• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBARUAN ADMINISTRASI DAN BIROKRASI (Sebuah Era Perubahan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBARUAN ADMINISTRASI DAN BIROKRASI (Sebuah Era Perubahan)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

RUANG UTAMA

Pendahuluan

Organisasi akan sukses dalam mencapai tujuannya dengan dukung-an alat, yaitu administrasi ydukung-ang efektif dan administrasi yang efisien dapat memberikan peran yang besar bagi suksesnya suatu organisasi yang akhirnya mengarah pada kemakmur-an dkemakmur-an kesejahterakemakmur-an rakyat. Perkemakmur-an administrator adalah sebagai agen pembaruan (agent of change). Menurut Soesilo Zauhar1) bahwa reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah: (a) Struktur dan prosedur birokrasi; (b) Sikap dan perilaku birokrat (aspek perilaku) guna me-ningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya pem-bangunan nasional.2) Pembaruan (reinvention) tidak hanya kata lain dari

reformasi, dan bukan sinonim dengan kata perampingan, swastanisasi, atau sekedar menekan pemborosan dan kecurangan. Pembaruan menciptakan entrepreneur minded dalam orga -nisasi pemerintah yang mendorong pembaruan diri terus menerus.

Arah kecenderungan dalam perkembangan Ilmu Administrasi Negara dewasa ini menuju keempat arah.

1. Teori administrasi kearah re-organisasi dan manajemen publik dengan titik berat bagaimana suatu negara dapat melak -sanakan kegiatannya untuk men-capai titik efisiensi tertinggi. 2. Kecenderungan ke arah kebijakan

negara (public policy).

3. Ke arah pengembangan teori birokrasi yang mencoba melihat bagaimana menghadapi birokrat memiliki kesejajaran dengan

PEMBARUAN ADMINISTRASI DAN BIROKRASI

(Sebuah Era Perubahan)

Irawati

Abstract

Public administration is the way in which the policy of a state or country is put into practice through its government. There were changes in public sector within the last few years, it was not happening by itself, but as response to some things, such as the pressure on public sector, the change in economic theory, and influence of change on private sector, especially globalization as the economic power. The more positive perspective is the opinion of Osborne and Gaebler which considering that government should be reinvented.

(2)

11 masyarakat (kedudukan warga negara).

4. Ke arah teori-teori sektor publik yakni usaha-usaha melakukan perbaikan mengenai pelayanan terhadap hajat hidup orang banyak.

Perkembangan yang melibatkan sektor swasta terbatas pada kerugian pihak-pihak lain dalam swasta tetapi belum menimbulkan keinginan ter-tentu dalam administrasi negara. Prinsipnya setiap layanan harus memuaskan yang dilayani, sehingga pemuasannya menjadi penting sehingga disebut memanfaatkan energi sosial. Semakin ke bawah menuju pada pelayanan secara demokrasi jadi dalam energi sosial ada empowering (pemberdayaan). Jadi masyarakat bukan sebagai obyek tetapi juga sebagai subyek. Administrasi dan Birokrasi

Istilah administrasi muncul dikarenakan kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial untuk bekerjasama. Kenyataan dalam menyadari manfaat kerjasama adalah dengan kegiatan kolektif ini dapat memperoleh sesuatu yang tidak dapat dicapai seorang diri. Dengan adanya kerjasama berarti ada pembagian kerja antara sesama anggotanya yang diperlukan karena adanya keterbatasan yang dimiliki manusia yang disebabkan oleh perbedaan kemampuan, sifat dan kapasitas sebagai individu.

Kajian administrasi selain sebagai ilmu (science) juga sebagai seni (art). Administrasi dipandang sebagai ilmu karena administrasi memiliki subject matter yang tersusun dengan rapi dan terorganisir dengan

baik. Administrasi juga dapat disebut sebagai ilmu terapan (applied science) disebabkan administrasi menggunakan ilmu dasar baik yang eksak maupun non eksak (walau penekanan utama pada non eksak). Administrasi sebagai seni karena dalam mengimplementasikannya menggunakan skill yang mencermin-kan kemampuan individual, Seperti yang dikemukakan oleh Siagian3) bahwa administrasi itu selain sebagai artistic science juga sebagai scientific art. Administrasi memerlukan etika dalam melayani kepentingan ma-syarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Plato mengatakan bahwa one can not be a good public admi-nistrator without being first a phi-losoper4). Menurut Plato, untuk menjadi administrator negara yang baik pertama-tama seseorang harus menjadi filosof dahulu. Karena dengan begitu maka ia akan cinta kebenaran, segala keputusannya di-dasarkan pada pertimbangan-pertim-bangan filosofis yang benar, sehingga keputusan yang diambil tidaklah me-rugikan rakyat. Hal demikian dikare-nakan keputusan yang adil adalah sarat kebijakan dan kebijakan yang dimiliki oleh seorang filosof.

Studi tentang administrasi dan praktik birokrasi pemerintahan di Indonesia selama ini mengalami tingkat fluktuatif yang tinggi sesuai dengan perkembangan, perubahan, dan setting politik yang terjadi. Pada zaman Orde Baru, birokrasi diarahkan sebagai alat negara (the tool of state) untuk mempertahankan kekuasaan dan layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Implikasi lebih lanjut, wajah birokrasi pemerintah

(3)

12 pada masa itu lebih sebagai abdi negara dari pada sebagai pelayan masyarakat (public service). Per-geseran dari alat negara ke pelayan masyarakat sampai saat ini belum menunjukkan perbaikan yang ber-arti. Akuntabilitas pelayanan publik dan pemberantasan korupsi di semua level birokrasi merupakan salah satu indikator keberhasilan reformasi biro-krasi. Bila diamati secara seksama, reformasi birokrasi di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Indikasi utama adalah buruknya pelayanan publik dan masih maraknya perkara korupsi. Secara umum dapat dikatakan reformasi birokrasi di Indonesia yang sudah dilakukan selama ini belum berhasil.

Ciri birokrasi menurut Weber5) adalah: pertama, berbagai aktivitas reguler yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajiban-kewajiban resmi. Kedua, organisasi kantor-kantor mengikuti prinsip hierarki, yaitu setiap kantor yang lebih rendah berada di bawah kontrol dan pengawasan kantor yang lebih tinggi. Ketiga, operasi-operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah-kaidah abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan kaidah-kaidah ini terhadap kasus-kasus spesifik. Keempat, pejabat yang ideal menjalankan kantornya berdasarkan impersonalitas formalistik tanpa kebencian atau kegairahan dan karenanya tanpa antusiasme atau afeksi. Birokrasi pemerintahan seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat, yaitu suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah pejabat. Di dalamnya terdapat yurisdiksi dimana setiap

pejabat memiliki official duties. Me-reka bekerja pada tatanan hierarki dengan kompetensinya masing-masing.

Pada 1992, terdapat koreksi terhadap paradigma birokrasi modern Weber yang hirarkis. Disarankan untuk berubah menjadi birokrasi yang memperhatikan partisipasi, kerja tim dan kontrol rekan kerja (peer group), bukan lagi dominasi oleh kontrol atasan.6) Paradigma birokrasi yang baru antara lain:

1. Catalytic government: steering rather than rowing . Pemerintah sebagai katalis, lebih baik menyetir daripada mendayung. Pemerintah dan birokrasinya disarankan untuk melepaskan bidang -bidang atau pekerjaan yang sekiranya sudah dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri;

2. Community-owned government: empoweri ng rather than serving. Pemerintah adalah milik masya-rakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani. Pemerintah dipilih oleh wakil masyarakat, karenanya menjadi milik masya-rakat. Pemerintah akan bertindak lebih utama jika memberikan pem-berdayaan kepada masyarakat untuk mengurus masalahnya secara mandiri, daripada menjadi -kan masyarakat tergantung ter-hadap pemerintah;

3. Competitive government: injecting competition into service deliver y. Pemerintahan yang kompetitif adalah pemerintahan yang me-masukan semangat kompetisi di dalam birokrasinya. Pemerintah perlu menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan

(4)

pendamping-13 an dan penyediaan regulasi dan barang -barang kebutuhan publik.

Sementara Hegel7) berpendapat bahwa birokrasi adalah medium yang dapat dipergunakan untuk meng-hubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general. Di lain sisi Karl Marx8) memandang birokrasi dalam kerangka perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan pengembang-an komunisme. Walaupun Karl Marx dapat menerima pemikiran Hegel, tetapi Marx berpendapat bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan ke-kuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain, birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi ter-sebut. Birokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Atau dalam definisi lain birokrasi adalah cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan yang banyak liku-likunya. Good governance sering diartikan sebagai indikator terealisasikannya reformasi birokrasi dengan terpenuhinya prinsip-prinsip seperti, partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, kepedulian kepada stakeholder, berorientasi kepada konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis.

Pelayanan Publik dan Reformasi Buruknya pelayanan publik di Indonesia antara lain disebabkan ketiadaan perangkat hukum yang

mengatur standarisasi pelayanan publik yang harus dipenuhi. Ham-batan dalam reformasi birokrasi juga datang dari organisasi birokrasi itu sendiri yang rata-rata cenderung menunjukkan perilaku yang korup. Dengan kata lain, korupsi meng-hambat birokrasi untuk melakukan pelayanan publik. Celakanya, korupsi bukan hanya dilakukan oleh aparat birokrasi saja tetapi juga oleh masyarakat (internal dan eksternal). Birokrasi merupakan institusi yang menggerakkan pembangunan, tanpa peran birokrasi, nampaknya pem-bangunan akan mengalami stagnasi dan mungkin kehilangan arah. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi internal melalui reformasi birokrasi di berbagai bidang strategi seperti proses rekrutmen pegawai yang ketat, perbaikan kesejahteraan, mekanisme kerja yang transparan, adanya reward merit system (mem-berikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bu-kan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif) belum mampu membuat konstruksi birokrasi yang berorientasi kepada pelayanan publik secara efektif dan efisien. Konteks reformasi didefinisikan se-bagai perubahan radikal untuk per-baikan di berbagai bidang dalam suatu masyarakat atau negara. Dengan demikian reformasi birokrasi adalah perubahan radikal dalam bidang sistem pemerintahan. Susun-an birokrasi pemerintah bukSusun-an hSusun-anya diisi oleh para birokrat karier tetapi juga pejabat politik. Menurut teori liberal, birokrasi pemerintah men-jalankan kebijakan-kebijakan peme-rintah yang mempunyai akses lang-sung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan

(5)

14 umum. Dengan demikian birokrasi pemerintah itu bukan hanya diisi oleh para birokrat, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik.8) Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pemimpin politik dari partai politik tertentu saja melainkan ada juga pemimpin birokrasi karier profesional. Ketika keinginan memasukkan pe-jabat politik dalam birokrasi pe-merintah itu timbul, maka timbul pula suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini harus dijernihkan dengan jawaban yang tepat. Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (tetap) antara fungsi kontrol dan dominasi.9) Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi siapa. Persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi. Sehingga karenanya, kemudian timbul dua bentuk alternatif solusi yang utama, yakni apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik (bureaucratic ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation atau attempt at co-equality with the executive). Bentuk solusi executive ascendancy diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu didasarkan atas kepercayaan bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari

Tuhan atau berasal dari rakyat atau berasal dari public interest. Sup-remasi mandat ini dilegitimasikan melalui pemilihan, atau kekerasan, atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model sistem liberal, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya (political leadership) kepada birokrasi. Ke-kuasaan untuk melakukan kontrol seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai overhead democracy.10)

Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi ini, sebenarnya dipacu oleh dikotomi antara politik dan administrasi yang merupakan suatu doktrin yang pengaruhnya dimulai sejak penemuan administrasi negara sebagai suatu ilmu.11) Pemikiran tentang supremasi ke-pemimpinan pejabat politik atas birokrasi itu timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi, dan adanya asumsi tentang super-ioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi. Slogan klasik pernah juga ditawarkan bahwa manakala fungsi politik berakhir maka fungsi administrasi itu mulai (when politic end, administration begin).12) Diko -tomi antara politik dan administrasi ini juga diakibatkan karena adanya kesalahan perubahan referensi dari fungsi ke struktur, dari perbedaan antara pembuatan kebijakan (policy making) dan pelaksanaan (imple-mentation), antara pejabat politik dan pejabat karier birokrasi.13) Adapun bureaucratic sublation didasarkan atas anggapan bahwa birokrasi pemerintah sesuatu negara itu bukanlah hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana. Weber sendiri mengenalkan bahwa birokrasi yang riil itu mempunyai kekuasaan yang

(6)

15 terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Hal tersebut didasarkan pada fakta bahwa sejarah birokrasi di Indonesia memiliki penilaian yang buruk, khususnya semasa Orde Baru, dimana birokrasi menjadi mesin politik. Efeknya, masyarakat harus membayar biaya yang mahal untuk satu jenis layanan, ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang ber-tanggung jawab. Hal tersebut merupakan fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan. Kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Pada zaman orde baru, birokrasi menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Zaman pasca reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan non-karier. Sikap mental

seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali ke-pada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa Orde Baru.

Secara mendasar, birokrasi Indonesia masih terkesan sulit untuk direformasi. Beberapa persoalan birokrasi antara lain, pertama, mentalitas mayoritas aparat birokrasi (baik pusat atau daerah) belum berorientasi pada pelayanan publik. Kondisi ini disebabkan masih kuatnya mentalitas aparat publik yang lama, sementara aparat publik yang baru belum mampu mengubah budaya kerja di unit kerjanya. Kedua, pemerintah pusat terkesan belum ikhlas memberikan keleluasaan pada birokrat di daerah dalam upaya memacu perkembangan daerahnya. Pada kasus ini, pemerintah pusat selalu memonitor dan mensupervisi setiap perda-perda di tingkat daerah. Ketiga, birokrasi sering macet karena berhadapan dengan benang kusut politik. Birokrasi tidak akan bisa bekerja dalam situasi politik yang kurang kondusif. Dalam kondisi demikian, banyak produk politik yang terasa aneh dan menjadikan birokrasi sebagai “kambing hitam” dalam penyelenggaraan urusan publik. Keempat, birokrasi kurang berfungsi karena pernyataan visi dan misi yang tidak konsisten. Hal ini diperparah dengan daerah yang kurang mampu membuat prioritas dalam meng-eksplorasi potensi daerah. Akibatnya birokrasi kurang terfokus dalam memberikan pelayanan publik. Kelima, kepemimpinan birokrat yang lemah. Birokrasi di era reformasi cenderung lentur seiring dengan demokratisasi dalam masyarakat. Dengan demikian gaya kepemim-pinan tetap berperan di sini.

(7)

Ke-16 pemimpinan para birokrat kita selama ini masih menggunakan konsep lama, kurang fleksibel. Akibatnya, mesin birokrasi juga kurang berfungsi dengan baik. Keenam, birokrat di daerah masih berorientasi ke dalam (jago kandang) sehingga belum terbuka untuk bersaing dengan daerah lain melalui inovasi, sehingga memiliki nilai tambah. Problem birokrasi seperti ini akan menghambat kemajuan, baik di pusat atau di daerah. Persaingan dengan menge-depankan potensi yang dimiliki daerah menjadi pemicu dan pemacu bagi konstituen asing agar bersedia berinvestasi di daerahnya. Selama ini calon investor masih mengeluhkan regulasi dan birokrasi dalam hal perizinan yang dinilai amat me-repotkan.

Penutup

Administrasi negara pada hakekatnya adalah dapat diartikan antara lain sebagai fungsi atau aktivitas pemerintah yang mengurus kepentingan negara, dengan demi-kian tujuan dari administasi negara adalah untuk meningkatkan ke-sejahteraan dan kemakmuran rakyat dengan melaksanakan pelayanan publik. Pelayanan publik yang baik dan masyarakat mendapatkan ke-puasan dari pelayanan tersebut merupakan kata kunci dan tantangan birokrasi. Dewasa ini, birokrasi ber-hadapan dengan mekanisme pasar yang bersifat terbuka. Fenomena ini merupakan tuntutan jaman dalam era persaingan bebas. Setiap daerah perlu mencontoh reformasi birokrasi yang dilakukan oleh daerah-daerah yang telah berhasil sehingga tidak perlu lagi bicara tentang konsep

reformasi birokrasi. Persoalannya tidak berada pada konsep lagi, tetapi sudah pada tindakan riil untuk melakukan reformasi atau tidak. Reformasi birokrasi harus tetap berorientasi kepada demokratisasi. Birokrasi harus tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi lokal, dengan adanya otonomi daerah seorang administrator perlu mengkaji, meneliti potensi daerah dengan perencanaan, implementasi, dan evaluasi terus menerus dikarenakan kondisi yang selalu berubah meng-ikuti perkembangan zaman sehingga birokrasi akan mengakar kuat. Seiring dengan itu, demokratisasi yang terus berproses di tengah masyarakat harus menjadi orientasi birokrasi yang akan dibentuk. Dengan demikian, birokrasi berjalan seiring dengan benih demokrasi di daerah. Dengan menguatnya demokrasi di daerah serta kemampuan dalam menjalan-kan birokrasi yang ada, maka pada level yang lebih besar akan meng-gerakkan birokrasi yang ada di pemerintah pusat. Bila ini terjadi dengan cepat, maka kewenangan pusat di daerah pun akan mengecil karena daerah telah menjalankan fungsi birokrasi dengan baik. Untuk mempercepat reformasi birokrasi dan kelihatan hasilnya, maka birokrasi harus bekerja dengan skala prioritas, ukuran yang jelas, serta mengikuti tahapan yang sudah ditetapkan.

Dalam administrasi negara baru dalam birokrasi mementingkan visi dalam wirausaha. Birokrat sebagai seorang driver (pengemudi) dan pendayung harus dapat menimbulkan inovasi yang orisinil, rutin dan spontan jadi menghasilkan nilai yang riil atau nyata dalam mencapai efisiensi. Buku "Mewirausahakan

(8)

Bi-17 rokrasi" yang cukup terkenal di Indonesia, David Osborne menekan-kan pentingnya efisiensi birokrasi untuk menekan anggaran yang harus dibelanjakan pemerintah. Juga pentingnya memberikan pelayanan yang lebih baik kepada warga masyarakat dengan anggaran yang jauh lebih sedikit. Efisiensi menjadi salah satu kunci penting dalam pelayanan masyarakat. Untuk tujuan efisiensi itulah dikenalkan gagasan mewirausahakan birokrasi. Dengan gagasan tersebut, para birokrat pegawai pemerintah diharapkan bisa berpikir, bersikap dan bertindak inovatif serta kreatif untuk me-ningkatkan pelayanan kepada ma-syarakat tanpa harus menambah anggaran. Mereka harus mampu memperbaiki kinerja birokrasi (termasuk sekolah negeri) tanpa harus menambah beban ekonomi masyarakat. Salah satu caranya adalah melakukan efisiensi dan optimalisasi fasilitas birokrasi. Ke-mitraan menjadi penting, termasuk kemitraan dengan masyarakat. Tetapi bukan kemitraan yang menjurus kepada ekslusivisme kelompok kaya dan meminggirkan mereka yang miskin. Mewirausahakan Birokrasi (reinventing government), yang dimaksud disini adalah melibatkan peran swasta dalam pelayanan kepada publik. Bukan usaha pemerintah dalam privatisasi atau mencari keuntungan, tapi bermitra dengan swasta dalam usaha melayani masyarakat.

Referensi

Albrow, Martin. 1989. Birokrasi. (terj. M. Rusli Karim dan Totok

Daryanto), Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bovaird, Tony & Loffler, Elke. 2004. Public Management and Gover-nance. New York: McGraw Hill. Carino, Ledivina V. 1994. Bureau

-cracy for Demo-cracy, the Dy-namics of Executive Bureau-cracy Interaction during Go-vernmental Transitions. College of Public Administration: Uni-versity of the Philippines. Fredickson, George. 1997. The Spirit

of Public Administration. San Fransisco: Jossey Bass. Hill, Larry B. (edts). 1992. The State

of Public Bureaucrac. New York: ME Sharpe, Inc. Armonk. Jackson, Karl D. 1978. Bureaucratic

Polity: A Theoritical Framework for the Analysis of Power and Communications in Indonesia, dalam Lucian W. Pye (eds). Political Power and Commu-nications in Indonesia. Berkeley: University of California Press. Kirwan, Kent A. 1987. “Woodrow

Wilson and the Study of Public Administration-Respond to Van Riper”, in Administration and Society, 18., pp. 389-401. Osborne, David & Gaebler, Ted.

1995. Mewirausahakan Biro-krasi, (terjemahan) Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Osborne, David & Plastrik, Peter.

2000. Memangkas Birokrasi, (ter-jemahan) Jakarta: PPM.

(9)

18 Redford, Emmette S. 1969.

Democrcay in the Administrative State. New York: Oxford University Press.

S.P, Siagian. 1973. Filsafat Ad-ministrasi. Jakarta: Gunung Agung.

Weber, Max. 1947. The Theory of Social and Economic Organi-zation, (translated by Talcott Parsons). New York: The Free Press.

Wilson, Woodrow. 1987. “The Study of Public Administration” in Political Science Quarterly, 2 June 1987, pp. 197.

Zauhar, Soesilo. 1994. Reformasi Administrasi (Konsep, Dimensi dan Strategi). Jakarta: Bumi Aksara

(1) Soesilo Zauhar. 1994. Reformasi Administrasi (Konsep, Dimensi dan Strategi). Jakarta: Bumi Aksara

(2) David Osborne & Peter Plastrik. 1996. Banishing Bureaucracy: the five strategies for reinventing government. Buku ini dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia (penerjemah: Abdul Rosyid): David Osborne dan Peter Plastrik.2000. Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Jakarta: PPM.

(3) S.P. Siagian.Filsafat Administrasi 1973. Jakarta: Gunung Agung.

(4) Edgar Gallant, Codes of Behavior for Public Sevants: A Canadian Experience, Makalah Disampaikan pada Konferensi ASPA, San Fransisco, April 1980. (5) Max Weber. 1947. The Theory of Social and Economic Organization., (translated by Talcott Parsons). New York: The Free Press.

(6) David Osborne & Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government, pp. ix. Buku ini dialibahasakan ke dalam bahasa Indonesia: David Osborne dan Ted Gaebler. 1995. Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

(7) Ledivina V. Carino. 1994. Bureau-cracy for DemoBureau-cracy, the Dynamics of Executive Bureaucracy Interaction During Governmental Transitions. College of Public Administration: University of the Philippines.

(8) Ibid (9) Ibid

(10) Emmette S. Redford. 1969. Democrcay in the Administrative State. New York: Oxford University Press. (11) Woodrow Wilson. 1987. “The study of Public Administration” in Political Science Quarterly, 2 June 1887, pp. 197. (

12) Kent A. Kirwan. 1987. “Woodrow Wilson and the Study of Publcic Administration-Respond to Van Riper”, in Administration and Society, 18, pp 389-401.

(13)Tony Bovaird & Elke Loffler. 2004. Public Management and Governance. New York: McGraw Hill

Referensi

Dokumen terkait

Psikologi fenomenologis atau yang biasa disebut psikologi )murni* merupakan  bagian dari filsafat yang menggunakan metode fenomenologis untuk menjelaskan

 Tenaga kesehatan yang kontak dengan pasien curiga Covid-19 harus menggunakan gown, sarung tangan, masker medis, dan proteksi mata (menggunakan googles atau

 Konsep rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya melakukan dan bertanggungjawab dalam kegiatan pembudidayaan,

Tujuan penelitian ini adalah (a) mengidentifikasi program atau kegiatan yang dilaksanakan dunia usaha dalam kaitannya dengan CSR; (b) melakukan analisis terhadap

Nilai wajar menjadi sasaran pengukuran dengan nilai sekarang aliran kas karena terdapatnya faktor yang membedakan secara ekonomik aliran-aliran kas masa datang yang berbeda saat

Dengan dua siklus, penelitian yang dilakukan dikelas X-MIPA-3 SMA Negeri 14 Semarang dan dari analisis data-data diperoleh kesimpulan bahwa pembelajaran melalui metode

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung jeroan ikan patin ( Pangasius hypopthalmus ) sebagai pengganti tepung ikan komersial dalam ransum hingga

6. Pengurus FLKM menghapkan agar informasi dari pemerintah Kota Salatiga secepatnya dapat diinformasikan kepada masyarakat, tidak ada kesan lambat, tidak