• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VII

DIFERENSIASI SOSIAL MASYARAKAT AGRARIS

7.1. Bertambahnya Lapisan Petani serta Meningkatnya Pemilik Sempit dan

Tunakisma

Sebagaimana dikemukakan Sanderson (2003), masyarakat agraris adalah masyarakat yang menyandarkan hidupnya pada pertanian, baik sebagai pemilik lahan maupun bukan pemilik lahan (tunakisma). Sumberdaya agraria (lahan) digunakan secara berkesinambungan (periode kosong penggunaan lahan sangat pendek atau bahkan tidak ada lagi). Oleh sebab itu, gambaran struktur sosial masyarakat agraris yang merujuk pada peta hubungan sosial di kalangan anggota masyarakat agraris akan bertumpu pada posisi para petani dalam penguasaan sumberdaya agraria, baik melalui mekanisme penguasaan tetap (pemilikan) mau-pun penguasaan sementara (seperti bagi hasil). Kemudian diferensiasi sosial masyarakat agraris merujuk pada keberadaan kelompok-kelompok dalam masya-rakat yang posisinya dalam penguasaan sumberdaya agraria tidak sama.

Setelah berakhirnya struktur agraria yang dibangun melalui penguasaan kolektif, ternyata struktur agraria yang dibangun melalui penguasaan perorangan tidak lagi terbuka sebagaimana periode sebelumnya. Pada periode struktur agraria berbentuk penguasaan kolektif semua warga komunitas memperoleh akses yang sama untuk dapat mengusahakan sumberdaya agraria. Sebaliknya, pada periode dimana struktur agraria sudah berbentuk penguasaan perorangan tidak semua war-ga komunitas dapat denwar-gan mudah memperoleh akses untuk menguasai sumber-daya agraria. Pada periode ini seorang warga yang akan menguasai tanah harus memenuhi persyaratan atau kemampuan tertentu. Bahkan pada periode ini muncul tatanan pemilikan tetap dan pemilikan sementara. Tatanan pemilikan tetap diguna-kan untuk menunjuk pada hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses kepada seorang petani untuk dapat menguasai sumberdaya agraria secara permanen. Sementara itu, tatanan penguasaan sementara digunakan untuk menunjuk pada hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria yang memberikan akses seorang petani untuk menguasai sumberdaya agraria dalam kurun waktu sementara karena sumberdaya tersebut milik petani lain.

(2)

Dengan demikian, nampak bahwa pada periode penguasaan perorangan ini ketidaksamaan akses di antara warga komunitas dalam penguasaan sumberdaya agraria mulai muncul dan cenderung meningkat. Oleh sebab itu, bagi komunitas petani yang sumber kehidupannya berbasis pada sumberdaya agraria, maka munculnya transformasi struktur agraria tersebut akan memberi jalan pada proses berlangsungnya diferensiasi sosial masyarakat agraris, sehingga masyarakat agra-ris dari yang sebelumnya “egaliter” (merata) menjadi “terdifrensiasi”.

Berbasis hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria (pengua-saan tetap dan pengua(pengua-saan sementara), hasil sensus terhadap seluruh rumahtangga petani di empat komunitas petani kasus menunjukkan bahwa struktur sosial masyarakat agraris komunitas petani kakao yang muncul saat ini terdiferensiasi dalam banyak lapisan 101. Sebagian dari lapisan tersebut dibangun dengan status “tunggal” (status dimaksud merupakan basis dasar pelapisan masyarakat), sedang-kan sebagian lapisan lainnya dibangun dengan status majemuk atau “kombinasi”. Secara lebih rinci, berbagai lapisan masyarakat agraris yang muncul dalam komunitas petani kasus adalah:

1. Petani Pemilik. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan tetap (baik petani pemilik yang lahannya diusahakan sendiri dan/atau petani pemilik yang lahannya diusahakan oleh orang lain),

2. Petani Pemilik + Penggarap. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria tidak hanya melalui pola pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa, atau gadai)

3. Petani Pemilik + Penggarap + Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini selain menguasai sumberdaya agraria melalui pemilikan tetap dan pemilikan sementara (dengan cara mengusahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa, atau gadai) juga dengan cara menjadi buruh tani

101

Somadisastra (1977) mengemukakan bahwa berdasarkan penguasaan lahan, para petani di Aceh terbagi dalam tiga golongan, yaitu : golongan pemilik tanah (ureueng po tanah), golongan penggarap (ureueng mawah), dan buruh taniyang kemunculannya paling belakangan

(3)

4. Petani Pemilik + Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan tetap. Selain itu, untuk menam-bah penghasilan keluarganya, mereka juga menjalankan peranan sebagai seorang buruh tani102

5. Petani Penggarap. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria hanya melalui pola pemilikan sementara (dengan cara mengusaha-kan lahan milik petani lain, umumnya melalui sistem bagi hasil). Ditinjau dari sisi pemilikan, lapisan petani penggarap termasuk tunakisma, tetapi kategori tunakisma petani penggarap menjadi tidak mutlak karena ditinjau dari sisi penggarapan sumberdaya agraria mereka termasuk petani penguasa tanah (efektif)

6. Petani Penggarap + Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan sementara (dengan cara meng-usahakan lahan milik petani lain melalui sistem bagi hasil, sewa, atau gadai). Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarga, mereka juga menjalankan peranan sebagai buruh tani. Sebagai mana lapisan petani penggarap, lapisan ini termasuk tunakisma tetapi tidak mutlak.

7. Buruh Tani. Para petani pada lapisan ini benar-benar tidak menguasai sumberdaya agraria, sehingga dapat dikategorikan sebagai tunakisma mutlak. Walaupun demikian, mereka masih memperoleh manfaat dari sumberdaya agraria dengan cara menjadi buruh tani. Pada umumnya buruh tani di desa lokasi penelitian juga menjadi buruh kegiatan non pertanian dan/atau men-cari hasil hutan (terutama pada saat peluang berburuh tani tidak ada).

Ketujuh lapisan masyarakat tersebut muncul di seluruh desa kasus, kecuali lapisan petani penggarap tunggal tidak muncul di desa Ulee Gunong. Hal ini ter-jadi karena komunitas petani di Desa Ulee Gunong merupakan sebuah komunitas petani yang sumberdaya agrarianya hanya diusahakan untuk tanaman perkebunan (kakao dan/atau kopi). Selain itu, banyak kebun kakao dan/atau kopi yang

102

Sebenarnya petani yang merangkap sebagai buruh tani sudah ditemukan Geertz dalam studi lapang yang dilakukan awal tahun 50 an (Geertz, 1976). Para buruh tebu di Jawa saat itu juga merupakan petani pemilik sehingga selain mereka sebagai petani rumahtangga yang berorientasi komunitas juga buruh upahan.

(4)

kondisinya kurang baik, sehingga produktivitas tanamannya sangat rendah. Oleh sebab itu, para petani penggarap kebun kakao harus menambah penghasilan-nya dengan cara menjadi buruh. Namun demikian, distribusi rumahtangga berda-sarkan lapisan-lapisan tersebut berbeda antara satu komunitas petani kasus dengan komunitas petani kasus lainnya (Gambar 7.1.).

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Tondo Jono Ulee Cot

BT penggarap+BT penggarap pemilik+BT pemilik+penggarap+BT pemilik+penggarap pemilik

Gambar 7.1. Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Desa Kasus, 2007. (Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci) Munculnya tujuh lapisan masyarakat agraris di empat komunitas petani kasus menunjukkan bahwa pelapisan yang terjadi pada masyarakat agraris berbasis kombinasi usahatani padi sawah dan kakao lebih beragam dan lebih rumit dibandingkan dengan hasil temuan di sepuluh Desa padi sawah di Pulau Jawa pada Tahun 1979 dan Tahun 1981/1982. Dalam tulisan Wiradi (1984) Penduduk pedesaan di sepuluh Desa di Pulau Jawa dikelompokkan menjadi: 1) Pemilik penggarap murni : petani yang hanya menggarap tanahnya sendiri, 2) Penyewa dan Penyakap Murni : petani yang tidak memiliki tanah tetapi mempunyai tanah garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil (tunakisma, tetapi penguasa tanah efektif), 3) Pemilik Penyewa dan/atau Pemilik Penyakap : petani yang selain menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain, 4) Pemilik Bukan Penggarap, 5) Tunakisma mutlak : tidak memiliki tanah dan tidak mem-punyai tanah garapan (umumnya buruh tani dan sebagian lainnya bukan petani).

(5)

Struktur sosial masyarakat agraris sebagaimana tertera pada Gambar 7.1. juga menunjukkan bahwa bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang muncul merupakan struktur yang semakin terstratifikasi atau melipatnya sub-kelas komu-nitas petani menjadi banyak lapisan. Selain itu, realitas di lapangan menunjukkan bahwa dalam menjalankan pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria ba-nyak rumahtangga petani yang melakukannya tidak secara ekslusif (hanya men-jalankan satu pola hubungan sosial) tetapi mereka menmen-jalankan beberapa pola hubungan sosial. Hal ini terjadi karena banyak petani pemilik yang luas sumber-daya agrarianya relatif sempit, apalagi pada pemilikan sumbersumber-daya agraria pro-duktif (lahan yang berproduksi). Nampaknya, pemilikan tetap yang luasnya relatif sempit menyebabkan penghasilan petani dari sumberdaya agraria yang menjadi miliknya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga mereka. Oleh sebab itu, untuk memperbesar akses dalam penguasaan sumberdaya agraria, para petani tidak membatasi diri hanya pada pola penguasaan tetap tetapi mereka memper-luasnya dengan menjalankan pola pemilikan sementara.

Secara keseluruhan, hasil sensus di empat komunitas petani kasus menun-jukkan bahwa proporsi lapisan petani yang memiliki status sebagai petani pemilik (tunggal + kombinasi) masih merupakan bagian terbesar dari komunitas petani (dominan). Walaupun demikian, petani tunakisma (petani penggarap, buruh tani, dan penggarap + buruh tani) sudah muncul di semua komunitas petani kasus. Akan tetapi umumnya proporsi mereka masih merupakan bagian terkecil dari komunitas petani, kecuali di Desa Jono Oge dimana proporsi tunakisma sudah mencapai 34,2 %, dan sebagian besar (27,3 %) merupakan tunakisma mutlak. Bila lapisan-lapisan petani tersebut dibandingkan di antara desa kasus, nampak bahwa proporsi petani pemilik (tunggal + kombinasi) paling tinggi terjadi pada komuni-tas di Desa Ulee Gunong (93,2 %), kemudian disusul di Desa Tondo (81 %) dan di Desa Cot Baroh/Tunong (78,2 %), sedangkan proporsi petani pemilik paling rendah terjadi pada komunitas di Desa Jono Oge, yaitu hanya 65,8 % (Tabel 7.1.).

(6)

Tabel 7.1 Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Status Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007

Status dalam Penguasaan Sumberdaya Agraria

Tondo Jono Oge Ulee Gunong Cot Baroh N % N % N % N % 1. Pemilik 157 57.5 68 36.4 85 34.1 68 37.2 2. Pemilik+penggarap 26 9.5 44 23.5 9 3.6 53 29.0 3. Pemilik+penggarap+BT 3 1.1 3 1.6 4 1.6 11 6.0 4. Pemilik+BT 35 12.8 8 4.3 134 53.8 11 6.0 5. Penggarap 17 6.2 10 5.3 - - 31 16.9 6. Penggarap+BT 3 1.1 3 1.6 1 0.4 1 0.5 7. BT (Buruh Tani) 32 11.7 51 27.3 16 6.4 8 4.4 Total 273 100.0 187 100.0 249 100.0 183 100.0 A. Total Pemilik 221 80,92 123 65,8 223 93,2 143 78,2 B. Total Tunakisma 52 19,08 64 34,2 26 6,8 40 21,8 • Tunakisma Tidak Mutlak (Penggarap) 20 7,3 13 6,9 1 0,4 32 17,4 • Tunakisma Mutlak (Buruh Tani) 32 11.7 51 27.3 16 6.4 8 4.4

Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci

Selain telah munculnya lapisan petani tunakisma, ternyata proporsi petani pemilik yang memiliki status “hanya sebagai petani pemilik” (status tunggal) umumnya sudah menjadi bagian kecil dari komunitas (tidak dominan lagi), kecuali di Desa Tondo. Data pada Tabel 7.1 menunjukkan bahwa di desa Tondo proporsi lapisan petani pemilik tunggal masih 57,5 %, sedangkan di desa Cot Baroh/Tunong, Jono Oge, dan Ule Gunong masing-masing hanya 37,2 %, 36,4 %, dan 34,1 %. Sementara itu, status petani pemilik lainnya merupakan status kombinasi (campuran dari 2 - 3 status), yaitu : 1) lapisan pemilik + penggarap, 2) lapisan pemilik + buruh tani, dan 3) lapisan pemilik + penggarap + buruh tani.

Lebih lanjut, lapisan petani yang memiliki status penggarap (tunggal + kombinasi) sangat menonjol terjadi di desa-desa yang memiliki usahatani padi sawah, seperti di Desa Cot Baroh/Tunong (52,4 %), Desa Jono Oge (32,0 %), dan Desa Tondo (17,9 %). Di Desa Ulee Gunong, desa yang tidak memiliki sumber-daya agraria sawah, proporsi lapisan petani dengan status penggarap (tunggal +

(7)

kombinasi) hanya 5,6 %. Adapun lapisan petani dengan status buruh tani (tunggal dan kombinasi) paling banyak terjadi di Desa Ulee Gunong (62,2 %), kemudian disusul di Desa Jono Oge (34,8 %), Desa Tondo (26,7 %), dan Desa Cot Baroh/Tunong (16,9 %). Di Desa Ulee Gunong NAD status buruh tani sangat tinggi karena pada beberapa tahun terakhir banyak petani yang menjadi buruh pada proyek rehabilitasi pasca tsunami dan/atau pasca konflik.

Kemudian, hasil peneltian juga menunjukkan bahwa petani pemilik yang luas sumberdaya agrarianya kurang dari dua hektar umumnya masih cukup besar, bahkan di sebagian besar komunitas petani kasus masih merupakan bagian terbesar. Realitas ini terjadi pada pemilikan sumberdaya agraria total 103. Bahkan pada pemilikan sumberdaya agraria produktif 104 realitas tersebut nampak lebih menonjol. Data pada Tabel 7.2. menunjukkan bahwa proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agraria totalnya kurang dari dua hektar masih cukup besar, bahkan di desa Tondo dan di Desa Ulee Gunong merupakan bagian terbesar dari komunitas petani (masing-masing 58,8 % dan 73,9 %). Kemudian data pada Tabel 7.3. menunjukkan bahwa proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agraria “produktifnya” kurang dari 2 hektar lebih besar dari pada proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agraria “totalnya” kurang dari dua hektar. Bahkan di Desa Tondo, Desa Cot Baroh/Tunong, dan Desa Ulee Gunong proporsi petani dimaksud masing-masing 60,6 %, 68,9 % dan 79,8 %.

103

Sumberdaya agraria yang berproduksi ditambah dengan sumberdaya agraria yang tidak ber-produksi baik karena masih berupa lahan kosong atau karena tanamannya rusak

104

Hanya sumberdaya agraria yang sedang dikelola dan menghasilkan produk (sedang berpro-duksi)

(8)

Tabel 7.2. Distribusi Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total, 2007

Luas Pemilikan

Jono Oge Tondo

Cot Baroh/ Tunong Ulee Gunong Total N % N % N % N % N % 0 50 26,7 34 12,4 10 5,5 16 5,9 110 12,0 > 0 - < 0,5 3 1,6 15 5,5 10 5,5 2 0,7 30 3,3 O,5 - < 1 22 11,8 70 25,5 11 6,0 51 18,8 154 16,8 1 - < 2 44 23,5 76 27,7 59 32,2 148 54,4 327 35,7 2 - < 3 27 14,4 43 15,7 70 38,3 38 14,0 178 19,4 3 - < 4 15 8,0 20 7,3 13 7,1 12 4,4 60 6,6 >/ 4 26 13,9 16 5,8 10 5,5 5 1,8 57 6,2 Total 187 100,0 274 100,0 183 100,0 272 100,0 916 100,0 0 - < 1 75 40,1 119 43,4 31 16,9 69 25,4 294 32,1 > 0 - < 2 69 36,9 161 58,8 80 43,7 201 73,9 511 55,8 Rata-rata 1,288 2,168 1,697 1,373 Tertinggi (ha) 74 16 8,8 13,5 74

Sumber data : Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci

Tabel 7.3. Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Produktif, 2007

Luas Pemilikan

Jono Oge Tondo

Cot Baroh/ Tunong Ulee Gunong Total N % N % N % N % N % 0 64 34,2 51 18,6 41 22,4 41 15,1 197 21,5 < 0,5 5 2,7 17 6,2 22 12,0 7 2,6 51 5,6 O,5 - < 1 23 12,3 67 24,5 33 18,0 119 43,8 242 26,4 1 - < 2 36 19,3 82 29,9 71 38,8 91 33,5 280 30,6 2 - < 3 28 15,0 30 10,9 10 5,5 10 3,7 78 8,5 3 - < 4 14 7,5 14 5,1 5 2,7 2 0,7 35 3,8 >/ 4 17 9,1 13 4,7 1 0,5 2 0,7 33 3,6 Total 187 100,0 274 100,0 183 100,0 272 100,0 916 100,0 0- < 1 92 49,2 135 49,3 96 52,5 167 61,4 490 53,5 > 0 - < 2 64 34,2 166 60,6 126 68,9 217 79,8 573 62,6 Rata-rata 1,069 1,813 1,697 1,373 Tertinggi (ha) 71 12 4 10 71

(9)

Data-data pada Tabel 7.3. dan Tabel 7.4. juga menunjukkan bahwa di desa-desa kasus belum terjadi “pemusatan sumberdaya agraria” yang sangat nyata. Meskipun di semua desa kasus terdapat sejumlah petani yang oleh masyarakat sudah dikategorikan sebagai “petani luas yang kaya” tetapi luas lahan yang mereka miliki umumnya hanya sekitar 10 ha. Petani “pemilik sangat luas” hanya muncul di Desa Jono Oge yang beretnis Bugis dan petani tersebut merupakan keturunan perintis pertama. Adapun luas sumberdaya agraria (lahan) yang dimilikinya mencapai 74 ha, tetapi lahan tersebut tersebar pada 21 plot (bidang) dan sebagian besar (49,5 ha) berada di luar desa. Walaupun luas lahan milik petani tersebut sangat luas, tetapi seluruh lahan padi sawah dan kebun kakao diusahakan dengan pola bagi hasil 105. Hanya kebun kelapa dan cengkeh yang diusahakan sendiri oleh petani pemilik luas kaya dengan menggunakan buruh upahan, dan untuk mengawasi buruh upahan yang bekerja kadang-kadang petani pemilik luas kaya tersebut menggunakan mandor tidak tetap 106.

Hasil sensus rumahtangga petani di empat desa kasus menunjukkan bahwa rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria di antara lapisan petani tidak sama. Rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria paling besar terjadi pada lapisan petani pemilik dengan status tunggal sebagai “petani pemilik”, sedangkan rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria paling kecil terjadi pada lapisan petani dengan komplek, yaitu “pemilik + buruh tani” (Tabel 7.4.). Realitas tersebut muncul baik pada pemilikan sumberdaya agraria “total” maupun pada pemilikan sumberdaya agraria “produktif”.

105

Seluruh sumberdaya agraria padi sawah milik petani “sangat kaya” dalam komunitas petani di Desa Jono Oge (18 ha) dikelola oleh para petani penggarap bagi hasil (oleh 18 petani penggarap bagi hasil). Demikian halnya kebun coklat yang luasnya 10 ha dikelola petani bagi hasil (oleh 5 petani penggarap bagi hasil). Sementara itu, seluruh kebun cengkeh (8 ha) dan kebun kelapa (25,5 ha) tidak digarapkan tetapi dikelola sendiri karena tidak perlu perawatan yang intensif sepanjang tahun.

106

Dalam hal ini, mandor digunakan untuk mengawasi panen hasil. Adapun biaya mandor cengkeh adalah Rp. 100,-/liter sedangkan biaya mandor kelapa Rp. 100.000,-/satu kali penen sebanyak 3,000 pohon

(10)

Tabel 7.4. Rata-rata Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total dan Sumberdaya Agraria Produktif, 2007

Status Pemilikan Sumberdaya Agraria Total Sumberdaya Agraria Produktif Pemilik 2,268* 1,740* • pemilik + penggarap 2,062 1,452 • pemilik + penggarap + BT 2,152 1,474 • pemilik + BT 1,474 0,888

Keterangan : * berbeda pada taraf nyata 20 % dengan uji LSD

Sumber data : Diolah dari Data Sensus Rumahtangga Hasil Diskusi dengan Informan Kunci

Walaupun demikian, bila mengacu pada hasil uji statistik (uji beda nyata/uji LSD dengan selang kepercayaan 20 %) sebagaimana tertera pada lampiran 7.1. nampaknya rata-rata luas pemilikan yang dianggap “berbeda nyata” hanya terjadi antara lapisan petani dengan status tunggal “petani pemilik” dengan lapisan petani dengan status kompleks “petani pemilik + buruh tani”. Realitas ini terjadi baik pada rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria total maupun pada rata-rata luas pemilikan sumberdaya agraria produktif.

7.2. Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris : Jalan Bercabang Menuju Struktur Terstratifikasi atau Terpolarisasi

Sebelumnya, pada periode dimana sumberdaya agraria masih dikuasaai secara kolektif oleh komunitas petani, semua warga komunitas mempunyai akses yang sama untuk menguasai (dalam hal ini mengusahakan) sumberdaya agraria sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Oleh sebab itu, pada periode tersebut dapat diduga bahwa struktur sosial masyarakat agraris relatif merata karena dibentuk oleh struktur penguasaan sumberdaya agraria yang ter-buka atau memberikan akses yang sama kepada semua lapisan warga komu-nitas107. Kalaupun terdapat perbedaan lebih banyak terkait dengan perbedaan

107

Dalam sistem pemilikan kolektif yang diatur dalam ketentuan hukum adat, setiap anggota masyarakat mempunyai hak membuka tanah untuk dijadikan tanah pesawahan, ladang dan tempat tinggal. (Humairah Sabri dan Aminuddin, 1992).

(11)

kemauan di antara warga komunitas petani untuk mengusahakan sumberdaya agraria yang tersedia.

Kemudian setelah hampir seluruh sumberdaya agraria dalam komunitas pe-tani dikuasai secara individual, sebagaimana yang terjadi saat ini di semua komu-nitas petani kasus, ternyata bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang muncul merupakan sebuah struktur yang terstratifikasi 108 atas banyak lapisan petani. Lapisan yang membentuk struktur tersebut dijalin oleh status yang lebih kompleks, karena selain dijalin melalui tatanan pemilikan tetap juga melalui dijalin melalui tatanan pemilikan sementara. Oleh sebab itu, lapisan-lapisan yang membentuk struktur tersebut cukup banyak, mulai dari petani pemilik luas yang sebagian sumberdaya agraria miliknya diusahakan petani lain, petani pemilik se-dang yang sumberdaya agraria miliknya hanya diusahakan sendiri (keluarga inti), petani pemilik sempit yang selain mengusahakan sendiri lahan miliknya juga harus merangkap sebagai penggarap dan/atau buruh tani, serta para penggarap dan “buruh tani” yang tidak memiliki sumberdaya agraria.

Bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi tersebut, mes-kipun dibangun melalui berbagai mekanisme/proses penguasaan sumberdaya agraria atau pola hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria secara perorangan atau individual, tetapi mereka diikat oleh landasan moral tradisional. Walaupun mekanisme-mekanisme yang memberi jalan pada pembentukan struk-tur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi masih dominan, tetapi pada saat ini dalam komunitas petani di empat kasus juga sedang berjalan beberapa mekanisme/proses penguasaan sumberdaya agraria atau pola hubungan sosial penguasaan sumberdaya agraria individual yang cenderung mendorong/ memfasilitasi terjadinya bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang semakin terpolarisasi 109 (Tabel 7.5.). Dalam proses ini landasan moral tradisional mulai digantikan oleh hubungan “pasar” yang tidak lagi bersifat pribadi.

108

Sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang melipatgandakan sub-kelas petani di dalam suatu rangkaian spektrum dari buruh tani tunakisma sampai ke pemilik luas yang tidak mengusahakan sendiri tanahnya

109

Sebagai proses perkembangan ketidaksamaan yang mengkutubkan masyarakat tani menjadi (hanya) dua lapisan, yakni petani luas komersial yang kaya dan lapisan buruh tani tunakisma yang miskin.

(12)

Tabel 7.5. Kaitan antara Pola Hubungan Sosial Penguasaan Sumberdaya Agraria dengan Arah Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris, 2007. Pemanfaatan Sumberdaya Agraria Pola Hubungan Sosial Penguasaan Sumberdaya Agraria Status Ekonomi Penggarap Mekanisme Perubahan Struktur Masyarakat Tahap Pembangunan Kebun/Sawah

Padi-Sawah Bagi Waktu Tanam Sedang Polarisasi

Kakao Bagi Kebun Miskin - Sedang Stratifikasi

Bagi Tanaman Miskin – Sedang Polarisasi

Tahap Pengelolaan Kebun/Sawah

Padi-Sawah Bagi 2 atau Bagi 3 Sedang Polarisasi

Kakao Bagi 2 atau Bagi 3 Miskin – Sedang Stratifikasi

Kopi Bagi 2 atau Bagi 3 Miskin – Sedang Stratifikasi

Kelapa Sewa Kaya Polarisasi

Cengkeh Buruh – Upahan Miskin Polarisasi

Semua Tanaman Gadai Kaya Polarisasi

Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci

Beberapa mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang terstratifikasi adalah : pola bagi kebun (pada tahap pembangunan kebun) dan pola bagi hasil untuk kebun (baik kebun kakao maupun kebun kopi). Selain itu, pola pewarisan yang membagikan sumberdaya agraria (lahan) milik orang tua kepada semua anaknya (umumnya dalam jumlah yang sama) juga cenderung mendorong bentuk struktur agraria yang semakin terstratifikasi.

Sementara itu, beberapa mekanisme penguasaan sumberdaya agraria yang mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi adalah : pola bagi tanaman (pada tahap pembangunan kebun), bagi waktu panen (pada saat pencetakan sawah), pola bagi hasil sumberdaya agraria sawah, sistem sewa sumberdaya agraria sawah dan kebun

(13)

(terutama pada sumberdaya agraria kebun kelapa), dan sistem gadai. Demikian halnya menguatnya mekanisme transfer sumberdaya agraria melalui transaksi jual - beli 110 , semakin rendahnya kemampuan petani miskin untuk memiliki sumberdaya agraria dan/atau membangun sumberdaya agraria, semakin luasnya penggunaan buruh upahan mendorong perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi.

Pola bagi tanaman pada tahap pembangunan kebun, penyewaan (terutama kelapa) dan gadai sumberdaya agraria pada tahap pengelolaan usahatani, serta transaksi jual-beli sumberdaya agraria maupun jual beli tanaman111 seluruhnya cenderung mendorong struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi. Hal ini terjadi karena pemilik sumberdaya agraria pada pola bagi tanaman (kebun) dan pola bagi waktu panen (sawah) serta petani yang menjadi pembeli, penyewa, dan penggadai sumberdaya agraria (lahan) umumnya para petani yang termasuk dalam lapisan “petani kaya”. Berbagai mekanisme dimaksud lebih lanjut akan mengakumulasikan sumberdaya agraria pada kelom-pok minoritas lapisan petani kaya.

Sebaliknya, para petani yang menjadi penggarap dalam pola bagi tanaman serta para petani yang menyewakan, menggadaikan, dan menjual sumberdaya agraria (kebun maupun sawah) umumnya merupakan para petani yang berada pada lapisan petani sedang dan/atau petani miskin, sehingga luas sumberdaya agraria milik mereka semakin sempit atau bahkan menjadi petani tak bertanah. Semakin banyaknya kebutuhan petani yang harus dipenuhi dengan uang tunai memperbesar proses pelepasan hak pemilikan tetap para petani miskin melalui transaksi jual/beli dan/atau melalui pelepasan hak pemilikan sementara (sewa dan gadai). Demikian halnya, pola bagi hasil pada pengelolaan padi sawah yang berjalan saat ini mendorong terbentuknya struktur sosial masyarakat agraris

110

Sebagaimana ditemukan Billah (1984) pengalaman di pedesaan Jawa Tengah menunjukkan bahwa mekanisme jual beli sumberdaya agraria memberi jalan bagi berlangsungnya pemusatan pemilikan tanah di satu pihak, sebaliknya di pihak lain jumlah orang yang tidak memiliki tanah akan terus bertambah. Sementara itu, pewarisan sumberdaya agraria yang secara adat hidup subur akan memberi jalan bagi berlangsungnya fragmentasi pemilikan sumberdaya agraria menjadi luasan-luasan yang semakin sempit.

111

Penjualan tanaman seringkali dilakukan para petani “pembagi hasil tanaman” kepada “petani pemilik tanah” yang menjadi parner kerjasamanya. Di Cot Baroh/Tunong NAD harga kebun kakao dengan benih unggul berumur 2 tahun yang lokasinya sekitar 5 km dari desa mempunyai harga sekitar 30 ribu/pohon.

(14)

menuju bentuk yang semakin terpolarisasi. Hal ini terjadi karena dengan semakin intensifnya teknologi yang diterapkan pada pengelolaan usahatani tersebut, maka semakin besar modal finasial yang diperlukan sehingga para petani yang mendu-duki posisi sebagai penggarap bukan lagi lapisan petani miskin tetapi lapisan petani menengah (sedang) yang mempunyai modal finansial atau yang dipercaya pemilik modal finasial untuk diberikan pinjaman.

Tabel 7.6. Modal Finansial Untuk Membangun Kebun (1 Ha) pada Lahan Hutan di Desa Cot Baroh/Tunong Dan Ulee Gunong, 2007

Aktivitas Volume Harga

Satuan

Jumlah Keterangan Tebang (sewa chainsaw) 4 hari 250.000 1.000.000,- Sewa alat/jasa Merintis 15 hari 50.000,- 750.000,- Dilakukan sendiri Membersihkan dan bakar 15 hari 50.000,- 750.000,- Dilakukan sendiri Menggali lubang 1.000 buah 1.000,- 1.000.000,- Sendiri/Buruh Upahan Menanam 1.000 btg 1.000,- 1.000.000,- Dilakukan sendiri

Bibit 1.000 btg 1.500,- 1.500.000,- Sendiri/Beli

Ongkos bawa bibit 1.000 500,- 500.000,- Sendiri/Buruh Upahan

Jumlah 6.500.000,- Sumber data : Wawancara dengan Informan Kunci

Hal lain yang membuat penguasaan sumberdaya agraria mendorong ter-jadinya polarisasi struktur sosial masyarakat agraris adalah semakin rendahnya akses petani miskin terhadap cadangan sumberdaya agraria baru (lahan hutan). Hal ini terjadi karena beberapa hal berikut : 1) letak sumberdaya agraria baru (lahan kosong) semakin jauh dari pemukiman petani, 2) persediaan cadangan sumber-daya agraria semakin terbatas sehingga terjadi persaingan dalam mendapatkannya, 3) program pemerintah bias kepada petani lapisan kaya dan atau lapisan petani sedang, dan 4) biaya pembangunan kebun semakin mahal. Bila seluruh input produksi dibeli (termasuk bibit) maka modal finansial yang diperlukan petani untuk membangun kebun tahun pertama sebesar Rp. 6.500.000.- (Tabel 7.6.). Akan tetapi, bila petani sudah mempunyai penghasilan untuk biaya hidup selama membangun kebun dan sebagian pekerjaan dilakukan oleh anggota keluarganya, maka jumlah modal finansial yang mereka perlukan pada tahun pertama pembangunan kebun kakao hanya setengahnya (Rp. 3.250.000,-)

(15)

Dengan berlakunya pemilikan individual yang diperkuat status hukum formal (surat keterangan yang dikeluarkan pemerintahan desa), maka semakin banyak orang kaya yang menguasai lahan untuk investasi masa depan tetapi mereka seringkali tidak langsung mengusahakannya. Ketentuan aturan lama (aturan adat) maupun aturan baru (UU Pokok Agraria) yang menetapkan bahwa lahan kosong yang dalam kurun waktu tertentu (tiga tahun) tidak diusahakan dapat diusahakan petani lain ternyata dalam implementasinya di lapangan tidak lagi diterapkan secara sunguh-sungguh.

Bersamaan dengan itu, program pemerintah dalam pembangunan kebun baru sengaja atau tidak sengaja umumnya tidak memberikan prioritas kepada para petani tak berlahan atau petani berlahan sempit. Realitas ini lebih menonjol terjadi di desa-desa kasus di Sulawesi Tengah. Selain itu, realitas dimaksud terutama berkaitan dengan beberapa praktek berikut :

ƒ Para elit lokal cenderung memilih peserta program pembangunan kebun yang mempunyai hubungan sosial dekat (umumnya yang memiliki hubung-an kerabat dhubung-an/atau kolega),

ƒ Syarat peserta program masih diskriminatif, misalnya para petani harus memiliki sertifikat lahan. Padahal pembuatan sertifikat lahan memerlukan biaya yang cukup besar, sehingga hal tersebut umumnya hanya dapat dipe-nuhi oleh para petani yang tergolong petani kaya,

ƒ Lahan semakin jauh dari pemukiman sehingga bila petani miskin (umumnya penggarap dan/atau buruh tani) ikut sebagai peserta program pembangunan kebun, maka mereka tidak dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang diperlukan guna memenuhi biaya hidup keluarganya. Oleh sebab itu, banyak petani miskin yang tidak mau ikut menjadi peserta program tersebut.

Meskipun realitas struktur sosial masyarakat agraris saat ini masih cende-rung berada dalam bentuk yang terstratifikasi, tetapi dengan menggunakan alat analisa (statistik) “gini ratio” dapat ditunjukkan bahwa ketimpangan dalam pemilikan sumberdaya agraria di dalam komunitas petani kasus sudah mulai nampak (Tabel 7.7). Realitas ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria tersebut umumnya semakin besar bila analisa gini ratio dilakukan pada pemilikan

(16)

sumberdaya agraria produktif, yaitu sumberdaya agraria yang sudah menghasilkan (berproduksi). Tingginya angka ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria berlangsung sejalan dengan adanya proses-proses penguasaan sumberdaya agraria yang memberi jalan pada struktur sosial masyarakat agraris yang terpolarisasi. Tabel 7.7. Analisa Gini Ratio Terhadap Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria,

2007.

Desa Agraria Total Sumberdaya Sumberdaya Agraria Produktif Tondo 0,44 0,59 M T Jono Oge 0,69 0,71 T T Cot Baroh 0,57 0,42 T M Ulee Gunong 0,32 0,55 R T

Keterangan : Nilai Gini Ratio < 0,4 = R = Ketimpangan Rendah, 0,4 – 0,5 = M = Ketimpangan Moderat, dan > 0,5 = T= Ketimpangan Tinggi

Sumber data: Diolah dari Data Sensus Rumahtangga Melalui Diskusi dengan Informan Kunci

Dalam hal pemilikan sumberdaya agraria total, ketimpangan yang termasuk kategori tinggi terjadi pada komunitas petani di Desa Jono Oge dan pada komunitas di Desa Cot Baroh. Bahkan ketimpangan paling tinggi terjadi pada komunitas petani di Desa Jono Oge yang berlatarbelakang etnis pendatang Bugis. Pada komunitas petani di Desa Tondo ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total masih termasuk kategori moderat dan pada komunitas petani di Desa Ulee Gunong ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total masih termasuk dalam kategori rendah.

Lebih lanjut bila analisa gini ratio dilakukan hanya terhadap sumberdaya agraria produktif, ternyata ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria pada komunitas petani di Desa Jono Oge, di Desa Tondo, dan di Desa Ulee Gunong lebih tinggi dibanding ketimpangan pada pemilikan sumberdaya agraria total, dan

(17)

kategori ketimpangan penguasaan sumberdaya agraria di ketiga desa dimaksud berada dalam kategori ketimpangan tinggi. Realitas tersebut terjadi karena banyak petani pemilik kebun yang tanamannya sudah rusak sehingga kebun tersebut tidak lagi berproduksi. Sementara itu, pada komunitas petani di Desa Cot Baroh/ Tunong, ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria produktif lebih rendah dibanding ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria total. Realitas tersebut muncul karena di desa Cot Baroh/Tunong luas sumberdaya agraria kebun kakao yang baru dibangun (belum produktif) cukup besar tetapi distribusinya relatif ku-rang merata sehingga berperan kuat dalam meningkatkan ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria dalam komunitas petani tersebut.

7.3. Peranan Program Pemerintah dan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris

7.3.1. Peranan Program Pemerintah dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris

Program-program pembangunan perkebunan kakao yang dilaksanakan di Indonesia, termasuk di kedua propinsi lokasi penelitian (Sulawesi Tengah dan Nangroe Aceh Darussalam), merupakan program yang pelaksanaanya dimasukkan ke dalam komunitas petani dan ditujukan seluruhnya untuk anggota komunitas petani. Oleh sebab itu, penentuan peserta program selain dipengaruhi pihak luar juga sangat diwarnai oleh kekuatan-kekuatan yang ada pada tingkat komunitas petani. Kebijakan yang diacu oleh komunitas petani akan menentukan apakah kesempatan menjadi peserta pembangunan kebun akan terdistribusi secara merata atau tidak. Akan tetapi, pada umumnya fasilitasi program pemerintah sangat kecil dibanding kebutuhan masyarakat, sehingga jumlah warga komunitas yang dapat difasilitasi hanya sekitar 20 % - 30 %. Selain itu, besar fasilitasi umumnya hanya cukup untuk membangun kebun dengan luas lahan per petani yang relatif sempit. Di pihak lain, data statistik perkebunan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perkebunan pada Tahun 2004 menunjukkan bahwa tingkat kemandirian masyarakat dalam membangun kebun kakao sangat tinggi. Hal ini terjadi baik di Propinsi Sulawesi Tengah maupun di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Di kedua propinsi tersebut, sebagian besar kebun kakao dibangun para petani tanpa fasilitasi program pemerintah. Bahkan di Propinsi Sulawesi Tengah, yang

(18)

kondisi keamanannya sangat kondusif, nampak bahwa pembangunan kebun kakao yang sepenuhnya merupakan hasil swadaya masyarakat berlangsung sangat pesat, meskipun fasilitasi program pemerintah di wilayah tersebut sangat sedikit.

Oleh sebab itu, pada tahun 1999 kebun kakao di Propinsi Sulawesi Tengah yang dibangun oleh para petani secara swadaya (tanpa fasilitasi pihak lain, terutama pemerintah) mencapai 97 % dari total perkebunan kakao rakyat yang ada di propinsi tersebut (Gambar 7.2.). Meskipun perkembangannya tidak sepesat sebagaimana terjadi di Propinsi Sulawesi Tengah, di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam pun pada tahun 1999 pengembangan kebun kakao yang dibangun oleh para petani secara swadaya mencapai 96 % dari total perkebunan kakao rakyat yang ada di propinsi tersebut (Gambar 7.3.). Namun demikian, di kedua propinsi tersebut kondisi kebun yang dibangun masyarakat secara swadaya umumnya kurang baik, sehingga produktivitasnya jauh lebih rendah dibanding kebun yang dibangun dengan fasilitasi program pemerintah.

-10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 1990 1995 1999

Berbantuan sw adaya murni Total

Gambar 7.2. Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Sulawesi Tengah Berdasarkan Pola Pengembangan (ha)

(19)

-10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 1990 1995 1999

Berbantuan sw adaya murni Total

Gambar 7.3. Perkembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Nangroe Aceh Darussalam Berdasarkan Pola Pengembangan (ha), 2007 (Sumber Data : Statistik Perkebunan (Ditjenbun, 2004))

Tidak berbeda dengan gambaran makro diatas, hasil pengamatan di dalam komunitas petani kasus menunjukkan hal yang sama, dimana sebagian besar ke-bun kakao dibangun dengan upaya swadaya petani (tanpa bantuan/fasilitasi pihak luar desa). Di tiga desa kasus yang pernah dan/atau sedang ada program rintah pun proporsi kebun kakao yang dibangun melalui fasilitasi program peme-rintah hanya sekitar 20 %, sedangkan sebagian besar kebun kakao lainnya dibangun secara swadaya, baik oleh petani yang pernah menjadi peserta program pemerintah maupun petani lainnya yang tidak pernah menjadi peserta program pemerintah. Misalnya pada program pembangunan kebun baru di Desa Cot Baroh/Tunong, jumlah warga komunitas yang menjadi peserta program hanya 57 petani atau hanya 28 % dari seluruh warga komunitas. Selain itu, luas lahan sebagian besar petani yang mendapat fasilitas program pembangunan kebun hanya setengah hektar (Tabel 7.8.).

(20)

Tabel 7.8. Distribusi Luas Lahan Peserta Program Pembangunan Kebun Baru di Desa Cot Baroh/Tunong, 2007

Luas Kebun

(ha) Jumlah Peserta

Jumlah Luas Kebun (ha) N % 0.5 27 47.37 13.5 1 14 24.56 14 1.5 4 7.02 6 2 10 17.54 20 2.5 1 1.75 2.5 1 1 1.75 1 Jumlah 57 100.00 57

Sumber data: Diolah dari Data Kelompok Tani

Sebenarnya di desa Ulee Gunong, pernah ada bantuan pemerintah tetapi bukan untuk pengembangan tanaman kakao. Pada awal tahun 80 an para petani di desa ini pernah menerima bantuan bibit kopi sebanyak 800 pohon per petani. Jika dihitung berdasarkan kebutuhan tanaman kopi untuk luasan lahan 1 ha, maka jumlah bantuan bibit tersebut dapat memenuhi kebutuhan 0.5 ha lahan. Bibit tersebut diberikan oleh pemerintah melalui Dinas Perkebunan Tingkat II Kabupa-ten Pidie. Akan tetapi, akibat kematian pada saat penanaman serta adanya se-rangan hama penyakit, tanaman kopi yang bibitnya berasal dari bantuan tersebut hampir tidak ada lagi.

Meskipun nama program yang pernah/sedang ada di lokasi desa penelitian berbeda (Tabel 7.9.), tetapi pola fasilitasi yang diberikan pemerintah di ketiga desa kasus realtif sama. Seacara substansial, kedua program tersebut, baik P2WK (Pengembangan Perkebunan di Wilayah Khusus) yang dilaksanakan di Desa Jono Oge dan Desa Tondo maupun Perluasan Kebun di Desa Cot Baroh/Tunong merupakan Program Berbantuan Parsial. Dalam program tersebut pemerintah atau pihak luar lainnya memberikan bantuan bahan tanam dan input produksi lain (pupuk, obat-obatan) serta sebagian biaya tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan tanaman sampai dengan umur tanaman satu tahun di lapangan (Tabel 7.10.). Setelah itu, seluruh biaya untuk memelihara tanaman sampai tanaman tersebut menghasilkan menjadi tanggungan petani.

(21)

Tabel 7.9. Fasilitasi Pemerintah Melalui Program Pengembangan Perkebunan, 2007

Desa

Program Pengembangan Perkebunan

Ada Program Tidak Ada Program

• Desa Tondo • Berbantuan/Parsial/P2WK (Biaya APBN, 1990) • Desa Jono Oge • Berbantuan/Parsial/P2WK

(Biaya APBN, 1990) • Desa Cot Baroh/

Tunong

• Penghijauan Kehutanan – Petani Mendapat Bibit Kakao Tidak Unggul (APBD Tingkat II, 2000)

• Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat

(APBD Tingkat II, 2004)

• Berbantuan/Parsial/Perluasan Kebun (Biaya Grant ADB, 2006)

• Desa Ulee Gunong

Swadaya Murni

Sumber Informasi : Diolah dari berbagai sumber

Tabel 7.10. Intervensi Pemerintah dalam Pola Berbantuan/Parsial, 2007 Intervensi Pemerintah Swadaya Berbantuan/Parsial Murni Penyediaan Lahan

Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani secara individual/kelompok (peranan elit lokal tingkat desa dalam pengaturan pemilihan lahan dan petani peserta sangat besar)

Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani secara individual/kelompok

(peranan elit lokal tingkat desa dalam pengaturan pemilihan lahan dan petani peserta tidak terlalu besar)

Penyediaan Input Lain

Pemerintah menyediakan input untuk penanaman dan pemeliharaan selama 1 tahun. Selanjutnya, penyediaan input tergantung inisiatif dan

kemampuan petani

Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani

Pengolahan dan Pemasaran

Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani

Sepenuhnya inisiatif dan kemampuan petani Sumber Informasi : Diolah dari berbagai sumber

(22)

Bagi para petani peserta, adanya program-program tersebut telah membe-rikan manfaat meningkatkan kemampuan mereka dalam penguasaan input pro-duksi dan keterampilan baru, sehingga mereka dapat memperluas kebun miliknya. Sementara itu, bagi anggota komunitas petani yang tidak menjadi peserta prog-ram, adanya program-program tersebut juga telah memberikan manfaat paling tidak dalam 3 (tiga) hal berikut : 1) meningkatkan keterampilan dengan cara be-lajar langsung (meniru) dari petani peserta, 2) mendapatkan kebun contoh sehing-ga keberhasilan kebun contoh dapat mendorong minat petani lain untuk melaku-kan hal yang sama sebagaimana dilakumelaku-kan petani peserta program, 3) menjadi sumber bahan tanam bagi kebun/petani lain sehingga mereka dapt membangun sendiri kebun miliknya. Umumnya biji kakao yang diperlukan sebagai bahan tanam dapat diminta dari kebun produksi petani lain. Kesempatan tersebut dapat mengurangi kesenjangan yang terjadi antara petani peserta yang difasilitasi program pemerintah dengan petani lain yang tidak difasilitasi program tersebut. Tabel 7.11. Petani Peserta Proyek (ADB) Pengembangan Kebun Kakao di

Desa Cot Baroh/Tunong, 2007

Kriteria N Peserta

Proyek

% dari

Peserta % dari n Status Penguasaan Lahan

• Pemilik 68 16 40,0 23,5 • Pemilik + Penggarap 53 12 30,0 22,6 • Pemilik + Penggarap + BT 11 2 5,0 18,2 • Pemilik + BT 11 3 7,5 27,3 • Penggarap 32 6 15,0 18,8 • BT 8 1 2,5 12,5 • Total (N) 183 40 100,0 21,9

Tingkat Kesejahteraan Petani

• Miskin 123 27 67,5 22,0

• Sedang 52 9 22,5 17,3

• Kaya 8 4 10,0 50,0

Total (N) 183 40 100,0 21,9

(23)

Sebagaimana terjadi di desa Cot Baroh/Tunong, meskipun para petani pemilik (luas) masih mendapat kesempatan lebih besar untuk menjadi peserta program pembangunan kakao yang difasilitasi program pemerintah tetapi para petani tanpa lahan atau tunakisma (penggarap dan buruh tani) serta para petani yang memiliki lahan sempit tidak ditinggalkan (Tabel 7.11.). Data pada Tabel 7.11. menunjukkan bahwa proporsi para petani miskin yang ikut serta dalam program pemerintah masih merupakan bagian terbesar. Kondisi ini jauh lebih baik dibanding program-program pemerintah yang hanya memberikan kesempatan kepada perusahaan besar untuk mengambil lahan di desa dan menjadikan masya-rakat desa hanya sebagai buruh tani.

7.3.2. Peranan Lembaga Lokal dalam Diferensiasi Sosial Masyarakat Agraris

Di semua komunitas petani kasus terdapat beragam kelembagaan lokal yang secara langsung berperan dalam proses distribusi penguasaan sumberdaya agraria, dan lebih lanjut proses tersebut akan mempengaruhi proses diferensiasi sosial masyarakat agraris (Tabel 7.12). Peranan kelembagaan lokal tersebut dapat terjadi sejak tahap pencarian sumberdaya agraria yang cocok untuk pembangunan kebun, distribusi sumberdaya agraria di antara anggota komunitas, proses pembangunan kebun/pencetakan sawah, sampai tahap pengusahaan/pengelolaan kebun/sawah 112. Akan tetapi, akhir-akhir ini peranan kelembagaan lokal pada seluruh tahapan tersebut semakin berkurang, terutama sejak diberlakukannya Undang Undang Pemerintahan Desa Nomor 5 Tahun 1979. Sejak saat itu, peranan Kepala Desa semakin menggantikan peranan para pemimpin lokal.

112

Sebagaimana dikemukakan Humairah Sabri dan Aminuddin (1992), di Sulawesi Tengah, di masa lalu, Izin membuka tanah diperoleh dari Kepala Adat sebagai penguasa tanah (bukan pemilik tanah). Dalam hal memperoleh hak milik atas tanah melalui cara membuka tanah, maka Ketua Adat berperan dalam mengawal implementasi ketentuan hukum adat yang menetapkan syarat berikut : harus memperoleh izin dari ketua adat, tanah/hutan yang dibuka harus diolah/digarap secara terus menerus, mereka yang membuka tanah harus menanami tanaman keras/tanaman tahunan, tanah/hutan yang dibuka belum pernah ditandai orang lain, dan tanah yang dibuka harus diberi tanda (patok) untuk menunjukkan batas dan luasnya tanah. Bilamana patok dan tanaman diatasnya hilang maka pemilik tanah dapat kehilangan hak atas tanahnya. Demikian halnya bila tanah tersebut ditelantarkan selama 5 tahun maka hak pemilikannya gugur dan dapat diganti petani lain. Dalam hukum adat ini masih dimungkinkan adanya tanaman yang menumpang di atas tanah orang lain (Pada suku Kaili di Donggala disebut ”tana niinda”).

(24)

Tabel 7.12. Kelembagaan Lokal yang Berkaitan dengan Penguasaan Sumberdaya Agraria, 2007.

Desa Kelembagaan Lokal

Kebun Sawah Sulawesi Tengah

Desa Tondo Ketua Adat Ketua Adat

Desa Jono Oge Ketua Adat Ketua Adat, Ketua Kelompok Tani Nangroe Aceh Darussalam

Desa Cot Baroh/ Tunong Peutua Senuebok Imum Mukim

- Desa Ulee Gunong Peutua Seneubok

Imum Mukim

Kejruen Blang

Sumber Informasi : Diskusi dengan Informan Kunci

Menurunnya peran Ketua Adat yang digantikan Kepala Desa113 dalam pengaturan penguasaan sumberdaya agraria sangat menonjol dalam komunitas petani kasus di Sulawesi Tengah (Desa Jono Oge dan Desa Tondo). Bahkan di kedua komunitas tersebut, pengaturan distribusi penguasaan sumberdaya agraria (lahan) sudah sepenuhnya berada di tangan Kepala Desa yang didukung perangkat pemerintah di atasnya 114. Sebenarnya, di Desa Tondo maupun Desa Jono Oge masih terdapat seseorang yang dipilih langsung masya-rakat sebagai Ketua Adat tetapi posisi ketua adat berada dibawah kepala desa (walaupun tidak termasuk perangkat desa). Pada saat penelitian berlangsung, peranan Ketua Adat lebih ba-nyak berlangsung pada kegiatan upacara adat (seperti perkawinan) serta penye-lesaiaan konflik rumahtangga (konflik suami istri). Pada aktivitas usaha pertanian kadang-kadang Ketua Adat diminta peranannya dalam hal-hal berikut : proses pewarisan lahan, penyelesaian sengketa lahan, dan penyelesaian sengketa antara

113

Fenomena tersebut sama dengan yang dikemukakan Adimiharja (1999) bawa setelah adanya UU No 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, peranan ketua adat digantikan oleh kepala desa. Keadaan tersebut menyebabkan disfungsinya pemerintahan adat dan kemudian menye-babkan split personality di kalangan masyarakat

114

Permintaan izin kepada Kepala Desa untuk lahan yang luasnya hanya dua ha, bila luas lahan yang diminta lebih dari 2 ha – 5 ha permintaan izin harus diajukan kepada Camat, dan bila lebih dari lima ha permintaan idzin harus diajukan kepada Bupati

(25)

pemilik ternak dan pemilik kebun/sawah (bila terdapat ternak yang merusak kebun/sawah). Namun demikian, pada saat ini untuk hal-hal tersebut pun masyarakat lebih banyak meminta fasilitasi/mediasi dari Kepala Desa. Kemudian, dalam menjalankan koordinasi pengelolaan usahatani sawah (pembersihan saluran air, penetapan waktu tanam), di Desa Jono Oge lebih banyak dilakukan oleh ketua kelompok tani.

Berbeda dengan di Sulawesi Tengah, dalam komunitas petani kasus di Nangroe Aceh Darussalam (Desa Ulee Gunong dan Desa Cot Baroh/Tunong) peranan Kepala Desa yang dijalankan oleh seorang Keucik115. masih relatif berimbang dengan peranan pemimpin lokal lainnya seperti Peteua Seneubok dan Imum Mukim. Permintaan idzin melalui Keucik hanya dominan manakala pembangunan kebun difasilitasi oleh program pemerintah, sedangkan peranan Peutua Seneubok akan dominan pada saat penguasaan lahan ditempuh melalui mekanisme ganti rugi atas lahan petani lain (anggota seneubok) atau pembukaan lahan baru sekitar lahan yang sudah dibuka kelompok yang dipimpin Peutua Seneubok. Kemudian, peranan Imam Mukim akan dominan bilamana pembukaan lahan baru berada pada wilayah beberapa desa.

Dalam proses pembangunan kebun, kelembagaan lokal ”Seneubok” yang diketuai oleh ”Peutua” Seneubok tidak hanya berperan dalam mendistribusikan lahan tetapi juga dalam melakukan koordinasi kegiatan yang mengupayakan agar lahan tersebut dapat diusahakan secara produktif. Dalam hal ini, Peutua Seneubok akan melakukan koordinasi aktivitas teknis (pencarian dan pembukaan lahan, pemagaran, penetapan musim tanam yang tepat) maupun aktivitas upacara adat (kenduri). Akan tetapi, peranan Peutua Seneubok umumnya sangat berkurang setelah kebun menghasilkan karena kegiatan yang perlu dilakukan bersama (di antara petani) tidak ada lagi. Pada saat itu, peranan Peutua Seneubok hanya memimpin upacara adat (kenduri) yang dilakukan sekali/tahun. Pada kegiatan pembangunan kebun yang mendapat fasilitasi pemerintah, nama Peutua Seneubok

115

Keuchik adalah Kepala Gampong (setara Kepala Desa) yang dipilih secara langsung oleh masyarakat untuk masa jabatan enam tahun. Ketua Mukim adalah seorang pemimpin yang berperan sebagai koordinator beberapa desa. Peutua Seneubok adalah orang yang ditunjuk anggotanya dalam memimpin pembukaan hutan dan/atau pembangunan kebun.

(26)

akan berubah menjadi Ketua Kelompok Tani, tetapi umumnya diperankan oleh orang yang sama.

Dalam proses penyiapan lahan untuk tanaman perkebunan, Peutua Seneu-bok bersama dengan beberapa petani lain akan mencari lokasi yang dianggap baik. Lahan yang dipilih pertama adalah yang memiliki kriteria berikut :

ƒ Diutamakan tanah bekas ”orang tua” menanam padi ladang karena ”orang tua” mereka hidup sebagai peladang berpindah (dengan siklus tiga tahun).

ƒ Lahan yang dibuka bukan tempat yang terlalu miring tetapi agak miring dan menghadap ke timur (menghadap matahari terbit). Bila tanah tersebut terlalu miring musim buahnya lebih pendek

Setelah itu, Peutua Seneubok beserta para petani perintis lainnya mengum-pulkan sekitar 10 orang petani yang berminat membuka kebun. Pembukan kebun diawali dengan kenduri yang oleh penduduk lokal disebut kenduri Peusejuk Parang. Dalam kenduri disediakan nasi ketan, kelapa pakai gula (buluka). Tujuan utama melaksanakan kenduri adalah memohon doa bersama supaya dalam melak-sanakan usahatani terhindar dari berbagai gangguan, termasuk gangguan hama dan penyakit tanaman. Dalam kenduri buka kebun biasanya dibacakan doa sebagai berikut : Weh kamou menjak minta rezeki bek na soe ganggu-ganggu, mudah-mudahan kamou nayre bermudah rezeki pemberi le Allah yang artinya Kalau kamu mengharapkan rezeki janganlah mengganggu kami, mudah-mudahan kamu mendapat rezeki dari Allah.

Pembangunan kebun pada umumnya dilakukan secara berkelompok (dalam waktu bersamaan) tetapi sebagian besar pekerjaan dilakukan oleh masing-masing keluarga inti. Hanya pekerjaan tertentu yang dikerjakan secara tolong menolong (pertukaran tenaga) misalnya menebang kayu besar dan menggali lubang (untuk tanam coklat). Pembukaan kebun secara berkelompok menjadi pilihan petani mengingat : di hutan masih banyak binatang buas, jika terjadi kecelakaan ada yang menolong, mengawasi/menengok kebun secara bergantian, membuat pagar bersama lebih murah, ada saksi kepemilikan kebun

Sementara itu, dalam usaha pertanian padi sawah, kelembagaan lokal yang berperanan adalah ”Kejruen Blang” yang diketuai oleh ”Peutua” Kejruen Blang.

(27)

Keberadaan kelembagaan ini terus berlanjut sejak aktivitas pencetakan sawah sampai dengan pengusahaan/pemanfatan sawah dan relatif hadir secara berkelan-jutan karena kehadiran seseorang yang melakukan kordinasi selalu diperlukan (mengatur waktu tanam, penyediaan air, pelaksanaan bajak lahan). Mengingat tugasnya yang cukup berat, maka Peutua Kejruen Blang mendapat imbalan berupa : insentif pengurusan sewa traktor sebesar Rp. 5.000,-/nale (= Rp. 20.000,-/hektar) dan padi hasil panen sebesar 5 bambu/nale (= 20 bambu/ha =16 kg/ha). Peutua Kejruen Blang (juga Peutua Seneubok) dipilih dari anggota petani yang berpenga-laman, dan proses pemilihan dilakukan melalui musyawarah para anggota.

Pada kegiatan usahatani padi sawah tugas seorang Kejruen Blang adalah sebagai berikut : a) mengajak masyarakat untuk turun ke sawah (menanam padi sawah), b) memgkoordinir petani untuk membersihkan parit, c) memerintahkan petani untuk membajak sawah, d) mempimpin kenduri di sawah. Jenis kenduri yang dilakukan oleh petani sawah adalah : Kenduri Buka Sawah, Kenduri Tanam Bibit (di pembibitan), Kenduri Tanam Padi, Kenduri Padi Bunting (keumaweeh), dan Kenduri Panen.

Kelembagaan lokal yang masih ada di empat komunitas petani kasus masih memberi kesempatan para petani miskin untuk mempunyai kebun. Akan tetapi, akses yang yang diberikan kepada para petani tunakisma miskin (tanpa lahan) lebih kecil dari pada yang diberikan kepada para petani pemilik sedang dan kaya. Manakala petani tunakisma miskin dilibatkan sebagai peserta dalam kegiatan pembukaan lahan baru, umumnya luas lahan yang diperuntukkan bagi mereka relatif sempit. Dalam hal ini, bila petani pemilik mendapat lahan minimal seluas satu hektar tetapi petani tunakisma miskin hanya memperoleh lahan seluas sete-ngah hektar. Hal ini terjadi karena di dalam komunitas petani berkembang keya-kinan bahwa kemampuan petani tunakisma miskin sangat terbatas akibat mereka harus mencurahkan sebagian waktunya untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Oleh sebab itu, kalau mereka diberikan kesempatan membangun kebun yang luas mereka tidak akan mampu membangun/memelihara kebun dengan baik sehingga kebun tersebut akan terlantar. Dengan membangun/ memlihara kebun yang tidak terlalu luas mereka masih mampu membagi waktu untuk mencari nafkah dan memelihara kebun.

(28)

7.4. Ihtisar : Bentuk Stratifikasi dengan Pemilikan Lahan yang Semakin Timpang, di Persimpangan Jalan Menuju Polarisasi

Beradasarkan realitas hubungan sosial dalam segi penguasaan sumberdaya agraria (penguasaan tetap dan penguasaan sementara), beragam lapisan yang me-nyusun struktur sosial komunitas petani kakao (struktur sosial masyarakat agraris) ada-lah sebagai berikut : 1) petani pemilik, 2) petani pemilik + penggarap, 3) petani pemilik + penggarap + buruh tani, 4) petani pemilik + buruh tani, 5) petani penggarap, 6) petani penggarap + buruh tani, dan 7) buruh tani. Realitas tersebut menunjukkan bahwa bentuk struktur sosial masyarakat agrariris yang ada cende-rung merupakan struktur masyarakat yang terstratifikasi atau melipatnya sub-kelas komunitas petani menjadi banyak lapisan. Pada saat ini, proporsi petani pemilik yang memiliki status tunggal hanya sebagai petani pemilik ternyata sudah sangat kecil (tidak dominan lagi). Status petani pemilik lainnya merupakan status kompleks (status kombinasi) yang dibangun oleh beragam status dalam hubungan sosial produksi agraria.

Meskipun realitas bentuk struktur sosial masyarakat agraris di empat komu-nitas petani kasus masih terstratifikasi atas banyak lapisan, tetapi juga terdapat be-berapa hubungan sosial produksi agraria yang cenderung memberi jalan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin ter-polarisasi. Akan tetapi, masih kuatnya hubungan sosial produksi yang berpijak pada ikatan tradisional melalui ikatan kekerabatan serta solidaritas di antara anggota se komunitas untuk turut menyediakan sumber penghasilan anggota lain (terutama kerabat), turut mendorong pilihan utama petani pada pola hubungan sosial produksi yang menjembatanai lahirnya bentuk struktur sosial masyarakat agraris yang terstratifikasi.

Beberapa pola hubungan sosial produksi sumberdaya agraria yang memberi jalan kepada diferensiasi sosial masyarakat agraris menuju bentuk stratifikasi adalah : pola bagi kebun (pada tahap pembangunan kebun), pola bagi hasil di kebun, serta pola pewarisan. Sementara itu, beberapa pola hubungan sosial pro-duksi sumberdaya agraria yang mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris menuju bentuk polarisasi adalah : pola bagi tanaman (pada tahap pembangunan kebun), pola bagi hasil sumberdaya agraria sawah, sistem sewa sumberdaya

(29)

agraria sawah dan kebun (terutama pada kebun kelapa), sistem gadai, dan transfer lahan melalui transaksi jual-beli dan/atau ganti-rugi, serta semakin luasnya peng-gunaan buruh upahan. Hal lain yang juga turut mendorong diferensiasi sosial masyarakat agraris menuju bentuk yang semakin terpolarisasi adalah : 1) semakin rendahnya akses petani miskin terhadap cadangan sumberdaya agraria baru (lahan hutan), 2) program pemerintah dalam pembangunan kebun baru seringkali mem-berikan akses yang lebih besar terhadap lapisan petani menengah dan lapisan petani kaya, dan 3) praktek kekuatan produksi teknologi intensif yang semakin mengakumulasikan hasil atau surplus pada pemilik sumberdaya agraria dan/atau pemilik modal finansial.

Lebih lanjut, meskipun realitas struktur sosial masyarakat agraris saat ini masih cenderung berbentuk stratifikasi, tetapi ketimpangan dalam pemilikan sum-berdaya agraria sudah semakin nampak. Realitas tersebut ditunjukkan oleh fakta berikut :

ƒ Petani pemilik yang memiliki status tunggal “hanya sebagai petani pemilik” umumnya sudah menjadi bagian kecil dari komunitas (tidak dominan lagi), kecuali di Desa Tondo. Di desa Tondo proporsi lapisan petani pemilik dengan status tunggal masih 57,5 %, sedangkan di desa Jono Oge hanya 36,4 %, di desa Ule Gunong hanya 34,1 %, dan di desa Cot Baroh/Tunong hanya 37,2 %.

ƒ Proporsi petani pemilik yang luas sumberdaya agrarianya relatif sempit (ku-rang dari dua hektar) umumnya cukup besar, bahkan di sebagian besar desa kasus masih merupakan bagian terbesar (dari komunitas petani). Realitas ini terjadi pada pemilikan sumberdaya agraria total maupun pada pemilikan sumberdaya agraria produktif. Bahkan pada pemilikan sumberdaya agraria produktif realitas tersebut nampak lebih menonjol.

ƒ Proporsi petani tunakisma yang tidak menguasai sumberdaya agaria (petani penggarap dan buruh tani) pada empat komunitas petani kasus sudah cukup besar, yaitu antara 6,8 % (Desa Ulee Gunong) sampai dengan 34,2 % (Desa Jono Oge).

(30)

ƒ Berdasarkan analisa gini ratio, ketimpangan pemilikan sumberdaya agraria sudah muncul di desa-desa kasus. Bahkan, realitas ketimpangan tersebut umumnya semakin besar bila analisa gini ratio dilakukan pada pemilikan sumberdaya agraria produktif. Kemudian bila ketimpangan pemilikan ter-sebut dibandingkan di antara komunitas petani kasus, ketimpangan tertinggi terjadi di komunitas petani di Desa Jono Oge - Sulawesi Selatan. Realitas tersebut muncul baik pada pemilikan sumberdaya agraria total maupun pem-ilikan sumberdaya produktif.

Pada awalnya, pada saat sumberdaya agraria masih melimpah, adanya prog-ram pemerintah dalam pengembangan tanaman kakao telah meningkatkan pe-nguasaan bahan/alat produksi serta keterampilan para petani, sehingga para petani peserta maupun non peserta dapat memperluas kebun miliknya. Akan tetapi, program pemerintah yang dilaksanakan akhir-akhir ini semakin tidak pro petani tunaskisma miskin. Bersamaan dengan itu, meskipun di semua komunitas petani kasus terdapat beragam kelembagaan lokal yang secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam proses pengusasaan sumberdaya agraria, tetapi kelembagaan tersebut tidak memiliki tatanan yang secara khusus pro petani tunakisma miskin. Walaupun demikian, program pemerintah yang sepenuhnya ditujukan untuk anggota komunitas petani dan proses pengambilan keputusannya banyak ditentukan komunitas petani tidak berimplikasi pada terkutubnya struktur sosial masyarakat agraris menjadi dua lapisan : petani pemilik yang kaya dan buruh tani yang miskin.

(31)

Tabel 7.13. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Komunitas Petani Kasus, 2007

Aspek Tondo Jono Oge Cot Baroh/ Tunong Ulee Gunong

Ragam Lapisan Pemilik,

Pemilik+penggarap, Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap, Penggarap+BT, BT Pemilik, Pemilik+penggarap, Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap, Penggarap+BT, BT Pemilik, Pemilik+penggarap, Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap, Penggarap+BT, BT Pemilik, Pemilik+penggarap, Pemilik+penggarap+BT, Pemilik+BT, Penggarap, BT Tunakisma Penggarap = 7,3 % Buruh Tani = 11,7 % Penggarap = 6,9 % Buruh Tani = 27,3 % Penggarap = 17,4 % Buruh Tani = 4,4 % Penggarap = 0,4 % Buruh Tani = 6,4 % Luas Milik Maksimum 16 ha 74 ha 8,8 ha 13,5 ha Rata-rata Luas Pemilikan Total = 1,288 ha Produktif = 1,069 ha Total = 2,168 ha Produktif = 1,813 ha Total = 1,697 ha Produktif = 0,774 ha Total = 1,373 ha Produktif = 0,770 ha Ketimpangan Pemilikan Lahan (Gini Ratio) Total : 0,44 (M) Produktif : 0,59 (T) Total : 0,69 (T) Produktif : 0,71 (T) Total : 0,57 (T) Produktif : 0,42 (M) Total : 0,32 (R) Produktif : 0,55 (T) Arah Perubahan Mekanisme yang mendorong

Stratifikasi Dominan

Mekanisme yang mendorong stratifikasi masih dominan, tetapi mekanisme polarisasi sudah menonjol

Mekanisme yang mendorong Stratifikasi Dominan

Mekanisme yang mendorong Stratifikasi Dominan

Gambar

Gambar 7.1.  Struktur Sosial Masyarakat Agraris di Empat Desa Kasus, 2007.
Tabel 7.1  Distribusi Rumahtangga Petani Berdasarkan Status Penguasaan  Sumberdaya Agraria, 2007
Tabel 7.2.  Distribusi Rumah Tangga Petani Berdasarkan Luas Pemilikan  Sumberdaya Agraria Total, 2007
Tabel 7.4.  Rata-rata Luas Pemilikan Sumberdaya Agraria Total dan  Sumberdaya Agraria Produktif, 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjelasan di atas peneliti merasa tertarik untuk meneliti adakah daya tarik iklan terhadap minat beli Mahasiswa Universitas Esa Unggul angkatan 2009, dengan alasan karena

1) Wawancara atau interview yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara Tanya jawab langsung pada pihak –.. pihak terkait yaitu Bu Tioria

Dalam undang-undang ini, diatur tentang pendaftaran Jaminan Fidusia guna memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dan pendaftaran Jaminan Fidusia

Sistem ini berfungsi sebagai bahan evaluasi dalam menentukan kebijakan berdasarkan kebutuhan masing-masing wilayah per kecamatan atau per kelurahan meliputi Informasi penyebaran

Hasil penelitian tersebut dapat menggambarkan proses pembentukan sedimen dasar pada perilaku sedimen dasar bergerak, yang dinyatakan dengan adanya perubahan

(7) Bentuk dan isi slip setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

Berdasarkan pengujian dengan menggunakan uji independent sample t diperoleh nilai p = 0,000 (nilai p&lt;0,05) dan menggunakan uji mann-whitney diperoleh nilai p = 0,000

Rata – rata jumlah leukosit pada masing- masing perlakuan berada pada kisaran abnormal, hal ini diduga karena nutrien yang tercerna pada ransum perlakuan diduga tidak