• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian kebijakan Persaingan Usaha

di Sektor Perunggasan

PUSAT PENGKAJIAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

(2)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan berkat, kasih dan rahmat-Nya sehingga Tim Peneliti Pusat

Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri dapat menyelesaikan Laporan

“Kajian Kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan” tepat pada waktunya.

Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Produk unggas memberi kontribusi terhadap konsumsi protein sebesar 11,00% (Susenas, 2011), dan berkontribusi terhadap konsumsi protein hewani sebesar 60,73% (Bahri, 2008). Hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin di antara pelaku usaha di setiap rantai pasok ayam broiler. Distribusi margin yang tidak wajar ini dinilai sebagai suatu anomali karena dalam kondisi penurunan tingkat

permintaan atau terjadinya over-supply, posisi peternak selalu dirugikan

yang diindikasikan tingkat margin yang negatif. Pada saat yang bersamaan, harga jual ayam broiler di peternak turun, ternyata harga jual pedagang eceran (tingkat konsumen) tidak otomatis ikut turun, justru harga di tingkat konsumen tetap pada tingkat harga yang tinggi. Hal inilah yang menjadi dugaan awal bahwa terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi atau pemasaran ayam broiler.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut, kajian ini dilakukan untuk menganalisis besaran harga yang wajar di tingkat peternak melalui estimasi biaya pokok produksi peternak serta menguji indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi ayam broiler dengan melihat struktur, perilaku pasar dan kinerja system distribusinya. Melalui kajian ini diharapkan dapat dirumuskan kebijakan yang kondusif bagi berkembangnya industri perunggasan broiler dari hulu hingga hilir secara berkeadilan.

Disadari bahwa laporan ini masih belum sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan analisis berikutnya. Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai penutup, semoga hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan pimpinan serta bahan masukan untuk perumusan kebijakan komoditi perunggasan secara umum dan ayam broiler khususnya.

Jakarta, Oktober 2016

(3)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan ii

ABSTRAK

Kajian Kebijakan Persaingan Usaha di Sektor Perunggasan Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin antara pelaku usaha di rantai pasok ayam broiler yang menjadi dugaan awal terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Kajian ini bertujuan (a) menghitung biaya pokok produksi peternak, (b) menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler serta (c) merumuskan usulan kebijakan yang mendorong efisiensi industri ayam broiler demi keberlangsungan usaha peternakan rakyat mandiri. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah struktur biaya

produksi dan Structure Conduct Performance (SCP). Hasil analisis

menunjukkan secara umum struktur pasar ayam broiler pada masing-masing level pelaku usaha lebih mengarah ke pasar oligopoli kecuali pedagang pengecer yang lebih mengarah pada pasar monopolistik. Harga broiler di tingkat peternak dan di tingkat pedagang pengecer besar (grosir) tidak terintegrasi secara baik. Pembentukan harga broiler hidup di tingkat produsen sangat ditentukan oleh kekuatan oligopoli yang cenderung ke bentuk kartel perusahaan peternakan skala besar melalui penentuan harga posko oleh asosiasi sebagai harga patokan. Pada pasar broiler hidup, pengaruh faktor penawaran dan permintaan relatif kecil. Sementara, pembentukan harga daging ayam di tingkat pasar eceran (ritel) selain dipengaruhi oleh kekuatan oligopoli perusahaan peternakan

skala besar, faktor kekuatan penawaran (suppy) dan permintaan

(demand) masih cukup berpengaruh (signifikan). Rekomendasi dari kajian ini adalah perlu (a) melakukan perbaikan struktur pasar agar lebih kompetitif; (b) menyeimbangkan sebaran margin pemasaran di antara pelaku usaha berdasarkan kontribusi sesuai biaya pemasaran dan resiko yang dihadapi; (c) meningkatkan transmisi harga dari pedagang pengecer ke pedagang besar dan selanjutnya ke perternak melalui peningkatan akses informasi pasar secara transparan; dan (d) memperpendek rantai distribusi.

Kata kunci: persaingan usaha, integrasi harga, sektor perunggasan, ayam broiler

(4)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan iii

ABSTRACT

Study on the Policy of Business Competition in the Poultry Sector

Poultry sector is the spearhead of consumption of food from animal sources. Initial studies by Business Competition Supervisory Commission (KPPU) indicates that there is imbalance in the level of margin among businesses actors in the supply chain of broiler meat that lead to the alleged of unfair business competition practice. This study aims are (a) calculating the production cost of farmers, (b) analyzing the structure, conduct and performance of broiler meat industry and (c) to formulate policy proposals that promote the efficiency of broiler meat industry for the sake of business continuity of independent farmer. The approach used in this study were the production cost structure and Structure Conduct Performance (SCP). The analysis shows that the general structure of the broiler meat market at each level of businesses leads to an oligopoly market except at retail level that is monopolistic market. Broiler price at the farmer level and at the wholesale level is not well integrated. Price of live broiler at the producer level is determined by the power of an oligopoly that performed by large-scale farms cartel company through reference price determined by association. The influences of supply and demand factors are relatively small on live broiler market. Meanwhile, the price formations of chicken meat at the retail market are affected by the power of the oligopoly of farms from large-scale companies, power of supply and demand. The recommendation of this study are (a) market structure improvements to make it more competitive; (b) balancing the distribution of marketing margins between business actors based on contributions of marketing costs and risk; (C) improving price transmission from retailers to wholesalers and then to farmers through improving access to market information in a transparent manner; and (d) shortening the distribution chain.

Keywords: business competition, the integration of price, the poultry sector, broilers

(5)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan iv DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ... i ABSTRAK ... ii ABSTRACT ... iii DAFTAR ISI ... iv DAFTAR TABEL ... vi BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 2 1.3. Tujuan ... 4 1.4. Keluaran ... 4 1.5. Manfaat ... 5 1.6. Ruang Lingkup ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 6

2.1. Perkembangan Kebijakan Terkait Perunggasan (Struktur Biaya, pemasaran dan persaingan usaha ... 6

2.2. Tinjauan Konseptual Persaingan Usaha ... 11

2.3. Biaya Pokok Produksi dan Harga Produk Unggas Indonesia ... 16

2.4. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Sektor Unggas Indonesia ... 19

2.5. Kerangka Pemikiran ... 22

BAB III METODE PENGKAJIAN ... 23

3.1. Metode Analisis ... 23

3.1.1. Analisis Struktur Biaya Pokok Produksi Peternak Kemitraan dan Peternak Mandiri ... 23

3.1.2. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Distribusi Ayam Broiler dengan Pendekatan Structure, Conduct and Performance (SCP) ... 25

3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data ... 31

3.2.1. Data dan Sumber Data ... 31

3.2.2. Metode Pengumpulan Data ... 31

3.2.3. PerencanaanSampling ... 32

BAB IV ANALISIS BIAYA PRODUKSI DAN PERSAINGAN USAHA PADA DISTRIBUSI AYAM BROILER ... 34

4.1. Karakteristik dan Struktur Pasar Perdagangan Ayam Broiler di Beberapa Wilayah di Indonesia ... 34

(6)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan v

4.1.1. Karakteristik Perdagangan Ayam Broiler ... 35

4.1.2. Parameter Teknis dan Ekonomi Usaha Ternak Broiler ... 50

4.1.3. Struktur Pasar Dalam Distribusi Ayam Broiler ... 55

4.2. Kinerja Usaha Ternak Broiler dan Sistem Distribusi ... 59

4.2.1. Analisis Usaha Ternak Broiler ... 59

4.2.2. Saluran Distribusi dan Pemasaran Broiler ... 65

4.2.3. Analisis Margin Tataniaga Ayam Broiler ... 74

4.3.1. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Timur ... 92

4.3.2. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Sumatera Barat ... 97

4.3.3. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Bali ... 102

4.3.4. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Kalimantan Timur ... 107

4.3.5. Integrasi Pasar Broiler Provinsi Jawa Barat ... 113

4.3.6. Variasi Pergerakan Harga Ayam Broiler dan Margin di Peternak dan Pengecer di Beberapa Wilayah ... 118

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 122

5.1. Kesimpulan ... 122

5.2. Rekomendasi ... 125

DAFTAR PUSTAKA ... 126 LAMPIRAN

(7)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan vi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Lima Jenis Pasar pada Sistem Produk Pangan dan Serat ... 13

Tabel 2.2 Perbandingan Biaya Produksi, Harga Pakan dan Harga DOC di

Negara ASEAN ... 19

Tabel 3.1 Sebaran, Cakupan dan Jumlah Responden di Lima Provinsi,

Indonesia, 2016 ... 33

Tabel 4.1 Kinerja Usahaternak Broiler berdasarkan Pola Usaha, Tahun 2016 .. 53

Tabel 4.2 Struktur Pasar Broiler ... 56

Tabel 4.3 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mandiri, (Per Siklus),

Tahun 2016 ... 61

Tabel 4.4 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Internal, (Per Siklus),

Tahun 2016 ... 63

Tabel 4.5 Analisis Usaha Ternak Broiler Pola Mitra Eksternal, (Per Siklus),

Tahun 2016 ... 64

Tabel 4.6 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui

Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Mandiri

di Provinsi Bali, 2016 ... 75

Tabel 4.7 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui

Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Jawa Timur, 2016 ... 77

Tabel 4.8 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui

Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Sumatera Barat, 2016 ... 79

Tabel 4.9 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui

Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan Internal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016 ... 81

Tabel 4.10 Analisis Margin Tata Niaga Produk Ayam Ras Pedaging melalui

Pedagang Pengecer pada Pola Usahaternak Kemitraan

Eksternal di Provinsi Kalimantan Timur, 2016 ... 83

Tabel 4.11 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer

pada Pola Usahaternak Mandiri di Jawa Barat, 2016 ... 86

Tabel 4.12 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer

pada Pola Kemitraan Usaha Internal di Jawa Barat, 2016 ... 87

Tabel 4.13 Analisis Margin Tata Niaga Broiler melalui Pedagang Pengecer

(8)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan vii

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Kurva Biaya Perusahaan Oligopoli ... 15

Gambar 2.2 Struktur Biaya Perusahaan Monopoli ... 16

Gambar 2.3 Perkembangan Harga Eceran Daging Ayam Broiler ... 18

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Kajian ... 22

Gambar 3.1 Hubungan Sebab Akibat Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja ... 25

Gambar 4.1 Saluran distribusi Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Usaha Ternak Mandiri. ... 68

Gambar 4.2 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan Usaha Internal ... 71

Gambar 4.3 Rantai Pasok Produk Broiler dari Peternak Hingga Konsumen pada Pola Kemitraan Usaha Eksternal ... 72

Gambar 4.4 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Surabaya ... 119

Gambar 4.5 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Padang ... 119

Gambar 4.6 Perkembangan Harga Peternak Vs Pengecer di Denpasar ... 120

(9)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 1

1. BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sub sektor peternakan merupakan basis ekonomi yang berpotensi tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Salah satu sub sektor peternakan yang mengalami pertumbuhan pesat adalah sektor perunggasan. Sektor perunggasan merupakan ujung tombak dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi hewani. Produk unggas memberi kontribusi terhadap konsumsi protein sebesar 11,00% (Susenas, 2011), dan berkontribusi terhadap konsumsi protein hewani sebesar 60,73% (Bahri, 2008). Selain itu, sektor perunggasan telah menyerap tenaga kerja lebih dari 1000 orang per tahun.

Pertumbuhan produksi unggas cukup prospektif dan progresif. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan produksi yang cenderung naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2014, produksi ayam broiler dari perusahaan besar (terintegrasi) yang menguasai pasar lebih dari 85% telah mencapai lebih dari 2,5 juta ton (GPPU, 2014). Sementara kebutuhan hanya sebesar 2,3 juta ton. Hal ini berarti kebutuhan daging

ayam broiler dapat dipenuhi dari dalam negeri (self sufficient). Dari

aspek permintaan, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap produk unggas terutama daging ayam cenderung naik rata-rata sekitar 9,3% per tahun (Susenas Tahun 2013, diolah Puska Dagri, 2013).

Meski mengalami pertumbuhan cukup baik, namun kondisi industri peternakan unggas di Indonesia dapat dikatakan belum mencapai tahapan keunggulan kompetitif dibandingkan negara Asia lainnya seperti Thailand, Malaysia dan Korea Selatan. Selain itu, Indonesia juga

termasuk negara net importer untuk produk input unggas seperti bibit

(10)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 2 Meski demikian, produktivitas dalam sektor perunggasan masih dapat ditingkatkan. Sumber-sumber pertumbuhan produktivitas usaha perunggasan berasal dari perubahan teknologi, peningkatan efisiensi

dan melalui pengembangan skala usaha (Coelli et al., 1998). Ketiga hal

tersebut dapat dilakukan melalui sistem industri perunggasan terintegrasi baik integrasi vertikal oleh perusahaan peternakan maupun melalui kemitraan usaha. Di Indonesia industri perunggasan terintegrasi melalui dua pola tersebut telah menguasai lebih dari 85% pangsa pasar di dalam negeri. Selebihnya, yakni usaha peternakan rakyat mandiri hanya mengisi 15%.

Mengingat struktur industri usaha peternakan unggas broiler di Indonesia sudah dominan dijalankan oleh perusahaan terintegrasi yang dapat dikatakan relatif lebih efisien, maka seharusnya harga ayam broiler di tingkat konsumen dapat lebih kompetitif. Namun demikian, perkembangan harga daging ayam mengalami peningkatan dari waktu ke waktu walaupun dari sisi pasokan terjadi peningkatan produksi ayam broiler (Fitriani et al, 2014).

1.2. Rumusan Masalah

Dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh industri perunggasan, beberapa diantaranya adalah: (a) Masalah penyediaan bahan baku pakan industri perunggasan, dimana sebagian besar bahan baku pakan ternak harus diimpor. Untuk impor jagung mencapai 12,5% dari total produksi jagung nasional, bungkil kedelai sebesar 95%, tepung

ikan 90-92%, serta tepung tulang dan vitamin/feed additive hampir

100%; (b) Adanya indikasi terjadinya ketimpangan struktur pasar baik pada pasar input maupun pasar output yang menempatkan peternak

kecil dalam posisi lemah; (c) Pola Kemitraan usaha (contract farming)

perunggasan belum berjalan secara optimal dimana peternak plasma belum sepenuhnya diuntungkan; (d) Rentannya Industri perunggasan

(11)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 3 komersial terhadap gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi, wabah

penyakit ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI), dan krisis

finansial global; dan (e) Pelaku usaha industri perunggasan dihadapkan pada kenaikan harga sarana produksi peternakan (sapronak) dan konsumen dihadapkan pada fluktuasi harga broiler yang tinggi.

Dari permasalahan tersebut di atas, permasalahan yang cukup

menonjol dan menjadi fokus penelitian adalah adanya indikasi

ketimpangan struktur pasar pada pasar output yang pada akhirnya menempatkan peternak mandiri dan peternak plasma dalam posisi lemah. Peternak mandiri dan peternak plasma juga dihadapkan pada kenaikan sapronak dan harga fluktuasi jual broiler yang tinggi.

Sejalan dengan adanya indikasi ketimpangan struktur pasar unggas, hasil studi awal Komisi Pemantau Persaingan Usaha (KPPU) menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan tingkat margin di antara pelaku usaha di setiap rantai pasok ayam broiler. Distribusi margin yang tidak wajar ini dinilai sebagai suatu anomali karena dalam kondisi

penurunan tingkat permintaan atau terjadinya over-supply, posisi

peternak selalu dirugikan yang diindikasikan tingkat margin yang negatif. Pada saat yang bersamaan, yakni pada saat harga jual ayam broiler di peternak turun, ternyata harga jual pedagang eceran (tingkat konsumen) tidak otomatis ikut turun, justru harga di tingkat konsumen

tetap pada tingkat harga yang tinggi. Hal inilah yang menjadi dugaan

awal bahwa terjadi persaingan usaha yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi atau pemasaran ayam broiler.

Dari konteks perdagangan, permasalahan persaingan usaha ini dapat menimbulkan inefisiensi perdagangan yang tercermin dalam tingkat harga yang kurang menguntungkan bagi peternak mandiri dan peternak plasma serta tingkat harga eceran yang cenderung naik dan berfluktuatif di tingkat konsumen. Hal ini telah berlangsung cukup lama

(12)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 4 dan diperlukan solusinya agar menghilangkan kekhawatiran terciptanya ketidakpastian dalam iklim berusaha dan berdampak pada semakin tergerusnya eksistensi peternak mandiri dan peternak plasma.

Sehubungan dengan permasalahan yang menjadi fokus di atas, kajian ini dilakukan untuk menganalisis besaran harga yang wajar di tingkat peternak melalui estimasi biaya pokok produksi peternak serta menguji indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat antar pelaku usaha dalam rantai distribusi ayam broiler dengan melihat struktur, perilaku pasar dan kinerja system distribusinya. Melalui kajian ini diharapkan dapat dirumuskan kebijakan yang kondusif bagi berkembangnya industri perunggasan broiler dari hulu hingga hilir secara berkeadilan.

1.3. Tujuan

Tujuan dari kajian ini adalah:

a. Menghitung biaya pokok produksi peternak.

b. Menganalisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler. c. Merumuskan usulan kebijakan yang mendorong efisiensi industri

ayam broiler demi keberlangsungan usaha peternakan rakyat mandiri.

1.4. Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah:

a. Besaran biaya pokok produksi broiler yang layak bagi peternak mandiri dan peternak plasma.

b. Hasil analisis struktur, perilaku dan kinerja industri ayam broiler. c. Rumusan kebijakan yang dapat mendorong efisiensi industri ayam

(13)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 5

1.5. Manfaat

a. Kajian ini menjadi rujukan bagi unit teknis di Kementerian Perdagangan dan kementerian terkait lainnya.

b. Dapat dijadikan bahan referensi bagi akademisi.

1.6. Ruang Lingkup

Analisis dalam kajian ini mencakup 2 aspek/substansi, yaitu:

a. Cakupan Komoditi. Meskipun judul kajian mengenai kebijakan persaingan usaha di sektor perunggasan, namun komoditi yang

akan dianalisis lebih dalam pada kajian ini adalah ayam broiler.

b. Cakupan Objek Penelitian. Objek yang akan diteliti dalam industri broiler adalah sistem distribusi ayam broiler meliputi peternak, pedagang pengumpul ayam hidup, pedagang besar ayam hidup, rumah potong ayam, supermarket, pedagang eceran daging ayam dan pelaku-pelaku lain yang terlibat dalam distribusi ayam broiler. Peternak yang akan diteliti meliputi peternak mandiri, peternak kemitraan internal (peternak yang bermitra dengan perusahaan terintegrasi) dan peternak kemitraan eksternal (peternak yang

(14)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 6

2. BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1. Perkembangan Kebijakan Terkait Perunggasan (Struktur Biaya, pemasaran dan persaingan usaha

Perkembangan industri perunggasan Indonesia tidak terlepas kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan atau regulasi a. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan

UU No. 6 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Regulasi yang berpengaruh terhadap bisnis perunggasan pada masa awalnya adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pada periode sebelum diberlakukannya regulasi tersebut, usaha ternak ayam ras bersifat usaha sampingan atau hobi, dan masih jauh dari jangkauan usah ekonomi yang berorientasi produksi dan pasar. Secara umum struktur usaha belum terpisah berdasarkan spesialisasi, karena semua kegiatan agribisnis bersatu dalam peternakan itu sendiri mulai dari pembuatan pakan dan pengadaan bibit.

Dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA pemerintah menerapkan kebijakan menyetujui penanaman modal asing (PMA) untuk sektor pertanian khususnya peternakan ayam ras. Tujuan kebijakan ini adalah untuk mempercepat pertumbuhan industri unggas melalui penanaman modal asing dan transfer teknologi dari negara maju. Dengan mempercepat laju pertumbuhan diharapkan usaha-usaha rakyat akan ikut berkembang. Perusahaan asing yang pertama didirikan adalah perusahaan kerjasama antara Jepang-Indonesia dalam bidang pembibitan dengan rencana produksi 100 ribu ekor per bulan (Yusdja, Ilham, & Sayuti, Juli 2004). Sedangkan

(15)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 7 UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN menegaskan bahwa swasta diberikan kebebasan untuk berusaha/berinvestasi di semua sektor perekonomian kecuali di bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan strategis. Hal ini pada prinsipnya adalah untuk merangsang dan mengarahkan daya kreatif dan dinamis

masyarakat kepada usaha-usaha produktif yang dapat

mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.

b. Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam

Selanjutnya seiring dengan perkembangan industri

perunggasan skala besar yang mulai menggeser peternak rakyat pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam. Keppres ini melarang beroperasinya usaha-usaha ternak ayam ras petelur lebih dari 5000 ekor dan ayam pedaging lebih dari 750 ekor per siklus. Ini berarti perusahaan-perusahaan yang sudah terlanjur memiliki usaha berskala besar harus menutup usahanya dan mengalihkannya pada usaha lain seperti pembibitan ayam atau mengganti dengan usaha lain. Kebijakan ini telah menimbulkan kerisauan para pemilik dan mereka menganggap pemerintah sangat terlambat melakukan intervensi. Adalah sulit untuk menghentikan operasi usaha skala besar mengingat kerugian yang diakibatkannya.

Pemerintah menyadari pula perlu dibina usaha perkoperasian di kalangan peternak mandiri ditambah suntikan dana kredit untuk mempercepat perkembangan usaha rakyat sebagai upaya untuk segera menggantikan kedudukan skala besar yang harus menciutkan usahanya sesuai dengan tuntutan Kepres tersebut. Untuk mensukseskan kemauan politik ini presiden memerintahkan melaksanakan Bimas ayam, memerintahkan Bulog untuk mengawasi stabilisasi harga telur, mengadakan usaha-usaha

(16)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 8 peningkatan pemasaran, pembinaan koperasi, melakukan operasi pasar bagi pengawasan harga telur dan daging bagi konsumen dan suntikan dana sekitar Rp 50 milyar sebagai kredit Program Bimas Ternak Ayam.

Namun ternyata kemudian kebijakan ini tidak berjalan sesuai dengan harapan, bahkan peternak kecil semakin kehilangan kesem patan hidup. Beberapa penyebabnya adalah sebagai berikut: Pertama, pembatasan skala usaha sesuai Kepres pada tingkat ukuran usaha yang tidak menguntungkan sehingga tidak menjamin pengembangan peternak mandiri (Yusdja, 1984). Peternak mandiri, yang dalam hal ini peternak mandiri pada umumnya tidak memiliki modal yang cukup dan memelihara jumlah ternak jauh di bawah skala usaha, yakni < 1.000 ekor. Sekalipun tidak menguntungkan, mereka masih mampu membayar tenaga kerja keluarga. Kedua, kredit Bimas ayam berukuran sangat kecil, satu paket untuk seorang peternak, dengan jumlah ayam 500 ekor. Dengan ukuran skala usaha sebesar itu peternak tidak akan mampu mengembalikan kredit. Ketiga, pemerintah tidak mampu melakukan kontrol terhadap pasar secara efektif

c. Program PIR Perunggasan (1984) melalui kerjasama tertutup

Atas dasar kegagalan kebijakan di atas pemerintah mencoba membuat kebijakan baru pembenahan struktur industri unggas menjadi berbentuk PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Tujuan kebijakan ini tak lain untuk melindungi usaha rakyat, namun secara tidak langsung menerima kehadiran usaha skala besar. Pola PIR merupakan bentuk struktur kerjasama antara inti dan peternak plasma. Inti berfungsi sebagai lembaga pemasaran yang bertugas mensuplai masukan terutama bibit dan pakan kepada peternak secara kredit, dan membeli keluaran telur dan daging dari peternak tersebut. Dengan kata lain inti tidak saja membantu permodalan

(17)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 9 tetapi juga pemasaran. Sementara itu peranan peternak harus membayar masukan yang dibelinya dengan hasil pen jualan keluaran yang diperolehnya. Berapa harga keluaran itu per unit akan ditentukan bersama, tetapi kesepakatan itu harus selalu menguntungkan peternak. Secara konseptual, peternak mandiri mendapat jaminan dalam pemasaran dan mendapat perlindungan inti dengan harga yang menguntungkan.

Namun kenyataan tidak memperlihatkan hal demikian. Pola PIR ternyata tidak bisa berjalan. Sebagian besar peternak kecil dalam periode ini malah gulung tikar (Rusastra dkk.,1988). Maka yang terjadi adalah mekanisme pasar yang sudah terlanjur bekerja terlalu kuat untuk dikoreksi. Pemerintah sendiri kehilangan arah menghadapi kenyataan ini. Selain itu, tahun 1987 dikenal sebagai

tahun keprihatinan, karena secara keseluruhan industry

menghadapi berbagai masalah yang tidak kunjung selesai. Antara lain tingginya fluktuasi harga telur dan daging broiler, fluktusasi harga bibit, dan kenaikan harga pakan yang terus menerus sehingga menyulut kegelisahan masyarakat perunggasan.

d. Kepres No. 22/1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras

Selama masa 2 tahun 1989-1990 usaha industri unggas bergerak tumbuh tanpa kendali pemerintah. Pertengahan tahun 1990, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang tertuang dalam Kepres 22 Mei 1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras yang menyatakan bahwa :

- Usaha ternak ayam ras rakyat yang tidak lebih dari 15.000 ekor,

tidak memerlukan izin kecuali melapor kepada dinas peternakan setempat;

- usaha skala besar diperkenankan dengan syarat harus bermitra

(18)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 10 usaha rakyat lebih besar, dan sekurang-kurangnya 65 persen produksi untuk ekspor terutama untuk PMA. Khusus untuk skala besar harus meminta izin kepada Menteri Pertanian.

Keppres 22 Mei 1990 masih dinilai merupakan kebijakan yang tetap membingungkan, karena seperti telah dibahas bahwa peternakan rakyat hanya mampu pada ukuran kurang dari 1000 ekor, maka pembatasan 15000 ekor untuk usaha rakyat tidak memecahkan masalah, karena tidak ada usaha rakyat yang akan berkembang mencapai skala usaha itu karena kesulitan modal. Pada sisi lain tidak ada pemilik modal yang bersedia menanam investasi untuk skala 15 000 ekor tersebut karena terlalu kecil dibandingkan pasar yang sangat luas. Namun demikian, Keppres ini telah dimanfaatkan oleh skala besar untuk mengelabui pemerintah dengan membagi-bagi usahanya dalam berbagai nama kepemilikan sehingga tidak menyimpang dari Keppres No. 22 Tahun 1990 tersebut. Pada kenyataannya dalam periode 1992-1996 tercapai kemajuan industri ayam ras dengan prestasi yang tertinggi karena dominasi perusahaan besar yang sangat tinggi.

e. SK Menteri Pertanian No.472 Tahun 1996

Keputusan Menteri ini merupakan petunjuk teknis Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras Kebijakan ini sebagai upaya pemerintah untuk mendorong usaha peternakan rakyat. Melalui kemitraan diharapkan dapat terjadi suatu simbiosis yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan dengan peternakan rakyat. Kemitraan tidak terbatas pada bentuk Peternakan Inti Rakyat (PIR) tapi juga dapat dalam bentuk pengelola maupun penghela. Perusahaan Penghela adalah perusahaan bidang peternakan yangmengadakan kemitraan dengan pola penghela yang berkewajiban melakukan bimbingan teknis, menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam

(19)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 11 ras, tidak mengusahakan permodalan dan tidak melaksanakan budidaya ayam ras sendiri. Perusahaan Pengelola adalah perusahaan dibidang peternakan yang mengadakan kemitraan dengan pola pengelola yang berkewajiban menyediakan sarana produksi, bimbingan teknis dan manajemen, menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam ras, mengusahakan permodalan tetapi tidak melaksanakan budidaya ayam ras sendiri.

2.2. Tinjauan Konseptual Persaingan Usaha

Keadaan konsumsi dan permintaan suatu komoditas atau produk

tercakup produk daging ayam (broiler) sangat menentukan banyaknya

komoditas atau produk yang dapat digerakkan oleh sistem tataniaga dan memberikan arah bagi produsen berapa besar harus memproduksi. Secara teoritis jumlah output yang diminta ditentukan oleh harga output tersebut, pendapatan, harga barang lain yang terkait, jumlah penduduk, dan selera konsumen (Koutsoyiannis, 1979; Henderson and Quandt, 1980). Sementara itu, penawaran suatu output ditentukan oleh harga output tersebut, teknologi yang digunakan, harga-harga dari input, harga barang lain (Koutsoyiannis, 1979; Henderson and Quandt, 1980).

Secara teori ekonomi, permintaan di tingkat konsumen dapat langsung berhadapan dengan penawaran disisi produsen dengan beberapa asumsi pokok sebagai berikut (Williamson, 1985; Dixit, 1996; dan Hutagaol, 2007; Saptana dan Daryanto, 2013): pertama, perilaku

individu bersifat rasional sempurna (perfectly rational), hal ini

mengandung dua makna, yaitu: (a) individu berperilaku

memaksimumkan kepuasan (maximaxy ulitity), dan (b) individu

berperilaku individualistik (individualistic). Kedua, informasi bersifat

sempurna dan produk bersifat identik total. Informasi sempurna berimplikasi pada pasar bersaing secara sempurna, tidak ada biaya

(20)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 12

transaksi tercakup biaya pemasaran (costless), dan barang atau jasa

disampaikan tanpa memerlukan waktu (timeless). Produk identik secara

total mengandung arti bahwa produk sama sekali tidak dapat dibedakan

satu sama lain (homogen).

Dalam realitasnya, informasi tidak sempurna dan perlu biaya mahal untuk memperolehnya. Transaksi ekonomi dihadapkan pada

masalah informasi asimetris, terjadi perilaku moral hazards, dan ongkos

transaksi positif. Diantara produsen dan konsumen dihubungkan oleh sistem tataniaga yang diperankan oleh pelaku tataniaga (Rahman, 1997; Satana dan Rachman, 2015). Dalam memainkan perannya pelaku tataniaga tersebut memperoleh imbalan sebesar perbedaan harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayar konsumen. Perbedaan

harga tersebut dikenal dengan istilah marjin tataniaga (marketing

margin) yang terdiri atas biaya pemasaran (marketing cost) yang

dikeluarkan pelaku tataniaga dan keuntungan pemasaran (profit margin)

yang diterima pelaku tataniaga (Tomeck dan Robinson, 1990).

Terdapat dua pendekatan analisis pemasaran perspektif makro,

yaitu pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja (

Structure-Conduct-Performance/S-C-P) dan pendekatan Chicago Schooll (Gonarsyah, 1996/1997). Pendekatan S-C-P merupakan metode yang dikembangkan oleh Edward S. Mason (1949) dan Joe S. Bain (1954). Mason dan Bain menyatakan bahwa terdapat hubungan yang langsung dan kuat antara

struktur pasar sebuah industri (market structure), praktek bisnis dan

perilaku pihak-pihak pembentuk pasar (market conduct) dan kinerja

industri itu sendiri (market performance). Asmarantaka (2009)

mengungkapkan pendekatan S-C-P lebih didasarkan pada kajian-kajian

empiris; sedangkan pendekatan Chicago School lebih bersifat agregasi

dan lebih bersifat kuantitatif, lebih menekankan penentuan harga (price

determination), dan lebih banyak melihat pengaruh kebijakan pemerintah dalam penentuan harga. Pendekatan S-C-P lebih

(21)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 13 menekankan aspek deskriptif, melihat kasus-kasus empiris disuatu wilayah, pembahasan aspek kelembagaan pasar lebih dominan, dan

lebih menekankan penemuan harga (price discovery) serta menjelaskan

tindakan perusahaan atau pedagang yang melakukan penguasaan

pasar (market power).

Hamond and Dahl (1977) mengemukakan lima jenis struktur pasar pada komitas atau produk pangan dan serat, secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Lima Jenis Pasar pada Sistem Produk Pangan dan Serat Karakteristik struktural Struktur pasar dari sisi pelaku

Jumlah perusahaan

Sifat

produk Penjual Pembeli

1. Banyak Standarisasi Persaingan

sempurna

Persaingan sempurna

2. Banyak Diferensiasi Monopolistic

competition

Monopsonistic competition

3. Sedikit Diferensiasi Oligopoli Murni Oligopsoni Murni

4. Sedikit Diferensiasi Oligopoli

Diferensiasi

Oligopsoni Diferensiasi

5. Satu Unik Monopoli Monopsoni

Sumber: Hamand and Dahl (1977).

Dalam kerangka sistematika struktur pasar, kartel masuk dalam struktur pasar oligopoli yang kolusif (Koutsoyiannis, 1979). Pasar Oligopoli dapat didefinisikan sebagai suatu pasar dimana terdapat beberapa produsen yang menghasilkan barang dan atau jasa yang saling bersaingan (Sukirno, 1985). Selanjutnya dikemukakan bahwa ciri-ciri pasar oligopoli adalah :(1) jumlah perusahaan sangat sedikit; (2) barang yang dihasilkan, saling berkompetisi dipasar di pasar; (3) memiliki kemampuan mempengaruhi harga ada; (4) terdapat hambatan

masuk pasar (barrier to entry); dan (5) pada umumnya perusahaan

oligopoli perlu melakukan promosi melalui iklan.

Sebagai akibat dari perkaitan dan hubungan yang saling mempengaruhi, perusahaan oligopoli harus membuat perhitungan yang

(22)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 14 cermat mengenai reaksi dari perusahaan pesaing, apabila ia mengambil kebijakan menurunkan atau menaikkan harga. Secara umum reaksi dari perusahaan oligopoli saingan adalah sebagai berikut (Purcell, 1979) : (1) Oligopoli A menaikkan harga, oligopoli saingan akan tetap mempertahankan harga, sehingga dapat merebut langganan; dan (2) Oligopoli A menurunkan harga, oligopoli saingan akan mengikuti menurunkan harga, kondisi ini dapat menimbulkan perang harga dan dapat mengancam usahanya. Kurva permintaan yang dihadapi oleh

perusahaan oligopolistik adalah kurva permintaan yang patah (kinked

demand curve) dan kuva penerimaan marginal (marginal revenue MR)

adalah terputus (MR1 dan MR2), secara terperinci dapat dilihat pada

Gambar 1 dan 2 berikut.

Dalam kondisi demikian, maka keuntungan maksimal dicapai pada saat MC=MR. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pada

perusahaan yang mempunyai struktur biaya antara MC1 hingga MC2

(titik B1 hingga titik B2 ) maka tingkat keuntungan maksimum yang

dicapai perusahaan akan tetap sama, dengan tingkat harga Po dan jumlah Qo. Atau dengan kata lain selama kurva biaya marginal (MC) memotong MR antara titik B1 dan B2, harga dan jumlah produksi yang dihasilkan perusahaan oligopolis tidak mengalami perubahan.

0 0 E D1 D2 P0 Q0 P Q MR2 MR1 B2 B1 E D1 D2 P0 Q0 P Q MC2 MC1 Gambar 1 Gambar 2

(23)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 15

Gambar 2.1 Kurva Permintaan dan Kurva Biaya Perusahaan Oligopoli Berdasarkan pada analisis di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam pasar oligopoli di mana perusahaan-perusahaan tidak melakukan kesepakatan diantara mereka, tingkat harga bersifat rigit (sukar berubah). Dalam pasar oligopolistik, akan sangat menguntungkan bagi semua perusahaan jika mereka bekerja sama melakukan kesepakatan-kesepakatan inilah yang disebut kartel.

Secara umum ada 2 (dua) bentuk kartel, yaitu: (1) kartel yang

bertujuan memaksimumkan profit bersama (joint profit maximization); dan

(2) kartel yang bertujuan melakukan pembagian pasar (sharing of the

market). Pada kartel bentuk yang pertama, perusahaan anggota kartel menyatukan struktur biayanya dan memaksimumkan keuntungan bersama. Sementara bentuk yang kedua, dibedakan menjadi 2, yaitu: (1)

persetujuan persaingan non harga (non price competition agreement),

sebagai contoh perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia; dan (2)

persetujuan quota (Quota agreement).

Biasanya struktur industri dari pasar oligopoli adalah terdapat beberapa perusahaan besar yang mendominasi industri dan beberapa perusahaan kecil. Beberapa perusahaan golongan pertama (yang menguasai pasar) saling mempengaruhi satu sama lain, karena keputusan dan tindakan oleh salah satu perusahaan dapat mempengaruhi perusahaan-perusahaan lainnya. Kondisi tidak tercapainya keuntungan maksimum pada masing-masing perusahaan dalam kartel dapat diilustrasikan melalui gambar 3, 4 dan 5. Dimana gambar 3 menunjukkan perusahaan dengan struktur biaya lebih rendah, gambar 4 adalah perusahaan dengan struktur biaya lebih tinggi dan gambar 5 adalah gabungan perusahaan 1dan 2 membentuk struktur pasar monopoli (kartel).

(24)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 16 Keuntungan maksimum kartel dicapai pada saat pemotongan MC dan MR (di titik e gambar 5), dengan menarik titik tersebut ke kurva demand dan kemudian dengan menarik ke sumbu vertikal diperroleh tingkat harga P. Pada tingkat harga tersebut besarnya keuntungan perusahaan 1 adalah sebesar persegi panjang a,b,c,P, sedangkan perusahaan 2 sebesar persegi panjang q,f,h,P. Dimana besarnya keuntungan perusahaan 1 lebih besar dibandingkan perusahaan 2, dan tingkat keuntungan yang dicapai masing-masing perusahaan bukanlah keuntungan-maksimalnya.

Gambar 2.2 Struktur Biaya Perusahaan Monopoli 2.3. Biaya Pokok Produksi dan Harga Produk Unggas Indonesia

Faktor-faktor yang mendorong permintaan untuk produk peternakan ke depan ditentukan oleh jumlah penduduk dan pertumbuhannya, tingkat pendapatan, fenomena urbanisasi dan segmentasi pasar, serta preferensi konsumen. Produk perunggasan

tergolong produk bernilai ekonomi tinggi (high economics value

products) yang artinya semakin tinggi pendapatan masyarakat maka semakin tinggi pula permintaan terhadap produk-produk perunggasan. Semakin besar jumlah penduduk dan pertumbuhan yang masih positif akan meningkatkan permintaan produk-produk peternakan. Fenomena

MC1 MC2 MR AC2 AC1 a b e1 x1 c P Pc 0 x q f h e2 x2 x 0 P Pc Pc P MC=MC1+MC2 e x = x1 + x2 x D 0

(25)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 17 urbanisasi dan makin besarnya pangsa penduduk yang tinggal di perkotaan akan mendorong permintaan produk-produk peternakan. Selain itu, adanya fenomena segmentasi pasar dan peningkatan jumlah penduduk kelas pendapatan menengah-atas akan meningkatkan permintaan produk-produk peternakan. Perubahan preferensi konsumen

dari konsumsi daging merah (red meat) ke daging putih (white meat)

juga akan meningkatkan permintaan terhadap produk daging ayam. Pada sisi penawaran faktor-faktor yang berpengaruh adalah produksi, produktivitas dan daya saing produk perunggasan. Hal ini sangat terkait erat dengan ketersediaan dan harga DOC, ketersediaan dan harga pakan, perubahan tekonologi (genetika, pakan dan logistik), ketersediaan air bersih, ketersediaan dan harga energi, dan lingkungan kebijakan yang kondusif (kerangka insentif, regulasi pasar, kebijakan

kredit, sanitary standards, kebijakan pertanahan, ketenagakerjaaan dan

lingkungan).

Menurut Fitriani, sistem integrasi tidak mencapai efisisiensi tinggi disebabkan oleh beberapa faktor:

a. Terjadi integrasi semu pada indusri perunggasan, dimana perusahaan peternakan sebagai integrator membentuk semacam anak-anak perusahaan atau cabang usaha-cabang dengan manajemen terpisah-pisah.

b. Bahan baku pakan ternak tergantung impor yang harganya terus

menerus mengalami peningkatan, karena persaingan (food, feed,

bio-fuel dan fiber).

c. Struktur pasar yang cenderung oligopolistik pada pasar input dan oligopsonistik pada pasar output.

d. Terjadi fenomena excess profit bagi pelaku usaha tertentu dan

marginal profit bagi peternak mandiri.

Selain itu, bisnis industri perunggasan saat ini dihadapkan pada realita dimana harga produk unggas ditingkat peternak terus merosot

(26)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 18 hingga di bawah biaya pokok produksi. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya harga pakan input produksi terutama harga pakan yang dipicu oleh meningkatnya harga bahan baku pakan. Hal lain yang juga tidak hanya dihadapi oleh peternak domestik melainkan juga peternak global adalah meningkatnya harga input peternakan berupa bibit (DOC), pakan, obat-obatan, vitamin dan mineral, serta energi dan air bersih. Kondisi ini diperburuk oleh stagnansi atau pelambatan daya beli masyarakat terhadap produk hasil unggas.

Kerentanan yang dapat terjadi akibat hal tersebut ditambah lagi dengan karakteristik permintaan yang berfluktuasi pada hari perayaan tertentu, mengakibatkan terjadinya fluktuasi harga daging ayam di tingkat eceran. Tingkat fluktuasi harga daging ayam broiler dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.3 Perkembangan Harga Eceran Daging Ayam Broiler

Sumber: Ditjen PDN, Kemendag, 2015

Meskipun struktur industri perunggasan didominasi oleh system yang terintegrasi, namun struktur biaya produksi broiler di Indonesia dapat dikatakan belum efisien. Menurut Tangendjaya (2013), jika dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia,

(27)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 19 Thailand dan Philipina, maka harga biaya produksi broiler di Indonesia relatif lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.2 Perbandingan Biaya Produksi, Harga Pakan dan

Harga DOC di Negara ASEAN

Biaya produksi, harga pakan dan harga DOC dinegara ASEAN (US$)*

Item Indonesia Malaysia Thailand Philippines

Cost of day old chick 0.38 0.21 0.16 0.27

Feed price/kg

1. Broiler starter 0.24 0.21 0.22 0.28

2. Broiler grower 0.23 0.20 0.21 0.25

3. Broiler finisher - - 0.20 0.20

Cost to produce 1 kg live weight

broiler 0.80 0.63 0.50 0.62

Market price of 1 kg live weight

broiler 0.91 0.71 0.75

*Tangendjaja (2013)

Sumber: Tangendjaya, 2013

2.4. Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar Sektor Unggas Indonesia Industri broiler Indonesia saat ini cenderung oligopolistik. Hal ini setidaknya dapat diindikasikan pada hal berikut:

(i) Kurang lebih 75 persen pangsa pasar hanya dikuasai oleh 40

persen perusahaan (Prasetya, 2011; Yudja et al., 2004; Fitriani, 2006; Agustina, 2009 dalam Fitriani et al., 2014);

(ii) Perusahaan peternakan skala besar menerapkan sistem integrasi vertikal (Prasetya, 2011 dalam Fitriani et al, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani et al. (2014) yang bertujuan untuk

menganalisis struktur pasar broiler dan mengukur dampak market

power terhadap industri broiler di Indonesia, menunjukkan hasil sebagai berikut:

(28)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 20

a. Dalam periode 2003 – 2012, rasio konsentrasi dan entry

barrier semakin tinggi.

Indikator 2003 2012

CR4 50,26 54,81

MES 0,13 0,14

Hal ini berarti bahwa perusahaan brolier cukup terbuka tetapi dalam jangka panjang hanya perusahaan yang efisien yang akan mampu bertahan.

b. Ada permasalahan yang timbul dari integrasi vertikal saat ini. Fitriani et al (2014) menyebut intergasi saat ini jauh dari sempurna karena intergrasinya mengarah pada bentuk monopoli atau oligopoli.

c. Distorsi pasar menghasilkan pasar yang tidak kompetitif dan seringkali hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Oleh karena itu review atas kebijakan pemerintah sangat perlu dilakukan.

Kondisi saat ini peternak unggas harus berjuang sendirian untuk meningkatkan daya tawarnya dalam pasar hasil ternak unggas yang tidak bersaing sempurna. Bahkan, peternak tidak mengetahui bahwa pasar broiler saat ini tidak bersaing sempurna. Meskipun sudah dibentuk wadah peternak melalui asosiasi-asosiasi, seperti PPUI (Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia), yang mengkoordinasikan peternak unggas rakyat. Asosiasi ini berkedudukan Pejaten, Jakarta Selatan dan GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional), yang mengkoordinasikan peternak ayam secara nasional. Asosiasi ini berkedudukan di Bogor.

Dalam penelitian yang lain Fitriani et al (2014) menyatakan bahwa integrasi mempengaruhi konsentrasi pasar dan kekuatan pasar. Menurut Wang (2012) dalam Fitriani et al. (2014) menyebutkan industri

(29)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 21 yang terkonsentrasi akan memiliki kekuatan pasar yang tinggi, akibatnya kesejahteraan sosial akan menurun. Hal ini sejalan dengan kinerja industri broiler yang menunjukkan perkembangan harga daging ayam meningkat seiring dengan peningkatan produksi dari waktu ke waktu.

Salah satu cara untuk melihat tingkat efisiensi harga dan integrasi pasar/harga adalah dengan menggunakan metode Ravalion. Pada tahun 1994, Carol dan John melakukan penelitian tentang integrasi

pasar di pasar beras Indonesia dengan judul Cointegration and Market

Integration: An Application to the Indonesian Rice Market menggunakan model Ravallion dan mendapatkan hasil bahwa secara umum terdapat integrasi pasar antara harga beras di 7 daerah sampel (Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Banjarmasin, Ujung Pandang dan Papua); Selain itu, Tahir (1997) melakukan kajian integrasi pasar komoditi

pertanian (gandum, kapas, dan beras) dengan judul Integration of

Agricultural Commodity Markets in The South Punjab Pakistan menggunakan model Ravallion dan mendapatkan hasil bahwa integrasi pasar untuk beras di Pakistan menghasilkan dua kesimpulan yang berbeda. Untuk daerah produsen beras yang memiliki harga acuan, ditemukan integrasi pasar beras dan sebaliknya. Sementara untuk gandum dan kapas secara umum hasil yang didapat menunjukkan bahwa kedua komoditi ditemukan memiliki integrasi pasar;

Penelitian yang dilakukan Malian dan Adimesra (2003), dengan

judul Struktur Integrasi Pasar Ekspor Lada Hitam dan Lada Putih di

Daerah Produksi Utama, mencoba mengetahui struktur dan integrasi pasar lada hitam dan lada putih di Indonesia dengan model Ravallion. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa tidak ada integrasi pasar antara tingkat pasar petani dengan tingkat pasar pedagang besar. Hal ini terjadi disebabkan karena tidak tersedianya informasi pasar yang cukup,

(30)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 22 sehingga petani selalu menerima tingkat harga yang ditetapkan oleh pedagang;

Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Sayaka (2006) dengan pendekatan SCP pada industri benih jagung di Provinsi Jawa Timur mendapatkan hasil struktur pasar produsen benih jagung di Provinsi Jawa Timur berbentuk oligopolistic. Secara umum pasar benih jagung di Jawa Timur kurang efisien. Dengan pendekatan yang sama (SCP), Septiani (2013) menganalisis struktur-perilaku-kinerja dalam persaingan industri pakan ternak di Indonesia dan menyimpulkan bahwa struktur pasar industri pakan ternak di Indonesia adalah struktur pasar oligopoli longgar. Sedangkan perilaku industri pakan ternak di Indonesia menggunakan strategi harga, produk dan promosi. Di sisi kinerja, didapat kesimpulan bahwa kinerja industri pakan ternak di Indonesia masih kurang baik.

2.5. Kerangka Pemikiran

STRUKTUR INDUSTRI AYAM BROILER

Terintegrasi Non – Terintegrasi/ Mandiri LIVE BIRD Struktur Biaya Produksi Analisis Struktur Biaya -DOC -Pakan -Vaksin SCP REKOMENDASI KEBIJAKAN Kemitraan

Peternak Pengumpul Pedagang Pedagang Besar (Grosir) Rumah Potong Ayam Pedagang Eceran Rumusan kebijakan yang mendorong efisiensi distribusi ayam broiler.

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Kajian

(31)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 23

3. BAB III

METODE PENGKAJIAN

3.1. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah terdiri dari 2 tools analysis yaitu analisis struktur biaya produksi dan Structure Conduct Performance (SCP). Tujuan penelitian pertama akan dijawab dengan menggunakan metode analisis struktur biaya produksi sedangkan tujuan ketiga akan dijawab dengan menggunakan metode SCP.

3.1.1. Analisis Struktur Biaya Pokok Produksi Peternak Kemitraan dan Peternak Mandiri

Analisis struktur biaya produksi digunakan untuk melihat perbedaan struktur biaya antara peternak kemitraan dan peternak mandiri dalam menghasilkan produk ayam broiler. Meskipun secara hipotesa dapat dipastikan bahwa struktur biaya produksi peternak kemitraan lebih kecil yang artinya lebih efisien, namun penelitian ini ingin melihat sejauh mana perbedaan struktur biaya antara keduanya. Hal ini akan bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam merespon semakin berkurangnya keberadaan peternak mandiri akibat sulit bersaing dengan perusahaan terintegrasi.

Selain itu, analisis struktur biaya ini juga untuk melihat tingkat pendapatan sehingga masing-masing dapat dibandingkan tingkat pendapatan per unit produksi. Untuk mengetahui struktur biaya (biaya sapronak dan biaya operasional), penerimaan dan pendapatan dilakukan dengan analisis diskriptif, yakni dengan mengetahui besarnya masing jenis biaya dengan persentase. Sementara untuk melihat tingkat pendapatan digunakan

(32)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 24 perhitungan sebagaimana dikembangkan oleh Soekartawi (1993) yaitu sebagai berikut :

π

= TR – TC

dimana: π = keuntungan (margin) usaha ternak

TR = total penerimaan TC = total biaya

Return/Cost (R/C) ratio adalah merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya dengan rumusan sebagai berikut (Soekartawi, 1993): a = R / C R = Py x Y C = FC + VC a = Py x Y / (FC+VC) keterangan : a = R / C ratio R = penerimaan (revenue) C = biaya (cost) Py = harga output Y = output

FC = biaya tetap (fixed cost) VC = biaya variable (variable cost)

Kriteria keputusan: R/C > 1, usaha ternak untung - R / C < 1, usaha ternak rugi

- R / C = 1, usaha ternak impas (tidak untung/tidak rugi) Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin besar R/C ratio maka akan semakin besar pula keuntungan yang diperoleh peternak.

(33)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 25

3.1.2. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Distribusi Ayam Broiler dengan Pendekatan Structure, Conduct and Performance (SCP)

Pendekatan SCP merupakan pendekatan analisis yang dikembangkan oleh Edward S. Mason (1949) dan Joe S. Bain (1959). Mason dan Bain menyatakan bahwa terdapat hubungan yang langsung dan kuat antara struktur pasar sebuah industri (market structure), praktek bisnis dan perilaku pihak-pihak

pembentuk pasar (market conduct) dan kinerja industri itu sendiri

(market performance). Model ini pertama kali dikembangkan dalam bidang organisasi industri, memiliki keunggulan antara lain analisis yang lebih komprehensif dan kesimpulan yang dihasilkan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan analisis tradisional yang memiliki kecenderungan menggunakan analisis parsial.

Gambar 3.1 Hubungan Sebab Akibat Antara Struktur, Perilaku dan Kinerja

Sumber: Sayaka B, 2006

A. Structure

Secara teoritis struktur pasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu persaingan sempurna dan persaingan tidak sempurna. Persaingan tidak sempurna dibedakan menjadi tiga yaitu persaingan monopoli, oligopoli dan monopolistik.

Struktur pasar dapat dilihat dari tiga hal yaitu jumlah perusahaan, tipe produksi dan hambatan masuk.

(34)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 26

1) Pangsa Pasar (Market Share)

Pangsa pasar adalah perbandingan antara hasil penjualan suatu perusahaan dengan total penjualan. Pangsa pasar mencerminkan proksi keuntungan bagi perusahaan karena pangsa pasar yang besar biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar dalam menghadapi persaingan dan sebaliknya. Pangsa pasar dapat dihitung dengan beberapa cara yaitu berdasarkan nilai penjualan. Pada produk yang bersifat homogen seperti ayam broiler pangsa pasar diukur dengan menggunakan unit atau volume penjualan.

2) Konsentrasi (Concentration)

Konsentrasi sering digunakan sebagai ukuran tingkat persaingan. Konsentrasi juga sering dipakai sebagai alat analisis struktur pasar, perilaku dan kinerja perusahaan yang beroperasi di dalamnya dan secara tidak langsung menjadi indikator perilaku anti persaingan atau kolusi. Nilai konsentrasi pasar dapat menunjukkan derajat oligopoli. Pada penelitian ini untuk menganalisis konsentrasi menggunakan jumlah pelaku usaha yang terlibat dalam satu pasar.

3) Hambatan Untuk Masuk (BarriertoEntry)

Barrier to entry dapat didefenisikan sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang

baru (new entrant) untuk bersaing atas dasar yang sama

dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam definisi ini,

kombinasi biaya dan skala ekonomi dapat menjadi barrier

to entry. Secara operasional hambatan masuk dapat dilakukan dengan melihat perbandingan struktur biaya,

(35)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 27 harga jual, dan keuntungan antar pelaku usaha dalam sistem distribusi/pemasaran ayam broiler.

B. Conduct (Perilaku)

Perilaku pasar merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu. Terdapat tiga kriteria untuk melihat perilaku industri yaitu

strategi harga, kondisi entry dan tipe produk. Perilaku

pasar mencakup (Asmarantaka, 2009; Saptana dan Saliem, 2015): (a) Penentuan harga dan setting level of output, secara bersama-sama atau price leadership; (b) Perilaku dalam kerjasama antar pelaku usaha dapat direfleksikan oleh pola interaksi dan koordinasi antar pelaku dengan demikian perilaku pasar dapat diukur juga dengan menggunakan tingkat integrasi pasar, secara kuantitatif dapat menggunakan integrasi pasar (Ravallion,

1986); (c) Kebijakan promosi produk (product promotion

policy), melalui pameran atau iklan atas nama perusahaan (Commodity Check of Program & Levy

System); dan (d) Predatory and Exclusivenary, strategi ini

bersifat ilegal karena bertujuan untuk mendorong perusahaan pesaing keluar dari pasar.

Perilaku pasar juga mengenal adanya integrasi horisontal oleh perusahaan peternakan, integrasi vertikal dari hulu hingga hilir, pola-pola kemitraan usaha antara perusahaan peternakan sebagai inti dan peternak mandiri sebagai plasma. Integrasi horisontal dan vertikal dapat menimbulkan efisisiensi, namun dapat berdampak anti persaingan secara sehat.

Salah satu model yang dapat digunakan untuk melihat tingkat efisiensi harga adalah Model Ravallion

(36)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 28 (1986). Model ini telah digunakan secara luas dan dikembangkan serta didiskusikan dalam analisis integrasi pasar spasial.

Dimana Pit adalah harga di eceran i di waktu t, Plt adalah

harga di produsen, dan Xit adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi harga di eceran.

Kelebihan model Ravallion adalah Integrasi pasar

dengan menggunakan model Ravallion dapat

menentukan leading market diantara pasar-pasar lokal.

Sementara itu, beberapa kekurangannya adalah: (1) Adanya asumsi bahwa ada satu pasar pusat yang dikelilingi beberapa pasar lokal sehingga perlu pengetahuan tentang struktur pasar; (2) Derajat keterpaduan pasar juga tidak dapat diukur dengan model ini; (3) Model Ravallion sesuai untuk menganalisis keterpaduan jangka pendek dan juga sesuai untuk data bulanan, tetapi tidak cocok untuk menganalisis keterpaduan jangka panjang.

Untuk menangkap besarnya pengaruh kedua variabel tersebut terhadap harga di tingkat petani, Timmer (1987) mengembangkan suatu indeks hubungan

pasar yang dikenal dengan nama IMC (Index of Market

Conection). IMC merupakan rasio dari koefisien dua variabel harga yang mempengaruhi harga yang terjadi di

tingkat petani, yaitu (1 + b1)/( b3- b1) atau β1/β3. Apabila

(37)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 29 terintegrasi dan apabila indeks IMC = ~, yaitu jika b1 = b3, dikatakan pasar tidak terintegrasi.

C. Performance (Kinerja)

Kinerja adalah hasil dari kekuatan perusahaan dan perilaku perusahaan. Kinerja merupakan tolok ukur dari keberhasilan strategi perusahaan. Apabila kinerja perusahaan baik maka dapat dianggap strategi

perusahaan berhasil. Analisis Keragaan pasar (market

performance) menekankan pada analisis pasar serta pengaruhnya terhadap jumlah output dan harga yang terjadi di pasar. Keragaan pasar mencakup tingkat efisiensi pemasaran, margin pemasaran, kapasitas penggunaan atau pemanfaatan, proses inovasi dan insentif (dalam mengurangi biaya, peningkatan produk, dan kepuasan konsumen).

Beberapa indikator utama pengukur kinerja (performance) adalah sebagai berikut:

1) Keuntungan

Neoklasik mengasumsikan bahwa pendapatan yang tinggi adalah hasil dari pangsa pasar

perusahaan dominan. Menurut aliran Chicago School

pendapatan yang tinggi merupakan hasil dari efisiensi biaya produksi. Menurut ahli ekonomi lain, pendapatan yang tinggi adalah hasil dari inovasi, atau hasil dari manajerial yang baik. Keluar atau bertahannya suatu perusahaan dalam suatu industri ditentukan oleh keuntungan yang didapat. Variabel ini merupakan dampak langsung dari struktur pasar.

(38)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 30

2) Margin Tata Niaga

Dalam memainkan perannya pelaku tataniaga tersebut memperoleh imbalan sebesar perbedaan harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayar konsumen. Perbedaan harga tersebut dikenal

dengan istilah marjin tataniaga (marketing margin)

yang terdiri atas biaya pemasaran (marketing cost)

yang dikeluarkan pelaku tataniaga dan keuntungan

pemasaran (profit margin) yang diterima pelaku

tataniaga (Tomeck dan Robinson, 1990). Secara matematis digunakan rumus sebagai berikut:

= = ∏ + = m i n j j Ci M 1 1 Dimana : M = marjin pemasaran Ci = biaya pemasaran I (I = 1,2,3, … , m)

m = jumlah jenis pembiayaan

π = keuntungan yang diperoleh lembaga niaga j (j =

1,2,3, …n)

n = jumlah lembaga niaga yang ikut ambil bagian dalam proses pemasaran tersebut.

Dengan menggunakan persamaan ini dimana

rata-rata biaya pemasaran Ci dan keuntungan πi

dikumpulkan melalui survei, maka marjin pemasaran dapat dihitung. Dengan demikian bagian yang diterima petani produsen dari harga pedagang besar atau pengecer dapat ditentukan.

(39)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 31

3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data 3.2.1. Data dan Sumber Data

Mengacu pada metode analisis yang akan dilakukan, data yang dibutuhkan adalah:

- Biaya produksi peternak mandiri dan non-mandiri

- Perkembangan harga eceran

- Perkembangan harga bibit (DOC) - Perkembangan harga pakan

- Jumlah pelaku dalam setiap simpul (dalam satu level)

- Proses bisnis dalam setiap simpul (dalam satu level)

- Biaya distribusi pedagang eceran

- Profil perusahaan yang terkait dengan industri pakan menyangkut produksi, kapasitas produksi, tenaga kerja, segmen pasar dan lain-lain.

- Profil perusahaan yang terkait dengan industri ayam broiler menyangkut produksi, kapasitas produksi, tenaga kerja, segmen pasar dan lain-lain.

Data-data yang dibutuhkan di atas akan dikumpulkan melalui pengumpulan langsung di daerah (primer) dan melalui publikasi dari berbagai sumber.

3.2.2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu pengumpulan data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber meliputi Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, BPS, dan Sekretariat Negara.

Diskusi terbatas yang diselenggarakan di Jakarta akan dilaksanakan sebanyak 3 (tiga) kali. Diskusi pertama

(40)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 32 dilaksanakan untuk mendapatkan masukan mengenai rumusan masalah, ruang lingkup kajian dan metode analisis serta teknik wawancara dan pengambilan data. Diskusi terbatas kedua akan dilaksanakan setelah pelaksanaan survei tim ke beberapa daerah. Pelaksanaan diskusi terbatas kedua bertujuan untuk mendapatkan masukan mengenai hasil pengolahan data sementara dan hasil analisis. Sementara diskusi ketiga dilakukan untuk mendapatkan masukan dari pakar dan stakeholder perunggasan dalam rangka perumusan usulan kebijakan sektor perunggasan sekaligus perumusan draft memo kebijakan.

Diskusi terbatas juga dilaksanakan di masing-masing wilayah survei yakni Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Timur dan Bali. Pelaksanaan diskusi terbatas di daerah survei ini untuk mendapatkan masukan sekligus klarifikasi atas hasil wawancara di daerah. Selain melalui diskusi terbatas, pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara di beberapa daerah dengan panduan kuesioner.

3.2.3. PerencanaanSampling

Penelitian akan dilakukan di lima provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Barat. Dari masing-masing provinsi akan ditentukan dua kabupaten/kota yang masing-masing mewakili daerah sentra produksi dan kabupaten/kota pusat konsumsi/pasar.

Responden penelitian ini relatif luas yang dapat dikelompokkan menjadi 5 katagori utama yaitu: (1) peternak mandiri; (2) peternak plasma; (3) pedagang pengumpul di daerah sentra produksi; (4) pedagang besar antar wilayah dari daerah sentra produksi ke pusat-pusat konsumsi/pasar; (5) pedagang

(41)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 33 grosir di pasar tradisional; (6) pedagang pengecer di pasar tradisional; (7) pedagang retail di pasar modern (meat shop, super market/hyper market, pasar swalayan); (8) Rumah Potong Ayam (RPA); dan (9) dinas atau instansi terkait di tingkat pusat dan provinsi penelitian, serta informan kunci di lapangan (Assosiasi Peternak dan Assosiasi lainnya). Secara rinci cakupan, jenis, dan jumlah responden ditampilkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Sebaran, Cakupan dan Jumlah Responden di Lima Provinsi, Indonesia, 2016

Jenis responden Jabar Jateng Jatim Bali Sumbar Total

1. Peternak Mandiri 4 4 4 4 4 20 2. Peternak Plasma 3 3 3 3 3 15 3. Pedagang Pengumpul 2 2 2 2 2 10 4. Pedagang Besar antar Wilayah 2 2 2 2 2 10 5. Pedagang Grosir pasar 2 2 2 2 2 10 6. Pedagang pengecer pasar 3 3 3 3 3 15

7. Ritel pasar modern 2 2 2 2 2 10

8. RPA/RPU 2 2 2 2 2 10

(42)

Puska Dagri, BPPP, Kementerian Perdagangan 34

4. BAB IV

ANALISIS BIAYA PRODUKSI DAN PERSAINGAN USAHA PADA DISTRIBUSI AYAM BROILER

4.1. Karakteristik dan Struktur Pasar Perdagangan Ayam Broiler di Beberapa Wilayah di Indonesia

Peternakan broiler di Indonesia umumnya berlokasi di daerah-daerah dimana konsumen broiler cukup besar terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Pontianak, Makasar, serta kota-kota pusat pasar termasuk Samarinda dan Balikpapan dan daerah-daerah sentra produksi dengan dukungan bahan baku pakan ternak. Secara empiris daerah sentra produksi broiler terkonsentrasi pada daerah yang dekat dengan pusat pasar dan merupakan sentra produksi bahan baku pakan utama yaitu jagung.

Usahaternak broiler memiliki karakteristik yang hampir sama di seluruh wilayah survei. Sistem usahaternak broiler terdiri dari peternak mandiri, peternak kemitraan internal dan peternak kemitraan eksternal. Peternak mandiri adalah peternak yang menyediakan semua input atas biaya sendiri dan memiliki kebebasan dalam menjual hasil produksi broiler. Peternak dengan sistem kemitraan internal atau biasa juga disebut peternak mitra pabrikan adalah peternak yang bermitra dengan perusahan melalui perjanjian kemitraan yang dituangkan dalam kontrak kerjasama. Pabrikan (perusahaan inti terintegrasi) menyediakan bibit, pakan, dan obat-obatan kepada peternak. Peternak bertanggung jawab memelihara ayam broiler hingga siap panen dimana hasil panen akan diambil oleh perusahaan sesuai dengan harga yang sudah disepakati dalam perjanjian. Sementara, peternakan dengan sistem peternak kemitraan eksternal adalah peternak yang bekerjasama/bermitra dengan pemodal yang menyediakan bibit, pakan, dan obat-obatan. Pihak pemodal bisa dari perusahaan perseorangan, peternak skala besar, dan atau toko sarana

Gambar

Gambar 2.2 Struktur Biaya Perusahaan Monopoli  2.3.  Biaya Pokok Produksi dan Harga Produk Unggas Indonesia
Gambar 2.3 Perkembangan Harga Eceran Daging Ayam Broiler  Sumber: Ditjen PDN, Kemendag, 2015
Tabel 2.2 Perbandingan Biaya Produksi, Harga Pakan dan   Harga DOC di Negara ASEAN
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Kajian  Sumber: Tim Peneliti
+7

Referensi

Dokumen terkait