• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS RIIL I. Disusun oleh Bambang Hendriya Guswanto, S.Si., M.Si. Siti Rahmah Nurshiami, S.Si., M.Si.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS RIIL I. Disusun oleh Bambang Hendriya Guswanto, S.Si., M.Si. Siti Rahmah Nurshiami, S.Si., M.Si."

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS RIIL I

Disusun oleh

Bambang Hendriya Guswanto, S.Si., M.Si. Siti Rahmah Nurshiami, S.Si., M.Si.

PROGRAM STUDI MATEMATIKA

JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

(2)

KATA PENGANTAR

Buku ini ditulis dalam rangka pengadaan buku ajar mata kuliah Analisis I, yang merupakan mata kuliah wajib. Buku ini berisi materi yang diperuntukan bagi mahasiswa yang telah mengambil mata Kalkulus I dan Kalkulus II. Topik-topik dalam buku ini sebenarnya sudah dikenal oleh mahasiswa yang telah mengambil kedua mata kuliah tersebut. Hanya saja, materi pada buku ini lebih abstrak, teoritis, dan mendalam. Materi pada buku ini merupakan materi dasar analisis real. Analisis real merupakan alat yang esensial, baik di dalam berbagai cabang dari matematika maupun bidang ilmu-ilmu lain, seperti fisika, kimia, dan ekonomi. Mata kuliah Analisis I adalah gerbang menuju mata kuliah yang lebih lanjut, baik di dalam maupun di luar jurusan Matematika. Jika mata kuliah ini dapat dipahami dengan baik maka mahasiswa mempunyai modal yang sangat berharga untuk memahami mata kuliah lain. Diharapkan, setelah mempelajari materi pada buku ini, mahasiswa mempunyai kedewasaan dalam bermatematika, yang meliputi antara lain kemampuan berpikir secara deduktif, logis, dan runtut, serta memiliki kemampuan menganalisis masalah dan mengomunikasikan penyelesaiannya secara akurat dan rigorous.

Buku ini terdiri dari lima bab. Bab I membahas tentang himpunan bilangan real. Di dalamnya, dibicarakan tentang sifat aljabar (lapangan), sifat terurut, dan sifat kelengkapan dari himpunan bilangan real. Kemudian, dibahas tentang himpunan bagian dari himpunan bilangan real yang dikonstruksi berdasarkan sifat terurutnya, yang disebut sebagai interval. Dijelaskan pula tentang representasi desimal dari bilangan real dan menggunakannya untuk membuktikan Teorema Cantor. Selanjutnya, bab II berisi tentang barisan bilangan real, yang meliputi definisi dan sifat-sifat barisan, Teorema Bolzano-Weierstrass, kriteria Cauchy, barisan divergen, dan sekilas tentang deret tak hingga. Kemudian, bab III mendiskusikan tentang definisi limit fungsi (termasuk limit sepihak, limit di tak hingga, dan limit tak hingga) dan sifat-sifatnya. Lalu, bab IV membahas kekontinuan fungsi, yang meliputi definisi fungsi kontinu dan sifat-sifatnya, fungsi kontinu pada interval, kekontinuan seragam, serta fungsi monoton dan fungsi invers.

(3)

Buku ini masih dalam proses pengembangan dan tentunya masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis membuka diri terhadap saran dan kritik dari pembaca, demi semakin baiknya buku ini sebagai buku ajar mata kuliah wajib Analisis I.

Purwokerto, 29 Juli 2006 Penulis,

Bambang Hendriya Guswanto, S.Si., M.Si. Siti Rahmah Nurshiami, S.Si., M.Si.

(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I HIMPUNAN BILANGAN REAL 1.1 Sifat Aljabar dari

R

1.2 Sifat Terurut dari

R

1.3. Sifat Kelengkapan dari

R

1.4. Interval

1.5 Representasi Desimal dari Bilangan Real

BAB II BARISAN BILANGAN REAL 2.1 Definisi Barisan Bilangan real 2.2 Sifat-Sifat Barisan Bilangan Real 2.3 Teorema Bolzano-Weierstrass 2.4 Kriteria Cauchy

2.5 Barisan Divergen 2.6 Deret Tak Hingga

BAB III LIMIT FUNGSI 3.1 Titik Timbun

3.2 Definisi Limit Fungsi 3.2 Sifat-Sifat Limit Fungsi

BAB IV KEKONTINUAN FUNGSI 4.1 Definisi Fungsi Kontinu 4.2 Sifat-Sifat Fungsi Kontinu 4.3 Fungsi Kontinu pada Interval 4.4 Kekontinuan Seragam

4.5 Fungsi Monoton 4.6 Fungsi Invers

(5)

BAB I

HIMPUNAN BILANGAN REAL

Bab ini menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dengan sistem bilangan real sebagai suatu sistem matematika yang memiliki sifat-sifat sebagai suatu lapangan yang terurut dan lengkap. Yang dimaksud dengan sistem bilangan real sebagai suatu lapangan di sini adalah bahwa pada himpunan semua bilangan real

R

yang dilengkapi dengan operasi penjumlahan dan perkalian berlaku sifat-sifat aljabar dari lapangan. Sifat terurut dari

R

berkaitan dengan konsep kepositifan dan ketidaksamaan antara dua bilangan real, sedangkan sifatnya yang lengkap berkaitan dengan konsep supremum atau batas atas terkecil. Teorema-teorema dasar dalam kalkulus elementer, seperti Teorema Eksistensi Titik Maksimum dan Minimum, Teorema Nilai Tengah, Teorema Rolle, Teorema Nilai Rata-Rata, dan sebagainya, didasarkan atas sifat kelengkapan dari

R

ini. Sifat ini berkaitan erat dengan konsep limit dan kekontinuan. Dapat dikatakan bahwa sifat kelengkapan dari

R

mempunyai peran yang sangat besar di dalam analisis real.

Bab ini terdiri dari beberapa sub bab. Sub bab 1.1 membahas sifat lapangan dari

R

. Sub bab 1.2 menjelaskan sifat terurut dari

R

, dan di dalamnya dibahas juga tentang konsep nilai mutlak. Pada sub bab 1.3 didiskusikan tentang sifat kelengkapan dari

R

. Pada sub bab ini dibahas mengenai sifat Archimedean dan sifat kerapatan dari himpunan bilangan rasional. Selanjutnya, sub bab 1.4, menjelaskan tentang interval, sebagai suatu himpunan bagian dari

R

yang dikonstruksi berdasarkan sifat terurut dari

R

. Yang terakhir, sub bab 1.5 membahas tentang representasi desimal dari bilangan real. Pada sub bab ini, juga dipaparkan bagaimana membuktikan Teorema Cantor dengan menggunakan konsep representasi desimal dari bilangan real ini. Teorema Cantor mengatakan bahwa himpunan

R

merupakan himpunan yang tak terhitung (uncountable).

(6)

Sifat 1.1 (Sifat Aljabar dari

R

). Pada himpunan bilangan real

R

yang dilengkapi operasi penjumlahan (

+

) dan operasi perkalian (

) berlaku sifat-sifat, terhadap operasi penjumlahan :

T1.

a b

+ = +

b a

untuk setiap a,bR

T2.

(

a b

+

)

+ = +

c

a

(

b c

+

)

untuk setiap a,b,cR

T3. Terdapat elemen

0

R

sedemikian sehingga

0

+ = + =

a

a

0

a

untuk setiap

R

a

T4. Terdapat elemen

− a

R

sedemikian sehingga

− + = + −

a a

a

( )

a

=

0

untuk setiap

a

R

terhadap operasi perkalian :

K1.

a b

⋅ = ⋅

b a

untuk setiap a,bR

K2.

(

a b c

)

⋅ = ⋅

a b c

(

)

untuk setiap a,b,cR

K3. Terdapat elemen

1

R

sedemikian sehingga

1

⋅ = ⋅ =

a

a

1

a

untuk setiap

a

K4. Terdapat elemen

1

/

a

R

sedemikian sehingga

(

1/

a a

)

⋅ = ⋅

a

(

1/

a

)

=

1

untuk setiap

a

R

,

dan

D.

a b c

(

+

)

= ⋅ + ⋅

a b a c

dan

(

b c

+

)

⋅ = ⋅ + ⋅

a

b a c a

untuk setiap a,b,cR.

Sifat T1 dan K1 merupakan sifat komutatif, sifat T2 dan K2 merupakan sifat asosiatif, sifat T3 dan K3 menunjukkan eksistensi elemen identitas, dan sifat T4 dan K4 menunjukkan eksistensi elemen invers, berturut-turut masing-masing terhadap operasi penjumlahan dan perkalian. Yang terakhir, sifat D merupakan sifat distributif perkalian atas penjumlahan. Sifat T1-T4, K1-K4, dan D yang dipenuhi oleh semua elemen di

R

, menjadikan

R

dipandang sebagai suatu lapangan.

Terkait dengan elemen identitas 0 (terhadap operasi penjumlahan) dan 1 (terhadap operasi perkalian), kita memiliki fakta bahwa kedua elemen ini merupakan elemen yang unik atau tunggal. Selain itu, perkalian setiap elemen di

(7)

R

dengan elemen 0 hasilnya adalah 0. Fakta-fakta ini, secara formal matematis, dapat direpresentasikan dalam teorema berikut ini.

Teorema 1.2.

a. Jika z,aR dan

z

+ =

a

a

maka

z

=

0

.

b. Jika

u b

⋅ =

b

dengan u,bR dan

b

0

maka

u

=

1.

c.

a

⋅ =

0

0

untuk setiap

a

R

.

Bukti.

a. Berdasarkan sifat T3, T4, T2, dan hipotesis

z

+ =

a

a

,

( )

(

)

(

) ( )

( )

0

0

z

= + = +

z

z

a

+ −

a

=

z

+

a

+ −

a

= + −

a

a

=

. b. Berdasarkan sifat K1, K2, K3, dan hipotesis

u b

⋅ =

b

,

b

0

,

(

)

(

)

(

) (

)

(

)

1

1/

1/

1/

1

u

= ⋅ = ⋅

u

u b

b

=

u b

b

= ⋅

b

b

=

. c. Berdasarkan sifat K3, D, dan T3,

(

)

0

1

0

1 0

1

a

+ ⋅ = ⋅ + ⋅ = ⋅

a

a

a

a

+

= ⋅ =

a

a

.

Berdasarkan a., diperoleh bahwa

a

⋅ =

0

0

. ■

Selain fakta di atas, kita juga memiliki fakta berikut ini.

Teorema 1.3.

a. Jika a,bR,

a

0

, dan

a b

⋅ =

1

maka

b

=

1/

a

. b. Jika

a b

⋅ =

0

maka

a

=

0

atau

b

=

0

.

Bukti.

a. Berdasarkan sifat K3, K4, K2, dan hipotesis

a

0

, dan

a b

⋅ =

1

,

(

)

(

)

(

) (

)

(

)

1

1/

1/

1 1/

1/

b

= ⋅ = ⋅

b

b

a

a

=

b a

a

= ⋅

a

=

a

.

b. Andaikan

a

0

dan

b

0

. Akibatnya,

(

a b

)

(

1/

(

a b

)

)

=

1

. Berdasarkan hipotesis, yaitu

a b

⋅ =

0

, dan Teorema 1.2.c., kita memiliki bahwa

(

a b

)

(

1/

(

a b

)

)

= ⋅

0 1/

(

(

a b

)

)

=

0

,

Terjadi kontradiksi di sini, yaitu antara pernyataan

(

a b

)

(

1/

(

a b

)

)

=

1

dan

(

a b

)

(

1/

(

a b

)

)

=

0

. Dengan demikian, haruslah bahwa

a

=

0

atau

b

=

0

.■

(8)

Teorema 1.3.a. mengatakan bahwa eksistensi invers dari suatu elemen di

R

adalah unik. Sedangkan Teorema 1.3.b. mengandung arti bahwa perkalian dua elemen tak nol di

R

tidaklah mungkin menghasilkan elemen nol.

Di dalam himpunan bilangan real

R

dikenal pula operasi lain, yaitu operasi pengurangan (

) dan pembagian (

:

). Jika a,bR maka operasi pengurangan didefinisikan dengan

a b

:

= + −

a

( )

b

sedangkan operasi pembagian didefinisikan dengan

a b

: :

= ⋅

a

(

1/

b

)

,

b

0

.

1.2 SIFAT TERURUT DARI

R

Seperti yang telah disinggung pada pendahuluan bab ini, sifat terurut dari

R

berkaitan dengan konsep kepositifan dan ketidaksamaan antara dua bilangan real. Seperti apa kedua konsep tersebut? Di sini, kita akan membahasnya. Terlebih dahulu kita akan membahas konsep kepositifannya.

Sifat 1.4 (Sifat Kepositifan). Terdapat himpunan bagian tak kosong dari

R

, yang dinamakan himpunan bilangan real positif

R

+, yang memenuhi sifat-sifat : a. Jika

a

,

b

∈ R

+ maka a+bR+.

b. Jika

a

,

b

∈ R

+ maka abR+.

c. Jika

a

R

maka salah satu diantara tiga hal, yaitu a∈ R+ ,

a

=

0

, dan +

a R , pasti terpenuhi.

Sifat 1.4.c. disebut juga sebagai sifat Trichotomy. Sifat ini mengatakan bahwa

R

dibangun oleh tiga buah himpunan yang disjoin. Tiga buah himpunan tersebut adalah himpunan

{

a

:

a

R

+

}

yang merupakan himpunan bilangan real negatif, himpunan

{ }

0

, dan himpunan bilangan real positif

R

+. Himpunan

{

a

:

a

R

+

}

bisa juga dituliskan dengan

R

− . Jika a∈ R+ maka

a

>

0

dan

a

dikatakan sebagai bilangan real positif. Jika

a

∈ R

+

U

{ }

0

maka

a

0

dan

a

dikatakan

(9)

sebagai bilangan real nonnegatif. Jika a∈ R− maka

a

<

0

dan

a

dikatakan sebagai bilangan real negatif. Jika −

U

{ }

0

∈ R

a

maka

a

0

dan

a

dikatakan sebagai bilangan real nonpositif.

Penjumlahan

k

buah suku elemen 1 menghasilkan bilangan

k

. Himpunan bilangan

k

yang dikonstruksi dengan cara demikian disebut sebagai himpunan bilangan asli, dinotasikan dengan

N

. Himpunan

N

ini merupakan himpunan bagian dari himpunan

R

+. Himpunan ini memiliki sifat fundamental, yakni bahwa setiap himpunan bagian tak kosong dari

N

memiliki elemen terkecil. Sifat yang demikian disebut sebagai sifat well-ordering dari

N

.

Selanjutnya, jika kita ambil sembarang

k

N

maka − ∈k N− . Gabungan himpunan

N

,

{ }

0

, dan

{

k k

:

N

}

membentuk suatu himpunan yang disebut sebagai himpunan bilangan bulat, dinotasikan dengan

Z

. Himpunan bilangan asli

N

disebut juga sebagai himpunan bilangan bulat positif, dinotasikan dengan

Z

+

, sedangkan himpunan

{

k k

:

Z

}

disebut juga himpunan bilangan bulat negatif, dinotasikan dengan

Z

.

Dari himpunan

Z

, kita bisa mengonstruksi bilangan dalam bentuk

m n

/

, dengan

0

n

. Bilangan real yang dapat direpresentasikan dalam bentuk yang demikian disebut sebagai bilangan rasional. Sebaliknya, bilangan real yang tidak dapat direpresentasikan dalam bentuk itu disebut sebagai bilangan irasional. Himpunan bilangan rasional dinotasikan dengan

Q

. Dapat dikatakan bahwa himpunan bilangan real

R

merupakan gabungan dua himpunan disjoin, himpunan bilangan rasional dan himpunan bilangan irasional. Bilangan 2 dan 0 merupakan contoh bilangan-bilangan rasional, dan dapat ditunjukkan bahwa

2

, akar dari persamaan x2=2, merupakan contoh bilangan irasional (lihat Bartle-Sherbert [1]).

(10)

Sekarang, kita sampai kepada penjelasan tentang konsep ketidaksamaan antara dua bilangan real, sebagai salah satu konsep yang berkaitan dengan sifat terurut dari

R

.

Definisi 1.5. Misalkan a,bR.

a. Jika abR+ maka

a

>

b

atau

b

<

a

. b. Jika +

U

{ }

0

b

R

a

maka

a

b

atau

b

a

.

Sifat Trichotomy dari

R

mengakibatkan bahwa untuk sembarang a,bR berlaku salah satu dari

a

>

b

,

a

=

b

, atau

a

<

b

. Selain itu, dapat ditunjukkan bahwa jika

a

b

dan

a

b

maka

a

=

b

. Dari sifat terurut, dapat juga diperoleh fakta-fakta berikut ini.

Teorema 1.6. Misalkan a,b,cR. a. Jika

a

>

b

dan

b

>

c

maka

a

>

c

. b. Jika

a

>

b

maka

a c

+ > +

b c

.

c. Jika

a

>

b

dan

c

>

0

maka

ac

>

bc

. Jika

a

>

b

dan

c

<

0

maka

ac

<

bc

. d. Jika

ab

>

0

maka

a

>

0

dan

b

>

0

, atau

a

<

0

dan

b

<

0

.

e. Jika

ab

<

0

maka

a

>

0

dan

b

<

0

, atau

a

<

0

dan

b

>

0

.

Bukti Teorema 1.6.a-1.6.b menggunakan definisi 1.5 dan Teorema 1.6.d-1.6.e menggunakan sifat Trichotomy. Bukti Teorema tersebut ditinggalkan sebagai latihan bagi para pembaca.

Jika kita mengambil sembarang

a

>

0

maka 1

2

a

>

0

dan 1 2

0

<

a

<

a

. Hal ini mengandung arti setiap kita mengambil bilangan positif pasti selalu didapat bilangan positif lain yang lebih kecil daripadanya. Dengan kata lain, tidak terdapat bilangan positif yang terkecil. Pernyataan ini merupakan maksud dari teorema berikut ini.

(11)

Teorema 1.7. Jika

a

R

dan

0

≤ <

a

ε

untuk setiap

ε

>

0

maka

a

=

0

. Bukti. Andaikan

a

>

0

. Pilih 1

2

a

ε

=

. Kita peroleh

0

< <

ε

a

. Pernyataan ini kontradiksi dengan hipotesis bahwa

0

≤ <

a

ε

untuk setiap

ε

>

0

. Dengan demikian, haruslah bahwa

a

=

0

. ■

Sebelumnya kita telah dikenalkan dengan bilangan real nonnegatif, yaitu elemen dari himpunan +

U

{ }

0

R

. Jika

a

>

0

atau

a

=

0

maka jelas bahwa +

U

{ }

0

∈ R

a

.

Jika

a

<

0

tentunya

− >

a

0

, sehingga +

U

{ }

0

a

R

. Berdasarkan hal tersebut, akan didefinisikan apa yang disebut sebagai nilai mutlak dari suatu bilangan real. Nilai mutlak ini akan “me-nonnegatif-kan” bilangan-bilangan real.

Definisi 1.8 (Nilai Mutlak). Nilai mutlak dari bilangan real

a

, dinotasikan dengan

a

, didefinisikan dengan

,

0

:

,

0.

a a

a

a a

=

<

Dari Definisi 1.8 tersebut tampak bahwa

a

0

atau

a

adalah bilangan nonnegatif untuk setiap bilangan real

a

. Sebagai contoh,

− =

1

1

,

0

=

0

, dan

2

=

2

.

Nilai mutlak dari bilangan-bilangan real ini memiliki sifat-sifat tertentu, di antaranya seperti yang tertuang dalam fakta berikut ini.

Teorema 1.9.

a.

ab

=

a b

untuk setiap a,bR.

b. Misalkan

c

0

dan

a

R

,

a

c

jika dan hanya jika

− ≤ ≤

c

a

c

.

c. Misalkan

c

0

dan

a

R

,

a

c

jika dan hanya jika

a

c

atau

a

≤ −

c

. Bukti.

(12)

a. Jika

a

=

0

atau

b

=

0

maka

ab

=

0

=

0

dan

a b

=

0

. Jika a b, >0 maka

0

ab

>

,

a

=

a

, dan

b

=

b

, sehingga

ab

=

ab

dan

a b

=

ab

. Jika

a

>

0

dan

b

<

0

maka

ab

<

0

,

a

=

a

, dan

b

= −

b

, sehingga

ab

= −

ab

dan

( )

a b

=

a

b

= −

ab

. Untuk kasus

a

<

0

dan

b

>

0

, penyelesaiannya serupa dengan kasus sebelumnya.

b. Misalkan

a

c

. Untuk

a

0

, kita peroleh

a

= ≤

a

c

, sehingga didapat

0

≤ ≤

a

c

. Untuk

a

0

, kita peroleh

a

= − ≤

a

c

atau

a

≥ −

c

, sehingga didapat

− ≤ ≤

c

a

0

. Dengan menggabungkan hasil dari kedua kasus tersebut, kita peroleh

− ≤ ≤

c

a

c

.

Untuk sebaliknya, misalkan

− ≤ ≤

c

a

c

. Hal tersebut mengandung arti

− ≤

c

a

dan

a

c

. Dengan kata lain,

− ≤

a

c

dan

a

c

. Lebih sederhana, yang demikian dapat dituliskan sebagai

a

c

.

c. Misalkan

a

c

. Untuk

a

0

, kita peroleh

a

= ≥

a

c

. Untuk

a

0

, kita peroleh

a

= − ≥

a

c

atau

a

≤ −

c

. Dengan menggabungkan hasil dari kedua kasus tersebut, kita peroleh

a

c

atau

a

≤ −

c

.

Untuk sebaliknya, jika

a

c

atau

a

≤ −

c

maka

a

c

atau

− ≥

a

c

. Dengan kata lain,

a

c

. ■

Perhatikan kembali sifat nilai mutlak yang terdapat pada Teorema 1.9. Untuk yang bagian a., jika

a

=

b

maka

a a

=

a

2

=

a

2 . Untuk bagian b., jika

c

=

a

maka

a

≤ ≤

a

a

.

Selanjutnya, kita sampai kepada sifat nilai mutlak yang lain, yang dinamakan dengan Ketidaksamaan Segitiga. Ketidaksamaan ini mempunyai kegunaan yang sangat luas di dalam matematika, khususnya di dalam kajian analisis dan aljabar.

(13)

Teorema 1.10 (Ketidaksamaan Segitiga). Jika a,bR maka

a b

+

a

+

b

dan kesamaan terjadi atau

a b

+

=

a

+

b

jika

a

=

kb

, dengan

k

>

0

.

Bukti. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, jika a,bR maka dapat diperoleh bahwa

a

≤ ≤

a

a

dan

b

≤ ≤

b

b

. Jika kedua ketidaksamaan ini kita jumlahkan maka

(

a

+

b

)

≤ + ≤

a b

a

+

b

atau

a b

+

a

+

b

. Bukti untuk pernyataan berikutnya ditinggalkan sebagai latihan bagi para pembaca. ■

Lebih jauh, sebagai konsekuensi dari Teorema 1.10, kita memiliki akibat berikut ini.

Akibat 1.11. Jika a,bR maka

a

b

a b

dan

a b

a

+

b

.

Bukti. Perhatikan bahwa

a

= − +

a b b

. Dengan menggunakan ketidaksamaan segitiga,

a

=

(

a b

)

+

b

a b

− +

b

atau

a

b

a b

. Dengan cara yang serupa dapat kita peroleh bahwa

b

=

(

b a

)

+

a

a b

− +

a

. Akibatnya,

b

a

a b

atau

a

b

≥ − −

a b

. Akhirnya, kita memiliki

a b

a

b

a b

− − ≤

atau

a

b

a b

.

Selanjutnya, perhatikan bahwa

a b

=

a

+ −

( )

b

a

+ − =

b

a

+

b

, berdasarkan ketidaksamaan segitiga. ■

Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana konsep terurut dari

R

ini diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah-masalah ketidaksamaan.

Contoh 1.12. Tentukan himpunan penyelesaian dari ketidaksamaan

4

x

− ≥

2

6

. Penyelesaian. Perhatikan bahwa

( )

( )

4

x

− =

2

4

x

+ −

2

≥ ⇔

6

4

x

+ −

2

+ ≥ + ⇔

2

6 2

4

x

≥ ⇔ ≥

8

x

2

.

Tampak bahwa ketidaksamaan

4

x

− ≥

2

6

dipenuhi oleh semua

{

:

2

}

(14)

Contoh 1.13. Cari semua penyelesaian dari ketidaksamaan 2

6

x − <x . Penyelesaian. Perhatikan bahwa

(

)(

)

2 2

6

6

0

2

3

0

x

− < ⇔

x

x

− − < ⇔

x

x

+

x

<

.

Darinya kita peroleh bahwa

x

+ >

2

0

dan

x

− <

3 0

, atau

x

+ <

2

0

dan

x

− >

3 0

. Untuk kasus yang pertama kita dapatkan

x

> −

2

dan

x

<

3

, atau dengan kata lain

− < <

2

x

3

. Untuk kasus yang kedua kita peroleh bahwa

x

< −

2

dan

x

>

3

. Perhatikan bahwa pada kasus kedua tersebut tidak ada nilai

x

yang memenuhinya. Dengan demikian, ketidaksamaan x2− <x 6 dipenuhi oleh semua

x

{

x

R

:

2

<

x

<

3

}

. ■

Contoh 1.14. Selidiki apakah ketidaksamaan

2

2

2

3

x

x

>

+

memiliki penyelesaian.

Penyelesaian. Perhatikan bahwa

(

)

2 2 2

3

2

3

8

2

0

0

2

3

2

3

2

3

x

x

x

x

x

x

x

− −

+

> ⇔

> ⇔

>

+

+

+

.

Yang demikian berarti

3

x

− >

8

0

dan

2

x

+ >

3

0

, atau

3

x

− <

8

0

dan

2

x

+ <

3

0

. Untuk kasus yang pertama kita peroleh

x

< −

8 / 3

dan

x

> −

3 / 2

. Namun hal itu tidak mungkin terjadi, artinya tidak ada

x

yang memenuhi. Untuk kasus yang kedua kita peroleh

x

> −

8 / 3

dan

x

< −

3/ 2

, atau dengan kata lai n

8 / 3

x

3 / 2

< < −

. Jadi ketidaksamaan

2

2

2

3

x

x

>

+

memiliki penyelesaian, dan himpunan semua penyelesaiannya adalah

{

x

R

:

8

/

3

<

x

<

3

/

2

}

. ■

(15)

Penyelesaian. Berdasarkan Teorema 1.9.b.,

− <

5

2

x

+ <

1 5

atau

− <

6

2

x

<

4

. Darinya kita peroleh

− < <

3

x

2

. Jadi himpunan penyelesaiannya adalah

{

x

R

:

3

<

x

<

2

}

Bisa juga ketidaksamaan tersebut diselesaikan dengan cara lain. Perhatikan bahwa

(

)

2

1,

1/ 2

2

1

2

1 ,

1/ 2.

x

x

x

x

x

+

≥ −

+ =

+

< −

jika

jika

Penyelesaiannya dibagi menjadi dua kasus, yaitu :

Kasus I,

x

≥ −

≥ −

≥ −

≥ −

1 2

/

.

Kita peroleh

2

x

+ =

1

2

x

+ <

1 5

. Akibatnya,

2

x

<

4

atau

x

<

2

. Pada kasus ini, himpunan penyelesaian dari

2

x

+ <

1

5

adalah

{

x

R

:

x

1

/

2

} {

I

x

R

:

x

<

2

} {

=

x

R

:

1

/

2

x

<

2

}

l. Kasus II,

x

< −

< −

< −

< −1 2

/

.

Kita peroleh

2

x

+ = −

1

(

2

x

+

1

)

= −

2

x

− <

1 5

. Akibatnya,

2

x

<

6

atau

x

> −

3

. Pada kasus ini, himpunan penyelesaian dari

2

x

+ <

1

5

adalah

{

x

R

:

x

<

1

/

2

} {

I

x

R

:

x

>

3

} {

=

x

R

:

3

<

x

<

1

/

2

}

.

Penyelesaian seluruhnya dari

2

x

+ <

1

5

adalah himpunan penyelesaian kasus I digabung dengan himpunan penyelesaian kasus II. Akibatnya, kita dapatkan himpunan penyelesaian keseluruhan dari

2

x

+ <

1

5

adalah

{

x

R

:

3

<

x

<

2

}

. ■

Contoh 1.17. Tentukan himpunan penyelesaian dari

x

+

x

+ <

1

2

.

Penyelesaian. Sebelum melangkah jauh di dalam menyelesaikan ketidaksamaan tersebut, perhatikan bahwa

,

0

,

0

jika

jika

x

x

x

x

x

=

<

dan

(

)

1,

1

1

1 ,

1.

jika

jika

x

x

x

x

x

+

≥ −

+ =

+

< −

(16)

Kasus I,

x

< −

< −

< −

< −1

.

Kita peroleh

x

= −

x

dan

x

+ = −

1

(

x

+

1

)

= − −

x

1

. Akibatnya,

(

)

1

1

2

x

+

x

+ = − + − −

x

x

<

atau

2

x

<

3

atau

x

> −

3 / 2

. Pada kasus ini, himpunan penyelesaian dari

x

+

x

+ <

1

2

adalah

{

x

R

:

x

>

3

/

2

} {

I

x

R

:

x

<

1

} {

=

x

R

:

3

/

2

<

x

<

1

}

. Kasus II,

− ≤

− ≤

− ≤

− ≤

1

x

<

<

<

<

0

.

Kita peroleh

x

= −

x

dan

x

+ = +

1

x

1

. Akibatnya,

x

+

x

+ = − +

1

x

(

x

+

1

)

<

2

atau

1 2

<

. Ketidaksamaan

1 2

<

dipenuhi oleh semua

x

R

. Untuk kasus II, himpunan penyelesaian dari

x

+

x

+ <

1

2

adalah

{

x

R

:

1

x

<

0

} {

I

x

R

} {

=

x

R

:

1

x

<

0

}

. Kasus III,

x

≥ 0

.

Kita peroleh

x

=

x

dan

x

+ = +

1

x

1

. Akibatnya,

x

+

x

+ = +

1

x

(

x

+

1

)

<

2

atau

2

x

<

1

atau

x

<

1/ 2

. Untuk kasus III, himpunan penyelesaian dari

x

+

x

+ <

1

2

adalah

{

x

R

:

x

0

} {

I

x

R

:

x

<

1

/

2

} {

=

x

R

:

0

x

<

1

/

2

}

.

Dengan menggabungkan himpunan penyelesaian untuk kasus I, kasus II, dan kasus III, diperoleh seluruh nilai

x

R

yang memenuhi ketidaksamaan

1

2.

x

+

x

+ <

, yaitu

{

x

R

:

3

/

2

<

x

<

1

/

2

}

. ■

Contoh 1.18. Selidiki apakah ketidaksamaan

x

− +

3

x

+

2

4

memiliki penyelesaian.

Penyelesaian. Sebelum melangkah jauh di dalam menyelesaikan ketidaksamaan tersebut, perhatikan bahwa

(

)

3,

3

3

3 ,

3.

jika

jika

x

x

x

x

x

− =

<

dan

(

)

2,

2

2

2 ,

2.

jika

jika

x

x

x

x

x

+

≥ −

+ =

+

< −

(17)

Kasus I,

x

< −

< −

< −

< −2

.

Kita peroleh

x

3

= −

(

x

3

)

= − +

x

3

dan

x

+

2

= −

(

x

+

2

)

= − −

x

2

. Akibatnya,

(

) (

)

3

2

3

2

4

x

− +

x

+

= − +

x

+ − −

x

atau

2

x

3

atau

x

≥ −

3/ 2

. Untuk kasus ini, kita tidak mempunyai penyelesaian dari

x

− +

3

x

+

2

4

karena

{

x

R

:

x

3

/

2

} {

I

x

R

:

x

<

2

} { }

=

.

Kasus II,

− ≤

− ≤

− ≤

− ≤

2

x

<

<

<

<

3

.

Kita peroleh

x

3

= −

(

x

3

)

= − +

x

3

dan

x

+

2

= +

x

2

. Akibatnya,

(

) (

)

3

2

3

2

4

x

− +

x

+

= − +

x

+

x

+

atau

5

4

. Pernyataan ini merupakan sesuatu yang mustahil. Jadi untuk kasus ini, kita tidak mempunyai penyelesaian.

Kasus III,

x

≥ 3

.

Kita peroleh

x

3

= −

x

3

dan

x

+

2

= +

x

2

. Akibatnya,

(

) (

)

3

2

3

2

4

x

− +

x

+

=

x

+

x

+

atau

2

x

5

atau

x

5 / 2

. Untuk kasus ini, kita tidak mempunyai penyelesaian dari

x

− +

3

x

+

2

4

karena

{

x

R

:

x

3

} {

I

x

R

:

x

5

/

2

} { }

=

.

Secara keseluruhan, kita tidak memiliki solusi untuk ketidaksamaan

3

2

4

x

− +

x

+

. ■

1.3 SIFAT KELENGKAPAN DARI

R

Pada subbab ini kita akan membahas sifat ketiga dari

R

, yaitu sifat kelengkapan. Seperti yang telah dikatakan pada pendahuluan bab ini, sifat kelengkapan berkaitan dengan konsep supremum atau batas atas terkecil. Untuk itu, kita akan bahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan batas atas dari suatu himpunan bilangan real, dan kebalikannya, yaitu batas bawahnya.

(18)

Definisi 1.19. Misalkan

X

adalah himpunan bagian tak kosong dari

R

.

a. Himpunan

X

dikatakan terbatas atas jika terdapat

a

R

sedemikian sehingga

a

x

, untuk setiap

x

X

. Bilangan real

a

yang demikian disebut sebagai batas atas dari

X

.

b. Himpunan

X

dikatakan terbatas bawah jika terdapat

b

R

sedemikian sehingga

b

x

, untuk setiap

x

X

. Bilangan real

b

yang demikian disebut sebagai batas bawah dari

X

.

c. Himpunan

X

dikatakan terbatas jika

X

terbatas atas dan terbatas bawah. Himpunan

X

dikatakan tidak terbatas jika

X

tidak terbatas atas atau tidak terbatas bawah.

Sebagai contoh, perhatikan himpunan

{

x

R

:

x

>

0

}

. Setiap elemen pada himpunan

{

b

R

:

b

0

}

merupakan batas bawah dari

{

x

R

:

x

>

0

}

. Setiap kita mengambil elemen

x

{

x

R

:

x

>

0

}

maka selalu kita dapatkan bahwa

1

x

< +

x

, sedangkan

x

+

1

{

x

R

:

x

>

0

}

. Yang demikian mengandung arti bahwa tidak ada

a

R

sedemikian sehingga

a

x

, untuk setiap

{

:

>

0

}

x

x

x

R

. Jadi himpunan

{

x

R

:

x

>

0

}

terbatas bawah tetapi tidak terbatas atas, atau juga dapat dikatakan bahwa himpunan tersebut tidak terbatas.

Contoh lain, pandang himpunan

{

x

R

:

x

<

1

}

. Himpunan

{

a

R

:

a

1

}

merupakan koleksi semua batas atas dari

{

x

R

:

x

<

1

}

. Tidak ada

b

R

sedemikian sehingga

b

x

, untuk semua

x

{

x

R

:

x

<

1

}

, karena setiap kita mengambil

x

{

x

R

:

x

<

1

}

maka selalu dapat kita peroleh bahwa

x

− <

1

x

, sedangkan

x

1

{

x

R

:

x

<

1

}

. Akibatnya, himpunan

{

x

R

:

x

<

1

}

tidak mempunyai batas bawah. Jadi himpunan

{

x

R

:

x

<

1

}

terbatas atas tetapi tidak terbatas bawah, atau juga dapat dikatakan bahwa himpunan tersebut tidak terbatas.

(19)

Berdasarkan paparan sebelumnya, himpunan

{

x

R

:

0

<

x

<

1

}

memiliki batas atas dan batas bawah, atau dengan kata lain himpunan tersebut merupakan himpunan terbatas. Dari batas-batas bawahnya, kita dapat memilih batas bawah yang terbesar, yaitu elemen 0. Sedangkan dari batas-batas atasnya, kita dapat memilih batas atas yang terkecil, yaitu elemen 1. Berikut ini adalah definisi secara formal dari batas atas terkecil, disebut supremum, dan batas bawah terbesar, disebut infimum, dari suatu himpunan bilangan real.

Definisi 1.20. Misalkan

X

adalah himpunan bagian tak kosong dari

R

.

a. Misalkan

X

terbatas atas. Elemen

a

R

dikatakan supremum dari

X

jika memenuhi syarat-syarat :

(1)

a

adalah batas atas dari

X

(2)

a

v

, untuk setiap

v

, batas atas dari

X

.

b. Misalkan

X

terbatas bawah. Elemen

b

R

dikatakan infimum dari

X

jika memenuhi syarat-syarat :

(1)

b

adalah batas bawah dari

X

(2)

b

w

, untuk setiap

w

, batas bawah dari

X

.

Selanjutnya, mungkin timbul pertanyaan, apakah perbedaan antara supremum (infimum) dengan maksimum (minimum)? Contoh sebelumnya tentang himpunan

{

x

R

:

0

<

x

<

1

}

, bisa menjadi ilustrasi untuk menjelaskan hal ini. Himpunan

{

x

R

:

0

<

x

<

1

}

tidaklah mempunyai minimum dan maksimum, karena tidak ada

m

,

M

{

x

R

:

0

<

x

<

1

}

sedemikian sehingga

m

x

dan

M

x

, untuk setiap

x

{

x

R

:

0

<

x

<

1

}

. Sedangkan untuk supremum dan infimum, himpunan

{

x

R

:

0

<

x

<

1

}

memilikinya, yaitu 1 dan 0, masing-masing secara berurutan. Elemen minimum dan maksimum haruslah elemen dari himpunan yang bersangkutan, tetapi elemen infimum dan supremum tidaklah harus demikian. Jadi elemen infimum dan supremum bisa termasuk atau tidak termasuk ke dalam himpunan yang bersangkutan. Himpunan

{

x

R

:

0

x

1

}

memiliki infimum dan supremum, yaitu elemen 1 dan 0, yang termasuk ke dalam himpunan

{

x

R

:

0

x

1

}

.

(20)

Selanjutnya, kita akan memberikan formulasi lain dari definisi supremum dan infimum pada definisi 1.20. Kita mulai dengan definisi supremum. Elemen

a

adalah batas atas dari

X

ekuivalen dengan

a

x

, untuk setiap

x

X

. Pernyataan

a

v

, untuk setiap

v

, batas atas dari

X

, mengandung arti bahwa jika

z

<

a

maka

z

adalah bukan batas atas dari

X

. Jika

z

adalah bukan batas atas dari

X

maka terdapat

x

z

X

sedemikian sehingga

x

z

>

z

. Jadi kita mempunyai fakta bahwa jika

z

<

a

maka terdapat

z

x

X

sedemikian sehingga

x

z

>

z

. Selanjutnya, jika diberikan

ε

>

0

maka

a

− <

ε

a

. Dengan menggunakan fakta sebelumnya, maka terdapat

x

ε

X

sedemikian sehingga

x

ε

> −

a

ε

. Jadi kita memperoleh fakta baru, yang ekuivalen dengan fakta sebelumnya, yaitu untuk setiap

ε

>

> 0

>

>

terdapat

x

ε

X

sedemikian sehingga

x

ε

> −

> −

> −

> −

a

ε

. Dengan demikian kita memperoleh fakta-fakta yang ekuivalen dengan definisi 1.20.

Teorema 1.21. Elemen

a

R

, batas atas dari

X

, himpunan bagian tak kosong dari

R

, adalah supremum dari

X

jika dan hanya jika apabila

z

<

a

maka terdapat

x

z

X

sedemikian sehingga

x

z

>

z

.

Teorema 1.22. Elemen

a

R

, batas atas dari

X

, himpunan bagian tak kosong dari

R

, adalah supremum dari

X

jika dan hanya jika untuk setiap

ε

>

0

terdapat

x

ε

X

sedemikian sehingga

x

ε

> −

a

ε

.

Fakta-fakta serupa yang berkaitan dengan elemen infimum adalah sebagai berikut.

Teorema 1.23. Elemen

b

R

, batas bawah dari

X

, himpunan bagian tak kosong dari

R

, adalah infimum dari

X

jika dan hanya jika apabila

z

>

b

maka terdapat

x

z

X

sedemikian sehingga

x

z

<

z

.

(21)

Teorema 1.24. Elemen

b

R

, batas bawah dari

X

, himpunan bagian tak kosong dari

R

, adalah infimum dari

X

jika dan hanya jika untuk setiap

ε

>

0

terdapat

x

ε

X

sedemikian sehingga

x

ε

< +

b

ε

.

Bukti Teorema 1.23 dan Teorema 1.24 ditinggalkan sebagai latihan bagi para pembaca.

Selanjutnya, mungkin kita mempertanyakan apakah elemen supremum atau infimum tunggal atau tidak. Mari kita kaji masalah ini. Misalkan u,vR adalah supremum dari himpunan yang terbatas atas

U

. Untuk menunjukkan bahwa supremum dari

U

adalah tunggal, berarti kita harus menunjukkan bahwa

u

=

v

. Untuk menunjukkannya, perhatikan bahwa

u

w

dan

v

w

, untuk setiap

w

, batas atas dari

U

. Karena

u

dan

v

juga batas atas dari

U

, kita memiliki

u

v

dan

v

u

. Yang demikian berarti

u

=

v

atau supremum dari

U

adalah tunggal. Dengan mudah, dapat pula kita tunjukkan bahwa infimum dari suatu himpunan yang terbatas bawah juga tunggal.

Berdasarkan semua penjelasan pada subbab ini, kita mempunyai suatu aksioma yang sangat esensial. Aksioma inilah yang dimaksud dengan sifat Kelengkapan dari

R

, atau biasa juga disebut sifat supremum dari .

Aksioma 1.25 (Sifat Kelengkapan dari

R

). Setiap himpunan bagian dari

R

yang terbatas atas memiliki supremum di

R

.

Aksioma tersebut mengatakan bahwa

R

, digambarkan sebagai himpunan titik-titik pada suatu garis, tidaklah “berlubang”. Sedangkan himpunan bilangan-bilangan rasional

Q

, sebagai himpunan bagian dari

R

yang juga memenuhi sifat aljabar (lapangan) dan terurut, memiliki “lubang”. Inilah yang membedakan

R

dengan

Q

. Karena tidak “berlubang” inilah,

R

, selain merupakan lapangan terurut, juga mempunyai sifat lengkap. Oleh karena itu,

R

disebut sebagai lapangan terurut yang lengkap. Penentuan supremum dari himpunan

{

:

0

,

2

}

:

=

t

t

t

2

<

T

Q

bisa dijadikan ilustrasi untuk menjelaskan terminologi

(22)

akar dari persamaan 2 2

x = , bukanlah bilangan rasional. Bilangan

2

ini merupakan salah satu “lubang” pada

Q

. Maksudnya, supremum dari

T

Q

adalah

2

yang bukan merupakan elemen dari

Q

. Sehingga dapat dikatakan bahwa aksioma kelengkapan tidak berlaku pada

Q

. Tetapi jika kita bekerja pada

R

, yang demikian tidak akan terjadi.

Sekarang, misalkan

V

adalah himpunan yang terbatas bawah, artinya terdapat

R

l

sedemikian sehingga

l

x

, untuk setiap

x V

. Darinya, kita memperoleh bahwa

− ≥ −

l

x

, untuk setiap

x V

. Dengan demikian, himpunan

{

x x V

:

}

terbatas atas. Menurut Aksioma 1.25., himpunan

{

x x V

:

}

memiliki supremum. Misalkan

s

adalah supremum dari

{

x x V

:

}

. Yang demikian berarti

s

≥ −

x

, untuk setiap

x V

, dan

s

r

, untuk setiap

r

, batas atas dari

{

x x V

:

}

. Darinya, kita memiliki

− ≤

s

x

, untuk setiap

x V

, dan

− ≥ −

s

r

, untuk setiap

r

, batas atas dari

{

x x V

:

}

. Dapat ditunjukkan bahwa

r

batas atas dari

{

x x V

:

}

jika dan hanya jika

r

adalah batas bawah dari

V

. Jadi kita memiliki

− ≤

s

x

, untuk setiap

x V

, dan

− ≥

s

t

, untuk setiap

t

, batas bawah dari

V

, atau dengan kata lain,

s

adalah infimum dari himpunan

V

. Berdasarkan penjelasan tersebut, kita memiliki hal yang serupa dengan Aksioma 1.25, yaitu bahwa setiap himpunan bagian dari

R

yang terbatas bawah memiliki infimum di

R

.

Contoh 1.26. Tentukan supremum dari himpunan

S

=

{

x

R

:

x

<

1

}

.

Penyelesaian. Kita klaim terlebih dahulu bahwa sup

S

, supremum dari

S

, adalah 1. Klaim kita benar jika dapat ditunjukkan bahwa :

1. Batas atas dari

S

adalah 1, atau

x

1

, untuk setiap

x

S

. 2.

v

1

, untuk setiap

v

, batas atas dari

S

.

Jelas bahwa 1 adalah batas atas dari

S

. Selanjutnya, misalkan

v

<

1

. Perhatikan elemen

1/ 2

+

v

/ 2

. Dapat ditunjukkan bahwa

v

<

1/ 2

+

v

/ 2 1

<

. Artinya, setiap elemen

v

<

1

bukanlah batas atas dari

S

. Jelas bahwa

v

batas atas dari

S

jika

(23)

dan hanya jika

v

1

. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa 1 merupakan batas atas terkecil dari

S

. Dengan demikian, 1 merupakan supremum dari

S

.

Selanjutnya, kita akan menggunakan Teorema 1.21 untuk menunjukkan 1 adalah supremum dari

S

. Jika

v

<

1

, berdasarkan pembahasan tadi, dengan memilih

1/ 2

/ 2

v

s

=

+

v

, kita peroleh bahwa

s

v

S

dan

v

<

s

v . Jadi 1 merupakan

supremum dari

S

.

Kita akan coba cara lain untuk menunjukkan bahwa 1 merupakan supremum dari

S

, seperti yang tertulis pada Teorema 1.22. Diberikan

ε

>

0

. Di sini kita akan memilih apakah ada

s

ε

S

sedemikian sehingga

1

− <

ε

s

ε (pemilihan

s

ε yang demikian tidaklah unik). Jika kita memilih

s

ε

= −

1

ε

/ 2

maka kita memperoleh apa yang kita harapkan, karena jelas bahwa

s

ε

= −

1

ε

/ 2 1

<

, atau dengan kata lain

s

ε

S

dan

1

− <

ε

s

ε

= −

1

ε

/ 2

. Yang demikian selalu mungkin untuk sembarang

0

ε

>

yang diberikan. Jadi memang 1 adalah supremum dari

S

. ■

Contoh 1.27. Tentukan infimum dari

I

=

{

x

R

:

x

>

0

}

.

Penyelesaian. Kita klaim terlebih dahulu bahwa inf

I

, infimum dari

I

, adalah 0. Klaim kita benar jika dapat ditunjukkan bahwa :

1. Batas bawah dari

I

adalah 0, atau

0

x

, untuk setiap

x

I

. 2.

w

0

, untuk setiap

w

, batas bawah dari

I

.

Jelas 0 merupakan batas bawah dari

I

. Berikutnya, misalkan

w

>

0

. Perhatikan bahwa

0

<

w

/ 2

<

w

. Di sini

w

/ 2

I

. Artinya, jika

w

>

0

maka

w

bukan batas bawah dari

I

. Jelas bahwa

w

0

jika dan hanya jika

w

adalah batas bawah dari

I

. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa 0 adalah batas bawah terbesar dari

I

.

Berikutnya, kita akan menggunakan Teorema 1.23 untuk menunjukkan 0 adalah infimum dari

I

. Misalkan

w

>

0

. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dengan

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan satu arah pada variabel M1 dan M2 dan hubungan dua arah variabel M0 menunjukkan pada penelitian ini hasil kausalitas granger mendukung tidak terjadinya fenomena

Komitmen organisasi (X2) secara parsial (individu) menunjukkan hasil perhitungan statistik lebih dominan dari pada variabel religiusitas (X1), dengan.. Maka hipotesis ini

Ukur jabat tangan kita dengan kekuatan orang yang tangannya kita jabat. ✓ Pompa tangan lawan bicara satu atau dua

Hasil wawancara kepada 10 responden yang dipilih secara purpossive, dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok dalam (Kepala Dinkes, Kabid.. Promosi Kesehatan dan

Bahkan ajaran Syekh Siti Jenar menolak mentah-mentah kitab suci sebagai sumber ilmu, seperti kepercayaan yang menyebar di kalangan Sufi ekstrem.. Munir

Berdasarkan hasil pengujian SPK ini menunjukkan bahwa penggabungan metode SAW dan TOPSIS pada aplikasi ApeMDos yang dibangun mampu membantu proses pengambilan

Berdasarkan hasil uji Partial Adjustment Model (PAM) menunjukkan bahwa variabel tingkat suku bunga dalam jangka panjang dan jangka pendek menunjukkan pengaruh negatif dan

Hasil penelitian menunjukkan : (1) terdapat kontribusi variabel program pelatihan, gaya kepemimpinan, kepuasan terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah KKMA 02 Kabupaten Jepara