BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG MASALAH
Keberadaan negara tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Menurut Mac Iver, negara
adalah asosiasi yang menyelenggarakan ketertiban masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum dan untuk melaksanakan hal tersebut, ia diberi kekuasaan untuk
memaksa.1
Bangsa Indonesia tidak asing dengan pendirian tersebut bahkan sejak the founding
fathers mempersiapkan kemerdekaan.2 Dalam perjalanannya sebagai sebuah negara merdeka,
Indonesia sejak semula mengakui asas bahwa kekuasaan negara diselenggarakan berdasarkan
hukum yang berlaku dan tidak berdasarkan asas kekuasaan belaka (suatu rechtsstaat bukan
machtsstaat).3
Aristoteles menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, Thomas Aquinas menyatakan bahwa secara ideal, hukum terpancar dari kekuasaan untuk memerintah guna kebaikan bersama. Iaselanjutnya, menyatakan bahwa
hukum adalah sesuatu yang secara batiniah hidup di dalam masyarakat.4
Mulanya perkembangan konsepsi negara hukum dipengaruhi adanya faham liberalisme yang mengajarkan bahwa negara dilarang sekeras-kerasnya untuk campur tangan dalam
1
Atmadja, I Dewa Gede, Ilmu Negara : Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian Kenegaraan, Penerbit Setara Press, Malang, 2011, h.20.
2
Simanjuntak, Marsillam, Pandangan Negara Integralistik : Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Penerbit PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, h. 237.
3
Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, Penerbit Mizan, Bandung, 2007, h.135. 4
kehidupan masyarakat. Campur tangan negara dibatasi hanya dibidang ketertiban dan keamanan, sedangkan diluar bidang itu negara tidak diperkenankan untuk campur tangan karena masyarakat dianggap mampu untuk mengatasinya sendiri. Namun sejak perkembangan industrialisasi yang tidak terarah telah menimbulkan krisis sosial ekonomi yang berkepanjangan sehingga negara dituntut untuk melakukan intervensi dalam kehidupan
masyarakat untuk mewujudkan keadilan sosial.5 Dapat dikatakan bahwa negara memiliki
fungsi untuk membuat regulasi yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat.
Gagasan bahwa hak merupakan nilai yang utama dalam rangka pengorganisasian negara mulai memperoleh bentuk yang jelas lewat pemikiran yang dipelopori oleh John
Locke (1632-1704).6 Hak yang paling utama dan melekat dalam diri manusia adalah Hak
Asasi Manusia yang dalam istilah asing dikenal dengan istilah Human Rigths.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang inheren pada diri manusia semata-mata karena kodratnya serta dibela atau dipertahankan terhadap negara sebagai
pertanggungjawabannya atau pihak yang dibebani kewajiban korelatif dari HAM. 7
Dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)8 dinyatakan bahwa:
“Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
5
Marzuki , Peter Mahmud, Op.Cit., h.133. 6
Titon Slamet Kurnia, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sang Penjaga HAM (The Guardian of Human Rights), Penerbit Alumni, Bandung, 2013, h.16.
7
Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h.271.
8
Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, http://pusham.uii.ac.id/download/konvensi/duham.pdf , dikunjungi pada 17 November 2015 Pukul 23:58.
persaudaraan.” Pasal ini secara eksplisit menyatakan bahwa semua orang memilki hak yang sama sejak lahir dan memiliki kebebasan untuk bertindak, seperti bergaul satu sama lain.
Ketentuan dalam Pasal 1 diperluas lagi definisinya dalam Pasal 16 DUHAM9 yang
menyatakan bahwa:
(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama salam soal perkawinan, didalam masa perkawinan, didalam masa perkawinan dan disaat perceraian.
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.
HAM melahirkan tuntutan-tuntutan (claims) dari rakyat atau warga negara selaku
penyandang hak kepada negara. Dua kewajiban korelatif utama negara di bidang HAM, yaitu
kewajiban untuk tidak melanggar (the duty to abstain from infringing upon human rights) dan
kewajiban untuk menjamin penghormatan terhadap HAM (the duty to guarantee respect of
these rights). Tuntutan-tuntutan tersebut ditujukan pada pemenuhan kewajiban-kewajiban di
atas oleh negara.10
Salah satu pengaturan yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah pengaturan dibidang perkawinan yang dirumuskan kedalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Keberadaan UU ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman dan
9
Pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, http://pusham.uii.ac.id/download/konvensi/duham.pdf
, dikunjungi pada 17 November 2015 Pukul 23:58. 10
Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, Op.Cit, hlm.271
acuan dalam bidang perkawinan, mengingat substansi dari UU ini memuat secara lengkap segala hal yang berkaitan dengan perkawinan.
Tidak hanya UU Perkawinan saja, Indonesia juga telah meratifikasi ketentuan Internasional yang termuat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yaitu
dalam Pasal 1611 yang menyatakan bahwa:
“(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.
(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara.”
Namun seiring berjalannya waktu, ketentuan dalam UU Perkawinan dianggap sudah tidak bisa menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat Indonesia. Ketentuan dalam UU Perkawinan belum diperbarui sehingga substansi UU tersebut cenderung terkesan kaku. Sehingga mulai timbul persoalan dalam bidang perkawinan.
Faktor utama yang memicu timbulnya persoalan adalah keberagaman dan kemajemukan suku, budaya, ras, dan agama di Indonesia. Salah satu persoalan dalam bidang perkawinan yang sedang mendapat sorotan saat ini adalah terkait dengan sah atau tidaknya perkawinan beda agama di Indonesia.
11
Pasal 16 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
Permohonan pengujian UU Perkawinan dengan konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945 didasarkan karena pemohon merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh beberapa ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut. Pada hakikatnya, UUD 1945 mendasari segala peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di Indonesia. Dan sebaliknya peraturan
perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.12
Masyarakat yang mengajukan permohonan ini berpendapat bahwa hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh beberapa ketentuan yang termuat dalam UU Perkawinan.Pihak yang mengajukan permohonan adalah sebanyak tiga orang pemohon, dua diantaranya berprofesi sebagai konsultan hukum, yaitu Damian Agata Yuvens dan Rangga Sujud Widigda. Sedangkan satu orang lainnya merupakan mahasiswa, yaitu Anbar Jayadi.
Permohonan pengujian UU tersebut adalah berupa permohonan untuk me-revisi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.”Juga, dengan pemohon yang berbeda, terkait batas minimal perempuan dilegalkan menikah. Pada Pasal 7 ayat 1, tertulis batas minimal perempuan menikah adalah 16 tahun. Pemohon meminta batas dinaikkan menjadi 18 tahun.
Melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/201413 yang diputuskan pada hari kamis tanggal
18 Juni 2015, menyatakan bahwa MK menolak permohonan pihak pemohon karena dianggap tidak beralasan melalui hukum. Sidang diketuai oleh Ketua MK Arief Hidayat dengan anggota hakim MK lainnya menyatakan alasan bahwa tidak ada satupun dasar hukum yang dilanggar oleh ketentuan UU Perkawinan tersebut.
12
Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 2009, hlm.32. 13
Lebih lanjut, MK menyatakan terkait dengan penolakan permohonan revisi untuk Pasal 7 ayat (1) mengenai batas usia menikah perempuan adalah Tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan makin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya.
MK menganggap bahwa sejauh ini belum ada satupun ketentuan hukum yang dilanggar oleh dua ketentuan dalam UU Perkawinan tersebut dan belum ada fakta materiil yang dapat dijadikan fokus dan pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan permohonan revisi terhadap ketentuan pasal dalam UU Perkawinan. Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa fakta materiil menjadi fokus karena hakim maupun para pihak akan mencari dasar hukum
yang tepat untuk diterapkan pada fakta kasus tersebut.14
Pada titik inilah negara seharusnya menjalankan fungsinya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, seperti yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Negara seharusnya membuat regulasi atau pengaturan yang dapat melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat.Sudah selayaknya UU Perkawinan ini dikaji ulang, mengingat sudah 41 Tahun sejak UU Tersebut dikeluarkan.
Norma pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) berimplikasi terhadap tidak sahnya perkawinan di luar hukum agama.Beberapa kasus perkawinan beda agama menimbulkan akses penyelundupan hukum. Sehingga banyak pasangan perkawinan beda agama mencoba
berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di luar
negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat.
14
Hal ini tentunya secara tidak langsung melemahkan kedudukan negara dimata dunia. Negara yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakatnya terkesan gagal, sehingga masyarakatnya lebih memilih mengikuti aturan hukum dinegara lain ketimbang di Indonesia. Penyebab utamanya hanya karena tidak disahkannya perkawinan beda agama menurut pencatatan negara. Dengan kata lain, perkawinan beda agama di Indonesia dianggap illegal atau tidak sesuai dengan hukum.
Negara seharusnya me-legal-kan perkawinan beda agama selama agama tersebut
merupakan agama yang diakui di Indonesia. Karena seyogianya negara hanya berkaitan dengan masalah administratif berupa pencatatan dari perkawinan beda agama saja. Persoalan tata cara perkawinan beda agama dilangsungkan maupun kepercayaan yang dianut oleh para pihak yang menjalani perkawinan beda agama, biarlah menjadi hubungan pribadi dan spiritual mereka dengan Tuhan sesuai dengan agama yang mereka yakini dan percayai.
Karena berdasarkan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Setiap orang
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
Dapat disimpulkan bahwa para pihak yang menjalani pernikahan beda agama memiliki keyakinan sesuai dengan hati nuraninya dan percaya bahwa tujuan dari penikahan tersebut adalah baik dan sesuai dengan tujuan dari perkawinan yang terdapat dalam UU Perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, padahal salah satu hakim MK, Maria Farida sempat mengutarakan harapannya agar UU Perkawinan dikaji ulang agar tidak ada masyarakat yang merasa hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar.
Jadi, dengan ditolaknya permohonan pengujian materiil terhadap UU Perkawinan, maka secara otomatis negara yang dalam hal ini direpresentasikan melaui MK telah gagal
menjalankan fungsinya, yaitu melindungi hak-hak konstitusional dan hak-hak asasi masyarakatnya terkait dengan keabsahan perkawinan beda agama.
II.
RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan latar belakang diatas, dapat kita simpulkan bahwa rumusan masalah dalam penelitian hukum ini adalah:
1. Apakah Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan hak-hak warga
negara terutama HAM yang terdapat dalam UUD 1945?
2. Bagaimana fungsi negara terkait dengan keabsahan perkawinan beda agama di
Indonesia?
III.
TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 bertentangan
dengan hak-hak warga negara yang terdapat dalam UUD 1945 atau tidak.
2. Untuk mengetahui bagaimana fungsi negara terkait dengan keabsahan perkawinan
beda agama.
IV.
MANFAAT PENELITIAN
1. Untuk memberikan informasi bagi para akademisi yang memerlukan bahan hukum
berupa analisis terhadap Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 yang berkaitan dengan keabsahan perkawinan beda agama yang ditinjau dari fungsi negara.
2. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahan hukum berupa analisis
perkawinan beda agama yang ditinjau dari fungsi negara. Agar masyarakat dapat memahami mengenai perkawinan beda agama yang ada disekitarnya.
V.
METODE PENELITIAN
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis untuk penulisan skripsi ini yaitu penelitian deskriptif analisis yaitu menggambarkan objek atau masalah yang sedang terjadi,terkait dengan Putusan MK Nomor 68/PUU-XII/2014 yang menolak keabsahan dari perkawinan beda agama. Kemudian akan dilakukan analisis dengan meninjau putusan tersebut dengan fungsi negara.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif, merupakan pendekatan terhadap hukum positif atau peraturan perundang-undangan yakni melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Pendekatan akan dilakukan dengan pendekatan undang-undang (statute
approach) yaitu berusaha menelaah peraturan-peraturan perundangan yang berlaku, yaitu UU Perkawinan. Selain pendekatan undang-undang, pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conseptual approach) yaitu
berusaha meneliti masalah melalui konsep-konsep pemikiran para ahli dibidang hukum terkait dengan fungsi negara yang akan dijadikan bahan analisis untuk meneliti keabsahan perkawinan beda agama.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui bahan primer, bahan sekunder dan bahan tersier. Bahan primer berupa buku bacaan yang terkait dengan fungsi negara dan perkawinan, serta peraturan perundangan yang terkait,
yaitu UU Perkawinan. Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian, makalah, artikel surat kabar, website dan bahan lain yang sejenis yang terkait dengan Putusan MK tersebut. Bahan hukum tersier merupakan bahan pendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa ensiklopedia dan bahan-bahan lain yang mendukung penelitian ini.
VI.
SISTEMATIKA PENULISAN
Pada bagian ini penulis memaparkan secara singkat tentang materi tiap-tiap bab dalam skripsi ini yang bertujuan untuk mempermudah penulisan agar lebih objektif, runtut, terarah dan terukur sehingga pembaca dapat jelas mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi ulasan dalam pembahasan skripsi ini. Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoretis dan kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: KAJIAN TEORETIK , KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan tentang :
A. KAJIAN TEORETIK
1. Teori Tujuan dan Fungsi Negara.
3. Teori Hubungan Negara dan Agama.
B. KAJIAN NORMATIF
1. Fungsi Negara Menurut UUD 1945.
2. Cakupan HAM Menurut DUHAM.
3. Pengertian Perkawinan Meurut UU Perkawinan.
4. Peraturan Perkawinan Campuran Menurut Hukum Kolonial.
C. PEMBAHASAN
1. Keabsahan perkawinan menurut UU Perkawinan.
2. Politik Hukum Pembentukan UU Perkawinan oleh Negara.
3. Perbedaan Agama Bukan Sebagai Penghalang Perkawinan.
4. Keabsahan perkawinan beda agama ditinjau dari fungsi negara.
5. Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan amanat UUD
1945. BAB III: PENUTUP
Bab ini merupakan rangkaian akhir dari skripsi ini. berisikan kesimpulan atas pokok permasalahan yang ada, yaitu mengenai keabsahan perkawinan beda agama ditinjau dari fungsi negara.