• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERILAKU KOMUNIKASI PENGEMIS TUNANETRA (Studi Deskriptif pada Pengemis Tunanetra di Persimpangan Traffic Lights Bypass-Ketaping di Kota Padang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERILAKU KOMUNIKASI PENGEMIS TUNANETRA (Studi Deskriptif pada Pengemis Tunanetra di Persimpangan Traffic Lights Bypass-Ketaping di Kota Padang)"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU KOMUNIKASI PENGEMIS TUNANETRA

(Studi Deskriptif pada Pengemis Tunanetra di Persimpangan Traffic

Lights Bypass-Ketaping di Kota Padang)

SKRIPSI

Oleh :

YULIA MARDIANA 1110863015

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ANDALAS

(2)

PERILAKU KOMUNIKASI PENGEMIS TUNANETRA

(Studi Deskriptif pada Pengemis Tunanetra di Persimpangan Traffic

Lights Bypass-Ketaping di Kota Padang)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas

Oleh :

YULIA MARDIANA 1110863015

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ANDALAS

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Three sentences for getting success : know more than others, work more than others and expect less than others

- William Shakesphere -

Minds are like parachutes, they only function when opened

- Walt Disney –

Dengan penuh rasa syukur Alhamdullilah dan segala puji kepada Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, dengan penuh rasa bangga ku persembahkan saksi biksu atas jerih

payahku selama ini kepada….

My Superhero, Papa Edy yang tak pernah mencemburuiku sebab cinta dan kasih sayang yang harus dibagi oleh belahan jiwanya, Mama Ratnawilis, sekaligus malaikat

tak bersayap bagi keenam buah hati mereka.

Terimakasih untuk setiap do’a, dukungan, detik kehidupan, bulir keringat, tetes airmata, serta guratan senyuman yang telah Papa Mama hadirkan, berikan dan korbankan untuk Ananda. Harapku bisa membahagiakanmu selalu. Semoga bisikan

do’a di setiap sujudku menghadap-Nya menjadikan surga sebagai tempat kembali Papa Mama, Aamiin Ya Allah, Aamiin….

Kakak tercinta dr. Rinny Marthavinna dan dr. Nelly Marshelly yang selalu memberikan motivasi untuk selalu berjuang mencapai cita-cita serta adik-adikku tersayang Rawinda Mardhenis, Novia Marlinda dan si bungsu yang paling ganteng Andrea Mariadi yang selalu menghadirkan rasa rindu untuk pulang ke rumah. Kita semua harus sukses untuk membayar segala suka duka yang telah diperjuangkan dan

dilalui Papa Mama tercinta.

Semua yang pernah mengenal, berbuat baik serta mengambil bagian di dalam kehidupanku.

(6)
(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT penguasa semesta alam atas segala nikmat serta limpahan anugerah yang selalu mengalir selama proses penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir serta atas rahmat dan izin Allah SWT yang memberikan penulis kelapangan hati dan pemikiran untuk menjalani semua proses dan tahap, hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PERILAKU KOMUNIKASI PENGEMIS TUNANETRA (Studi Deskriptif pada Pengemis

Tunanetra di Persimpangan Traffic Lights Bypass-Ketaping di Kota Padang)”.

Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW yang membawa cahaya ketengah kehidupan manusia.

Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas. Penulisan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak yang mendukung dan membantu kesempurnaan skripsi ini baik secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Asmawi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas.

(9)

2. Ibu Dr. Ernita Arif, M.Si sebagai Pembimbing I dan Bapak Rinaldi, M.Ikom sebagai Pembimbing II yang dengan sabar dalam mendukung penulis baik berupa ide dan ilmu pengetahuan, membimbing penulis dalam proses penulisan skripsi hingga selesai, serta selalu memberikan arahan dan semangat

3. Bapak dan Ibu yang telah bersedia menjadi penguji dalam sidang proposal dan skripsi ini, antara lain Bapak Dr. Elfitra, M.Si, Bapak Zulfahmi, M.Kom, Ibu Rindi Metalisa, S.P, M.Si, Ibu Revi Marta, M.I.kom, Bapak MA.Dalmena, M.Si, dan Bapak Diego, M.I.Kom. Terima kasih atas kritik dan saran yang dapat menjadi masukan bagi penulis.

4. Segenap dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas yang telah memberikan ilmu dan pelajaran mengenai banyak hal selama ini.

5. Bapak Dekan, dan Wakil Dekan I, II, dan III serta seluruh pegawai FISIP Unand yang telah banyak memberikan bantuan selama ini.

6. Superhero dan malaikat tak bersayap yang selalu sabar dalam membimbing dan membesarkan buah hati tercinta. Lelaki tertangguh dan bijaksana, Papa Edy dan wanita terkasih, Mama Ratnawilis. Semua keberhasilan ini hanya untuk melihat senyum bangga papa mama yang tak lepas dari do’a dan usaha yang tiada henti-hentinya baik secara moril dan materil.

(10)

7. Kakak tercinta dr. Rinny Marthavinna dan dr. Nelly Marshelly yang selalu memberikan motivasi untuk selalu berjuang mencapai cita-cita serta adik-adikku tersayang Rawinda Mardhenis, Novia Marlinda dan si bungsu yang paling ganteng Andrea Mariadi yang selalu menghadirkan rasa rindu untuk pulang ke rumah.

8. Sahabat yang selalu memberi saran dan motivasi serta warna warni kehidupan penulis Yulita Fitri, Rara Chika Melly dan Raja Nona Millani.

9. Pendengar terbaik atas segala keluh kesah kehidupan penulis sejak awal kuliah hingga saat ini Dea Samantha Agner dan Fauzir Rahim.

10. Keluarga kedua diperantauan, Survivor Gaul, Redo Sepramana, Dies Dafit, M. Luthfy, M. Rahimul Amin, Ryan Shauky, Yusra Aini dan Nurwahyu Amalia. Geng skripsian Suci Budiyanti S.I.Kom dan Lutfhi Fauzan S.I.Kom teman yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

11. Amak DPR yang dengan kasih sayangnya selalu memberikan nasehat kepada penulis.

12. Teman-teman Ilmu Komunikasi 2011 yang beragam dan mengesankan, kalian semua hebat dan pantas dibanggakan. Terimakasih untuk kenangan dan warna selama ini. Kita semua adalah orang sukses yang penuh dengan bakat menakjubkan.

(11)

13. Friendtraveller, Ade Hariadi, yang selalu sabar menghadapi penulis juga selalu bersedia meluangkan waktunya untuk melihat keindahan Sumatera Barat. Capaik, Pino, Wanda, Pitok, Redho, Fikry, Angga, Panca, Spu Enzzy, Ade, Robby, Andri Komting, dan bg Iman Zein yang telah memberi warna dan kesan atas apa yang bisa dikenang selama di FISIP.

14. Senior dan Junior di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNAND yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

15. Senior, Teman Seangkatan dan Junior di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNAND yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

16. Kak Ii dan Kak Icha yang selalu dengan baik membantu dalam segala urusan. 17. Dan untuk semua pihak yang tidak tersebutkan namanya, penulis mohon maaf

karena tidak luput dari lupa dan kesalahan.

Skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan penulis menyadari segala kekurangan, untuk itu penulis terbuka atas kritik dan saran demi kesempurnaan karya selanjutnya. Penulis mohon maaf atas semua kesalahan dan terimakasih atas semua dukungan dari segala pihak dan terimakasih untuk semua hal yang penulis

dapatkan selama masa kuliah.

Padang, Oktober 2015

(12)

DAFTAR ISI

Halaman sampul Halaman Judul Lembar Pernyataan Halaman Persembahan

Lembar Pengesahan untuk Ujian Skripsi Halaman Persetujuan

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR/SKEMA ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x ABSTRAK ... xi ABSTRACT ... xii BAB I Pendahuluan ... 1 1.1 Latar Belakang …... 1 1.2 Rumusan Masalah ……... 5 1.3 Tujuan Penelitian ………... 6 1.4 Manfaat Penelitian ………... 6

BAB II Tinjauan Pustaka ... 7

2.1 Penelitian Terdahulu ... 7

2.2 Komunikasi Interpersonal (Antarpribadi) ... 9

2.3 Perilaku Komunikasi …... 9

2.3.1 Komunikasi Verbal ... 11

2.3.2 Komunikasi Nonverbal ……... 11

2.4 Pengemis ... 12

2.5 Disabilitas/Penyandang Cacat ... 13

2.6 Cacat Mata (Tunanetra) …... 15

2.7 Permasalahan yang dihadapi penyandang tunanetra ... 16

2.8 Teori Interaksi Simbolik .. ... 18

(13)

BAB III Metode Penelitian ... 23

3.1 Metode Penelitian ... 23

3.2 Paradigma Penelitian ... 24

3.3 Objek dan Subjek Penelitian ... ... 25

3.4 Informan Penelitian ... 26

3.5 Sumber Data ... 31

3.5.1 Data Primer ... 31

3.5.2 Data Sekunder ... 31

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 32

3.6.1 Observasi ... 32

3.6.2 Wawancara ... 34

3.6.3 Dokumentasi ... 34

3.7 Teknik Analisis Data ... 38

3.7.1 Reduksi data ... 39

3.7.2 Penyajian data ... ... 40

3.7.3 Penarikan kesimpulan atau verifikasi ……... 40

3.8 Uji Keabsahan Data ... 41

3.9 Tabel Jadwal Penelitian ... 41

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 43

4.1 Gambaran Umum Pengemis Kota Padang ... 43

4.2 Kehidupan Pengemis di Persimpangan Traffic Lights Bypass-Ketaping ... ... 46 4.3 Profil Informan ... ... 62 4.3.1 Informan Kunci ... 62 4.3.1.1 Informan 1 ... ... 62 4.3.1.2 Informan 2 ... 63 4.3.1.3 Informan 3 ... 65 4.3.1.4 Informan 4 ... 65 4.3.2 Informan Pendukung ... 66 4.3.2.1 Informan 5 ... 66 4.3.2.2 Informan 6 ... 67

4.4 Komunikasi Interpersonal (Antarpribadi) .. ... 67

4.5 Perilaku Komunikasi Pengemis ... ... 69

4.5.1 Perilaku Komunikasi Verbal dengan Sesama Pengemis ... 71

4.5.1.1 Pengemis yang telah lama mengemis ... 72

(14)

4.5.2 Komunikasi verbal dengan calon dermawan

dan atau dermawannya serta masyarakat ... 77

4.5.2.1 Pengemis yang telah lama mengemis ……... 80

4.5.2.2 Pengemis yang baru mengemis ... 81

4.5.3 Komunikasi Nonverbal ... 81

4.5.3.1 Nada Suara ... 82

4.5.3.2 Isyarat dan Gerakan Tubuh ... 83

4.5.3.3 Penampilan ... 85

4.5.3.4 Ekspresi wajah ... 87

4.6 Analisa Perilaku Komunikasi Pengemis dengan Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead (Mind, Self and Society)... 89

BAB V Penutup ... 99

5.1 Kesimpulan …... 99

5.2 Saran ………... 100

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian terdahulu... 7

Tabel 3.1 Informan Penelitian………... 30

Tabel 3.2 Jadwal Penelitian…...…... 42 Tabel 4.1 Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

Sejak Tahun 2006 s/d 2010…...…... 44 Tabel 4.2 Kehidupan Pengemis di Persimpangan Traffic Lights

Bypass-Ketaping…...…... 61 Tabel 4.3 Istilah-istilah yang ada di lapangan…...… 74

(16)

DAFTAR GAMBAR/SKEMA

Skema 2.2 Kerangka Pemikiran... 22

Gambar 4.1 Neti sedang menghitung hasil pendapatannya……….………. 47

Gambar 4.2 Warung harian milik Niar... 49 Gambar 4.3 Tas yang digunakan Rustami untuk membedakan

letak handphone dan uang…... 55

Gambar 4.4 Bentuk sekat-sekat membedakan nominal uang... 56

Gambar 4.5 Salah satu bentuk lipatan yang disesuaikan

dengan nominal uang dan kesepakatan bersama... 57 Gambar 4.6 Rustami mempraktekkan cara ia menulis pesan dan

melafalkan huruf- huruf yang tercantum

di keypad handphonenya…... 59 Gambar 4.7 Rustami mendengarkan dengan seksama hasil

pengetikan pesan miliknya…... 60

Gambar 4.8 Komunikasi Verbal dengan sesama pengemis…... 76

Gambar 4.9 Model pengelolaan kesan pengemis melalui simbol

verbal…... ... 79 Gambar 4.10 Model pengelolaan kesan pengemis melalui

simbol nonverbal ketika berhadapan dengan calon dermawan

dan atau dermawan…... 88 Gambar 4.11 Simbol-simbol nonverbal ketika berinteraksi dengan

Sesama pengemis dan masyarakat sekitar

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Transkrip Wawancara

(18)

ABSTRAK

PERILAKU KOMUNIKASI PENGEMIS TUNANETRA

(Studi Deskriptif pada Pengemis Tunanetra di Persimpangan Traffic Lights Bypass-Ketaping di Kota Padang)

Oleh : Yulia Mardiana

1110863015

Pembimbing : Dr. Ernita Arif, M.Si

Rinaldi, M.Ikom

Manusia disebut sebagai makhluk sosial, artinya, manusia tidak dapat berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlebih lagi bagi manusia yang memiliki keterbatasan fisik salah satunya tunanetra. Cacat fisik sendiri dipandang sebagai salah satu penghambat manusia untuk beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari di dalam bermasyarakat sehingga, mereka cenderung untuk mengasihani dirinya sendiri karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan layaknya masunia normal. Hal inilah pada akhirnya mendorong mereka untuk mengambil jalan pintas dengan cara menjadi pengemis. Ketika melakukan kegiatan mengemis, pengemis tunanetra selalu didampingi oleh seseorang yang disebut sebagai pendamping/supir. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perilaku komunikasi pengemis tunanetra serta pendampingnya di Kota Padang.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan menggunakan teori Interaksi Simbolik George Herbert Mead untuk menganalisa permasalahan. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah konstruktivis. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara obesrvasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Informan dalam penelitian ini diambil dengan cara

purposive sampling. Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian ini digunakan

triangulasi data.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa perilaku komunikasi pengemis berbeda-beda. Perbedaan perilaku komunikasi ini dipengaruhi oleh perbedaan lamanya telah menjalani profesi sebagai pengemis. Sehingga pengemis dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu pengemis yang telah lama mengemis yang dinilai berdasarkan telah menjalani profesi sebagai pengemis lebih

(19)

dari satu tahun serta pengemis yang baru mengemis yang dinilai berdasarkan telah menjalani profesi sebagai pengemis kurang dari satu tahun. Perilaku komunikasi verbal pengemis dilihat dari segi bahasa, sedangkan perilaku nonverbal terlihat dari nada suara, isyarat dan bahasa tubuh, penampilan fisik dan ekspresi wajah.

Kata Kunci : Teori Interaksi Simbolik, Perilaku Komunikasi, Pengemis Tunanetra

(20)

ABSTRACT

The Communication Behaviour of Blind Beggar

(Descriptive Study on Blind Beggar at Traffic Lights Intersection Bypass-Ketaping in Padang City)

By : Yulia Mardiana

1110863015

Supervisor : Dr. Ernita Arif, M.Si

Rinaldi, M.Ikom

Referred to a social human beings, people can not stand alone to fullfill their needs. Moreover, for people who have physical disability, one of them are blind. Physical disability itself is seen as one of the obstacles to human activities in daily life in the community so that they tend to feel sorry for himself because they could not get a job like a normal people. This is encourage them to take a shortcut by becoming a beggars. When conducting begging, blind beggar was always accompanied by someone who called the escort / driver. The aim of this study was to describe the behavior of the blind beggar communication and its companion in the city of Padang.

This study used a qualitative descriptive approach using the Symbolic Interaction theory by George Herbert Mead to analyze problems. The paradigm used in this study is a constructivist. Collecting data in this study conducted by obesrvasi, in-depth interviews and documentation. Informants in this study were taken by purposive sampling. To test the validity of the data in this study used data triangulation.

Based on the research that has been made known that the communication behavior of beggars different. Differences in communication behavior is influenced by differences in the amount had been his profession as beggars. So beggars can be categorized into two category, the old beggar who has been begging assessed based on his profession as beggars more than one year and a new beggar begging assessed based've profession as beggars less than one year. The behavior of beggars seen verbal communication in terms of language, whereas nonverbal behavior can be seen from the tone of voice, gestures and body language, physical appearance and facial expressions.

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia disebut sebagai makhluk sosial, artinya, manusia tidak dapat berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki tingkat sosialisasi yang tinggi agar semakin mudah untuk beradaptasi terhadap lingkungan sekitar. Komunikasi merupakan kunci utama dalam melakukan kegiatan sosialisasi. Komunikasi itu sendiri terbagi dua, yaitu komunikasi verbal (bahasa) dan nonverbal (simbol, gambar, atau media komunikasi lainnya).

Kita akan menemukan beberapa manusia yang terlahir memiliki keterbatasan fisik (cacat) di dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka ini tentu akan sangat membutuhkan bantuan dari orang-orang sekitarnya dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, bahwa penyandang cacat adalah setiap orang memiliki kelainan fisik ataupun mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang

(22)

cacat tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut, penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental.

Cacat fisik sendiri dipandang sebagai salah satu penghambat manusia untuk beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari di dalam bermasyarakat. Tak jarang dari penyandang cacat (disabilitas) justru ada yang berhasil menjadi orang sukses dengan segala keterbatasannya sehingga dapat menginspirasi orang-orang yang memiliki kekurangan pada fisik lainnya. Kemudian, mereka juga bisa membuktikan kepada masyarakat luas yang terlahir normal bahwasannya disabilitas bukanlah suatu hal yang memalukan ataupun suatu hal yang dapat dijadikan alasan penghambat manusia untuk beraktivitas selayaknya orang normal.

Penyandang disabilitas cenderung mengasihani dirinya sendiri karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan seperti orang normal lainnya, yang mana salah satu syarat setiap ingin melamar pekerjaan adalah sehat jasmani dan rohani. Penyandang disabilitas juga cenderung untuk berpikir negative akan kemampuannya yang seolah-olah mustahil dapat bisa berkreasi dan berinovasi dengan segala kekurangan yang dimiliki pada saat ini. Hal inilah yang pada akhirnya banyak diantara penyandang disabilitas mengambil jalan pintas dengan cara menjadi pengemis atau peminta-minta belas kasihan orang lain

(23)

agar diberi sejumlah uang yang nantinya akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga tetap dapat bertahan hidup.

Pengemis adalah sebutan bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial, diantara sebutan-sebutan lain, seperti gelandangan, anak jalanan, anak terlantar, balita terlantar, dan sebagainya. Selama ini masalah social tersebut tidak kunjung dapat diatasi, atau paling tidak dikurangi. Seiring dengan kemiskinan dan tidak meratanya kesejahteraan secara ekonomi maupun sosial, jumlah pengemis tidak kunjung surut, malah semakin merebak.

Berdasarkan Permensos No. 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial yang dimaksud dengan pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasih dari orang lain.

Pengemis penyandang disabilitas dapat kita temukan di persimpangan jalan, persimpangan lampu lalulintas, tempat makan, depan emperan toko, dsb. Kebanyakan pengemis penyandang disabilitas itu adalah pengemis yang memiliki cacat fisik pada bagian tangan, kaki, mata, dan sebagainya.

(24)

Setelah melakukan observasi awal, peneliti sangat tertarik melihat pengemis tunanetra yang ketika diberi uang Rp 5000,- langsung memasukkan ke dalam kantong celana sedangkan ketika diberi uang pecahan di bawah Rp 5000,- membiarkannya terletak di dalam baskom kecil yang selalu ditentengnya ketika mengemis. Adapun yang menarik dari hal ini adalah bagaimana pengemis tunanetra itu bisa membedakan nominal uang yang diberi oleh sang dermawan dan apa alasan pengemis tunanetra melakukan hal itu serta bagaimana cara pengemis tunanetra ini memanajemen keuangannya untuk kelangsungan hidupnya.

Peneliti juga tertarik memilih pengemis tunanetra sebagai objek penelitian karena melihat ada satu keganjalan pada pengemis tunanetra yang selalu didampingi oleh seseorang saat meminta belas kasih orang lain. Berbeda dengan pengemis penyandang disabilitas lainnya yang kebanyakan terlihat bekerja secara individu. Melihat fenomena ini, timbul lagi pertanyaan tentang siapa orang yang selalu menemani pengemis tunanetra yang peneliti sebut sebagai pendamping. Pendamping yang terlihat normal (tidak memiliki cacat fisik) seolah-olah menjadikan sang tunanetra sebagai objek untuk mendapatkan belas kasihan orang lain. Padahal, pendamping bisa mencari pekerjaan lain yang lebih baik lagi.

(25)

Kemudian, bagaimana pengemis tunanetra ini menginterpretasikan dirinya terhadap orang-orang disekitarnya dan bagaimana pula pengemis tunanetra ini berhasil menginterpretasikan dirinya dihadapan orang lain bahwasannya ia patut mendapat belas kasihan padahal ia sendiri tidak bisa melihat bagaimana penampilannya serta tidak bisa melihat ekspresi dari wajah calon dermawan dan atau dermawannya.

Adanya pengemis tunanetra di kota Padang yang di dampingi oleh pendamping yang terlihat tidak memiliki cacat dan bisa membedakan nominal uang yang ia dapatkan ini membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai interaksi simbolik dan perilaku komunikasi pengemis tunanetra di kota Padang yang diangkat kedalam sebuah penelitian dengan judul “Perilaku Komunikasi Pengemis Tunanetra (Studi Deskriptif Pengemis

Tunanetra di Persimpangan Traffic Lights Bypass-Ketaping di Kota

Padang)”.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah perilaku komunikasi pengemis tunanetra serta pendampingnya di Kota Padang?

(26)

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mendeskripsikan perilaku komunikasi pengemis tunanetra serta pendampingnya di Kota Padang

1.4 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang diharapkan dari terlaksananya penelitian ini adalah, : 1. Manfaat Teoritis

Memberikan gambaran tentang perilaku komunikasi pengemis tunanetra serta pendampingnya di Kota Padang dan dapat menjadi acuan terhadap penelitian atau sejenis.

2. Manfaat Praktis

Peneliti berharap hasil penelitian bisa berguna bagi para pembaca untuk dapat mengetahui tentang perilaku komunikasi pengemis tunanetra serta pendampingnya di Kota Padang.

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian terdahulu termasuk salah satu faktor yang ikut mempengaruhi dan mendukung sebuah penelitian yang lain. Penelitian terdahulu berperan sebagai dasar acuan dan perbandingan dalam penelitian yang sedang dilaksanakan. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang dapat menunjang penelitian ini :

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu NO Nama Peneliti Judul Penelitian Kesimpulan Perbedaan / Persamaan 1. Prof. Dr. Engkus Kuswarno Fenomena Pengemis Kota Bandung Pengemis Kota Bandung memiliki pengelolaan kesan frontstage dan backstage. Perilaku komunikasi terbentuk karena adanya interaksi dan terjadi tidak secara alami. Persamaan terdapat pada subjek yang diteliti. Perbedaan terhadap teori dan metode yang digunakan. 2. Lis Himmatul Holisoh dan Ali Imron ( Jurnal Online Paradigma Dramaturgi Pengemis Lanjut Usia di Surabaya

Pengemis lanjut usia menggunakan simbol-simbol verbal dan nonverbal yang dalam berinteraksi dengan masyarakat Persamaan terdapat pada teori Interaksionisme Simbolik Mead yang digunakan.

(28)

NO Nama Peneliti Judul Penelitian Kesimpulan Perbedaan / Persamaan Vol. 1, No. 3, tahun 2013 Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya) (dermawan). Perbedaannya terdapat pada subyek yang diteliti, penelitian ini subyek penelitiannya adalah pengemis lanjut usia sedangkan peneliti subyek penelitiannya adalah pengemis tunanetra 3. Gisky Andria Putra ( Skripsi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Andalas) Pengelolaan Kesan Oleh Pengemis(Studi Deskriptif Dramaturgi Terhadap Pengemis Di Sekitar Jalan Permindo Pengelolaan kesan frontstage dan backstage pengemis di Permindo berbeda. Penelitian yang dilakukan Gisky Andria Putra memiliki kesamaan objek dengan penelitian yang akan peneliti lakukan, namun perbedaannya adalah penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan Teori Interaksionisme Simbolik bukan Teori Dramaturgi

(29)

2.2 Komunikasi Interpersonal (Antarpribadi)

Komunikasi antarpribadi yang dimaksud di sini adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka. Menurut sifatnya, komunikasi antarpribadi dapat dibedakan atas dua macam, yakni komunikasi diadik (dyadic communication) dan komunikasi kelompok kecil (small group communication) (Cangara,1998 : 36).

Komunikasi diadik ialah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap muka. Komunikasi kelompok kecil ialah proses komunikasi yang berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka, di mana anggota-anggotanya saling berinteraksi satu sama lainnya. Komunikasi kelompok kecil oleh banyak kalangan dinilai sebagai tipe komunikasi antarpribadi karena anggota-anggotanya terlibat dalam suatu proses komunikasi yang berlangsung secara tatap muka. Pembicaraan berlangsung secara terpotong-potong di mana semua peserta bisa berbicara dalam kedudukan yang sama, dengan kata lain tidak ada pembicaraan yang mendominasi situasi. Kemudian, sumber dan penerima sulit diidentifikasikan (Cangara,1998 : 37).

2.3 Perilaku Komunikasi

Perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak manapun yang memerlukan (Gould dan Kolb, 1984 :

(30)

102). Perilaku komunikasi dapat diartikan sebagai tindakan atau respon dalam lingkungan dan situasi komunikasi yang ada. Perilaku komunikasi seseorang dapat dilihat dari kebiasaan berkomunikasi. Berdasarkan definisi perilaku komunikasi, maka hal-hal yang sebaiknya perlu dipertimbangkan adalah bahwa seseorang akan melakukan komunikasi sesuai dengan kebutuhannya.

Perilaku komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan nonverbal secara bersama-sama (Cangara, 2005 : 95). Perilaku komunikasi verbal dan nonverbal adalah suatu cara penyampaian informasi yang tiada hentinya, dan kita sendiri tidak dapat menghindar dalam menerima informasi tersebut. Perilaku verbal sebenarnya adalah komunikasi verbal yang biasa kita lakukan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis symbol yang menggunakan kata-kata atau lebih. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan fikiran, perasaan dan maksud kita, sedangkan pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata.

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh oranglain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan,

pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol

(31)

mental melainkan bagaimana orang tersebut mempelajari simbol sepanjang interaksi pada umum dan khususnya terjadi selama proses sosialisasi (Ritzer dan Goodman, 2008 : 394)

2.3.1 Komunikasi Verbal

Menurut Deddy Mulyana (2000) bahasa dapat juga dianggap sebagai sistem kode verbal. Bahasa dapat didefiisikan sebagai seperangkat simbol-simbol, dengan aturan mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami oleh suatu komunitas. Lebih lanjut Jalaluddin Rakhmat (1994), mendefinisikan bahasa secara fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya bisa dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti.

2.3.2 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang menggunakan pesan-pesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan

(32)

semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Secara teroretis komunikasi nonverbal dan komunikasi verbal dapat dipisahkan. Namun kenyataanya, kedua komunikasi ini saling jalin menjalin, saling melengkapi dalam komunikasi yang kita lakukan sehari-hari.

2.4 Pengemis

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “mengemis” berasal dari “emis” dan punya dua pengertian : meminta-minta sedekah dan meminta dengan merendah-rendah dan dengan penuh harapan. Sedang “pengemis” adalah orang yang meminta-minta. Jadi jelas, pada awalnya pengemis adalah pengharap berkah dapat rezeki di hari Kamis atau dalam bahasa Jawa disebut Kemis.

Menurut Permensos No. 08 Tahun 2012, pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang. Seharusnya pengemis adalah orang yang benar-benar dalam kesulitan dan mendesak karena tidak ada bantuan dari lingkungan sekitar dan dia tidak punya suatu keahlian yang memadai, bukan karena malas untuk mencari mata pencaharian layak lain. Menurut Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980, Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka

(33)

umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain.

Jakob Sumardjo menyebutkan pengemis adalah manusia kalah. Hidup untuk diberi belas kasihan. Hidup untuk menerima dan menghabiskan apa yang telah diterima, kemudian mengemis lagi.

2.5 Disabilitas/Penyandang Cacat

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa: ”Penderita cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental yang oleh karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan secara layak”. Terdiri dari : cacat tubuh, cacat netra, cacat mental, cacat rungu wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis.

Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, bahwa penyandang cacat adalah setiap orang memiliki kelainan fisik ataupun mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut, penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental.

(34)

Sedangkan macam kecacatan terdiri dari :

A. Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara. Yang termasuk dalam kriteria ini adalah cacat kaki, cacat punggung, cacat tangan, cacat jari, cacat leher, cacat rungu, cacat wicara, cacat raba/rasa dan cacat pembawaan.

Cacat tubuh memiliki banyak istilah, salah satunya adalah tuna daksa. Istilah ini berasal dari kata tuna yang berarti rugi atau kurang, sedangkan daksa berarti tubuh. Jadi tuna daksa ditujukan bagi mereka yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna. Sehingga tuna daksa atau cacat tubuh diartikan sebagai berbagai kelainan fungsi dari tubuh untuk melakukan gerakan-gerakan yang dibutuhnya.

Cacat tubuh dapat digolongkan sebagai berikut:

1) Menurut sebab cacat adalah cacat sejak lahir, disebabkan oleh penyakit, disebabkan oleh kecelakaan, dan disebabkan oleh perang.

2) Menurut jenis cacatnya adalah putus (amputasi) tungkai dan lengan, cacat tulang punggung, celebral palsy, cacat lain yang termasuk pada cacat tubuh

orthopedic paraplegia. Istilah-istilah lainnya untuk menyandang cacat tubuh

antara lain adalah cacat fisik, cacat orthopaedic, crippled, physically,

(35)

orthopaedically impairment, orthopaedicalfy handcapped. Semua istilah

tersebut memiliki arti yang sama.

Dengan mengacu kepada pengertian-pengertian mengenai cacat tubuh tersebut di atas, maka penyandang cacat tubuh adalah mereka yang mempunyai kelainan tubuh, yang merupakan rintangan atau hambatan untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penderita cacat tubuh adalah mereka yang amputasi (putus pada kaki, tangan/ lengan), cacat tulang persendian tungkai, cacat tulang punggung belakang termasuk paraplegia atau skiliosis. TBC tulang dan sendi, amputasi bawah atau atas lutut satu dua, amputasi bawah atau atas siku satu atau dua dan lain-lain termasuk cacat orthopaedi.

B. Cacat mental adalah kelainan mental dan tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit antara lain, relardasi mental, gangguan psikiatrik fungsional, alkoholisme, gangguan mental organic dan epilepsy. Cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus. Apabila yang cacat adalah keduanya maka akan sangat mengganggu penyandang cacatnya.

2.6 Cacat Mata (Tunanetra)

Secara etimologis, tunanetra berasal dari dua suku kata, yaitu ”Tuna” dan ”Netra”. Kata ”Tuna” berarti rusak, kurang, hilang atau tidak adanya

(36)

kemampuan. Sedangkan kata ”Netra” mempunyai arti mata atau penglihatan, maka dapat disimpulkan bahwa tunanetra merupakan sebutan untuk seseorang yang memiliki ”kerusakan, kekurangan, kehilangan, atau tidak mempunyai kemampuan penglihatan.”

Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990) tuna artinya rusak, luka, kurang, tidak memiliki, sedangkan netra artinya mata.

Persatuan Tunanetra Indonesia/Pertuni (2004) mendifinisikan ketunanetraan sebagai berikut : Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kacamata. Yang dimaksud dengan 12 point adalah ukuran huruf standar pada komputer di mana pada bidang selebar satu inch memuat 12 buah huruf .

2.7 Permasalahan yang dihadapi penyandang tuna netra

Permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas netra menurut Robert M. Goldenson (1978 : 249) adalah sebagai berikut : “....the majority of blind

(37)

people down trought the ages have lived in humble circums tances or even in sordid poverty without encouragement or opportunity”.

Definisi di atas menjelaskan bahwa kebanyakan penyandang disabilitas netra hidup dalam keadaan rendah diri dan hidup dalam kemiskinan atau rawan kondisi sosial ekonomi dan tanpa semangat hidup.

Ciri-ciri permasalahan sosial yang dihadapi penyandang disabilitas netra menurut Departemen Sosial RI (1995 : 7-8) adalah sebagai berikut :

a. Memiliki hambatan fisik mobilitas dalam kegiatan sehari-hari.

b. Mengalami hambatan atau gangguan dalam keterampilan kerja produktif.

c. Mengalami hambatan atau gangguan mental psikososial yang menyebabkan rasa rendah diri dan tidak percaya diri.

d. Mengalami hambatan dalam melaksanakan fungsi sosialnya yang terdiri dari:

1) Kurang memiliki kemauan dan kemampuan bergaul dengan wajar. 2) Kurang memiliki kemauan dan kemampuan berkomunikasi secara

wajar.

3) Kurang memiliki kemauan dan kemampuan dalam melaksanakan kegiatan masyarakat dan lebih banyak bergantung pada pihak lain. e. Rawan kondisi sosial ekonomi.

(38)

f. Tergolong kategori disabilitas netra total atau yang masih mempunya sisi penglihatan.

2.8 Teori Interaksi Simbolik

Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal yaitu “The Theoretical Perspective” yang merupakan cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”. Dikarenakan Mead tinggal di Chicago selama lebih kurang 37 tahun, maka perspektifnya seringkali disebut sebagai Mahzab Chicago (Ritzer, 2008:50).

Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal dan pesan verbal yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting.

Sesuai dengan pemikiran-pemikiran Mead, definisi singkat dari tiga ide dasar dari interaksi simbolik adalah :

a. Mind (pikiran) - kemampuan untuk menggunakan simbol

yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain.

(39)

b. Self (diri pribadi) - kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya.

c. Society (masyarakat) - hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia.

Tema ini berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya dikonstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut : Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka.

(40)

Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif .

2. Pentingnya konsep mengenai diri (self concept).

Tema ini berfokus pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya dengan cara antara lain : Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui nteraksi dengan orang lain, Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku Mead seringkali menyatakan hal ini sebagai : ”The

particular kind of role thinking – imagining how we look to another person” or ”ability to see ourselves in the reflection of another glass”.

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tema ini berfokus pada dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan social. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

(41)

2.9 Kerangka Pemikiran

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih baik secara langsung maupun tidak langsung. Komunikasi interpersonal dalam penelitian ini berlangsung antara pengemis tunanetra dengan pendamping, calon dermawan dan masyarakat. Seiring dengan adanya interaksi sosial diantara mereka, maka terbentuklah perilaku komunikasi yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu komunikasi verbal (bahasa lisan dan tulisan) dan komunikasi nonverbal (Nada suara, Isyarat dan bahasa tubuh, penampilan fisik dan ekspresi wajah).

Dalam penelitian ini, peneliti meneliti perilaku komunikasi pengemis tunanetra di kota Padang dengan menggunakan Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead (Mind, Self and Society) dengan kerangka pemikiran sebagai berikut :

(42)

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

(Sumber : Olahan Peneliti) Pengemis Tunanetra

Komunikasi Verbal (Bahasa Lisan Dan Bahasa Tertulis)

0 20 40 60 80 100 1st Qtr 2nd Qtr 3rd Qtr 4th Qtr East West North Perilaku Komunikasi

- Pendamping Pengemis Tunanetra - Calon Dermawan dan atau

Dermawan serta masyarakat - Masyarakat Sekitar

Komunikasi Interpersonal (Antarpribadi)

Komunikasi Non Verbal (Nada suara, Isyarat dan bahasa

tubuh, penampilan fisik dan ekspresi wajah) 0 20 40 60 80 100 1st Qtr 2nd Qtr 3rd Qtr 4th Qtr East West North

Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead (Mind,

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah cara-cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid, dengan tujuan dapat ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan, suatu pengetahuan tertentu sehingga pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah (Sugiyono, 2009 : 2).

3.1 Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Kriyantono (2006:56-57), penelitian dengan pendekatan kualitatif bertujuan menjelaskan melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Hal yang lebih ditekankan dalam penelitian ini adalah dari segi kedalaman (kualitas) data dan bukan banyaknya (kuantitas) data. Instrument utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, sehingga peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengamati bagaimana perilaku komunikasi yang dilakukan oleh informan.

Peneliti memilih menggunakan metode penelitian kualitatif agar peneliti dapat meneliti secara mendalam mengenai bagaimana perilaku komunikasi pengemis tunanetra beserta pendampingnya baik dengan calon dermawan dan atau dermawan maupun masyarakat sekitar.

(44)

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian jenis ini bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta – fakta dan sifat – sifat tertentu. Penelitian ini melukiskan keadaan objektif atau peristiwa tertentu melukiskan keadaan objektif atau peristiwa tertentu berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana mestinya yang kemudian diiringi dengan upaya pengambilan kesimpulan umum berdasarkan fakta-fakta historis tersebut (Nawawi dan Martini 1994 : 73).

Peneliti menggunakan pendekatan deskriptif untuk mendeskripsikan mengenai bagaimana perilaku komunikasi pengemis tunanetra beserta pendampingnya baik dengan calon dermawan dan atau dermawan maupun masyarakat sekitar secara rinci, jelas, objektif dan apa adanya.

3.2 Paradigma Penelitian

Menurut Harmon (dalam buku metode metode penelitian kualitatif Moleong), paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berfikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang realitas (Moleong, 2004: 49). Berdasarkan permasalahan yang disajikan dalam kerangka pemikiran, serta metode yang digunakan dalam penelitian ini maka peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme.

(45)

Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, melainkan terbentuk dari hasil konstruksi. Oleh sebab itu, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivisme adalah bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi. Dalam pandangan konstruktivisme subjek dipandang sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana (Ardianto, 2007: 151)

Alasan peneliti menggunakan paradigma konstruktivis karena peneliti ingin mengungkapkan bagaimana bagaimana perilaku komunikasi pengemis tunanetra beserta pendampingnya baik dengan calon dermawan maupun masyarakat sekitar dalam berkomunikasi tidak bersifat alami, melainkan karena hasil konstruksi.

3.3 Objek dan Subjek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah perilaku komunikasi pengemis tunanetra beserta pendampingnya baik dengan calon dermawan maupun masyarakat sekitar. Sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah pengemis tunanetra beserta pendampingnya baik dengan calon dermawan maupun masyarakat sekitar.

(46)

3.4 Informan Penelitian

Informan adalah orang yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/ situasi sosial yang diteliti (Sugiyono,2012 : 217-218). Dalam melakukan sebuah penelitian, pemilihan informan harus berdasarkan pada landasan-landasan dan pertimbangan tertentu (purposeful

selection) sesuai dengan tujuan penelitian, dimana pada hakikatnya pemilihan

informan dalam penelitian kualitatif adalah metode purposive sampling (Pawito, 2008 : 88).

Adapun kriteria informan yang peneliti teliti adalah :

1. Informan Kunci (Data Primer)

a. Pengemis tunanetra baik laki-laki atau perempuan yang memiliki pendamping

b. Pendamping pengemis tunanetra

c. Wilayah kerjanya di persimpangan lalulintas bypass-ketaping

d. Pengemis lama telah mengemis selama lebih dari 1 tahun, sementara pengemis baru telah mengemis selama kurang dari 1 tahun

(47)

2. Informan Pendukung (Data Sekunder)

a. Calon dermawan dan atau dermawan

b. Masyarakat sekitar, yaitu warga yang tinggal disekitar wilayah kerja pengemis tunanetra.

Peneliti mendapatkan informan kunci secara acak dengan teknik yang sederhana, yaitu memilih siapa saja yang sesuai dengan kriteria informan peneltian dan mampu memberikan data yang peneliti perlukan.

Sebelum melakukan wawancara, terlebih dahulu peneliti melakukan observasi dilapangan selama 1 bulan yaitu dari tanggal 1 April 2015 hingga 2 Mei 2015. Pada tanggal 10 Mei 2015, peneliti mendapatkan pasangan informan kunci pertama yaitu Pak Sawir dan Buk Dasniar. Pada tanggal 7 Juni 2015 mendapatkan informan kunci kedua dan ketiga dan keempat beserta 2 orang informan pendukung.

Cara yang peneliti gunakan dalam mendapatkan informan kunci berbeda. Pada pasangan pertama, yaitu Pak Sawir dan Buk Dasniar, awalnya, peneliti memperhatikan gerak gerik dari cara kerja pengemis tunanetra beserta pendampingnya yang berada di persimpangan lalulintas ketaping, di depan tahu sumedang dari arah Universitas Andalas menuju Anduriang. Lalu , peneliti mendekati informan yang tengah bekerja dengan cara

(48)

memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan dari peneliti. Informan 1 pun sepakat untuk diwawancarai, maka peneliti mengajaknya duduk ke tempat makan terdekat yaitu Palanta Popoko Bypass serta mempersiapkan makanan dan minuman ringan kepada informan untuk disantapnya selama wawancara berlangsung.

Pada tanggal 6 Juni 2015, peneliti kembali ke lokasi penelitian dan menggunakan cara yang sama pada wawancara sebelumnya untuk mendapatkan informan. Namun, cara ini tidak berhasil karena banyak yang menolak untuk diwawancarai. Akhirnya, peneliti hanya bisa melakukan observasi dilapangan saja. Peneliti memperhatikan bahwasannya ada pergantian shift kerja diantara pengemis yang terlihat ketika pengemis keluar masuk dari sebuah warung terdekat.

Pada tanggal 7 Juni 2015, akhirnya peneliti mendapatkan informan kunci kedua, ketiga dan keempat beserta 2 orang informan pendukung. Peneliti menemui informan ke warung tempat para pengemis beristirahat berdasarkan observasi hari sebelumnya. Di sini, para informan menerima dengan baik maksud dan tujuan penulis serta bersedia memberikan data dan informasi yang peneliti butuhkan.

(49)

Jika data atau informasi yang peneliti perlukan sudah terpenuhi, barulah peneliti menyudahi kegiatan wawancara dengan mengucapkan terima kasih dan menyelipkan sejumlah uang sebagai imbalan kepada pengemis tunanetra serta pendampingnya yang telah menyediakan waktunya.

Penelitian ini menemukan beberapa kendala diantaranya, susahnya mendapati informan karena ada beberapa alasan, diantaranya informan mencurigai peneliti sebagai mata-mata dari satpol PP sehingga peneliti harus menunjukan kartu identitas mahasiswa kepada informan untuk menyakininya serta ada juga informan yang tidak mau menyediakan waktunya. Sementara, untuk mendapatkan informan pendukung kedua, kesulitan yang dihadapi adalah susahnya meminta kesediaan waktu untuk mewawancarai pengendara yang telah memberikan sejumlah uang kepada pengemis. Adapun beberapa kendala diantaranya, keterbatasan waktu ketika peneliti hendak menyampaikan maksud dan tujuan peneliti kepada informan, karena lampu merah yang tidak terlalu lama menyala dan informan pendukung banyak yang menolak dikarenakan informan tidak bisa menyediakan waktunya terkait ada urusan lain yang lebih penting.

Adapun untuk tetap menjaga hubungan baik terhadap informan, setiap seminggu sekali sebanyak 6 kali pertemuan, peneliti datang ke warung Niar untuk sekedar duduk-duduk dan bercerita seputar kehidupan pengemis.

(50)

Meskipun kegiatan wawancara hanya dilakukan 2 hari saja, pada saat berkunjung inilah peneliti kembali melihat kevaliditasan data dan informasi yang telah diberikan oleh informan kunci peneliti. Jika ada, data dan informasi yang membuat peneliti ragu dan masih kurang jelas, peneliti kembali menanyakannya kepada informan peneliti.

Peneliti menggunakan observasi non partisipan, peneliti tidak terjun ke lapangan untuk mencoba kegiatan mengemis, melainkan peneliti berpura-pura menjadi calon dermawannya dan atau dermawannya. Berikut tabel informan yang ada dalam penelitian ini,

Tabel 3.1 Informan Penelitian (Sumber : Olahan Peneliti)

NO NAMA UMUR PEKERJAAN DAERAH

ASAL

KETERANGAN 1. Sawir 65 tahun Pengemis

Tunanetra

Pesisir Selatan

Informan Utama 2. Dasniar 46 tahun Pendamping Padang Informan Utama 3. Rustami 63 tahun Pengemis

Tunanetra

Painan Informan Utama 4. Eni 39 tahun Pendamping Padang Informan Utama 5. Neti 38 tahun Pengemis

Tunanetra

Padang Informan Utama 6. Arizal 48 tahun Pendamping Padang Informan Utama 7. Mur 41 tahun Pengemis

Tunanetra

Padang Informan Utama 8. Yanto 49 tahun Pendamping Padang Informan Utama 9. Niar 38 tahun Pemilik warung Padang Informan

Sekunder 10. Mita 23 tahun Mahasiswi Padang Informan Sekunder

(51)

3.5 Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, data dibedakan atas data primer dan data sekunder, berikut penjelasannya :

3.5.1 Data Primer

Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari objek yang diteliti baik dari pribadi (informan), seperti dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian yang akan kita lakukan. Data primer termasuk data mentah (row data) yang harus diproses lagi sehingga menjadi informasi yang bermakna Kriyantono (2010:42). Data primer pada penelitian ini adalah saat peneliti melakukan observasi serta wawancara kepada 4 pasang informan kunci.

3.5.2 Data Sekunder

Merupakan data yang berfungsi sebagai pelengkap data primer. Data sekunder diperoleh dengan cara membaca, mempelajari dan memahami melalui media lain yang bersumber pada literatur dan buku-buku perpustakaan. Data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen (Sugiyono (2005:193). Sedangkan menurut Kriyantono (2010:42), data sekunder bertujuan untuk melengkapi data primer, sehingga kita dituntut hati-hati atau menyeleksi data sekunder jangan sampai data tersebut tidak sesuai dengan tujuan riset kita

(52)

atau mungkin terlalu banyak (overloaded). Biasanya data sekunder sangat membantu periset bila data primer terbatas atau sulit diperoleh .

Data sekunder pada penelitian ini adalah saat peneliti menuliskan beberapa literature, jurnal, buku-buku yang terkait dengan penelitian atau sumber-sumber data lain guna lebih melengkapi dan terkait dengan penelitian yang akan diteliti ini atau yang sering dikenal dengan Library Research (penelitian kepustakaan). Selain itu, peneliti juga mendapatkan data atau informasi dari 2 orang informan pendukung yaitu, calon dermawan dan atau dermawan serta masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah kerja pengemis tunanetra.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.6.1 Observasi

Observasi ialah kegiatan mengamati secara langsung suatu objek untuk melihat dengan dekat kegiatan yang dilakukan objek tersebut (Kriyantono, 2006:110). Penelitian ini akan menempatkan peneliti dalam observasi non partisipan. Observasi non partisipan adalah metode observasi dimana peneliti hanya bertindak mengobservasi tanpa ikut terjun melakukan aktivitas seperti

(53)

yang dilakukan kelompok yang diteliti, apakah kehadirannya diketahui atau tidak (Kriyantono, 2006 : 108).

Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti melakukan observasi terhadap segala aktivitas yang dilakukan oleh pengemis tunanetra beserta pendampingnya namun peneliti tidak ikut dalam aktivitas tersebut. Hal ini berlangsung selama 1 bulan yaitu dari tanggal 1 April 2015 hingga 2 Mei 2015 sebelum peneliti melakukan kegiatan wawancara. Peneliti juga tetap melakukan observasi beberapa kali setelah melakukan wawancara dengan cara menempatkan posisi peneliti sebagai calon dermawan dan atau dermawan tanpa diketahui oleh informan kunci peneliti. Hal ini bertujuan untuk melengkapi data atau informasi peneliti mengenai bahasa verbal dan non verbal dari informan kunci peneliti saat mengemis. Sementara, untuk melengkapi data atau informasi peneliti mengenai bahasa verbal dan non verbal dari informan kunci peneliti saat tidak mengemis, peneliti melakukan kunjungan ke tempat istirahat informan kunci yaitu di warung harian milik Niar selama seminggu sekali sebanyak 6 kali pertemuan setelah wawancara pada hari kedua. Yaitu pada tanggal 14, 19, 20, 28 Juni 2015 dan pada tanggal 15 dan 21 Agustus 2015. 3.6.2 Wawancara

Mulyana (2008:180) mengatakan bahwa wawancara merupakan bentuk komunikasi antara dua orang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang

(54)

lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Ada beberapa jenis wawancara yang biasa ditemukan dalam kegiatan penelitian, antara lain wawancara pendahuluan, yaitu wawancara yang menjadi pembuka dalam membuat informan percaya pada peneliti.

Wawancara ini bersifat informal, terjadi begitu saja, tidak diorganisasi atau terarah. Lalu wawancara terstruktur, berisi instruksi yang mengarahkan peneliti dalam melakukan wawancara. Selain itu terdapat wawancara semistruktur, yaitu jenis wawancara dimana peneliti biasanya mempunyai daftar pertanyaan tertulis tetapi peneliti dimungkinkan untuk mengembangkan pertanyaan sesuai dengan situasi dan kondisi sehingga dimungkinkan mendapat data yang lebih lengkap.

Wawancara jenis terakhir adalah wawancara mendalam, yaitu wawancara secara langsung dengan informan agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Wawancara ini dilakukan dengan frekuensi tinggi (berulang-ulang) secara intensif (Mulyana, 2008:180).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis wawancara pendahuluan sebagai tahapan awal untuk membentuk kepercayaan informan. Hal ini tentu saja bertujuan agar informan bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancarai guna pemenuhan data atau informasi yang peneliti perlukan.

(55)

Kemudian, peneliti juga menggunakan wawancara semistruktur, yaitu peneliti akan mempersiapkan daftar pertanyaan sebelum melakukan wawancara, namun pada saat wawancara berlangsung peneliti bisa menambahkan pertanyaan baru yang terkait permasalahan, dimana wawancara ini diajukan kepada pengemis tunanetra beserta pendampingnya. Kedua jenis wawancara ini juga peneliti lakukan terhadap informan pendukung lainnya.

Wawancara pada pasangan informan pertama, peneliti lakukan pada hari Minggu, 10 Mei 2015 sekitar pukul 13.00 – 15.10 WIB dan ditemani dengan seorang teman peneliti. Pada wawancara terhadap pasangan informan yang pertama ini, peneliti melakukan wawancara pendahuluan, dimana peneliti memperkenalkan diri peneliti dan maksud tujuan peneliti agar informan bersedia melungkan waktunya untuk peneliti ajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian peneliti ini. Setelah informan memberikan persetujuan untuk diwawancarai, barulah peneliti menggunakan teknik wawancara semistruktur, dimana awalnya peneliti mengajukan pertanyaan pembuka kepada informan yang kemudian data dan informasi lainnya peneliti dapatkan setelah permbincangan mengalir begitu saja. Jika data atau informasi yang peneliti dapatkan telah terpenuhi, peneliti kemudian menyudahi pembicaraan dengan ucapan terima kasih dan menyelipkan sejumlah uang

(56)

kepada informan peneliti. Adapun dalam mendapatkan data dan informasi, kegiatan wawancara berlangsung secara informal dan mengalir begitu saja.

Wawancara pada informan kedua, ketiga dan keempat beserta 2 informan pendukung lainnya peneliti lakukan pada hari Minggu, 7 Juni 2015 sekitar pukul 09.30-17.30 WIB yang wilayah kerjanya berada di persimpangan lampu lalulintas bypass, Ketaping. Teknik wawancara yang peneliti lakukan pada hari kedua peneliti terjun ke lapangan ini, sama dengan teknik wawancara yang peneliti gunakan pada wawancara pertama kali terhadap pasangan pertama informan peneliti, yaitu wawancara pendahuluan dan semistruktur. Hanya saja, wawancara pada hari kedua ini, peneliti bisa melakukan pertanyaan kepada semua informan kunci pada hari yang sama sekaligus dikarenakan peneliti melakukan wawancara nya di tempat para informan beristirahat, yaitu warung harian milik Niar. Peneliti bisa mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan sekaligus karena setiap pasangan informan peneliti itu memiliki waktu istirahat yang ditentuinnya secara bersama atas dasar toleransi. Jadi, pada saat pasangan informan kedua telah selesai diwawancara, mereka kembali bekerja dan bergantian istirahat dengan pasangan yang lain. Begitu seterusnya. Setiap akhir wawancara, peneliti tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih dan menyelipkan sejumlah uang sebagai tanda terima kasih peneliti kepada informan telah bersedia memberikan data dan informasi yang peneliti butuhkan.

(57)

Adapun dalam mendapatkan data dan informasi, kegiatan wawancara berlangsung secara informal dan mengalir begitu saja.

Sementara, wawancara terhadap informan pendukung pertama yakni pemilik warung peneliti lakukan setelah mewanwacarai informan kunci dengan menggunakan teknik wawancara yang sama, yaitu wawancara pendahuluan dan wawancara semistruktur. Kemudian, wawancara terhadap informan pendukung kedua, yakni kepada mahasiswi salah satu perguruan tinggi terkenal di kota Padang, peneliti lakukan setelah mewawancarai informan pendukung pertama. Cara peneliti mendapatkan informan pendukung kedua ini adalah ketika peneliti mendekati informan saat lampu merah menyala, lalu meminta waktunya sebentar saja untuk diwawancarai setelah peneliti melihat informan memberi sejumlah uang kepada informan kunci peneliti. Teknik wawancara yang digunakan tetap sama, yaitu wawancara pendahuluan dan wawancara semistruktur. Setelah mendapatkan informasi dan data yang peneliti butuhkan, peneliti pun mengucapkan terima kasih kepada informan.

3.6.3 Dokumentasi

Dokumentasi merupakan instrumen pengumpulan data yang sering digunakan dalam berbagai metode pengumpulan data. Tujuannya adalah mendapatkan informasi yang mendukung analisis dan interpretasi data.

(58)

Dokumen ini mengungkapkan bagaimana subjek mendefenisikan dirinya sendiri, lingkungan dan situasi, serta bagaimana kaitan antara defenisi diri tersebut dalam hubungan dengan orang-orang disekelilingnya dengan tindakannya (Mulyana, 2008:195).

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan dokumentasi berupa penelitian yang terdahulu, literatur-literatur, transkrip wawancara, foto-foto dengan menggunakan kamera DSLR, handphone untuk merekaman suara selama wawancara dengan informan dan buku yang berkaitan dengan penelitian. Namun, penggunaan dokumentasi hanya sebagai metode pendukung.

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, memilih mana yang penting dan yang tidak penting, untuk kemudian dibuat kesimpulan sehingga dapat dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2011:244).

Penelitian ini mengggunakan teknik analisis data Miles and Huberman atau yang lazim disebut interactive model, dimana aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh (Sugiyono, 2011:246). Ukuran

(59)

kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas dalam analisis meliputi reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), serta penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion

drawing/ verification).

3.7.1 Reduksi data

Proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi dilakukan dengan maksud menyisihkan data/informasi yang tidak relevan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengategorikan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga akhirnya data yang terkumpul dapat diverifikasi (Pawito, 2008:104).

Pada penelitian ini, peneliti mengelompokkan dan mengklasifikasikan data dari hasil wawancara dan observasi berdasarkan fokus penelitian untuk menajamkan dan menggolongkan data, sehingga dapat mempermudah dalam menganalisa dan menarik kesimpulan. Setelah peneliti membuat transkrip wawancara, peneliti memberikan kode untuk memisahkan data yang penting dan tidak penting, serta data yang sesuai dengan kepentingan penelitian atau tidak.

(60)

3.7.2 Penyajian data

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data biasa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Miles dan Huberman menyatakan bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif (Sugiyono, 2011:248).

Peneliti akan menyajikan data dalam bentuk teks uraian yang bercerita, bagan, tabel dan gambaran umum mengenai permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

3.7.3 Penarikan kesimpulan atau verifikasi

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Namun, bila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Sementara itu, verifikasi dilakukan dengan cara memikir ulang selama penulisan, tinjauan ulang catatan di lapangan, dan tukar pikirian dengan orang lain (Sugiyono, 2011 : 252).

Dalam tahap ini, peneliti membuat kesimpulan berdasarkan data-data awal yang didapatkan dari proses pengamatan dan wawancara. Kesimpulan ini

(61)

bersifat sementara, dan penarikan kesimpulan berubah menjadi kesimpulan akhir yang akurat karena kesimpulan diverifikasi berdasarkan bukti-bukti yang valid serta konsisten yang mendukung data-data awal.

3.8 Uji Keabsahan Data

Setiap penelitian harus bisa dinilai, ukuran kualitas sebuah penelitian terletak pada kesahihan atau validitas data yang dikumpulkan selama penelitian. Untuk penelitian kualitatif validitas data terletak pada proses sewaktu turun ke lapangan mengumpulkan data dan sewaktu proses analisis data (Kriyantono, 2010 : 70).

Peneliti menggunakan teknik triangulasi data sebagai upaya peneliti untuk mengakses sumber-sumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data berkenaan dengan persoalan yang sama (Pawito, 2008 : 99). Dalam melakukan triangulasi data ini, peneliti melakukan wawancara pada pengemis tunanetra beserta pendampingnya dan kepada orang-orang di sekitar mereka, seperti calon dermawan dan atau dermawan serta masyarakat yang tinggal dilingkungan mereka bekerja.

3.9 Tabel Jadwal Penelitian

Peneliti mengajukan judul dan flowchart penelitian pada bulan Desember 2014 yang disetujui pada bulan Januari 2015. Selanjutnya peneliti menulis proposal selama 3 bulan yaitu dari bulan Februari hingga bulan April,

Gambar

Tabel 2.1  Penelitian terdahulu....................................................................
Tabel 2.1  Penelitian Terdahulu
Tabel 3.1 Informan Penelitian  (Sumber  : Olahan Peneliti)  NO  NAMA  UMUR  PEKERJAAN  DAERAH
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait