• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 8 November 2014, saya mendarat di bandara Sultan Iskandar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 8 November 2014, saya mendarat di bandara Sultan Iskandar"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada tanggal 8 November 2014, saya mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Seorang teman yang bernama Khairil sudah siaga menunggu kedatangan saya di sana. Saat keluar dari pintu arrival, saya disambut Khairil dengan suguhan senyum termanis yang dimilikinya. Dalam jarak yang terpaut sekitar tiga meter, terdengar kata dari mulut mungilnya “baroe dua thoen di Jawa, kalagee awak GAM hana meupat kantoe…”1 Khairil mengomentari penampilan saya, bahkan sebelum tangan kami saling berjabat pertanda pertemuan setelah lama berpisah.

Sekilas, candaan sang teman terlihat begitu sederhana, candaan yang diekspresikan untuk menjelaskan betapa dekatnya hubungan pertemanan kami. Namun asosiasi dan metafor yang disebutkan, lantas membuat saya berpikir bahwa ada sesuatu dengan komentar tersebut. Tidak lama berselang, Khairil melanjutkan:

“… sejak kapan sudah berubah (penampilan)? sudah mulai suka penampilan necis… sudah pakek sepatu sport, juga ditambah tas kecil berbahan kulit yang tersangkut di bahu. Penampilanmu sudah seperti awak nanggroe dan tauke… sudah bergaya saat ini…”

Kata awak nanggroe2 menjadi key word untuk memahami candaan Khairil. Kata tersebut begitu populer di Aceh dewasa ini. Ketika konflik masih

1

(baru dua tahun tinggal di Jawa, (penampilan) sudah berubah layaknya GAM yang tidak memiliki kantor).

2

Awak nanggroe memiliki arti denotatif “penduduk setempat”. Kata awak nanggroe juga memiliki makna yang sama dengan awak droe teuh (Orang kita).

(2)

2 bergejolak, istilah awak nanggroe muncul sebagai pembeda antara “masyarakat Aceh” dan “non-Aceh”. Kesadaran akan pentingnya identitas teritorial dan identitas etnis begitu terlihat dalam masyarakat kala itu. Pasca perdamaian, kata

awak nanggroe mengalami penyempitan makna dan memiliki arti lebih spesifik, yaitu hanya mengacu kepada sekelompok orang lokal yang dianggap (menganggap diri) pantas untuk mengatur, memimpin, dan menguasai Aceh, baik secara struktural maupun kultural. Secara sederhana, awak nanggroe adalah istilah yang disematkan kepada kelompok elit-elit baru yang muncul dari kalangan eks Gerakan Aceh Merdeka pasca Helsinki.

Saat ini, awak nanggroe hadir sebagai kelompok elit baru dan menjadi bagian dari kelompok-kelompok strategis di Aceh. Keberadaan sebagian mereka dalam kehidupan sosial diidentifikasi dengan penampilan necis ala eksekutif muda atau ditandai dengan gaya hidup yang terlihat dari perilaku konsumtif. Sebenarnya, melihat seseorang hanya dari segi “penampilan” saja, lalu mengklaim mereka adalah bagian dari “awak nanggroe” masih sangat berpeluang untuk diperdebatkan. Namun di mata masyarakat Aceh secara umum, sebagian eks pejuang GAM telah menjadi “orang kaya baru” yang hadir pasca Helsinki karena mereka memiliki akses yang mudah terhadap pusat-pusat kekuasaan dan pusat ekonomi. Sebagian besar dari mantan pejuang GAM membangun relasi dengan para mantan pejuang yang sudah masuk dalam struktur-struktur Negara dengan modal “kita berangkat dari satu rumah; organisasi GAM”. Dengan demikian, serpihan-serpihan manfaat ekonomi juga ikut mereka rasakan melalui pembagian proyek-proyek fisik di Aceh. Maka tidak heran, jika Khairil mengasosiasikan

(3)

3 penampilan saya yang menurutnya “necis” layaknya penampilan awak nanggroe. Artinya, euphoria mantan pejuang GAM masih begitu terlihat, sehingga segala sesuatu yang terlihat “aneh” kerap dikaitkan dengan keberadaan kelompok tersebut.

Fenomena kehadiran elit baru dari kalangan mantan GAM berawal dari penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) pada 15 Agustus 2005 di kota Vantaa, Helsinki. MoU Helsinki adalah perundingan damai antara pihak GAM dan RI untuk menyelesaikan konflik politik3 yang sudah terjadi selama 29 tahun di Aceh (1976-2005). Peristiwa tersebut menjadi momen bersejarah bagi masyarakat Aceh, sehingga pada setiap tanggal 15 Agustus, masyarakat Aceh mengadakan seremonial dalam beragam bentuk sebagai rasa syukur terhadap hadiah perdamaian dari Tuhan dengan harapan MoU Helsinki tidak bernasib sama dengan perjanjian-perjanjian sebelumnya yang selalu berakhir dengan kegagalan dan sad ending.

Dalam catatan sejarah, sejak pasca kemerdekaan Indonesia, terdapat dua pemberontakan besar yang dilakukan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat. Pertama, pemberontakan DI/TII yang diprakarsai oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tahun 19534 dan kedua, pemberontakan GAM yang dilakukan oleh Hasan Tiro pada tahun 1976.

3

Dalam tulisan ini, saya cenderung menggunakan istilah “konflik politik” untuk pergulatan yang terjadi antara GAM vs RI. Politik berhubungan erat dengan power (kekuasaan). Berbicara power sama halnya berbicara tentang kontestasi. Dalam hal ini, saya melihat ada beragam kontestasi yang diperlihatkan antara keduabelah pihak. Baik itu dalam hal perebutan sumber daya alam (SDA), pengakuan identitas, kontestasi dalam hal sosial, politik, maupun kebudayaan.

4

Lihat Djumala (2013: 24-30). Menurutnya, ada tiga alasan utama pemberontakan Daud Beureueh, yaitu: 1) kekecewaan terhadap Soekarno terkait dengan azaz Negara Indonesia. Daud Beureueh menuntut Pemerintah Pusat agar menjadikan Aceh sebagai propinsi yang otonom, yang

(4)

4 Menurut para pakar, konflik politik di Aceh dilatarbelakangi oleh ketidakadilan pemerintah pusat, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Padahal Aceh pernah disebut-sebut sebagai “daerah modal” bagi Indonesia.5 Dalam perjalanannya, Aceh hanya diperlakukan sebagai sapi perahan pemerintah pusat dengan mengeksploitasi sumber daya alam, sementara hasil hanya dinikmati oleh lingkaran pusat, di mana masyarakat Aceh menjadi masyarakat yang “kaya tapi miskin”. Akumulasi kekecewaan memaksa rakyat Aceh untuk bangkit melakukan perlawanan demi menunjukkan jati diri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan memiliki harga diri.6

Pat ujeun njang han pirang, pat prang njang han reuda (hujan dan perang pasti akan berhenti ketika waktunya tiba), begitu kata pepatah Aceh.7 Ungkapan tersebut merupakan bentuk optimis masyarakat Aceh bahwa tidak ada penderitaan yang tidak berakhir bilamana waktunya tiba. Tepatlah pada 15 Agustus 2005, pihak GAM dan RI berjabat tangan dalam simpul kesepakatan damai yang menghasilkan MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki. Perundingan

bisa menjalankan Syariat Islam, alih-alih permintaan itu dikabulkan, Aceh malah dileburkan dengan Provinsi Sumatera Utara pada 23 Januari 1951; 2) penerapan politik sentralisasi oleh pemerintah Pusat; dan 3) tidak terakomodasinya nilai Islam dalam pemerintahan di Aceh.

5

Sebutan “daerah modal” diberikan oleh pihak pemerintah Indonesia, karena ketika Indonesia hampir bangkrut pada masa-masa awal kemerdekaan, masyarakat Aceh menyumbang dana yang mencapai angka 500.000 dolar AS hanya dalam rentan waktu Oktober-Desember 1949 untuk melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia (Pane, 2001: 7).

6

Terkait dengan asal mula konflik politik di Aceh, sudah banyak peneliti dan sejarawan yang mengkaji, baik lokal, maupun internasional.Misalnya, Neta S. Pane (2001) Sejarah dan Kekuatan Aceh Merdeka; Solusi, Harapan, dan Impian. Jakarta: PT. Gramedia; Lihat juga Hasan Saleh (1992) Mengapa Aceh Bergolak?. Jakarta: PT. Temprint; Lihat juga Antje Missbach (2012) Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

7

Pepatah Aceh dalah khasanah kebudayaan lokal juga disebut dengan “hadih maja”. Hadih Maja adalah salah satu bentuk karya sastra yang dimiliki oleh masyarakat Aceh yang telah ada semenjak masa indatu (nenek moyang) yang penuh dengan nilai-nilai moral dan dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

(5)

5 yang dimediasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari menghasilkan enam poin utama, yaitu terkait dengan: 1) Penyelenggaraan pemerintahan di Aceh; 2) Hak Asasi Manusia; 3) Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat; 4) Pengaturan keamanan; 5) Pembentukan misi monitoring Aceh; dan 6) Penyelesaian perselisihan.8

Perundingan Helsinki menjadi titik balik transformasi konflik9 yang merubah konstelasi sosial, politik dan budaya di Aceh. Secara politik, kondisi ini menjadi political opportunity bagi pihak GAM untuk masuk dalam struktur politik sebagai sarana untuk mengartikulasi aspirasi dalam ruang demokrasi. Dalam hal partisipasi politik misalnya, Aceh memiliki izin untuk mendirikan partai politik lokal sebagai kendaraan politik para pejuang GAM dan masyarakat Aceh secara keseluruhan. Sebelum kendaraan politik terbentuk, untuk mengakomodir hak politik mantan kombatan GAM dan rakyat Aceh, maka pada pemilihan kepala daerah perdana pasca MoU Helsinki boleh menggunakan jalur perseorangan atau jalur independen.10

8

Selengkapnya lihat Nota Kesepahaman antara Pemerintahan Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.Yang menjadi rujukan dalam tulisan ini adalah terjemahan resmi yang telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM.Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

9

Transformasi konflik adalah usaha untuk mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik, sehingga mampu mengubah kekuatan negative dan peperangan menjadi kekuatan sosial-politik yang positif (Kartikasari, 2001 dalam Hasan, 2011).

10

Hal ini terkait dengan pasal 256 Undang-Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) yang mengatur pencalonan independen. Pasal tersebut mengamanatkan pencalonan kepala daerah lewat jalur perseorangan tanpa harus melalui kendaraan partai politik hanya berlaku untuk pemilihan pertama sejak UU PA diundangkan. Namun kemudian, isi pasal tersebut dianggap tidak relevan dan mematikan hak demokrasi masyarakat Aceh yang ingin mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah, sehingga tim yudicial review mendaftarkan uji materi terhadap pasal 256 UUPA ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Mei 2010. Calon perseorangan dianggap tetap dibolehkan karena sesuai dengan pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan. Pasal 256 UU PA juga dianggap bertentangan dengan UUD 1945, UU Nomor 12

(6)

6 Sebagai manifestasi butir-butir kesepakatan damai MoU Helsinki, pemerintah pusat melahirkan Undang-Undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA) yang menjadi dasar terlaksananya kesepakatan MoU Helsinki. Dalam undang-undang tersebut mengatur segala turunan butir-butir MoU Helsinki, termasuk tentang aspirasi politik dan pendirian Partai Politik lokal di Aceh.

Munculnya elit baru dari kalangan mantan kombatan dan pejuang GAM pasca MoU menjadi fenomena menarik yang selayaknya mendapatkan perhatian lebih sebagai sebuah fenomena sosial politik.11 Kondisi ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh lokal yang sebelumnya berafiliasi dengan GAM, baik secara langsung maupun tidak. Mereka muncul dari kalangan mantan pejuang GAM, para aktivis, maupun para pimpinan diasporan GAM yang sebelumnya berjuang dari luar Aceh. Jika sebelumnya mereka dianggap sebagai aktor-aktor yang menciptakan ketidakstabilan dan chaos, maka paca-MoU Helsinki, mereka dimaknai sebagai aktor perubahan yang mengisi posisi-posisi strategis. Evers dan Schiel (1990: 12) menyebutnya sebagai kelompok-kelompok strategis yang memiliki fungsi untuk perkembangan politik, situasi konflik, reformasi ataupun revolusi dalam masyarakat.

Elit baru yang hadir pasca MoU memiliki peranan strategis dan akses yang dominan ke pusat-pusat kekuasaan. Mereka tidak hanya bermain dalam kancah

Tahun 2008, dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentangg HAM. Akhirnya, MK berdasarkan sejumlah fakta hukum mengabulkan uji materi pasal 256 UU PA untuk seluruhnya.

11

Dalam pandangan Olle Torquist (Dalam Hasan, 2011) menyatakan bahwa Aceh telah menjadi laboratorium politik, sosial, budaya dan hukum semenjak zaman imperealis hingga saat ini, sehingga menarik banyak peneliti yang ingin mengkajinya.

(7)

7 politik, namun juga dalam hal ekonomi. Dalam hal ini, muncul beragam kekhawatiran dari berbagai kalangan di Aceh. Misalnya apa yang diungkapkan oleh pengamat politik, Fachry Ali, dalam seminar nasional “Studi Sosiologi Agama dan Persoalan Sosial Keagamaan di Aceh” yang digelar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry. Menurutnya, komunitas elit baru di Aceh yang merupakan produk MoU Helsinki bukan lahir dari landasan profesionalisme sejati, sehingga kalangan “super elite” baru di Aceh akan melahirkan kelas masyarakat konsumtif dimana perputaran uang yang tidak sehat begitu kentara di kalangan elit tersebut, hal ini dikarenakan sebagian pendapatan dikuasai oleh kelas masyarakat tersebut, Fachry Ali menyebutnya sebagai “kaum romantisme masa lalu” (Serambi Indonesia, 21-08-2014).

Kekhawatiran Fachry Ali menjadi kenyataan dengan melihat beragam gejolak dan resistensi yang muncul dari kalangan akar rumput. Kesejahteraan yang menjadi harapan masyarakat Aceh ketika sudah dibawah kuasa awak nanggroe masih dipertanyakan dan diperdebatkan oleh beberapa pihak. Beragam pemikiran di atas menjadi pijakan akan terlaksananya penelitian ini.

Dalam hal ini, saya perlu memberi batasan pengertian dan perumusan terkait dengan elit baru yang dimaksud. Batasan ini dianggap penting sehingga penulisan akan lebih terstruktur dan terarah. Elit baru Aceh yang dimaksud adalah sekelompok individu yang berafiliasi dengan GAM, baik secara langsung maupun tidak langsung12 yang sudah berhasil mencapai kedudukan dominan dalam

12

Dalam tulisan ini, GAM yang berafiliasi langsung adalah anggota GAM yang termasuk dalam struktur kepengurusan organisasi GAM di masa pra-perdamaian ataupun yang tergabung dalam struktur kepengurusan KPA (Komite Peralihan Aceh) ketika pasca perdamaian. Sementara

(8)

8 kehidupan masyarakat Aceh, baik karena memiliki kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Pembedaan antara elit lama dan elit baru dalam hal ini dilihat dari sudut pandang dinamika sosial politik Aceh. Elit lama dilihat sebagai sekelompok individu yang keberadaan mereka dalam struktur Negara dan kepemerintahan Aceh berafiliasi dengan Indonesia dan dianggap sebagai perpanjangan tangan pusat di daerah, walaupun individu-individu yang mengisi posisi tersebut secara genealogis berdarah Aceh dan berasal dari Aceh. Keberadaan para elit lama dianggap musuh dan objek resistensi oleh pihak GAM dan “rakyat” karena dianggap mereka adalah bagian dari Indonesia di masa sebelum penandatanganan Helsinki. Pasca damai, keberadaan elit lama mulai tergeser dan digantikan oleh keberadaan elit baru yang lahir dari rahim organisasi GAM.

Sebagai seorang putra Aceh, saya berpendapat bahwa mempelajari dan mempromosikan Aceh adalah sebuah keharusan dan menjadi tanggung jawab yang harus ditunaikan. Cara terbaik untuk merealisasikan hal tersebut adalah dengan berusaha mengetahui fenomena di Aceh secara mendalam melalui penelitian yang komprehensif, lalu kemudian menuliskannya. Fenomena tersebut adalah sebuah fenomena sosial politik yang seharusnya dicatat sebagai bagian dari sejarah perjalanan bangsa Aceh.

Saya mengakui bahwa salah satu kesulitan dalam meneliti “kebudayaan sendiri” adalah susahnya membedakan diri antara hadir sebagai seorang “peneliti” atau sebagai seorang yang “pulang kampung” setelah sekian lama merantau. Meskipun agak sulit dilakukan, namun saya berusaha supaya dapat menghadirkan

kelompok yang berafiliasi dengan GAM secara tidak langsung adalah kelompok simpatisan, atau kelompok yang bergabung dengan GAM pasca perdamaian.

(9)

9 diri untuk melihat Aceh sebagai sebuah daerah yang “asing”. Saya harus menjaga jarak untuk bisa menjelaskan fenomena sosial-politik di Aceh dengan hasil yang maksimal. Namun di sisi lain, salah satu keuntungan bagi saya dalam penelitian kualitatif ini adalah mampu memahami bahasa lokal subjek yang diteliti. Dan ini menjadi satu keuntungan tersendiri, sehingga saya memiliki akses yang lebih mudah dan mampu memahami bahasa-bahasa kultural (istilah) yang disampaikan oleh para informan.

B. RUMUSAN MASALAH

Kehadiran kelompok elit baru di Aceh bukanlah suatu hal yang terjadi secara otomatis, namun melalui berbagai proses yang melegitimasi terhadap sebuah eksistensi. Di antaranya adalah konflik politik yang berlangsung puluhan tahun hingga lahirnya penandatanganan MoU Helsinki. Dalam perspektif antropologis, dua hal tersebut dianggap sebagai culture specific yang dimiliki masyarakat Aceh. Kehadiran komunitas elit baru di Aceh harus dilihat secara holistik, yang tidak terlepas dari fenomena dan institusi-instistusi lain yang melingkupinya. Secara singkat, berdasarkan masalah di atas, terdapat tiga pertanyaan penelitian yang dapat dirumuskan, yaitu:

1. Bagaimana proses terbentuknya elit baru dari kalangan mantan pejuang GAM di Aceh?

2. Bagaimana kehadiran elit baru memberi pengaruh terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat Aceh?

(10)

10 3. Bagaimana resisten masyarakat Aceh terhadap elit baru yang sedang

berlangsung?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Sesuai dengan permasalahan dan topik yang ingin dikaji, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada kita tentang:

1. Proses-proses yang melatarbelakangi kehadiran elit baru yang saat ini memiliki peran lebih dan menjelma menjadi kekuatan baru dalam struktur sosial-politik masyarakat Aceh.

2. Implikasi terhadap kehidupan sosial-budaya sebagai akibat dari kehadiran elit baru.

3. Bentuk-bentuk resistensi masyarakat terhadap keberadaan elit yang sedang berlangsung.

Selain untuk tujuan di atas, penelitian ini tentu juga diharapkan memiliki implikasi teoritis dan praktis.

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian kecil dari bacaan ilmiah yang kemudian bisa menambah wawasan dalam khazanah keilmuan, khusunya terkait perubahan fenomena sosial-politik Aceh pasca Helsinki yang dilihat dari kaca mata antropologis. 2. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan manfaat praktis, di

mana hasil dari penelitian ini bisa menjadi “pijakan” bagi peneliti, pemikir atau ilmuan lainnya yang memiliki minat yang sama; mengkaji kehidupan sosial-politik secara antropologis. Di samping itu,

(11)

11 hasil penelitian ini diharapkan juga menjadi “cermin reflektif” bagi para elit baru Aceh dalam melihat perubahan-perubahan dan respon masyarakat ketika Aceh sudah dinakhodai oleh awak nanggroe.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian komprehensif yang mengkaji mengenai elit penguasa baru pasca MoU Helsinki 2005 di Aceh masih bisa dihitung jari. Meskipun ada, kajian tersebut lebih dititikberatkan pada sudut pandang ilmu politik, bukan dari kacamata antropologi. Sementara dalam konteks Indonesia secara umum, sudah banyak kajian-kajian tentang elit dilakukan, baik itu oleh sejarawan maupun antropolog.

Di antaranya adalah Heather Sutherland (1983) dalam bukunya

Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi yang menjelaskan bagaimana proses terbentuknya elit birokrasi di Jawa. Sutherland mengkaji mengenai Pangreh Praja, elit birokrasi pribumi yang dibentuk oleh Hindia Belanda. Sebenarnya, sistem pangreh praja ini adalah sistem tradisional, namun ketika Belanda ingin menguasai tanah Jawa, maka Belanda membiarkan sistem pemerintahan pangreh praja tetap ada dengan alasan agar lebih mudah mengontrol Negara jajahannya. Sistem pemerintahan indirect rule sangat tepat dijalankan Belanda karena cukup dengan “melenakan” para pangreh praja dengan simbol-simbol penguasa tradisional sehingga tercipta hubungan patrimonial dengan pemerintahan Belanda. Jadi, ada proses transformasi nilai dimana sebelumnya kelompok elit lebih bersifat

(12)

12 tradisional yang berorientasi keturunan (priyayi) berubah ke arah elit modern yang yang berorientasi ideologis menciptakan kesejahteraan.

Kajian lainnya terkait dengan kehadiran elit dan munculnya kelas menengah juga bisa dilihat dalam buku Politik Kelas Menengah Indonesia,

sebuah buku serial kumpulan tulisan dari hasil konferensi di Universitas Monash pada Juni 1968 yang “dikumpulkan” oleh Richard Tanter dan Kenneth Young (1996). Secara umum, para penulis dalam buku tersebut menjelaskan tentang kaum kelas menengah di Indonesia. Sebagaimana yang ditulis Tanter & Young (1996) yang melihat bangkitnya kelas menengah dengan menggunkan pisau analisis Weber. Bagi Weber, konsep kelas dimaksudkan untuk menjelaskan “kelas konsumsi” daripada “kelas produksi”, sementara pandangan liberal berusaha menjelaskan kaitan antara analisis struktur ekonomi politik dengan analisis fenomenologis, di mana orang membicarakan pengalaman mereka sendiri.

Dari sejumlah tulisan di buku tersebut, saya lebih fokus untuk melihat pokok pemikiran Daniel S. Lev.13 Baginya, kelas menengah dianggap sebagai sumber utama yang menyebabkan terjadinya perubahan ekonomi, sosial, cultural dan politik (Lev, 1996a). Tidak hanya itu, bagi Lev (1996b), kelas menengah di Indonesia terpecah secara politik dan ekonomi akibat dari orientasi yang berbeda terhadap Negara dan kekuasaan politik. Namun demikian, elemen yang paling berpengaruh menurut Lev dari golongan menengah adalah kaum professional, yang berperan sebagai “juru bicara paling artikulatif dari ide-ide, tujuan-tujuan, prinsip-prinsip, dan kepentingan-kepentingan baru; sebagai pihak

13

Ia menyumbangkan dua tulisan dalam buku tersebut, yaitu yang berjudul: 1) “Kelompok Tengah” dan Perubahan di Indonesia (1996a); dan 2) Sejumlah catatan Mengenai Kelas Menengah dan Perubahan di Indonesia (1996b).

(13)

13 pengimplementasi hal-hal tersebut atas nama wiraswatawan kapitalis; sebagai perwakilan gaya hidup dan selera baru; sebagai model yang cakap dan terpercaya dari keragaman baru status tinggi; serta sebagai pelaku reformasi” Lev (1996b: 48). Berdasarkan pada pemikiran-pemikiran tersebut, saya berusaha untuk melihat lebih lanjut bagaimana kebangkitan “kelas menengah” di Aceh pasca transformasi Helsinki.

Dalam konteks lokal Aceh, kita bisa mendapatkan kajian yang dilakukan oleh putra Aceh sendiri, Teuku Ibrahim Alfian yang diberi judul Wajah Aceh Dalam Lintasa Sejarah (1999). Ia mengkaji bagaimana peran para elit dalam merespon perkembangan Aceh akibat terjadinya kontak dengan kebudayaan Barat. Ia melihat perkembangan Aceh dari masa keberadaan Samudra Pasai hingga sampai sekarang (sampai tulisan itu ditulis).

Diskusi terkait fenomena sosial-politik Aceh pasca MoU bisa didapatkan dalam buku yang disunting oleh Ikrar Nusa Bhakti yang berjudul Beranda Perdamaian; Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Hesinki (2008). Buku yang ditulis secara “berjama‟ah” –ditulis oleh peneliti handal yang menggeluti tentang isu-isu Aceh- menjelaskan bagaimana sebuah jalan panjang menuju perdamaian Helsinki di Aceh dan kondisi Aceh pasca tiga tahun penandatanganan nota kesepahaman. Dalam buku tersebut, para penulis juga melihat Aceh dari sisi historis, kemudian memadukan semangat juang rakyat Aceh dan kisah perlawanan yang kemudian bertransformasi dalam sebuah ruang perdamaian pada 2005. Tidak hanya itu, mereka juga memetakan bagaimana tahapan reintegrasi mantan anggota GAM sehingga kembali bisa hidup dan bersosialisasi dalam masyarakat biasa. Dari

(14)

14 analisis para peneliti tersebut bisa juga didapatkan bagaimana prediksi-prediksi yang mungkin terjadi jika benih-benih konflik tidak kita perhatikan dengan seksama.

Kajian serupa juga bisa dilihat pada studi yang dilakukan Darmansyah Djumala (2013) yang berjudul Soft Power Untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi. Ia menitikberatkan kajiannya pada tiga fokus utama, yaitu: peran kebijakan desentralisasi dalam menyelesaikan konflik Aceh, peran Soft power dalam menyelesaikan konflik politik tersebut dan kesinambungan perdamaian Aceh pasca MoU Helsinki. Dari hasil kajiannya, Djumala berkesimpulan bahwa kegagalan penyelesaian konflik politik Aceh melalui pendekatan desentralisasi, khususnya pada era Soekarno dan Soeharto, disebabkan oleh kebijakan desentralisasi yang berupa pemberian otonomi khusus pada saat itu dilakukan secara sepihak dan unilateral oleh pemerintah Pusat. Di samping itu, pada kedua era pemerintahan tersebut, pendekatan hard power ala militeristik lebih banyak digunakan sebagai solusi menyelesaikan konflik. Keberhasilan perundingan damai pada masa SBY-JK -menurut Djumala- karena pemerintah kala itu mengedepankan cara-cara dialog dan memosisikan GAM sebagai “lawan sederajat”, sehingga kelompok GAM bisa terlibat secara totalitas dalam menentukan butir-butir MoU itu sendiri. Selain itu, pendekatan-pendekatan informal, kekeluargaan, dan kemanusiaan menjadi kunci kesuksesan MoU Helsinki di era SBY-JK.

Djumala juga menyinggung terkait kondisi perdamaian Aceh pasca MoU Helsinki. Menurutnya, MoU Helsinki bukanlah jaminan bagi kesinambungan

(15)

15 perdamaian di Aceh karena sumber-sumber konflik baru akan terus muncul, jika kedua belah pihak yang berdamai tidak menyikapi secara serius isi MoU Helsinki yang telah disepakati. Terlebih dalam beberapa hal, terjadi perbedaan interpretasi isi MoU antara GAM dan Pemerintah Indonesia, misalnya terkait isu self government.

Dalam studi yang lain, kita juga bisa melihat penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Zulkarnaen, dkk (2009) yang berjudul Transformasi perjuangan GAM pasca Mou Helsinki: dari perjuangan bersenjata ke perjuangan politik.

Studi tersebut menjelaskan bagaimana proses transformasi GAM pasca Mou Helsinki dari organisasi gerilya bersenjata menuju organisasi politik yang mengartikulasi kepentingan-kepentingan politik dalam ruang yang demokratis. Studi tersebut menunjukkan keberhasilan GAM dalam bertransformasi menjadi “pejuang politik” yang legal.

Bukti keberhasilan tersebut bisa dilihat dalam kajian yang dilakukan Otto Syamsuddin Ishak (2013) dalam bukunya yang berjudul Aceh Pasca Konflik: Kontestasi Tiga Varian Nasionalisme. Adanya kontesatasi “tiga varian

nasionalisme” -nasionalisme keindonesiaan yang diwakili oleh aktor yang berada dalam partai nasional berbasis keindonesiaan; nasionalisme Keislaman; dan nasionalisme keacehan yang berbasis awak lokal –pertjuangan GAM- menjadi bukti bahwa mantan pejuang GAM sudah memiliki power secara legal hukum untuk menjadi aktor-aktor penguasa di Aceh. Dalam hal ini, secara tidak langsung Otto juga telah menyinggung bagaimana “elit baru” dari kalangan awak nanggroe

(16)

16 Terkait dengan penguasaan sumber daya ekonomi, kajian Aspinall menarik untuk ditelisik. Studi yang dilakukan Edward Aspinall (2009) yang berjudul Combatant to Constractors: The Political Economy of Peace in Aceh

menjelaskan kepada kita bagaimana kegiatan ekonomi mantan kombatan GAM yang semakin mendapat nama tempat secara ekonomi dan politik. Transformasi Helsinki berimplikasi pada transformasi hidup para mantan pejuang GAM yang terlihat pada perubahan signifikan secara ekonomi. Di awal tulisannya, ia menyebut Darwis Jeunib –mantan Panglima GAM wilayah Bireuen- membangun rumah paska perdamaian Helsinki dengan menghabiskan biaya US$60.000. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp. 10.000 per $1 dolar, maka setara dengan Rp. 600.000.000. Nilai nominal yang sangat fantastis untuk ukuran rumah masyarakat Aceh secara umum.14

Lebih lanjut, Aspinall (2009: 235-238) mengatakan bahwa pencapaian ekonomi para mantan kombatan GAM pasca Helsinki diperoleh melalui: 1)

Return to prior economic activity; mereka kembali kepada aktifitas ekonomi murni, seperti berdagang; 2) Direct grands and economic assistance, mendapatkan bantuan langsung dari berbagai program yang merupakan bagian dari reintegrasi GAM kepada masyarakat sipil; 3) Targeted employment,

penglibatan para mantan GAM dalam berbagai upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, semisal BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi); 4) Pajak nanggroe and security fees, melalui pajak nanggroe atau uang keamanan yang didapatkan

14

Tulisan Aspinal tersebut pernah didiskusikan oleh Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad (2014: 235-238) yang menurutnya “curhat” mantan GAM kepada Aspinall sewaktu-waktu bisa menjadi bom waktu bagi generasi selanjutnya. Ada semacam kekhawatiran bagi Bustamam-Ahmad terhadap perilaku para mantan GAM saat ini yang bisa mencidrai kesucian perjuangan GAM di mata generasi selanjutnya, jika GAM tidak segera introspeksi diri.

(17)

17 dari pengerjaan proyek-proyek fisik di wilayah; 5) private business activities, melakukan bisnis wiraswasta; dan 6) clientelistic distribution within GAM network, membangun hubungan dengan beberapa tokoh GAM yang sudah masuk ke wilayah pemerintahan. Signifikansi ekonomi mantan pejuang GAM tentu saja menjadi indikator penting akan kebangkitan “kelas menengah” baru di Aceh.

Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang telah saya sebutkan di atas adalah penelitian ini membahas fase akhir dari perkembangan sebuah transformasi sosial-politik dan sosial-budaya pasca Helsinki di Aceh, di mana penelitian akan menjelaskan mulai dari proses terbentuknya elit baru dari kalangan mantan GAM, implikasi kehadiran elit baru terhadap perubahan sosial-budaya, dan yang paling terakhir adalah menjelaskan perilaku resisten masyarakat Aceh terhadap elit yang sedang berlangsung saat ini. Di samping itu, penelitian ini dikaji dengan menggunakan sudut pandang ilmu antropologis, yang lebih mengutamakan persepsi si pemilik kebudayaan –dalam hal ini, masyarakat- (emik) untuk menjelaskan apa yang mereka ketahui dan rasakan.

E. KERANGKA TEORI

Tulisan ini berusaha mengkaji bagaimana proses terbentuknya elit lokal baru yang berbasis pada kelompok GAM pasca MoU Helsinki, serta bagaimana kehadiran elit baru dapat memberi pengaruh terhadap sosial-budaya masyarakat Aceh. Lebih lanjut, tulisan ini juga melihat bagaimana resisten masyarakat Aceh terhadap kelompok elit yang sedang berlangsung. Untuk itu, kerangka teoritis

(18)

18 yang membahas perihal konsep dan teori diperlukan dalam membedah ketiga hal tersebut.

1. Proses Terbentuknya Elit Baru

MoU Helsinki menjadi gerbang transformasi perubahan konstelasi sosial-politik di Aceh. Transformasi sendiri memiliki makna mengandaikan suatu perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dalam kajian sosial-budaya, transformasi bisa didefinisikan sebagai proses perubahan struktur, sistem sosial dan budaya (Kayam, 1993: 178).

Terbentuknya elit baru dari kalangan mantan pejuang GAM merupakan salah satu wujud transformasi dalam hal sosial-politik. Mereka hadir menjadi bagian dari kelompok-kelompok strategis15 dan elit16 penentu di Aceh, baik dalam ranah politik, ekonomi, maupun sosial. Sejatinya, setiap masyarakat terbagi dalam dua katagori yang luas, yaitu: 1) sekelompok minoritas manusia yang memiliki kemampuan sehingga menduduki posisi sebagai pemerintah; dan 2) kelompok massa mayoritas yang menjadi objek yang diperintah (Varma, 2010: 197). Andrain (1992: 154-153) mengutip pendapat ilmuan politik Italia Gaetano Mosca (1858-1941) menjelaskan bahwa distribusi kekuasaan politik dalam masyarakat sebagai berikut:

15Terkait dengan “kelompok-kelompok strategis”, Evers dan Schiel (1990: 12) menyebutnya

sebagai kelompok yang memiliki fungsi strategis dan arti penting untuk perkembangan politik, situasi konflik, reformasi ataupun revolusi dalam masyarakat.

16

Istilah elite berasal dari bahasa latin eligere yang berarti “memilih”. Dalam ungkapan yang biasa bisa didefinisikan sebagai “sesuatu yang menjadi pilihan” atau “bagian yang menjadi pilihan”. Pada abad ke-18, penggunaan kata tersebut semakin meluas, khususnya dalam bahasa Prancis sehingga menghadirkan penjelasan baru yang meliputi ruang lingkup ilmu-ilmu sosial. Dalam konteks ilmu sosial, kata elite lantas memiliki makna yang umum terkait dengan sekelompok orang yang memegang peranan penting dalam kelompok masyarakat (Keller, 1995: 3).

(19)

19 Di semua masyarakat… muncul dua kelas rakyat –kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai. Kelas pertama, selalu lebih sedikit jumlahnya, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan menikmati sejumlah keuntungan yang dibawa oleh kekuasaan, sementara yang kedua, jumlahnya lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh yang pertama, melalui suatu cara yang kadang-kadang sedikit banyak bersifat sah, kadang-kadang sewenang-wenang dan keras.

Akan tetapi, keberadaan kaum elit tidak selamanya bersifat mutlak, artinya dalam prosesnya selalu mengalami perubahan-perubahan, atau dalam bahasa Pareto disebut dengan sirkulasi elit. Dalam hal ini, kita bisa melihat ada sebuah proses sirkulasi elit yang terjadi di Aceh pasca Helsinki.

Varma juga menyebutkan bahwa konsep dasar teori elit dalam kelompok penguasa (the ruling class), selain terdapat elit penguasa (the ruling elite) juga terdapat elit tandingan yang meraih kekuasaan melalui memanfaatkan kekuatan massa ketika pemimpin yang sah kehilangan kemampuan untuk memerintah. Inilah yang disebut Pareto sebagai proses pergantian elit (the circulation elite), di mana pergantian bisa terjadi diantara kelompok-kelompok elit itu sendiri; dan kedua pergantian dengan individu-individu lainnya, baik itu individu-individu dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok elit yang sudah ada, maupun individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan berusaha bersaing dengan kelompok elit yang sudah ada dalam memperebutkan kekuasaan (Varma, 2010: 197- 201).

Dalam konteks Aceh, para aktor yang menjadi elit sebelum lahirnya MoU Helsinki adalah individu yang dianggap berafiliasi dengan pemerintahan Republik Indonesia yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan elit pada masa orde baru secara geneologis. Keberadaan mereka dianggap sebagai perpanjangan tangan

(20)

20 negara yang lebih mengakomodir kepentingan pemerintah pusat ketimbang merealisasikan kepentingan rakyat di daerah. Lantas, ketika MoU Helsinki hadir, maka ikut mempengaruhi perubahan struktur politik, di mana para elit GAM melihat sebuah peluang politik untuk “menggeser” elit-elit sebelumnya.17

Artinya, kelompok elit baru tersebut adalah kelompok yang berasal dari lapisan masyarakat yang berbeda dengan kelompok elit sebelumnya. Malah sebelumnya, para elit baru ini dari kalangan GAM dianggap sebagai aktor-aktor yang menciptakan ketidakstabilan dan chaos.

Lebih lanjut, Pareto menyatakan bahwa konsep elit dalam masyarakat terbagi dalam elit yang memerintah (the governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite) (Varma, 2010: 200). Dalam kesimpulan yang umum, keberadaan elit dalam struktur sosial masyarakat bisa kita lihat dalam dua jenis, yaitu elit formal dan elit informal. Elit formal adalah elit yang memerintah dalam struktur sosial masyarakat, sementara elit informal adalah individu yang berpengaruh dan memiliki ruang gerak yang luas dan mampu mendominasi dalam sebuah masyarakat tertentu, misalnya karena memiliki modal sosial, modal ekonomi, maupun modal cultural yang lebih. Dalam makna empiris, kelompok elit ini adalah mereka golongan minoritas yang mendominasi kekuasaan, kemakmuran atau keistimewaan (Heywood, 2014: 173-175).

Dominasi dan peran GAM semakin meluas di Aceh. Mereka tidak hanya bermain dalam kancah politik yang bisa dilihat dengan banyaknya pejabat politik

17

Sidel (1999) dalam sebuah penelitiannya di Filipina menceritakan bahwa Filipina sebagai Negara demokrasi yang dikenal dengan gerakan people power dewasa ini diwarnai dengan menjamurnya elit informal yang kemudian bertransformasi dan berambisi menjadi elit politik. Sehingga ia berkesimpulan bahwa kasus hadirnya elit politik informal dalam politik lokal memang tengah mewabah di Negara demokrasi baru setelah runtuhnya rezim otokratik.

(21)

21 yang berasal dari kelompok GAM, semisal jabatan bupati, walikota, dan gubernur, tetapi juga dalam hal ekonomi.18 Secara ekonomi, elit GAM berkiprah dalam hal penguasaan terhadap akses19 sumber daya alam, misalnya keterlibatan mereka dalam proyek-proyek pembangunan fisik, pengendalian dan pengaturan langsung sumber-sumber daya (kekayaan daerah), kendali atas konsesi lahan, dan kontrol terhadap hukum.

2. Perubahan Kelas dan Gaya Hidup

Ketika ruang-ruang politik terbuka lebar pasca Helsinki, maka implikasi lanjutan akan terlihat pada perubahan sosial-budaya dalam masyarakat. Salah satunya perubahan stratifikasi dalam masyarakat dengan munculnya kelas menengah baru di Aceh. Dalam pandangan Weber, konsep “kelas” lebih untuk menjelaskan “praktek konsumsi” –baik dalam bentuk konsumsi tradisional, maupun komodifikasi- daripada “praktek produksi” (Tanter & Young, 1996: 4). Untuk mengidentifikasi kelas, selain pada aspek sosial-budaya, juga bisa dilihat terkait dengan aspek struktur ekonomi dan politik karena kelas sosial adalah konsep yang dinamis dan relasional, sebagaimana yang dikatakan Braverman bahwa kelas adalah relasi sosial yang terletak dalam perubahan historis (Johnson, 1982: 30-33).

Dalam pandangan politik, kehadiran kelas menengah baru di Aceh bisa dilihat dengan peranan mantan pejuang GAM dalam struktur-struktur masyarakat

18

Lihat Edward Aspinall (2009) Combatant to Constractors: The Political Economy of Peace in Aceh, Indonesia (87). Academic Research Library.

19

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan “akses” adalah kuasa yang dimiliki pihak tertentu untuk memperoleh, mengontrol, dan menjaga benefit dari sumber daya. Kuasa yang di dalamnya “…constitute the material, cultural and political-economic strands within the “bundles” and “webs” of powers that configure resource access” (Ribot & Peluso, 2003 dalam Kumoro, 2015).

(22)

22 dan jabatan politik. Sementara dari sudut pandang antropologi dan ekonomi, munculnya kelas menengah ini ditandai dengan praktek-praktek konsumsi yang dilakukan, di mana konsumsi tidak hanya berbicara tentang proses produksi dan distribusi, tetapi juga sebagai sebuah sistem sosial. Artinya, banyak terjadi pertukaran di antara individu-individu, baik melalui proses memberi, maupun menerima sehingga benda-benda material berperan sebagai identitas sosial dan pemberi makna sosial (Douglas & Isherwood, 1978 dalam Rohana (2003). Menurut Mike Featherstone, kondisi ini mencerminkan bagaimana pergeseran dalam masyarakat modern terjadi yang ditandai dengan dominannya nilai simbolis suatu barang, lahirnya proses estetisasi kehidupan, dan melemahnya sistem referensi tradisional (dalam Abdullah, 2010: 108).

Indikator menarik yang bisa diperhatikan untuk menganalisis perubahan gaya hidup dalam istilah budaya konsumen kontemporer adalah masyarakat yang semakin individualistis, serta ekspresi diri dan kesadaran diri yang stilistik. Pemilihan busana, jenis hiburan, menghabiskan waktu luang, pilihan makanan dan minuman, rumah, kendaraan menjadi indikator dari individualitas selera dan serta gaya dari konsumer (Featherstone, 2008: 197). Dalam bahasa Douglas dan Isherwood (1996, dalam Rohana, 2003) disebut dengan display (penampilan).

Display ini adalah upaya untuk pemenuhan estetisasi hidup, karena sentuhan estetik telah mengaburkan batasan antara seni dan kebudayaan, Kebudayaan dan komersialisasi melahirkan “an „aesthetic‟ hallucination of reality” (Featherstone, 1995). Firat (1995, dalam Rohana, 2003: 19) merangkumnya dalam bahasa yang singkat “…in short, you are what you consume”.

(23)

23 Pasca MoU Helsinki di Aceh, muncul aktor GAM yang mengisi jabatan-jabatan politis yang bisa menjadi indikator munculnya kelas menengah baru. Secara ekonomi, aktor GAM juga banyak yang bertransformasi menjadi kontraktor yang tentu saja mereka memiliki akses yang lebih terhadap pusat-pusat material dan menjadikan mereka sebagai kaum kelas menengah baru dalam struktur masyarakat. Dengan memanfaatkan “baju perjuangan”, pihak GAM lantas berubah menjadi manusia kelas satu di Aceh. Pada titik ini, masyarakat akar rumput, juga sebagian mantan kombatan GAM yang teralienasi dari “kue perdamaian” merasa ketidakadilan dan pengkhianatan dari GAM. Pasalnya, institusi-institusi lain di luar organisasi GAM sangat berperan serta dalam membantu para mantan geriliawan GAM ketika masih berperang dengan Pemerintah Indonesia, khususnya institusi masyarakat di daerah. Bantuan masyarakat terutama dalam hal pemenuhan logistic, mengantar makanan ke hutan, juga memberi informasi jika ada militer Indonesia yang hendak menyusuri keberadaan GAM di hutan.

Secara sederhana bisa dikatakan bahwa, ketika Aceh masih bergolak, masyarakat Aceh, khususnya rakyat di daerah bersatu padu “berjuang” bersama GAM, sementara saat ini, ketika perdamaian telah tercipta, GAM dianggap melupakan bantuan rakyat di masa konflik. Di saat GAM sudah berjalan seiring dan masuk dalam struktur “Negara”, rakyat Aceh secara umum masih merasakan kesulitan dan ketidaksejahteraan layaknya ketika Aceh masih berada di bawah pemerintahan elit lama. Pada titik inilah muncul gesekan-gesekan dan resistensi yang dijewantahkan dalam berbagai bentuk.

(24)

24 3. Resistensi dan Pembangkangan

Michel Foucault telah mengingatkan bahwa dimana ada kekuasaan, di situ terdapat dominasi. Oleh karena itu, pola perilaku resistensi terhadap pihak yang berkuasa bisa didapatkan di mana saja dan dalam bentuk apa saja. Dalam masyarakat Aceh, ekses dari kehadiran elit baru menciptakan kelas dan perubahan gaya hidup yang akhirnya banyak muncul gesekan-gesekan, baik antara sesama kaum elitis, maupun antara kalangan akar rumput dengan kaum elitis. Pergesekan dan ketimpangan tersebut melahirkan beragam bentuk resistensi di masyarakat.

Dalam menjelaskan fenomena resisten, saya merujuk pada konsep “resistensi” James Scott (2000). Menurutnya, resisten merupakan sebuah tidakan perlawanan (resistance) yang memuat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kaum-kaum yang kalah, yang bertujuan untuk mengurangi atau menolak klaim dan tindakan yang dibuat oleh kelas atas. Pola resistensi bisa diwujudkan dengan perilaku menyerobot pekerjaan, makanan, sewa dan upah, perilaku pura-pura baik, bergosip, menyindir, menjatuhkan nama baik, mencuri, dan juga mengkritik melalui karya sastra (Scott, 2000). 20

Pun demikian yang terjadi dalam masyarakat Aceh yang melangsungkan resistensi terhadap elit yang sedang berlangsung saat ini. Bentuk resistensi dijewantahkan dalam beberapa varian, yaitu: menjatuhkan nama baik atau menggosip, serta menyindir. Semua itu saya sebut sebagai resistensi berbentuk insinuasi. Biasanya, resistensi semacam itu mudah kita temukan di warung kopi

20

Scott sendiri mengakui bahwa defenisi konsep yang ditawarkannya masih bisa diperdebatkan, namun yang terpenting baginya adalah perlawanan berfokus pada basis material hubungan antar kelas dan pertarungan antar kelas; baik aksi tersebut berlaku secara personal maupun kolektif; juga perlawanan ideologis yag menantang situasi dominan dan menuntut kondisi keadilan dan kewajaran (Scott, 2000).

(25)

25 karena ia menjadi ruang publik yang utama bagi laki-laki Aceh. Dan secara kultural, “pembahasan politik” adalah pembahasan laki-laki. Jadi, riuh dunia politik atau isu-isu hangat yang sedang terjadi sangat mudah ditemukan dalam pembicaraan para penikmat kopi. Terlebih di kota Banda Aceh, yang secara demografi adalah wilayah urban, di mana hal-hal yang berbau “tradisional” sudah jarang terlihat, misalnya petani yang pergi ke sawah, permainan rakyat layang-layang, sehingga ketika pulang kerja atau setiap ada waktu luang, maka warung kopi selalu menjadi pilihan utama.

Para penggosip kerap menghindari membicarakan sesuatu yang berbau GAM secara terang-terangan. Keamanan dan keselamatan selalu menjadi alasan utama dalam hal ini. Selain itu, sikap resistensi juga dilakukan secara terang-terangan, misalnya dengan menyindir melalui desain yang terdapat di baju kaos atau saat ini yang lebih mudah terlacak adalah dengan munculnya berbagai „meme” di berbagai media sosial yang menyindir, mengejek, menggosip, maupun sejenisnya terhadap keberadaan elit yang sedang berlangsung. Selain dengan cara yang sudah disebutkan, saya juga menemukan bahwa sikap resistensi dilakukan secara terang-terangan yang dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata; Abu Minimi. Kelompok tersebut secara tegas mengatakan dan mengancam ingin melawan pemerintahan Aceh.

Dalam melihat pola resistensi terhadap elit yang sedang berlangsung, konsep resistensi Scott saya padukan dengan konsep yang ditawarkan Tedd Robert Gurr. Sebagaimana dijelaskan Manan (2005: 24-25), Gurr menyebutkan konsep resistensi melalui teorinya yang disebut Teori Relative Deprivation.

(26)

26 Konsep dasar Gurr adalah deprivation (perampasan). Akibat dari perampasan ini akan melahirkan sikap resistensi. Menurutnya, resistensi lahir jika seseorang merasa sesuatu yang sepantasnya menjadi haknya, atau harga dirinya dirampas. Dalam arti yang lain, konsep relative deprivation adalah adanya “kesenjangan antara nilai yang diharapkan (value expectation) dengan kapabilitas untuk meraih nilai (value capabilities)”.

Definisa “nilai” menurut Gurr adalah “suatu kejadian, barang dan kondisi yang diinginkan oleh manusia untuk dimiliki”. Nilai ekspektasi adalah “benda dan kondisi hidup yang orang-orang percaya bahwa mereka sebagai pemiliknya yang sah”. Dan nilai kapabilitas adalah “benda dan kondisi yang menurut mereka mampu untuk memperoleh atau memeliharanya, disepakati harta sosial tersedia untuk mereka”. Lebih lanjut, Gurr membagi tiga jenis nilai, yaitu: 1) nilai kesejahteraan (welfare values), dimana nilai ini berupa benda fisik yang yang dibutuhkan untuk realisasi diri, ia berkaitan dengan sesuatu yang bernilai ekonomis dan keleluaaan untuk aktualisasi diri; 2) nilai kekuasaan (power values), nilai ini berkaitan dengan kemampuan mempengaruhi orang lain atau menangkal campur tangan orang lain yang tidak diinginkan; 3) nilai interpersonal (interpersonal values), yaitu kepuasan psikologis yang diperoleh dari interaksi tidak resmi dengan kelompok lain yang ditandai oleh status, komunalitas dan koherensi ide” (Manan, 2005).

Jika menyandingkan teori Gurr dengan konteks Aceh, saya melihat bahwa “perampasan” yang terjadi adalah di wilayah “nilai kesejahteraan” dan “nilai interpersonal”. Kesejahteraan yang kerap dijanjikan oleh elit saat ini tak kunjung

(27)

27 dirasakan oleh masyarakat kelas bawah. Sementara pada tataran “nilai interpersonal”, ada semacam ketidakpuasan publik terhadap perubahan secara signifikan dalam kehidupan kelompok mantan GAM, baik secara ekonomi maupun politik.

Ketidakpuasan (discontent) dalam masyarakat kemudian dimanifestasikan dalam bentuk kemarahan, kejengkelan, ataupun aksi-aksi kekerasan. Semuanya tergantung pada kedalaman rasa perampasan tersebut. Kadar ketidakpuasan akan berkurang dan meredam bila tersedia sarana untuk menyalurkannya, yang disebut “value opportunities”. Apabila saluran value opportunities tidak pernah ada, maka tidak menutup kemungkinan, ketidakpuasan tersebut bermetamorfosis menjadi pemberontakan yang menggunakan jalur kekerasan, kekacauan, konspirasi, ataupun perang. Jika reaksi ketidakpuasan semakin meningkat, maka akan melahirkan pemberontakan yang lebih terarah dan sistematis, dan sasarannya lebih terarah ketika sekelompok orang semakin sadar tentang siapa dan apa yang menyebabkan rasa tidak puas itu muncul (Manan, 2005), dan itulah yang sedang dipraktekkan oleh kelompok Din Minimi.

F. METODE PENELITIAN 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kota Banda Aceh. Secara administratif, kota Banda Aceh adalah wilayah kota yang memiliki hukum administrasi tersendiri, namun kota Banda Aceh juga merupakan ibukota Provinsi Aceh yang tentu saja menjadi pusat administrasi dan birokrasi provinsi Aceh. Sehingga kota

(28)

28 ini secara tidak langsung menjadi tempat berkumpulnya elit baru Aceh dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kota Banda Aceh juga merupakan pusat politik dan juga kota budaya. Sehingga tidak salah, jika sebagian kita menganggap bahwa kota Banda Aceh adalah miniatur Provinsi Aceh secara keseluruhan.

Sebenarnya, saya tidak ingin memberikan batasan geografis yang kaku dalam penelitian ini. Ketika berada di lapangan, saya mengunjungi banyak tempat di Aceh, sehingga segala informasi dan observasi empiris yang menurut saya relevan dengan penelitian ini, maka akan diolah menjadi data. Di samping itu, saya juga memfokuskan diri di salah satu desa di wilayah Kabupaten Aceh Besar, yaitu Desa Ceut Keu-eng –penduduk setempat sering menyebutnya dengan singkatan Ceko-, sebagai kekuatan data pendukung dalam penelitian ini. Secara geografis, Desa Ceko berjarak 13 km dari pusat kota Banda Aceh. Pemilihan desa tersebut, selain bertujuan agar kekuatan etnografis muncul dalam penelitian ini nantinya, juga karena desa tersebut merupakan salah satu desa yang menjadi basis kekuatan GAM pada saat konflik politik di Aceh terjadi. Dengan demikian akan sangat membantu peneliti dalam menelusuri dan mengamati fakta-fakta empiris yang kemudian diolah menjadi data yang diperlukan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini difokuskan pada perubahan sosial-politik yang terjadi pasca MoU Helsinki 2005, khususnya perubahan-perubahan yang terkait dengan kehadiran elit baru. Titik fokus penelitian ini bukanlah pada penelitian komparasi yang melihat bagaimana situasi sosial politik pra-perdamaian dan pasca-perdamaian, akan tetapi lebih kepada bagaimana proses terbentuknya elit baru,

(29)

29 implikasi dari hadirnya elit baru, serta perilaku resisten masyarakat Aceh terhadap elit lokal baru.

Sebagai sebuah penelitian dalam ilmu humaniora, penelitian ini bersifat kualitatif. Karena itu, teknik pengumpulan data yang dianggap relevan adalah melalui observasi partisipatif atau keterlibatan langsung (participant observation) dan wawancara secara mendalam (in-depth interview). Selain itu, saya juga melakukan studi kepustakaan (library research) melaui kajian literatur-literatur yang dianggap relevan dengan topik penelitian. Kemudian pendekatan life history approach dan wawancara terbuka juga dilaksanakan untuk mendapatkan data yang berkualitas dalam studi ini.

Pengamatan langsung yang melibatkan peneliti hadir bersama subjek penelitian dianggap perlu untuk mencermati fenomena empiris yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, saya bisa memperhatikan dan merasakan langsung fenomena-fenomena yang terjadi terkait dengan munculnya elit baru, serta implikasi dan berbagai bentuk resisten masyarakat terkait dengan kehadiran elit baru di Aceh.

Sementara wawancara mendalam adalah sebuah metode yang dimaksudkan untuk mengungkap hal-hal yang tidak terlihat dalam pengamatan sehingga dalam penelitian ini, saya bisa memperoleh pemahaman (verstehen), yang nantinya dianalisis dan menghasilkan sebuah meaning. Pada segmen wawancara mendalam, saya menggunakan daftar pertanyaan pokok, sementara pertanyaan turunan nantinya akan dikembangkan sesuai dengan jawaban yang diberikan oleh informan. Dalam bahasa yang lain, wawancara yang dilakukan

(30)

30 adalah wawancara semi struktur, di mana saya hanya mendengar, lalu mencatat apa yang disampaikan oleh informan. Saya hanya merumuskan pokok-pokok masalah yang ingin ditanyakan, kemudian juga mengajukan beberapa pertanyaan turunan yang fungsinya untuk memperdalam data dan juga bahan verifikasi data. Selanjutnya, saya juga mengkonfirmasi ikhtisar wawancara kepada informan untuk verifikasi data yang telah disampaikan sebelumnya. Saya berusaha “mengejar nalar” para informan melalui pertanyaan-pertanyaan turunan yang didasarkan atas jawaban-jawaban informan sebelumnya.

Para informan yang akan diwawancarai terdiri atas lima segmen. Pertama, mantan kombatan GAM lapangan21 yang sekarang menjadi bagian dari elit baru di Aceh. Informan kedua adalah simpatisan GAM, di mana mereka adalah orang yang tidak berafiliasi secara struktur dengan tubuh GAM, namun ia mendukung segala keputusan dan wacana yang disampaikan oleh pihak GAM. Informan ketiga adalah pegiat LSM atau aktivis yang bergelut di ranah isu-isu kemanusian di Aceh. Selanjutnya, informan dari kalangan akademisi Aceh. Disini, saya berharap bisa mengetahui bagaimana pandangan akademisi terhadap berbagai perubahan sosial-politik di Aceh pasca Helsinki. Secara keilmuan, akademisi adalah insan yang lihai dalam membaca fenomena-fenomena sosial yang terjadi dan bijaksana dalam melihat tanda-tanda dan perubahan zaman. Kelompok

21

Anggota GAM Lapangan adalah anggota GAM yang ikut mengangkat senjata ketika konflik terjadi. Penyebutan “GAM Lapangan” untuk membedakan dengan pihak GAM yang ketika masa konflik menjadi para diaspora di luar negeri dan berjuang melalui jalur politik jarak jauh. Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat Adwani (2014), ia menegaskan bahwa yang disebut dengan “kombatan” adalah “sekelompok petempur atau angkatan bersenjata yang ikut (terlibat) secara langsung dalam pertempuran atau permusuhan.

(31)

31 informan yang terakhir adalah dari kalangan masyarakat. Dalam menetapkan informan, saya menggunakan sistem purposive sampling dan snowball sampling.

Saya juga berusaha mendapatkan data melalui studi kepustakaan. Hal ini dianggap penting untuk memperoleh data sekunder dengan mengkaji bermacam sumber tertulis, misalnya laporan penelitian, artikel, jurnal ilmiah, surat kabar, dan buku-buku yang berkaitan dengan topik penelitian. Pendekatan life history approach juga menjadi salah satu pendekatan yang digunakan dalam penelitian. Ini bertujuan untuk menelurusi track record para elit sehingga kita bisa melihat langkah-langkah yang dilalui oleh para elit hingga mencapai puncak kekuasaan dan menjadi elit di Aceh.

Selanjutnya fakta-fakta lapangan yang relevan dengan tema penelitian akan difilter yang kemudian menjadi data yang akan dianalisis dengan teknik analisis interpretatif sehingga tiba pada sebuah kesimpulan akhir penelitian. Namun penelitian ini tidaklah bermaksud untuk menciptakan sebuah kesimpulan umum (law generalization) karena studi antropologi atau studi etnografi adalah proses menulis sebuah kajian refleksi.

Dalam hal ini, ketika menjumpai para informan, saya berusaha menjelaskan dengan rinci maksud dan tujuan dari penelitian ini. Tidak sedikit dari para informan, khususnya dari kalangan grass root yang berusaha menghindari percakapan yang berhubungan dengan kelompok politik yang saat ini berkuasa di Aceh. Namun, kondisi ini saya siasati dengan lebih sering mengajak tokoh pemuda setempat untuk mendampingi saya ketika dua minggu pertama saya di

(32)

32 desa. Setelah saya terbiasa dan sudah dikenal di Desa Ceko, warga masyarakat dapat lebih terbuka untuk bercerita dan memberi informasi.

Tantangan lainnya adalah ketika saya ingin menjumpai kaum elit politik di Aceh saat ini. Golongan elitis dengan tingkat mobilitas yang tinggi membuat mereka terlalu sulit untuk dijumpai, sehingga dalam beberapa kasus, saya hanya bisa mewawancarai orang terdekatnya, ketimbang berjumpa dengan individu elit tersebut. Di sisi lain, kisruh dan ketidakharmonisan yang terjadi di interen elit GAM membuat mereka curiga terhadap segala sesuatu yang dibicarakan berkaitan dengan GAM. Terlebih suhu politik di Aceh sudah mulai “memanas” untuk menghadapi pemilihan kepala daerah 2017. Semua hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi saya dalam mengumpulkan data di lapangan.

G. Sistematika Tulisan

Sistematika penulisan tesis penting dijelaskan supaya pembaca bisa “meramal” tentang isi dari tesis ini nantinya. Tulisan ini terdiri atas enam bab utama. Bab I merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang penulisan tesis, permasalahan, manfaat dan tujuan penulisan, tinjauan pustaka, kerangka teoretis dan metodologi penelitian. Pada Bab II, saya membahas terkait dengan sejarah Aceh secara umum dan keadaan socio-cultural masyarakat Aceh, yang tentu saja lebih difokuskan pada permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan konflik hingga menuju meja runding perdamaian MoU Helsinki tahun 2005. Pada bab ini, saya juga membahas proses transformasi sosial-politik yang terjadi pasca MoU di Aceh, sebuah transformasi dari dunia konflik menuju Aceh dalam dunia

(33)

33 perdamaian. Pembahasan mengenai kondisi demografi wilayah kajian penelitian juga saya ceritakan dalam bab ini.

Pada bab III, saya menjawab pertanyaan penelitian pertama, yaitu bagaimana proses lahirnya elit-elit baru dari kalangan mantan pejuang GAM pasca MoU Helsinki. Dalam hal ini, saya menguraikan tentang faktor pendukung dan basis legitimasi sehingga menegaskan eksistensi sang elit.

Pada bab selanjutnya, saya membahas pertanyaan penelitian yang kedua, yaitu mengenai implikasi sosial-budaya dari hadirnya elit-elit baru tersebut dalam masyarakat Aceh. Disini, saya memberikan batasan hanya membahas mengenai terbentuknya kelas baru di masyarakat dan berbagai perubahan gaya hidup serta aspek pengamalan religiusitas baru dalam masyarakat. Di samping itu, bentuk negosiasi antar elit yang dipraktekkan yang memungkinkan melahirkan praktek birokrasi yang tidak sehat. Sementara pada bab V, saya membahas terkait dengan bentuk-bentuk resisten masyarakat Aceh terhadap elit yang sedang berlangsung saat ini dengan asumsi terdapat ketidakpuasan bagi masyarakat Aceh ketika kondisi Aceh tidak lebih baik kala sudah di tangan awak nanggroe. Dan bab VI merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan yang dibangun berdasarkan atas uraian-uraian pada bab sebelumnya dan bentuk refleksi atas kondisi sosio-kultural di Aceh saat ini.

Referensi

Dokumen terkait

Keputusan Walikota Padang Nomor 8 Tahun 2017 tentang Penunjukkan/Pengangkatan Pejabat Pengguna Anggaran Atau Pengguna Barang, Pejabat Kuasa Penggunan Anggaran atau Kuasa

pertanyaan awal kepada siswa secara lisan yang diarahkan pada anak tema: Healthy Foods dengan gambar; Guru menyampaikan tujuan pembelajaran; Guru menyajikan

pertumbuhan bakteri dengan spektrum yang luas, yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negatif yang telah diwakilkan oleh kedua bakteri uji

Dari kegiatan itu, dapat muncul suatu tema, dengan sumber inspirasi dan ide yang ada di dalam benak calon koreografer, kemudian dituangkan pada porses kreatif

A1, A4, A5, B1, B2, B3 6 6 Mengidentifikasi peran bahasa dalam pembangunan bangsa Peran bahasa dalam pembangunan bangsa Ceramah dan Diskusi Ketepatan resume,

Untuk itu demi terciptanya konsep dan mekanisme proses pembelajaran yang lebih baik, tidak terkonsentrasi oleh tempat dan waktu dan mendukung sistem pembelajaran

Apakah Bapak mempunyai anak kandung laki-laki atau perempuan yang sekarang masih hidup tetapi tidak tinggal bersama Bapak?. Berapa jumlah anak laki-laki yang tinggal

Gambaran mengenai kondisi transportasi khususnya berjalan kaki di kawasan Pendidikan Yogyakarta sebagaimana yang telah dijelaskan di atas menjadi dasar perlunya dilakukan