• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON FISIOLOGIS SAPI DARA PERANAKAN FRIES HOLLAND DENGAN MANAJEMEN WAKTU PEMBERIAN PAKAN DAN PENGGUNAAN MINYAK KELAPA DALAM KONSENTRAT ADI RAKHMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESPON FISIOLOGIS SAPI DARA PERANAKAN FRIES HOLLAND DENGAN MANAJEMEN WAKTU PEMBERIAN PAKAN DAN PENGGUNAAN MINYAK KELAPA DALAM KONSENTRAT ADI RAKHMAN"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN MINYAK KELAPA DALAM KONSENTRAT

ADI RAKHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Fries Holland dengan Manajemen Waktu Pemberian Pakan dan Penggunaan Minyak Kelapa dalam Konsentrat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Adi Rakhman

(3)

fed with three levels of TDN of concentrate containing coconut oil. Supervised by BAGUS P PURWANTO and IDAT G PERMANA.

One of the greatest challenges to production facing dairy farmers in Indonesia is heat stress. Climatic conditions in Indonesia are such that the warm (or hot) is all year, there is intense solar radiant for an extended period of time, and there is generally the presence of high relative humidity. Thus heat stress is chronic in nature, there is often little relief from the heat during the evening hours, and intense bursts of combined high ambient temperature and humidity further depress performance. Some researchs have been done in Indonesia showed that physical modification of the environment (shading, cooling) and improved nutritional management practices are management strategies to minimize the effects of heat stress. However, the management strategies to minimizing of the heat stress have not been fully examined. The objective of the present study is to evaluate physiological responses of dairy heifer to feeding time when fed concentrate differences in TDN content. Six dairy heifers were randomly allocated to 1 of 6 treatments: two feeding times (5 am/6 pm or 8 am/4 pm) of concentrate with 70% or 75% of concentrate unsupplemented or supplemented with 3.5% coconut oil, in each of 6 periods of 14 d each in a 6 x6 Latin square design. The environmental conditions (air temperature, relative humidity, temperature humidity index, radiation, and wind velocity) and animals responses (heart rate, respiration rate, body temperature, rectal temperature, and skin temperature, feed consumption rate, chewing rate, and average daily gain) were then measured. The environmental condition were measured daily at 1 h intervals from 5 am to 8 pm. The animals responses were measured at the 4th, 8th, 12nd, 14th

Keyword: physiological responses, coconut oil, feeding time, TDN

day of each periode at 1 h intervals from 5 am to 8 pm. Tukey’s test, contras orthogonal analysis, and correlation analysis were used for statistical analysis among treatments. The results show that physiological responses were significantly lower on cattle which fed at 5 am & 6 pm than 8 am & 4 pm also for cattle which fed concentrates contained 3.5% coconut oil than not containing that with the same TDN (75%). Chewing velocity was higher on cattle fed concentrate containing 3.5% coconut oil than without coconut oil. Average daily gain were higher on cattle fed at 5 am & 6 pm than 8 am & 4 pm or fed with concentrate containing 3.5% coconut oil than without coconut oil. The conclusion is heat stress of dairy heifer could be reduced with managing feeding time and feeding with easily digestible nutrient.

(4)

Manajemen Waktu Pemberian Pakan dan Penggunaan Minyak Kelapa dalam Konsentrat. Dibimbing oleh BAGUS P PURWANTO dan IDAT G PERMANA.

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh para peternak sapi perah di Indonesia adalah stres panas. Kondisi iklim di Indonesia bersifat panas sepanjang tahun yang disebabkan oleh radiasi sinar matahari dan kelembaban udara yang sangat intensif. Stres panas di alam bersifat kronis, cuaca panas hanya sedikit berkurang pada malam hari, dan terjadi peningkatan yang sangat besar akibat kombinasi suhu dan kelembaban udara yang dapat menurunkan performa produksi ternak. Beberapa penelitian telah dilakukan di Indonesia seperti modifikasi lingkungan fisik (naungan dan pendingin) dan peningkatan manajemen nutrisi untuk meminimalkan efek dari stress panas. Akan tetapi, strategi manajemen untuk meminimalkan stress panas belum dilakukan secara menyeluruh.

Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Lapang Bagian IPT Perah, Fapet, IPB pada bulan Maret hingga Juni 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi respon fisiologis sapi dara pada waktu pemberian pakan berbeda yang diberi konsentrat dengan kandungan TDN yang berbeda pula. Enam ekor ternak peranakan FH dara digunakan pada penelitian ini. Sebanyak enam perlakuan yang digunakan merupakan kombinasi dari waktu pemberian pakan (pukul 5.00 & 18.00 dan pukul 8.00 & 16.00) dan level TDN konsentrat (70%, 75%, 75% mengandung minyak kelapa 3.5%). Ternak diberi pakan dua kali sehari dengan rumput gajah dan konsentrat. Penelitian dilakukan selama enam periode dan setiap periode selama 14 hari. Pengambilan data dilakukan setiap jam pada hari ke 4, 8, 12, 14 dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00. Parameter yang diukur meliputi parameter unsur cuaca (suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, radiasi matahari), parameter respon fisiologis (denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, suhu tubuh, suhu kulit), kecepatan konsumsi pakan, kecepatan mengunyah, dan pertambahan bobot badan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Bujur Sangkar Latin 6 x 6. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui korelasi antara cuaca lingkungan dengan respon fisiologis. Analisis lanjut menggunakan Uji Tukey dan Analisis Kontras Orthogonal.

Hasil penelitian didapatkan bahwa ternak yang mengkonsumsi pakan pada pukul 05.00 dan 18.00 cenderung memiliki rataan respon fisiologis yang lebih rendah saat ada cekaman panas siang hari dan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dibanding ternak yang mengkonsumsi pakan pada pukul 08.00 dan 16.00. Ternak yang mengkonsumsi konsentrat mengandung minyak kelapa 3.5% dengan kadar TDN 75% memiliki respon fisiologis yang lebih rendah saat ada cekaman panas lingkungan dan memiliki frekuensi mengunyah dan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dibanding ternak yang mengkonsumsi konsentrat tanpa minyak kelapa dengan kadar TDN yang sama. Kesimpulan dari penelitian ini adalah beban cekaman panas dari sapi perah dara dapat diatasi dengan pengaturan waktu pemberian pakan dan pemberian pakan dengan energi yang mudah dicerna.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(6)

ADI RAKHMAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(7)
(8)

Kelapa dalam Konsentrat

Nama : Adi Rakhman

NIM : D151090091

Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr.

Ketua Anggota

Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr

Diketahui

Ketua Program Studi/Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Dr. Ir. Rarah R.A. Maheswari, DEA.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 30 Januari 2012 Tanggal Lulus:

(tanggal pelaksanaan ujian tesis) (tanggal penandatanganan tesis

(9)

rahmatNya penulis dapat menyusun karya ilmiah yang berjudul “Respon Fisiologis Sapi Dara Peranakan Fries Holland dengan Manajemen Waktu Pemberian Pakan dan Penggunaan Minyak Kelapa dalam Konsentrat” di bawah bimbingan Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. dan Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr. Shalawat dan salam diperuntukkan kepada Rasulullah SAW dan para keluarga, sahabat, serta umat yang selalu meneladaninya.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keinginan penulis untuk mengetahui dan meneliti metode budidaya sapi peranakan Fries Holland (FH) di daerah tropis dengan tepat. Sapi peranakan Fries Holland yang berasal dari Belanda, memerlukan metode budidaya khusus bila dilakukan di Indonesia, karena sapi FH harus menyesuaikan dengan iklim yang berbeda. Pada proses adaptasi, energi yang diperlukan tubuh lebih besar, karena selain digunakan untuk hidup pokok dan produksi, energi juga diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan cuaca yang berbeda dengan tempat asalnya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan merancang suatu metode sederhana mengenai budidaya sapi peranakan FH untuk dapat hidup dan berproduksi dengan optimal di daerah tropis melalui pendekatan perlakuan manajemen cuaca lingkungan dan kualitas pakan.

Pada prinsipnya, penelitian budidaya ternak telah dimulai sejak manusia berinteraksi dengan ternak dan semestinya penelitian terus dilakukan selama interaksi antara manusia dan ternak tersebut masih ada. Penulis berharap penelitian dan atau aplikasi metode budidaya ternak dengan memperhatikan keseimbangan alam terus dilakukan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun karya ilmiah ini baik berupa materi maupun non materi. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan sebagai bahan pelajaran penulis maupun rekan yang lainnya untuk kegiatan dan atau penelitian selanjutnya.

Bogor, Februari 2012

(10)

pertama dari Almarhumah Ibu Sosgayah Haeriningsih dan Bapak Purwanto, S.T. Penulis juga memiliki ibu bernama Ibu Dr. Wiwiek Sulistyaningsih, Psi. dan enam adik bernama Emil Rakhman, Evan Rakhman, Dhania Larasati Barus, Dhika Kusumasari Barus, Dina Kusumawati Barus, dan Arif Rakhman.

Pendidikan formal dimulai di TK Wijaya Kusuma Pratama (1989-1992), setelah itu di Yayasan yang sama penulis menempuh pendidikan dasar hingga lulus pada tahun 1998. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SMPN 19 Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMAN 47 Jakarta. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Saat menempuh pendidikan sarjana, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan, diantaranya BEM KM dan Himaproter IPB.

Setelah menjadi sarjana pada tahun 2008, penulis bekerja di peternakan ayam Cipta Mitra Sejahtera wilayah Bogor dan Sukabumi. Penulis juga pernah menjadi Guru SMP dan pengajar Program Kejar Paket B di Yayasan Nurul Fajar. Pada Tahun 2009, mengikuti pendidikan Akta Mengajar IV di Universitas Ibn Khaldun dan pada tahun yang sama memulai kuliah magister sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Peternakan di IPB. Saat menempuh pendidikan magister, penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Peternakan IPB pada periode 2009-2010.

(11)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR SINGKATAN... xviii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Unsur Cuaca dan Lingkungan Hidup Sapi Fries Holland ... 4

Pemanfaatan Pakan dan Ruminasi ... 6

Pemanfaatan Pakan pada Berbagai Kondisi Fisiologis ... 7

Pemanfaatan Pakan saat Cekaman Panas ... 7

Pemanfaatan Pakan pada Berbagai Aktivitas ... 9

Minyak Kelapa ... 8 Ruminasi ... 9 Produksi Panas ... 10 Termoregulasi ... 12 Respon Termoregulasi ... 14 Denyut Jantung ... 14 Respirasi ... 15

MATERI DAN METODE ... 17

Suhu Rektal ... 16

Waktu dan Tempat ... 17

Materi Penelitian ... 17

Kandang dan Peralatan... 18

Parameter Penelitian ... 19

Metode Pengukuran Parameter ... 19

Rancangan Percobaan ... 20

(12)

Pengaruh Perlakuan terhadap Denyut Jantung ... 25

Pengaruh Perlakuan terhadap Frekuensi Respirasi ... 30

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Tubuh ... 34

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Rektal ... 36

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu Kulit ... 38

Korelasi Unsur Cuaca terhadap Respon Fisiologis ... 40

Kecepatan Konsumsi Konsentrat dan Mengunyah ... 41

Pertambahan Bobot Badan (PBB) ... 43

PEMBAHASAN UMUM ... 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

LAMPIRAN ... 57

(13)

1. Indeks suhu dan kelembaban lingkungan (THI)... 5

2. Produksi panas sapi perah pada berbagai suhu lingkungan (bb: 454.5 kg) ... 11

3. Komposisi dan kandungan pakan penelitian (% as feed) ... 18

4. Rancangan bujur sangkar latin ... 21

5. Rataan suhu udara, kelembaban udara, THI, radiasi matahari, dan kecepatan angin selama Maret-Juni 2011 pada pagi, siang, dan sore... 22

6. Rataan denyut jantung ternak pada siang hari (kali/menit) ... 26

7. Nilai P (probabilitas) untuk analisis kontras ortogonal pukul 12.00 WIB 28 8. Rataan frekuensi respirasi ternak pada siang hari (kali/menit) ... 32

9. Rataan suhu tubuh ternak pada siang hari (o 10. Rataan suhu rektal ternak pada siang hari ( C) ... 35

o 11. Rataan suhu kulit ternak pada siang hari ( C) ... 37

o 12. Korelasi unsur cuaca dengan respon fisiologis pukul 12.00 WIB... 41

C) ... 39

13. Rataan kecepatan konsumsi pakan (gr/menit) ... 42

14. Rataan kecepatan mengunyah (kali/menit) ... 43

(14)

1. Termoregulasi temperatur pada mamalia, dengan dua efektor penyesuai

secara otonom dan tingkahlaku ... 13 2. Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan dengan penerimaan

panas ... 14 3. Lokasi pengukuran suhu permukaan kulit (o

4. Fluktuasi suhu udara, kelembaban udara, THI, radiasi matahari, dan

C) ... 20 kecepatan angin selama Maret-Juni 2011 ... 24 5. Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi pakan pada pukul

08.00 & 16.00 WIB (P1

6. Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi perlakuan pakan

/) dan 05.00 & 18.00 WIB (P2/ ) ... 25

pada pukul 05.00 & 18.00 WIB (P2

3.5% dalam konsentrat dengan TDN 75% (R

/ ), perlakuan penggunaan minyak

3

penganginan dan penyiraman () pada siang hari (Ismail 2006)... 26 /Δ), dan perlakuan

7. Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi konsentrat TDN 75% tanpa minyak kelapa (R2

75% mengandung minyak kelapa (R

/) dengan yang diberi konsentrat TDN

3

8. Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi konsentrat dengan

/Δ). ... 28 kadar TDN 70% (R1/ ), TDN 75% (R2

minyak kelapa 3.5% (R

/), TDN 75% dengan

3

9. Fluktuasi rataan frekuensi respirasi ternak yang diberi pakan pada

/Δ) ... 29 pukul 08.00 & 16.00 WIB (P1/) dan 05.00 & 18.00 WIB (P2

10. Fluktuasi rataan frekuensi respirasi ternak yang diberi perlakuan

/ ) ... 30 pemberian pakan pada pukul 05.00 & 18.00 WIB (P2

penggunaan minyak kelapa 3.5% dalam konsentrat dengan TDN 75% / ), perlakuan (R3

siang hari (Ismail 2006) ... 31 /Δ), dan perlakuan penganginan dan penyiraman () pada

11. Fluktuasi rataan frekuensi respirasi ternak yang diberi konsentrat TDN 75% tanpa minyak kelapa (R2

75% mengandung minyak kelapa (R

/) dengan yang diberi konsentrat TDN

3

12. Fluktuasi rataan suhu tubuh ternak yang diberi pakan pada pukul 08.00

/Δ) ... 33 & 16.00 WIB (P1/) dan 05.00 & 18.00 WIB (P2

13. Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi pakan pukul 08.00 &

/ ) ... 34 16.00 WIB (P1/) dan 05.00 & 18.00 WIB (P2

14. Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi perlakuan pemberian

/ ) ... 36 pakan pada pukul 05.00 & 18.00 WIB (P2

minyak 3.5% dalam konsentrat dengan TDN 75% (R

/ ), perlakuan penggunaan

3

perlakuan penganginan dan penyiraman () pada siang hari ... 38 /Δ) dan

15. Fluktuasi rataan suhu rektal ternak yang diberi perlakuan pakan pukul

(15)

17. Perbedaan rataan PBB antara yang mengkonsumsi pakan pukul 08.00

(16)

1. Kandang penelitian ... 58 2. Pemberian hijauan (pagi/sore) setiap periode berdasarkan perlakuan ... 59 3. Pemberian konsentrat (pagi/sore) setiap periode berdasarkan perlakuan 59 4. Rataan unsur cuaca kandang selama 6 periode ... 60 5. Rataan denyut jantung tiap jam selama enam periode (kali/menit) ... 60 6. Rataan frekuensi respirasi tiap jam selama enam periode (kali/menit) ... 61 7. Rataan suhu tubuh tiap jam selama enam periode (o

8. Rataan suhu rektal tiap jam selama enam periode (

C) ... 61

o

9. Rataan suhu kulit tiap jam selama enam periode (

C) ... 62

o

10. Rataan denyut jantung tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00

C) ... 62 selama enam periode berdasarkan waktu pemberian pakan (kali/menit) 63 11. Rataan frekuensi respirasi tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00

selama enam periode berdasarkan waktu pemberian pakan (kali/menit) 63 12. Rataan suhu tubuh tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 selama

enam periode berdasarkan waktu pemberian pakan (o

12. Rataan suhu rektal tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 selama C) ... 64 enam periode berdasarkan waktu pemberian pakan (o

13. Rataan suhu kulit tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 selama

C) ... 64 enam periode berdasarkan waktu pemberian pakan (o

14. Rataan denyut jantung tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00

C) ... 65 selama enam periode berdasarkan kandungan konsentrat (kali/menit) ... 65 15. Rataan frekuensi respirasi tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00

selama enam periode berdasarkan kandungan konsentrat (kali/menit) ... 66 16. Rataan suhu tubuh tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 selama

enam periode berdasarkan kandungan konsentrat (kali/menit) ... 66 17. Rataan suhu rektal tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 selama

enam periode berdasarkan kandungan konsentrat (kali/menit) ... 67 18. Rataan suhu kulit tiap jam dari pukul 05.00 hingga pukul 20.00 selama

(17)

BK Bahan kering

bT Body temperature / suhu tubuh (oC)

C Pertukaran panas dengan konveksi DP Dew point / titik embun

DBT Dry bulb thermometer/suhu bola kering (oC) DE Digestible energy (Mcal/kg)

E Pertukaran panas dengan evaporasi Hr Heart rate / denyut jantung (kali/menit)

HI Heat increament

K Pertukaran panas dengan konduksi Kcal Kilo kalori

LK Lemak kasar

M Produksi panas metabolis NDF Neutral Detergent Fibre NRC National Research Council PK Protein kasar

PBB Pertambahan bobot badan (kg) PFH Peranakan Fries Holland RBD Refined, bleached, deodorized

RH Relative Humidity / kelembaban relative (%)

rR Respiration rate / frekuensi respirasi (kali/menit)

Rad Radiation / radiasi matahari (Lux)

bT Body temperature / suhu tubuh (oC)

SK Serat kasar

TDN Total Digestible Nutrient (kg) THI Temperature Humidity Index

Tdb Dry bulb temperature / suhu lingkungan (o

rT Rectal temperature / suhu rektal (

C)

o

sT Skin temperature / suhu kulit (

C)

o

Va Air velocity / kecepatan angin (m/s)

C) VFA Volatile fatty acid / asam lemak terbang Vs Versus / lawan

W Panas laten / panas sensibel / total panas ZTN Zona Termoneutral

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Habitat asal sapi bangsa Fries Holland adalah daerah yang relatif sejuk (10oC). Pada daerah tersebut, ternak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi genetik dan manajemen peternakan yang diterapkan. Pada saat ternak hidup di habitat yang berbeda, seperti di daerah tropis (Bogor) dengan rataan suhu udara pada siang hari 30.8o

Manajemen cuaca lingkungan yang dapat diterapkan adalah dengan mengatur waktu pemberian pakan yang tepat berdasarkan cuaca lingkungan yang sesuai. Manajemen pakan yang dapat diterapkan adalah dengan mengatur komposisi pakan yang tepat. Manajemen pakan dan cuaca lingkungan berfungsi agar produksi dan pelepasan panas tubuh seimbang. Keseimbangan panas tersebut adalah suatu syarat untuk mencapai kondisi fisiologis dan produktivitas ternak yang optimal. Keseimbangan panas tubuh dapat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal tubuh. Kondisi eksternal yang mempengaruhi tubuh yaitu suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan radiasi sinar matahari. Kondisi internal tubuh adalah proses-proses fisiologis di dalam tubuh, termasuk proses metabolisme pakan.

C, performa hidup seekor ternak akan berbeda pula. Pengaruh lingkungan lebih besar pada stres panas dibanding pengaruh dari genetik (Boonkum

et al. 2011). Berdasarkan hal tersebut, diperlukan manajemen yang sesuai dengan

kebutuhan hidup ternak, sehingga performa ternak dapat optimal meskipun tidak sama persis dengan di habitat asalnya. Peningkatan performa hidup ternak agar dapat sesuai dengan kondisi lingkungan yang mencekam dapat dilakukan dengan manajemen dan seleksi (Nardone et al. 2010). Manajemen cuaca lingkungan dan pakan yang tepat diharapkan dapat menjadi solusi dalam mengatasi cekaman cuaca panas pada tubuh ternak.

Penelitian sebelumnya telah dilakukan dengan memberi pakan berkadar energi tinggi agar kebutuhan energi ternak tetap terpenuhi dan kondisi fisiologis tetap normal walaupun cuaca lingkungan mencekam dan konsumsi pakan menurun. Penelitian tersebut dengan metode memberi konsentrat berkadar energi cukup tinggi (TDN sebesar 70%). Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terjadi cekaman panas saat suhu udara mencapai maksimal. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan penelitian lanjutan mengenai manajemen komposisi pakan dan lingkungan yang

(19)

optimal agar kondisi eksternal dan internal tubuh dapat mendukung keseimbangan panas tubuh ternak.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh modifikasi waktu pemberian pakan dalam mengurangi beban panas ganda/double stress (beban panas hasil metabolisme pakan terjadi bersamaan dengan beban panas dari lingkungan). Hasil penelitian Purwanto et al. (1993) menunjukan bahwa, produksi panas tubuh mencapai maksimal dan frekuensi denyut jantung tertinggi terjadi saat tiga jam setelah pemberian pakan. Modifikasi waktu pemberian pakan yang dilakukan yaitu dengan cara memberi pakan tiga jam lebih awal dari waktu yang biasa dilakukan, agar tidak terjadi double stress.

Selain mengatur waktu pemberian pakan, usaha mengurangi beban panas pada ternak juga dapat dilakukan dengan mengatur komposisi pakan. Pengaturan komposisi pakan adalah cara yang efektif untuk mengurangi hilangnya nutrisi pakan ke lingkungan (Van Der Stelt et al. 2008). Minyak kelapa dapat digunakan sebagai sumber energi pakan ternak yang cukup baik pada lingkungan yang berpotensi memberikan cekaman panas. Peranan minyak atau lemak pada pakan adalah sebagai sumber energi melalui konversi gliserol yang terbebaskan dari proses hidrolisis lemak menjadi VFA.

Energi per gram lemak hasil metabolisme lebih tinggi dibanding karbohidrat dan protein, sedangkan energi panas yang terbuangnya (heat increament) relatif lebih rendah. Nilai kalori yang tinggi dari lemak sangat sesuai digunakan sebagai pakan untuk meningkatkan rasio densitas energi pakan tanpa terlalu menambah peningkatan panas hasil fermentasi sistem pencernaan (Wang et al. 2010). Pada penelitian ini dilakukan pengujian metode untuk mengurangi beban panas tubuh ternak saat ada cekaman panas dengan memberi pakan konsentrat berkadar energi tinggi yang mengandung minyak kelapa sebagai salah satu sumber energinya. Kombinasi penggunaan minyak kelapa dan manajemen waktu pemberian pakan diharapkan dapat membantu tubuh ternak tetap normal pada lingkungan yang berpotensi memberikan cekaman panas.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui fluktuasi unsur-unsur cuaca dan pengaruhnya terhadap respon fisiologis Sapi Dara Peranakan Fries Holland saat terjadi cekaman panas tubuh.

(20)

2. Mengetahui pengaruh waktu pemberian pakan dan penambahan minyak kelapa dalam konsentrat berenergi tinggi terhadap respon fisiologis dan produktivitas ternak.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian mengenai waktu pemberian pakan dan penambahan minyak kelapa dalam konsentrat berenergi tinggi dapat diterapkan untuk mengatasi cekaman panas tubuh dan meningkatkan produktivitas ternak yang dibudidayakan pada daerah yang berpotensi memberikan cekaman cuaca panas pada siang hari.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Unsur Cuaca dan Lingkungan Hidup Sapi Fries Holland

Lingkungan hidup hewan adalah total kondisi eksternal yang mempengaruhi perkembangan, respon, dan pertumbuhan hewan tersebut. Terdapat tiga faktor dalam lingkungan yaitu sosial, fisik, dan panas. Faktor panas adalah suhu udara, kelembaban relatif, kecepatan angin, dan radiasi (Esmay 1982). Suhu udara (Tdb/Drybulb temperature) didefinisikan dengan temperatur gas atau campuran gas yang diindikasikan oleh termometer yang terlindungi dari radiasi. Hasil Pengukuran suhu udara biasa digunakan untuk mendeskripsikan panas lingkungan (Yousef 1984). Ternak memerlukan suhu lingkungan yang optimum untuk kehidupan dan produksinya (McDowell 1974). Penampilan produksi terbaik sapi perah peranakan Fries Holland akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3o

Kelembaban adalah uap air di udara. Kelembaban relatif adalah perbandingan uap air aktual (yang terukur) dengan tekanan uap air dalam kondisi jenuh. Intensitas panas lingkungan tergantung pada suhu udara dan kelembaban relatif (Yousef 1984). C dengan kelembaban 55% (Sutardi 1981).

Kelembaban adalah faktor pembatas stres panas pada iklim lembab, sedangkan suhu udara kering adalah faktor pembatas stres panas pada iklim kering (Bohmanova 2007).

Indeks yang baik untuk mengukur panas lingkungan dan efeknya telah dikembangkan untuk sapi yang disebut temperature-humidity index atau THI (Yousef 1984). Klasifikasi THI yang mengacu pada Pennington dan Van Devender (2004) yaitu, klasifikasi THI dibagi menjadi tiga kategori diantaranya cekaman ringan (nilai THI = 72 – 79), cekaman sedang (nilai THI = 80 – 89), dan cekaman berat (nilai THI = 90 – 98). Bentuk keeratan hubungan antara nilai THI dengan performa fisiologis ternak tampak pada peubah produksi susu, konsumsi hay, dan suhu rektal. Sapi FH dapat menghasilkan susu secara maksimal apabila lingkungan hidupnya berada pada kisaran angka THI antara 35 – 72 (Johnson 1984).

Peningkatan satu angka THI memiliki pengaruh berupa penurunan 0.26 kg produksi susu, penurunan 0.23 kg konsumsi hay, dan peningkatan 0.12oC suhu rektal (Johnson 1984). Sapi perah yang terkena cekaman panas memiliki gejala yang sangat jelas, terutama dalam hal penurunan produksi susu dan perilaku sapi yang terlihat lesu.

(22)

Pertanda umum yang tampak pada saat sapi perah tercekam pada suhu sekitar 26.6oC hingga 32.2o

Peningkatan radiasi sinar matahari juga dapat menyebabkan cekaman panas pada ternak selain oleh suhu dan kelembaban udara. Radiasi matahari dalam suatu lingkungan berasal dari dua sumber utama, yaitu temperatur matahari yang tinggi dan radiasi termal dari tanah, pohon, awan dan atmosfir (Yousef 1984). Pindah panas secara radiasi dipengaruhi oleh besarnya radiasi matahari atau bahan, kecepatan angin, dan suhu lingkungan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suhu lingkungan mikro (sekitar kandang) sebesar 5

C dan kelembaban udara berkisar antara 50 hingga 90%, yaitu laju respirasi yang cepat, berkeringat sebanyak-banyaknya, dan penurunan kira-kira 10% pada produksi susu dan konsumsi pakan (Pennington & VanDevender 2004).

o

Tabel 1 Indeks suhu dan kelembaban lingkungan C dapat meningkatkan produksi susu

Sapi FH sebesar 10 kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi 45 kg/hari (Berman 2005).

o

C Kelembaban Relatif (%) Keterangan 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 18 61 61 62 62 62 63 63 63 64 64 64 19 62 62 63 63 63 64 64 65 65 66 66 20 63 63 64 64 65 65 66 66 67 67 68 Stress 21 63 64 65 65 66 67 67 68 69 69 70 Threshold 22 64 65 66 66 67 68 69 69 70 71 72 23 65 66 67 67 68 69 70 71 72 73 73 Mild to 24 66 67 68 69 70 70 71 72 73 74 75 Moderate 25 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 Stress 26 67 69 70 71 72 73 74 75 77 78 79 27 68 69 71 72 73 74 76 77 78 79 81 28 69 70 72 73 74 76 77 78 80 81 82 Moderate 29 70 71 73 74 76 77 78 80 81 83 84 to Severe 30 71 72 74 75 77 78 80 81 83 84 86 Stress 31 71 73 75 76 78 80 81 83 85 86 88 32 72 74 76 77 79 81 83 84 86 88 90 33 73 75 77 79 80 82 84 86 88 90 91 Severe 34 74 76 78 80 82 84 85 87 89 91 93 Stress 35 75 77 79 81 83 85 87 89 91 93 95 Sumber: Lang (2011).

(23)

Cekaman panas lingkungan ternak dapat teratasi bila ada angin yang cukup. Angin dapat digunakan untuk mereduksi cekaman panas pada ternak.

Pemanfaatan Pakan dan Ruminasi

Transfer panas dengan konveksi dan evaporasi antara ternak dengan lingkungan dipengaruhi oleh kecepatan angin sebanyak 25%. Hadi (1995) menyampaikan hasil pengamatannya yaitu, terjadi perubahan suhu rektal, suhu kulit, suhu tubuh, dan frekuensi pernafasan pada Sapi FH akibat pemberian kecepatan angin (1.125 m/det) yang dilakukan pada siang hari (pukul 11.00 – 13.00 WIB) dan malam hari (pukul 19.00–21.00 WIB). Kecepatan angin di bawah 4 m/s tergolong rendah dan cara mengukur kecepatan angin adalah setinggi tubuh ternak (Gebremedhin 1984).

Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak (baik berupa bahan organik maupun anorganik) yang sebagian atau seluruhnya dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak. Palatabilitas memiliki pengaruh besar terhadap konsumsi pakan pada ruminansia dan sensor terhadap rasa sangat berkembang pada ternak sapi (Albright 1992). Konsentrat yang manis, dengan kadar karbohidrat larut air yang sama (198 g/kg bk), dikonsumsi ternak lebih cepat dibanding konsentrat yang asin dan pahit tanpa bahan aditif lain (Chiy & Phillips

1999). Fungsi fisiologis dari pakan adalah menyediakan bahan-bahan untuk

membangun dan memperbaharui jaringan tubuh yang aus atau terpakai, mengatur kelestarian proses-proses dalam tubuh dan kondisi lingkungan dalam tubuh, dan menyediakan energi untuk melangsungkan berbagai proses dalam tubuh. Proses-proses tersebut termasuk transportasi aktif ion melewati membrane sel (seperti ion kalsium dan natrium), siklus protein dan substrat lainnya.

Hasil metabolisme dapat digunakan oleh hewan untuk reproduksi, produksi wol dan serat, dan susu pada saat laktasi, dan produksi telur pada ayam betina (Lawrence & Fowler 2002). Energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Sapi dara yang sedang tumbuh memerlukan ekstra energi untuk jaringan tubuhnya selama pertumbuhan dari anak hingga menjadi ternak dewasa (Etgen 1987).

(24)

Kebutuhan pakan pada makhluk hidup berbeda-beda sesuai dengan karakter fisiologisnya, diantaranya bergantung pada tingkat stres terhadap cekaman panas dan fase pertumbuhan. Pada ruminan dewasa, hasil fermentasi karbohidrat berupa VFA (volatile fatty acid) diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit bagian dari VFA yang termetabolisme dalam dinding rumen (Parakkasi 1995). VFA merupakan sumber energi utama pada ruminansia. Lemak pakan dalam rumen ruminansia dewasa mengalami proses hidrolisis, fermentasi gliserol dan galaktosa, dan hidrogenasi asam lemak tak jenuh oleh mikroorganisme rumen. Hidrolisis lemak pada anak sapi sangat terbatas kesanggupannya sehingga banyak di antara lemak tersebut harus diserap secara langsung masuk ke dalam saluran limfe (Parakkasi 1995). Karbohidrat pun tidak semuanya dapat dicerna oleh anak sapi, karena belum berkembangnya enzim-enzim pencerna karbohidrat tersebut.

Pemanfaatan Pakan pada Berbagai Kondisi Fisiologis

Zat pakan yang dapat berfungsi baik bagi tubuh sebagai sumber energi adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Bahan-bahan pakan tersebut memiliki karakter nutrisi dan efek yang berbeda-beda terhadap kondisi fisiologis ternak. Makanan yang berserat menghasilkan panas yang paling tinggi dalam proses pencernaannya, kemudian diikuti oleh protein, karbohidrat dan disusul oleh lemak. Satu gram karbohidrat, lemak, dan protein menghasilkan berturut-turut 5.6 kcal/gram, 9.4 kcal/gram, dan 4.1 kcal/gram. Lemak memiliki kadar energi yang paling tinggi, akan tetapi, lemak menghasilkan panas terbuang/heat increament yang relatif lebih rendah dibanding protein dan karbohidrat (Parakkasi 1995). Penambahan lemak dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi energi. Zat pakan yang memiliki kandungan kalori tinggi dan heat increament rendah seperti lemak sangat sesuai diberikan bila ada cekaman panas.

Kandungan energi pakan harus dimodifikasi selama suhu tinggi. Konsentrasi energi harus ditingkatkan 10% selama stress panas, sedangkan konsentrasi nutrisi lain juga ditingkatkan 25% (Rao et al. 2002). Peranan lemak pakan adalah sebagai sumber energi melalui konversi gliserol yang terbebaskan dari proses hidrolisis lemak menjadi VFA. Konsentrasi energi (DE atau TDN) yang sesuai/baik lebih tinggi pada pakan yang disuplementasi lemak dibanding yang tidak (P<0.05). Ternak

(25)

sapi yang diberi pakan dengan suplementasi lemak sebanyak rata-rata 1.2 Mkal/hari, energinya lebih banyak yang tercerna dibandingkan yang tidak disuplementasi lemak (Weiss & Wyatt 2004).

Penambahan 10% kadar lemak pada konsentrat atau 3% dari seluruh ransum tidak memberikan efek yang relatif besar pada konsumsi bahan kering atau kecernaan dan yang terbaik adalah pada penambahan lemak dengan kadar maksimal 5% dan telah direkomendasikan untuk sapi perah di Swedia (Spőrndly 2003). Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa, ternak ruminansia mampu mentoleransi kandungan lemak pakan hingga 10% tanpa mengalami gangguan pencernaan. Penambahan lemak dalam pakan sapi perah memiliki keuntungan lain yaitu:

1. Meningkatkan densitas kalori dari ransum, terutama jika konsumsi pakan terbatas oleh bahan pakan pengisi perut seperti rumput atau jerami padi.

2. Membatasi kebutuhan konsentrat yang mengandung karbohidrat kaya energi. Konsentrat seperti ini umumnya diberikan pada sapi perah dalam stadium awal laktasi dimana sapi perah dalam kondisi keseimbangan energi negatif.

3. Lemak atau minyak dengan lebih banyak asam lemak jenuh lebih disukai untuk iklim panas lembab.

4. Konsumsi meningkat di atas 17% pada penambahan 5% lemak pada unggas yang mengalami stres panas karena lemak memperbaiki palatabilitas (Rao et al. 2002). 5. Lemak dapat meningkatkan palatabilitas pakan dan mampu memberikan rasa

kenyang lebih lama.

6. Membantu absorbsi vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Piliang & Djojosoebagio 2006).

Minyak Kelapa

Minyak kelapa murni adalah minyak kelapa yang dibuat dari bahan baku kelapa segar, diproses dengan pemanasan terkendali atau tanpa pemanasan sama sekali dan tanpa bahan kimia dan RBD (refined, bleached, dan deodorized). Minyak kelapa penting bagi metabolisme tubuh karena mengandung vitamin-vitamin yang larut dalam lemak, yaitu vitamin A, D, E, dan K serta provitamin A (karoten). Minyak kelapa juga mengandung sejumlah asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Komposisi asam-asam lemak yang dianalisis dari kopra yang didapat dari beberapa varietas, yaitu asam laurat 36.12-38.28%, asam miristat 13.42-15.90%,

(26)

asam kaprilat 8.78-11.10%, asam kaprat 6.38-8.08%, asam palmitat 6.48-7.95%, asam oleat 4.27-5.26%, asam stearat 1.76-2.54%, dan asam linoleat 1.44-1.66%. Hasil analisis minyak kelapa murni/vco tersebut diperoleh rata-rata asam lemak rantai sedang 56-57% dengan kadar asam laurat 43%. Asam lemak rantai sedang lainnya yang mempunyai khasiat untuk kesehatan adalah asam kaprat, asam oleat (Omega-9), dan asam linoleat (Omega-6).

Efisiensi penggunaan bahan kering ransum tertinggi dicapai pada pemberian minyak kelapa 200 gr/ekor/hari yang setara dengan penambahan 3.73% lemak dari baban kering ransum (Anggarawati 1980). Kandungan energi tercerna minyak kelapa sebesar 0.8 kcal/kg dan koefisien cerna protein dan ether extract lebih besar saat

pakan mengandung minyak kelapa sebanyak 10% (Creswell & Brooks 1971). Hasil

penelitian Sitoresmi (2009) menunjukkan, pemberian minyak kelapa paling besar pengaruhnya terhadap penurunan jumlah protozoa dan produksi metan. Penambahan minyak hingga level 5% mampu menurunkan produksi metan hingga 15.80% tanpa berefek negatif terhadap kadar NH3, kadar VFA, aktivitas CMC-ase, dan kadar protein mikrobia. Nilai kalori yang tinggi dari lemak sangat sesuai digunakan sebagai pakan untuk meningkatkan rasio densitas energi pakan tanpa terlalu menambah peningkatan panas hasil fermentasi sistem pencernaan (Wang et al. 2010).

Pemanfaatan Pakan pada Berbagai Aktivitas

Energi metabolis sesuai dengan karakter metabolisme hewan dan juga bergantung pada panas, aktivitas, dan pertumbuhan (Lawrence & Fowler 2002). Aktivitas dapat meningkatkan panas tubuh metabolis. Pada kasus yang sederhana seperti aktivitas berdiri dari posisi duduk, dapat meningkatkan produksi panas metabolis dari 40% menjadi 45% berdasarkan pengukuran menggunakan kalorimeter. Hasil studi pada burung unta menunjukan, terdapat perbedaan panas tubuh metabolis pada saat burung diam hingga berlari. Produksi panas metabolis pada saat istirahat (diam), lebih rendah, karena terjadi perubahan poetur saat berlari, perubahan pada pelepasan panas sensibel, dan atau peningkatan suhu tubuh karena berlari (Yousef 1985).

Ruminasi dipengaruhi oleh faktor-faktor nutrisi seperti kecernaan pakan,

konsumsi NDF, komposisi pakan, dan kualitas bahan baku. Peningkatan jumlah

(27)

lemak jenuh yang melintasi duodenum, dapat meningkatkan waktu ruminasi harian (Harvatine & Allen 2005). Peningkatan efisiensi mengunyah saat ruminasi adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan daya konsumsi/cerna setelah ternak

disapih dan bersamaan dengan meningkatnya fungsi-fungsi rumen yang lain (Hooper

& Welch 1983). Peningkatan mengunyah pada saat ruminasi seiring dengan meningkatnya konsumsi hay (Bae et al. 1979). Peningkatan ruminasi pada sapi perah berpengaruh terhadap peningkatan produksi saliva dan peningkatan kesehatan rumen.

Berdasarkan hasil observasi menggunakan Hi-Tag rumination monitoring system,

waktu yang diperlukan untuk ruminasi selama 35.1 ± 3.2 menit, waktu tersebut hampir sama dengan pengamatan langsung yaitu selama 34.7 ± 20.3 menit

(Schirmann 2009).

Produksi Panas

Panas yang dihasilkan dari dalam tubuh dikenal sebagai produksi panas. Menurut Ganong (1983), produksi panas ini merupakan hasil aktivitas metabolisme basal "Specific Dynamic Action" dari makanan dan kegiatan otot. Produksi panas metabolis dihasilkan dari energi kimia bahan makanan yang ditransfer menjadi energi panas. Pada berbagai tahapan reaksi biokimia tubuh, karbon dioksidasi menghasilkan CO2

Peningkatan beban panas yang disebabkan oleh kombinasi suhu udara, kelembaban relatif, pergerakan angin, dan radiasi matahari dapat meningkatkan suhu tubuh dan frekuensi respirasi serta mengurangi konsumsi pakan dan produksi susu (Hahn 1999, Ominski et al. 2002, West 2003). Ternak yang terekspos pada panas secara tiba-tiba dapat menyebabkan peningkatan produksi panas, tetapi bila terekspos dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan penurunan produksi panas. Penurunan konsumsi pakan saat ternak terekspos panas menyebabkan penurunan fungsi-fungsi fisiologis termasuk produksi panas basal. Bila tidak terjadi penurunan konsumsi pakan saat ternak terekspos panas lingkungan sebesar 125 dan 300 kal/jam, maka terjadi penurunan produksi panas. Penurunan produksi panas basal lebih dipengaruhi , hidrogen menjadi air, dan energi potential dirubah menjadi bentuk energi yang lain, yakni, thermal, kimia, listrik, dan mekanik yang menghasilkan energi panas. Jadi, produksi panas adalah suatu pengukuran dari sejumlah transformasi energi pada tubuh per satuan waktu.

(28)

oleh panas langsung dari lingkungan dibanding oleh penurunan konsumsi pakan (Yousef 1984).

Produksi panas juga dipengaruhi oleh pertumbuhan. Fase pertumbuhan mempengaruhi besarnya konsumsi pakan dan metabolisme energi metabolisme. Sebagian besar molekul pakan dikonversi menjadi molekul pertumbuhan dan sebagian kecil dioksidasi menjadi karbondioksida dan air. Penggunaan energi dari hasil metabolisme pakan sebesar 40% adalah untuk jaringan, dan merupakan bagian yang terbesar dalam penggunaan energi hasil metabolisme pakan. Proporsi tersebut dapat berkurang, bergantung pada kondisi jaringan tertentu. Energi metabolis adalah penjumlahan dari energi yang digunakan oleh jaringan dan energi total yang dilepaskan oleh tubuh. Produksi panas selalu ada selama hewan hidup dan berhubungan dengan deposisi protein atau lemak atau dengan sisa energi yang berguna bagi hewan (Lawrence & Fowler 2002).

Hasil penelitian menunjukan bahwa, produksi panas pada sapi perah laktasi dan kering kandang (tidak memproduksi susu) ini akan mencapai titik maksimumnya sekitar tiga jam setelah makan. Besarnya produksi panas ini dipengaruhi pula oleh tingkah laku (Purwanto et al. 1993), jumlah konsumsi pakan, suhu lingkungan, laktasi, pertumbuhan, dan kebuntingan. Produksi panas metabolis ternak sapi sebesar 0.08 Mcal/kg bb0.75 (NRC 2001). Produksi panas harian selama 24 jam pada Sapi Hereford jantan muda sebesar 536 ± 9kJ kg/bb0.75

Tabel 2 Produksi panas sapi perah pada berbagai suhu lingkungan (bb: 454.5 kg)

/hari (Derno et al. 2005). Ternak sapi akan berusaha mempertahankan panas tubuhnya sesuai dengan keadaan suhu lingkungannya.

Suhu (oC) Panas Laten (W) Panas Sensibel (W) Total Panas (W)

4.44 278.4 766.6 1055

10 322.4 674.0 996

15,56 392.7 556.8 949

21.11 410.3 498.2 908

26.67 556.8 293.1 849

Sumber : Esmay dan Dixon 1986.

Produksi panas minimum pada ternak sehat dicapai pada saat ternak tidak diberi pakan dan pada kondisi lingkungan thermoneutral juga pada saat aktivitas ternak minimum (Lawrence & Fowler 2002). Panas tubuh berasal dari reaksi biokimia dalam saluran pencernaan atau reaksi biokimia dalam sel (asimilasi). Pada

(29)

daerah dingin, panas tersebut dapat digunakan untuk pemeliharaan temperatur tubuh, sedangkan pada daerah panas harus dikeluarkan dari tubuh dengan jalan disipasi dan atau konveksi ke udara lingkungan, merupakan problem di daerah panas dan lembab. Produksi HI (heat increament) tergantung pada sistem pencernaan dan produk yang dihasilkan (Parakkasi 1995). Pada kondisi cuaca panas, pemberian lemak akan dapat membantu mengurangi stres panas tubuh pada sapi laktasi. Nilai kalori yang tinggi dari lemak (minyak nabati/hewani) sangat cocok digunakan sebagai pakan untuk meningkatkan rasio densitas energi pakan tanpa terlalu menambah peningkatan panas hasil fermentasi sistem pencernaan (Wang et al. 2010).

Produksi panas tubuh juga bergantung pada pelepasan panas tubuh ke lingkungan. Proses pelepasan panas tubuh ke lingkungan dapat terjadi melalui proses evaporasi, konduksi, konveksi, dan radiasi. Permukaan kulit hewan dapat berfungsi untuk melepas panas dengan proses konveksi, radiasi, dan evaporasi (Berman 2003). Pertukaran panas dengan konduksi adalah pertukaran panas dari kulit ke lingkungan dan melalui proses difusi. Kehilangan panas melalui konveksi berupa perpindahan uap air di sekitar kulit ternak dan pergantian temperatur adalah hasil dari konduksi panas dari kulit dengan uap air tersebut. Transfer panas melalui radiasi adalah transfer panas dengan pertukaran gelombang elektromagnetik. Evaporasi adalah proses pelepasan panas melalui hilangnya uap air dari saluran respirasi atau dari kulit (Yousef 1984).

Termoregulasi

Termoregulasi adalah pengaturan suhu tubuh yang bergantung kepada produksi panas melalui metabolisme dan pelepasan panas tersebut ke lingkungan (Esmay 1982). Panas adalah sebuah bentuk energi yang ditransmisikan dari suatu tubuh ke yang lainnya karena adanya perbedaan temperatur. Temperatur mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Energi didefinisikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja (Esmay 1982). Energi dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi, pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu (Etgen 1987).

Berdasarkan kemampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu poikiloterm dan homeoterm. Hewan poikiloterm adalah hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan

(30)

berubahnya suhu lingkungan. Hewan homeoterm adalah hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan/tidak berubah sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah. Mengacu pada Bligh (1984), pada regulasi temperatur mamalia, terdapat dua sensor suhu di dalam tubuh, yaitu sensor panas dan sensor dingin, yang terdapat pada jaringan syaraf tepi dan syaraf pusat. Terdapat banyak efektor untuk menyesuaikan panas, diantaranya secara otonom dan yang lain dengan adaptasi tingkahlaku, yang keduanya berbeda dalam produksi panas dan pelepasan panas ke lingkungan.

Sumber: Ismail (2006).

Gambar 1 Termoregulasi temperatur pada mamalia, dengan dua efektor penyesuai secara otonom dan tingkahlaku.

Berdasarkan hukum termodinamika pertama, simpanan energi panas sebanding dengan perubahan energi metabolis dikurangi panas yang hilang sebagai

heat increament

M = ± K ± C ± R ± E

. Tubuh berada dalam kesetimbangan energi panas, bila yang disimpan nol. Robertshaw (1984) mengemukakan, homeotermi mensyaratkan produksi atau penyerapan panas dari lingkungan harus sama dengan pelepasan panas ke lingkungan, sebagaimana diindikasikan dengan persamaan:

Keterangan :

M : Produksi panas metabolis C : Pertukaran Panas dengan Konveksi K : Pertukaran panas dengan konduksi R : Pertukaran Panas dengan Radiasi E : Pertukaran panas dengan evaporasi

(31)

Sumber: Ismail (2006). Gambar 2

Adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya mungkin jika ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh dan lingkungan (Hensel 1981). Keseimbangan panas mengacu pada Williamson dan Payne (1993) dipengaruhi oleh produksi panas metabolik (produksi panas basal, panas dari pencernaan, panas dari aktivitas ternak, naiknya metabolisme untuk proses produksi), panas yang hilang atau didapat dari makanan atau minuman, konduksi, konveksi, radiasi, dan panas yang hilang melalui evaporasi (kulit dan pernafasan).

Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan dengan penerimaan panas.

Denyut Jantung

Respon Termoregulasi

Jantung adalah struktur otot (muscular) berongga yang bentuknya menyerupai kerucut dan siklus jantung adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut lengkap. Faktor fisiologis yang mempengaruhi denyut jantung pada hewan normal adalah spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap kebuntingan, parturition, rangsangan, tahap laktasi, rangsangan, olah raga, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan, ruminasi, temperatur lingkungan. Jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi tanpa stimulus eksternal

(32)

(Frandson 1992). Denyut jantung normal pada sapi dewasa adalah 55 - 80 kali/menit, sedangkan pada pedet 100-120 kali/menit. Cara untuk mendeteksi denyut jantung adalah dengan meraba arteri menggunakan jari hingga denyutan terasa. Pada sapi, jika dalam kondisi tenang denyut jantung dapat dideteksi dari arteri pada rahang bawah, arteri median, arteri koksigeal bagian tengah pada ekor, ±10 cm di bawah anus (Kelly 1984).

Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ yang lebih dingin. Ternak yang terekspos temperatur lingkungan yang sangat tinggi atau sangat rendah dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung. Mekanismenya adalah peningkatan suhu darah yang secara langsung mempengaruhi jantung, yang juga dipengaruhi oleh penurunan tekanan darah yang berasal dari vasodilatasi peripheral. Proses terakhir adalah peningkatan jumlah adrenalin dan noradrenalin yang disekresikan untuk pembentukan energi, dengan disertai sekresi hormon lainnya dari kelenjar endokrin, sehingga menyebabkan peningkatan denyut jantung (Frandson 1992).

Respirasi

Dua fungsi utama dari sistem respirasi adalah menyediakan oksigen untuk darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi yang bersifat sekunder meliputi membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi (pada alveolus) dapat mengatur kelembaban dan temperatur udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai dengan suhu tubuh (Ganong 1983). Sistem respirasi terdiri dari paru dan saluran-saluran yang memungkinkan udara dapat mencapai dan meninggalkan paru (Frandson 1992). Pusat respirasi pada burung dan mamalia adalah di medula yang sensitif terhadap perubahan pH, temperatur darah, dan faktor-faktor lain (Duke 1977). Medula adalah perpanjangan dari otak yang terletak sepanjang ruas tulang belakang. Bagian medula juga sensitif terhadap CO2

Aktivitas respirasi ditandai dengan pergerakan tulang rusuk, tulang dada, dan perut (merespon kontraksi paru-paru dan pergerakan diafragma). Observasi aktivitas respirasi lebih diutamakan saat ternak dalam posisi berdiri, karena posisi berbaring pada tekanan darah. Tekanan darah yang meningkat sedikit, menyebabkan pernafasan menjadi lebih dalam dan cepat (Esmay 1982).

(33)

akan mempengaruhi respirasi, terlebih lagi pada ternak yang sedang sakit. Pengontrolan frekuensi respirasi dengan cara berdiri pada salah satu sisi ternak, lalu mengamati daerah dada dan perut, serta disarankan untuk mengobservasi ternak dari kedua sisi, untuk mengetahui similaritas pergerakan kedua sisi. Kegiatan frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah 10-30 kali /menit, sedangkan pada pedet sebanyak 15-40 kali/menit. Peningkatan frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen yaitu setelah olah raga, terekspos oleh suhu lingkungan dan kelembaban relatif yang tinggi, dan kegemukan (Kelly 1984).

Suhu Rektal

Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima panas (Esmay 1982). Suhu tubuh atau suhu inti (core temperature) dapat dihitung pada beberapa lokasi pada tubuh. Lokasi yang biasa digunakan adalah rektal, karena cukup mewakilkan dan kondisinya stabil. Suhu inti mendominasi penentuan suhu tubuh (Robertshaw 1984). Temperatur rektal dan kulit saat siang hari meningkat akibat dehidrasi, dan frekuensi respirasi dan temperatur tubuh berfluktuasi lebih besar saat dehidrasi (Weeth et al. 2008). Perbaikan normothermis pada suhu inti tubuh bergantung pada konduksi panas dari inti tubuh ke kulit. Berkurangnya intensitas vasokontriksi pheripheral dapat meningkatkan konduksi panas dari inti tubuh ke kulit (terjadi perbaikan normotermis) dan mengurangi terjadinya

hyperthermia (Berman 2010).

Pengukuran suhu tubuh pada dasarnya sulit dilakukan, karena pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukur an di berbagai bagian tubuh (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh yang diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah total yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara suhu yang diproduksi dengan suhu yang dilepaskan. Walaupun temperatur rektal tidak mengindikasikan temperatur tubuh pada hewan, tetapi rektal adalah tempat yang tepat untuk menginformasikan temperatur tubuh. Suhu rektal ternak sapi berumur di atas satu tahun berkisar 37.8-39.2oC dan ternak dibawah satu tahun berkisar 38.6-39.8oC. Temperatur bagian dalam mungkin berubah seiring pertukaran energi panas internal antara bagian dalam dan bagian luar tanpa penyimpanan atau kehilangan energi panas pada aktivitas konstan (Kelly 1984).

(34)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada 11 Maret hingga 5 Juni 2011. Waktu penelitan dibagi menjadi enam periode, setiap periode perlakuan dilaksanakan selama 14 hari. Penelitian dilaksanakan di Kandang Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Kampus IPB Dramaga.

Materi Penelitian

Ternak dan Pakan

Ternak yang digunakan yaitu sapi dara Peranakan Fries Holland (PFH) sebanyak enam ekor. Bobot badan pada awal penelitian antara 170-276 kg, dengan nilai rataan sebesar 194±40 kg. Pemandian sapi dilakukan pada akhir setiap periode perlakuan. Pakan yang digunakan terdiri atas hijauan dan konsentrat dengan rasio 60:40. Jenis hijauan yang digunakan sebagian besar adalah rumput gajah. Waktu pemberian pakan terdiri atas dua jenis waktu, yaitu pemberian pakan pada pukul 08.00 dan 16.00 WIB (P1) dan pukul 05.00 dan 18.00 WIB (P2). Konsentrat terdiri

dari tiga jenis yaitu, konsentrat dengan TDN 70% (R1), TDN 75% (R2), dan TDN

75% (R3

Terdapat enam perlakuan yang diteliti, perlakuan merupakan kombinasi dari perlakuan waktu pemberian pakan (P) dan perlakuan jenis konsentrat (R). Berikut adalah enam kombinasi antara waktu pemberian pakan dengan jenis konsentrat :

) yang mengandung minyak kelapa 3.5% (% as feed). Pemberian bahan kering pakan sebanyak 2.5% dari bobot hidup dan penghitungan kebutuhan gizi pakan mengacu pada petunjuk NRC (2001). Jumlah pakan yang diberikan pada ternak setiap periode dapat dilihat pada Lampiran 2.

R1P1

R

: Perlakuan pemberian konsentrat TDN 70% dengan waktu pemberian pagi pukul 08.00-08.20 WIB dan sore pukul 16.00-16.20 WIB.

2P1

R

: Perlakuan pemberian konsentrat TDN 75% dengan waktu pemberian pagi pukul 08.00-08.20 WIB dan sore pukul 16.00-16.20 WIB.

3P1: Perlakuan pemberian konsentrat TDN 75% yang mengandung minyak kelapa

3.5%, dengan waktu pemberian pagi pukul 08.00-08.20 WIB dan sore pukul 16.00-16.20 WIB.

(35)

R1P2

R

: Perlakuan pemberian konsentrat TDN 70%, dengan waktu pemberian pagi pukul 05.00-05.30 WIB dan sore pukul 17.45-18.20 WIB.

2P2

R

: Perlakuan pemberian konsentrat TDN 75%, dengan waktu pemberian pagi pukul 05.00-05.30 WIB dan sore pukul 17.45-18.20 WIB.

3P2

Tabel 3 Komposisi dan kandungan pakan penelitian (% as feed) : Perlakuan pemberian konsentrat TDN 75% yang mengandung minyak kelapa

3.5%, dengan waktu pemberian pagi pukul 05.00-05.30 WIB dan sore pukul 17.45-18.20 WIB. Bahan Pakan R1 R2 R3 Dedak 33.77 13.82 32.03 Jagung 8.98 15.46 7.08 Polard 29.37 14.56 26.78 Onggok 18.26 26.92 10.41 Bungkil Kelapa 2.93 14.55 10.44 Bungkil Kedelai 4.92 13.05 7.97 Kapur 1.75 1.64 1.77 Minyak Kelapa 0 0 3.51 Kandungan (%) : BK 87 86 88 PK 14.26 16.23 16.08 TDN 70.93 75.09 75.79 SK 10.89 9.40 10.77 LK Ca 5.01 0.96 4.54 0.96 9.5 0.95 P 0.98 0.66 0.96 Harga (Rp) 2115 2618 2460

Ket: Formulasi menggunakan software WinFeed 2.8.

Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan berbentuk monitor dengan setiap individu sapi menempati tiap petak kandang dengan ukuran 1 x 1.8 m, serta tinggi kandang 4 m, tinggi ke monitor kandang 5 m, dengan atap asbes. Tempat air minum dan pakan disediakan bersebelahan. Peralatan penelitian yang digunakan yaitu termometer rektal (SAFETY, Japan), termometer bola kering dan bola basah (Dry-wet, Shanghai), termometer pengukur suhu permukaan kulit digital (Anritsu HI-2000, Tokyo), lux meter (EXTEC, Cina), stetoskop (STETOSCOPE, Japan), anemometer

(36)

(TAYLOR-Roschest, New York), pita ukur (RONDO), timbangan kapasitas 100 kilogram untuk hijauan, dan timbangan digital kapasitas 5 kg untuk konsentrat.

Parameter Penelitian

Parameter yang diamati terdiri atas unsur cuaca, respon fisiologis ternak, kecepatan konsumsi pakan, kecepatan mengunyah, dan pertambahan bobot badan (PBB). Faktor unsur cuaca yang diukur adalah suhu udara (Tdb), kelembaban udara

(RH), radiasi sinar matahari (Rad), dan kecepatan angin (Va). Temperature humidity index (THI) juga diteliti dalam penelitian ini. Respon fisiologis ternak sapi yang

diukur adalah denyut jantung (Hr), frekuensi pernafasan (Rr), suhu tubuh (bT), suhu

rektal (rT), suhu kulit (s

Pengukuran unsur cuaca, respon fisiologis, kecepatan konsumsi pakan, dan kecepatan mengunyah dilakukan pada hari ke 4, 8, 12, dan 14. Pengukuran respon fisiologis dilakukan setiap jam dari pukul 04.50-20.30 WIB. Pengukuran kecepatan konsumsi pakan dilakukan saat pemberian pakan pagi dan sore. Pengukuran kecepatan mengunyah dilakukan beberapa saat setelah ternak mengkonsumsi pakan pagi (siang hari). PBB diukur pada setiap awal dan akhir periode perlakuan.

T).

Metode Pengukuran Parameter

1. Pengukuran suhu dan kelembaban udara di dalam kandang dengan menggunakan termometer bola basah dan bola kering.

2. Indeks suhu kelembaban (THI) mengacu pada Yousef (1984) yaitu: THI= Tdb +

0.36Td + 41.2; Tdb= suhu bola kering (oC) dan Td= dew point/titik embun (o

3. Kecepatan angin diukur menggunakan anemometer digital yang diletakkan di sisi tempat ventilasi kandang. Kecepatan angin diukur selama 3 menit kemudian dibaca kecepatan rata-rata per detiknya dengan satuan adalah m/s.

C).

4. Radiasi matahari diukur dengan lux meter. Satuan pengukurannya Lux.

5. Denyut jantung diukur dengan menempelkan stetoskop di dekat tulang axilla sebelah kiri (dada sebelah kiri) selama dua puluh detik, kemudian dikonversi menjadi denyut jantung per menit.

6. Frekuensi respirasi diukur setelah pengukuran denyut jantung dengan cara menempelkan stetoskop di dada untuk menghitung inspirasi dan ekspirasi

(37)

pernafasan selama dua puluh detik, kemudian dikonversi menjadi respirasi per menit.

7. Suhu kulit (sT) diukur di empat titik lokasi pengukuran yaitu punggung (A), dada (B), tungkai atas (C), dan tungkai bawah (D). Rataan suhu permukaan kulit dihitung berdasarkan rumus Mc Lean et al. (1983); sT = 0.25 (A+B) + 0.32 C + 0.18 D.

Gambar 3 Lokasi pengukuran suhu permukaan kulit (o

8. Suhu rektal (rT) diukur dengan memasukkan termometer klinis ke dalam rektal sedalam ±10 cm selama 1.5 menit.

C).

9. Suhu tubuh (bT), dihitung dari suhu permukaan kulit (sT) dan menjumlahkan dengan suhu rektal (rT) menurut McLean et al. (1983). Suhu tubuh (bT) dihitung dengan rumus : bT = 0.86 rT + 0.14 sT.

10. Kecepatan konsumsi pakan dihitung dengan menghitung waktu yang diperlukan untuk mengkonsumsi pakan, lalu dikonversi menjadi gram per menit.

11. Kecepatan mengunyah dihitung beberapa jam setelah ternak mengkonsumsi pakan pagi (pada siang hari). Penghitungan dilakukan selama satu menit dengan satuan penghitungan adalah jumlah mengunyah per menit.

12. Pertambahan bobot badan (PBB) diukur setiap periode perlakuan dengan cara mengurangkan bobot badan pada akhir tiap periode dengan bobot badan awal setiap periode yang sama.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin (BSL). Faktor-faktor yang ada pada rancangan BSL ini adalah perlakuan, periode, dan ternak.

(38)

Susunan hasil pengacakan perlakuan pada penelitian ini dengan menggunakan metode bujur sangkar latin (6 x 6) sebagai berikut :

Tabel 4 Rancangan Bujur Sangkar Latin

Periode Sapi 1 2 3 4 5 6 1 R2P2 R3P2 R1P2 R1P1 R2P1 R3P1 2 R3P2 R1P1 R2P2 R2P1 R3P1 R1P 3 2 R1P1 R2P1 R3P2 R3P1 R1P2 R2P 4 2 R2P1 R3P1 R1P1 R1P2 R2P2 R3P 5 2 R3P1 R1P2 R2P1 R2P2 R3P2 R1P 6 1 R1P2 R2P2 R3P1 R3P2 R1P1 R2P1

Model matematik pada rancangan percobaan mengacu pada Matjik dan Sumertajaya (2006) :

Yijk = μ + αi + βj + τk + ε

Keterangan :

ijk

Yijk

μ : nilai rataan umum

: pengamatan dari sapi ke-i, periode ke-j, dan perlakuan ke-k

αi

β

: pengaruh aditif dari kondisi sapi (efek kolom)

j

τ

: pengaruh aditif dari kondisi periode (efek baris)

k

ε

: pengaruh aditif dari perlakuan

ijk

Analisis Data

: galat percobaan pada sapi ke-i, periode ke-j, dan perlakuan ke-k.

Data unsur cuaca, respon fisiologis ternak, kecepatan konsumsi pakan, frekuensi memamah biak, dan PBB dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan nilai rataan, standar deviasi, dan grafik fluktuasinya. Analisis respon fisiologis ternak penelitian berdasarkan pada data hari kedua belas dan empat belas. Analisis difokuskan pada saat cuaca berpotensi mencekam kondisi fisiologis ternak, dengan menggunakan Analisis Deskriptif dan Bujur Sangkar Latin. Uji lanjut antar perlakuan menggunakan Uji Tukey dan Analisis Kontras Ortogonal. Analisis korelasi juga digunakan untuk mengetahui hubungan antara respon fisiologis dan iklim mikro. Penghitungan data penelitian menggunakan alat bantu software yaitu SAS dan Minitab 15.

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Unsur Cuaca Kandang Penelitian

Kisaran suhu udara harian di lingkungan penelitian antara 23-32oC, kelembaban udara antara 61-89 %, radiasi matahari antara 31-796 Lux, kecepatan angin antara 0-0.5 m/s, dan nilai THI antara 72-82 (Tabel 5). Cuaca lingkungan yang optimal mungkin terjadi bila seluruh unsur cuaca berada pada kisaran normal sebagai salah satu faktornya. Berdasarkan nilai suhu dan kelembaban udara tersebut, maka lingkungan ternak berpotensi memberikan cekaman fisiologis pada sapi peranakan Fries Holland (FH). Zona termonetral ternak berada pada suhu udara antara 13-25oC dan kelembaban udara antara 50-60% (McNeilly 2001). Penampilan produksi terbaik sapi perah peranakan FH akan dicapai pada suhu lingkungan 18.3o

Tabel 5 Rataan suhu udara, kelembaban udara, THI, radiasi matahari, dan kecepatan angin selama Maret-Juni 2011 pada pagi, siang, dan sore

C dan kelembaban 55% (Sutardi 1981). Perubahan-perubahan pada panas lingkungan sangat tergantung pada kondisi udara lingkungan (suhu udara, kecepatan angin, kelembaban udara, panas radiasi, kepadatan kandang) dan juga pada karakter pelepasan panas metabolis tubuh ternak (Berman 2008).

Pukul (WIB) Ta (o RH C) (%) THI Rad (Lux) Va (m/s) Pagi 5 23 ± 0.5 89 ± 3 72 ± 0.7 31 ± 44 0 6 23 ± 0.7 88 ± 5 72 ± 1.2 165 ± 94 0 7 25 ± 0.6 84 ± 4 74 ± 1.2 502 ± 158 0 ± 0.1 8 27 ± 0.9 75 ± 5 77 ± 1.5 678 ± 135 0.1 ± 0 9 29 ± 0.5 71 ± 4 78 ± 0.9 769 ± 99 0.2 ± 0.1 Siang 10 30 ± 0.5 72 ± 7 80 ± 0.4 789 ± 112 0.3 ± 0.1 11 31 ± 1.3 65 ± 5 80 ± 1.8 796 ± 141 0.4 ± 0.1 12 32 ± 0.6 63 ± 5 82 ± 0.7 738 ± 103 0.5 ± 0.2 13 32 ± 0.5 61 ± 3 81 ± 0.8 732 ± 71 0.5 ± 0.3 14 31 ± 0.7 65 ± 6 80 ± 0.8 657 ± 97 0.5 ± 0.2 15 29 ± 0.6 71 ± 5 79 ± 1.3 362 ± 166 0.4 ± 0.2 Sore 16 28 ± 0.8 75 ± 3 77 ± 1.4 221 ± 197 0.4 ± 0.2 17 27 ± 0.6 77 ± 3 76 ± 1.4 74 ± 77 0.4 ± 0.3 18 26 ± 0.7 79 ± 8 75 ± 1.4 11 ± 10 0.4 ± 0.3 19 26 ± 0.8 83 ± 7 75 ± 1.3 0 0.3 ± 0.3 20 25 ± 0.8 85 ± 7 74 ± 1.4 0 0.5 ± 0.4

(40)

Pada pagi hari suhu udara relatif sesuai untuk ternak, akan tetapi kelembaban kurang sesuai, karena berada di atas kisaran normal. Suhu udara, THI, dan radiasi matahari meningkat saat menjelang siang hari, akan tetapi kelembaban udara menurun. Penurunan nilai kelembaban tersebut tetap pada nilai yang berpotensi memberikan cekaman panas pada ternak.

Kondisi cuaca pada sore hari relatif sama dengan pagi hari, yaitu cekaman udara lebih disebabkan oleh kelembaban udara. Rataan nilai THI pada sore hari sebesar 75 (cekaman ringan). Suhu udara dan radiasi sinar matahari pada sore hari menurun, sedangkan kelembaban udara meningkat. Peningkatan kecepatan angin pada sore hari relatif belum cukup untuk mengurangi beban panas tubuh ternak. Kelembaban udara tersebut dapat menjadi faktor penghambat proses konveksi dan evaporasi ternak. Kelembaban adalah faktor pembatas stres panas pada iklim lembab, sedangkan

Pada pukul 12.00, nilai rataan THI adalah yang tertinggi di lokasi penelitian, yaitu sebesar 82. Berdasarkan klasifikasi Pennington dan VanDevender (2004), nilai THI pada pukul 12.00 tersebut mengindikasikan adanya cekaman panas sedang pada ternak. Cekaman panas menengah (sedang) ditandai dengan terjadinya pelepasan panas tubuh sebanyak 50% melalui proses respirasi (Berman 2005). Peningkatan pemahaman efek cuaca pada siang hari menuntut peternak untuk memaksimalkan efek positif dan meminimalkan efek negatifnya (Collier et al. 2006). Pemberian pakan lebih awal/hari gelap dan pemberian pakan yang memiliki heat increament relatif rendah disarankan untuk dilakukan bila pada siang hari ada cekaman cuaca panas di lokasi peternakan.

suhu udara kering adalah faktor pembatas stres panas pada iklim kering (Bohmanova 2007).

Kecepatan angin meningkat pada siang dan sore hari. Lee dan Keala (2005) menyatakan bahwa pemberian kecepatan angin 1.12-1.30 m/s akan membantu sapi FH mengatasi cekaman panas. Angin dapat berfungsi mengalirkan udara yang bersuhu lebih tinggi di sekitar ternak ke tempat yang lain. Angin juga dapat membantu proses konveksi dan evaporasi panas dari tubuh ternak ke lingkungan. Transfer panas dengan konveksi dan evaporasi antara ternak dengan lingkungan dipengaruhi oleh kecepatan angin sebanyak 25%. Angin dapat digunakan untuk membantu mereduksi cekaman panas pada ternak (Beede & Coolier 1986). Rataan kecepatan

(41)

angin pada siang dan sore hari di lokasi penelitian masih relatif rendah, yaitu sebesar 0.4 m/s. Pada siang hari, kecepatan angin meningkat seiring meningkatnya suhu udara dan radiasi matahari, sehingga peningkatan kecepatan angin tersebut belum banyak berpengaruh pada penurunan cekaman panas tubuh ternak.

Gambar 4 Fluktuasi suhu udara, kelembaban udara, THI, radiasi matahari, dan kecepatan angin selama Maret-Juni 2011.

22 24 26 28 30 32 Su hu Udar a ( oC) 60 65 70 75 80 85 90 K e le m bab an U d ar a (% ) 71 74 77 80 83 TH I 0 200 400 600 800 Rad ias i M atah ar i (Lu x ) 0,00 0,20 0,40 0,60 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 K e c e pat an Angi n (m /s )

(42)

Pengaruh Manajemen Waktu Pemberian dan Kualitas Pakan terhadap Respon Fisiologis Ternak

Pengaruh Perlakuan terhadap Denyut Jantung

Kisaran denyut jantung harian ternak antara 62-88 kali/menit. Kisaran tersebut sebagian masih dalam kisaran normal. Kisaran denyut jantung normal yaitu antara 50-80 kali/menit (Kelly 1984). Pada pagi hari, peningkatan denyut jantung terjadi satu jam setelah ternak mengkonsumsi pakan (Gambar 5). Peningkatan pada ternak yang diberi pakan pukul 05.00 masih terjadi hingga empat jam setelah ternak mengkonsumsi pakan. Konsumsi energi pada sapi menyebabkan peningkatan produksi panas (Brosh et al. 1998). Kadar energi yang lebih tinggi menyebabkan produksi panas metabolis lebih tinggi dan selanjutnya dapat memicu peningkatan respon fisiologis termasuk denyut jantung.

Gambar 5 Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi pakan pada pukul 08.00 & 16.00 WIB (P1/) dan 05.00 & 18.00 WIB (P2

Pada siang hari, cuaca kandang berpotensi memberikan cekaman cuaca panas. Pada kondisi tersebut ternak cenderung berbaring sehingga nilai denyut jantung cenderung menurun. Puncak cekaman cuaca panas terjadi pada pukul 12.00 (siang) dengan suhu udara sebesar 32

/ ).

o

C, kelembaban udara 63%, dan nilai THI sebesar 82 (cekaman sedang). Pada penelitian ini, denyut jantung ternak pada siang hari masih pada kisaran normal yaitu antara 62-77 kali/menit. Saat cekaman panas tertinggi (pukul 12.00), rataan denyut jantung ternak penelitian juga masih normal,

50 55 60 65 70 75 80 85 90 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 D enyut J a nt un g ( K a li /M eni t)

(43)

berkisar antara 63-71 kali/menit. Kisaran normal denyut jantung yaitu antara 50-80 kali/menit (Kelly 1984) dan pada saat ada cekaman suhu udara (32o

Tabel 6 Rataan denyut jantung ternak pada siang hari (kali/menit) C), denyut

jantung mencapai 79 kali/menit (Schütz et al. 2009). Ternak yang diberi pakan pagi lebih awal (pukul 05.00), cenderung mempunyai denyut jantungnya lebih rendah dibanding denyut jantung ternak yang diberi pakan pagi pukul 08.00.

Pukul Perlakuan (WIB) R1P1 R2P1 R3P1 R1P2 R2P2 R3P2 10 76 ± 14a 76 ± 9a 71 ± 9a 68 ± 7a 67 ± 5a 73 ± 10a 11 69 ± 6a 68 ± 9a 66 ± 7a 63 ± 6a 69 ± 6a 69 ± 8 12 a 68 ± 2a 68 ± 3a 63 ± 3a 65 ± 3a 71 ± 3a 67 ± 3 13 a 75 ± 6ab 76± 9b 71 ± 3ab 62± 7a 70 ± 9ab 69 ± 9 14 ab 75 ± 6ab 77± 10b 71 ± 8ab 63± 5a 72 ± 12ab 67 ± 8 15 ab 72 ± 9a 73 ± 8a 68 ± 9a 63 ± 4a 71 ± 13a 69 ± 5a Ket: R1P1: Konsentrat TDN 70% pukul 08.00 & 16.00; R2P1: Konsentrat TDN 75% pukul 08.00 &

16.00; R3P1: Konsentrat TDN 75% dengan minyak kelapa 3.5% pada pukul 08.00 & 16.00;

R1P2: Konsentrat TDN 70% pada pukul 05.00 & 18.00; R2P2: Konsentrat TDN 75% pada

pukul 05.00 & 18.00; R3P2

Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (P>0.05).

: Konsentrat TDN 75% mengandung minyak kelapa 3.5% pada pukul 05.00 & 18.00.

Gambar 6 Fluktuasi rataan denyut jantung ternak yang diberi perlakuan pemberian pakan pada pukul 05.00 & 18.00 WIB (P2/ ), perlakuan penggunaan

minyak 3.5% dalam konsentrat dengan TDN 75% (R3/ ), dan perlakuan

penganginan dan penyiraman () pada siang hari (Ismail 2006).

50 55 60 65 70 75 80 85 7 9 11 13 15 D enyut J a nt un g ( K a li /M eni t)

Gambar

Tabel 1 Indeks suhu dan kelembaban lingkungan                                                                                                                                           C dapat meningkatkan produksi susu
Gambar 1 Termoregulasi temperatur pada mamalia, dengan dua efektor penyesuai                               secara otonom dan tingkahlaku.
Gambar 3 Lokasi pengukuran suhu permukaan kulit ( o
Tabel 6 Rataan denyut jantung ternak pada siang hari (kali/menit)                                              C),  denyut
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran

Hasil penelitian didapatkan bahwa ternak yang mengkonsumsi pakan pada pukul 05.00 dan 18.00 cenderung memiliki rataan respon fisiologis yang lebih rendah saat ada cekaman

tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat produktivitas sapi FH. Pada suhu dan kelembaban tersebut, proses penguapan dari tubuh sapi FH akan terhambat sehingga mengalami cekaman

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) bahwa perlakuan pemberian pakan konsentrat yang mengandung tepung tongkol jagung berpengaruh tidak nyata (P&gt;0.05)

Konsumsi TDN lebih dari 4,5 kg/hari menunjukkan cekaman panas pada sapi perah yang dibuktikan frekuensi lama bernaung yang tinggi akibat kombinasi pengaruh lingkungan mikro

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji respon fisiologi sapi Madura (frekuensi nafas, denyut nadi, dan suhu rektal) yang mendapat perlakuan

Kondisi lingkungan yang panas dapat menyebabkan cekaman pada tubuh sapi potong yang salah satunya akan berdampak pada peningkatan suhu rektal, frekuensi pernapasan, denyut

Kondisi lingkungan yang panas dapat menyebabkan cekaman pada tubuh sapi potong yang salah satunya akan berdampak pada peningkatan suhu rektal, frekuensi pernapasan, denyut