• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kondisi psikologis yang berhubungan dengan istilah kesenangan dan kedamaian, juga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kondisi psikologis yang berhubungan dengan istilah kesenangan dan kedamaian, juga"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan merupakan kondisi psikologis yang berhubungan dengan istilah kesenangan dan kedamaian, juga sering dikenal dengan kepuasan hidup (Haybron, 2008). Kebahagiaan membantu seseorang untuk berfungsi secara efektif dalam setiap aspek kehidupan (Diener & Biswas-Diener, 2008). Orang yang memiliki kebahagiaan terbukti memiliki hubungan yang positif terhadap perilaku makan yang lebih sehat, perasaan aman secara finansial, optimisme, serta perhatian mengenai kesehatan (Doyle & Youn, 2000). Orang yang bahagia juga memiliki ciri sifat altruisme yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak bahagia; lebih sedikit berfokus pada diri, menyukai orang lain lebih banyak, dan ingin membagi keberuntungan baik meskipun dengan orang asing (Seligman, 2002), lebih mencintai, memaafkan, percaya, energik, dapat membuat keputusan, mudah bergaul, dan keinginan lebih untuk membantu orang lain (Myers & Veenhoven dalam Myers, 2000).

Kebahagiaan adalah istilah yang biasa digunakan oleh orang awam dalam bahasa sehari-hari untuk menjelaskan subjective well being. Kebahagiaan mengacu pada evaluasi seseorang terhadap kehidupan dan mencakup penilaian kognitif tentang kepuasan dan penilaian afektif dari suasana hati dan emosi (Diener, 2000). Sementara itu menurut Seligman (2002), kebahagiaan merupakan emosi dan aktivitas positif. Sekelompok orang yang melaporkan bahwa dirinya bahagia memiliki tingkat suasana hati yang paling sering menampakkan emosi positif dibandingkan orang-orang yang depresi (Myers, 2000). Beberapa penelitian telah menemukan efek emosi positif terhadap sistem imun manusia. Pengaturan suasana hati atau emosi yang positif menimbulkan kemampuan sosialisasi, optimisme untuk mencapai tujuan, dan sistem imun yang sehat (Weisse dalam Myers,

(2)

2000). Sebaliknya, kondisi mood yang negatif terbukti meningkatkan kerentanan masyarakat terhadap penyakit (Cohen et al. dalam Salovey, Rothman, Detweiler, & Steward, 2000)

Selain berguna untuk kesenangan diri, emosi positif juga membantu individu untuk beradaptasi lebih baik dengan dunia. Pada saat berada dalam mood yang baik, seseorang dapat menentukan tujuan yang lebih tinggi, kinerja yang lebih baik, dan bertahan lebih lama dalam tugas yang dilakukan (Seligman, 2002). Menurut Diener & Biswas-Diener (2008), keuntungan lain dari pekerja yang bahagia memiliki organizational citizenship behavior yang tinggi, cenderung betah dengan pekerjaan yang dijalani dan jarang untuk keluar dari pekerjaan atau mencari pekerjaan lainnya. Penemuan ini serupa dengan yang diungkapkan Anchor (2010) bahwa para pekerja yang bahagia memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi, menghasilkan penjualan yang lebih tinggi, menampilkan kinerja yang lebih baik pada level kepemimpinan dan mendapatkan penilaian kinerja dan bayaran yang tinggi. Pekerja yang memiliki kebahagiaan tinggi juga lebih terhindar dari mengambil cuti kerja, keluar dari pekerjaan, atau mengalami burnout.

Kebahagiaan penting bagi setiap orang, salah satunya bagi seorang ibu. Dubeck & Paula, (2013) menyebutkan ibu yang memiliki locus of control yang baik dan memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi menunjukkan perilaku orangtua yang penuh perhatian dan yang mendorong atau membangkitkan semangat. Meskipun demikian, masih terdapat penelitian yang mengatakan bahwa kepuasan pada ibu yang bekerja lebih rendah dibanding ibu yang tidak bekerja (DeGenova & Rice, 2005). Menurut Doyle & Youn (2000), kelompok orang yang memiliki kepuasan hidup yang rendah menunjukkan tingginya kecemasan dan ketegangan sebagai indikator depresi klinis, dibandingkan mereka yang memiliki kepuasan hidup yang tinggi. Kebanyakan orang-orang yang tidak bahagia tidak menyukai pekerjaan yang sedang mereka lakukan. Padahal perasaan marah atau kecewa di tempat kerja bisa membawa efek negatif pada sikap di rumah (Samantha, 2013).

(3)

Kebahagiaan individu dipengaruhi oleh faktor interpersonal maupun intrapersonal. Salah satu faktor intrapersonal yang banyak ditemukan sebagai prediktor kebahagiaan adalah harga diri. Menurut Diener (2000), seseorang yang memiliki harga diri tinggi akan puas dengan kehidupannya secara keseluruhan. Selain itu, harga diri merupakan komponen kesejahteraan psikologis. Menurut Elliot (1996), ketika seseorang memiliki harga diri yang tinggi, mereka cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Sementara seseorang cenderung depresi ketika mereka berpikiran rendah terhadap dirinya. Penelitian-penelitian yang ada membuktikan bahwa orang yang memiliki harga diri yang tinggi lebih bahagia dan lebih efektif dalam menghadapi tuntutan lingkungan dibandingkan mereka yang memiliki harga diri rendah. Seseorang yang memiliki harga diri rendah akan menarik diri dari orang lain dan merasakan distres terus menerus (Coopersmith, 1967).

Beberapa penelitian sebelumnya telah menjelaskan hubungan yang kuat antara harga diri dengan kebahagiaan individu. Menurut Furnham & Cheng (2000), harga diri dan ekstraversi merupakan prediktor langsung kebahagiaan. Sementara menurut Uchida, Norasakkunkit, & Kitayama (2004), pada konteks kebudayaan Amerika Utara, kebahagiaan diprediksi paling baik melalui harga diri. Selain itu penelitian yang dilakukan Diener & Diener (2009) juga menemukan adanya korelasi yang kuat antara harga diri dengan kesejahteraan subjektif pada banyak negara. Meskipun demikian, Diener dan Diener (Diener, 2000) menyebutkan bahwa harga diri berkorelasi lebih kuat dengan kepuasan hidup di masyarakat individualistis daripada di masyarakat kolektif. Hal ini dikarenakan dalam kebudayaan Barat kebahagiaan cenderung didefinisikan dalam terminologi pencapaian pribadi, namun dalam konteks budaya Asia Timur, kebahagiaan cenderung didefinisikan dalam terminologi keterhubungan interpersonal dan diprediksi paling baik dengan merasakan kelekatan diri dalam hubungan sosial (Uchida et al., 2004).

Penelitian Jaafar, Muhamad, Afiatin, & Sugandi (2008) terhadap masyarakat Indonesia dan Malaysia menemukan bahwa 99 % dari subjek yang bahagia dalam

(4)

penelitiannya memiliki harga diri yang tinggi. Namun Jaafar et al (2008) menyebutkan pada masyarakat Indonesia dan Malaysia kesejahteraan kelompok seperti keluarga menempati kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan pencapaian pribadi. Widhiarso, Anggoro, & Kim (2010) yang melakukan eksplorasi konstruk kebahagiaan juga menemukan bahwa pada masyarakat local, kebahagiaan paling banyak dipengaruhi oleh rasa atau ikatan kekeluargaan, prestasi atau pencapaian pribadi, relasi sosial, dan kebutuhan spiritual.

Pada kebudayaan Jawa, peran wanita ditempatkan sebagai penegak kehidupan keluarga yang memelihara agar keluarga tetap dalam kondisi aman, tentram, dan damai (Mardiyati, 2005). Secara tradisional seorang ayah dan ibu memiliki peran yang berbeda dalam rumah tangga. Pria selama ini selalu diharapkan menjadi pemegang tanggungjawab sebagai kepala keluarga atau pencari nafkah. Sementara wanita diharapkan untuk berorientasi kepada keluarga atau rumah dan pengasuhan anak (Goldenberd & Goldenberg, 1985). Meskipun demikian, di era modern saat ini wanita tidak lagi hanya berperan di rumah, namun juga di lapangan kerja.

Data menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun partisipasi perempuan di Indonesia dalam lapangan kerja meningkat signifikan. Menurut Badan Pusat Statistik (2007), peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan di Indonesia sebagian besar berasal dari perempuan yang sebelumnya hanya berstatus mengurus rumah tangga. Perubahan ini meningkat tajam dari tahun ke tahun. Selama 1990-2000, yakni dari 55 persen menjadi 68 persen. Sementara pada tahun 2006-2007, peningkatan penduduk perempuan yang bekerja sebesar 2,12 juta orang, sedangkan peningkatan penduduk laki-laki yang bekerja hanya sebesar 287 ribu orang. Hal ini menunjukkan peningkatan jumlah penduduk yang bekerja didominasi oleh perempuan. Selama tahun 2009, tenaga kerja diperhitungkan menjadi 168,9 juta orang. Menurut Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2011), angkatan

(5)

kerja bertambah dengan lebih cepat daripada penduduk, terutama karena pertambahan tingkat partisipasi kerja perempuan.

Tingginya partisipasi perempuan dalam pekerjaan yang dibayar mengubah paradigma masyarakat yang memandang bahwa tugas pencari nafkah hanya dipegang oleh pria saja. Saat ini muncul fenomena tipe keluarga dual earner family, yang terjadi ketika suami dan istri mengejar karir dan di waktu yang sama mengatur kehidupan keluarga bersama-sama (Rapoport & Rapoport dalam Rapoport & Rapoport, 1978). Namun demikian ketika kedua orangtua bekerja, peran dalam pekerjaan dapat membatasi fleksibilitas dari ayah dan ibu untuk memenuhi tuntutan peran atau tanggungjawab dalam rumah tangga dan keluarga. Pada keluarga yang mengalami transisi dari pasangan menjadi orangtua, keduanya berperan membesarkan dan menyediakan perawatan bagi anak yang baru lahir. Menurut Goldenberg & Goldenberg (1985), tugas-tugas yang dialami dalam fase ini seperti pengambilan dan pembagian tugas, membentuk kesabaran, menetapkan batas-batas, toleransi batasan waktu luang dan mobilitas, semua harus diselesaikan secara bersama-sama sebagai pasangan

Bertambahnya fungsi peran dalam pekerjaan membuat ayah dan ibu pada keluarga dual earner family perlu untuk bersama-sama menyeimbangkan perannya agar tetap tercipta keseimbangan yang harmonis dalam keluarga. Namun pada kenyataannya, menyeimbangkan kerja dan keluarga sering menjadi lebih sulit untuk wanita dibanding laki-laki (Bird dalam Nyaphisi, 2013). Dibandingkan ayah, ibu lebih besar terlibat untuk mengambil tanggungjawab pada tugas pengasuhan anak. Persepsi ini juga yang paling banyak ditemukan pada ayah (Sanderson & Sanders, 2002). Akan tetapi menurut Lavee & Katz, harapan untuk memelihara peran gender dalam tugas rumah tangga dan pengasuhan anak nampak disfungsional untuk kesejahteraan individu, khususnya bagi wanita yang memiliki beban lebih besar untuk memikul tugas rumah tangga dibanding pria (Riina dan Feinberg, 2012).

(6)

Cleary dan Mechanic (Elliot, 1996) menyebutkan ibu yang bekerja sebenarnya mungkin lebih tertekan daripada ibu rumah tangga jika mereka mengalami role overload atau beban peran yang terlalu berat. Masa pengasuhan anak akan mengurangi wanita dari kehidupan sosial orang dewasa dan aktivitas pekerjaan untuk periode waktu tertentu, dan dapat membuat frustasi secara personal untuk wanita (Goldenberg & Goldenberg, 1985). Menurut Dubeck & Kathryn (2013), stress yang terjadi pada ibu muda biasanya lebih disebabkan oleh beban yang terlalu berat daripada konflik antar peran. McLanahan & Adams (Umer & Rehman, 2013) menemukan bahwa ibu bekerja yang memiliki anak usia pra sekolah berada dalam kondisi kesehatan mental yang lebih rendah dibandingkan wanita karir lainnya.

Menurut Davidson (2010), konflik paling besar yang dirasakan ibu bekerja adalah perencanaan keluarga, cuti hamil atau melahirkan, menyusui, dan merawat anak yang sakit. Priyatnasari, Indar, & Balqis (2014) melakukan penelitian mengenai konflik pekerjaan-keluarga pada perawat perempuan di RS menemukan bahwa konflik peran ganda, yaitu antara peran di pekerjaan dan keluarga, berhubungan dengan rendahnya kinerja dalam pekerjaan. Konflik peran ini terjadi ketika seorang ibu tidak dapat menyeimbangkan tuntutan dan tanggungjawab dalam keluarga dan pekerjaan. Intensitas peran ganda yang tinggi dapat menyebabkan seorang ibu yang bekerja mengalami penurunan pada kinerja karena ibu bekerja akan mengalami depresi, peningkatan stress, peningkatan keluhan fisik dan tingkat energi yang rendah.

Mencapai keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi bagi setiap wanita merupakan tantangan utama sehingga para wanita harus berjuang untuk mengelola beberapa tuntutan dan peran yang bertentangan. Ketika seorang ibu bekerja sedang berfokus pada pengasuhan anak, biasanya ibu akan memprioritaskan keluarga di atas karir. Pada kenyataannya, tuntutan saat memiliki anak kecil mungkin lebih besar menimbulkan ketegangan peran dengan hampir semua jenis pekerjaan (Voydanoff dalam White, 2008).

(7)

Hal ini mungkin dikarenakan pada saat anak masih berusia bayi, anak masih sepenuhnya bergantung pada orang dewasa untuk dapat bertahan hidup (Smart & Smart, 1978).

Davidson (2010) menyebutkan semua partisipan dalam penelitiaannya menganggap absennya pengasuhan ibu sebagai salah satu dari tantangan terbesar dalam memperjuangkan keseimbangan antara rencana karir dan keluarga. Salah satu aspek penting dari konflik peran ibu adalah perasaan mengenai keterpisahan dengan bayinya (Dubeck & Kathryn, 2013). Simms (Dubeck & Kathryn, 2013) menemukan, wanita kulit putih banyak yang merencanakan untuk melakukan lebih sedikit kerja penuh waktu demi waktu untuk mengasuh anak. Kesenjangan antara waktu ideal atau waktu yang diinginkan dengan kenyataan mengarah pada persepsi atau penilaian ketidakmampuan seseorang dalam menyeimbangkan tanggungjawab keluarga dan pekerjaan. Padahal hal tersebut berhubungan positif dengan stres, depresi, dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan (Dusseau, Britt, & Bobko, 2011).

Seorang ibu yang mampu mengintegrasikan peran di pekerjaan dan tanggungjawab pengasuhan anak dapat mempengaruhi kepuasan dalam pengasuhan anak. Kepuasan pengasuhan anak juga berdampak pada perasaan aman bayi. Weinraub (Dubeck & Kathryn, 2013) menemukan ibu yang puas dengan pengasuhan anak akan lebih cenderung memiliki bayi yang memiliki kelekatan yang aman. Sementara ketidakstabilan dalam perencanaan pengasuhan berhubungan dengan kecenderungan yang lebih besar bagi anak akan perasaan tidak aman sesedikitnya pada orangtua (Goldberg & Easter-brooks dalam Dubeck & Kathryn, 2013).

Kemampuan ibu dalam mengintegrasikan antara peran pekerjaan dan keluarga dapat berpengaruh terhadap kepuasan ibu bekerja (DeGenova & Rice, 2005). Beberapa penelitian yang ada sebelumnya menyebutkan bahwa merasa seimbang antara pekerjaan dan keluarga adalah penting karena hal itu berhubungan dengan beberapa hasil kesejahteraan (Milkie, Kendig, Nomaguchi, & Denny, 2010). Namun informasi yang

(8)

membahas mengenai isu keseimbangan kerja-keluarga saat ini masih sangat minim (Shelton dalam Nyaphisi, 2013). Dibandingkan dengan Negara di Barat, hampir semua di Negara-negara di Timur kekurangan studi dalam konsep keseimbangan kerja-keluarga.

Greenhaus & Allen (2011) berpendapat prioritas dan nilai kehidupan seseorang dapat berubah seiring dengan transisi kehidupannya. Ketika sebuah keluarga sedang fokus dalam pengasuhan anak yang masih kecil, seseorang akan mengantisipasi untuk fokus terhadap karir dan keluarga di masa yang akan datang serta faktor yang menyebabkan persepsi mengenai keseimbangan. Menurut Greenhaus & Allen (2011), penelitian mengenai penggabungaan isu temporal ini, yaitu persepsi mengenai keseimbangan kerja-keluarga jika dikaitkan dengan transisi kehidupan, diperlukan dalam penelitian lebih jauh mengenai keseimbangan kerja-keluarga. Berdasarkan paparan yang telah disebutkan di atas, muncul pertanyaan apakah harga diri dan keseimbangan kerja-keluarga bersama-sama menjelaskan kebahagiaan pada ibu bekerja yang memiliki anak batita?

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran harga diri dan keseimbangan kerja-keluarga terhadap kebahagiaan ibu bekerja yang memiliki anak batita.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan di bidang psikologi klinis, psikologi industri organisasi, dan psikologi perkembangan, serta bermanfaat bagi pengembangan penelitian mengenai kebahagiaan, keseimbangan kerja-keluarga, dan harga diri ibu bekerja yang memiliki anak batita.

(9)

2. Manfaat Praktis

Informasi dari hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh ibu bekerja yang memiliki anak batita dalam rangka meningkatkan kebahagiaan dengan cara meningkatkan harga diri serta menyeimbangkan peran di pekerjaan dan keluarga.

Referensi

Dokumen terkait

Iklan Baris Iklan Baris Mobil Dijual CHRYSLER DAIHATSU CHRYSLER NEON Th 2001 / 2002 Komplit Terawat Khusus Pengemar 50Jt Pas Tj.. Pe- rum Pdk Maharta

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan Cacing dewasa yang mengembara dalam jaringan subkutan dan mikrofilaria dalam darah seringkali tidak subkutan dan

Dan semakin menunjukkan bahwa dalam hal penangguhan upah, DiJjen Binawas KetenagakeJjaan lebih memihak kepada pengusaha, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya

Perhitungan indeks RCA bertujuan untuk menjelaskan kekuatan dayasaing komoditas nenas dan pisang Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia) yang juga

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR) oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) Unit Kanrung

© 2005 Prentice Hall, Decision Support Systems and. Intelligent Systems, 7th Edition, Turban, Aronson,

Daya tanggap yang cukup baik yang dimiliki pegawai di Bidang Perbendaharaan seyogyanya dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas,