KEDUDUKAN
HADIS
MENURUT AL-QUR’AN
Secara global, telah tegak kesepakatan seluruh kaum muslimin dari semua kelompok, mazhab, aliran, dan sekte bahwa Al-Qur’an adalah referensi primer bagi Islam, tidak diketahui adanya perbedaan pandangan terkait dengan perkara ini. Perbedaan yang merebak tengah kaum muslimin yang ditebarkan oleh sebagian sekte-sekte yang menisbatkan diri ke dalam Islam adalah terkait kehujahan hadis Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Ada di kalangan kaum muslimin yang
mengingkari kehujahan sunah, baik mengingkari kehujahannya secara mutlak maupun mengingkari kehujahannya secara parsial, seperti mengingkari kehujahan hadis ahad.
Untuk menelaah masalah ini secara ilmiah, harus merujuk kepada referensi yang telah disepakati secara bersama, dan referensi itu adalah Al-Qur’an, sehingga dapat disimpulkan kedudukan hakiki bagi hadis-hadis Rasulullah dalam syariat Islam menurut perspektif referensi yang telah disepakati ini.
DEFINISI HADIS:
Secara etimologi Bahasa Arab, kalimat hadis memiliki beberapa makna. Namun jika ditinjau maknanya secara terminologi para ulama pakar hadis, maka yang lebih dekat adalah makna ucapan dan kabar, sebagaimana firman Allah azza wajalla,
ﺎًﺜﻳِﺪﺣ ﻪﻟا ﻦﻣ قَﺪﺻا ﻦﻣو
“Dan siapakah lebih benar perkataannya dari pada Allah?” (QS. An-Nisa: 87)Adapun makna kabar, maka sebagaimana firman Allah azza wajalla,
“Mereka (Ahli Kitab) bertanya, ‘Apakah kalian kabarkan kepada mereka apa yang telah Allah azza wajalla terangkan kepada kalian?’” (QS. Al-Baqarah: 76)
Adapun secara terminologi para pakar hadis, makna hadis adalah semua perkara yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, atau sifat (bentuk tubuh atau akhlak) bahkan semua gerakan dan diam beliau, baik ketika dalam keadaan sadar maupun bermimpi.[1]
Definisi di atas adalah definisi yang paling luas bagi hadis secara terminologi. Definisi di atas akan lebih sempurna jika dibatasi dengan kalimat “setelah era kenabian” untuk mengeluarkan semua informasi yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad sebelum beliau dinobatkan menjadi seorang nabi, sebagaimana yang dilakukan oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyah dalam definisinya.[2]
DEFINISI SUNAH:
Selain istilah hadis, ada kalimat yang lain yang kerap digunakan oleh para ulama, yaitu istilah sunah. Oleh karena itu perlu dikaji juga makna kalimat ini karena dalam artikel ini akan banyak berinteraksi dengan istilah ini.
Kalimat sunah secara etimologi bermakna tatacara dan perilaku.[3]
Adapun secara terminologi para ulama hadis istilah sunah adalah sinonim bagi istilah hadis.[4]
Namun ada sebagian dari para ulama yang membedakan antara hadis dengan sunah, di antaranya disebabkan karena perbedaan makna hadis dan sunah secara etimologi sehingga sebagian ulama menarik kesimpulan bahwa istilah hadis berlaku untuk ucapan dan perbuatan yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, adapun istilah sunah berlaku untuk perbuatan-perbuatan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam semata.[5]
dibandingkan dengan istilah sunah,[6] perinciannya: istilah sunah berlaku untuk ucapan, perbuatan, persetujuan yang dikerjakan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tujuan pensyariatan atau sebagai bentuk suri teladan bagi umatnya, adapun istilah hadis berlaku untuk seluruh yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara umum berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat-sifat, baik beliau melakukannya dengan tujuan untuk pensyariatan, maupun beliau kerjakan karena faktor kebiasaan dan kebutuhannya sebagai manusia seperti tidur, makan, minum, berpakaian, dan lain sebagainya.[7]
Alhasil, kendati sebagian ulama memandang ada dikotomi antara istilah hadis dan sunah, namun yang lebih populer adalah pendapat para ulama pakar hadis yang memandang tidak ada perbedaan antara istilah hadis dan sunah, hal tersebut disebabkan karena dua hal:
Pertama: Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam didaulat sebagai
suri teladan bagi umat manusia dalam segala hal, sebagaimana firman Allah azza wajalla,
مﻮﻴْﻟاو ﻪﻟا ﻮﺟﺮﻳ َنﺎﻛ ﻦﻤّﻟ ٌﺔَﻨﺴﺣ ٌةﻮﺳا ﻪﻟا ِلﻮﺳر ﻓ ﻢَﻟ َنﺎﻛ ْﺪَﻘَﻟ
ًاﺮﻴﺜﻛ ﻪﻟا ﺮﻛَذو ﺮﺧا
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir, dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)Teladan ini berlaku untuk perkara yang berkaitan dengan syariat maupun berkaitan dengan perkara-perkara manusiawi, sebab tidak seorangpun dari kaum muslimin yang memungkiri kemuliaan dan keutamaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua: membedakan antara ucapan dan perbuatan yang dilakukan
Rasulullah yang ditujukan untuk menjelaskan syariat atau mengerjakan perkara tersebut hanya sebatas disebabkan karena faktor kebiasaan dan kebutuhan sebagai manusia cukup rumit. Faktanya, cukup banyak
perbuatan dan ucapan Rasulullah yang ranahnya adalah kebiasaan atau kebutuhan sebagai manusia namun mengandung persyariatan, seperti makan dan minum dengan tangan kanan, larangan isbal dalam berpakaian, memakai pakaian berwarna putih, larangan memakai emas dan kain sutera bagi pria, dan sebagainya. Maka cukup riskan bagi masyarakat jika banyak mengangkat permasalahan dikotomi terkait istilah sunah dan hadis di tengah mereka.
KEDUDUKAN HADIS MENURUT PERSPEKTIF
AL-QUR’AN:
Sebelum lebih dalam mengupas masalah ini, perlu dipaparkan bahwa Al-Qur’an telah menobatkan Muhammad shallallah ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya sehingga beliau memiliki otoritas terkait pensyariatan, maka dapat disimpulkan bahwa secara prinsip hukum asal dari ucapan, perbuatan, persetujuan beliau adalah dalam rangka untuk menjelaskan syariat yang dibebankan kepada beliau. Oleh karena itu telah datang perintah ilahi untuk mematuhi beliau secara mutlak sebagaimana firman Allah azza wajalla,
ﻪﻟا ﱠنا ﻪﻟا اﻮُﻘﱠﺗاو اﻮﻬَﺘْﻧﺎَﻓ ﻪْﻨﻋ ﻢﻛﺎﻬَﻧ ﺎﻣو هوُﺬُﺨَﻓ لﻮﺳﺮﻟا ﻢﻛﺎَﺗآ ﺎﻣو
ِبﺎَﻘﻌْﻟا ُﺪﻳِﺪَﺷ
“Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kalian maka kerjakanlah, dan apa yang Rasulullah larang bagi kalian maka tinggalkanlah!” (QS. al-Hasyr: 7)Cukup banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk patuh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Berpijak pada ayat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh yang diwariskan oleh Rasulullah bagi umatnya (berupa hadis) memiliki kedudukan yang tinggi menurut timbangan Al-Qur’an.
Namun untuk menanamkan pengagungan kaum muslimin terhadap hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kita paparkan
beberapa kedudukan hadis menurut perspektif Al-Qur’an.
HADIS ADALAH WAHYU.
Dalil bagi fakta ini adalah firman Allah azza wajalla,
ﺣﻮﻳ ﺣو ﻻا ﻮﻫ ْنا
ىﻮﻬْﻟا ﻦﻋ ﻖﻄْﻨﻳ ﺎﻣو
“Dan tidaklah yang diucapkan atas dasar hawa nafsu, namun dia adalah wahyu yang wahyukan kepadanya.” (QS. Al-Najm: 2-3)Para pakar tafsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah dalil bahwa hadis-hadis Nabi adalah wahyu sebagaimana Al-Qur’an, sebagaimana ditetapkan oleh al-Qurthubi,[8] Ibnu Katsir,[9] dan Syekh Abdurrahman al-Sa’di.[10]
Di antara dalil bagi kedudukan ini adalah firman Allah azza wajalla,
ﻞﻀَﻓ َنﺎﻛو ﻢَﻠﻌَﺗ ﻦَﺗ ﻢَﻟ ﺎﻣ َﻚﻤﱠﻠﻋو َﺔﻤﺤْﻟاو بﺎَﺘْﻟا َﻚﻴَﻠﻋ ﻪﻟا لﺰْﻧاو
ﺎﻤﻴﻈﻋ َﻚﻴَﻠﻋ ﻪﻟا
“Dan Allah telah menurunkan Al-Qur’an dan hikmah (sunah) kepadamu, dan mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui, sesungguhnya karunia yang Allah limpahkan kepadamu sangat besar.” (QS. al-Nisa: 113)Interpretasi dari kalimat al-hikmah yang tertera dalam ayat diatas adalah sunah, diantara ulama yang menginterpretasikan kalimat tersebut dengan sunah adalah imam Syafi’i, beliau mengatakan:
ﻦﻣ ﺿرأ ﻦﻣ ﺖﻌﻤﺴﻓ ﺔﻤﺤﻟا ﺮﻛذو نآﺮﻘﻟا ﻮﻫو بﺎﺘﻟا ﻪﻟا ﺮﻛﺬﻓ
ﻪﻟاو لﺎﻗ ﺎﻣ ﻪﺒﺸﻳ اﺬﻫو ﻪﻟا لﻮﺳر ﺔﻨﺳ ﺔﻤﺤﻟا لﻮﻘﻳ نآﺮﻘﻟﺎﺑ ﻢﻠﻌﻟا ﻞﻫأ
ﻢﻠﻋأ
“Allah menyebutkan al-kitab yang maknanya Al-Qur’an, dan juga menyebutkan al-hikmah, saya mendengar ucapan para ulama yang pakar dalam Al-Qur’an bahwa al-hikmah adalah sunah Rasulullah, dan pendapat ini yang lebih kuat, wallahu a’lam.“[11]Ucapan-ucapan ulama di bawah ini memperkuat interpretasi di atas. Hassan bin ‘Athiyyah mengatakan,
ﺎﻤﻛ ﺔﻨﺴﻟﺎﺑ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ ﻪﻟا لﻮﺳر ﻠﻋ لﺰﻨﻳ ﻞﻴﺋاﺮﺒﺟ نﺎﻛ
نآﺮﻘﻟا ﻪﻤﻠﻌﻳ ﺎﻤﻛ ﺎﻫﺎﻳإ ﻪﻤﻠﻌﻳ نآﺮﻘﻟﺎﺑ ﻪﻴﻠﻋ لﺰﻨﻳ
“Jibril mewahyukan sunah kepada Nabi sebagaimana mewahyukan Qur’an, dan mengajarkan sunah sebagaimana mengajarkan Al-Qur’an.”[12]Secara terperinci, al-Khatib al-Baghdadi menjelaskan proses periwayatan hadis yang sumbernya sama dengan sumber Al-Qur’an,
،ﺐﺣﺎﺻ ﻦﻋ ﻊﺑﺎﺗو ،ﻊﺑﺎﺗ ﻦﻋ ﺢﻟﺎﺻو ،ﺢﻟﺎﺻ ﻦﻋ ﺢﻟﺎﺻ ﻮﻫ ﺎﻤﻧإ
ﻞﻴﺋﺮﺒﺟو ﻞﻴﺋاﺮﺒﺟ ﻦﻋ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ ﻪﻟا لﻮﺳر ﻦﻋ ﺐﺣﺎﺻو
ﻞﺟو ﺰﻋ ﻪﻟا ﻦﻋ
“Sesungguhnya hadis itu diriwayatkan orang saleh dari orang saleh, dan orang saleh meriwayatkan dari tabiin, dan tabiin meriwayatkan dari sahabat, dan sahabat meriwayatkan dari nabi, dan nabi (mendapat wahyu) dari Jibril, dan Jibril dari Allah.”[13]Alhasil, sumber hadis sama dengan dengan Al-Qur’an, yaitu wahyu dari Allah azza wajalla.
Oleh karena itu, al-Khatib al-Baghdadi menyetarakan kedudukan sunah dengan Al-Qur’an dari sisi kewajiba pengamalan, dan tidak menjadikan hadis sebagai sumber yang kedua setelah Al-Qur’an, beliau mengatakan,
لﻮﺳر ﺔﻨﺳ ﻢﺣو ﻟﺎﻌﺗ ﻪﻟا بﺎﺘﻛ ﻢﺣ ﻦﻴﺑ ﺔﻳﻮﺴﺘﻟا ﻓ ءﺎﺟ ﺎﻣ بﺎﺑ
ﻒﻴﻠﺘﻟا موﺰﻟو ﻞﻤﻌﻟا بﻮﺟو ﻓ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ ﻪﻟا
“Bab tentang kesetaraan antara hukum Al-Qur’an dengan hukum sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari sisi kewajiban pengamalan.”[14]MENJELASKAN SYARIAT
Al-Qur’an dan hadis ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan dalam menjelaskan syariat, di mana ada Al-Qur’an, maka disitu juga dibutuhkan hadis, karena kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam ibarat penafsir Al-Qur’an, beliau menafsirkan Al-Qur’an dengan
ucapan, perbuatan maupun persetujuannya. Karakter dominan dari Al-Qur’an adalah pembahasannya yang global, sedangkan karakter dominan dari sunah adalah pembahasannya yang lebih praktis dan terperinci. Oleh karena itu keduanya saling membutuhkan dan menutupi, bahkan sebagian dari ulama ada yang memandang bahwa kebutuhan Al-Qur’an terhadap sunah lebih dominan ketimbang kebutuhan sunah kepada Al-Qur’an, hal ini disebabkan karakter dominan di atas. Al-Auza’i meriwayatkan dari Makhul,
بﺎﺘﻟا ﻟإ ﺔﻨﺴﻟا ﻦﻣ ﺔﻨﺴﻟا ﻟإ جﻮﺣأ نآﺮﻘﻟا
“Kebutuhan Al-Qur’an kepada sunah lebih besar dibandingkan kebutuhan sunah kepada Al-Qur’an.”[15]Jadi korelasi antara Al-Qur’an dan sunah sangat erat. Ibnul Qayyim menjelaskan korelasi ini dengan mengatakan,
ﻞﻛ ﻦﻣ ﻪﻟ ﺔﻘﻓاﻮﻣ نﻮﺗ نأ :ﺎﻫﺪﺣأ ؛ﻪﺟوأ ﺔﺛﻼﺛ ﻠﻋ نآﺮﻘﻟا ﻊﻣ ﺔﻨﺴﻟاو
دراﻮﺗ بﺎﺑ ﻦﻣ ﺪﺣاﻮﻟا ﻢﺤﻟا ﻠﻋ ﺔﻨﺴﻟاو نآﺮﻘﻟا دراﻮﺗ نﻮﻴﻓ ،ﻪﺟو
.ﻪﻟ اﺮﻴﺴﻔﺗو نآﺮﻘﻟﺎﺑ ﺪﻳرأ ﺎﻤﻟ ﺎﻧﺎﻴﺑ نﻮﺗ نأ :ﻧﺎﺜﻟا .ﺎﻫﺮﻓﺎﻈﺗو ﺔﻟدﻷا
ﺎﻤﻟ ﺔﻣﺮﺤﻣ وأ ﻪﺑﺎﺠﻳإ ﻦﻋ نآﺮﻘﻟا ﺖﺳ ﻢﺤﻟ ﺔﺒﺟﻮﻣ نﻮﺗ نأ :ﺚﻟﺎﺜﻟا
ﻪﻤﻳﺮﺤﺗ ﻦﻋ ﺖﺳ
“Dan hubungan antara sunah dengan Al-Qur’an ada tiga jenis, pertama: keadaan sunah bersepakat dengan Al-Qur’an dari segala sisi, maka kesesuaian sunah dengan Al-Qur’an dalam menjelaskan suatu hukum masuk dalam kategori saling menguatkan antara satu dalil dengan dalil yang lain. Kedua: keadaan sunah yang menjadi penjelas bagi Al-Qur’an dan penafsir baginya. Ketiga: keadaan sunah menjadi dalil bagi wajibnya suatu hukum yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an, atau menjadi dalilpengharam bagi suatu hukum yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an.”[16]
Karena kedudukan sunah yang krusial ini, sebagian ulama melabelkan predikat miftahu Al-Qur’an bagi sunah.[17]
Adapun dasar bagi kedudukan hadis ini (hadis adalah partner al-Qur’an dalam menjelaskan syariat) adalah firman Allah azza wajalla,
ﻢِﻬﻴَﻟا لِﺰُﻧ ﺎﻣ ِسﺎﱠﻨﻠﻟ ﻦِﻴﺒُﺘﻟ ﺮﻛِّﺬﻟا َﻚﻴَﻟا ﺎَﻨْﻟﺰْﻧاو
“Dan Kami turunkan al-Dzikr kepadamu, agar engkau menerangkan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. al-Nahl: 44)Menurut interpretasi para pakar tafsir, interpretasi dari kalimat al-Dzikr diatas ada dua:
Yang pertama: bermakna Al-Qur’an.[18]
Dengan interpretasi ini, makna ayat diatas adalah “dan Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu, agar engkau menerangkan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
Yang kedua: bermakna wahyu.
Diantara ulama yang menginterpretasikan dengan makna ini adalah Imam al-Baghawi,[19] dengan interpretasi ini, maka makna wahyu mencakup wahyu Al-Qur’an dan wahyu sunah atau hadis, sehingga makna ayat sebagaimana dipaparkan oleh Imam al-Baghawi,
،ﺣﻮﻠﻟ ﺎﻨﻴﺒﻣ ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﻪﻟا ﻠﺻ ﺒﻨﻟا نﺎﻛو ،ﺣﻮﻟا ﺮﻛﺬﻟﺎﺑ دارأ
ﺔﻨﺴﻟا ﻦﻣ ﺐﻠﻄﻳ بﺎﺘﻟا نﺎﻴﺑو
“Yang dimaksud dengan al-Dzikr adalah wahyu, dan dahulu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam menjadi penjelas bagi wahyu, dan penjelasan
Simak pula pemaparan dari Imam al-Qurthubi,
(ﺪﻴﻋﻮﻟاو ﺪﻋﻮﻟاو مﺎﺣﻷا ﻦﻣ بﺎﺘﻟا اﺬﻫ ﻓ (ﻢِﻬﻴَﻟا لِﺰُﻧ ﺎﻣ ِسﺎﱠﻨﻠﻟ ﻦِﻴﺒُﺘﻟ
ﻞﺟو ﺰﻋ ﻪﻟا ﻦﻋ ﻦﻴﺒﻣ ﻢﱠﻠﺳو ﻪﻴَﻠﻋ ﻪﻟا ﱠﻠﺻ لﻮﺳﺮﻟﺎﻓ ،ﻚﻠﻌﻓو ﻚﻟﻮﻘﺑ
ﺎﻤﻣ ﻚﻟذ ﺮﻴﻏو ،ةﺎﻛﺰﻟاو ةﻼﺼﻟا مﺎﺣأ ﻦﻣ ﻪﺑﺎﺘﻛ ﻓ ﻪﻠﻤﺟأ ﺎﻤﻣ هداﺮﻣ
ﻪﻠﺼﻔﻳ ﻢﻟ
“(agar engkau menerangkan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepada mereka) dalam kitab ini (Al-Qur’an) dari hukum-hukum, janji baik dan ancaman dengan ucapanmu dan perbuatanmu, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan penjelas maksud (Al-Qur’an) yang datang dari Allah azza wajalla dari perkara-perkara yang diglobalkan di dalam kitab-Nya berupa tatacara salat dan hukum terkait zakat dan lain sebagainya dari masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara detail.”[21]Dengan sangat gamblang Imam al-Qurthubi memasukkan sunah dalam interpretasi ayat ini.
Untuk lebih menyakinkan kedudukan sunah yang urgen ini, maka kami akan menyebutkan beberapa contoh terkait dengan penjelasan sunah terhadap Al-Qur’an, diantaranya,
Sunah memerinci hukum-hukum yang diglobalkan di dalam Al-Qur’an.
Contohnya adalah penjelasan praktis dari Rasulullah terkait tata cara salat dan haji, yang mana di dalam al-Qur’an hanya ada perintah dan penjelasan yang sangat global terkait ibadah salat dan haji.
Sunah menjelaskan makna yang musykil di dalam ayat Al-Qur’an. Contohnya, penjelasan Nabi pada firman Allah azza wajalla,
ﺎَﻨﻳا ﻪﻟا لﻮﺳر ﺎﻳ ﺎَﻨْﻠُﻗ {ﻢْﻠُﻈِﺑ ﻢﻬَﻧﺎﻤﻳا اﻮﺴِﺒْﻠﻳ ﻢَﻟو اﻮُﻨﻣآ ﻦﻳِﺬﱠﻟا} ﺖَﻟﺰَﻧ ﺎﻤَﻟ
ﻢَﻟوا ٍكﺮﺸِﺑ {ﻢْﻠُﻈِﺑ ﻢﻬَﻧﺎﻤﻳا اﻮﺴِﺒْﻠﻳ ﻢَﻟ} َنﻮُﻟﻮُﻘَﺗ ﺎﻤﻛ ﺲﻴَﻟ لﺎَﻗ ﻪﺴْﻔَﻧ ﻢﻠْﻈﻳ
ﻢْﻠُﻈَﻟ َكﺮّﺸﻟا ﱠنا ﻪﻟﺎِﺑ ْكِﺮْﺸُﺗ َﻨﺑ ﺎﻳ} ﻪﻨﺑ َنﺎﻤْﻘُﻟ ِلﻮَﻗ َﻟا اﻮﻌﻤﺴَﺗ
ﻢﻴﻈﻋ}
“Ketika turun ayat (orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman dengan kezaliman), para sahabat mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, siapa dari kami yang tidak menzalimi dirinya.’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Makna ayat ini bukan seperti yang kalian pahami, namun yang dimaksud ada kesyirikan, tidakkah kalian mendengar ucapan Luqman kepada putranya (wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar).’”[22]Sunah mengkhususkan hukum yang diumumkan oleh Al-Qur’an. Contohnya; sunah mengkhususkan bangkai yang diharamkan Al-Qur’an pada firman Allah,
ﻪﻟا ِﺮﻴَﻐﻟ ﻪِﺑ ﻞﻫا ﺎﻣو ِﺮﻳِﺰْﻨﺨْﻟا ﻢﺤَﻟو مﱠﺪﻟاو َﺔَﺘﻴﻤْﻟا ﻢﻴَﻠﻋ مﺮﺣ ﺎﻤﱠﻧا
“Sesungguhnya (Allah) mengharamkan atas kalian bangkai, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan menyebut selain Allah.” (QS. Al-Baqarah: 173)Di dalam ayat ini, kalimat bangkai umum, mencakup semua bangkai, namun hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa ada bangkai yang halal hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah,
ِنﺎﻣﱠﺪﻟا ﺎﻣاو داﺮﺠْﻟاو تﻮﺤْﻟﺎَﻓ ِنﺎَﺘَﺘﻴﻤْﻟا ﺎﻣﺎَﻓ ِنﺎﻣدو ِنﺎَﺘَﺘﻴﻣ ﺎَﻨَﻟ ﺖﱠﻠﺣا
لﺎﺤّﻄﻟاو ُﺪِﺒْﻟﺎَﻓ َ
“Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah, adapun bangkai yang halal adalah bangkai ikan dan bangkai belalang, adapun darah yang halal adalah hati dan limpa.”[23]Sunah menjelaskan hukum yang tidak dijelaskan Al-Qur’an.
Contohnya adalah larangan bagi laki-laki untuk menikahi seorang wanita sekaligus bersama bibinya dari garis ayah dan bibnya dari garis ibu,[24]
Masalah-masalah ini hanya dijelaskan di dalam sunah dan tidak dijelaskan sama sekali di dalam Al-Qur’an.
SUNAH ADALAH HUJAH.
Kehujahan sunah tegak lewat rekomendasi dari Al-Qur’an, hal ini nampak dengan gamblang di dalam Al-Qur’an lewat beberapa hal, di antaranya,
Yang pertama: ayat-ayat yang memerintahkan kaum muslimin untuk
menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya firman Allah,
ﻪﻟا ﱠنا ﻪﻟا اﻮُﻘﱠﺗاو اﻮﻬَﺘْﻧﺎَﻓ ﻪْﻨﻋ ﻢﻛﺎﻬَﻧ ﺎﻣو هوُﺬُﺨَﻓ لﻮﺳﺮﻟا ﻢﻛﺎَﺗآ ﺎﻣو
ِبﺎَﻘﻌْﻟا ُﺪﻳِﺪَﺷ
“Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kalian maka kerjakanlah, dan apa yang Rasulullah larang bagi kalian maka tinggalkanlah!” (QS. al-Hasyr 7.Kedua: perintah untuk mengembalikan urusan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah,
ﻪﻟﺎِﺑ َنﻮُﻨﻣﻮُﺗ ﻢُﺘْﻨﻛ ْنا ِلﻮﺳﺮﻟاو ﻪﻟا َﻟا هودﺮَﻓ ءَﺷ ﻓ ﻢُﺘﻋَزﺎَﻨَﺗ ْنﺎَﻓ
ًﻳِوﺎَﺗ ﻦﺴﺣاو ﺮﻴَﺧ َﻚﻟَذ ِﺮﺧا مﻮﻴْﻟاو
“Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan RasulNya, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” QS. Al-Nisa 59.Syekh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di mengatakan,
ﻪﻟا ﻟإ ﻪﻋوﺮﻓو ﻦﻳﺪﻟا لﻮﺻأ ﻦﻣ ﻪﻴﻓ سﺎﻨﻟا عزﺎﻨﺗ ﺎﻣ ﻞﻛ دﺮﺑ ﺮﻣأ ﻢﺛ
ﻓ ﻞﺼﻔﻟا ﺎﻤﻬﻴﻓ نﺈﻓ ؛ﻪﻟﻮﺳر ﺔﻨﺳو ﻪﻟا بﺎﺘﻛ ﻟإ :يأ ﻪﻟﻮﺳر ﻟإو
ﺔﻴﻓﻼﺨﻟا ﻞﺋﺎﺴﻤﻟا ﻊﻴﻤﺟ
“Kemudian Allah memerintahkan untuk mengembalikan setiap masalah yang diperselisihkan oleh manusia -dari urusan-urusan pokok dalam masalah agama maupun urusan-urusan cabang- kepada Allah danRasul-Nya, maksudnya adalah mengembalikan perkara tersebut kepada Al-Qur’an dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya pada keduanya (Al-Qur’an dan sunah) ada solusi bagi permasalahan tersebut.”[26]
Bahkan Abdul Aziz al-Kinani mengutip konsensus ulama terkait perkara di atas. Beliau mengatakan,
ﻮﻬﻓ ﻪﻟا ﻟإ هﺎﻧددر نإ ،ﻢﻠﻌﻟا ﻞﻫأو ﻦﻴﻨﻣﺆﻤﻟا ﻦﻴﺑ ﻪﻴﻓ فﻼﺧ ﻻﺎﻣ اﺬﻫ
ﻪﺘﻨﺳ ﻟإ هﺎﻧددر ﻪﺗﺎﻓو ﺪﻌﺑ ﻪﻟﻮﺳر ﻟإ هﺎﻧددر نإو ،ﻪﻟا بﺎﺘﻛ ﻟإ
“Ini termasuk perkara yang tidak ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin dan para ulama. Yang dimaksud mengembalikan permasalahan kepada Allah adalah mengembalikan masalah kepada Al-Qur’an, dan yang dimaksud dengan mengembalikan permasalahan kepada Rasulullah pasca wafatnya beliau, maksudnya adalah mengembalikan kepada sunah beliau.[27]”ORISINALITAS SUNAH DIJAGA OLEH ALLAH AZZA WAJALLA.
Hal ini sebagaimana firman Allah azza wajalla,
َنﻮُﻈﻓﺎﺤَﻟ ﻪَﻟ ﺎﱠﻧاو ﺮﻛِّﺬﻟا ﺎَﻨْﻟﺰَﻧ ﻦﺤَﻧ ﺎﱠﻧا
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikr, maka Kami juga yang menjaganya.”Makna al-Dzikr di dalam ayat ini mencakup sunah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, sebab sunah adalah penjelas dan penafsir bagi
Al-Qur’an. Jika Al-Qur’an dijaga orisinalitasnya oleh Allah, maka konsekuensinya adalah terjaganya orisinalitas penjelas dan penafsirnya juga, yaitu sunah. Syekh Abdurrahman al-Mu’allimi mengatakan,
مﺰﻠﺘﺴﻳ نآﺮﻘﻟا ﻆﻔﺤﺑ ﻪﻠﻔﺗ نﻷ ،ﺎﻀﻳأ ﺎﻬﻈﻔﺤﺑ ﻪﻟا ﻞﻔﺗ ﺪﻘﻓ ﺔﻨﺴﻟا ﺎﻣﺄﻓ
دﻮﺼﻘﻤﻟا ذإ ،ﺔﻴﺑﺮﻌﻟا ﻮﻫو ﻪﻧﺎﺴﻟ ﻆﻔﺣو ،ﺔﻨﺴﻟا ﻮﻫو ﻪﻧﺎﻴﺑ ﻆﻔﺤﺑ ﻪﻠﻔﺗ
ﺎﻬﺒﻠﻄﻳ ﻦﻣ ﺎﻬﻟﺎﻨﻳ ﺚﻴﺤﺑ ﺔﻴﻗﺎﺑ ﺔﻳاﺪﻬﻟاو ﺔﻤﺋﺎﻗ ﺔﺠﺤﻟا ءﺎﻘﺑ
“Adapun sunah, sesungguhnya Allah telah menanggung orisinalitas juga,sebab konsekuensi jaminan Allah untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an adalah menjamin orisinalitas penjelas dan penafsirnya, yaitu sunah Rasulullah, dan juga menjaga bahasanya, yaitu Bahasa Arab, sebab tujuan dari itu semua adalah keabadian hujah, dalil, dan eksistensi hidayah, sehingga orang yang mencarinya dapat menggapainya.”[28]
KESIMPULAN:
Berpijak pada pemaparan ini, dapat disimpulkan bahwa kedudukan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat tinggi menurut perspektif Al-Qur’an. Sunah adalah hujah bagi syariat, dan penjelas serta penafsir bagi ayat-ayat Al-Qur’an menurut Al-Qur’an sendiri. Orang yang menolak sunah dan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sumber hukum dalam syariat Islam dengan berbagai dalih dan mencukupkan diri dengan Al-Qur’an semata dalam berhujah sejatinya mengingkari Al-Qur’an itu sendiri, sebab Al-Qur’an sendiri telah memaparkan dengan gamblang keagungan posisi sunah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Footnote:
[1] Fathu al-Mugits, karya al-Sakhawi (1/10).
[2] Majmuul Fatawa (18/6-7).
[3] Mu’jam Maqayisu al-Lughah (3/61).
[4] Fathu al-Mughits (1/10).
[5] Al-Hadis al-Dha’if wa Hukmu al-Ihtijaju bihi, Abdulkarim Al-Khudhair, hal. 16.
[7] Al-Wadhih fi Musthalahi al-Hadis, Abdulaziz bin Abdullah al-Syayi’, hal. 38-39, dengan sedikit tambahan pada contoh.
[8] Al-Jami’ Li Ahkami Al-Qur’an (17/85)
[9] Tafsir Ibnu Katsir (7/443).
[10] Taisiri al-Karimi al-Mannan, hal. 818.
[11] Al-Risalah, karya imam Syafi’I, hal. 78.
[12] Al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayah, karya Khatib Al-Baghdadi, hal. 12.
[13] Idem, hal. 20.
[14] Idem, hal. 8.
[15] Jamiu Bayani al-‘Ilmi, karya Ibnu Abdilbarr (2/368).
[16] I’lamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qayyim (2/307).
[17] Al-Madkhal Ila Dirasati al-Sunah al-Nabawiyah, karya Sayyid Abdulmajid al-Ghauri, hal. 27.
[18] Tafsir al-Thabari (17/211).
[19] Ma’alimu al-Tanzil (5/21).
[20] Idem.
[21] Al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an (10/109).
[22] Shahih Bukhari (3360), Shahih Muslim (124).
[23] Musnad Ahmad (5723).
[24] Shahih Muslim (1408).
[26] Taisiru Karimi Al-Mannan, hal. 183.
[27] Al-Haidah wa al-I’tidzar, hal. 32.