• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengelolaan dan Pemanfaatan SDI di Perairan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengelolaan dan Pemanfaatan SDI di Perairan Indonesia"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1999), sebagai sebuah sistem, keberhasilan pengelolaan sumberdaya perikanan akan sangat ditentukan oleh berfungsinya tiga sub sistem yaitu (1) sub sistem eksplorasi dan prasarana, (2) sub sistem pemanfaatan sumberdaya dan (3) sub sistem pengawasan dan pengendalian pemanfatan sumberdaya.

2.1 Pengelolaan dan Pemanfaatan SDI di Perairan Indonesia

Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia dan perairan ZEE Indonesia sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia. Para nelayan sudah dari dahulu memanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia dan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, juga sudah banyak dikeluarkan oleh institusi pemerintah yang berwenang, bahkan sebelum UU No. 31 Tahun 1985 dan UU No.34 Tahun 2004 tentang Perikanan itu sendiri dibuat dan diundangkan. Menurut Monintja (2006), UU No. 34 tersebut telah mewajibkan Indonesia untuk mengelola perikanan Indonesia secara sungguh-sungguh. Landasan hukum untuk mengelola perikanan tersebut apabila dirancang dan diimplementasikan dengan baik, akan membebaskan Indonesia dari kategori unregulated fishing dan status open access yang merupakan ancaman terhadap keberlanjutan usaha penangkapan ikan di Indonesia (Monintja, 2006).

Kebijakan lainnya yang juga terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan adalah Undang-undang Pemerintah Daerah, yakni UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2005, terutama yang berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Indonesia. Permasalahan yang muncul dewasa ini yang sering menimbulkan konflik seperti misalnya ditangkapnya nelayan-nelayan dari daerah lain yang melakukan penangkapan ikan di wilayah lain dan bukan di daerahnya sendiri. Contohnya adalah seperti nelayan purse seine dari Pekalongan yang menangkap ikan di daerah lain (misalnya di perairan Masalembo dan Matasiri), namun dengan diundangkannya UU Pemerintah Daerah, maka nelayan-nelayan dari Pekalongan tersebut mengalami kesulitan dan juga terjadi konflik dengan nelayan setempat. Pemahaman dan penerapan yang tidak tepat seringkali yang menimbulkan konflik antara nelayan pendatang dan

(2)

12 nelayan setempat, sehingga perlu adanya sosialisasi tentang peraturan perundangan tersebut. (Imron, 2000).

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ikan-ikan yang didaratkan di beberapa Pelabuhan Perikanan (PP) maupun di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) seperti misalnya di Pekalongan, Indramayu, Brondong, Sibolga, Bitung dan masih banyak lagi PP maupun PPI lainnya, tidak sepenuhnya ikan hasil tangkapan tersebut merupakan hasil tangkapan di wilayah perairan setempat, tetapi juga merupakan ikan hasil tangkapan dari daerah lain. Bahkan sekitar 50 % dari jumlah ikan hasil tangkapan yang didaratkan tersebut merupakan ikan hasil tangkapan dari daerah lain. Nelayan-nelayan dari Pekalongan, Indramayu dan Cirebon selain menangkap ikan di wilayah perairannya sendiri, juga menangkap ikan di perairan Karimun Jawa, perairan Matasiri dan Masalembo dan bahkan sampai ke perairan Kalimantan, ke perairan Sumatera dan perairan Laut Cina Selatan (Imron, 2000).

Seringkali didapati juga nelayan-nelayan dari Serang, Labuhan, Indramayu dan Cirebon, berbondong-bondong dan berkonvoi menyeberangi Selat Sunda untuk sementara pindah tempat (pindah fishing base-nya) ke Provinsi Lampung. Ini dilakukan bila di daerah asalnya sedang tidak musim ikan atau terjadi musim paceklik yang panjang, bahkan tidak jarang juga mereka akhirnya menetap di daerah baru tersebut.

Contoh kasus lainnya misalnya adalah banyaknya nelayan dari Sibolga yang sekarang ini memanfaatkan perairan di Selatan Jawa dan mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Cilacap. Bahkan dewasa ini kolam pelabuhan perikanan di Cilacap ini telah dipadati oleh kapal-kapal ikan milik nelayan dari Sibolga tersebut. Nelayan dari Cilacap sendiri masih lebih senang merapatkan kapalnya di pangkalan pendaratan ikan yang lama di PPI Sentolo Kawat atau PPI lainnya yang berdekatan dengan tempat tinggalnya, meskipun sebenarnya mereka sudah dihimbau dan diminta pindah ke pelabuhan perikanan Cilacap.

Setelah kapal-kapal ikan dari Sibolga banyak merapat dan memadati kolam pelabuhan perikanan Cilacap, nelayan setempat melakukan protes dan bahkan sampai melakukan pembakaran terhadap kapal ikan dari Sibolga. Untungnya persoalannya dapat diatasi dan dapat didamaikan, meskipun pada suatu saat tidak tertutup kemungkinan dapat timbul konflik yang baru lagi.

Pada masa yang lalu, hal ini tidak menjadikan permasalahan yang berarti, karena nelayan dari daerah setempat tidak menganggap nelayan dari luar wilayahnya mencuri ikan di daerahnya.

(3)

13 Namun sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2005 tentang Pemerintah Daerah dan karena pemahaman yang keliru, maka hal ini sering menjadikan konflik antar nelayan setempat dan nelayan pendatang, dan bila hal ini tidak segera ditangani dengan benar, tentunya akan dapat menimbulkan masalah yang lebih serius dikemudian hari dan bahkan dapat menimbulkan keretakan atau disintegrasi bangsa Indonesia.

Dengan diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2005 tentang Pemerintah Daerah, yang implementasinya akan dituangkan dalam peraturan pemerintah, hendaknya tidak menjadikan masalah-masalah baru yang dapat merusak keutuhan dan kesatuan bangsa yang dewasa ini terasa semakin mahal harganya. Peraturan pemerintah yang akan dibuat dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang wilayah pengelolaan, pemanfaatan dan pengaturan “shared stock” sumberdaya ikan di perairan Indonesia, diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan yang mungkin ditimbulkan oleh pemahaman yang keliru tentang UU Otonomi Pemerintah Daerah tersebut, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya pengkaplingan wilayah laut, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan konsep Wawasan Nusantara.

Pendekatan pemikiran yang digunakan untuk mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan shared stock dan pengelolaannya adalah dengan membuat konsepsi atau pemikiran dan langkah-langkah yang sebaiknya diambil pemerintah melalui kajian penentuan shared stock sumberdaya ikan di Indonesia dengan pendekatan secara menyeluruh dan terpadu (integrated and comprehensive approach). Artinya, dalam penentukan shared stock sumberdaya di perairan Indonesia sebaiknya memperhatikan seluruh kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Pendekatannya dapat dilakukan dengan mempergunakan dan menerapkan beberapa pengkajian stok dengan menggunakan beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengestimasi stok sumberdaya seperti misalnya dengan menggunakan Metode Surplus Produksi baik dengan Schaefer maupun Fox, Metode “swept area” dari Gulland, Metode Penandaan (Tagging), Metode Akustik Perikanan, Metode Semi-Kuantitatif dan lain sebagainya sekaligus dilakukan melalui pendekatan dengan menggunakan penginderaan jarak jauh, pengukuran parameter oseanografi, usaha penangkapan ikan, serta didukung dengan kelembagaan yang tepat, dimana semua komponen tersebut dapat saling dikait dan dipadukan, sehingga menghasilkan suatu informasi yang tepat (Imron, 2000).

Sebelum menentukan pengelolaan dan pemanfaatan stok sumberdaya ikan di wilayah perairan Indonesia dan ZEEI, yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah tentang kondisi biologi

(4)

14 dan ekologi. Kondisi biologi dan ekologi disini adalah tentang kondisi sumberdaya ikan, yang dikaitkan dengan berapa besarnya stok sumberdaya ikan (stock assessment), serta berapa banyak yang boleh ditangkap atau dimanfaatkan (total allowable catch) dan alokasi stok sumberdaya ikan (shared stock) tersebut bagi wilayah daerah otonom.

Untuk mengkaji aspek pengelolaan dan pemanfaatan stok sumberdaya ikan berkaitan dengan diterapkannya UU Pemerintah Daerah dilakukan dengan menggunakan berbagai kebijakan dengan membuat evaluasi kebijakan melalui analisis rancangan dan konsepsi. Analisis ini dipergunakan secara deskriptif untuk mengkaji beberapa kebijakan yang telah dibuat dan cara bagaimana sasaran-sasaran dari kebijakan tersebut dibuat dalam upayanya agar tercapai tujuan kebijakan dan tindakan apa yang seharusnya dilakukan. Bila dilihat dari stok sumberdaya ikan yang berada di suatu wilayah perairan tertentu atau yang keberadaan stok sumberdaya ikan pada musim-musim tertentu untuk jenis-jenis ikan yang bermigrasi, maka untuk pengaturan shared stock harus memenuhi beberapa kriteria yang relevan (Imron, 2000) untuk dipertimbangkan.

Proses pengelolaan sumberdaya perikanan sangat membutuhkan berbagai informasi sebagai dasar untuk menetapkan berbagai informasi sebagai dasar untuk menetapkan berbagai rencana dan aturan yang harus dibuat untuk menata kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Pertama, perlunya pengetahuan tentang informasi dasar yang sangat diperlukan tentang proses biologi dan ekonomi yang menyangkut setiap jenis kegiatan perikanan. Proses biologi yang perlu dikaji meliputi informasi tentang populasi spesies ikan tertentu atau kelompok spesies ikan dan dinamikanya, parameter habitat, dan lingkungan yang mempengaruhinya, reproduksi, pertumbuhan, dan mortalitasnya. Proses ekonomi yang perlu dikaji dengan sejumlah metode terutama untuk menentukan pemanfaatan sumberdaya ikan, investasi permodalan yang diperlukan dan keluaran berupa hasil dan pendapatan usaha. Kedua, untuk menanggulangi penipisan stok ikan perlu menyusun teori untuk bisa menetapkan tingkat penipisan stok ikan dan menetapkan tingkat pemanfaatan dan tingkat upaya yang diinginkan. Ketiga, rancangan kelembagaan dan regulasi untuk mempertegas hak pemanfaatan sumberdaya dan mengendalikan eksploitasi sumberdaya ikan dan pemasarannya. Walaupun tidak mudah, perlu diupayakan mengkaji ketiga faktor kajian tersebut dan mengaplikasikannya dalam menyusun suatu rencana pengelolaan sumberdaya perikanan.

(5)

15 Pengertian pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah pemanfaatan sumberdaya ikan dan biota air lainnya untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Sumberdaya perikanan adalah jenis sumberdaya yang dapat diperbaharui. Artinya bahwa apabila kita dapat mengelola dan menjaga dengan baik dan juga disertai restocking, maka keberadaan sumberdaya tersebut akan tetap terjaga dan lestari, sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang hidup sekarang dan juga sekaligus tidak mengabaikan kebutuhan generasi yang akan datang (Bintoro, 2005).

Kata berkelanjutan dalam memanfaatan sumberdaya berasal dari bahasa Inggris sustainable yang berarti meneruskan tanpa henti-hentinya atau terus menerus sehingga sustainable dapat diartikan sesuatu yang dapat dimanfaatkan secara terus menerus atau berkelanjutan (Munasinghe, 1993). Dalam bidang perikanan istilah “pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan” (sustainable fisheries utilization) muncul karena adanya isu global tentang terbatasnya sumberdaya perikanan di satu pihak dan kebutuhan akan sumberdaya perikanan yang terus meningkat akibat semakin bertambahnya jumlah penduduk dunia di lain pihak.

Sumberdaya ikan bersifat dapat pulih/diperbaharui (renewable resources), yang memiliki kemampuan regenerasi secara biologis, akan tetapi apabila tidak dikelola secara hati-hati dan menyeluruh akan mengarah kepada pengurasan sumberdaya ikan yang akhirnya mengancam keberlanjutan sumberdaya. Untuk itu dalam pengelolaan sumberdaya perikanan rente ekonomi yang sebesar-besarnya hendaknya diperoleh tanpa melakukan pengurasan terhadap sumberdaya ikan itu sendiri. Prinsip pembangunan yang berkelanjutan hendaknya diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Munasinghe, 1993).

Perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan dimulai pada awal tahun 1990-an y1990-ang merupak1990-an proses dari terjadinya beberapa perubah1990-an (Fauzi d1990-an Anna, 2002) :

1) Meningkatnya perhatian terhadap lingkungan dari para stakeholder sebagai akibat Rio summit yang menyerukan diperlukannya perbaikan secara global terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan.

2) Terjadinya collapse dari beberapa perikanan dunia seperti anchovy, tuna dan salmon yang menyadarkan orang tentang konsekuensi yang ditimbulkan tidak hanya ekologi, namun juga konsekuensi sosial dan ekonomi.

(6)

16 3) Pemberdayaan para stakeholder yang menuntut diperlukan pandangan yang lebih

luas (holistik) mengenai pengelolaan perikanan.

The World Commission on Environment and Development (WCED), 1987 mendefinisikan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.

Menurut Monintja (1997) perikanan tangkap yang berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai usaha penangkapan ikan yang perlu memiliki beberapa persyaratan khusus antara lain:

1) Produk-produk dapat diterima oleh masyarakat konsumen (marketable).

2) Usaha penangkapan menunjukkan keragaman yang menguntungkan (profitable). 3) Usaha penangkapan tidak mengganggu habitat serta kegiatan-kegiatan sub sektor

lainnya (environmental friendly).

4) Usaha penangkapan akan dapat berjalan terus menerus tanpa mengganggu kelestarian spesies sasaran (sustainable).

Keberlanjutan (sustainability) hendaknya dijadikan salah satu tujuan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan karena hal ini telah diamanatkan dalam Deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Environment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992 dimana Indonesia merupakan salah satu peserta. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam untuk menjamin tersedianya aset sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (UNCED, 1992).

Pembangunan berkelanjutan mengandung tiga dimensi utama yang meliputi dimensi ekonomi, ekologi dan sosial, jadi suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik bersifat berkelanjutan (Gambar 2). Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam

(7)

17 termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Dengan demikian jelas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan hanya bisa dilaksanakan apabila pembangunan harus berorientasi pada kepentingan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat yang terkena dampaknya (Doring, 2001).

Gambar 2 Tiga dimensi keberlanjutan (Doring, 2001).

Bertambahnya penduduk dunia menyebabkan meningkatnya kebutuhan protein hewani sehingga hal ini juga meningkatkan level eksploitasi sumberdaya perikanan yang mana akan menyebabkan tercapainya tingkat eksploitasi penuh (fully exploited) pada sumberdaya perikanan. Pada tahap ini pemanfaatan sumberdaya harus lebih hati-hati karena tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan sudah seimbang dengan daya dukung sumberdaya perikanan tersebut.

Sustainability Triangle

Ecological Integrity Economic stability

Careful Development Use

Evaluation Education

(8)

18 Pada tahap ini pertimbangan yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan sudah bergeser ke arah pertimbangan ekologi. Munasinghe (1993) juga mengemukakan tentang konsep sustainable development yang mempertimbangkan tiga (3) isu utama yaitu ekonomi (economic), sosial (social), dan lingkungan (environmental) (Gambar 3).

Gambar 3 Hubungan antar sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam konsep sustainable development (Munasinghe, 1993)

Dwiponggo (1987), FAO (1995), dan Bintoro (1995) mengemukakan bahwa berdasarkan status pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dibagi menjadi enam (6) kelompok yaitu :

(1) Unexploited; Sosial Lingkungan Ekonomi Efisiensi Pertumbuhan Stabilitas Kemelaratan Konsultasi Budaya Biodiversitas Sumber daya alam Polusi Partisipasi Pemerataan - Pemerataan antar pengguna - Tenaga kerja - Penilaian - Internalisasi

(9)

19 Stok sumberdaya perikanan belum tereksploitasi (masih perawan). Aktivitas penangkapan sangat dianjurkan untuk mendapatkan keuntungan dari produksi.

(2) Lightly exploited;

Stok sumberdaya baru tereksploitasi sedikit (<25% MSY). Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya. CPUE mungkin masih bias meningkat.

(3) Moderately exploited;

Stok sumberdaya sudah tereksploitasi setengah dari MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan masih dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya CPUE mungkin mulai menurun.

(4) Fully exploited;

Stok sumberdaya sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan walaupun jumlah tangkapan masih bias meningkat karena akan mengganggu kelestarian sumberdaya CPUE pasti menurun. (5) Over exploited;

Stok sumberdaya sudah menurun karena tereksploitasi melebihi nilai MSY. Upaya pengkapan harus diturunkan karena kelestarian sumberdaya sudah terganggu.

(6) Depleted

Stok sumberdaya dari tahun ke tahun jumlahnya menurun drastis. Upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan karena kelestarian sumberdaya sudah sangat terancam.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, erat hubungannya dengan konsep pengembangan perikanan (fisheries development) dan pengelolaan perikanan (fisheries management). Pada tahap awal ketika sumberdaya perikanan belum tereksploitasi (unexploited) atau baru saja tereksploitasi (lightly exploited), pemanfaatan sumberdaya yang dikenal pada tahap ini adalah pengembangan (development), yaitu mengupayakan peningkatan eksploitasi sumberdaya perikanan untuk mendapatkan keuntungan. Satu-satunya pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pada tahap ini adalah orientasi ekonomi semata yang diwujudkan dengan peningkatan produksi. Selanjutnya oleh karena adanya peningkatan

(10)

20 eksploitasi terus menerus terhadap sumberdaya tersebut, kondisi stok berubah statusnya menjadi tereksploitasi menengah (moderately exploited) (Garcia et al., 1999).

Pada kondisi ini, jumlah pihak-pihak yang terlibat (utamanya nelayan) semakin bertambah sehingga upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tidak hanya sektor ekonomi semata yang menjadi pertimbangan tetapi juga unsur sosial. Paradigma pemanfaatan sumberdaya bergeser dari fisheries development yang mempertimbangkan ekonomi semata tetapi menjadi ke arah fisheries management yang mempertimbangkan pemerataan distribusi keuntungan kepada pihak-pihak yang terlibat (Garcia et al., 1999).

Satu rumusan perikanan masa depan yang sudah menjadi komitmen internasional adalah terciptanya perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries) yang tidak semata memperhatikan aspek ekologis (environmentally friendly), tetapi juga berdimensi ekonomi (economically sound), dan berdimensi sosial (socially just) (Dahuri, 2002). Walaupun harus diakui bahwa pengintegrasian secara seimbang ketiga hal tersebut adalah suatu hal yang tidak mudah dilakukan. Charles (2001) menambahkan bahwa selain unsur sosial dan ekonomi, perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries) harus juga memperhatikan aspek ekologi, komunitas, dan institusi.

Model pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan (lestari) ini harus diterapkan pada sumberdaya yang statusnya sudah fully exploited. Jika hal ini diabaikan, cepat atau lambat, sumberdaya perikanan akan menjadi lebih tangkap (over exploited) dan bahkan turun drastis oleh karena tidak terkontrolnya tingkat eksploitasi yang melebihi daya dukung sumberdaya perikanan tersebut. Selanjutnya punahnya (extinct) sumberdaya perikanan tinggal menunggu waktu saja (Garcia et al., 1999). Garcia et al., (1999) menambahkan bahwa aktivitas perikanan tangkap cenderung mengikuti aturan pengembangan umum (common development pattern), yaitu seiring dengan ditemukannya sumberdaya perikanan, pada awalnya, stok sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu dalam keadaan belum tereksploitasi sampai tereksploitasi sedikit (lightly exploited). Kondisi ini bergerak ke arah berkembang (moderately exploited) oleh karena adanya teknologi penangkapan, infrastruktur, dan permintaan pasar yang menyebabkan meningkatnya tingkat upaya penangkapan dan produksi.

Selanjutnya, terus meningkatnya permintaan pasar menyebabkan semakin banyaknya pihak-pihak yang ingin terlibat dalam aktivitas perikanan tangkap pada sumberdaya tersebut yang ditandai dengan semakin terdorongnya masyarakat untuk menginvestasikan dananya dalam

(11)

21 mengembangkan infrastruktur, pengucuran kredit, pengadaan armada penangkapan, dan industri pengolahan dan pemasaran menyebabkan tercapainya puncak produksi yaitu kondisi dimana sumberdaya tereksploitasi secara penuh (full exploited). Oleh karena terbatasnya daya dukung sumberdaya, produksi akan mengalami penurunan, selanjutnya perbaikan dan penguatan sumberdaya (Gambar 4) (Garcia et al., 1999).

Gambar 4 Kecenderungan perikanan tangkap mengikuti aturan pengembangan umum (Garcia et al., 1999)

Melihat kondisi beberapa sumberdaya perikanan dunia semakin tertekan akhir-akhir ini, badan dunia pemerhati masalah makanan dan pertanian yaitu FAO rupanya sadar tentang pentingnya konsep “pemanfaatan yang berkelanjutan” dengan mengeluarkan code of conduct for responsible fisheries (CCRF) pada tahun 1995 yaitu cara-cara bagaimana melakukan kegiatan eksploitasi sumberdaya perikanan yang bertanggung jawab (responsible) dengan memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan (sustainability) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001a).

Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya tidak melebihi kemampuan sumberdaya untuk memperbaharui diri. Tingkat pemanfaatan masing-masing sumberdaya perikanan berbeda tergantung pada ukuran besarnya masing-masing sumberdaya perikanan. Pauly (1983)

Belum berkembang Waktu Turun Puncak Berkembang Perbaikan dan penguatan Tingkat produksi

(12)

22 mengemukakan bahwa produksi ikan pada waktu tertentu dapat dijadikan indikator dari ukuran stok ikan pada saat itu sehingga pengelolaan stok ikan untuk periode berikutnya dapat ditentukan. Dengan bertambahnya tekanan pada stok ikan karena adanya aktivitas penangkapan, konsep pertumbuhan alami harus tetap dipertahankan yang artinya jumlah kematian ikan akibat penangkapan dan kematian alami tidak boleh lebih besar dari proses penambahan stok ikan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa jumlah tangkapan tertinggi suatu jenis ikan (tangkapan maksimum lestari/MSY) ditambah dengan jumlah kematian alami ikan tersebut tidak boleh melebihi jumlah penambahan stok ikan tersebut (Pauly, 1983).

Kemampuan sumberdaya perikanan untuk memperbaharui diri mereka melalui pertumbuhan dan rekrutmen sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya dalam hal pengadaan sumber makanan, persaingan antar dan inter spesies, lingkungan yang sehat dan sesuai, dan adanya predator. Jika aktivitas penangkapan dilakukan dengan tidak hati-hati walaupun jumlahnya tidak melebihi daya dukung suatu sumberdaya perikanan, maka aktivitas penangkapan tersebut cepat atau lambat akan membahayakan kemampuan sumberdaya perikanan dalam memperbaharui diri (Pauly, 1983).

2.3 Kaidah Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Yang Berkelanjutan Istilah sustainable management dalam pengelolaan sumberdaya perikanan lebih diarahkan pada perikanan tangkap yang mengeksploitasi sumberdaya perikanan di laut dan di darat. Ide sustainable management di bidang perikanan relatif baru dibandingkan dengan bidang lain yang sumberdayanya dapat diperbaharui dan tingkat eksploitasinya dapat diatur dengan jelas seperti kehutanan (Charles, 2001).

Sustainable fisheries management erat kaitannya dengan aktivitas penangkapan yang bertanggung jawab (responsible fisheries). Pengertian “pemanfaatan yang berkelanjutan” tidak hanya kegiatan atau aktivitas perikanan yang lestari semata tetapi juga merupakan aktivitas perikanan yang memenuhi persyaratan-persyaratan responsible fisheries, yaitu penggunaan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan. Aktivitas perikanan dikatakan lestari jika konsistensi kemampuan sumberdaya perikanan untuk pulih kembali terpelihara setiap saat tanpa mengabaikan stabilitas tangkapan sekarang. Dengan kata lain aktivitas perikanan lestari adalah sangat memperhatikan keinginan untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan sekaligus

(13)

23 menjaga kelestariannya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001a). Menurut Haluan dan Rakhmadewi (2006), pendekatan sistem dan rekayasa permodelan untuk pengelolaan sumberdaya laut di wilayah pesisir yang berbasis masyarakat dapat dan layak dilakukan dalam rangka pengembangan wilayah pesisir dan masyarakatnya. Suatu perencanaan agroindustri perikanan di Indonesia dapat dilakukan dengan aplikasi pendekatan sistem dengan menyususn model agroindustri perikanan yang aplikatif, yang dinamis dan sekaligus merupakan sistem informasi manajemen yang akan membantu menunjang pengambilan keputusan oleh para eksekutif.

Monintja (1999) mengemukakan bahwa kriteria teknologi penangkapan ikan yang dikatakan ramah lingkungan adalah alat tangkap yang memenuhi kriteria :

(1) Memiliki selektivitas alat tangkap tinggi.

Dasar yang digunakan untuk menilai keramahan lingkungan suatu teknologi penangkapan ikan adalah dilihat dari ukuran ikan hasil tangkapan dan lebar mesh size jaring. Semakin besar ukuran ikan hasil tangkapan dan ukuran mesh size jaring semakin tinggi nilai keramahan lingkungan alat tangkap tersebut.

(2) Tidak destruktif terhadap habitat.

Alat tangkap yang paling sedikit menimbulkan kerusakan pada habitat mempunyai nilai keramahan yang tinggi.

(3) Tidak membahayakan operator.

Alat tangkap yang paling sedikit menimbulkan kecelakaan pada nelayan, mempunyai keramahan yang tinggi.

(4) Ikan tangkapan bermutu baik.

Mutu ikan hasil tangkapan akan menjadi tolak ukur nilai keramahan lingkungan suatu teknologi penangkapan. Semakin baik mutu ikan semakin tinggi nilai keramahannya.

(5) Produk tidak membahayakan konsumen.

Teknologi penangkapan yang menghasilkan tangkapan yang paling aman dikonsumsi mendapatkan nilai keramahan yang paling tinggi.

(6) Minimum discard dan by-catch.

Penilaian keramahan teknologi penangkapan pada materi ini didasarkan pada ada tidaknya hasil tangkapan yang dibuang. Dalam hal ini hasil tangkapan utama

(14)

24 sebaiknya lebih banyak dibandingkan dengan hasil sampingan lainnya, maka penilaian keramahan tidak didasarkan pada ada tidaknya ikan hasil sampingan. (7) Tidak merusak keanekaragaman sumberdaya hayati.

Keramahan suatu teknologi penangkapan didasarkan pada ada tidaknya kerusakan keragaman sumberdaya hayati akibat aktivitas teknologi penangkapan tersebut. (8) Tidak menangkap protected species.

Oleh karena fishing ground udang ada di dasar perairan, maka tidak ada spesies ikan yang dilindungi seperti ikan napoleon dan penyu, maka nilai keramahan teknologi penangkapan yang ada adalah sama.

(9) Diterima secara sosial.

Penerimaan masyarakat nelayan di lokasi penelitian terhadap teknologi penangkapan akan dijadikan dasar penilaian teknologi penangkapan tersebut.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Monintja (1999) bahwa kriteria aktivitas penangkapan ikan yang berkelanjutan adalah:

(1) Menerapkan teknologi penangkapan ramah lingkungan.

Penerapan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan akan dijadikan dasar penilaian pada materi ini.

(2) Jumlah tangkapan tidak melebihi kuota.

Ukuran jumlah hasil tangkapan dan kemampuan menangkap adalah sebagai dasar pendekatan dalam penentuan penilaian tingkat keberlanjutan suatu teknologi penangkapan.

(3) Menguntungkan.

Pendekatan yang digunakan adalah nilai NPV dan BC Ratio. (4) Rendah investasinya.

Untuk mewujudkan upaya pengelolaan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan diperlukan perencanaan terpadu, mengingat banyaknya komponen-komponen yang terkait dari sub sistem-sub sistem yang ada. Upaya pengelolaan sumberdaya tidak hanya berorientasi pada peningkatan pemanfaatan sumberdaya atau produksi saja, tetapi harus dapat mengintegrasikan keseluruhan sub sistem dalam sistem pengelolaan sumberdaya seperti tersebut di atas.

(15)

25 Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya, kemungkinan akan dihadapkan pada berbagai permasalahan dan mengharuskannya untuk dapat menetapkan solusi, menetapkan kebijakan maupun pengambilan keputusan. Permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi merupakan permasalahan sistem yang bersifat kompleks. Alternatif untuk pemecahan masalah tidak akan dapat dirumuskan dengan cepat, karena begitu banyaknya faktor yang melingkupi. Pada pemanfaatan sumberdaya ikan misalnya, tidak akan terlepas dari pengetahuan tentang potensi sumberdaya, teknologi, mutu, harga maupun pasar.

Teknologi, terkait dengan kapal penangkapan, alat penangkapan, instrumentasi, sumberdaya manusia maupun modal. Kapal penangkapan terkait dengan desain, konstruksi, ukuran, dan lain-lainnya. Dalam situasi demikian, akan sangat sulit untuk dapat menghubungkan keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya dan tidak mudah untuk dapat merumuskan alternatif pemecahan masalah. Menghadapi persoalan kompleks dan tidak terstruktur demikian, sering membingungkan karena banyaknya kepentingan, banyaknya sasaran, banyaknya alternatif dan banyaknya faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan. Dalam situasi demikian perlu disusun suatu skala prioritas, perlu disepakati bahwa dalam jangka pendek, sasaran yang satu lebih penting daripada yang lain dan melakukan perimbangan (trade off) demi kepentingan bersama yang lebih besar (Garcia et al., 1999).

Selanjutnya Charles (2001) menyatakan keberlanjutan selain terdiri dari aspek ekologi, dan sosial ekonomi juga ada aspek masyarakat dan kelembagaan dengan rincian sebagai berikut:

1) Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi konsern utama.

2) Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan konsern dalam kerangka keberlanjutan.

3) Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan.

(16)

26 4) Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini

keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas.

Dengan demikian jika setiap komponen dilihat sebagai komponen yang penting untuk menunjang keseluruhan proses pembangunan berkesinambungan, maka kebijakan pembangunan perikanan yang berkesinambungan haruslah mampu memelihara tingkat yang reasonable dari setiap komponen sustainable tersebut. Dengan kata lain keberlanjutan sistem akan menurun melalui kebijakan yang ditujukan hanya untuk mencapai satu elemen keberlanjutan saja (Fauzi dan Anna, 2002).

2.4 Pendugaan Potensi Lestari dan Upaya Pemanfaatan Optimum

Sumberdaya hayati bersifat terbatas tetapi dapat pulih dan pendugaan stok ikan dapat digambarkan sebagai pencarian tingkat eksploitasi yang dalam jangka panjang memberikan hasil maksimum dari suatu perikanan. Tingkat eksploitasi yang dalam jangka panjang memberikan hasil tertinggi ditunjukkan oleh upaya optimum (f opt.) dan hasil yang diperoleh dinyatakan sebagai "Maximum Sustainable Yield (MSY)". Konsep jangka panjang digunakan karena kita tidak ingin memperoleh hasil tangkapan yang tinggi dengan peningkatan upaya yang drastis pada tahun pertama, sementara pada tahun berikutnya hasil tangkapan cenderung menurun drastis karena sumberdaya telah terkuras. Dalam hal ini yang diinginkan adalah suatu strategi penangkapan yang memberi hasil tertinggi secara tetap dan berkesinambungan.

Sparre dan Venema (1999) mengemukakan bahwa model-model yang digunakan untuk pendugaan stok udang dan ikan bagi keperluan pengelolaannya secara garis besar menjadi dua golongan yaitu : (1) model analitik, (2) model holistik. Model-model holistik sederhana menggunakan parameter populasi lebih sedikit dibanding model-model analitis. Model holistik menganggap suatu stok ikan sebagai suatu biomassa yang homogen tanpa memperhatikan struktur panjang dan umur dari stok. Model analitik didasarkan atas deskripsi yang lebih rinci dari stok dan lebih membutuhkan data masukan yang baik dalam hal kualitas

(17)

27 dan kuantitas. Oleh karena itu model analitik lebih terpercaya untuk dapat memberikan ramalan yang lebih akurat (Sparre dan Venema, 1999).

Pada model analitik ini, dinamika dari suatu populasi diperhitungkan dari pengetahuan mengenai parameter-parameter biologi secara individu dalam suatu populasi, termasuk laju pertumbuhan dan kematian, dan juga penambahan bau (recruitment). Pengaruh penangkapan juga dimasukkan dalam persamaan melalui parameter laju kematian karena penangkapan. Karena laju pertumbuhan juga bervariasi, kita harus mengambil variasi ini ke dalam perhitungan dengan mensubstitusikan fungsi pertumbuhan yang berbeda-beda dalam interval-interval umur yang berbeda-beda sebagai lawan (opposed) terhadap fungsi pertumbuhan yang konstan dari von Bertalanfly (Sparre dan Venema,1999).

Konsep keseimbangan (steady-state) adalah erat hubungannya dengan pendekatan hasil per penambahan baru (yield per recruit-Y/R). Keseimbangan artinya dengan memberikan laju penangkapan yang tetap, maka populasi akan mencari tingkat rata-rata dalam jangka panjang, sehingga memberikan rata-rata hasil dalam jumlah tertentu untuk jangka panjang. Kemudian model analitik ini mencoba (menguji) keseimbangan antara pertumbuhan dengan kematian dengan asumsi tingkat reproduksi konstan (Beverton dan Holt, 1957).

Sementara itu model holistik yang biasa dipakai dalam pendugaan stok udang dalam model surplus produksi dari metode sapuan (swept area method). Pada model surplus produksi ini setiap populasi ikan (udang) diperlakukan sebagai satu unit tanpa mempertimbangkan struktur dari populasi, sehingga dinamika dari suatu populasi merupakan fungsi dari populasi itu sendiri. Walau konsepnya dimulai Graham pada tahun 1935, tetapi yang mula-mula memberikannya sebagai fungsi matematik yang didasarkan kepada model pertumbuhan logistiknya Verhuslt-Pearl adalah Schaefer pada tahun 1954, dan kemudian diuraikan lebih lanjut tahun 1975 oleh Ricker, tahun 1990 oleh Caddy, tahun 1983 oleh Gulland dan tahun 1984 oleh Pauly (Sparre dan Venema, 1999). Model ini didasarkan kepada keadaan keseimbangan (steady state) dimana hasil berimbang dengan pertumbuhan populasi.

Optimisasi yang dipakai pada model surplus produksi memberikan "hasil maksimum yang lestari" yang dicapai pada tingkat upaya penangkapan tertentu. Kesederhanaan model ini, yang hanya memerlukan data hasil tangkap dari upaya penangkapan yang biasanya tersedia dengan biaya yang relatif murah, sangat merangsang penggunaannya terutama bila umur ikan

(18)

28 sukar ditentukan atau data biologi lainnya tidak tersedia (Sparre dan Venema, 1999; Bintoro, 1995).

2.5 Model Surplus Produksi

Dalam menentukan estimasi potensi sumberdaya ikan dapat digunakan beberapa metode. Metode yang sering digunakan dalam penghitungan potensi sumberdaya adalah metode surplus produksi baik dari model Schaeffer (1954). Dari metode ini dapat diperoleh estimasi potensi dari suatu jenis sumberdaya ikan. Metode ini biasanya dipergunakan dalam menganalisis sumberdaya ikan pelagis besar, udang dan krustasea lainnya serta moluska. Penentuan potensi sumberdaya ikan tersebut dilakukan dengan menggunakan surplus yield method. Pengkajian sumberdaya ikan dengan surplus yield method yang menitik-beratkan pada perbandingan hasil tangkapan dari beberapa jenis kelompok alat tangkap, yang dikaitkan dengan intensitas pemanfaatan dan kondisi lingkungan perairan.

Analisis potensi lestari sumberdaya ikan yang didasarkan pada data time series produksi dan effort penangkapan adalah dengan menggunakan metode surplus production. Metode surplus production ini adalah untuk mengitung potensi lestari (MSY) dengan cara menganalisis hubungan upaya penangkapan ikan (f) dengan hasil tangkapan (C) per satuan upaya (CPUE). Data yang digunakan berupa data hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) dan pengolahan data melalui model Schaeffer (1954).

2.6 Model Bio-Ekonomi

Model produksi hanya dapat mengetahui potensi produksi sumberdaya perikanan dan tingkat produksi maksimumnya. Model tersebut belum mampu menunjukkan potensi industri penangkapan ikan dan belum dapat menentukan tingkat pengusahaan yang maksimum bagi masyarakat.

Kondisi perikanan bebas tangkap (open access fishery) adalah merupakan suatu kondisi dimana setiap orang dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu wilayah perairan tanpa adanya pembatasan. Pada kondisi perikanan seperti ini apabila tidak terkontrol maka akan mengakibatkan terjadinya over fishing, dimana faktor input dari perikanan telah digunakan melebihi kapasitasnya untuk memanen stok ikan. Keadaan seperti ini akan

(19)

29 menyebabkan tingkat upaya tangkap ikan akan meningkat hingga tercapai keseimbangan dimana tidak lagi diperoleh keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut (Gordon, 1954).

Menurut Clark (1985) untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu wilayah perairan, maka konsep yang harus dikembangkan adalah konsep kepemilikan tunggal (single owner concept) yang menganggap stok sumberdaya perikanan di suatu wilayah perairan sebagai modal (asset) oleh pihak pemilik tunggal, yakni pemerintah daerah. Pemilik tunggal mempunyai tujuan untuk memaksimumkan keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya ikan pada jangka panjang.

Titik pada saat keuntuugan yang diperoleh dari usaha penangkapan sama dengan nol (n = 0) disebut titik open acces equilibrium (keseimbangan bionomi). Model bio-ekonomi merupakan hasil penggabungan dari model biologi dan ekonomi. Biasanya model bio-ekonomi penangkapan ikan berdasarkan pada model biologi Schaefer (1954) dan model ekonomi dari Gordon (1954). Persamaan tersebut dinamakan model Gordon-Schaefer. Asumsi dasar yang digunakan dalam model ini adalah permintaan ikan hasil tangkapan dan penawaran upaya penangkapan adalah elastis sempurna (Gordon, 1954). Harga ikan (p) dan biaya marginal dari ikan hasil tangkapan bagi masyarakat dan biaya sosial marginal upaya penangkapan.

2.7 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pada mulanya pengelolaan sumberdaya ikan banyak didasarkan pada faktor biologis semata dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (MSY) yaitu tangkapan maksimum yang lestari. Dimana inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Akan tetapi, pendekatan pengelolaan dengan konsep ini belakangan banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar diantaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi, 2000).

(20)

30 Pengelolaan perikanan merupakan sebuah proses yang kompleks dan membutuhkan integrasi antara ekologi dan biologi sumberdaya dengan sosial ekonomi dan faktor institusi yang mempengaruhi perilaku nelayan dan pembuat keputusan. Tujuan dari bidang yang multidisiplin ini adalah untuk membantu pengambil keputusan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dari aktivitas perikanan sehingga generasi yang akan datang juga memperoleh manfaat dari sumberdaya (Seijo et al., 1998).

Teori bio-ekonomi untuk perikanan komersial menyatakan bahwa tingkat optimal secara sosial dari effort dan panen ditentukan oleh dinamika biologi dari stok dan ekonomi dan industri (seperti biaya input dan harga output). Hal ini karena masyarakat telah tertarik dalam konservasi stok dan keuntungan dari industri. Tanpa pembatasan masuk atau effort, pemanenan akan berlanjut sampai break event point yaitu suatu tingkat upaya dimana total penerimaan hanya mampu menutupi total biaya dan dikenal sebagai open access equilibrium (OAE). Pada kondisi seperti ini secara sosial tidak efisien karena effort terlalu tinggi (Gordon, 1954).

Optimasi sumberdaya perikanan dapat dilakukan secara statis dan dinamik:

(1) Optimasi statis

Kondisi yang digunakan untuk menentukan solusi keseimbangan optimal yaitu tingkat effort dan hasil tangkapan yang tepat pada model statis tergantung kepada tujuan dari manajemen antara lain: memaksimumkan hasil tangkapan yang lestari (maximum sustainable yield), open access equilibrium dan maximum economic yield (MEY). Hasil tangkapan maksimum yang lestari dapat diestimasi menggunakan model-model produksi surplus seperti model logistik dari Schaefer (Sparre dan Venema, 1999).

Selanjutnya pada sumberdaya perikanan dengan kondisi open access , dimana tidak seorangpun nelayan dapat mencegah nelayan lainnya untuk menggunakan dan mengeksploitasi sumberdaya. Entry akan selalu terjadi selama keuntungan dapat diperoleh. Oleh sebab itu tanpa adanya pembatasan entry atau effort maka keseimbangan akan diperoleh pada saat total penerimaan (TR) sama dengan total biaya (TC) atau zero profits. Dengan menggunakan kurva seperti Gambar 5, yaitu dengan mengalikan masing-masing titik pada

(21)

31 kurva MSY dengan harga (p) dengan asumsi bahwa p konstan maka diperoleh kurva total revenue yang bentuknya sama dengan kurva MSY (Sparre dan Venema, 1999).

Catch (ton)

EMSY Effort (trip)

Gambar 5 Solusi maximum sustainable yield (MSY).

Peningkatan effort akan meningkatkan biaya, ini beralasan untuk mengasumsikan bahwa setiap tambahan unit effort akan terjadi peningkatan yang sama dalam biaya. Diasumsikan bahwa peningkatan biaya dalam proporsi langsung terhadap effort menghasilkan fungsi total biaya yang linear (TC = cE). Total penerimaan (TR) diset sama dengan total cost untuk memperoleh tingkat effort yang optimal pada perikanan open access. Secara grafis solusi open access equilibrium seperti terlihat pada Gambar 6.

Rp

TC=cE TR* = TC*

EOA Effort

(22)

32 OAE merupakan keseimbangan bio-ekonomi dimana tingkat effort dan hasil tangkapan tidak akan berubah jika tidak ada komponen underlying yang merubah model (seperti harga pasar, biaya operasional dan daya dukung stok). Akan tetapi sumberdaya yang digunakan dalam kondisi open access tidak akan bisa mencapai suatu alokasi yang efisien dan rente yang maksimal (Milon et a1.,1999).

Pengelolaan perikanan yang optimal akan diperoleh melalui pendekatan maximum economic yield (MEY). MEY merupakan total rente yang diperoleh dari pengurangan total penerimaan dengan total biaya. Pada Gambar 7 rente lestari diperoleh pada titik EMEY dimana jarak antara total penerimaan dan total biaya terbesar. Keseimbangan diperoleh pada persamaan marginal revenue (MR) dengan marginal cost (MC) atau MR=MC. Dengan MEY maka tingkat effort yang optimal dicapai lebih kecil dibandingkan effort pada maximum sustainable yield, sehingga optimasi ekonomi lebih bersifat konservasi daripada perikanan yang berdasarkan hasil tangkapan lestari (Milon et al., 1999).

EMEY EOAE Effort

Gambar 7 Solusi maximum economic yield (MEY).

(2) Optimasi Dinamik

Keseimbangan MEY statis menggambarkan rente maksimum lestari tahunan dari perikanan. Akan tetapi solusi optimal tidak menggambarkan perbedaan antar waktu dalam nilai uang. Untuk sumberdaya terbarukan seperti ikan, tidak dimasukkannya faktor waktu ini

(23)

33 bisa menyebabkan akibat yang serius dalam pengelolaan sumberdaya ikan (Cunningham, 1981). Hal ini karena sumberdaya ikan memerlukan waktu untuk bereaksi terhadap setiap perubahan-perubahan eksternal yang terjadi (Fauzi, 2004). Solusi MEY statis akan optimal dalam jangka panjang jika nilai uang hari ini sama dengan waktu yang akan datang (discount rate=0). Dengan suatu non-zero discount rate, bagaimanapun, masyarakat menghadapi suatu trade-off antar waktu. Sebagai contoh, dengan suatu tingkat suku bunga yang positif, suatu satuan dari uang hari ini lebih berharga dibandingkan satu nilai yang sama pada waktu yang akan datang. Hal ini karena satu satuan uang hari ini akan sama dengan satuan uang ditambah dengan bunga yang diterima pada masa yang akan datang. Prinsip yang sama diaplikasikan pada keputusan untuk memanen ikan. Sejumlah ikan yang dipanen hari ini, akan menghasilkan keuntungan yang dapat diinvestasikan dan akan dihargai lebih pada masa yang akan datang. Bagaimanapun, jika ikan telah dipanen hari ini maka biaya akan lebih tinggi dan ukuran stok akan berkurang, yang mana memiliki konsekwensi biologi dan ekonomi pada masa yang akan datang (Milon et al. 1999).

Selanjutnya diasumsikan tujuan manajemen sumberdaya adalah untuk memaksimalkan keuntungan disamping melestarikan stok, model yang tepat untuk menemukan tingkat effort yang optimal secara ekonomi (solusi MEY). Hal ini disempurnakan dengan memaksimalkan net present value dari pemanenan yang berdasarkan kurva hasil tangkapan lestari. Solusi jangka panjang digambarkan dengan tambahan cost yaitu marginal user cost dari peningkatan effort pada periode sekarang. Marginal user cost merupakan present value dari penurunan panen di masa yang akan datang. Dengan suatu discount rate yang positif, tingkat optimum dari effort akan berada antara EMEY dan EOAE (Milon et al. 1999).

2.8 Analisis Investasi

Investasi adalah usaha menanamkan faktor-faktor produksi langka dalam proyek tertentu, baik yang bersifat baru sama sekali atau perluasan proyek. Tujuan utamanya yaitu memperoleh manfaat keuangan dan atau non keuangan yang layak di kemudian hari. Investasi dapat dilakukan oleh orang perorangan, perusahaan swasta maupun badan-badan pemerintah (Sutojo, 2000).

(24)

34 Pada prinsipnya analisis investasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan, tergantung pihak yang berkepentingan langsung dalam proyek yaitu :

(l) Analisis finansial, dapat dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam proyek adalah individu atau kelompok individu yang bertindak sebagai investor dalam proyek. Dalam hal ini maka kelayakan proyek dilihat dari besarnya manfaat bersih tambahan yang diterima investor tersebut.

(2) Analisis ekonomi, dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam proyek adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini, maka kelayakan suatu proyek dapat dilihat dari bcsarnya manfaat bersih tambahan yang diterima oleh masyarakat (Kadariah, 1978).

Analisis finansial penting artinya dalam memperhitungkan insentif bagi orang-orang yang turut serta dalam suatu proyek, sebab tidak ada gunanya untuk melaksanakan suatu proyek misalnya proyek perikanan, yang menguntungkan dari sudut perekonomian secara keseluruhm, jika nelayan yang menjalankan aktifitas produksi tidak bertambah baik keadaannya.

Pada analisis ekonomi yang diperhatikan adalah hasil total, atau produktifitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat pihak mana yang menyediakan sumber-sumber tesebut dan pihak mana dalam masyarakat yang menerima hasil dari proyek tersebut.

Bagi para pengambil keputusan, yang penting ialah mengarahkan pcnggunaan sumber-sumber yang langka kepada proyek-proyek yang dapat memberikan hasil yang paling banyak untuk perekonomian secara keseluruhan yaitu yang menghasilkan social return atau economic return yang paling tinggi.

Dalam rangka mencari suatu ukuran menyeluruh tentang baik tidaknya suatu proyek telah dikembangkan berbagai indeks. Indeks-indeks tersebut disebut Investment criteria (Kadariah, 1978). Hakekat dari semua kriteria tersebut adalah mengukur hubungan antara manfaat dan biaya dari proyek. Setiap kriteria mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga dalam menilai kelayakan proyek, sering digunakan lebih dari satu kriteria. Dari beberapa kriteria yang ada diantaranya adalah net present value (NPV), internal rate of return (IRR) dan net benefit-cost ratio (Net B/C). Ketiga kriteria tersebut digunakan untuk menentukan diterima tidaknya suatu usulan proyek dengan tingkat keuntungan masing-masing.

(25)

35

(1) Net Present Value (NPV)

Metode NPV digunakan untuk memenuhi nilai net cash .flow pada masa yang akan

datang, yang kemudian dikalibrasi menjadi nilai sekarang dengan menggunakan tingkat bunga tertentu dan dikurangi dengan investasi awal (Djamin, 1984).

(2) Internal Rate of Return (IRR)

IRR merupakan tingkat bunga (discount rate) yang membuat NPV dari proyek sama dengan nol. Besarnya nilai IRR tidak ditentukan secara langsung, untuk menentukan berapa tepatnya tingkat bunga tersebut adalah dengan menggunakan metode coba-coba (trial and error) melalui interpolasi, yakni dengan menyisipkan tingkat bunga diantara tingkat bunga yang menghasilkan NPV positif dan tingkat bunga yang menghasilkan bunga negatif.

IRR juga dianggap sebagai tingkat keuntungan investasi bersih dalam suatu proyek, asal setiap benefit bersih yang didapat tiap periode ditanam kembali pada periode berikutnya (Kadariah 1978).

(3) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C)

Metode Net B/C adalah angka perbandingan antara jumlah present value positive (sebagai pembilang) dengan present value negatif (sebagai penyebut). Kriteria ini menggambarkan seberapa besar bagian biaya proyek yang setiap tahunnya tidak dapat tertutup oleh manfaat proyek.

Selain ketiga kriteria tcrsebut, ada dua kriteria tambahan untuk mengukur kelayakan investasi yaitu payback period dan profitability ratio. Payback period digunakan untuk menentukan lamanya waktu pengembalian modal dari hasil keuntungan usaha, sedangkan profitability ratio (PR) yaitu membandingkan present value dari net benefit (benefit dikurangi biaya operasional) dengan present value modal atau investasi (capital). Kriteria ini digunakan untuk usaha dengan dana yang terbatas, sehingga harus digunakan seefisien mungkin. Oleh karenanya diperlukan gambaran mengenai present value dari setiap unit pengeluaran modal (Kadariah 1978).

(26)

36 Pelarangan pengoperasian jaring trawl tersebut dimaksudkan untuk (1) melindungi sumberdaya perikanan demersal, (2) meningkatkan produksi dan produktivitas nelayan tradisional dan (3) menghindarkan terjadinya konflik sosial antara nelayan tradisional dengan trawl. Untuk pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Keppres 30 Tahun 1980 tersebut, maka diterbitkan Keputusan Menteri Pertanian No. 503 tahun 1980 tentang Langkah-langkah Pelaksanaan Penghapusan Jaring Trawl Tahap Pertama dan Keputusan Menteri Pertanian No. 633 Tahun 1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No. 39 tahun 1980. Dengan diberlakukannya kedua Kepmen tersebut, maka pada akhir 1982 secara resmi penggunaan jaring trawl diseluruh perairan Indonesia dilarang.

Selanjutnya pada tahun 1982 telah diterbitkan Keppres No. 85 tentang Penggunaan Pukat Udang yang memperbolehkan pukat udang (sejenis trawl yang dilengkapi dengan TED) untuk beroperasi di Perairan Kei, Tanibar, Aru, Irian Jaya dan Laut Arafura dengan batas koordinat 130º BT ke arah Timur. Dengan diberlakukkannya Keppres No. 39 Tahun 1980 dan Keppres No. 85 Tahun 1982, maka alat tangkap yang diperbolehkan beroperasi di perairan Indonesia bagian Barat antara lain adalah trammel net.

Semenjak dikeluarkan kedua Keppres tersebut maka kondisi perikanan udang di Indonesia mengalami penurunan produksi yang sangat drastis. Usaha untuk meningkatkan produksi udang melalui penangkapan udang dengan alat lain seperti pukat udang dan trammel net tidak dapat meningkatkan volume produksi udang dengan cepat. Namun demikian lambat laun dari tahun ke tahun terjadi peningkatan produksi udang hasil tangkapan di perairan Indonesia, terutama hasil tangkapan udang dari wilayah perairan Indonesia Timur.

Pelarangan penggunaan trawl di seluruh wilayah perairan Indonesia ternyata belum sepenuhnya efektif ditaati. Hal ini ditandai dengan banyak dijumpainya alat tangkap yang menyerupai trawl yang banyak dioperasikan di perairan Indonesia. Alat tangkap tersebut pada umumnya menggunakan nama daerah seperti misalnya Arad, Lampara Dasar (Lamda), Cantrang, Dogol dan lain-lainnya. Alat tangkap tersebut memang tidak sama persis dengan trawl karena ada beberapa bagian peralatan yang ada pada trawl tidak terdapat pada alat tangkap tersebut. Namun secara umum, baik metode pengoperasian maupun bagian bentuk dan fungsinya sama dengan trawl (Purbayanto, 2003).

(27)

37 Pukat ikan yang diizinkan di wilayah perairan Indonesia bagian Barat, juga serupa dengan trawl, namun tidak dilengkapi dengan tickler chain (rantai pengejut) dan pada bagian sayap jaring mempunyai ukuran mesh size yang besar. Pukat udang yang diperbolehkan dioperasikan di perairan Indonesia Timur, pada prakteknya jarang digunakan dipasang. Alasannya yang sering didengar adalah mengganggu aktivitas penangkapan dan alat tangkap menjadi tidak efektif menangkap udang, karena banyak udang yang ikut meloloskan diri melalui TED atau BED (Haluan, 2003).

Penggunaan alat tangkap yang menyerupai trawl di beberapa wilayah perairan di Indonesia yang dapat menimbulkan konflik sosial di masyarakat, juga sudah diantisipasi dengan dikeluarkannya Keputusan Direktur Jenderal Perikanan No. IK 3.40/DJ 101/97 tentang Petunjuk Pelaksanaan Surat Keputusan Menteri Pertanian N0. 503 Tahun 1980 yang merupakan Petunjuk Teknis pengoperasian alat tangkap yang menyerupai trawl tetapi bukan trawl. Walaupun demikian dalam kenyataannya bentuk dan pengoperasiannya di lapangan hampir menyerupai trawl.

Menghadapi permasalahan tersebut maka perlu dipecahkan bersama bentuk pengelolaan trawl atau sejenisnya yang bagaimana agar dikemudian hari tidak lagi muncul permasalahan baru atau konflik baru seperti halnya yang pernah terjadi pada saat awal diberlakukannya Keppres No. 39 Tahun 1980. Berbagai seminar, lokakarya dan diskusi para pakar telah dilakukan dalam rangka membahas dan mencari solusi terbaik dari permasalahan pengelolaan trawl dan sejenisnya. Pihak pemerintah (DKP) juga sudah melakukan berbagai kebijakan dan aturan serta melakukan langkah-langkah yang diperlukan guna mendapatkan suatu bentuk pengelolaan perikanan trawl yang tepat di perairan Indonesia. Barangkali kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan rendahnya ketaatan masyarakat pengguna alat trawl dan sejenisnya akan arti pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, terutama sumberdaya udang dan ikan demersal di perairan Indonesia (Purbayanto, 2003).

Dewasa ini ada keinginan untuk mengizinkan atau melegalkan kembali pengoperasian trawl atau sejenisnya di perairan Indonesia. Berbagai wacana telah didiskusikan dan juga masukan dari berbagai pihak terutama dari stakeholder di daerah. Beberapa pihak dan daerah ada yang setuju untuk melegalkan kembali pengoperasian trawl, tetapi ada beberapa pihak dan daerah yang tegas-tegas tidak setuju pengoperasian trawl dan sejenisnya di wilayah perairannya.

(28)

38 Pada dasarnya pengoperasian trawl dapat diizinkan kembali dengan berbagai persyaratan yang harus ditaati bersama. Persyaratan tersebut antara lain (1) Harus dilakukan pengkajian terhadap stok sumberdaya udang dan ikan demersal di wilayah perairan yang akan digunakan sebagai fishing ground perikanan trawl, (2) Hasil dari estimasi stok sumberdaya udang dan ikan demersal tersebut digunakan untuk menghitung jumlah unit penangkapan trawl dan sejenisnya yang diizinkan beroperasi di wilayah perairan tersebut, (3) Perlu pengaturan waktu penangkapan udang dan ikan demersal di wilayah perairan tersebut, apakah memungkinkan sepanjang tahun atau hanya waktu-waktu tertentu saja, (4) Perlunya menumbuhkan kesadaran bersama bahwa dengan menjaga kelestarian sumberdayanya maka kelangsungan usaha mereka juga tetap terjaga dengan baik, (5) Perlunya melakukan restocking udang dan sumberdaya ikan demersal lainnya di wilayah perairan tersebut, sehingga diharapkan kelestarian sumberdaya udang dan ikan demersal dapat terpelihara dengan baik (Haluan, 2003).

2.10 Teknologi Penangkapan Ikan Demersal

Penangkapan ikan adalah aktivitas yang sarat dengan teknologi, kondisinya berat dan sangat beresiko bagi nelayan. Sebagian besar teknologi penangkapan ikan adalah sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar, misalnya permintaan pasar, sehingga perkembangan teknologi dalam perikanan adalah sulit dikontrol. Efektivitas biaya dalam teknologi penangkapan telah menjadi perhatian sejak lama bagi industri perikanan untuk mendapatkan ikan tangkapan yang lebih besar jumlahnya dalam kondisi yang lebih aman dan rendah biaya, menangkap ikan pada fishing ground yang lebih jauh, dan menghasilkan produk yang lebih baik kualitasnya dengan harga yang lebih tinggi (Garcia et al., 1999). Sehingga upaya untuk mendapatkan teknologi penangkapan yang lebih baik, efektif, dan efisien akan terus berlangsung mengingat bahwa permintaan pasar terhadap ikan akan terus meningkat sejalan dengan terus terdongkraknya kebutuhan protein hewani oleh manusia yang dari tahun ke tahun terus bertambah jumlahnya.

Cunningham et al., (1985) melaporkan bahwa introduksi beberapa teknolcgi penangkapan telah menaikkan produksi sekaligus meningkatkan keuntungan industri perikanan. Penggunaan stern trawling, purse seine, hydraulic power blocks, dan echo sounder telah meningkatkan total produksi dan CPUE. Di Indonesia, penggunaan "rumpon" untuk alat tangkap

(29)

39 pole and line di Sorong telah meningkatkan produksi total dan CPUE (Uktolseja, 1989; McElroy, 1989; McElroy dan Uktolseja, 1992).

Namun demikian, adanya kendala terbatasnya daya dukung sumberdaya untuk memperbaharui diri mereka setelah tereksploitasi secara berlebihan menyebabkan tidak jelasnya dan kontradiksinya sumbangsih perkembangan teknologi penangkapan. Walaupun diakui bahwa meningkatnya produksi total pada awal 1980-an disebabkan oleh penggunaan alat-alat mekanis dan elektronik pada teknologi penangkapan ikan, di lain pihak, meningkatnya efisiensi teknologi tidak selalu diikuti dengan meningkatnya produktivitas. Bahkan penggunaan teknologi lanjut telah menurunkan rasio tangkapan dan produktivitas (Cunningham et al., 1985). Landasan dari pernyataan tersebut adalah bahwa adopsi teknologi penangkapan baru oleh nelayan yang menghasilkan lebih baiknya produktivitas dan koefisien daya tangkap (catchability coefficient) akan mendorong aktivitas penangkapan.

Kondisi ini menyebabkan armada penangkapan baru tertarik untuk bergabung dalam eksploitasi sumberdaya ikan tersebut dan mengadopsi teknologi penangkapan baru tersebut. Semakin banyak armada penangkapan baru bergabung dalam aktivitas penangkapan, semakin berat tekanan penangkapan terhadap sumberdaya perikanan. Sementara itu sumberdaya perikanan mempunyai keterbatasan dalam memperbaharui diri. Oleh karena itu kemampuan daya tangkap atau peningkatan upaya penangkapan hanya akan meningkatkan produksi sampai mencapai batas tertentu, yaitu nilai MSY, tetapi tahap selanjutnya produktivitas akan turun karena peningkatan upaya penangkapan tidak diimbangi oleh meningkatnya produksi yang disebabkan menurunnya jumlah stok ikan (Naamin, 1984). Cunningham et al., (1985) dan Withmatsh (1990) menamakan fenomena tersebut dengan istilah "pedang bermata ganda" (double edge sword). Ini berarti bahwa perkembangan teknologi penangkapan akan meningkatkan kemampuan daya tangkap dan produktivitas pada tingkat upaya penangkapan tertentu, namun sebaliknya, perkembangan teknologi penangkapan juga akan menurunkan kedua-duanya setelah upaya penangkapan melewati suatu titik yang menghasilkan MSY.

Efek perkembangan teknologi penangkapan terhadap CPUE kurang lebih sama dengan pengaruhnya terhadap kemampuan daya tangkap dan produktivitas. Pada mulanya, introduksi teknologi penangkapan baru akan meningkatkan CPUE. Peningkatan CPUE ini akan terus berlangsung sampai mencapai titik maksimum dari CPUE. Setelah CPUE mencapai maksimum,

(30)

40 aplikasi teknologi baru justru akan menurunkan CPUE karena kecepatan pertambahan upaya penangkapan lebih tinggi dari pertambahan produksi total.

Pada kondisi sekarang, peran teknologi penangkapan tidaklah dapat diabaikan begitu saja. Keadaan sumberdaya perikanan yang semakin tertekan oleh karena terus meningkatnya aktivitas penangkapan yang dipicu oleh bertambahnya permintaan protein hewani oleh manusia yang terus bertambah jumlahnya mau tidak mau pengelolaan sumberdaya perikanan harus juga memikirkan kebutuhan generasi berikutnya tanpa mengabaikan kebutuhan sekarang terhadap sumberdaya perikanan tersebut. Dengan kata lain pengelolaan sumberdaya perikanan harus berkelanjutan yang ditunjang dengan penggunaan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan sehingga aktivitas penangkapan dapat dipertanggungjawabkan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya perikanan tersebut.

Beberapa contoh jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal antara lain adalah :

(1) Alat tangkap arad (minitrawl)

Alat tangkap arad (minitrawl) yang bersifat aktif adalah alat tangkap yang dioperasikan untuk menangkap udang dengan cara ditarik/ dihela oleh kapal dengan daya tertentu atau dilingkarkan di perairan, yang bertekstur dasar relatif rata, terdiri dari lumpur atau lumpur berpasir yang diperkirakan banyak udangnya. Unit penangkapan ikan dengan jaring arad yang digunakan oleh nelayan di perairan Tegal dan sekitarnya meliputi kapal, jaring arad dan nelayan.

Kapal yang digunakan pada umumnya terbuat dari material kayu dan menggunakan mesin kapal sebagai motor penggerak pada tiap kapalnya berjumlah 2 buah dengan jumlah ABK atau nelayan setiap kapalnya berjumlah 3 orang, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, yakni satu orang sebagai juru mudi yang bertugas untuk mengendalikan olah gerak kapal dan menentukan daerah penangkapan ikan, satu orang sebagai juru masak yang bertugas untuk menyiapkan makanan saat dibutuhkan dan kadang membantu saat setting dan hauling, dan seorang lagi bertugas menyiapkan segala peralatan saat setting dan hauling dan menjaga kebersihan kapal (Pramono, 2006; A. Fauzi, 2004).

(31)

41 Jaring arad dioperasikan pada daerah pantai dengan tipe dasar perairan lumpur berpasir. Kedalaman perairan berkisar antara 5 - 10 m dengan topografi dasar perairan yang relatif datar. Jaring arad dapat dioperasikan sepanjang tahun, namun intensitas pengoperasianya di pengaruhi oleh musim penangkapan (Puslitbang Perikanan 1991).

Menurut Nontji (1987) pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin muson. Angin ini bertiup secara mantap kearah tertentu pada suatu periode, dan periode lainnya bertiup kearah yang berlainan secara mantap pula. Pola angin ini erat hubungannya dengan keadaan iklim muson di Indonesia yang dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu : musim barat (Desember sampai Maret), musim timur (Juni sampai Agustus), dan musim peralihan (April sampai Mei dan September sampai November).

Menurut Manadiyanto et al., (2000), musim di bidang perikanan di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu musim barat dan musim timur. Upaya penangkapan memberikan hasil terbesar pada musim timur, dimana pada musim ini angin angin yang bertiup terhalang oleh tanjung sehingga tidak memberikan gelombang yang besar. Sedangkan pada musim barat, angin bertiup tidak terhalang oleh tanjung, sehingga menimbulkan gelombang yang besar dengan seringnya disertai hujan lebat.

Manadiyanto et al. (2000) menjelaskan bahwa puncak penangkapan berlangsung pada musim timur, yaitu antara pertengahan Maret sampai pertengahan Juni. Selanjutnya Sumiono et al. (1998), diacu dalam Manadiyanto et al., (2000) menjelaskan bahwa udang lebih banyak tertangkap di perairan yang dangkal. Hal ini dikarenakan muara sungai merupakan tempat percampuran air sungai dan laut yang kaya akan makanan.

Menurut Wyrkti (1962), perairan utara Jawa pada umumnya dipengaruhi oleh adanya perubahan pola arah angin muson barat (angin barat) dan angin muson timur (musim timur). Kedua angin tersebut pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perubahan pola arah, kecepatan arus, salinitas, maupun konduktifitas primer perairan. Masa transisi musim barat ke musim timur memberi pengaruh terhadap perairan utara Jawa. Selama angin muson barat berhembus, maka curah hujan akan meningkat dan air sangat banyak yang masuk ke laut sehingga mengakibatkan pengenceran terhadap air laut, sebaliknya selama musim timur terjadi peningkatan salinitas akibat penguapan yang besar ditambah dengan masuknya massa air yang mempunyai salinitas tinggi dari laut Flores dan Samudera Pasifik melalui perairan selat Makassar.

(32)

42 (2) Trawl dasar (Bottom trawl)

Pengoperasian alat ini di Indonesia telah dilarang melalui KEPPRES No. 39/1980. Pada dasarnya alat trawl terdiri dari bagian kantong (cod end), badan (body), sayap (wing), sewakan (otter board) dan tali tank (warp). Ukuran masing-masing bagian tersebut bervariasi menurut besar (GT) kapal. Kapal yang digunakan harus mempunyai stabilitas cukup baik yang angguk dan olengnya (rolling dan pitching) rendah serta mampu bertahan terhadap ombak besar dan angin kuat. Geladak kapal harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk bekerja serta dilengkapi palka yang baik dan memenuhi syarat bagi penyimpanan udang dan ikan sehingga mutu tetap terjaga. Kapal yang dioperasikan umumnya mempunyai ukuran dengan kategori lebih dari 100 GT (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).

Prinsip kerjanya adalah jaring yang dihela di dasar perairan selama jangka waktu tertentu (1-3 jam) per tarikan oleh kapal dengan bobot mati serta kekuatan mesin yang sangat bervariasi. Mekanisme penarikan jaring sepenuhnya menggunakan tenaga mesin. Alat ini mempunyai efisiensi daya tangkap yang sangat tinggi. Kegiatan penangkapan berlangsung baik siang maupun malam, dengan kedalaman penarikan jaring berkisar antara 10-70 meter, bukaan horizontal mulut jaring dapat mencapai 40 meter. Kekuatan mesinnya harus cukup kuat untuk menarik pukat atau jaringnya. Satu trip trawler dapat beroperasi selama 35 - 40 hari penangkapan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).

(3) Pukat udang (BED-shrimp net)

Alat tangkap ini hanya diizinkan beroperasi di perairan Indonesia mulai dari bujur 1310 BT ke arah timur. Rancang bangun pukat udang pada prinsipnya sama dengan trawl. Perbedaannya pada alat ini dilengkapi dengan alat pemisah ikan berupa bingkai jeruji yang dibuat dari pipa galvanis dan ditempatkan diantara bagian badan dan kantong. Kapal yang digunakan umumnya berukuran 100-350 GT dengan anak buah kapal lebih dari 10 orang (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).

Seperti trawl pada umumnya, metode pengoperasian pukat udang, diawali dengan penurunan jaring bagian kantong (codend) yang akan berada dalam posisi paling belakang. Setelah itu penurunan bagian lainnya, secara berurutan, yaitu alat pemisah ikan (API), bagian badan jaring, bridle line, papan (otter board) dan diakhiri dengan penurunan tali penarik (warp).

(33)

43 Panjang tali penarik yang diturunkan disesuaikan dengan kedalaman perairan, biasanya 4 sampai 5 kali kedalaman perairan. Setelah jaring berada di dalam air, kapal tetap bergerak sehingga menyeret alat tangkap di dasar perairan pada kecepatan 2,5 - 3,0 knot. Lama penyeretan jaring ini (towing) biasanya berkisar antara 2 - 3 jam. Sebuah try net selalu dioperasikan secara bersamaan untuk menduga kelimpahan udang yang akan tertangkap sebelum hauling atau pengangkatan jaring dilakukan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).

Penyeretan jaring tersebut diakhiri dengan proses pengangkatan jaring yang disebut hauling. Dalam proses ini, urutan bagian jaring yang diangkat ke atas geladak kapal adalah kebalikan dari urutan bagian jaring yang diturunkan menjelang towing.

Setelah try net tiba di atas kapal, anak buah kapal yang mengendalikan winch akan membunyikan bel dan kapal kemudian diperlambat. Maksud dari penurunan kecepatan ini adalah untuk mengurangi tahanan air terhadap jaring dan otter board sehingga beban yang dialami winch berkurang. Warp kemudian ditarik hingga kedua otter board menggantung di ujung rig. Setelah itu winch segera dikunci dan dimatikan. ABK pemegang galah pengait segera mengait lazy line, dan kemudian digulung pada head winch setelah lazy line tergantung lewat side block. Winch bantu dijalankan dan mulai dilakukan penarikan lazy line kemudian tali sling dan hook line disambung dengan bagian tali untuk mengangkat bagian kantong. ABK di stopper hook mengaitkan dengan lazy line, lalu gulungan lazy line pada winch bantu dilepas dan kantong terangkat ke sisi dek. Selanjutnya adalah mengaitkan hook line dengan tali sling yang telah dilingkarkan pada kantong dan hook line digulung dengan head winch, setelah kantong pada posisi menggantung tali kantong dilepas dan isi dari kantong (codend) dicurahkan di atas dek.

Penurunan jaring pada operasi dengan menggunakan jaring trawl yang pertama diturunkan adalah bagian kantong (codend), kemudian diikuti oleh alat pemisah ikan (BED), bagian badan, bridle line, papan (otter board) dan yang terakhir tali penarik (warp). Tali penarik (warp) diturunkan sesuai dengan kedalaman perairan. Kecepatan kapal diturunkan menjadi 3 knot (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).

Hasil tangkapan pukat udang adalah udang windu (Penaeus semisulcatus), udang windu (Penaeus monodon), udang jerbung (Penaeus merguiensis), udang dogol (Metapenaeus endeavouri), udang krosok/merah (Solanocera spp), udang ratu (Penaeus latisulcatus), udang uchiwa (Thenus orientalis), udang kiji (Metapenaeus monoceros) dan udang kembang (Penaeus

(34)

44 japonicus). Selain itu, tertangkap juga ikan-ikan demersal, seperti kerapu (Ephinephelus sp), kakap merah (Lutjanus spp), bawal putih (Pampus sp), ikan kuwe (Caranx sp), kakap putih (Lates calcarifer), beloso (Saurida sp), ikan lidah (Cynoglossus sp), ikan sebelah (Psettodidae), manyung (Arius sp), bawal hitam (Formio niger), gerot-gerot (Pomadasys sp), gulamah (Sciaenidae), pari (Trigonidae), cucut (Charcharinidae) dan lain-lain (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).

(4) Dogol atau cantrang (danish seine)

Prinsip kerja dan konstruksinya hampir sama dengan trawl tetapi berukuran lebih kecil dan tidak dilengkapi dengan papan pembuka. Perahu tidak memerlukan mesin yang berukuran besar karena hanya digunakan untuk perjalanan ke daerah penangkapan serta melingkarkan jaringnya. Cara pengoperasiannya dengan jalan melingkarkan jaring kemudian ditarik dengan tangan ke arah perahu dimana perahu dalam keadaan tidak bergerak. Alat ini umumnya beroperasi di kedalaman 10 – 20 meter (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003).

Gambar

Gambar 2  Tiga dimensi keberlanjutan (Doring, 2001).
Gambar 3  Hubungan antar sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam konsep  sustainable development (Munasinghe, 1993)
Gambar 4  Kecenderungan perikanan tangkap mengikuti aturan pengembangan   umum (Garcia et al., 1999)
Gambar 6.  Solusi open access equilibrium (OAE).
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan Pengabdian pada Masyarakat ini bertujuan untuk mengadakan pendampingan dengan memanfaatkan IT dalam perwujudan nilai – nilai Cc5+ bagi siswa SMP St. Target khusus

Hasil penelitian yang disajikan pada Tabel 1 di atas juga menunjukkan hasil yang diperoleh dari penelitian bahwa semakin tinggi radiometri bijih BM-179 Kalan Kalimantan Barat,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kategori leksikon yang diperoleh berupa kategori nomina, verba, dan adjektiva, kemudian ungkapan metaforis dan mitos kebambuan yang

Baseband merupakan mesin digital dari sebuah sistem bluetooth yang bertanggung jawab dalam proses pembentukan dan pen-decode-an paket data , mengcodekan dan

Penelitian mengenai pendapat peserta didik tentang pelaksanaan praktek room section dengan pendekatan pelatihan berbasis kompetensi yang berkaitan dengan kompetensi kerja

Ratna Askiah S, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Metrologi dan Instrumentasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.. Seluruh Dosen dan

Rajah di bawah menunjukkan graf jarak – masa bagi perjalanan sebuah kereta dari Bandar A ke Bandar C melalui Bandar B dan kemudian kembali ke Bandar A.. 172

berpikir yang berwawasan lingkungan yang akan mempengaruhi pola tingkah laku dalam masyarakat dan pada akhirnya akan dapat menciptakan kesadaran secara bersama-sama