• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persepsi adalah proses masuknya pesan atau informasi kedalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persepsi adalah proses masuknya pesan atau informasi kedalam"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persepsi adalah proses masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia, melalui persepsi manusia yang secara terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan melalui 6 indera, yaitu indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium (Slameto, 2010). Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Persepsi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal (Sugihartono, 2007). Faktor internal persepsi adalah pengalaman, pengetahuan, harapan, kebutuhan, motivasi, emosi dan budaya. Sedangkan faktor eksternal persepsi adalah fisiologis, perhatian, sesuatu yang terjadi dan sesuatu yang menjadi perhatian orang banyak .

Persepsi orang terhadap terapi yang digunakan dalam dunia kesehatan berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor situasi (Siagian, 2005). Salah satu terapi yang masih pro dan kontra karena dipersepsikan berbeda dalam dunia kesehatan jiwa adalah terapi kejang listrik. Pro dalam penelitian menurut Yongky (2012) salah satunya adalah pendapat dari Kitty bahwa terapi kejang listrik sangat efektif untuk menyembuhkan depresi dan harga pembayarannya lebih terjangkau. Sedangkan kontra

(2)

dalam penelitian Yongky (2012) salah satunya adalah pendapat dari Simone mengatakan bahwa terapi kejang listrik membuat lebih sakit lagi dan menderita. Terapi kejang listrik didefinisikan sebagai suatu tindakan terapi untuk episode depresi berat, mania dan beberapa jenis skizofrenia yang parah dengan menggunakan aliran listrik singkat dalam jumlah terkendali untuk menghasilkan kejang. Aktivitas kejang ini diyakini membawa perubahan biokimia tertentu yang dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan gejala (Mankad, 2010). Terapi kejang listrik sebagai bentuk terapi fisik dengan menggunakan arus listrik melalui elektroda dan ditempelkan pada temporal kepala (pelipis kiri & kanan) dengan tegangan diatur dari tingkat terendah yang akan menghasilkan efek tertentu. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grandmal yang diharapkan akan mencapai efek terapeutik (Stuart, 2013). Tujuan dilakukan terapi kejang listrik agar dapat meningkatkan kualitas hidup pasien gangguan jiwa baik dalam jangka waktu pendek maupun jangka waktu panjang (Stefanazzi, 2012).

Terapi kejang listrik dalam bahasa Inggris dikenal dengan Electro Convulsive Therapy yang disingkat menjadi ECT merupakan salah satu pengobatan yang sudah digunakan sejak lama untuk mengobati berbagai gangguan jiwa dan masih terus digunakan hingga saat ini (Saddock, 2007). Saat ini prosedur tindakan terapi kejang listrik telah banyak berbeda, meskipun masih menimbulkan risiko efek samping (Dawkins, 2012). Tujuannya untuk mencapai manfaat maksimal dengan risiko minimal.

(3)

Selain hal yang bersifat teknik, perihal etikomedikolegal sangat penting diketahui untuk panduan standar praktik terbaik sehingga terapi kejang listrik dapat digunakan secara aman dan efektif dan dengan cara yang menghormati hak – hak, privasi, dan martabat setiap individu yang terlibat (ECT Manual Victoria Gov, 2009).

Salah satu rumah sakit yang menggunakan terapi kejang listrik adalah Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas (RSUD Banyumas). IPKJT RSUD Banyumas pada bulan Oktober sampai Desember tahun 2016 terdapat pasien gangguan jiwa sebanyak 8483 pasien. Pasien gangguan jiwa di rawat di poli dan rawat inap. Poli terdiri dari poli 1 sebanyak 3012 pasien dan poli 2 sebanyak 4873 pasien, sedangkan rawat inap terdiri dari 4 ruangan yaitu bima sebanyak 189 pasien, arjuna sebanyak 144 pasien, nakula sebanyak 146 pasien dan sadewa sebanyak 119 pasien. Pasien gangguan jiwa di RSUD Banyumas hampir semua dilakukan terapi kejang listrik (Rekam Medik RSUD Banyumas, 2016).

Pasien yang terindikasi dalam pemberian terapi kejang listrik adalah pasien yang agresif, depresi berat, manik depresi dan skizofrenia (Stuart, 2013). Terapi kejang listrik dilakukan kepada pasien yang tidak berpengaruh saat obat diberikan misalnya pada pasien yang diluar kendali, tidak makan dan minum atau pada saat pasien ingin melakukan percobaan bunuh diri (Wijayanto, 2012). Terapi kejang listrik di RSUD Banyumas secara konvensional ialah terapi yang secara langsung menghubungkan antara elektroda pada sisi kepala dengan mengalirkan aliran listrik sebesar

(4)

110 volt. Terapi kejang listrik ini biasanya dilakukan empat sampai enam kali pengobatan dalam waktu dua minggu (Wijayanto, 2012). Efek positif terapi kejang listrik adalah dapat memulihkan kesehatan dan kadang-kadang menyelamatkan kehidupan orang-orang dengan gangguan berpotensi mematikan dari depresi berat, mania, dan psikosis akut, sedangkan efek negatif yang sering berhubungan dengan terapi kejang listrik adalah konvusi, delirium, gangguan daya ingat, dan aritma jantung ringan (Nandinanti, 2015). Terapi kejang listrik biasanya dianggap sebagai penanganan terakhir setelah metode yang tidak terlalu bahaya dicoba dan ternyata gagal (Nevid, 2005). Sehingga hal ini menjadi pokok perdebatan pada masyarakat dalam menyikapi penggunaan terapi kejang listrik.

Terapi kejang listrik memiliki kontroversi karena beberapa alasan (Stuart, 2013). Pertama adalah ketidaknyamanan akibat pemberian kejutan listrik melalui kepala seseorang walaupun tingkat kejutan diatur secara ketat dan reaksi kejangnya dikontrol oleh obat. Ke dua adalah mempunyai potensi efek samping seperti gangguan daya ingat, aritma jantung ringan, dan gangguan fungsi kognitif (Stuart, 2013). Terapi kejang listrik sering menghasilkan kesembuhan secara dramatis dari depresi berat, tetapi masih dikhawatirkan kemungkinan terjadinya defisit kognitif, seperti kehilangan memori. Kehilangan memori secara permanen dapat terjadi terhadap peristiwa yang terjadi sebelum terapi kejang listrik dan beberapa minggu sesudahnya (Glass, 2001 dalam Nevid, 2005). Ke tiga adalah pertanyan tentang keberhasilannya yang relatif. Ke empat, bukti menunjukan adanya

(5)

tingkat kambuh yang tinggi seteah penggunaan terapi kejang listrik (Sackeim dkk, 2001 dalam Nevid, 2005).

Sampai saat ini terapi kejang listrik masih banyak digunakan, di Amerika Serikat tujuh 70% pasien dengan gangguan bipolar dan 17% pasien dengan gangguan skizofrenia telah mendapatkan terapi kejang listrik (Asmawati, 2013). Sedangkan di Indonesia hampir seluruh rumah sakit jiwa melaksanakan terapi kejang listrik sebagai pengobatan yang dilakukan pada pasien gangguan jiwa selain dengan terapi psikofarmaka (Pridick, 2005). Berdasarkan hasil penelitian Melissa (2009 dalam Asmawati, 2013) “shock therapy makes a quiet comeback despite the stigma, 100,000 desperate patients a year now seek treatment” mengemukakan bahwa dampak dari pasien yang telah dilakukan terapi kejang listrik akan mengalami kebingungan, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, dan akan kehilangan memori jangka pendek selama menjalani perawatan. Frekuensi dalam pemberian terapi kejang listrik ini dicukupkan apabila perkembangan kesembuhan pasien yang telah mendapatkan terapi kejang listrik sudah ada. Biasanya perkembangan kesembuhan akan tampak apabila sudah mendapatkan terapi kejang listrik lebih dari dua kali.

Berdasarkan hasil penelitian Yongky (2012) tentang pro dan kontra terhadap terapi kejang listrik di Rumah Sakit Marzuki Mahdi, Bogor, hasil penelitian menunjukan lebih mengutamakan pengobatan dengan psikofarmaka daripada dengan terapi kejang listrik. Pengobatan terapi

(6)

kejang listrik dilakukan setelah pengobatan psikofarmaka yang tidak mengalami perubahan kesembuhan. Terapi kejang listrik lebih efektif daripada psikofarmaka dengan kasus depresi berat (Yongky, 2012). Terapi kejang listrik lebih murah dibandingkan dengan obat psikofarmaka yang atypical, kecuali terapi kejang listrik yang bermonitor atau terapi kejang listrik non kejang harganya akan lebih mahal karena memakai obat-obat anesthesi dan monitor yang mahal (Yongky, 2012). Pendapat pasien yang mendukung terapi kejang listrik mengemukakan bahwa tindakan terapi kejang listrik lebih efektif dibandingkan dengan obat antidepresan pada penderita deperesi berat apalagi penderita tersebut resisten terhadap penggunaan obat antidepresan pada penderita yang melakukan percobaan bunuh diri PBD). Pendapat pasien yang menolak terapi kejang listrik mengemukakan bahwa terapi kejang listrik tidak hanya tidak efektif tetapi dipercaya dapat merusak fungsi kognitif dan daya ingat (Yongky, 2012).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan berupa wawancara yang dilakukan peneliti pada hari kamis 20 Oktober 2016 di poli IPKJT RSUD Banyumas didapatkan pada 4 keluarga pasien yang di wawancarai. Hasil wawancara dari 2 keluarga mengatakan tidak tega anggota keluarganya dilakukan tindakan terapi kejang listrik karena anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa mengatakan lebih menyakitkan setelah dilakukan terapi tersebut. Sedangkan hasil wawancara dari keluarga yang lain mengatakan terapi kejang listrik menimbulkan efek yang positif misalnya pasien lebih cepat sembuh setelah dilakukan tindakan terapi

(7)

tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian persepsi keluarga terhadap tindakan terapi kejang listrik (Electro Convulsive Therapy) pada pasien gangguan jiwa di Instalasi Pelayanan Kesehatan Jiwa Terpadu RSUD Banyumas.

B. Rumusan Masalah

Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia, melalui persepsi manusia secara terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Persepsi orang terhadap terapi dalam kesehatan jiwa berbeda-beda. Terapi kejang listrik dikatakan masih pro dan kontra karena banyaknya perbedaan pendapat yang dipengaruhi oleh persepsi masing - masing. Perbedaan pendapat tersebut ada yang mendukung terapi kejang listrik dan ada yang menolak terapi kejang listrik. Perbedaaan pendapat tersebut muncul karena berbagai alasan. Berdasarkan uraian tersebut peneliti merumuskan masalah “Bagaimana persepsi keluarga terhadap tindakan terapi kejang listrik (Electro Convulsive Therapy) pada pasien gangguan jiwa di Instalasi Pelayanan Kesehatan Jiwa Terpadu RSUD Banyumas?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan persepsi keluarga terhadap tindakan terapi kejang listrik (Electro Convulsive

(8)

Therapy) pada pasien gangguan jiwa di Instalasi Pelayanan Kesehatan Jiwa Terpadu RSUD Banyumas.

2. Tujuan Khusus

a. Menggambarkan persepsi keluarga terhadap terapi kejang listrik. b. Menggambarkan persepsi keluarga terhadap manfaat dari terapi

kejang listrik.

c. Menggambarkan persepsi keluarga terhadap persiapan dalam terapi kejang listrik.

d. Menggambarkan persepsi keluarga terhadap pelaksanaan terapi kejang listrik.

e. Menggambarkan persepsi keluarga terhadap efek samping terapi kejang listrik.

f. Menggambarkan persepsi keluarga terhadap dampak terapi kejang listrik.

D. Manfaat Penelitan

1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu dapat mendeskripsikan atau menggambarkan persepsi keluarga terhadap tindakan terapi kejang listrik (Electro Convulsive Therapy) pada pasien gangguan jiwa di Instalasi Pelayanan Kesehatan Jiwa Terpadu RSUD Banyumas.

(9)

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Dapat menambah pengalaman bagi peneliti di dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang pernah peneliti dapat di bangku kuliah, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam penelitian selanjutnya, yang berminat pada pengembangan di bidang keperawatan jiwa.

b. Bagi Rumah Sakit

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka meningkatkan upaya-upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien di Instalasi Pelayanan Kesehatan Jiwa Terpadu RSUD Banyumas. Penelitian ini juga bisa dilanjutkan dan diterapkan bagi tenaga kesehatan di ruangan tersebut.

c. Bagi Pendidikan Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat memotivasi calon perawat dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tentang terapi kejang listrik (Electro Convulsive Therapy) bagi pasien, serta memperkaya khasanah keilmuan dalam bidang keperawatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

d. Bagi Keluarga

Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan atau referensi bagi keluarga pasien terapi kejang listrik.

(10)

E. Penelitian Terkait

1. Yongky (2012) melakukan penelitian tentang “Pro Dan Kontra Terhadap Terapi Kejang Listrik (TKL) Sebagai Terapi Alternatif Medis Pada Pasien Psikotik”. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan desain yang didasarkan pada studi literatur dan pengalaman kerja terhadap penggunakan terapi kejang listrik. Responden dalam penelitian ini sebanyak 35 responden. Persamaan penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Perbedaan penelitian ini adalah penelitian ini menggunakan desain penelitian yang didasarkan pada studi literatur sedangan penelitian yang diteliti menggunakan desain penelitian fenomenologi. Hasil penelitian ini menujukkan terapi kejang listrik tidak bisa dihilangkan karena tidak semua obat psikotropika dapat menyembuhkan semua orang dengan gangguan mental.

2. Wardani (2009) melakukan penelitian tentang “Pengalaman Keluarga Menghadapi Ketidakpatuhan Anggota Keluarga Dengan Skizofrenia Dalam Mengikuti Regimen Terapeutik : Pengobatan”. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Responden dalam penelitian ini sebanyak 9 partisipan. Penelitian ini dan penelitian yang diteliti sama – sama menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pasien gangguan jiwa mempunyai dua respon kepatuhan yaitu respon

(11)

patuh dan tidak patuh terhadap pengobatan. Pasien seringkali menunjukan respon patuh namun seringkali menunjukan respon tidak patuh.

3. Antonius (2010) melakukan penelitian tentang “Pengalaman Keluarga Tentang Beban Dan Sumber Dukungan Keluarga Dalam Merawat Klien Dengan Halusinasi”. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian riset kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak 6 partisipan. Penelitian ini dan penelitian yang diteliti sama – sama menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengalaman keluarga tentang beban dan sumber dukungan serta makna dan hikmah dalam merawat klien halusinasi, beban yang dihadapi oleh partisipan adalah beban psikologi, beban finansial dan masalah dalam fasilitas dalam pelayanan kesehatan. 4. Wijayanto (2012) melakukan penelitian tentang “Hubungan Antara

Karakteristik Demografi Keluarga Dengan Persepsi Keluarga Klien Gangguan Jiwa Terhadap Terapi Kejang Listrik (Electro Convulsive Therapy) di RSUD Banyumas”. Jenis peneltian ini menggunakan metode penelitian deskriptif korelatif dengan desain penelitian cross sectional. Responden dalam penelitian ini sebanyak 30 responden. Perbedaan penelitian ini adalah penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif korelatif sedangkan penelitian yang diteliti menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dan desain

(12)

penelitian menggunakan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian ini menunjukkan persepsi keluarga terhadap terapi kejang listrik yang baik sebanyak 43,3% dan persepsi yang tidak baik sebanyak 56,7%. 5. Lestari (2010) melakukan penelitian tentang “Hubungan Persepsi

Keluarga Tentang Gangguan Jiwa Dengan Sikap Keluarga Kepada Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta”. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif korelatif dengan desain penelitian cross sectional. Responden dalam penelitian ini sebanyak 96 responden. Perbedaan penelitian ini adalah penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif korelatif sedangkan penelitian yang diteliti menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dan desain penelitian ini menggunakan desain cros sectional sedangkan penelitian yang akan diteliti menggunakan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan persepsi tentang gangguan jiwa dengan sikap keluarga yang anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa di RSJD Surakarta.

6. Asmawati (2013) melakukan penelitian tentang “ Hubungan Terapi Kejang Listrik Dengan Perkembangan Kesembuhan Pasien Skizofrenia di Ruang Rawat Inap HB. Saanin Padang”. Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitik dengan desain cross sectional. Responden dalam penelitian ini sebanyak 57 responden. Perbedaan penelitian ini adalah penelitian ini

(13)

menggunakan jenis penelitian deskriptif korelatif sedangkan penelitian yang akan diteliti menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dan desain penelitian ini menggunakan desain cross sectional sedangkan penelitian yang diteliti menggunakan pendekatan fenomenologi. Hasil penelitian ini menunjukkan kurang dari separoh (45,6%) terapi kejang listrik dalam pmberian paket 1 dan lebih dari separoh (50,9%) terapi kejang listrik dalam perkembangan kesembuhan pada pasien skizofrenia rendah dalam pemberian paket 1. 7. Stefanazzi (2012) melakukan penelitian tentang “Is Electroconvulsive

Therapy (ECT) Ever Ethically Justifed? If so, Under What Circumstances”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian uji klinis. Tidak ada persamaaan dalam penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti. Perbedaan dalam penelitian ini adalah penlitian ini menggunakan metode penelitian dengan uji klinis sedangkan penelitian yang diteliti menggunakan jenis penelitian dengan metode penelitian deskriptif kualitiatif dengan desain penelitian fenomenologi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fakta-fakta etis yang relevan, yang sampai sekarang telah langka dalam perdebatan, perlu dipertimbangkan. Sementara konsensus bahwa penelitian lebih lanjut memiliki banyak faktor masih harus dipertimbangkan. Peneliti berpendapat bahwa tidak selalu etis menganggap ini untuk berada dalam kepentingan terbaik pasien.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam akuntansi biaya, umumnya penggolongan biaya ditentukan atas dasar tujuan yang hendak dicapai dengan penggolongan tersebut, karena dalam akuntansi

Model administrasi negara sebagai alat negara dan bukan aparat pemerintah ini dapat dilihat pada administrasi negara Jerman, yang juga dijadikan rujukan oleh Menteri Pemberdayaan

KAJIAN ISI, BAHASA, KETERBACAAN, DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER BUKU TEKS BAHASA INDONESIA EKSPRESI DIRI DAN AKADEMIK.. UNTUK KELAS XI SMA/MA/SMK/MAK SEMESTER 1

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Air Mancur yaitu dengan menyesuaikan luas gudang yang tersedia dan juga menggunakan sistem racking untuk menyimpan barang, selain itu metode FIFO yang digunakan

hamil, bersalin, nifas dan bayi baru lahir. Mahasiswa mampu berinteraksi secara langsung

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia petunjuk, ilmu, serta kemudahan sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi berjudul “

apabila nilai yang diperolah konsumen melebihi apa yang dibayar, maka suatu dasar penting dari kepuasan konsumen telah tercipta; (b) product quality, merupakan penilaian dari