• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Bali sangat kental dengan tradisi yang diturunkan oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Bali sangat kental dengan tradisi yang diturunkan oleh"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Bali sangat kental dengan tradisi yang diturunkan oleh leluhurnya. Seperti yang terdapat pada kehidupan klen Brahmana Buddha di desa Budakeling mempunyai berbagai tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi tersebut sangat unik, diantaranya terdapat tradisi Nyurat (menulis). Kegiatan Nyurat (menulis), dilakukan dalam rangka pembelajaran untuk generasi penerus bagi klen Brahmana Buddha di desa Budakeling. Berhubungan dengan tradisi Nyurat (menulis) tersebut, di desa Budakeling mempunyai berbagai hasil budaya yang merupakan hasil dari leluhurnya dan hingga kini masih diwariskan secara turun temurun.

Salah satu hasil budaya tersebut, yakni Kajang masutasoma yang digunakan dalam rangka ritus kematian (kelepasan) sebagai penutup jenasah khususnya kaum Pendeta Buddha, di mana Kajang masutasoma didalamnya terdapat berbagai rerajahan/surat yang bertuliskan aksara Bali, serta memiliki nilai-nilai yang memuat hubungan kosmologi dan kosmogoni penciptaan mikro dan makrokosmos. Mengenai ritus kematian (kelepasan) yang terdapat di desa Budakeling berbeda dengan ritus kematian di Bali pada umumnya. Perbedaan tersebut, terlihat pada ritus kematian

(2)

tersebut memang diwariskan secara turun temurun, sehingga kegiatan keagamaan masyarakat Budakeling khususnya kaum Brahmana Buddha pada ritus kematian (kelepasan) masih terjaga dan lestari, serta perlu pendalam bagi generasi muda

Brahmana Buddha Budakeling mengenai bentuk upacara yang unik tersebut, dan pengetahuan mengenai elemen upacara seperti kajang masutasoma.

Bali mempunyai segudang ilmu dari karya sastra, baik itu berbentuk lisan (lontar) dan prasasti, yang berhubungan dengan keagamaan. Seperti halnya di desa Budakeling memiliki hasil budaya berbentuk lisan (lontar), yakni kakawin Purusadha Santa atau yang dikenal juga dengan Kakawin Sutasoma merupakan sebuah teks besar karya Mpu Tantular. Mpu Tantular seorang pemimpin Agama Buddha pada masa kejayaan Majapahit di abad ke-14 yang memiliki visi cemerlang mengangkat sinkretisme Siwa-Buddha. Visi tersebut ditulis dalam kakawin Sutasoma sebagai “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”(kakawin Sutasoma Ph. 139 Bt.5).

Nilai-nilai yang terkandung dalam petikan di atas sangat penting dipelajari untuk menambah pengetahuan tentang ide-ide religius khususnya mengenai bentuk Buddhisme Mahayana seperti berlaku di Keraton Majapahit beserta hubungannya dengan Siwaisme (Zoetmulder, 1983: 435). Nilai tersebut antara lain mengajarkan kita mengenai toleransi antar umat. Keagungan nilai itu pula, pendiri bangsa menggunakan penggalan teks Sutasoma “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai slogan

(3)

pemersatu bangsa.Melalui slogan “Bhinneka Tunggal Ika” bangsa Indonesia yang beraneka suku, ras, bahasa, adat, kesenian dan agama, diharapkan hidup berdampingan dengan rukun.

Salah satu hasil budaya yang mengandung keagungan nilai dalam teks besar Sutasoma yakni kajang masutasoma. Kajang masutasoma dapat dilihat sebagai fenomena budaya, karena selalu digunakan dalam rangka kematian pada kehidupan Brahmana Buddha di desa Budakeling. Realita saat ini, masyarakat Brahmana Buddha Budakeling mengalami transisi dari masyarakat tradisional ke modern. Keadaan transisi tersebut tampak pada masyarakat Brahmana Buddha Budakeling yang sebagian besar merantau ke kota karena tuntutan jaman. Namun, meski demikan masyarakat Brahmana Buddha Budakeling masih percaya atas keyakinan yang diturunkan oleh leluhurnya, hingga saat ini kajang masutasoma masih digunakan dalam rangka kematian pada kehidupan Brahmana Buddha Budakeling.

Selain mengandung keagungan nilai-nilai tersebut, kajang masutasoma merupakan sarana ritual penutup jenasah pada ritus kematian (kelepasan) Brahmana Buddha di desa Budakeling. Desa Budakeling dikatakan sebagai pusat Brahmana Buddha, keturunan dari pendeta Buddha Astapaka atau dengan gelar kehormatan Bhatara Astapaka. Dengan demikan, “Klen ini menamakan dirinya Brahmana Buddha Warih Bhatara Astapaka” (Suci, Dharmika dan Granoka, 1984:81). Dhanghyang Astapaka merupakan keturunan dari Mpu tantular. Secara biologis, Brahmana Budha warih Bhatara Astapaka merupakan pewaris yang bertanggung

(4)

jawab terhadap kelangsungan kehidupan nilai-nilai tersebut, karena nilai merupakan pondasi manusia untuk menjadi manusia seutuhnya dalam menghadapi globalisasi saat ini. Hal tersebut mendorong penulis untuk mengangkat kajang masutasoma sebagai objek penelitian.

Kajang masutasoma dilihat sebagai fenomena budaya tradisional. Fenomena budaya ini disebabkan bentangan sejarah atas karya-karya besar dari Mpu Tantular sebagai pemimpin agama Buddha pada masanya.Sehubungan dengan itu, nilai dalam karya Mpu Tantular terdapat pada kajang masutasoma. Kajang masutasoma selalu digunakan oleh kalangan pendeta dalam rangka upacara pelebon/ngaben. Sehingga, kajang masutasoma perlu dikaji untuk memenuhi kebutuhan generasi penerus dalam jaman globalisasi.

Kajang adalah sarana ritual penutup jenasah terdiri dari elemen-elemen kain (kafan), ditulis dengan huruf (aksara Bali) yang menyertakan diagram-diagram rajah (aksara modre) dan gambar (lukisan). Kajang masutasoma terbentuk dari surat-rajah-gambar, didalamnya terdapat nilai-nilai sinkretisme Siwa-Buddha yang merupakan representasi dari teks Sutasoma. Terdapat pembeda kajang masutasoma dengan kajang lainya adalah varian gambar yang bergambar Sutasoma katadah kala. Dengan demikian dapat dikatakan kajang masutasoma merupakan hasil budaya yang unik dan penting untuk dikaji di dalam penelitian ini.

Kajang masutasoma dapat dikonsepsikan dalam tiga wujud kebudayaan yakni 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,

(5)

peraturan-peraturan dan sebagainya, 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1983: 189). Dalam wujud pertama yakni ide, kajang masutasoma terbentuk dari konsepsi nilai-nilai sinkritisme Siwa-Buddha yang terekpresikan dalam cerita Sutasoma. Wujud yang kedua yakni tindakan/perilaku, bahwasanya di desa Budakeling terdapat tradisi seorang Brahmana yaitu salah satunya membuat kajang masutasoma. Hal ini dilakukan sebagai tindakan berpola bagi masyarakat sebagai tradisi seorang brahmana, dan tentunya kajang masutasoma sebagai hasil budaya.

Berbicara mengenai kebudayaan bahwasanya terdapat tujuh unsur kebudayaan universal yakni: 1. Bahasa, 2. Sistem pengetahuan, 3. Organisasi sosial, 4. Sistem peralatan hidup dan teknologi, 5. Sistem mata pencaharian hidup, 6. Sistem religi, dan 7. Kesenian (Koentjaraningrat, 1983: 206).Terkait dengan tujuh unsur kebudayaan unirversal maka kajang masutasoma termasuk dalam unsur sistem religi. Maksudnya agar dapat menjamah kajang masutasoma sebagai ritus dalam sistem religi dari ajaran Hindu Buddha.

Sebagian besar elemen dari kajang masutasoma adalah aksara. Aksara dalam kebudayaan Bali statusnya sangat tinggi yaitu berkaitan dengan Tuhan, di mana menurut Granoka aksara dalam kehidupan masyarakat Bali tidak hanya berfungsi sebagai simbol grafis tetapi juga memiliki fungsi idealis menjembatani menara kesadaran manusia dengan ketuhanan, kesadaran tertinggi, tak termusnahkan

(6)

(a-ksara) (2007: 130). Aksara sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali terutama mengenai orientasi hidup nyata kekinian (dalam aspek keagamaan dan estetika) serta aspek ketuhanan (simbol-simbol) yang dimunculkan dalam aksara, sehingga terjadi keseimbangan antara sekala dan niskala. Menurut Bagus, aksara dan bahasa Bali merupakan alat untuk melestarikan pustaka suci yang mengandung antara lain: filsafat kerohanian, serta tentang hal susastra dan politik yang merupakan pegangan hidup masyarakat yang beragama Hindu (1994:6).

Betapa besar fungsi aksara dalam masyarakat Bali. Hal ini meyakinkan penulis untuk melanjutkan gagasan besar dari Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besarnya mengenai “Aksara dalam Kebudayaan Bali”. Mengangkat tema sentral, memposisikan aksara dalam masyarakat Bali. Adapun tujuan dari pidato pengukuhan jabatan Guru Besarnya yakni “tujuannya tidak lain ialah untuk merangsang agar masalah ini mendapat perhatian oleh para peneliti pada masa mendatang” (1980:9) yang dimaksudkan adalah penelitian-penelitian mengenai aksara khususnya aksara Bali. Melanjutkan gagasan besarnya, penulis mengangkat kajang masutasoma, sebagai ritus dari ajaran Hindu Buddha di desa Budakeling di mana aksara merupakan elemen terpenting dalam kajang masutasoma.

Sebagai pusat Brahmana Buddha, Budakeling tersebar berbagai daerah, salah satunya terdapat di desa Batuan yang mengelompok pada satu klen Brahmana Buddha dalam satu Banjar (ikatan wilayah). Dalam perjalanan waktu, sebaran dari Brahmana Buddha yang tinggal di desa Batuan, mengalami perubahan budaya dalam

(7)

ritus kematian (kelepasan) dari pusat yakni Brahmana Buddha Budakeling. perubahan tersebut dapat dilihat pada prosesi upacara serta elemen-elemen yang berbeda dengan Brahmana Buddha Budakeling. Perubahan yang sangat mendasar yakni terlihat pada penggunaan kajang, bahwa seperti yang telah disebutkan di atas, Brahmana Buddha Budakeling menggunakan kajang masutasoma yang merupakan warisan dari leluhurnya, sedangkan Brahmana Buddha Batuan, tidak menggunakan kajang masutasoma, sehingga penting untuk diketahui isi dari kajang masutasoma tersebut. Selain perubahan tersebut, pada prosesi upacaranya juga terjadi perubahan pada Brahmana Buddha Batuan, yakni terdapat upacara Maligia/Ngasti.

Fenomena perubahan budaya dalam satu klen tersebut, yakni pada kehidupan Brahmana Buddha yang terdapat di desa Budakeling dan di desa Batuan, tidak menyebabkan perpecahan namun perlu diketahui dengan dilakukan penelitian ini, bertujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan di dalam kehidupan sosial beragama. Minimnya tulisan-tulisan mengenai kajang menjadi problematik bagi peneliti. Tetapi, proses penelitian lebih ke informan yang mempunyai intuisi. Karena intuisi diyakini sebagai suatu bahasa Tuhan yang diterjemahkan dengan hasil karya.

(8)

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana fungsi kajang dalam ritus kematian Brahmana Buddha di desa Budakeling dan sebaranya (Batuan)?

2. Bagaimana perubahan ritus kematian (kelepasan) klen Brahmana Buddha Budakeling dan sebarannya di desa Batuan?

1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

1.3.1.1 Tujuan Umum

Secara umun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi kajang masutasoma sebagai ritus dari ajaran Hindu Buddha yang terdapat di desa Budakeling dari sudut antropologi Agama.

1.3.1.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi kajang masutasoma sebagai ritus kematian (kelepasan) oleh Brahmana Buddha di desa Budakeling. Untuk mengetahui perubahan budaya dalam rangka kematian yang terjadi pada klen Brahmana Buddha Batuan, serta upaya-upaya yang akan dilakukan untuk mempertahankan tradisi yang diwariskan oleh leluhur di desa Budakeling.

(9)

1.3.2 Manfaat Penelitian 1.3.2.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi masyarakat luas khusunya masyarakat Budakeling atas nilai-nilai yang terkandung dalam kajang masutasoma serta fungsi kajang masutasoma sebagai ritus kematian (kelepasan) yang merupakan kearifan lokal desa tersebut.

1.3.2.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang dapat diharapkan dari penelitian ini mampu memperluas pehatian dari semua kalangan, terutama untuk peneliti-peneliti lainya agar melanjutkan penelitian mengenai aksara sebagai simbol budaya Bali. Tentunya, masyarakat Bali, khususnya pada kehidupan Brahmana Buddha akan mengetahui dari fungsi aksara dalam kajang masutasoma sebagai ritus kematian (kelepasan).

1.4 Kerangka Teori dan Konsep 1.4.1 Kerangka teori

Dalam teori yang hendak dipakai dalam penelitian ini, mengacu kepada gagasan-gagasan yang telah diajukan oleh para ahli mengenai landasan teori dalam suatu penelitian. Menurut Irawan (2006: 39), landasan teori atau yang disebut juga kerangka teori diperlukan sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti dalam menganalisis dan memahami realitas yang ditelitinya. Penelitian tentang kebudayaan

(10)

mestilah berangkat dari Idealisme (Saiful Arif, 2010: 258). Di dalam penelitian kebudayaan terfokus pada ide yang melatari dan tidak terhenti pada wujud empirik. Teori yang

digunakan sebagai berikut.

1.4.1.1 Azas Religi: dari sikap manusia yang berorientasi kepada keyakinan religi, hingga hal yang gaib sampai ke ritus atau upacara religi

Menurut Koentjaraningrat (1987), di antara teori-teori yang menjelaskan azas religi, ada teori yang berorientasi kepada sikap manusia yang gaib dan ada pula yang berorientasi pada upacara religi. Teori yang berorientasi kepada sikap manusia terhadap yang gaib dalam pandangan R. Otto, menegaskan bahwa sifat hal yang gaib itu maha-abadi, maha-dasyat dll, sehingga menimbulkan sikap kagum, terpesona terhadap yang gaib dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya (Kontjaraningrat, 1987: 65-66).

Mengenai ritus, Preusz menganggap akan bersifat kosong dan tak-bermakna, apabila tingkah-laku manusia didalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika; tetapi secara naluri manusia mempunyai suatu emosi mistikal yang mendorong untuk berbakti kepada kekuatan yang tingi yang olehnya tampak kongkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam serta proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam dalam hubunganya dengan masalah hidup dan maut (Koentjaraningrat, 1987: 70). Pada masyarakat Budakeling sebagai klen brahmana Budha dilihat dari sejarah desa Budakeling yang didirikan oleh seorang pendeta Budha yang melakukan perjalanan spiritual sehingga menjadikan masyarakatnya spiritualisme dan religius.

(11)

Dengan mengikuti pendapat Koentjaraningrat (1987), masyarakat ini dapat dikatakan sebagai salah satu komponen sistem religi yang disebut umat agama atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa terdapat lima komponen keagamaan yaitu sistem keyakinan, umat agama, emosi keagamaan, sistem ritus dan upacara keagamaan serta peralatannya (Koentjaraningrat, 1987:82). Di dalam keagamaan bagi umat Hindu Bali, terdapat Panca Yadnya yang kesemuanya berkaitan dengan upacara semesta, dan hampir tidak pernah lepas dari penggunaan rerajahan, terutama upacara kremasi atau ngaben (=pelebon, kelepasan). Seorang pendeta Brahmana Budha (Budakeling) digunakan sistem aksara kajang (surat kajang utamaning utama) yang luar biasa mempesona, indah dan penuh arti (Granoka, 2007: 131).

Menurut Preusz, ritus kematian merupakan ritus paling penting, sedangkan Hertz menganggap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakat yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Gagasan kolektif yang dimaksud oleh Hertz sebagai gejala kematian atau mati itu berarti suatu proses peralihan atau inisiasi dari dunia ini ke dunia mahluk halus (Koentjaraningrat, 1987: 71) sedangkan menurut Van Gennep menyatakan bahwasanya upacara kematian sebagai proses peralihan menuju kehidupan yang baru di alam baka, atau manusia yang mati harus diintegrasikan ke dalam kehidupan baru di antara mahluk halus yang lain di alam baka (Koentjaraningrat, 1987: 73-77).

(12)

Kepercayaan masyarakat Budakeling juga menganggap bahwa mati bukan berarti hilang, melainkan lahir kembali di alam baka menuju pemerdekaan jiwa (tidak terikat keduniawian).

Ditunjang juga dengan teori dari Van Gennep mengenai ritus peralihan dan upacara pengukuhan, disebutkan bahwa ritus dan upacara dapat dibagi menjadi tiga yakni 1. Perpisahan, atau separation, 2. Peralihan, marge, 3. Integrasi kembali, aggregation (Koentjaraningrat, 1987: 73). Pada bagian pertama yakni separation, manusia dilepaskan dari kedudukanya yang semula atau manusia dianggap tidak ada seolah-olah dipisahkan dari kehidupan sosialnya dalam kehidupan semula. Pada bagian kedua yakni marge, dimana manusia dianggap mati atau “tidak ada” lagi dan dalam keadaan tak tergolong lagi dalam sosial mana pun namun dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkunganya yang baru. Pada bagian ketiga yakni aggregation, manusia diresmikan kedalam tahap kehidupannya serta lingkungan sosialnya yang baru seperti perlambang dalam inisiasi pada umunya dimana seseorang dilahirkan kembali.

1.4.1.2 Teori Simbol

Aktifitas budaya dalam masyarakat beragama berkaitan erat dengan simbol-simbol agama yang patut kita ketahui makna dibalik simbol-simbol tersebut. Agama sebagai keyakinan secara mutlak dipercaya dapat menggetarkan jiwa manusia sehingga menciptakan suasana kebahagiaan batiniah. Simbol dalam bahasa Inggris symbol berarti sesuatu atau juga menggambarkan sesuatu, khusunya sesuatu yang immaterial,

(13)

abstrak, suatu ide dan tanda-tanda suatu obyek (Coulson, 1978). Simbol dalam agama sangat berharga, karena memberikan arti penting dalam kehidupan beragama sebagai suatu yang menggambarkan sesuatu, sehingga manusia memberikan asosiasi ke dalam pikiran mereka kepada obyek sebagai tanda (sign) dan memberikan konsepsi ke dalam simbol sebagai simbolis keagamaan.

Menurut Mircea Eliade (dalam Suci, 2006: 142), menyatakan bahwa kunci pertama untuk memahami simbol-simbol keagamaan adalah bagaimana agar dunia, “berbicara” atau “mengungkapkan diri” melalui simbol-simbol dan bukan dalam bahasa objektif. Akan tetapi simbol juga dapat mengungkapkan sesuatu yang lebih pokok dan mendasar, sehingga dapat disarikan dalam tulisanya, mengenai pengungkapan Eliade tentang simbol lebih lanjut sebagai berikut:

“simbol keagamaan mampu menggungkapkan suatu modalitas dari yang nyata atau suatu struktur dunia yang tidak tampak pada pengalaman langsung. Dalam mengilustrasikan, bagaimana sebuah simbol mampu mengungkapkan modalitas kenyataan yang tak terjangkau oleh pengalaman manusia seperti contoh, yaitu simbolis air yang mampu mengekspresikan kondisi praformal, abstrak, yang jelas hal ini bukan masalah pengetahuan rasional, melainkan kesadaran hidup yang menangkap realita melalui simbol, yang lebih dari sekedar refleksi” (Eliade dalam Suci, 2006 :143)

Menurut Taylor dan Gadamer (1991), ilmu sosial interpretatif dapat di sebut sebagi titik balik ke dunia objektif, yang memandang dunia sebagai lingkaran makna yang didalamnya kita menemukan diri sendiri dan yang tak pernah dapat kita melampauinya. Pernyataan tersebut juga sebagai titik berangkat peneliti untuk mnggunakan teori Clifford Geertz mengenai teori interpretatif simbolik, bahwa kajian sosial dari interpretatif adalah interpretasi dari praktik manusia yang bermakna (Saifuddin, 2006: 286)

(14)

Definisi kebudayaan menurut Geertz (1973), mengemukakan bahwa kebudayaan sebagai: (1) suatu sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekpresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat perasaan mereka. (2) suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan. (3) suatu peralatan simbolik bagi mengontrol prilaku, sumber-sumber ekstraomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi (Saiffudin, 2005: 288). Berdasarkan definisi kebudayaan menurut Geertz di atas yakni memosisikan suatu kebudayaan dimana kebudayaan di seluruh dunia terdapat simbol-simbol sehingga individu mampu berkomunikasi, memahami pengetahuan dan sebagainya. Dalam hubunganya dengan penelitian ini dapat dipahami dengan anggapan Geertz yang meyakini simbol sebagai kebudayaan dalam masyarakat tentunya penelitian ini mengangkat masyarakat Budakeling dimana dalam proses-proses dari bentuk pelaksanaan upacaranya khususnya ritus kematian (kalepasan) yang menggunakan berbagai simbol-simbol yang terekspresikan dalam kakawin Sutasoma dan diyakini sebagai ajaran dari Hindu Buddha.

(15)

Mengenai asal-usul tidak terlepas dengan mitos yang melatarbelakangi sejarah.Tentu juga di dalam mitos terdapat symbol-simbol yang perlu di berikan pemaknaan sehingga terjadi saling keterikatan antara mitos dengan symbol. Mitos juga simbolik, tetapi dalam suatu cara yang lebih complicated: mitos adalah simbol yang diletakkan dalam bentuk cerita (Eliade dlm Daniel L. Pals, 2001: 285). Eliade juga mengemukakan bahwa sebuah mitos bukan hanya suatu gambaran atau tanda, melainkan serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk cerita (Eliade dlm Daniel L. Pals, 2001: 285).

Simbol adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia (Saifuddin, 2005: 289). Dikatakan simbol sebagai objek, dalam penelitian ini kajang masutasoma terdapat simbol-simbol aksara dan diagram-diagram rajah sebagai objek dari simbol-simbol yang terdapat makna dalam nilai-nilai pada ajaran sinkritisme Siwa-Buddha.

Definisi simbolik dari kebudayaan adalah bagian dari suatu tren yang memandang kebudayaan sebagi ilmu mengenai makna-makna (Saifuddin, 2005: 291). Tentunya dalam penelitian mengenai kajang masutasoma, terdapat simbol-simbol aksara suci serta diagram rajah yang mempunyai makna-makna yang perlu diketahui dan diinterpretasi sebagai ilmu pengetahuan dan simbol merupakan pencarian-pencarian makna yang terkandung dalam objek penelitian. Geertz juga menekankan bahwa antropolog seharusnya bergeser dari upaya melakukan eksplanasi menjadi

(16)

upaya menemukan makna dan yang memandang penting simbol dalam penelitian antropologi (Saifuddin, 2005: 295).

Simbol tidak hanya dilihat secara abstrak melainkan dalam konteks sosial, di mana suatu sistem simbol dijadikan makna oleh masyarakat, yang kemudian membentuk praktik kehidupan dan bermasyarakat. Inilah yang disebut Geertz sebagai kebudayaan dan Geertz memaknai budaya sebagai persoalan semiotik sehingga mengkaji budaya adalah mengkaji makna (Syaiful Arif, 2010: 111).

Sebuah teori simbol dari Victor Turner yang mengangkat mengenai simbol ritual sebagian besar memuat komonitas Ndembu yang merupakan gambaran untuk mengkaji ritual secara mendalam (Endaswara, 2006: 173).Ritus kajang masutasoma merupakan elemen dari ritual besar yang terdapat di desa Budakeling.Ritual besar ini atau disebut dengan palebon/ngaben perlu dikaji kedalamanya tentunya dilihat dari fungsi kajang masutasoma.Simbol adalah unit terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus (Endaswara, 2006: 173). Mengenai penelitian ini, ditujang dengan teori dari Turner, karena penulis akan mengkaji mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam kajang masutasoma. Dalam pernyataanya, melalui analisis simbol ritual akan membantu menjelaskan secara benar nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan menghilangkan keragu-raguan tentang kebenaran sebuah penjelasan (Endaswara, 2006: 173).

Sebuah kebudayaan, pada dasarnya terdapat aspek formal intrinsik yakni nilai yang terdapat pada ruang emik, mental, kognisi, dan makna (Syaiful Arif, 2010:

(17)

109). Nilai merupakan substansi dari sebuah kebudayaan, dimana masyarakat memiliki sistem simbol dalam kebudayaanya, yang mana individu mampu melakukan interpretasi atas makna dari kehidupanya.

Di dalam penelitian ini, makna-makna dalam simbol kajang masutasoma akan mendapatkan bentangan nilai-nilai kognisi yang berguna bagi masyarakatnya. Tidak dapat lepas memandang fenomena budaya ini dengan kaca mata semiotik. Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia (Hoed, 2008: 3). Tanda yang dimaksud yakni komponen-komponen dari kehidupan kita yang dilihat sebagai tanda yang patut ditafsirkan dan di beri makna. Di dalam teori Ferdinand de Saussure menggunakan istilah signifiant (signifier, Ing.; penanda, Ind.;) untuk segi bentuk suatu tanda, dan signifie (signified, Ing,; petanda, Ind,;) untuk segi maknanya (Hoed, 2008: 3). Dapat dikatakan hubungan penanda dan petanda adalah proses pemaknaan, karena penanda dan petanda mempunyai hubungan yang saling terkait sebagai suatu struktur. Dengan menggunakan teori De Saussure mengenai “penanda dan petanda” akan dapat mengkaji simbol-simbol suci yang terdapat di dalam kajang masutasoma.

1.4.1.3 Teori Fungsionalisme

Teori ini digunakan untuk mengetahui fungsi sesuatu di dalam masyarakat. Fungsi yang dimaksud adalah fungsi yang merujuk pada manfaat budaya bagi sesuatu (Endaswara, 2006: 100).Semua komponen budaya memiliki fungsi. Antara lain, di dalam penelitian ini akan tampak makna dan fungsi dari ritus kajang masutasoma

(18)

sebagai upacara palebon/ngaben pada masyarakat Budakeling dan pada masyarakat Batuan yang dilanjutkan dengan upacara maligia/mamukur. Di dalam pendekatan fungsionalisme, Malinowski juga mengisyaratkan penguasaan bahasa lokal terhadap para peneliti lapangan, karena hanya melalui komunikasi dalam bahasa lokal dari warga masyarakat yang ditelitinya, sehingga memperoleh pengertian yang mendalam tentang gejala-gejala sosial yang ditelitinya (Koentjaraningrat, 1980: 166).Peranan seorang peneliti dituntut untuk menguasai bahasa lokal, sehingga dengan mudah memperoleh data-data yang diinginkan.

Menurut Endaswara (2006: 101) yang mengemukakan mengenai aksioma dasar fungsionalisme budaya yang dapat dibagi menjadi lima bagian yakni 1). Budaya merupakan sarana instrumental yang menempatkan manusia pada posisi istimewa agar mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan lingkunganya, 2).Budaya merupakan sebuah sistem dari obyek, aktifitas, dan sikap yang bertujuan untuk mencapai sasaran tertentu, 3).Budaya merupakan bagian integral yang setiap unsur saling tergantung, 4). Aktivitas, sikap, dan obyek budaya akan terorganisir ke dalam institusi, seperti keluarga, klan, politik, pendidikan dan sebagainya, 5). Dari sudut pandang dinamika budaya, dapat dilihat pada masing-masing institusi.

Fungsionalisme menempatkan manusia ke dalam posisi yang istimewa, di mana manusia sebagai mahluk yang berakal-budi tidak hanya sebagai penyangga kebudayaan melainkan mampu membuat dan memanipulasi kebudayaan. Fungsionalisme juga merupakan salah satu metode analisis yang menitikberatkan proses budaya yang berjalan, bertahap, dan mengikuti irama (Endaswara, 2006: 102).

(19)

Di dalam penelitian ini akan menitikberatkan penelitianya pada kajang masutasoma, tentunya dilihat sebagai proses budaya dari pembuatan hingga penggunaanya dan fungsinya sebagai ritus kematian (kelepasan) pada masyarakat Budakeling khususnya klen Brahmana Buddha Budakeling, dan mengalami pergeseran makna dan fungsi pada klen Brahmana Buddha di Batuan yang melanjutkanya dengan upacara

Maligia/Mamukur.

Robert Merton (Endaswara, 2006: 102) merumuskan mengenai fungsi yang mengetengahkan postulat tentang fungsionalis bahwa: 1). Postulat keutuhan fungsionalis masyarakat, yaitu segala sesuatu berhubungan secara fungsional, 2). Postulat fungsionalisme universal, yaitu bahwa segala unsur budaya melaksanakan suatu fungsi, dan tidak satu pun unsur lain yang mampu melaksanakan fungsi yang sama. Budaya sebagai kesatuan yang integral di dalamnya terdapat komponen-komponen yang memiliki fungsinya masing-masing. Robert Merton juga memberikan rumusan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten (fungsi tampak dan fungsi terselubung). Penelitian ini yakni kajang masutasoma di dalam perjalanan proses ritualnya mengalami perubahan pada masyarakat brahmana Buddha desa Batuan yang tentunya terjadi perubahan fungsi pada ritus kajang masutasoma.

Berbicara mengenai perubahan, sebagaimana atas kritik-kritik dari kalangan antropologi terhadap Malinowski, sehingga beliau kembali memperhatikan kritikan terhadapnya dengan mengajukan sebuah metode.Malinowski melihat perubahan kebudayaan, dengan mengambil bahan-bahan dari Afrika sebagai contoh untuk mengajukan suatu metode untuk mencatat dan menganalisa sejarah dan proses-proses

(20)

perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat yang hidup (Koentjaraningrat, 1987: 171).Kebudayaan yang bersifat dinamis disebabkan unsur-unsur atau komponen-komponenya juga berubah. Di dalam penelitian ini, di mana perubahan terjadi pada proses ritual pada brahmana Buddha di Batuan. Dengan mengikuti pendapat dari Malinowski, peneliti dapat mencatat dan menganalisa sejarah dan proses-proses yang terdapat dalam ritual di desa Batuan, sehingga akan memeroleh data-data penyebab perubahan ritual yang dilihat dari ritus kajang masutasoma.

1.4.2 Konsep

Sebagai unsur pokok dalam suatu penelitian, konsep sebenarnya adalah definisi singkat mengenai sekelompok fakta atau gejala yang menjadi pokok perhatian dalam penelitian yang bersangkutan. Dengan pernyataan diatas peneliti hendak merumuskan masalah sebagai berikut.

1.4.2.1 Kajang Masutasoma

Kajang artinya rurub bangke (Watra, 2008: 88). Kata Kajang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya tirai atau penutup (Wiana, 2004: 55), fungsinya adalah sebagai penutup jenazah. Kajang adalah selembar kain putih berukuran sekitar satu setengah meter, bertuliskan sejumlah aksara suci (Bandana, dkk, 2012: 108). Dapat didefinisikan bahwa kajang merupakan sarana ritual penutup jenasah yang terdiri dari elemen-elemen kain (kafan), ditulis dengan huruf (aksara Bali) yang

(21)

menyertakan diagram-diagram rajah (aksara modre) dan gambar (lukisan). Filosofi dari kajang adalah simbol wahana atman menuju Brahman (menyatu dengan-Nya), sehingga dapat diartikan bahwa kajang adalah simbol dari badan jasmani manusia serta simbol pengganti lapisan-lapisan yang membungkus atman.

Kajang pada umumnya terdapat empat bagian yakni nista ‘terkecil’, madya ‘biasa, utama ‘utama’, dan mahotama ‘yang paling utama’.(Bandana, dkk, 2012: 108).Kajang masutasoma jugaterdapat pembagian atas penggolongannya yakni kajang masutasoma yang nista, madya, utama dan mahotama. Dengan demikian, penulis membatasi penelitian ini dengan meneliti kajang masutasoma yang tergolong mahotama. Tergolong kajang masutasoma yang mahotama disebabkan dengan adanya varian gambar sutasoma katadah kala dan hanya digunakan oleh kalangan pendeta dengan persetujuan nabe (seorang guru dari pendeta tersebut). Secara leksikal, kajang masutasoma merupakan kata dasar dari kajang-sutasoma. Atas fungsi kajang sebagai ritus kematian (kalepasan) yang dipergunakan oleh pendeta, sehingga kajang-sutasoma mendapatkanawalan/prefiks “ma” yang berarti “berisi”, sehingga mengalami perubahan penyebutan yakni kajang masutasoma (kajang yang bertuliskan varian gambar sutasoma) (wawancara, Granoka: 13 mei 2014).

(22)

Ritus di dalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai tata cara dalam upacara keagamaan (Ali, 1995: 844). Sedangkan Ritual yakni berkenaan di dalam ritus (1995: 843) sehingga dapat di golongkan ritual/upacara merupakan wadah untuk keberlangsungan dari ritus tersebut. Mengenai “ritus kematian”, dalam banyak ahli seperti Preuzs, Hertz dan Van Gennep, menyebutkan bahwa ritus yang paling penting di dunia adalah “ritus kematian” (Koentjaraningrat, 1980). Menurut Van Gennep mengenai arti ritus lebih kepada sistem religi yang terdapat pada banyak kebudayaan, dimana ritus merupakan tahap religi yang paling penting dalam lingkungan sosial budayanya dan diperjelas oleh Koentjaraningrat mengenai macam sistem religi yang dibagi menjadi dua yakni, “ritus” bersifat perpisahan yang menjadi satu dengan yang bersifat peralihan, dan “upacara” lebih bersifat integrasi dan pengukuhan (Koentjaraningrat, 1987: 77). Dengan demikian, teori-teorinya juga banyak berbicara mengenai “ritus kematian”. Sebagai “ritus kematian” yakni didalamnya suatu proses perpisahan dimana yang meninggal dianggap “tidak ada” dan juga peralihan “lahir kembali” atau dapat di konsepsikan bahwa berbicara “ritus kematian” sebagai suatu yang dianggap tidak ada atau meninggal (bukan berarti mati) melainkan lahir kembali ke alam baka (tempat kekal bagi roh-roh manusia yang telah meninggal dunia dan merupakan alam gaib), sehingga ritus kematian merupakan substansi dari upacara.

Ritus kematian sebagai istilah dari antropologi, dan terdapat pula istilah lokal yakni “kelepasan”. “Kelepasan” disebutkan dalam kamus besar bahasa Indonesia

(23)

yakni sebagai kebebasan, perihal lepas dari keadaan yang mengikat (Ali, 1995: 586). Masyarakat Budakeling menggunakan istilah “kelepasan” bagi orang yang meninggal khususnya kalangan pendeta.Kepercayaan masyarakat Budakeling dengan istilah “kelepasan” yang berarti “lepas” terbebas dari keduniawian menuju pemerdekaan jiwa.Sehingga istilah ini menjadi umum di kalangan masyarakat Budakeling.

Di dalam hal ini peneliti memusatkan perhatian dalam kajang masutasoma, yang digunakan oleh klen Brahmana Buddha (pendeta) di desa Budakeling. Budakeling sebagai pusat Brahmana Buddha di Bali. Sejarah Budakeling berawal dari datangnya seorang pendeta Buddha yakni Dhangyang Astapaka yang memberikan ajaran kabudhan (budha bajrayana Mahayana) (kitab Sanghyang Kamayanikan). Hingga dewasa ini, ajaran ini masih dianut oleh masyarakat Budakeling. Sehingga masyarakat Budakeling menyebutnya sebagai masyarakat yang beragama Hindu Buddha.

(24)

Keyakinan Pengetahuan Budaya Mitos

KAJANG

MASUTASOMA

Masyarakat Masyarakat Brahmana Brahmana Buddha Buddha Budakeling Batuan

Ritus

Solusi

Keterangan garis: (mempengaruhi) (mempengaruhi)

(implementasinya)

(25)

Berdasarkan bagan di atas dapat dipahami bahwa semua kebudayaan berakar dari pengetahuan budaya. Pengetahuan budaya yang dimaksud adalah sebagai pengetahuan yang didasari oleh keyakinan dan mitos karena, dalam penelitian ini pada masyarakat tradisional khususnya masyarakat Budakeling sangat kuat dengan keyakinan religi dan mitos yang terdapat dalam kebudayaannya. Keyakinan dapat dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan setiap umat yang meyakininya atau sikap yang ditujukan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa diriya telah mecapai kebenaran. Mitos merupakan suatu cerita yang berkaitan dengan dewa-dewa yang diyakini kebenaranya yang diungkapkan dengan cara gaib, sehigga mitos dan keyakinan sebagai wujud ide dari gagasan kolektif.

Dari pengetahuan budaya, mucul sebuah hasil budaya yakni kajang masutasoma di mana, didalamnya terdapat simbol-simbol suci. Kajang masutasoma dapat di bagi tergantung dari pemakaianya. Untuk pendeta Budha (meninggal, lepas) menggunakan kajang masutasoma yang lengkap (mahotama, surat kajang utamaning utama), sedangkan untuk pemakaian seorang Brahmana welaka (seorang Brahmana yang belum medwijati/belum menjadi seorang pendeta) menggunakan kajang masutasoma yang utama (utama) dan juga sebagai masyarakat Budakeling yang non-Brahmana jika mau menggunakan kajang masutasoma menggunakan kajang masutasoma yang biasa hingga terkecil (madya, nista). Brahmana yang dimaksud adalah Brahmana Buddha keturuan dari Danghyang Astapaka yang terdapat di desa Budakeling. Penulis juga membatasi penelitiannya dengan mengkaji kajang

(26)

masutasoma yang tergolong paling utama (mahotama), digunakan oleh pendeta Budha.

Di dalam kajang masutasoma, terdapat nilai-nilai yang perlu dikaji. Nilai-nilai tersebut, merupakan Nilai-nilai dari ajaran sinkritisme Siwa-Buddha yang perlu digali kedalamannya. Kajang masutasoma digunakan sebagai ritus kematian (kelepasan) yang terdapat di desa Budakeling. Ritus kematian (kelepasan) ini digunakan oleh brahmana Buddha Budakeling yang masih memegang teguh tradisi leluhur, di mana pada rangkaiannya hanya terhenti pada upacara palebon/ngaben tidak dilanjutkan dengan upacara maligia/mamukur. Pada Brahmana Buddha desa Batuan merupakan sebaran dari Budakeling mengalami perubahan budaya yakni dalam ritus kajang masutasoma yang dilanjutkan dengan upacara maligia/mamukur. Tentunya dalam pergeseran budaya yang terjadi, akan menimbulkan perbedaan prinsip. Dengan demikian penulis berusaha untuk mencari solusi-solusi dengan problematika yang terjadi.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan dengan metode penelitian kualitatif, artinya bahwa bahan-bahan yang dipakai untuk menjawab permasalahan yang dikaji sebagian besar berupa informasi atau fakta-fakta yang tidak berbentuk angka-angka, melainkan pernyataan-pernyataaan. Di dalam metode penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan empiris. Pendekatan empiris yakni pendekatan yang ditandai pengguna

(27)

data objektif yang dapat ditangkap oleh panca indra, yaitu dapat dilakukan dengan pengkajian tafsir kebudayaan di mana kajian ini memandang budaya sebagai teks. Tafsir kebudayaan merupakan langkah atau penerapan model hermeneutik terhadap kebudayaan (Endaswara, 2006: 123). Hermeneutik dapat diartikan sebagai “cara membaca” fenomena budaya sehingga dapat berkembang, kajian ini ke arah pemahaman dan penafsiran terhadap budaya (Endaswara, 2006: 123). Di dalamkajang masutasoma terdapat aksara serta diagram-diagram sehingga dengan menggunakan kajian ini akan dapat diketahui fungsi kajang masutasomadalam kaitanya dengan hubungan kosmologis dan kosmogoni penciptaan mikrokosmos dan makrokosmos yang di pakai oleh masyarakat Budakeling sebagai ritus kematian (kelepasan) dan masyarakat Batuan sebagai sebarannya yang mengalami perkembangan dalam ritus kematian (kelepasan) dari ajaran Hindu Buddha Budakeling.

Peneliti juga menggunakan pendekatan spekulatif. Pendekatan spekulatif yakni pendekatan yang ditandai oleh spekulasi atau argumentasi yang semata-mata berdasarkan kepada tipe penalaran tertentu yang tidak selalu memerlukan pembuktian (Slamet Riyadi, 1996: 5), yang artinya didalam penelitian ini adalah menimba data kajang yang berisikan penjelasan-penjelasan baik pengertian maupun pemaknaan yang kemudian direkontruksi menjadi kesatuan yang integral. Selain itu data spekulasi murni yakni dengan penalaran dari salah seorang narasumber karena kajang

(28)

diyakini sebagai hasil karya kebudayaan yang diperoleh dari tindakan dan juga ide yang bersumber intuisi manusia karena intuisi diyakini suatu bahasa dari tuhan.

1.6.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Budakeling dan sebaranya yang ada di desa Batuan. Karena desa Budakeling merupakan pusat dari klen Brahmana Buddha dan di desa Batuan merupakan sebaran terbesar dari klen Brahmana Buddha Budakeling. Secara administratif terletak di Kabupaten Karanngasem, kecamatan Bebandem, karena desa ini sebagai pusat Brahmana Budha di Bali dan desa Batuan terletak di Kabupaten Gianyar. Tentunya dalam penelitian ini akan mengkaji Pelaksanaan ritus kematian yang menggunakan kajang masutasoma pada klen Brahmana Budda Budakeling sebagai pokok, dan klen Brahmana Buddha desa Batuan sebagai sebaranya.

1.6.2 Penentuan Informan

Informan dalam penelitian ini adalah para ahli yakni Ida Wayan Raja yang paham mengenai sastra serta Ida Wayan Ngurah sebagai pendampingnya, dan partisipan yang paham dalam pembuatan kajang masutasoma di desa Budakeling. Penentuan informan dilakukan secara purposif, yakni dengan memilih orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai seperti kalangan pendeta

(29)

dan penglingsir/orang yang dianggap paling tahu terkait dengan pembuatan kajang masutasoma dan isi dari surat kajang masutasoma, serta bagaimana proses ritualnya yang terdapat di Budakeling dan di desa Batuan yang nantinya akan dijadikan sebagai informan kunci (key informan) dalam penelitian ini. Peneliti juga menggunakan teknik snowball yakni pemilihan informan secara beranting sehingga orang yang di wawancara bisa diminta sarannya untuk mendapatkan informan lainya.

1.6.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data kualitataif berupa kata-kata, kalimat dan ungkapan. Dilihat dari sumbernya, data tersebut meliputi data primer dan skunder. Sumber data primer dalam hal ini adalah data yang digali sendiri oleh peneliti, baik melalui pengamatan maupun wawancara, sedangkan data sekunder adalah data yang telah ada dalam dokumentasi terkait yang disusun oleh orang lain dalam rangka kepentingan lain, tetapi ada gunanya untuk penelitian ini. Sumber data sekunder tersebut berupa buku, catatan dari pendeta Buddha atau orang yang memahami mengenai kajang atau bagan-bagan dari kajang.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan sesuai dengan yang telah di paparkan di atas meliputi, teknik observasi partisipasi yakni peneliti melakukan

(30)

pendekatan secara kekeluargaan serta mohon ijin akan mengangkat mengenai penelitian ini. Teknik wawancara yakni peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan panduan wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya, serta teknik penggunaan dokumentasi yakni peneliti berbekal peralatan rekam baik audio maupun visual untuk mengefektifkan penelitian.

1.6.5 Instrumen Penelitian

Instrument utama (primer) penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Namun keterbatasan kemampuan peneliti sendiri, maka digunakan pula instrument tambahan berupa pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera dan alat-alat tulis. Pedoman wawancara yang digunakan memuat pokok-pokok pertanyaan yang dibuat berdasarkan permasalahan dalam rumusan masalah yang diajukan oleh peneliti, sehingga mendapatkan data yang valid sebagai bahan penelitian.

1.6.6 Teknik Pengamatan

Teknik pengamatan yang dilakukan oleh peneliti yakni mengamati prilaku para partisipan yang sedang melakukan pembuatan kajang masutasoma. Dalam pengamatan ini juga dicermati situasi kegiatan tersebut termasuk di dalamnya, waktu, tempat peralatan yang di pakai serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dan mencari

(31)

informasi atas rumusan masalah dalam penelitian ini. Peneliti juga menggunakan kamera untuk mendukung penelitianya.

1.6.7 Teknik Wawancara

Penggunaan teknik wawancara yang akan dilakukan yakni menggunakan informan kunci/key informan dengan wawancara mendalam yang mengacu kepada pedoman wawancara. Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali informasi dari para informan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam hal ini bersifat leluasa, dalam arti tanpa terikat oleh suatu daftar pertanyaan pada pedoman wawancara yang disiapkan sebelumnya.

1.6.8 Teknik Penggunaan Dokumentasi

Teknik ini digunakan untuk memeroleh data dan keterangan yang ada dalam dokumen yang terkait dengan permasalahan penelitian ini. Teknik penggunaan dokumentasi ini meliputi mengumpulkan dan mencermati isi dokumen tertentu, antara lain berupa surat-surat, gambar (foto) dan data terkait dengan objek penelitian baik informan kunci dan data-data mengenai kajang masutasoma dan ritualnya.

(32)

1.6.9 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan selama penelitian ini berlangsung secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Secara lebih kongkrit dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif yakni melakukan reduksi data , penyajian data sementara, penafsiran data, dan menarik simpulan. Reduksi data meliputi berbagai kegiatan, yakni penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, penggolongan data, pengutipan informasidalam wawancara yang memiliki makna subyektif, dan refleksi. Penyajian data dan penafsiran data dilakukan dengan menyusun teks naratif yang menunjukan keteraturan, penjelasan, dan alur sebab akibat; sedangkan penarikan kesimpulan atau verifikasi dilakukan dengan mengintisarikan hasil penelitian yang telah disajikan.

Dengan demikian, analisis seperti ini dapat dilakukan secara terus menerus. Rangkaian ini bukan dilakukan dalam satu kali tahapan, melainkan terus berulang-ulang tahap demi tahap untuk mencapai dan menjawab rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam makalah ini akan dibuat suatu sistem yang mampu memberikan rekomendasi jawaban-jawaban atas pertanyaan yang ada dengan melakukan implementasi algoritma text similarity

Dari sejumlah ayat tentang Malaikat dan kita hubungkan dengan Rukun Iman kedua, arti beriman kepada para MalaikatNya Allah harus dimaknai ‘meneladani’ para Malaikat

Dari tabel diatas untuk indikator melek finansial pada pengetahuan umum keuangan mahasiswi memperoleh skor rata- rata 82,64 % skor rata-rata tersebut lebih tinggi

1) Hipotesis 1: Ada pengaruh yang signifikan perilaku pemimpin terhadap prestasi kerja karyawan pada PT. Bank BNI Syariah Kantor Cabang Surabaya. Model regresi

Karena jumlah panelis yang menjawab benar pada pengujian < jumlah minimal panelis yang menjawab benar pada tabel maka disimpulkan produk P tidak berbeda nyata dengan produk

Proses akuntansi akan menghasilkan laporan keuangan yang terdiri dari laporan laba rugi, laporan perubahan equitas, laporan neraca, laporan arus kas dan

Bila terjadi error pada transmisi, suatu negative acknowledgment (nak) dipakai untuk mengindikasikan bahwa suatu sistim tidak siap menerima, atau data yang diterima error.. Hal ini

a) 12 kes yang melibatkan Kluster Jun Heng. b) 6 kes merupakan individu yang disaring melalui pengesanan kes secara aktif kontak kepada kes positif COVID-19. c) 3 kes saringan