• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit kusta

2.1.1 Defenisi

Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan

Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang syaraf tepi selanjutnya

menyerang kulit dan jaringan lainnya kecuali susunan syaraf pusat.18

2.1.2 Etiologi

Penyebab kusta adalah M. leprae, yang ditemukan pada tahun 1873 oleh G.Amauer Hansen di Norwegia. Kuman bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 µm, lebar 0,3 µm dan bersifat obligat intraselluler. Kuman kusta tumbuh lambat, untuk membelah diri membutuhkan waktu 12-13 hari dan mencapai fase plateau dari pertumbuhan pada hari ke 20-40. Tumbuh pada tempratur 27-30oC (81-86oF).8

2.1.3 Klasifikasi

Menurut kepentingannya, penyakit kusta mempunyai beberapa jenis klasifikasi yang telah umum digunakan yaitu:

1. Klasifikasi International: Klasifikasi Madrit (1953) • Indeterminate (I)

(2)

• Tuberkuloid (T)

• Borderline – Dimorphous (B) • Lepromatosa (L)

2. Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962). • Tuberkuloid (TT) • Boderline tuberculoid (BT) • Mid-borderline (BB) • Borderline lepromatous (BL) • Lepromatosa (LL)

3. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta:

Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988). • Pausibasilar (PB)

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan basil tahan asam (BTA) negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.

• Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.19

(3)

2.1.4 Diagnosis

Keakuratan mendiagnosis penyakit kusta merupakan suatu dasar yang sangat penting yang berkaitan dengan epidemiologi kusta, pengobatan dan pencegahan kecacatan pada pasien kusta. Diagnosis yang tidak adekuat (under-diagnosis) akan menyebabkan penularan kuman kusta berlanjut serta penyakit kusta pada pasien kusta bertambah parah sedangkan jika diagnosis yang dilakukan terlalu berlebihan

(over-diagnosis) akan mengakibatkan pemberian pengobatan menjadi tidak tepat contohnya

pemberian antibiotika yang terlalu banyak. Keadaan ini dapat menyebabkaan pengumpulan data statistik dari epidemiologi pasien kusta menjadi tidak akurat. Diagnosis pasien kusta berdasarkan tiga penemuan tanda kardinal (tanda utama) yaitu:

1. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri.

2. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:

a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema dan pertumbuhan rambut yang terganggu

(4)

3. Ditemukan BTA

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telingadan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau syaraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal.19,20

2.1.5 Gambaran klinis

Tabel 2.1 Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO

PB MB

1. Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi, infiltrat, plak eritem, nodus) - 1-5 lesi - hipopigmentasi/ eritema - distribusi tidak simetris - >5 lesi - distribusi lebih simetris

2. Kerusakan pada saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersyarafi oleh syaraf yang terkena)

- hilangnya sensasi yang jelas - hanya satu cabang syaraf - hilangnya sensasi kurang jelas - banyak cabang syaraf

(5)

2.1.6 Imunologi

Respon imun terhadap kuman M.leprae terjadi pada dua kutub, dimana pada satu sisi akan terlihat aktifitas Th-1 yang menghasilkan imunitas seluler dan sisi yang lain terlihat aktifitas Th-2 yang menghasilkan imunitas humoral.

Pada kusta tipe tuberkuloid, ditandai dengan cell-mediated immunity yang tinggi dengan tipe respon imunitas seluler yaitu Th-1. Kusta tipe tuberkuloid menghasilkan IFN-γ, IL-2, lymphotoxin-α pada lesi dan selanjutnya akan

menimbulkan aktivitas fagositik. Makrofag yang mempengaruhi sitokin terutama TNF bersama dengan limfosit akan membentuk granuloma. Sel CD4+ ( T helper cell) dominan ditemukan terutama di dalam granuloma dan sel CD8+ (cytotoxic T cell) dijumpai di daerah sekitarnya. Sel T pada granuloma tuberkuloid menghasilkan protein antimikroba yaitu granulysin.21

Pada kusta tipe lepromatous, ditandai dengan cell-mediated immunity yang rendah dengan tipe respon imunitas humoral yaitu Th-2. Kusta tipe lepromatous mempunyai karakteristik pembentukan granuloma yang sedikit. mRNA memproduksi terutama sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10. IL-4 menyebabkan penurunan peranan TLR2 pada monosit sedangkan IL-10 akan menekan produksi dari IL-12. Dijumpai sel CD4+ berkurang, sel CD8+ yang banyak dan dijumpai foamy makrofag.

Spektrum imunologi kusta tipe tuberkuloid dan lepromatous tetap berada pada kedua kutub masing-masing, namun pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL)

(6)

spektrum imunologi kusta bersifat dinamik (unstable) yang bergerak diantara ke dua kutub. 21,22

Gambar 2.1 Karakteristik klinis dan spektrum imunologi kusta

Dikutip dari kepustakaan 23

2.1.7 Reaksi kusta

Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-kadang disertai dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien kusta.Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat pengobatan, maupun

(7)

sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.

Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu: 1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)

Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan.

Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, 1b, 6, IFN-γ dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10 selama terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-2 dan IFN-γ meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada kulit dan syaraf. IFNγ

(8)

dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.25

Tabel 2.2 Gambaran reaksi kusta tipe 1 Organ yang

diserang

Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematosa

Lesi yang telah ada menjadi eritematosa

Timbul lesi baru yang kadang-kadang disertai panas dan malaise Syaraf tepi Membesar, tidak ada nyeri

tekan syaraf dan gangguan fungsi

Berlangsung kurang dari 6 minggu

Membesar, nyeri tekan dan gangguan fungsi.

Berlangsung lebih dari 6 minggu

Kulit dan syaraf

Lesi yang telah ada akan menjadi lebih eritematosa, nyeri pada syaraf

Berlangsung kurang dari 6 minggu

Lesi kulit yang eritematosa disertai ulserasi atau edema pada tangan/kaki

Syaraf membesar, nyeri dan fungsinya terganggu

Berlangsung lebih dari 6 minggu

(9)

2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)

Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL). Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami episode ENL.

Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coomb & Gel.

Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi komplemen.

Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α. IL-4, IL-5, IFN-γ,TNF-α bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama terjadi reaksi ENL. 25,27

Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian steroid jangka panjang.

(10)

Gambar 2.2 Spektrum reaksi kusta RR dan ENL

Keterangan gambar:

Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling

Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral Dikutip dari kepustakaan 28

(11)

Tabel 2.3 Gambaran reaksi kusta tipe 2

Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Nodus sedikit, dapat

ulserasi

Demam ringan dan malaise

Nodus banyak, nyeri, berulserasi

Demam tinggi dan malaise

Syaraf tepi Membesar

Tidak ada nyeri tekan syaraf

Fungsi tidak ada gangguan

Sangat membesar Nyeri tekan Gangguan fungsi

Organ tubuh Tidak ada gangguan

organ-organ dari tubuh

Terjadi peradangan pada: mata: nyeri, penurunan visus, merah sekitar limbus

Testis: lunak, nyeri dan membesar

(12)

Gambar 2.3 Tipe kusta dan reaksi kusta

(13)

2.2 Keterlibatan syaraf pada kusta Gambar 2.4 Syaraf tepi

Dikutip dari kepustakaan 1

2.2.1 Kerusakan syaraf tepi

Syaraf tepi yang terserang akan menunjukkan berbagai kelainan yaitu: • N.fasialis: lagoftalmos, mulut mencong

(14)

• N.trigeminus: anestesi kornea • N.aurikularis magnus

• N.radialis: tangan lunglai (drop wrist)

• N.ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari IV • N.medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II, III, dan

sebagian jari IV. Kerusakan N.ulnaris dan N.medianus menyebabkan jari kiting (clow toes) dan tangan cakar (claw hand)

• N.peroneus komunis: kaki semper (drop foot)

• N.tibialis posterior: mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes)19

2.2.2 Tingkat kerusakan syaraf

Sebagian besar masalah kecacatan pada kusta ini terjadi akibat penyakit kusta yang menyerang syaraf perifer. Menurut Srinivasan, syaraf perifer yang terkena akan mengalami beberapa tingkat kerusakan yaitu:

1. Stage of involvement

Pada tingkat ini syaraf menjadi lebih tebal dari normal (penebalan syaraf) dan mungkin disertai nyeri tekan dan nyeri spontan pada syaraf perifer tersebut, tetapi belum disertai gangguan fungsi syaraf, misalnya anestesi atau kelemahan otot.

2. Stage of damage

Pada stadium ini syaraf telah rusak dan fungsi syaraf tersebut telah terganggu. Kerusakan fungsi syaraf, misalnya kehilangan fungsi syaraf otonom, sensoris dan

(15)

kelemahan otot menunjukkan bahwa syaraf telah mengalami kerusakan (damage) atau telah mengalami paralisis. Diagnosis stage of damage ditegakkan, bila syaraf telah mengalami paralisis yang tidak lengkap atau syaraf batang tubuh telah mengalami paralisis lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan. Penting sekali untuk mengenali tingkat damage ini karena dengan pengobatan pada tingkat ini kerusakan syaraf yang permanen dapat dihindari.

3. Stage of destruction

Pada tingkat ini syaraf telah rusak secara lengkap. Diagnosis stage of

destruction ditegakkan, bila kerusakan atau paralisis syaraf secara lengkap lebih dari

satu tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan pengobatan, fungsi syaraf ini tidak dapat diperbaiki.4

2.3 KECACATAN KUSTA

2.3.1 Batasan istilah dalam cacat kusta

1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat patologik, fisiologik atau anatomic misalnya ulkus, claw hand, absorbs jari.

2. Disability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia contohnya memakai baju sendiri.

(16)

2.3.2 Jenis cacat kusta

Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Kelompok cacat primer

Kelompok cacat primer adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae. Termasuk cacat primer adalah:

a. Cacat pada fungsi syaraf sensorik, misalnya anestesi; fungsi syaraf motorik, misalnya claw hand, drop foot, claw toes, lagoftalmos dan cacat pada fungsi otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering, elastisitas berkurang, serta gangguan refleks vasodilatasi.

b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat (misalnya fesies leonina, blefaroptosis, ektropion). Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia atau madarosis, kerusakan glandula sebasea dan sudorifera menyebabkan kulit kering dan tidak elastik.

c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang, dan bola mata.4

2. Kelompok cacat sekunder

Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan syaraf (sensorik, motorik, otonom). Anestesi akan memudahkan

(17)

terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.

Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan juga memudahkan terjadinya luka. Demikian pula akibat lagoftalmus dapat menyebabkan kornea kering sehingga mudah timbul keratitis.

Kelumpuhan syaraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.4

2.3.3 Derajat cacat kusta

Mengingat bahwa organ yang paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari adalah mata, tangan dan kaki, maka WHO (1988) membagi cacat kusta menjadi tiga tingkat kecacatan yaitu:

1. Cacat pada tangan dan kaki

• Tingkat 0: tidak ada anestesi dan kelainan anatomis • Tingkat 1: ada anestesi, tanpa kelainan anatomis • Tingkat 2: terdapat kelainan anatomis

2. Cacat pada mata

• Tingkat 0: tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)

• Tingkat 1: ada kelainan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang

(18)

Tingkat 2: ada lagoftalmus dan visus sangat terganggu (visus 6/60; dapat menghitung jari-jari pada jarak 6 meter)4

2.3.4 Karakteristik klinis kerusakan syaraf tepi

Berdasarkan klasifikasi dijumpai dua tipe kusta yang mempunyai karakteristik klinis kerusakan syaraf tepi yang berbeda yaitu:

1. Tipe tuberkuloid

• Awitan dini berkembang dengan cepat

• Syaraf yang terlibat terbatas (sesuai dengan jumlah lesi), stadium awal mudah disembuhkan

• Penebalan syaraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom

2. Tipe lepromatous

• Kerusakan syaraf tersebar • Perlahan tetapi progresif

• Beberapa tahun kemudian terjadi hipoastesi (bagian-bagian yang dingin pada tubuh)

• Simetris pada tangan dan kaki yang disebut glove and stocking anaesthesia • Penebalan syaraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom • Keadaan akut jika terjadi reaksi kusta tipe 229

(19)

2.3.5 Patogenesis

Gambar 2.5 Patogenesis cacat pada kusta

SENSORIK OTONOM MOTORIK

ANESTESI KEKERINGAN PARALISIS

MISUSED OF HAND & FEET DISUSED

CEDERA FISURA Memar

Nekrosis tekanan Luka tusuk Luka sayat, lepuh Luka bakar Dislokasi sendi

KONTRAKTUR INFEKSI SEKUNDER ULSERASI DEFORMITAS SENDI MENETAP

SELULITIS SIKATRIKS DISTORSI

OSTEOMIELITIS DEFORMITAS TEKANAN & DISABILITAS ABNORMAL

KEHILANGAN JARINGAN ULSERASI BERULANG Dikutip dari kepustakaan 4

KERUSAKAN SARAF PRIMER Pencegahan: • Diagnosis • Terapi KOMPLIKASI SEKUNDER Pencegahan: • Pendidikan • Perawatan Diperbaiki: • Rehabilitasi • Fisioterapi • Operasi • Pendidikan

(20)

2.4 Ulkus plantaris 2.4.1 Defenisi

Sebutan ulkus “plantar” diperkenalkan oleh Price tahun 1959 untuk ulserasi yang bersifat kronik pada telapak kaki yang anestesi, cenderung resisten untuk pengobatan lokal maupun sistemik dan mempunyai karakteristik sering berulang.7

2.4.2 Jenis

Ulkus yang dijumpai pada pasien kusta mempunyai karakteristik yang berbeda berdasarkan lokasi dan gambaran klinis. Ulkus pada pasien kusta dapat dibagi atas dua kelompok yang berdasarkan ada/tidaknya kerusakan syaraf yaitu:

1. Non-neurophatic ulcers, dibagi atas dua kelompok yaitu: a. Specific ulcers:

• Leprous ulcers

Sering dijumpai pada pasien kusta tipe lepromatous yang sudah lanjut dan tidak mendapat pengobatan. Lokasi yang sering adalah wajah, siku,

dorsum dari tangan.

• Reactional ulcers (Eritema nodosum leprosum=ENL) Merupakan gambaran dari reaksi kusta yang berat. b. Non-specific ulcers

• Stasis ulcers.

(21)

Gambar 2.6 Jenis ulkus pada penyakit kusta

Dikutip dari kepustakaan 7

ULCERS IN LEPROSY AFFECTED

PERSONS

Non-Neurophatic ulcers Neuropathic Ulcers

Specific Non-specific Plantar Extra-plantar

Leprous “Stasis” ulcers

Reactional

(22)

2.4.3 Neuropathy

Gambar 2.7 Neuropathic ulcers pada pasien kusta

Dikutip dari kepustakaan 7

NEUROPATHY

ANAESTHESIA OF SOLE OF FOOT

Anhidrosis Muscle paralysis

Fissures Injury

Infection Unprotected walking

ULCERATION

Deforrnity Scar Tissue loss

(23)

2.4.4 Proporsi

Pada tahun 2010, WHO secara global melaporkan proporsi kasus baru kecacatan tingkat 2 /100.000 populasi adalah 0,23 dan >13.000 kasus baru kecacatan tingkat 2 telah di deteksi di seluruh dunia sedangkan di Indonesia penemuan kasus baru kecacatan tingkat 2 adalah sebanyak 1822 kasus.6

2.4.5 Penyebab

Penyebab timbulnya ulkus plantaris merupakan gabungan dari beberapa keadaan yang mempengaruhi telapak kaki pada pasien kusta yaitu:

1. Kerusakan syaraf pada daerah telapak kaki menimbulkan gangguan fungsi sensorik (anestesi), motorik (kelumpuhan otot) dan otonom (hilangnya fungsi kelenjar keringat) dari syaraf tepi.

a) Ulkus plantaris yang timbul akibat kerusakan syaraf sensorik dapat terjadi akibat telapak kaki mendapat:

1. Tekanan berat badan akibat berdiri lama sehingga mengakibatkan terganggunya aliran darah.

2.Tekanan yang lama (menggunakan sepatu sempit). 3.Tekanan yang berulang yang dapat menyebabkan lepuh.

4.Tekanan tinggi akibat benda tajam seperti paku, duri, batu yang tajam. 5.Tekanan saat berjalan. Pada saat berjalan akan terjadi mekanisme yang

melibatkan bagian-bagian kaki menerima berat badan yaitu heel strike,

(24)

6.Tekanan shearing adalah tekanan dengan gaya horizontal sehingga kulit telapak kaki bergeseran dengan tulang dibawahnyacontohnya jika dijumpai parut pada telapak kaki.

b) Gangguan motorik akan menyebabkan kelumpuhan otot, sehingga fungsi kaki terganggu, akibatnya ada bagian-bagian tertentu dari telapak kaki menerima beban yang berlebihan. Foot drop akan menimbulkan luka-luka pada telapak kaki bagian lateral akibat kerusakan N.popliteus lateral. Claw

toes dapat menimbulkan luka pada ujung-ujung jari kaki dan menyebabkan

timbulnya luka-luka di daerah kepala metatarsal akibat kerusakan otot intrinsik kaki.

c) Gangguan otonom

a) Gangguan aliran darah. Gangguan syaraf otonom mengakibatkan hilangnya refleks regulasi darah sehingga kulit kaki lebih rentan terhadap trauma dan infeksi.

b) Gangguan fungsi kelenjar keringat dan kelenjar lemak kulit. Kulit menjadi kering mudah retak-retak sehingga menjadi luka.

2. Gangguan arsitektur kulit telapak kaki:

Kulit telapak kaki mempunyai bentuk arsitektur yang khas dimana dijumpai mekanisme slippery slope, terjadi jika kulit mendapat tekanan berat badan,

(25)

maka tekanan disebarkan kedaerah sekitarnya sehingga dapat ditahan oleh daerah kulit yang lebih luas.

3. Deformitas kaki

Deformitas kaki menyebabkan tekanan yang berlebihan pada kulit atau pada daerah kaki yang biasanya tidak menerima beban berat badan. Deformitas yang sering dijumpai adalah:

a) Kaki lunglai (drop foot)

Gangguan syaraf popliteus lateralis dan syaraf kommunis menyebabkan kelumpuhan dari otot-otot dorsifleksor dan invertor sehingga menimbulkan luka terutama di daerah basis metatarsal V.

b) Jari kaki kiting (claw toes)

Ujung-ujung jari kaki yang menghadap ke bawah akan mudah mendapat trauma dan luka akibat gangguan syaraf tibialis posterior yang menyebabkan kelumpuhan otot-otot intrinsik kaki sehingga menimbulkan jari kaki kiting. Luka terutama didaerah metatarsal III dan IV disebabkan oleh sendi metatarsofalangeal menjadi hiperekstensi sehingga arkus kaki menjadi datar.

c) Kerusakan arsitektur tulang

Arsitektur tulang kaki berubah menjadi pendek, kecil yang mengakibatkan tekanan yang berlebihan pada kulit telapak kaki dan

(26)

memudahkan terjadinya luka akibat adanya luka plantar disertai komplikasi osteomyelitis metatarsal.11

Gambar 2.8 Gangguan persyarafan pada kaki

Keterangan gambar :

A. Gangguan n.peroneus komunis: kaki semper/lunglai (foot drop)

B. Gangguan n.tibialis posterior: mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes)

claw toes Dikutip dari kepustakaan 30

(27)

Gambar 2.9 Penyebab ulkus plantaris

Dikutip dari kepustakaan 7

2.4.6 Lokasi

Distribusi lokasi ulkus plantaris pada pasien kusta dapat dijumpai: a) Tips of toes sebanyak <5 %

b) Big toe region sebanyak 30-50%

c) Central toe region 2nd-5th metatarsal head sebanyak 20-30% d) Metatarsal head region sebanyak 15-20%

Kerusakan syaraf sensorik dan anestesi

Kerusakan syaraf otonom dan anhidrosis

Kerusakan syaraf motorik dan paralisis otot intrinsic dari plantar

Trauma + infeksi Tekanan ketika

berjalan Pecah + infeksi

Ukus Ulkus Ulkus

(28)

e) Mid lateral border of the foot (base of 5th metatarsal) sebanyak 15-20%

f) Heel sebanyak 5-10% g) Instep sebanyak <1%.7

Gambar 2.10 Lokasi ulkus plantaris

Dikutip dari kepustakaan 7

Namun ada juga yang membagi distribusi lokasi ulkus plantaris menjadi tiga bagian yang lebih sederhana yaitu:

a) Forefoot sebanyak 79% (sudah termasuk big toe 13,7%)

b) Midfoot sebanyak 7%

(29)

Gambar 2.11 Pembagian tiga lokasi ulkus plantaris

Dikutip dari kepustakaan 8 dan 31

2.4.7 Tipe-tipe ulkus plantaris dan karakteristiknya

Ulkus plantaris dapat digolongkan menjadi: 8,14,32

1. Ulkus plantaris akut, dimana ulkus menunjukkan adanya infeksi akut dan peradangan akut. Daerah yang terkena menjadi bengkak, hiperemi dengan dasar yang kotor. Dapat juga dijumpai limfadenitis inguinal dan tanda gejala infeksi akut seperti demam dan leukositosis.

2. Ulkus plantaris yang bersifat superficial ulcer apabila tidak mendapat penanganan yang tepat dapat berkembang menjadi simple chronic ulcer. Ditandai dengan sedikit discharge, terdapat hiperkeratotik dengan jaringan

(30)

fibrosa yang padat dan dasar ulkus berwarna pucat tertutup jaringan granulasi yang tidak sehat.

3. Complicated ulcer, dapat akut maupun kronik. Ditandai dengan hilangnya jaringan lunak, fraktur yang patologik, destruksi dari sendi, kehilangan tulang berhubungan dengan osteomyelitis yang terjadi akibat jaringan di sekitar tulang (periosteum) mengalami infeksi sehingga menyebabkan terjadinya inflamasi pada tulang.

4. Ulkus plantaris jika mendapat mendapat trauma/tekanan yang berulang akan berlanjut menjadi recurrent ulcers, ditandai dengan ditemukannya lokasi ulkus plantaris pada tempat yang sama.

5. Pada beberapa kasus, ulkus plantaris dapat berkembang menjadi premalignant atau malignant yang pertumbuhannya menyerupai gambaran bunga kol kemungkinannya adalah skuamous sel karsinoma atau pseudo-epitheliomatous hyperplasia.15,16

Pada ulkus plantaris yang mengalami komplikasi, kadang-kadang perlu dilakukan tindakan rekonstruksi atau pembedahan seperti amputasi sehingga tindakan tersebut dapat mengakibatkan pasien kusta akan mengalami deformity dan disability yang akan menggangu aktivitas kehidupan sehari-hari.

2.4.8 Tatalaksana

Prinsip penanganan ulkus plantaris yang paling utama adalah mengajarkan pada pasien kusta untuk memeriksa kakinya setiap hari sehingga pasien kusta dapat

(31)

mengetahui/menyadari lebih sedini mungkin jika ada luka pada telapak kaki oleh karena re-epitealisasi (penyembuhan luka) akan lebih cepat terjadi pada ulkus plantaris yang letaknya superfisial dibandingkan dengan yang letaknya lebih dalam dan selanjutnya melakukan perawatan luka dengan cara membersihkan, membuang jaringan yang mati serta menipiskan penebalan kulit dan jika ada indikasi dapat dilakukan tidakan bedah.12 Penatalaksanaan yang umumnya dilakukan pada pasien kusta dengan ulkus plantaris yaitu:

1. Mengistirahatkan kaki untuk menghilangkan penyebab tekanan pada jaringan, agar jaringan yang rusak dapat memperbaiki diri.

2. Lingkungan luka yang baik dimana bebas dari benda asing dan bebas dari mikroorganisme yang berbahaya.

3. Higiene dari lingkungan sekitar dan memberikan proteksi pada luka sehingga lingkungan luka tetap bersih dan lembab.

4. Menggunakan alas kaki yaitu “sandal MCR” yang terbuat dari bahan karet MCR (micro cellular rubber).

5. Menggunakan alat bantu cacat brace untuk menyokong berat badan.

(32)

2.5 Kerangka teori Peripheral Neuropathy Kerusakan saraf sensorik Kerusakan saraf otonom Kerusakan saraf motorik

Anestesi Anhidrosis Paralisis

Trauma (berulang) Pecah-pecah Tekanan

(33)

2.6 Kerangka konsep

Keterangan : Ruang lingkup penelitian Etiologi

Kerusakan syaraf : a. Sensorik

b. Motorik

c. Otonom Pasien kusta dengan

ulkus plantaris Ulkus plantaris: - Lamanya - Penyebab - Lokasi - Sisi kaki kanan/kiri - Pengobatan - Keteraturan pengobatan - Penyembuhan Karakteristik subyek: - Umur - Jenis kelamin - Pendidikan - Pekerjaan - Riwayat keluarga menderita kusta - Riwayat tipe kusta - Riwayat pengobatan penyakit kusta - Riwayat reaksi kusta Komplikasi: - Berulang - Kronik - Osteomyelitis - Squamous cell carcinoma Tatalaksana Sembuh Tindakan bedah: - Rekonstruksi - Amputasi

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengetahui adanya perbedaan efek antara metil prdnisolon tunggal dengan kombinasi metil prednisolon dan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan klinis pasien Bell’s palsy,

Tingkat kapasitas buffer suatu minuman atau makanan yang tinggi akan memacu proses pengurangan permukaan enamel dan terlarutnya enamel disebabkan oleh banyak ion dari mineral

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Universitas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol daun Kipahit efektif pada konsentrasi 1% yang mampu menyebabkan kematian, penurunan bobot pupa dan menghalangi terbentuknya

Serangan ulang malaria antara lain berkaitan dengan keadaaan vector malaria yaitu kondisi lingkungan, kondisi fisik rumah dan manusia yaitu imunitas, resistensi

Pendidikan Nonformal: Pengembangan melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Indonesia (Sebuah Pembelajaran dari Kominkan Jepang ).. Model Pendidikan dan

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

A rough surface brought by plasma exposure would emphasize the electrical field so that the discharge with longer exposure time would more easily take place. Decrease