies show that, for the third quarter, the market was over-supplied by nearly 2 mb/d and that this trend was being continued into the fourth quarter, although to a lesser extent, due to demand seasonality and other factors. A further Extraordinary Meeting of the Conference is scheduled for 10

(35)

December in Cairo, to review market developments and, if necessary, adjust the production ceiling agreement accordingly.

OPEC keeps a close watch, at all times, on energy market developments, as part of its ongoing research activities, at its Vienna-based Secretariat. This covers all reasonable time-horizons — the short term, the medium term and the long term. The purpose is to provide the Organization’s Oil Ministers with the necessary high-quality support material for their decision-making on market issues, whether this be for their short-term production agreements or for their deliberations on important longer-term issues. The objective throughout is to achieve and maintain market order and stability, with reasonable prices, steady revenues, secure supply and fair returns for investors.

Let us now look further into the future, to 2025. According to our projections, based on OPEC’s World Energy Model, “OWEM”, the early decades of the 21st century are expected to see fossil fuels account predominantly for increases in world energy demand, with oil continuing to maintain its major role. There is also a clear expectation that the oil resource base is sufficiently abundant to satisfy this demand growth.

Our reference case sees average annual world economic growth of 3.6 per cent over the period 2003–25, with the most rapid rates being in the developing countries, particularly China, which has a projected figure of 6.4 per cent. The average annual rate of 5.0 per cent for the developing countries is double the OECD’s 2.5 per cent, for the period up to 2025.

Global oil demand is projected to rise by 38 million barrels a day to 115 mb/d by 2025 — annual average growth of 1.6 mb/d, or 1.7 per cent, over the years 2002–25. OECD countries will continue to account for the largest share of oil demand. However, almost three-quarters of the increase in demand up to 2025 will come from developing countries, whose consumption will almost double. Asian countries will remain the key source of demand increase in the developing world, with China and India central to this growth.

At the global level, the transportation sector accounts for about 60 per cent of the rise in demand in 2000–25. This will amount to nearly all the growth in transition economies, almost four-fifths of it in the OECD and close to half in

(36)

developing countries. The industrial and household/commercial/agriculture sectors will also be important sources of growth in the developing world. Turning to the oil supply outlook, in the short-to-medium term, overall non-OPEC supply is expected to continue to increase, reaching a plateau of 55–57 mb/d in the post-2010 period. This represents an increase of 7–9 mb/d from 2002, although the eventual scale of this future expansion is subject to considerable uncertainty. The key sources for the increase in non-OPEC supply will be Latin America, Africa, Russia and the Caspian.

This will all result in OPEC being increasingly called upon to supply the incremental barrel. OPEC has both the capability and the will to do this. Around four-fifths of the world’s proven crude oil reserves are located in OPEC’s Member Countries, although these 11 states account for only about two-fifths of current world output. Moreover, these reserves are more accessible and cheaper to exploit than those in non-OPEC areas. In 2025, OPEC is projected to meet more than half the world’s oil demand, at 51 per cent, with 58 mb/d.

Thus, one of the most basic challenges facing OPEC — as well as other oil producers — is to ensure that sufficient production capacity will be available at all times to help meet the forecast rise in oil demand in the coming years and decades. This brings us onto the subject of investment. However, before discussing this, I should like to say a few words about other energy sources, especially gas.

Order and stability in the oil sector are essential not just for oil, but also for gas. This is because of the linkage between oil and gas prices in major consumer markets, with oil price movements in volatile markets likely to be followed, to some extent, by same-direction gas price movements. Therefore, the case for ensuring that a sound international oil price structure is in place at all times finds further valuable support.

OPEC has a strong base in the gas industry, even though the focus of our Organization is on the oil market. Our Member Countries hold almost half the world’s proven natural gas reserves, with the Islamic Republic of Iran and Qatar being second and third, respectively, to Russia, in global rankings.

(37)

Algeria and Indonesia also place a heavy emphasis on the gas sector, in their hydrocarbon activities.

Gas producers share many of the basic challenges of oil producers. Demand for gas is forecast to rise faster than that of oil, although from a lower base. It is the source of commercial energy that is most favoured by environmentalists, as well as being a reliable and highly efficient source of power generation. Production costs are coming down too.

But the transportation of gas remains expensive, in spite of the big advances that are being made with liquefied natural gas, which are expected to turn it from being a regional to a global fuel. Also, legislation to liberalise energy markets, particularly in the European Union, has been handled without due regard to longstanding agreements with gas suppliers.

The share of gas in the world energy mix is around 23 per cent at the moment and this is expected to climb to 30 per cent by 2025. Even so, this will still be well below the share of oil, which will have dipped slightly from around 40 per cent now to 37 per cent share in 2025. The share of solids — mainly coal — will remain at around 25–26 per cent during this period, while that of hydro, nuclear and renewables, treated as one group in this analysis, will fall by more than two percentage points to eight per cent.

This begs the question: What about the future contribution of renewables? While there is an understandable call to develop renewables, the fact remains that the technology is still in its infancy. Therefore, while the renewable energy industry is being developed, all other available resources, which are friendly to the environment, must also be accessed, enhanced and utilised to meet the energy needs of mankind and support sustainable development. Petroleum has a big role to play in this.

This underlines the need for full and timely investment in oil production capacity. Investment is needed: to meet the forecast absolute increase in demand; to see that exhausted reserves are replaced, as and when necessary; and to ensure that oil-producing nations always have sufficient spare capacity available to cope with sudden, unexpected shortages in supply. Also, the oil

(38)

must be cleaner, safer and more efficient than ever before, to meet the very high expectations of the modern consumer.

This investment will be large — although not necessarily different in magnitude to that observed in the past. However, the magnitude of the required capital injection is far from clear, even in the short and medium terms. This is partly due to the wide range of feasible demand growth scenarios, but it is also reinforced by contrasting views on the potential evolution of non-OPEC production. Uncertainties over future economic growth, government policies and the rate of development and diffusion of newer technologies are among the main factors that lie behind this.

To appreciate the significance of this, one must consider investment lead times that are measured in years rather than months, as well as the importance of “getting it right” i.e. over-investment may result in excessive, costly, idle capacity and under-investment may lead to a shortage of crude and higher prices. In both cases, the losses and the broader collateral damage, such as to the world economy, can be huge.

Producers, in particular, are very concerned about the risk of over-investment, which can prove extremely costly to them. Every effort must be made, therefore, to guard against this, by improving the effectiveness of forecasting and reducing the uncertainties that hinder this process.

Moreover, it is important to note here that, while most people are all-too-familiar with the concept of security of supply, there is also a flip-side to this coin — security of demand. Producers need assurances of stable, predictable markets just as much as consumers require certainty and consistency with supplies.

Also worthy of our attention is the fact that much of the recent price volatility has resulted from problems and bottlenecks in the downstream sector. This is very much the preserve of consuming nations, even though, in recent years, oil producers have been gaining a bigger presence downstream, too. In short, the onus is on the oil community at large to ensure that the market is well-run. A collective approach is required. All responsible parties stand to gain from a stable, orderly market. After all, the starting-point for a sound

(39)

investment strategy is market order and stability today, with reasonable prices. All parties must contribute to this — OPEC and non-OPEC producers, consumers, oil companies, financial institutions, governments and so on. The challenges are too large, too complex and too important to be left to individual, concerned groups. Big advances in dialogue and cooperation have facilitated this process over the past couple of decades, from large-scale international ministerial gatherings, such as the meetings of the now-institutionalised International Energy Forum, to bilateral or regional contacts that extend across national boundaries. Indeed, the establishment of the Forum’s Secretariat in an OPEC Member Country, Saudi Arabia, bears witness to OPEC’s commitment to dialogue and cooperation. Recent years have also witnessed the development of a closer working relationship between OPEC and the International Energy Agency, to exchange ideas and information. Cooperation is not confined to the oil industry, of course. The recent formation of the Gas Exporting Countries Forum recognises the need for discussion of issues of mutual interest to gas producers and its role is likely to grow in the future. Its membership includes seven OPEC Member Countries and Russia. The fact that these eight countries are also leading oil producers brings with it further important benefits, in terms of cooperation across the two closely related petroleum sectors.

OPEC welcomes all of this. The oil and gas industries are much better-off if there is an underlying consensus on the means of handling, at least, the major issues that concern all parties — such as price stability, security of demand and supply, and investment.

This should all be done in a framework of an increasingly globalised industry, where technology is enabling us to make remarkable advances in every field of activity and where the orderly, equitable provision of cleaner, safer energy services is seen as an integral part of sustainable development, the eradication of poverty and the general enhancement of mankind.

(40)

Sidang Konferensi OPEC tahun 2006 di Vienna, dipimpin oleh Presiden OPEC HE Dr Edmund Maduabebe Daukoru, didampingi Acting for Secretary General Mohammad Barkindo dan Chairman

(41)

Oil and the Challenges of the 21

St

Century

Delivered by Dr Maizar Rahman, Indonesian Governor for OPEC, Acting for the Secretary General. The 5th International Oil Summit Paris, France, 29 April 2004

Excellencies, ladies and gentlemen,

Let me begin by expressing the regrets of the President and Secretary General of OPEC, HE Dr Purnomo Yusgiantoro, who is unable to attend the 5th International Oil Summit personally. Dr Purnomo, who is also Indonesia’s Minister of Energy and Mineral Resources, has asked me to speak to you on his behalf on the topic of “Oil and the challenges of the 21st century”. He has directed me to convey his thanks to the organisers for this kind invitation and wishes all those involved every success with the Summit.

As we settle into the new century, we are beginning to get a clearer image of the challenges that will face the oil industry in the coming years and decades. There is broad consensus on the projection that energy demand will continue rising in an era of increasing globalisation, rapid communications and continued advances in technology, but that consumers will want this energy to be as clean and as safe as possible, as well as integrating itself fully into their plans for sustainable development and economic growth.

There is also consensus on the contention that, of the world’s five main commercial energy sources, oil will maintain its present leading role well into the 21st century.

Currently, oil accounts for around 40 per cent of the energy mix. This is because it is a unique commodity, with a combination of attributes which far exceeds that of any other energy source — sufficiency, accessibility, versatility, ease of transport and, in many areas, low costs. These have been complemented by a multitude of practical benefits that can be gained from decades of intensive exploitation and use in the industrial, commercial and domestic fields. Also, advances in technology continue to make oil a cleaner, safer fuel, so that it can meet increasingly tighter environmental regulations, as well as conforming to the broader demands of sustainable development.

Referensi

Dokumen terkait

maka dapat diambil kesimpulan dari penelitian mengenai pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) dan Return On Equity (ROE) terhadap Price Book Value (PBV) pada perusahaan Asuransi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui volume sampah organik; pendapatan yang diperoleh dari produksi kompos; biaya operasional dan pemeliharaan; nilai finansial

Pembatik SD merupakan media pembelajran yang berbeda dari yang lain, dalam hal ini karena media pembelajaran ini mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu sebagai metode pengenalan

Upaya promosi UMMI yang telah dilakukan antara lain ditempuh dengan memberikan iklan penerimaan mahasiswa baru melalui media baik cetak maupun elektronik,

di stradford Inggris. Perkembangan Islam dinegeri itu tidak seperti negara-negara Eropa lainnya. Meskipun demikian, sejak tahun 1984 umat Islam berhasil

Hasil penelitian yaitu ada hubungan perilaku bullying dengan prestasi belajar pada remaja di SMP Muhammadiyah 2 Gamping Sleman Yogyakarta.Saran dalam penelitian

Remaja disabilitas (tunadaksa) di SMP dan SMA SLB Negeri 1 Bantul Yogyakarta sebelum diberikan pendidikan seks sebagian besar memiliki pengetahuan tentang organ

Pemberian infusa daun kacapiring (Gardenia augusta, Merr. ) dengan dosis 1,25 g/kgBB dan 2,50 g/kgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus Wistar yang diberi