• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEROEPIDEMIOLOGI PENYAKIT DISTEMPER PADA ANJING DI JAWA BARAT DAN DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEROEPIDEMIOLOGI PENYAKIT DISTEMPER PADA ANJING DI JAWA BARAT DAN DKI JAKARTA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

SEROEPIDEMIOLOGI PENYAKIT DISTEMPER

PADA ANJING DI JAWA BARAT DAN DKI JAKARTA

(Seroepidemiology of Canine Distemper in West Java and Jakarta)

SUDARISMAN

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30, Bogor 16114

ABSTRACT

Serological tests have been used for vaccination program evaluation. It was found out that the high antibody titre of dogs determined the degree of protectivity to canine distemper disease. By using ELISA measuring antibody titre, the epidemiology of canine distemper in endemic areas and in areas conducting vaccination program can be studied. Until now, canine distemper vaccination program haven’t been evaluated. From the ELISA results, it was revealed that most of dogs in West Java and Jakarta have been exposed to canine distemper except dogs in West Java rural areas. The high antibody titre of vaccinated dogs were found in Pacet, Cianjur district. It seems that some of vaccination program gave good results, which were reflected by high antibody titres. In areas which clinical canine distemper were reported Jakarta, Bogor District and Bogor Regency, the high antibody titre was found in 30, 29.6 and 19% of dogs respectively for each area.

Key Words: Canine Distemper, ELISA, Epidemiology, West Java, Jakarta

ABSTRAK

Uji serologi untuk evaluasi program vaksinasi distemper sebenarnya telah lama dikenal. Tingginya titer antibodi sangat menentukan tingkat kekebalan anjing terhadap penyakit distemper. Melalui uji ELISA ternyata dapat dipelajari epidemiologi penyakit distemper di daerah tertular dan daerah yang melakukan program vaksinasi. Selama ini program vaksinasi dan studi epidemiologi penyakit distemper belum pernah dievaluasi. Hasil ELISA menunjukkan bahwa anjing di daerah Jawa Barat dan DKI Jakarta telah telah terpapar penyakit distemper kecuali di lingkungan pedesaan Jawa Barat. Persentase tertinggi titer antibodi anjing yang telah divaksin terdapat di wilayah kecamatan Pacet kabupaten Cianjur. Terlihat bahwa beberapa program vaksinasi memberikan hasil yang baik, dan tercermin dari tingginya titer antibodi. Dari daerah yang sebelumnya secara kilinis dilaporkan adanya distemper pada anjing, yaitu DKI Jakarta, kabupaten Bogor dan kotamadya Bogor didapat bahwa masing-masing secara berurutan sebesar 30, 29,6 dan 18% anjing di daerah tersebut mempunyai titer antibodi yang tinggi.

Kata kunci: Distemper Anjing, ELISA, Epidemiologi, Jawa Barat, Jakarta

PENDAHULUAN

Canine Distemper Virus (CDV) merupakan

virus dari golongan morbilivirus genus

paramyxovirus, famili paramyxoviridae yang

mengakibatkan infeksi akut, sub akut, kronis dan sub klinis pada hewan yang termasuk ordo

carnivora, sub ordo fissipedia, pinnipedia, dan

ordo artiodactyla serta primata.

Pada sepuluh tahun terakhir ini peningkatan jumlah outbreak (wabah) penyakit distemper anjing bervariasi diantara berbagai populasi anjing dan hal ini banyak dilaporkan di benua

Eropa (VAN MOLL et al., 1995). Penyakit distemper pada anjing di Indonesia belum banyak dipelajari. Akan tetapi laporan dari beberapa dokter hewan praktek di Indonesia, setiap tahun tidak pernah tidak ada kejadiannya dan program vaksinasi distemper pada anjing juga telah banyak dilakukan terutama pada anjing ras. Vaksin yang digunakanpada umumnya adalah vaksin jenis impor. Baru beberapa dokter hewan praktek yang mencoba melakukan evaluasi program vaksinasi yang dilakukan. Kebanyakan dari pemilik anjing kesayangan, apabila anjingnya telah divaksinasi

(2)

satu kali, mereka beranggapan hal ini telah cukup. Oleh sebab itu kasus CDV selalu berlanjut hingga kini, tanpa bisa diberantas. Walaupun analisa retrospektif menunjukkan kejadian bahwa tidak semua hewan divaksinasi ataupun divaksinasi yang tidak sempurna, akan kebal dan bebas terhadap infeksi lapangan atau infeksi oleh galur CDV yang baru dan berbeda patogenitasnya (VAN MOLL et al., 1995; ABLETT dan BAKER, 1963; BELL et al., 1991).

Uji serologi untuk evaluasi program vaksinasi sebenarnya telah lama dikenal untuk penyakit distemper, seperti uji serum netralisasi dengan telur tertunas, biakan sel atau bahkan uji ELISA (BELL et al., 1991).

SUDARISMAN (2006) telah pula

mengembangkan ELISA antibodi untuk penyakit distemper. Uji ini diharapkan dapat menggambarkan seroepidemiologi penyakit ini di daerah Jawa Barat sebagai suatu studi kasus.

Tujuan tulisan ini adalah untuk memberi gambaran seroepidemiologi penyakit distemper di Jawa Barat untuk tujuan memberi gambaran tingkat penyebaran penyakit ini yang membahayakan ternak anjing atau sejenisnya di daerah tersebut dan juga untuk mengetahui efektifitas beberapa vaksin distemper anjing yang beredar di Indonesia.

MATERI DAN METODE Lokasi penelitian dan pengambilan sampel untuk pengujian

Penelitian ini dilakukan di daerah Kotamadya Bogor, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur. Sampel yang diambil berupa darah dengan menggunakan syringe steril 3 ml. Dari Kotamadya Bogor didapat sampel sebanyak 45 ekor, Kabupaten Bogor didapat 55 ekor dan Kabupaten Cianjur didapat 74 ekor. Pengambilan sampel dilakukan pada dalam tahun 2003 – 2004. Selain pengambilan darah, terhadap pemilik anjing juga ditanyakan riwayat vaksinasi anjing, adanya penyakit distemper di daerah tersebut dan keterangan lainnya sehubungan dengan kejadian penyakit.

Uji ELISA antibodi

mikroplat dasar U dengan lubang 96 buah. Prosedur yang dilakukan mengikuti metode BERNARD et al. (1982) dan NOON et al., (1980). Mula mula kondisi optimum untuk inkubasi dari berbagai reagensia distandarisasi terlebih dahulu dengan cara checkerboard

titrations. Hal ini untuk menentukan agar nilai

optimal reagensia yang digunakan memberi hasil optimal deteksi antibodi dalam sampel serum. Pengujian sampel serum yang berasal dari lapangan (sampel uji) dilakukan duplo (duplicate). Konsentrasi optimal antigen ditambahkan dalam tiap lubang mikroplat sebanyak 100 µl dan diinkubasi dalam suhu kamar selama satu malam. Antigen diencerkan dengan larutan penyangga karbonat (pH 9,6). Plat lalu dicuci tiga kali dengan larutan

phosphate buffered saline and tween-20

(PBST-20, pH 7,4). Lalu pada lubang mikroplat ditambahkan 100 µl bovine serum

albumin (BSA) 0,4% tiap lubang dan diinkubasi

selama 30 menit pada suhu 37°C. Serum yang telah diencerkan dengan larutan penyangga PBST 1/100 ditambahkan sebanyak 100 µl tiap lubang. Kemudian mikroplat diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37°C. Mikroplat dicuci lagi seperti prosedur pencucian diatas dan tambahkan 100 µl konjugat dengan konsentrasi yang optimum sesuai hasil titrasi (1 : 10.000) dan diencerkan dengan PBST yang ditambahkan 1% BSA. Mikroplat diinkubasi lagi selama 60 menit pada suhu 37°C. Mikroplat dicuci kembali seperti prosedur di atas. Larutan substrat ditambahkan sebanyak 100 µl dalam tiap lubang dan diinkubasi selama satu jam pada suhu kamar. Substrat untuk reaksi enzim digunakan 8 mg

phenylenediamine dihydrochloride (OPD) dan

5 µl 30% H2O2 per 12 ml 0,1 M larutan penyangga sitrat (pH 5,0). Reaksi dihentikan dengan 1 M H2 SO4. Densitas optikal dari hasil ELISA dibaca dengan filter 492 nm pada ELISA reader (multiskan).

HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan nilai cut off ELISA

(3)

rata negative OD + 3 kali standard deviasi (SPENCER, 1993). Gambar 1. menunjukkan nilai OD serum negatif yang dihasilkan dari penelitian ini, yaitu 0,2435, sehingga nilai cut

off ELISA adalah: 0,2435 + 3 x 0,0738 = 0,46

(Gambar 1). Hasil penelitian SUDARISMAN (2005) menunjukkan bahwa peningkatan reaksi serologik pada ELISA sama dengan peningkatan reaksi serologik pada uji serum netralisasi. Hal serupa juga didapatkan oleh BERNARD et al. (1982), sehingga dinyatakan bahwa ELISA dapat digunakan sebagai pengganti uji serum netralisasi.

0 0 .1 0 .2 0 .3 0 .4 0 .5 0 50 10 0 150 2 0 0 2 50 J um la h sa mpe l se r um ne ga t if

Gambar 1. Densitas optikal serum negatif dalam standarisasi uji ELISA dalam menentukan cut off

Hasil-hasil ELISA di beberapa wilayah di Jawa Barat dan DKI Jakarta

Pengamatan hasil uji ELISA di wilayah DKI Jakarta memperlihatkan hasil yang menunjukkan adanya titer antibodi yang tinggi dan hal ini dapat dikatakan bahwa wilayah DKI Jakarta kemungkinan terinfeksi oleh virus Distemper.ataupun adanya titer akibat vaksinasi. Hal ini terlihat bahwa titer yang cukup signifikan memperlihatkan jumlah yang tinggi (30%), walaupun dengan jumlah sampel yang sangat terbatas. Di wilayah DKI Jakarta umumnya pemilik anjing sudah mengerti akan peran vaksinasi distemper pada anjingnya. Hanya saja biasanya vaksinasi yang dilakukan hanya satu kali (Gambar 2).

Berbeda hasil yang didapat dari Kabupaten Cianjur, titer yang didapat hanya satu yang

di atas titer cut off. Daerah ini merupakan daerah pedesaan yang memang tidak pernah mengenal arti vaksinasi pada anjing kecuali vaksinasi rabies pada anjing yang dilakukan oleh dinas peternakan setempat. Dari data yang didapat, hanya 2,1% serum yang positif (di atas

cut off). Hal ini menunjukkan bahwa daerah

pedesaan di Jawa Barat belum tercemar oleh virus distemper (Gambar 3). Akan di wilayah kecamatan Pacet yang merupakan kabupaten Cianjur dan terletak di daerah Puncak, ada titer tinggi yang cukup mencolok (50%) (Gambar 4). Hal ini disebabkan ada beberapa kelompok pemilik anjing yang sudah lama membiasakan melakukan vaksinasi pada kennel yang dia miliki.

Gambar 2. Gambaran sebaran titer ELISA (densitas optikal) pada sampel serum anjing yang dikoleksi di wilayah DKI Jakarta

Gambar 3. Gambaran sebaran titer ELISA (densitas optikal) pada sampel serum anjing yang dikoleksi di wilayah Kabupaten Cianjur 0 0,5 1 1,5 2 0 10 20 30 40 Jumlah sampel D en sit as o p tik al 0 0,5 1 1,5 2 0 20 40 60 Jumlah sampel D en sit as tik l

(4)

Gambar 4. Gambaran sebaran titer ELISA (densitas optikal) pada sampel serum anjing yang dikoleksi di wilayah kecamatan Pacet

Apabila melihat hasil yang didapat dari Kabupaten Bogor dan Kotamadya Bogor memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda. Masing-masing dengan persentase 18,8% dan 29,5%. Kotamadya Bogor kejadian pada tahun-tahun sebelum pengambilan sampel serum cukup tinggi (Gambar 5 dan 6).

Prevalensi Distemper pada beberapa daerah di Jawa Barat memperlihatkan variasi yang sangat menonjol antara daerah yang pernah mendapat vaksinasi dengan daerah yang belum pernah mendapatkan vaksinasi.

Antigen ELISA yang digunakan, adalah virus standar yang digunakan untuk memproduksi vaksin, galur Onderstepoort. Ada kemungkinan hasil yang diperlihatkan pada uji serum netralisasi tidak serendah galur standar bila mnenggunakan virus galur lokal. Seperti halnya yang telah dilakukan oleh IKEDA et al., (2001), yang menunjukkan bahwa antigen dengan strain lokal lebih tinggi titernya, dengan menggunakan sampel serum yang sama. Hasil semacam ini mungkin juga terjadi pada ELISA yang dikembangkan. Jadi, sebaiknya galur virus lokal digunakan, agar hasilnya menjadi optimum. Di Jepang, MOCHIZUKI et al., (1999) mendapatkan bahwa terdapat variasi antigenik diantara galur-galur distemper di lapangan dan sering sekali galur vaksin memperlihatkan variasi tertinggi pada protein H-nya. Ada dua galur yang berbeda untuk penyakit distemper pada anjing di Jepang, yaitu galur yang ada pada semua virus distemper isolat lapangan dan galur ang

Gambar 5. Gambaran sebaran titer ELISA (densitas optikal) pada sampel serum anjing yang dikoleksi di wilayah Kabupaten Bogor

Gambar 6. Gambaran sebaran titer ELISA (densitas optikal) pada sampel serum anjing yang dikoleksi di Kotamadya Bogor

BLIXENKRONE-MOLLER et al. (1993) dalam penelitiannya menunjukkan adanya 74% ELISA terhadap IgM positif pada anjing-anjing yang klinis Distemper dan delapan belas dari anjing-anjing tersebut telah mendapatkan vaksinasi Distemper. Berbagai kemungkinan bisa terjadi, antara lain bahwa vaksinasi dilakukan pada anjing yang tidak diuji sebelumnya terhadap adanya infeksi sub klinis (BLIXENKRONE-MOLLER et al., 1993; BELL et

al., 1991). WANER et al. (2003) dalam tulisannya menyatakan bahwa program vaksinasi tidak memberikan jaminan apabila ada peran antibodi maternal pada anjing-anjing yang divaksinasi. Strategi yang harus dilakukan adalah melakukan vaksinasi berulang dan hasil

0 0,5 1 1,5 2 0 5 10 15 Jumlah sampel Dens it as o p ti k a l 0 0,5 1 1,5 2 0 10 20 30 40 Jumlah sampel D en sit as o p ti k al 0,5 1 1,5 2 ens it as o p tik al

(5)

penelitiannya menyatakan bahwa ELISA terhadap IgM sangat tepat digunakan untuk menentukan infeksi akut, seperti yang telah diutarakan oleh BLIXENKRONE-MOLLER et al. (1993). Walaupun VON MESLING et al. (2001) menyatakan bahwa deteksi IgG dan IgM sama akuratnya dalam mendeteksi antibodi terhadap distemper pada anjing.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa anjing-anjing yang belum pernah divaksinasi sering memperlihatkan titer antibodi, walaupun hewan tersebut tidak memperlihatkan gejala klinis apapun. Hal ini merupakan keadaan yang wajar dan apabila hewan tersebut divaksinasi, maka respons kekebalan baru meningkat setelah dua bulan paska vaksinasi. Menurut APPEL dan SUMMER (1999) kira-kira 50% dari infeksi distemper anjing (CDV) bersifat subklinis ataupun mengalami infeksi yang sangat ringan. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa pada saat hewan dilakukan vaksinasi, ternyata telah ada titer antibodi, walaupun tidak setinggi setelah dua bulan paska vaksinasi.

Di Indonesia yang merupakan negara tropis, belum ada yang melihat pengaruh musim terhadap kejadian infeksi distemper pada anjing, yang tentunya akan memperlihatkan perbedaan titer antibodi bila dibandingkan diantara anjing yang diambil pada dua musim yang berbeda (RIKULA et al., 2000; VAN MOLL et al., 1995). Demikian pula pada penelitian ini tidak dibedakan antara sampel yang diambil pada musim kering dan musim penghujan.

KESIMPULAN

Sebaran serum positif antibodi pada anjing di daerah Jawa Barat di Kotamadya Bogor, di Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, menunjukkan nilai 18,8 – 29,5% dan 30% di wilayah DKI Jakarta. Titer tinggi yang dimiliki dapat disebabkan oleh vaksinasi dan dapat pula oleh infeksi alami. Prevalensi ini dapat menguatkan kita bahwa distemper telah menyebar di wilayah Jawa Barat dan di DKI Jakarta.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih ditujukan kepada Sdr. Achmad Syahmun, Sdri Hanifah Ariyani, Sdri Maria Goreti yang telah membantu terlaksananya penelitian, baik di lapangan maupun di laboratorium Virologi Bbalitvet.

DAFTAR PUSTAKA

ABLETT, R.E. and L.A. BAKER. 1963. Effect of revaccination on distemper antibody levels in the dog. Vet. Rec. 75(49): 1329 – 1330. APPEL, M.J.G. and B.A.SUMMERS. 1999. Canine

Distemper: Current status. In: Recent advances in canine infectious diseases. CARMICHAEL, L.E. (Ed.). International Veterinary Information Services (www.ivis.org).

APPEL,M.J.G.,E.P.J.GIBBS and S.J.MARTINS. 1981. Morbillivirus diseases of animals and man. In: Comparative diagnosis of viral diseases. KURSTAK,E. and C.KURSTAK (Ed). 4: 235 – 297.

BELL, S.C.,S.D.CARTER and D. BENNETT, 1991. Canine distemper viral antigens and antibodies in dogs with rheumatoid arthritis. Res. Vet. Sci. 50: 64 – 68.

BERNARD,S.L.,D.T.SHEN and J.R.GORHAM. 1982. Antigen requirements and spesificity of enzyme-linked immunosorbent assay for detection of canine IgG against canine distemper viral antigens. Am. J. Vet. Res. 43(12): 2266 – 2269.

BLIXENKRONE-MOLLER,M. 1991. Detection of IgM antibodies against canine distemper virus in dog and mink sera employing enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). J. Vet. Diagn. Invest. 3: 3 – 9.

BLIXENKRONE-MOLLER,M.,V.SVANSSON,P.HAVE, C.ORVELL, M.APPEL, I.R. PEDERSEN, H.H. DIETZ and P. HENRIKSEN, 1993. Studies on manifestations of canine distemper virus infection in an urban dog population. Vet. Microb. 37: 163 – 173.

IKEDA,Y.,K.NAKAMURA,T.MYAZAWA,MING-CHU

CHEN,T.F.KUO,J.A.LIN,T.NIKAMI,C.KAI

and E.TAKAHASHI. 2001. Seroprevalence of canine distemper in cats. Clin. Diagn. Lab. Immun. 8(3): 641 – 644.

(6)

MOCHIZUKI,M.,M.HASHIMOTO,S.HAGIWARA,Y. YOSHIDA and S.ISHIGURO. 1999. Genotypes of canine distemper virus determined by analysis of the hemagglutinin genes of recent isolates from dogs in Japan. J. Clin. Microb. 37(9): 2936 – 2942.

NOON,K.F.,M.ROGUL,L.N.BINN,T.J.KEEFE and R.H. MARCHWICKI. 1980. Enzyme-linked immunosorbent assay for evaluation of antibody to canine distemper. Am. J. Vet. Res. 41 4): 605 – 609.

RIKULA, U., L. NUOTIO and L. SIHVONEN. 2000. Canine distemper virus neutralising antibodies in vaccinated dogs. Vet. Rec. 147: 598 – 603. SPENCER, T. 1993. Standardisation of serology.

Penyakit Hewan 25(46A): 1 – 6.

SUDARISMAN. 2005. Pengujian dua jenis Vaksin Distemper yang beredar di Lapangan dengan Uji Serum Netralisasi. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner . Bogor, 4 – 5 Agustus 2004. Puslitbang Peternakan, Bogor.

SUDARISMAN. 2006. Enzyme-linked immunosorbent assay untuk mendeteksi antibodi virus distemper anjing. JITV 11(1): 69 – 75.

VAN MOLL,P., S. ALLDINGER,W. BAUMGARTNER

and M. ADAMI. 1995. Distemper in wild carnivores: An epidemiological, histological and immunocytochemical study. Met. Microb. 44: 193 – 199.

VON MESSLING, V., G. ZIMMER, G. HERRLER, L. HASS and R. CATTANEO. 2001. The hemagglutinatinin of canine distemper virus determines tropism and cytopathogenicity. J. Virol. 75(14): 6418 – 6427.

WANNER, T.,J.NOAM and S.MAZAR. 2003. Post vaccination evaluation of immunization status of puppiesfor parvo-and distemper viruses used clinic elisa test. Israel Vet. Med. Ass. 58(4).

WINTERS, W.D. 1981. Time dependent decreases of maternal canine virus antibodies in newborn pups. Vet. Rec. 108: 295 – 299.

DISKUSI Pertanyaan:

1. Apa gejala penyakit distempler? 2. Apakah berbahaya?

3. Apa nama umumnya?

Jawaban:

1. Gejala kekakuan otot anggota badan sampai mati. 2. Berbahaya tetapi tidak zoonosis.

Gambar

Gambar 1.  Densitas optikal serum negatif dalam  standarisasi uji ELISA dalam  menentukan cut off
Gambar 5.  Gambaran sebaran titer ELISA (densitas  optikal) pada sampel serum anjing yang  dikoleksi di wilayah Kabupaten Bogor

Referensi

Dokumen terkait

MANGROVE FOREST COVER EXTRACTION OF THE COASTAL AREAS OF NEGROS OCCIDENTAL, WESTERN VISAYAS, PHILIPPINES USING LIDAR

Dalam klasifikasi rentang orang, dilakukan proses menyeleksi kondisi untuk menangani kasus dimana saat orang sedang berjalan, maka lebar dari blob pun akan

Dengan adanya pertimbangan yang matang di dalam proses penyusunan penyampaian pem- belajaran (tentang pola makan seimbang) yang baik dan benar pada media

Gangguan ini disebabkan karena menggunakan suhu nyala yang lebih tinggi. Logam alkali dan alkali tanah yang mudah terionisasi, akibat dari adanya ionisasi akan

Selanjutnya dilakukan proses inkubasi dengan papain, pengujian kekerasan dan kadar protein grits hasil inkubasi yang dilanjutkan verifikasi dan pembuktian hasil

bahwa Tergugat tidak berada di Aceh melainkan sudah pergi merantau ke Bogor dan keluarga di Aceh menyatakan tidak tahu alamat Tergugat, lalu setelah itu Penggugat dan

Model ini bilamana dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan, yakni tentang pengaruh tayangan film animasi Upin & Ipin terhadap Minat Menonton anak di SD MIS Al-Mukhlisin

Berdasarkan hasil uji F ini dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama yang menyatakan LDR, IPR, NPL, APB, IRR, BOPO, FBIR, PR dan FACR secara bersama-sama