• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANUAL ASPAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANUAL ASPAL"

Copied!
222
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

i

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI ……….………...……….…………..… i DAFTAR TABEL………...………... v DAFTAR GAMBAR………..………...………... vi 1. Ruang lingkup... 2. Acuan normatif... 3. Istilah dan definisi...

4 Campuran aspal panas... 4.1 Umum... 4.2. Aspal...

4.2.1 Sumber-sumber aspal... 4.2.1.1 Aspal hasil destilasi...

4.2.1.1.1 Aspal keras... 4.2.1.1.2 Aspal cair... 4.2.1.1.3 Aspal emulsi... 4.2.1.2 Aspal alam... 4.2.1.2.1 Aspal danau... 4.2.1.2.2 Aspal batu... 4.2.1.3 Aspal modifikasi...

4.2.1.3.1 Aspal polymer elastomer... 4.2.1.3.2 Aspal polymer plastomer... 4.2.2 Klasifikasi aspal... 4.2.3 Sifat-sifat kimia aspal...

4.2.3.1 Aspalten... 4.2.3.2 Malten... 4.2.4 Sifat-sifat fisik aspal... 4.2.4.1 Durabilitas... 4.2.4.2 Adesi dan kohesi... 4.2.4.3 Kepekaan aspal terhadap temperatur... 4.2.4.4 Pengerasan dan penuaan... 4.2.5 Hubungan antara temperatur dan volume aspal... 4.2.6 Hubungan antara sifat-sifat kimia dengan sifat-sifat fisik aspal... 4.2.7 Hubungan antara sifat fisik dengan perilaku perkerasan... 4.2.7.1 Pengaruh sifat-sifat aspal selama konstruksi... 4.2.7.2 Pengaruh sifat-sifat aspal pada masa pelayanan... 4.3. Agregat... 4.3.1 Klasifikasi dan jenis batuan... 4.3.1.1 Klasifikasi batuan... 4.3.1.2 Jenis agregat... 4.3.2 Sifat-sifat fisik agregat dan hubungannya dengan kinerja campuran... 4.3.2.1 Ukuran butir... 4.3.2.2 Gradasi... 4.3.2.3 Kebersihan agregat... 4.3.2.4 Kekerasan... 4.3.2.5 Bentuk butir agregat... 4.3.2.6 Tekstur permukaan agregat...

1 1 3 8 8 8 9 9 10 10 11 12 12 13 13 13 13 13 15 16 16 17 17 17 18 21 24 25 25 25 27 28 28 28 29 31 32 32 33 34 34 35

(3)

ii

4.3.2.7 Daya serap agregat... 4.3.2.8 Kelekatan terhadap aspal... 5 Produksi agregat...

5.1 Umum... 5.2 Jenis alat pemecah batu... 5.2.1 Pemecah batu jenis jaw... 5.2.2 Pemecah batu jenis gyratory... 5.2.3 Pemecah batu jenis konus (cone crusher)... 5.2.4 Pemecah batu jenis bentur (impact crusher)... 5.2.5 Pemecah batu jenis silinder (roll crusher)... 5.3 Bagian-bagian lain pada unit produksi agregat...

5.3.1 Pemasok (feeder)... 5.3.2 Penyalur (conveyor)... 5.3.3 Saringan... 5.3.4 Bin penampung... 5.4 Rasio pengurangan (ratio of reduction)... 5.5 Pemilihan peralatan pemecah batu... 5.6 Penimbunan agregat (stockpile)... 6 Pengujian kualitas...

6.1 Pengujian bahan baku... 6.1.1 Pengujian agregat...

6.1.1.1 Umum... 6.1.1.2 Metoda pengambilan contoh (sampling)... 6.1.1.2.1 Standar pengambilan contoh... 6.1.1.2.2 Segregasi agregat... 6.1.1.2.3 Pengambilan contoh dari gerbong kereta, truk, tongkang

dan kapal laut... 6.1.1.2.4 Pengambilan contoh agregat dari ban berjalan ... 6.1.1.2.5 Pengambilan contoh agregat dari bin panas... 6.1.1.2.6 Kontainer contoh agregat... 6.1.1.2.7 Alat pembagi contoh... 6.1.1.3 Pengujian analisa ukuran butir (gradasi)... 6.1.1.4 Pengujian berat jenis dan penyerapan...

6.1.1.4.1 Berat jenis... 6.1.1.4.2 Penyerapan... 6.1.1.5 Pemeriksaan keausan dengan mesin abrasi... 6.1.1.6 Pengujian setara pasir... 6.1.1.7 Pemeriksaan gumpalan lempung dan butiran lunak... 6.1.1.8 Pemeriksaan daya lekat agregat terhadap aspal... 6.1.1.9 Pengujian angularitas... 6.1.1.10 Pemeriksaan kepipihan... 6.1.1.11 Pengujian partikel ringan... 6.1.2 Pengujian aspal...

6.1.2.1 Umum... 6.1.2.2 Pengambilan contoh bahan bitumen... 6.1.2.3 Titik nyala dengan cleveland open cup... 6.1.2.4 Penetrasi bahan bitumen... 6.1.2.5 Titik lembek aspal... 6.1.2.6 Daktilitas bahan bitumen... 6.1.2.7 Viskositas temperatur pencampuran dan pemadatan dengan alat viskometer... 6.1.2.8 Pengujian aspal cair... 6.1.2.9 Pengujian aspal emulsi... 6.2 Pengujian bahan olahan...

36 36 37 37 39 39 40 41 41 43 44 44 45 46 47 47 48 48 50 50 50 50 51 51 51 52 52 52 53 53 53 57 57 60 60 61 62 62 63 64 65 65 65 67 68 69 69 70 71 72 74 78

(4)

iii

6.2.1 Metoda sampling... 6.2.2 Pengujian Marshall... 6.2.3 Berat isi benda uji padat... 6.2.4 Pengujian stabilitas dan kelelehan... 6.2.5 Pengujian volumetrik...

6.2.5.1 Umum... 6.2.5.2 Prosedur analisa untuk menganalisis campuran beraspal panas padat... 6.2.5.2.1 Garis besar prosedur... 6.2.5.2.2 Parameter dan formula perhitungan... 6.3 Pengujian bahan jadi... 6.3.1 Sampling dan testing... 6.3.2 Jadual pengambilan contoh campuran tidak padat... 6.3.3 Pengujian kepadatan di lapangan... 7 Pembuatan Formula Campuran Kerja (FCK)... 7.1 Umum... 7.2 Tahapan pembuatan FCK... 7.3 Jenis campuran beraspal yang digunakan... 7.4 Penyiapan bahan... 7.5 Penyiapan peralatan... 7.6 Pembuatan FCR berdasarkan agregat dari bin dingin...

7.6.1 Penggabungan agregat... 7.6.1.1 Cara analitis... 7.6.1.2 Cara grafis... 7.6.2 Pengujian Marshall dan volumetrik... 7.6.3 Evaluasi hasil... 7.7 Pengaturan bukaan bin dingin...

7.8 Pembuatan FCR berdasarkan agregat dari bin panas... 7.9 Percobaan pencampuran... 7.10 Percobaan pemadatan... 8 Unit pencampur aspal, AMP (Asphalt Mixing Plant)...

8.1 Umum... 8.2 AMP jenis takaran...

8.2.1 Bin dingin... 8.2.1.1 Pintu pengeluaran agregat pada bin dingin...

8.2.1.2 Sistem pemasok agregat dingin... 8.2.2 Pengering (dryer)...

8.2.3 Pengumpul debu... 8.2.4 Unit ayakan panas (hot screen)... 8.2.5 Bin panas (hot bin).. ... 8.2.6 Sistem pemasok bahan pengisi (filler elevator)... 8.2.7 Tangki aspal... 8.2.8 Timbangan agregat... 8.2.9 Timbangan aspal... 8.2.10 Pencampur (Mixer / Pugmill)... 8.2.11 Sistem kontrol operasi... 8.2.12 Generator set...

8.2.13 Kalibrasi alat... 8.2.13.1 Kalibrasi sistim pemasok agregat dingin...

8.2.13.2 Kalibrasi pemasok aspal... 8.2.13.3 Kalibrasi timbangan... 8.3 AMP jenis drum...

8.3.1 Pemasokan agregat dari bin dingin... 8.3.2 Pemasok aspal... 78 78 80 81 81 81 82 82 83 86 86 87 88 89 89 89 92 93 95 96 98 98 101 106 109 112 112 112 113 115 115 118 119 121 121 122 124 125 126 126 126 127 127 128 129 129 129 130 132 132 132 133 134

(5)

iv

8.3.3 Operasi pembakaran (burner) dan pengontrolan... 8.3.4 Silo penampung dan skala penimbang... 8.4 Pengangkutan dan pemeriksaan...

8.4.1 Pengangkutan... 8.4.2 Pemeriksaan campuran beraspal panas... 9 Penghamparan dan pemadatan... 9.1 Umum... 9.2 Persiapan sebelum penghamparan...

9.2.1 Kesiapan permukaan... 9.2.2 Pemasangan lapis resap pengikat dan lapis perekat... 9.3 Penghamparan...

9.3.1 Alat penghampar... 9.3.2 Penerimaan campuran beraspal... 9.3.3 Pelaksanaan penghamparan... 9.4 Pemadatan...

9.4.1 Prinsip pemadatan... 9.4.2 Alat pemadat... 9.4.3 Pelaksanaan pemadatan... 9.5 Permasalahan umum dan pemecahannya... 10 Quality assurance, lingkungan, keselamatan & kesehatan... 10.1 Quality Assurance... 10.2 Lingkungan... 10.3 Keselamatan & kesehatan...

LAMPIRAN A : DISKUSI

A.1 Bahan campuran beraspal... A.1.1 Agregat... A.1.2 Aspal... A.2 Pembuatan Formula Campuran Kerja (FCK/JMF)... A.2.1 Penggunaan alat pengujian yang tidak standar... A.2.2 Pemaksaan gradasi agregat... A.2.3 Pemilihan gradasi yang mengarah ke gradasi kasar... A.2.4 Penentuan berat jenis maksimum campuran beraspal... A.2.5 Jenis pengujian pada bahan yang digunakan tidak dilakukan... A.2.6 Kesalahan perhitungan/pengujian pada penentuan nilai volumetrik... A.3 Unit Pencampur Aspal (AMP)... A.3.1 Bin dingin (cold bins)... A.3.2 Pemasok agregat... A.3.3 Pengering (dryer)... A.3.4 Drum pemanas/pencampur... A.3.5 Pengeluar debu (exhaus fan)... A.3.6 Pemasok abu batu (filler)... A.3.7 Pipa-pipa pemasok aspal... A.3.8 Termometer aspal... A.3.9 Bin panas... A.3.10 Timbangan... A.3.11 Pencampur (mixer/pugmill)... A.3.12 Pekerjaan pembersihan AMP...

136 136 137 137 137 142 142 142 142 145 148 149 160 162 166 167 168 174 179 188 188 196 196 A-1 A-1 A-1 A-2 A-2 A-4 A-5 A-5 A-6 A-6 A-6 A-7 A-8 A-9 A-10 A-11 A-12 A-12 A-12 A-12 A-13 A-13 A-14

(6)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jenis dan kelas aspal emulsi... 12

Tabel 2 Klasifikasi aspal keras berdasarkan viskositas... 14

Tabel 3 Klasifikasi aspal keras berdasarkan hasil RTFOT... 15

Tabel 4 Klasifikasi aspal keras berdasarkan penetrasi... 15

Tabel 5 Klasifikasi umum batuan... 30

Tabel 6 Pedoman umum pemilihan rasio pengurangan (ratio of reduction)... 47

Tabel 7 Jenis pengujian agregat untuk campuran beraspal panas... 50

Tabel 8 Ukuran saringan menurut ASTM... 54

Tabel 9 Data analisis saringan yang dikonversi menjadi gradasi agregat... 55

Tabel Tabel 10 11 Berat contoh minimum yang disarankan untuk analisa gradasi... Jenis pengujian aspal keras untuk campuran panas... 56 66 Tabel 12 Jenis pengujian aspal cair (cut back)... 66

Tabel 13 Jenis pengujian aspal emulsi... 66

Tabel 14 Jumlah contoh yang dipilih secara acak... 67

Tabel 15 Temperatur pengujian pada jenis aspal emulsi... 74

Tabel 16 Jadwal yang disarankan untuk pengambilan contoh dan pengujian.... 87

Tabel 17 Banyak contoh... 87

Tabel 18 Pengambilan jumlah contoh bahan untuk perencanaan campuran.... 95

Tabel 19 Contoh perhitungan penggabungan gradasi dua fraksi agregat... 100

Tabel 20 Contoh perhitungan penggabungan gradasi tiga fraksi agregat... 101

Tabel 21 Tipikal formulir pengujian perencanaan campuran aspal panas... 107

Tabel 22 Penyimpangan produksi dan kemungkinan penyebabnya... 138

Tabel 23 Temperatur penyemprotan lapis resap pengikat/lapis perekat... 148

Tabel 24 Selang kecepatan pemadatan... 175

Tabel 25 Rentang temperatur pemadatan dan viskositas aspal... 177

(7)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Ilustrasi proses penyulingan minyak... 9

Gambar 2 Tipikal temperatur destilasi minyak bumi dan produk yang dihasilkannya (The Asphalt Institute, 1983)... 10

Gambar 3 Pengaruh temperatur pada viskositas aspal... 18

Gambar 4 Perubahan penetrasi aspal akibat perubahan temperatur... 19

Gambar 5 Perubahan viskositas aspal akibat perubahan temperatur... 19

Gambar 6 Nomograph untuk memperkirakan nilai IP aspal – Pen Vs Pen (Shell, 1995)... 22

Gambar 7 Gambar 1 Nomograph untuk memperkirakan nilai IP aspal – Pen Vs TL(Shell, 1995)... 23

Gambar 8 Kecepatan penuaan aspal (Shell, 1995)... 24

Gambar 9 Pengaruh sifat fisik aspal selama masa konstruksi dan pelayanan (Shell, 1995)... 26

Gambar 10 Hubungan antara IP dan deformasi campuran beraspal... 27

Gambar 11 Contoh tipikal macam-macam gradasi agregat... 34

Gambar 12 Tipikal bentuk butir kubikal, lonjong, dan pipih... 35

Gambar 13 Tipikal skema unit produksi agregat... 38

Gambar 14 Pemecah batu jenis jaw... 40

Gambar 15 Pemecah batu jenis gyratory... 40

Gambar 16 Pemecah batu jenis konus... 41

Gambar 17 Pemecah batu jenis bentur... 42

Gambar 18 Pemecah batu jenis silinder (roll crushers)... 44

Gambar 19 Tipikal pemasok (feeders) alat pemecah batu... 45

Gambar 20 Tipikal saringan pemecah batu... 46

Gambar 21 Penimbunan agregat untuk menghindari segregasi... 49

Gambar 22 Tahap pengambilan contoh pada timbunan agregat... 51

Gambar 23 Pengambilan contoh pada ban berjalan... 52

Gambar 24 Alat pembagi contoh (sample splitter)... 53

Gambar 25 Rongga diantara agregat... 54

Gambar 26 Tipikal kurva gradasi... 55

Gambar 27 Berat Jenis Agregat ... 57

Gambar 28 Mesin abrasi... 61

Gambar 29 Alat uji kepipihan agregat... 64

Gambar 30 Pengujian titik nyala dengan Cleveland Open Cup... 68

Gambar 31 Pengujian penetrasi... 69

Gambar 32 Pengujian titik lembek aspal dan ter... 70

Gambar 33 Pengujian daktilitas... 71

Gambar 34 Tabung viskometer untuk pengujian viskositas dengan Saybolt Furol... 72

Gambar 35 Pengujian titik nyala dan pengujian penyulingan... 73

Gambar 36 Pengujian kadar air... 74

Gambar 37 Pengujian muatan listrik... 77

Gambar 38 Penimbangan aspal... 78

Gambar 39 Pengujian Marshall... 80

Gambar 40 Hubungan volume dan rongga-density benda uji campuran aspal panas padat... 81

Gambar 41 Alat penguji kepadatan (core drill)... 88

Gambar 42 Skema pembuatan Formula Campuran Kerja (FCK)... 91

(8)

vii

Gambar 44 Proporsi dua fraksi agregat secara grafis... 102

Gambar 45 Proporsi tiga fraksi agregat secara grafis... 103

Gambar 46 Contoh penggabungan dua fraksi agregat (cara diagonal)... 104

Gambar 47 Contoh pengggabungan tiga fraksi agregat (cara diagonal)... 105

Gambar 48 Tipikal kurva perencanaan campuran... 108

Gambar 49 Tipikal ke-1 kurva hubungan VMA dengan kadar Aspal... 109

Gambar 50 Tipikal ke-2 kurva hubungan VMA dengan kadar Aspal... 110

Gambar 51 Tipikal ke-3 kurva hubungan VMA dengan kadar Aspal... 110

Gambar 52 Tipikal ke-4 kurva hubungan VMA dengan kadar Aspal... 111

Gambar 53 AMP jenis takaran ( batch plant )... 116

Gambar 54 AMP jenis pencampur drum (drum mix)... 116

Gambar 55 Tipikal tata letak AMP jenis takaran dan pencampur drum... 117

Gambar Gambar 56 57 Bagan alir pengoperasian AMP jenis takaran ... Skema pengoperasian AMP jenis takaran... 118 119 Gambar 58 Jenis-jenis bin dingin... 120

Gambar 59 Tipikal pemasokan agregat dari bin dingin... 121

Gambar 60 Pengering pada drum pengering AMP jenis timbangan/takaran.. 122

Gambar 61 Tipikal sudu-sudu pada pengering... 123

Gambar 62 Tipikal jenis-jenis pengumpul debu... 124

Gambar 63 Tipikal unit ayakan panas... 125

Gambar 64 Tipikal penimbangan dan aliran aspal... 128

Gambar 65 Pencampur yang salah (terlalu banyak & terlalu sedikit)... 129

Gambar 66 Tipikal grafik kalibrasi pasokan agregat dari bin dingin... 130

Gambar 67 Skema pengoperasian AMP jenis drum ... 133

Gambar 68 Kontrol pemasokan agregat dari bin dingin... 134

Gambar 69 Alat pencatat pasokan agregat yang dipasang pada ban berjalan... 134

Gambar 70 Sistim pemberian aspal pada AMP /drum ... 135

Gambar 71 Tipikal silo penampung campuran beraspal panas pada AMP jenis pencampur drum (The Asphalt Institute, 1983)... 137

Gambar 72 Perbaikan permukaan beraspal dengan penambalan... 144

Gambar 73 Tipikal kerusakan yang memerlukan pembongkaran... 145

Gambar 74 Tipikal skema aspal distributor... 147

Gambar 75 Overlap pada penyemprotan lapis resap pengikat / lapis perekat 148 Gambar 76 Skema alat penghampar mekanis bermesin (finisher)... 149

Gambar 77 Skema aliran campuran beraspal pada finisher... 150

Gambar 78 Jumlah campuran beraspal yang benar dan tidak pada auger.... 151

Gambar 79 Skema unit sepatu (screed) pada alat penghampar (finisher)... 152

Gambar 80 Gaya-gaya yang bekerja pada pelat sepatu (screed)... 152

Gambar 81 Skema pemadat tipe penumbuk (tamping bar type)... 155

Gambar 82 Skema pemadat tipe penggetar (vibrating type)... 155

Gambar 83 Posisi strike-off dan pengaruhnya... 156

Gambar 84 Jarak yang diperlukan untuk pencapaian keseimbangan... 158

Gambar 85 Pengontrol otomatis diam (stationary) dengan kawat baja... 158

Gambar 86 Pengontrol otomatis berjalan (travelling) ... 159

Gambar 87 Metoda pembuatan sambungan melintang... 164

Gambar 88 Pemotongan sambungan memanjang... 164

Gambar 89 Durabilitas vs rongga udara... 166

Gambar 90 Arah yang benar, roda penggerak di depan... 169

Gambar 91 Arah yang salah, roda penggerak di belakang... 169

Gambar 92 Esentrik pada batang yang berputar menghasilkan getaran... 170

Gambar 93 Ilustrasi besarnya amplitudo... 171

Gambar 94 Hubungan antara kecepatan dan frekuensi... 172

(9)

viii

Gambar 96 Alat pemadat roda pneumatik dengan pelindung (skirts)... 173

Gambar 97 Rentang waktu pemadatan... 176

Gambar 98 Pola (pattern) pemadatan... 177

Gambar 99 Pemadatan sambungan memanjang... 178

Gambar 100 Lingkaran Mutu / Perbaikan Berkesinambungan... 188

Gambar 101 Sistem Jaminan Mutu (SNI-19-9001)... 190

Gambar 102 Hirarki Dokumen Mutu... 191 Gambar A.1 Bin dingin tanpa pembatas tiap fraksi agregat... A-7 Gambar A.2 Ketidaksesuaian lebar bucket shovel loader dengan mulut bin

dingin... A-7 Gambar A.3 Kondisi pintu pengeluar agregat dari bin dingin yang yang buruk. A-8 Gambar A.4 Kondisi ban berjalan... A-9 Gambar A.5 Asap berwarna hitam akibat pembakaran tidak sempurna... A-9 Gambar A.6 Kondisi agregat yang terselimuti minyak/jelaga... A-10 Gambar A.7 Kondisi drum pemanas yang sudah tidak baik lagi... A-10 Gambar A.8 Kondisi lidah-lidah (sudu-sudu) pada pengering (dryer)... A-11 Gambar A.9 Debu yang terjadi akibat exhaust fan tidak berfungsi dengan

baik... A-11 Gambar A.10 Termometer pemantau temperatur aspal... A-12 Gambar A.11 Foto timbangan yang berskala... A-13 Gambar A.12 Kondisi pedal dan dinding pencampur (mixer/pugmill)... A-13

(10)

1 dari 197

1 Ruang lingkup

Manual pekerjaan campuran beraspal panas ini digunakan sebagai acuan operasional untuk pekerjaan campuran beraspal panas pada pekerjaan prasarana transportasi, terutama pada pekerjaan jalan. Manual ini dimaksudkan untuk memperbaiki dan meningkatkan pemahaman tentang pekerjaan campuran beraspal panas yang akan menghasilkan kualitas pekerjaan yang sesuai dengan standar yang berlaku. Manual dilengkapi dengan ilustrasi dan foto yang tepat guna, mudah dipahami dan dilaksanakan, terutama oleh pengguna yang terlibat dalam pelaksanaan campuran beraspal panas. Buku manual ini disajikan dalam 3 buku yang terpisah, dengan ruang lingkup sebagai berikut :

Buku 1 : Petunjuk umum

Menguraikan petunjuk umum acuan operasional pekerjaan campuran beraspal panas berdasarkan teknologi yang terbaru dalam bidang pekerjaan campuran beraspal panas. Dalam buku ini dijelaskan secara rinci dari semua aspek mengenai campuran beraspal panas, dimulai dari pengetahuan umum mengenai bahan campuran beraspal panas, produksi agregat di unit pemecah batu, pengujian kualitas di laboratorium dan di lapangan, pembuatan formula campuran kerja, produksi campuran di unit pencampur, sampai dengan penghamparan dan pemadatan di lapangan. Pada bagian akhir dari manual ini dijabarkan secara ringkas mengenai sistem jaminan mutu (quality assurance) untuk pekerjaan jalan, khususnya pekerjaan campuran beraspal panas. Dalam lampiran disajikan kesalahan-kesalahan umum yang banyak ditemukan di lapangan yang berkaitan dengan pekerjaan campuran beraspal panas.

Buku 2 : Petunjuk ringkas

Menguraikan secara ringkas acuan operasional pekerjaan campuran beraspal panas dengan kalimat-kalimat yang sederhana dan mudah dipahami. Isinya merupakan rangkuman dari buku 1.

Buku 3 : Kumpulan formulir kerja

Merupakan kumpulan formulir kerja, seperti daftar periksa untuk pekerjaan pengawasan, daftar periksa peralatan dan formulir pengujian laboratorium. Pemisahan menjadi tiga bagian tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pemakaiannya di lapangan. Buku ini diharapkan bermanfaat, mudah dilaksanakan dan sesuai dengan perkembangan teknologi perkerasan untuk campuran beraspal panas, sehingga pekerjaan campuran beraspal panas yang dihasilkan memenuhi persyaratan yang berlaku.

2 Acuan normatif

Manual ini menggunakan acuan dokumen SNI (Standar Nasional Indonesia), AASHTO ( American Association of State Highway and Transportation Officials), ASTM (American Society for Testing and Materials), dan standar lainnya yaitu sebagai berikut :

SNI 03-2417-1991 : Metoda pengujian keausan agregat dengan mesin abrasi Los Angeles

(11)

2 dari 197

SNI 03-4141-1996 : Metoda pengujian jumlah bahan dalam agregat yang lolos saringan No. 200 (0,075 mm)

SNI 03-1968-1990 : Metode pengujian tentang analisis saringan agregat halus dan kasar

SNI 03-4428-1997 : Metode pengujian agregat halus atau pasir yang mengandung bahan plastis dengan cara setara pasir SNI 03-4141-1996 : Metode pengujian gumpalan lempung dan butir-butir

mudah pecah dalam agregat

SNI 03-1969-1990 : Metode pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat kasar

SNI 03-1970-1990 : Metode pengujian berat jenis dan penyerapan air agregat halus

SNI-06-2439-1991 : Metode pengujian kelekatan agregat terhadap aspal Pennsylvania DoT Test : Determining the percentage of crushed fragments in

No. 261 gravel

AASHTO TP-33 : Test procedure for fine aggregate angularity BS 812-1975 : Pemeriksaaan kepipihan dan kelonjongan agregat SNI 06-2456-1991 : Penetrasi

SNI 06-2434-1991 : Titik lembek SNI 06-2432-1991 : Daktilitas

SNI 06-2438-1991 : Kelarutan dalam C2HCl3

SNI 06-2433-1991 : Titik nyala SNI 06-2488-1991 : Berat jenis SNI 06-2441-1991 : Kehilangan berat

SNI 06-2456-1991 : Penetrasi setelah kehilangan berat SNI 06-2432-1991 : Daktilitas setelah kehilangan berat SNI 06-2434-1991 : Titik lembek setelah RTFOT

SNI 03-6411-2000 : Temperatur pencampuran dan pemadatan SNI 06-2439-1991 : Kadar air

SNI-06-2489-1991 : Pengujian campuran beraspal dengan alat Marshall

AASHTO T164-1990 : Quantitative extraction of bitumen fro, bitumen paving

mixes

AASHTO T166-1988 : Bulk spesific gravity of compacted bituminous mixes AASHTO T168-1955 : Sampling for bituminous paving mixture

AASHTO T209-1990 : Maximum spesific gravity of bituminous paving mixtures ASTM C-1252-1993 : Uncompacted void content of fine aggregate (as

influenced by particle shape, surface texture, and grading)

(12)

3 dari 197

3 Istilah dan definisi

3.1

campuran beraspal panas

campuran yang terdiri dari kombinasi agregat yang dicampur dengan aspal. Pencampuran dilakukan sedemikian rupa sehingga permukaan agregat terselimuti aspal dengan seragam. Untuk mengeringkan agregat dan memperoleh kekentalan aspal yang mencukupi dalam mencampur dan mengerjakannya, maka kedua-duanya harus dipanaskan masing-masing pada suhu tertentu.

3.2

aspal keras

aspal keras merupakan aspal hasil destilasi yang bersifat viskoelastis sehingga akan melunak dan mencair bila mendapat cukup pemanasan dan sebaliknya.

3.3

aspal cair

aspal cair merupakan aspal hasil dari pelarutan aspal keras dengan bahan pelarut berbasis minyak

3.4

aspal emulsi

aspal emulsi dihasilkan melalui proses pengemulsian aspal keras. Pada proses ini partikel-partikel aspal padat dipisahkan dan didispersikan dalam air.

3.5

aspal alam

aspal yang secara alamiah terjadi di alam. Berdasarkan depositnya aspal alam dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, yaitu aspal danau dan aspal batu.

3.6 agregat

agregat adalah sekumpulan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau meneral lainnya berupa hasil alam atau buatan.

3.7

produksi agregat

proses pemecahan batuan alam menjadi batu pecah dengan ukuran butir tertentu dan kemudian dipisahkan dalam beberapa kelompok ukuran butiran. Produksi agregat umumnya menggunakan alat pemecah batu yang dikenal dengan nama stone cusher.

3.8

rasio pengurangan (ratio of reduction)

Perbandingan antara ukuran batuan yang masuk dengan yang keluar dari alat pemecah batu, misalnya 4 : 1, artinya jika ukuran batuan yang masuk ke alat pemecah batu adalah 48 mm maka hasil pemecahannya adalah agregat berukuran 12 mm.

(13)

4 dari 197

3.9

pemasok (feeder) pada unit produksi agregat

sistem pemasok batuan ke alat pemecah batu (stone crusher). Feeder mempunyai fungsi sebagai pengatur, penerima dan pemisah bahan baku sebelum masuk ke alat pemecah batu.

3.10 conveyor

ban berjalan yang terbuat dari karet dan berfungsi untuk memindahkan material.

3.11

Formula Campuran Kerja (Job Mix Formula, JMF)

merupakan formula yang dipakai sebagai acuan untuk pembuatan campuran. Formula tersebut harus sesuai dan memenuhi persyaratan. Proses pembuatannya telah melalui beberapa tahapan yaitu dari mulai rancangan formula kerja, kemudian uji pencampuran di unit pencampur aspal, uji penghamparan dan pemadatan di lapangan.

3.12

kurva fuller

kurva gradasi dimana kondisi campuran memiliki kepadatan maksimum dengan rongga diantara mineral agregat (VIM) yang minimum.

3.13

titik kontrol gradasi

batas-batas titik minimum dan maksimum untuk masing-masing gradasi yang digunakan. Gradasi agregat harus berada diantara titik kontrol tersebut.

3.14

zona terbatas

suatu zona yang terletak pada garis kepadatan maksimum (kurva fuller) antara ukuran menengah 2,36 mm (No. 8) atau 4,75 mm (No. 4) dan ukuran 300 mikron (No. 50). Gradasi agregat diharapkan menghindari daerah ini.

3.15

rongga di antara mineral agregat (VMA)

volume rongga yang terdapat diantara partikel agregat pada suatu campuran beraspal yang telah dipadatkan, yaitu rongga udara dan volume kadar aspal efektip, yang dinyatakan dalam persen terhadap volume total benda uji. Volume agregat dihitung dari berat jenis bulk (bukan berat jenis efektip atau berat jenis nyata).

3.16

rongga udara (VIM)

volume total udara yang berada diantara partikel agregat yang terselimuti aspal dalam suatu campuran yang telah dipadatkan, dinyatakan dengan persen volume bulk suatu campuran.

(14)

5 dari 197

3.17

rongga terisi aspal (VFA atau VFB)

bagian dari rongga yang berada di antara miniral agregat (VMA) yang terisi oleh aspal efektip, dinyatakan dalam persen.

3.18 AMP

Unit Pencampur Aspal (Aspal Mixing Plant), merupakan satu unit alat yang memproduksi campuran beraspal panas.

3.19

bin dingin (cold bins)

tempat penampung agregat dingin sesuai kelompok ukuran butirnya, biasanya berjumlah 4 atau lebih.

3.20

pemasok (feeder) pada AMP

sistem pemasok agregat dari bin dingin (cold bins) ke drum pengering (dryer).

3.21

pengering (dryer)

drum pengering, alat pengering yang menggunakan pembakaran untuk mengeringkan agregat.

3.22

pengumpul debu (dust collector)

alat pengumpul debu yang berfungsi sebagai alat kontrol polusi udara.

3.23

saringan panas (hot screen)

saringan atau ayakan panas, unit saringan yang menyaring agregat panas dan mengelompokkannya sesuai dengan ukuran butirnya.

3.24

bin panas (hot bins)

bin panas / bin agregat bergradasi, alat yang menampung agregat hasil penyaringan dari saringan panas (hot screen) sesuai dengan kelompok ukuran butirnya.

3.25

pencampur (pugmill atau mixer)

alat yang mencampur agregat dengan aspal. Setelah agregat ditimbang sesuai dengan proporsinya, maka agregat dan aspal dicampur di pugmill.

(15)

6 dari 197

3.26 finsher

Alat penghampar campuran beraspal yang mekanis dan bermesin sendiri

3.27

unit tractor

unit penggerak dari alat penghampar (finisher) yang terdiri dari mesin penggerak, roda karet atau roda tracks, push roller dan feeder

3.28 tracks

roda dari alat penghampar yang berbentuk rantai baja

3.29

push roller

roda pendorong, roda yang berfungsi sebagai bidang kontak antara alat penghampar dengan roda truk, pada saat alat penghampar mendorong truk.

3.30

pemasok (feeder) pada alat penghampar

pemasok, sistem pemasok campuran beraspal ke unit screed, yang terdiri dari bak penampung (hopper), sayap-sayap (hopper wings) , ban berjalan (conveyor), pintu masukan pemasok ( hopper flow gates) dan ulir pembagi (augers)

3.31

unit screed

unit sepatu, unit penghampar dari alat penghampar (finisher), yang bagian utamanya terdiri dari pelat sepatu (screed plate), lengan sepatu (screed tow arms), pemanas sepatu (screed heaters), pemadat tumbuk (tamping bars) atau pemadat getar (vibrating).

3.32

screed plate

pelat sepatu, merupakan pelat yang berfungsi seperti setrika membentuk elevasi dan kemiringan melintang hamaparan.

3.33

lengan penarik sepatu (screed tow arms)

merupakan lengan horisontal yang berfungsi menahan dan menarik screed sehingga screed menggantung pada ujung lengan tersebut.

3.34

pemanas screed (screed heaters)

pemanas pelat screed yang berfungsi memanaskan pelat screed pada awal operasi penghamparan.

(16)

7 dari 197

3.35

screed strike-offs

alat yang diletakkan pada ujung depan pelat screed yang berfungsi mengontorl kuantitas material yang melewati depan screed dan mengurangi keausan pelat screed.

3.36

cut-off shoes

sepatu pemotong, pelat yang digunakan untuk mengurangi lebar penghamparan

3.37

angle of attacks

sudut gesek atau sudut yang dibentuk oleh pelat screed dengan bidang horisontal.

3.38

pemadatan awal (breakdown rolling)

pemadatan awal, pemadatan pertama yang dilakukan setelah penghamparan campuran beraspal panas. Jumlah lintasan pada pemadatan awal berkisar 1 sampai 3 lintasan. Alat yang digunakan umumnya mesin gilas roda baja statis.

3.39

pemadatan antara (intermediate rolling)

pemadatan antara, pemadatan yang dilakukan setelah pemadatan awal selesai. Jumlah lintasan pada pemadatan antara berkisar 8 sampai 16 lintasan. Alat yang digunakan umumnya alat pemadat roda pneumatik

3.40

pemadatan akhir (finish rolling)

pemadatan akhir, pemadatan yang+ dilakukan setelah pemadatan antara dan merupakan pemadatan terakhir. Jumlah lintasan umumnya berkisar 1 sampai 3 lintasan dan alat yang digunakan umumnya mesin gilas roda baja statis.

3.41

lintasan (passing)

pergerakan alat pemadat dari satu titik ke tempat tertentu dan kemudian kembali lagi ketitik awal pergerakan, disebut 1 kali lintasan.

(17)

4 Bahan campuran beraspal panas

4.1 Umum

Campuran beraspal adalah suatu kombinasi campuran antara agregat dan aspal. Dalam campuran beraspal, aspal berperan sebagai pengikat atau lem antar partikel agregat, dan agregat berperan sebagai tulangan. Sifat-sifat mekanis aspal dalam campuran beraspal diperoleh dari friksi dan kohesi dari bahan-bahan pembentuknya. Friksi agregat diperoleh dari ikatan antar butir agregat (interlocking), dan kekuatannya tergantung pada gradasi, tekstur permukaan, bentuk butiran dan ukuran agregat maksimum yang digunakan. Sedangkan sifat kohesinya diperoleh dari sifat-sifat aspal yang digunakan. Oleh sebab itu kinerja campuran beraspal sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat agregat dan aspal serta sifat-sifat campuran padat yang sudah terbentuk dari kedua bahan tersebut. Perkerasan beraspal dengan kinerja yang sesuai dengan persyaratan tidak akan dapat diperoleh jika bahan yang digunakan tidak memenuhi syarat, meskipun peralatan dan metoda kerja yang digunakan telah sesuai.

Berdasarkan gradasinya campuran beraspal panas dibedakan dalam tiga jenis campuran, yaitu campuran beraspal bergradasi rapat, senjang dan terbuka. Tebal minimum penghamparan masing-masing campuran sangat tergantung pada ukuran maksimum agregat yang digunakan. Tebal padat campuran beraspal harus lebih dari 2 kali ukuran butir agregat maksimum yang digunakan. Beberapa jenis campuran aspal panas yang umum digunakan di Indonesia antara lain :

- AC (Asphalt Concrete) atau laston (lapis beton aspal)

- HRS (Hot Rolled Sheet) atau lataston (lapis tipis beton aspal) - HRSS (Hot Rolled Sand Sheet) atau latasir (lapis tipis aspal pasir)

Laston (AC) dapat dibedakan menjadi dua tergantung fungsinya pada konstruksi perkerasan jalan, yaitu untuk lapis permukan atau lapisan aus (AC-wearing course) dan untuk lapis pondasi (AC-base, AC-binder, ATB (Asphalt Treated Base)). Lataston (HRS) juga dapat digunakan sebagai lapisan aus atau lapis pondasi. Latasir (HRSS) digunakan untuk lalu-lintas ringan ( < 500.000 ESA).

Dalam pasal ini dijabarkan mengenai bahan campuran beraspal, yaitu aspal dan agregat.

4.2 Aspal

Aspal atau bitumen merupakan material yang berwarna hitam kecoklatan yang bersifat viskoelastis sehingga akan melunak dan mencair bila mendapat cukup pemanasan dan sebaliknya. Sifat viskoelastis inilah yang membuat aspal dapat menyelimuti dan menahan agregat tetap pada tempatnya selama proses produksi dan masa pelayanannya. Pada dasarnya aspal terbuat dari suatu rantai hidrokarbon yang disebut bitumen, oleh sebab itu aspal sering disebut material berbituminous.

Umumnya aspal dihasilkan dari penyulingan minyak bumi, sehingga disebut aspal keras. Tingkat pengontrolan yang dilakukan pada tahapan proses penyulingan akan menghasilkan aspal dengan sifat-sifat yang khusus yang cocok untuk pemakaian yang khusus pula, seperti untuk pembuatan campuran beraspal, pelindung atap dan penggunaan khusus lainnya.

(18)

4.2.1 Sumber aspal

Aspal merupakan suatu produk berbasis minyak yang merupakan turunan dari proses penyulingan minyak bumi, dan dikenal dengan nama aspal keras. Selain itu, aspal juga terdapat di alam secara alamiah, aspal ini disebut aspal alam. Aspal modifikasi saat ini juga telah dikenal luas. Aspal ini dibuat dengan menambahkan bahan tambah ke dalam aspal yang bertujuan untuk memperbaiki atau memodifikasi sifat rheologinya sehingga menghasilkan jenis aspal baru yang disebut aspal modifikasi.

4.2.1.1 Aspal hasil destilasi

Minyak mentah disuling dengan cara destilasi, yaitu suatu proses dimana berbagai fraksi dipisahkan dari minyak mentah tersebut. Proses destilasi ini disertai oleh kenaikan temperatur pemanasan minyak mentah tersebut. Pada setiap temperatur tertentu dari proses destilasi akan dihasilkan produk-produk berbasis minyak seperti yang diilustrasikan pada Gambar 1.

(19)

4.2.1.1.1 Aspal keras

Pada proses destilasi fraksi ringan yang terkandung dalam minyak bumi dipisahkan dengan destilasi sederhana hingga menyisakan suatu residu yang dikenal dengan nama aspal keras. Dalam proses destilasi ini, aspal keras baru dihasilkan melalui proses destilasi hampa pada temperatur sekitar 480 oC. Temperatur ini bervariasi tergantung pada sumber minyak mentah yang disuling atau tingkat aspal keras yang akan dihasilkan. Ilustrasi skematik penyulingan minyak mentah dan produk-produk yang dihasilkannya seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.

0 100 200 300 400 500 600 0 20 40 60 80 Persentase Destilasi (%) Temperatur ( o C)

Gambar 2 Tipikal temperatur destilasi minyak bumi dan produk yang dihasilkannya (The Asphalt Institute, 1983)

Untuk menghasilkan aspal keras dengan sifat-sifat yang diinginkan, proses penyulingan harus ditangani sedemikian rupa sehingga dapat mengontrol sifat-sifat aspal keras yang dihasilkan. Hal ini sering dilakukan dengan mencampur berbagai variasi minyak mentah bersama-sama sebelum proses destilasi dilakukan. Pencampuran ini nantinya agar dihasilkan aspal keras dengan sifat-sifat yang bervariasi, sesuai dengan sifat-sifat yang diinginkan. Cara lainnya yang sering juga dilakukan untuk mendapatkan aspal keras dengan viskositas menengah adalah dengan mencampur beberapa jenis aspal keras dengan proporsi tertentu dimana aspal keras yang sangat encer dicampur dengan aspal lainnya yang kurang encer sehingga menghasilkan aspal dengan viskositas menengah. Selain melalui proses destilasi hampa dimana aspal dihasilkan dari minyak mentah dengan pemanasan dan penghampaan, aspal keras juga dapat dihasilkan melalui proses ekstraksi zat pelarut. Dalam proses ini fraksi minyak (bensin, solar dan minyak tanah) yang terkandung dalam minyak mentah (crude oil) dikeluarkan sehingga meninggalkan aspal sebagai residu.

4.2.1.1.2 Aspal cair (cutback asphalt)

Aspal cair dihasilkan dengan melarutkan aspal keras dengan bahan pelarut berbasis minyak. Aspal ini dapat juga dihasilkan secara langsung dari proses destilasi, dimana dalam proses ini fraksi minyak ringan yang terkandung dalam minyak mentah tidak

Aspal Minyak Berat Solar Minyak tanah Bensin Gas

(20)

seluruhnya dikeluarkan (lihat Gambar 1). Kecepatan menguap dari minyak yang digunakan sebagai pelarut atau minyak yang sengaja ditinggalkan dalam residu pada proses destilasi akan menentukan jenis aspal cair yang dihasilkan. Berdasarkan hal ini, aspal cair dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu :

- Aspal cair cepat mantap (RC = rapid curing), yaitu aspal cair yang bahan pelarutnya cepat menguap. Pelarut yang digunakan pada aspal jenis ini biasanya bensin. - Aspal cair mantap sedang (MC = medium curing), yaitu aspal cair yang bahan

pelarutnya tidak begitu cepat menguap. Pelarut yang digunakan pada aspal jenis ini biasanya minyak tanah.

- Aspal cair lambat mantap (SC = slow curing), yaitu aspal cair yang bahan pelarutnya lambat menguap. Pelarut yang digunakan pada aspal jenis ini biasanya solar.

Tingkat kekentalan aspal cair sangat ditentukan oleh proporsi atau rasio bahan pelarut yang digunakan terhadap aspal keras atau yang terkandung pada aspal cair tersebut. Aspal cair jenis MC-800 memiliki nilai kekentalan yang lebih tinggi dari MC-200.

Aspal cair dapat digunakan baik sebagai bahan pengikat pada campuran beraspal maupun sebagai lapis resap pengikat (prime coat) atau lapis perekat (tack coat). Dalam penggunaannya, pemanasan mungkin diperlukan untuk menurunkan tingkat kekentalan aspal ini.

4.2.1.1.3 Aspal emulsi

Aspal emulsi dihasilkan melalui proses pengemulsian aspal keras. Pada proses ini, partikel-partikel aspal keras dipisahkan dan didispersikan dalam air yang mengandung emulsifier (emulgator). Partikel aspal yang terdispersi ini berukuran sangat kecil bahkan sebagian besar berukuran koloid.

Jenis emulsifier yang digunakan sangat mempengaruhi jenis dan kecepatan pengikatan aspal emulsi yang dihasilkan. Berdasarkan muatan listrik zat pengemulsi yang digunakan, aspal emulsi yang dihasilkan dapat dibedakan menjadi :

- Aspal emulsi anionik, yaitu aspal emulsi yang berion negatif. - Aspal emulsi kationik, yaitu aspal emulsi yang berion positif.

- Aspal emulsi non-ionik, yaitu aspal emulsi yang tidak berion (netral).

Sedangkan berdasarkan proporsi emulsifier yang digunakan, aspal emulsi baik yang anionik maupun kationik dibedakan lagi dalam beberapa kelas seperti yang diberikan dalam Tabel 1.

Huruf RS, MS dan SS dalam tabel ini menyatakan kecepatan pemantapan (setting) aspal emulsi tersebut, yaitu cepat mantap (RS = rapid setting), mantap sedang (MS = medium setting) dan lambat mantap (SS = slow setting). Sedangkan huruf ‘C’ menyatakan bahwa aspal emulsi ini adalah jenis kationik atau bermuatan listrik positif.

Huruf ‘h’ dan ‘s’ yang terdapat pada akhir simbol aspal emulsi menyatakan bahwa aspal ini dibuat dengan menggunakan aspal keras yang lebih keras (h = harder) atau yang lebih lunak (s = softer).

(21)

Tabel 1 Jenis dan kelas aspal emulsi

Jenis Aspal Emulsi Kelas

Anionik RS-1 RS-2 MS-1 MS-2 MS-2h HFMS-1 HFMS-2 HFMS-2h HFMS-2s SS-1 SS-1h Kationik CRS-1 CRS-2 - CMS-2 CMS-2h - - - CSS-1 CSS-1h Sumber : The Asphalt Institute, ES, 1983

Huruf HF yang dicantumkan pada awal simbol aspal emulsi anionik menunjukkan bahwa aspal ini memiliki kemampuan mengambang yang tinggi (HF = high float). Tingkat pengambangan ini dapat diukur melalui uji pengambangan berdasarkan AASHTO T-50. Aspal emulsi dengan kode ini dapat digunakan pada pekerjaan yang menuntut penggunaan film aspal yang tebal dengan tidak menimbulkan resiko pengaliran kembali aspalnya (drainage off). Seperti halnya aspal cair, aspal emulsi dapat digunakan juga baik sebagai bahan pengikat pada campuran beraspal maupun sebagai lapis resap pengikat (prime coat) atau lapis perekat (tack coat). Dalam penggunaannya, pemanasan untuk menurunkan tingkat kekentalan aspal ini mungkin tidak diperlukan.

4.2.1.2 Aspal

alam

Aspal alam adalah aspal yang secara alamiah terjadi di alam. Berdasarkan depositnya aspal alam ini dikelompokan ke dalam 2 kelompok, yaitu :

- Aspal Danau (Lake Asphalt) - Aspal Batu (Rock Asphalt)

4.2.1.2.1 Aspal danau (lake asphalt)

Aspal ini secara alamiah terdapat di danau Trinidad, Venezuella dan Lawele. Aspal ini terdiri dari bitumen, mineral dan bahan organik lainnya. Angka penetrasi dari aspal ini sangat rendah dan titik lembeknya sangat tinggi. Karena aspal ini sangat keras, dalam pemakaiannya aspal ini dicampur dengan aspal keras yang mempunyai angka penetrasi yang tinggi dengan perbandingan tertentu sehingga dihasilkan aspal dengan angka penetrasi yang diinginkan.

(22)

4.2.1.2.2 Aspal batu (rock asphalt)

Aspal batu Kentucky dan Buton adalah aspal yang secara alamiah terdeposit di daerah Kentucky, USA dan di pulau Buton, Indonesia. Aspal dari deposit ini terbentuk dalam celah-celah batuan kapur dan batuan pasir. Aspal yang terkandung dalam batuan ini berkisar antara 12 - 35 % dari masa batu tersebut dan memiliki tingkat penetrasi antara 0 - 40. Untuk pemakaiannya, deposit ini harus ditambang terlebih dahulu, lalu aspalnya diekstraksi dan dicampur dengan minyak pelunak atau aspal keras dengan angka penetrasi yang lebih tinggi agar didapat suatu campuran aspal yang memiliki angka penetrasi sesuai dengan yang diinginkan. Pada saat ini aspal batu telah dikembangkan lebih lanjut, sehingga menghasilkan aspal batu dalam bentuk butiran partikel yang berukuran lebih kecil dari 1 mm dan dalam bentuk mastik.

4.2.1.3 Aspal

modifikasi

Aspal modifikasi dibuat dengan mencampur aspal keras dengan suatu bahan tambah. Polymer adalah jenis bahan tambah yang banyak digunakan saat ini, sehingga aspal modifikasi sering disebut juga sebagai aspal polymer. Antara lain berdasarkan sifatnya, ada dua jenis bahan polymer yang biasanya digunakan untuk tujuan ini, yaitu polymer elastomer dan polymer plastomer.

4.2.1.3.1 Aspal polymer elastomer

SBS (Styrene Butadine Styrene), SBR (Styrene Butadine Rubber), SIS (Styrene Isoprene Styrene) dan karet adalah jenis-jenis polymer elastomer yang biasanya digunakan sebagai bahan pencampur aspal keras. Penambahan polymer jenis ini maksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat rheologi aspal, antara lain penetrasi, kekentalan, titik lembek dan elastisitas aspal keras. Campuran beraspal yang dibuat dengan aspal polymer elastomer akan memiliki tingkat elastisitas yang lebih tinggi dari campuran beraspal yang dibuat dengan aspal keras. Persentase penambahan bahan tambah (additive) pada pembuatan aspal polymer harus ditentukan berdasarkan pengujian laboratorium karena penambahan bahan tambah sampai dengan batas tertentu memang dapat memperbaiki sifat-sifat rheologi aspal dan campuran tetapi penambahan yang berlebihan justru akan memberikan pengaruh yang negatif.

4.2.1.3.2 Aspal polymer plastomer

Seperti halnya dengan aspal polymer elastomer, penambahan bahan polymer plastomer pada aspal keras juga dimaksudkan untuk meningkatkan sifat rheologi baik pada aspal keras dan sifat sifik campuran beraspal. Jenis polymer plastomer yang telah banyak digunakan antara lain adalah EVA (Ethylene Vinyl Acetate), polypropilene dan polyethilene. Persentase penambahan polymer ini ke dalam aspal keras juga harus ditentukan berdasarkan pengujian laboratorium karena sampai dengan batas tertentu penambahan ini dapat memperbaiki sifat-sifat rheologi aspal dan campuran tetapi penambahan yang berlebihan justru akan memberikan pengaruh yang negatif.

4.2.2 Klasifikasi aspal

Aspal keras dapat diklasifikasikan kedalam tingkatan (grade) atau kelas berdasarkan tiga sistim yang berbeda, yaitu viskositas, viskositas setelah penuaan dan penetrasi. Masing-masing sistim mengelompokkan aspal dalam tingkatan atau kelas yang berbeda pula. Dari ketiga jenis sistim pengklasifikasian aspal yang ada, yang paling banyak digunakan adalah sistim pengklasifikasian berdasarkan viskositas dan penetrasi. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4.

(23)

Dalam sistim viskositas, satuan Poise adalah satuan standar pengukuran viskositas absolut. Makin tinggi nilai Poise suatu aspal makin kental aspal tersebut. AC-2,5 (aspal keras dengan viskositas 250 poise pada temperatur 60o C) adalah jenis aspal keras yang

bersifat lunak, AC-40 (aspal keras dengan 4000 poise pada temperatur 60o C) adalah

jenis aspal keras yang bersifat keras.

Beberapa negara mengelompokkan aspal berdasarkan viskositas setelah penuaan. Ide ini untuk mengindentifikasikan viskositas aspal setelah penghamparan di lapangan. Untuk mensimulasikan penuaan aspal selama percampuran, aspal segar yang akan digunakan dituakan terlebih dahulu dalam oven melalui pengujian Thin Film Oven Test (TFOT) dan Rolling Thin Film Oven Test (RTFOT). Sisa aspal yang tertinggal (residu) kemudian ditentukan tingkatannya (grade) berdasarkan viskositasnya dalam satuan Poise. Tabel 3 di bawah ini menunjukan garis besar variasi grade dalam sistim ini.

Dalam Tabel 3, simbol AR adalah singkatan dari sisa penuaan (Aged Residue). Makin besar nilai AR makin keras aspal tersebut. AR-10 (viskositas 1000 poise) berarti aspal lunak, sementara AR-160 (viskositas 16000 poise) adalah aspal keras.

Metode ketiga yang dapat digunakan dalam pengklasifikasian aspal adalah berdasarkan uji penetrasi. Pada uji ini, sebuah jarum standar dengan beban 100 gram (termasuk berat jarum) ditusukkan ke atas permukaan aspal, panjang jarum yang masuk kedalam contoh aspal dalam waktu lima detik diukur dalam satuan persepuluh mili meter (0,1 mm) dan dinyatakan sebagai nilai penetrasi aspal. Semakin kecil nilai penetrasi aspal, semakin keras aspal tersebut. Tabel 4 di bawah ini menunjukkan suatu rentang dalam sistem pengklasifikasian ini.

Tabel 2 Klasifikasi aspal keras berdasarkan viskositas

STANDAR VISKOSITAS Pengujian Satuan

AC-2,5 AC – 5 AC- 10 AC – 20 AC - 30 AC- 40

Viskositas 60o C poise 250±50 500±100 1000±200 2000±400 3000±600 4000± 800 Viskositas min. 135 o C Penetrasi 25o C, 100 gram, 5 detik. Titik nyala Kelarutan dalam Trichlorethylene cst 0,1 mm 0 C % 125 220 162 99,0 175 140 177 99,0 250 80 219 99,0 300 60 232 99,0 350 50 232 99,0 400 40 232 99,0 Tes residu dari TFOT

: - Penurunan berat -Viskositas max, 60o C - Daktilitas 25o C, 5 cm/menit % poise cm - 1000 100 1,0 2000 100 0,5 4000 75 0,5 8000 50 0,5 12000 40 0,5 16000 25

(24)

Tabel 3 Klasifikasi aspal keras berdasarkan hasil RTFOT

VISKOSITAS Tes Residu

(AASHTO T 240) Satuan

AR-10 AR-20 AR-40 AR-80 AR-160

Viskositas, 60o C poise 1000±250 2000±500 4000±1000 8000±2000 16000±4000 Viskositas min, 135o C Penetrasi, 25 oC, 100 gram, 5 dtk. Penetrasi sisa, 25 o C, 100 gram, 5 dtk. Terhadap penetrasi awal. Daktilitas min, 25 o C. 5 cm/mnt cst 0,1 mm % cm 140 65 - 100 200 40 40 100 275 25 45 75 400 20 50 75 550 20 52 75

Sifat Aspal keras segar Titik Nyala min. Kelarutan dalam Trichlorothylene min o C % 205 99,0 219 99,0 227 99,0 232 99,0 238 99,0

Sumber : The Asphalt Institute, 1983

Tabel 4 Klasifikasi aspal keras berdasarkan penetrasi

Tingkat Penetrasi Aspal

Sifat Fisik

Satuan

Pen. 40 Pen. 60 Pen. 80

Penetrasi, 25o C, 100 gram, 5 detik Titik Lembek, 25o C Titik nyala Daktilitas, 25o C

Kelarutan dalam Trichloroethylene Penurunan berat Berat Jenis 0,1 mm o C o C cm % % 40 – 59 51 –63 > 200 > 100 > 99 < 0,8 > 1,0 60 – 79 50 – 58 > 200 > 100 > 99 < 0,8 > 1,0 80 – 99 46 – 54 > 225 > 100 > 99 < 1,0 > 1,0 Penetrasi Residu, 25o C, 100 gram, 5 detik Daktilitas o C , cm 0,1 mm cm > 58 - > 54 > 50 > 50 > 75 Sumber : KPTS/II/3/1973

4.2.3 Sifat-sifat kimia aspal

Aspal keras dihasilkan melalui proses destilasi minyak bumi. Minyak bumi yang digunakan terbentuk secara alami dari senyawa-senyawa organik yang telah berumur ribuan tahun di bawah tekanan dan variasi temperatur yang tinggi.

(25)

Susunan struktur internal aspal sangat ditentukan oleh susunan kimia molekul-molekul yang terdapat dalam aspal tersebut. Susunan molekul aspal sangat kompleks dan didominasi (90 – 95% dari berat aspal) oleh unsur karbon dan hidrogen. Oleh sebab itu, senyawa aspal seringkali disebut sebagai senyawa hidrokarbon. Sebagian kecil, sisanya (5 – 10%), dari dua jenis atom, yaitu : heteroatom dan logam.

Unsur-unsur heteroatom seperti nitrogen, oksigen dan sulfur, dapat menggantikan kedudukan atom karbon yang terdapat di dalam struktur molekul aspal. Hal inilah yang menyebabkan aspal memiliki rantai kimia yang unik dan interaksi antar atom ini dapat menyebabkan perubahan pada sifat fisik aspal. Jenis dan jumlah heteroatom yang terkandung di dalam aspal sangat ditentukan oleh sumber minyak mentah yang digunakan dan tingkat penuaannya. Heteroatom, terutama sulfur, lebih reaktif dari pada karbon dan hidrogen untuk mengikat oksigen. Oleh sebab itu, aspal dengan kandungan sulfur yang tinggi akan mengalami penuaan yang lebih cepat dari pada aspal yang mengandung sedikit sulfur.

Atom logam seperti vanadium, nikel, besi, magnasium dan kalsium hanya terkandung di dalam aspal dalam jumlah yang sangat kecil, umumnya aspal hanya mengandung satu persen atom logam dalam bentuk garam organik dan hidroksidanya.

Karena susunan kimia aspal yang sangat kompleks, maka analisa kimia aspal sangat sulit dilakukan dan memerlukan peralatan laboratorium yang canggih, dan data yang dihasilkanpun belum tentu memiliki hubungan dengan sifat rheologi aspal. Analisa kimia yang dilakukan biasanya hanya dapat memisahkan molekul aspal dalam dua group, yaitu aspalten dan malten. Selanjutnya malten dapat dibagi lagi menjadi saturated, aromatik dan resin. Walaupun begitu, pembagian ini tidak dapat didefinisikan secara jelas karena adanya sifat yang saling tumpang tindih antara kelompok-kelompok tersebut.

4.2.3.1 Aspalten

Aspalten adalah unsur kimia aspal yang padat yang tidak larut dalam n-penten. Aspalten berwarna coklat sampai hitam yang mengandung karbon dan hidrogen dengan perbandingan 1 : 1, dan kadang-kadang juga mengandung nitrogen, sulfur dan oksigen. Aspalten biasanya dianggap sebagai material yang bersifat polar dan memiliki bau yang khas dengan berat molekul yang cukup berat. Molekul aspalten ini memiliki ukuran antara 5 – 30 nano meter. Besar kecilnya kandungan aspalten dalam aspal sangat mempengaruhi sifat rheologi aspal tersebut. Peningkatan kandungan aspalten dalam aspal akan menghasilkan aspal yang lebih keras dengan nilai penetrasi yang rendah, titik lembek yang tinggi dan tingkat kekentalan aspal yang tinggi pula.

4.2.3.2 Malten

Malten adalah unsur kimia lainnya yang terdapat di dalam aspal selain aspalten. Unsur malten ini dapat dibagi lagi menjadi resin , aromatik dan saturated.

a) Resin

Resin secara dominan terdiri dari hidrogen dan karbon , dan sedikit mengandung oksigen, sulfur dan nitrogen. Rasio kandungan unsur hidrogen terhadap karbon di dalam resin berkisar antara 1,3 sampai 1,4. Resin memiliki ukuran antara 1 – 5 nanometer, bewarna coklat, berbentuk semi padat sampai padat, bersifat sangat polar dan memberikan sifat adesif pada aspal. Didalam aspal, resin berperan sebagai zat pendispersi aspaltene. Sifat aspal, SOL (larutan) atau GEL (jelli), sangat ditentukan oleh proporsi kandungan resin terhadap kandungan aspalten yang terdapat di dalam aspal tersebut.

(26)

b) Aromatik

Aromatik adalah unsur pelarut aspalten yang paling dominan di dalam aspal. Aromatik berbentuk cairan kental yang berwarna coklat tua dan kandungannya di dalam aspal berkisar antara 40% – 60% terhadap berat aspal. Aromatik terdiri dari rantai karbon yang bersifat non-polar yang didominasi oleh unsur tak jenuh (unsaturated) dan memiliki daya larut yang tinggi terhadap molekul hidrokarbon.

c) Saturated

Saturated adalah bagian dari molekul malten yang berupa minyak kental yang bewarna putih atau kekuning-kuningan dan bersifat non-polar. Saturated terdiri dari parafin (wax) dan non parafin, kandungannya di dalam aspal berkisar antara 5%-20% terhadap berat aspal.

4.2.4 Sifat-sifat fisik aspal

Sifat-sifat fisik aspal yang sangat mempengaruhi perencanaan, produksi dan kinerja campuran beraspal antara lain adalah durabilitas, adesi dan kohesi, kepekaan terhadap temperatur, pengerasan dan penuaan.

4.2.4.1 Durabilitas

Kinerja aspal sangat dipengaruhi oleh sifat aspal tersebut setelah digunakan sebagai bahan pengikat dalam campuran beraspal dan dihampar di lapangan. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat aspal akan berubah secara signifikan akibat oksidasi dan pengelupasan yang terjadi baik pada saat pencampuran, pengangkutan dan penghamparan campuran beraspal di lapangan. Perubahan sifat ini akan menyebabkan aspal menjadi berdaktilitas rendah atau dengan kata lain aspal telah mengalami penuaan. Kemampuan aspal untuk menghambat laju penuaan ini disebut durabilitas aspal.

Pengujian durabilitas aspal bertujuan untuk mengetahui seberapa baik aspal untuk mempertahankan sifat-sifat awalnya akibat proses penuaan. Walaupun banyak faktor lainnya yang menentukan, aspal dengan durabilitas yang baik akan menghasilkan campuran dengan kinerja baik pula. Pengujian kuantitatif yang biasanya dilakukan untuk mengetahui durabilitas aspal adalah pengujian penetrasi, titik lembek, kehilangan berat dan daktilitas. Pengujian ini dilakukan pada benda uji yang telah mengalami

Presure Aging Vessel (PAV), Thin Film Oven Test (TFOT) dan Rolling Thin Film Oven Test (RTFOT). Dua proses penuaan terakhir merupakan proses penuaan yang banyak

digunakan untuk mengetahui durabilitas aspal.

Sifat aspal terutama viskositas dan penetrasi akan berubah bila aspal tersebut mengalami pemanasan ataupun penuaan. Aspal dengan durabilitas yang baik hanya sedikit mengalami perubahan, Gambar 3 mengilustrasikan perubahan viskositas aspal yang mempunyai durabilitas baik dan kurang baik.

4.2.4.2 Adesi dan Kohesi

Adesi adalah kemampuan partikel aspal untuk melekat satu sama lainnya, dan kohesi adalah kemampuan aspal untuk melekat dan mengikat agregat. Sifat adesi dan kohesi aspal sangat penting diketahui dalam pembuatan campuran beraspal karena sifat ini sangat mempengaruhi kinerja dan durabilitas campuran.

Uji daktilitas aspal adalah suatu uji kualitatif yang secara tidak langsung dapat digunakan untuk mengetahui tingkat adesifnes atau daktilitas aspal keras. Aspal keras dengan nilai daktilitas yang rendah adalah aspal yang memiliki daya adesi yang kurang baik dibandingkan dengan aspal yang memiliki nilai daktilitas yang tinggi.

(27)

Viskositas

Temperatur (skala log) Gambar 3 Pengaruh temperatur pada viskositas aspal

Uji penyelimutan aspal terhadap batuan merupakan uji kuantitatif lainnya yang digunakan untuk mengetahui daya lekat (kohesi) aspal terhadap batuan. Pada pengujian ini, agregat yang telah diselimuti oleh film aspal direndam dalam air dan dibiarkan selama 24 jam dengan atau tanpa pengadukan. Akibat air atau kombinasi air dengan gaya mekanik yang diberikan, aspal yang menyelimuti permukaan agregat akan terkelupas kembali. Aspal dengan daya kohesi yang kuat akan melekat erat pada permukaan agregat oleh sebab itu pengelupasan yang terjadi sebagai akibat dari pengaruh air atau kombinasi air dengan gaya mekanik sangat kecil atau bahkan tidak terjadi sama sekali.

4.2.4.3 Kepekaan aspal terhadap temperatur

Seluruh aspal bersifat termoplastik yaitu menjadi lebih keras bila temperatur menurun dan melunak bila temperatur meningkat. Kepekaan aspal untuk berubah sifat akibat perubahan temperatur ini dikenal sebagai kepekaan aspal terhadap temperatur. Kepekaan aspal terhadap temperatur bervariasi untuk masing-masing jenis aspal dan berbeda bila aspal tersebut berasal dari minyak bumi dengan sumber yang berbeda walaupun aspal tersebut masuk dalam klasifikasi yang sama, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4 menunjukkan kepekaan aspal terhadap temperatur dari 2 jenis aspal (aspal A dan aspal B) yang memiliki tingkat penetrasi yang sama tetapi berasal dari minyak bumi yang berbeda sumbernya. Penetrasi kedua aspal tersebut pada temperatur 25oC

mendekati sama, artinya aspal tersebut berada dalam klasifikasi yang sama. Disini dapat dilihat bahwa kecenderungan perubahan nilai penetrasi kedua aspal tersebut tidaklah sama. Pada temperatur yang sama, penurunan nilai penetrasi aspal B lebih kecil dibandingan dengan yang terjadi pada aspal A. Hal ini menunjukkan bahwa aspal A lebih peka terhadap perubahan temperatur dibandingkan dengan aspal B.

Aspal segar

Aspal berdurabilitas baik Aspal berdurabilitas

kurang baik

Setelah TFOT atau RTFOT Aspal segar

(28)

Penetrasi

25 100 (o

C) Temperatur

Gambar 4 Perubahan penetrasi aspal akibat perubahan temperatur

Viskositas

60 100 (oC) Temperatur

Gambar 5 Perubahan viskositas aspal akibat perubahan temperatur

Kecenderungan yang sama juga terjadi untuk aspal yang memiliki viskositas yang sama tetapi berasal dari sumber yang berlainan. Gambar 5 menunjukan bahwa pada temperatur 60oC aspal C dan D memiliki viskositas yang sama, tetapi perubahan

viskositas yang terjadi pada aspal C dan D akibat perubahan temperatur tidaklah sama. Hal ini disebabkan karena aspal C lebih peka terhadap temperatur dibandingkan dengan aspal D.

Pengetahuan tentang kepekaan aspal terhadap temperatur adalah suatu hal yang penting dalam pembuatan campuran dan perkerasan beraspal. Pengetahuan ini berguna untuk mengetahui pada temperatur berapa aspal dan agregat dapat dicampur dan dipadatkan. Dari Gambar 4 dan 5 di atas, dapat dilihat bahwa pada temperatur di atas 100o C, aspal A dan C menjadi lebih cair dibandingkan aspal B dan D, sebagai konsekuensinya temperatur yang diperlukan untuk membuat aspal A dan C cukup cair agar dapat menyelimuti agregat secara sempurna adalah lebih rendah dari pada aspal B dan D. Hal yang sama juga terjadi untuk temperatur pemadatan. Campuran yang dibuat

Aspal A

Aspal B

Aspal C

(29)

dengan menggunakan aspal A dan C dapat dipadatkan pada temperatur yang lebih rendah dari pada campuran yang dibuat dengan aspal B dan D.

Kepekaan aspal terhadap perubahan temperatur dapat diketahui dengan jelas bila sifat aspal dinyatakan dalam Indeks Penetrasinya (IP). Nilai IP aspal berkisar antara -3 sampai +7, aspal dengan nilai IP yang tinggi lebih tidak peka terhadap perubahan temperatur dan sebaliknya. Selain itu, nilai IP aspal dapat juga digunakan untuk memprediksi kinerja campuran beraspal, aspal dengan IP yang tinggi akan menghasilkan campuran beraspal yang memiliki modulus kekakuan dan ketahanan terhadap deformasi yang tinggi pula.

Nilai IP aspal dapat dihitung dengan menggunakan rumusan yang diturunkan oleh Pfeiffer et al., (1936), yaitu

A A IP 50 1 ) 25 1 ( 20 + − =

Nilai A adalah gradien garis hubungan antara logaritma penetrasi dengan temperatur dimana pengujian penetrasi tersebut dilakukan, sehingga :

2 1 2 1

log

.

.

.

.

log

T

T

T

Pen

T

Pen

A

=

Dengan pengertian :

Pen T1 = Nilai penetrasi aspal yang diuji pada temperatur T1

Pen T2 = Nilai penetrasi aspal yang diuji pada temperatur T2

T1 dan T2 = Temperatur pengujian 1 dan 2

Menurut Pfeiffer et al. (1936), hampir semua aspal pada temperatur titik lembeknya, TL (Ring and Ball Softening Point) memiliki nilai penetrasi 800. Berdasarkan kenyataan ini, penentuan nilai A dari persamaan sebelumnya dapat disederhanakan menjadi :

TL T T Pen A − − = 1 1 log.800 . . log

Karena tidak semua jenis aspal pada temperatur TL-nya memiliki nilai penetrasi 800 maka Persamaan di atas tidak sepenuhnya berlaku untuk semua jenis aspal. Heukelom (1973) melakukan penelitian dengan menggunakan aspal dengan tingkat kepekaan terhadap temperatur yang bervariasi dan menyimpulkan bahwa untuk mendapatkan nilai A yang representatif maka T1 haruslah temperatur standar pengukuran penetrasi dan T2

adalah temperatur dimana aspal memiliki nilai penetrasi 800, sehingga Persamaan ke-dua dapat dirubah menjadi :

800 25 25 log.800 . . log pen T T T Pen A − − =

(30)

Dengan pengertian :

Pen T25 = Nilai penetrasi aspal yang diuji pada temperatur 25oC

T25 = Temperatur pengujian 25oC

Tpen800 = Temperatur aspal yang memberikan nilai penetrasi 800

Selain dengan rumusan di atas, nilai IP aspal dapat pula dihitung dengan menggunakan nomograph yang diberikan pada Gambar 6 (Shell, 1995). Perhitungan nilai IP dapat juga dilakukan dengan bantuan Gambar 7 (Shell, 1995), yaitu dengan menggunakan data penetrasi dan titik lembek aspal. Nilai IP yang didapat dari kedua nomograph akan berbeda satu dengan yang lainnya dan berbeda pula dengan nilai IP yang didapat dari hasil perhitungan, tetapi karena adanya rentang nilai penetrasi dalam spesifikasi maka perbedaan nilai ini dapat diterima (Shell, 1995).

4.2.4.4 Pengerasan dan penuaan

Penuaan aspal adalah suatu parameter yang baik untuk mengetahui durabilitas campuran beraspal. Penuaan aspal ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu penguapan fraksi minyak ringan yang terkandung dalam aspal dan oksidasi (penuaan jangka pendek, short-term aging), dan oksidasi yang progresif (penuaan jangka panjang, long-term aging). Gambar 8 di bawah ini mengilustrasikan kecepatan penuaan jangka pendek dan jangka panjang yang dialami oleh aspal.

Kedua macam proses penuaan ini menyebabkan terjadinya pengerasan pada aspal dan selanjutnya akan meningkatkan kekakuan campuran beraspal sehingga akan mempengaruhi kinerja campuran tersebut. Peningkatan kekakuan ini akan meningkatkan ketahanan campuran terhadap deformasi permanen dan kemampuan untuk menyebarkan beban yang diterima, tetapi dilain pihak akan menyebabkan campuran menjadi lebih getas sehingga akan cepat retak dan akan menurunkan ketahanannya terhadap beban berulang.

Akibat panas yang tinggi, pengerasan aspal akibat penuaan lebih cepat terjadi di daerah yang beriklim tropis dari pada di daerah sub-tropis . Pengerasan ini terutama terjadi pada permukaan beraspal yang terekspos langsung. Oleh sebab itu kerusakan jenis retak pada lapis permukaan beraspal di daerah beriklim tropis lebih cepat terjadi dibandingkan dengan daerah lainnya yang beriklim subtropis (RN 31, 1993; Rolt et al. 1986).

Dalam dua proses penuaan seperti yang telah disebutkan di atas, oksidasi merupakan suatu faktor penting yang menentukan kecepatan penuaan. Kecepatan penuaan jangka panjang semata-mata disebabkan oleh oksidasi. Kecepatan oksidasi yang terjadi sangat dipengaruhi oleh rongga udara yang terkandung dalam campuran dan lingkungan dimana campuran ini dihampar. Dari ke-dua hal tersebut, Glenn et al. (1981) mengatakan bahwa lingkungan lebih memberikan pengaruh pada penuaan aspal dibandingkan dengan rongga udara dalam campuran atau porositas agregat yang digunakan. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Yau et al. (1985) yang mengatakan bahwa oksidasi adalah penyebab utama pengerasan aspal yang merupakan hasil interaksi antara aspal dengan lingkungan. Dickinson et al. (1958; 1980) menyatakan bahwa setiap kenaikan temperatur perkerasan 10oC, kecepatan oksidasi

(31)

Gambar 6 Nomograph untuk memperkirakan nilai IP aspal – Pen Vs Pen (Shell, 1995)

(32)

Gambar 7 Nomograph untuk memperkirakan nilai IP aspal – Pen Vs TL (Shell, 1995)

(33)

10 8 6 4 2 1 0 2 4 6 8 10 Waktu (tahun) Gambar 8 Kecepatan penuaan aspal (Shell, 1995)

4.2.5 Hubungan antara temperatur dan volume aspal

Aspal adalah suatu material yang bersifat viskoelastis yang mengembang bila dipanaskan dan menyusut bila didinginkan. Perubahan volume aspal akibat perubahan temperatur ini kadangkala dapat menyebabkan kesalahan dalam menghitung atau menentukan volume aspal, baik pada saat pengiriman, penyimpanan maupun pada saat pembayaran. Volume aspal haruslah ditentukan pada temperatur 15o C, untuk itu bila

20.000 liter aspal dikirim pada temperatur 100o C, maka volume sebenarnya harus

ditentukan lagi dengan mengacu pada temperatur 15o C.

Perhitungan perubahan volume ini cukup sederhana yaitu hanya memerlukan dua buah informasi, yaitu temperatur dan berat jenis aspal (specific gravity). Data temperatur dan berat jenis aspal diperlukan untuk menentukan faktor koreksi yang tepat. Faktor koreksi tersebut diperlihatkan pada SNI 06-6400-2000 (Tata Cara Penentuan Koreksi Volume Aspal Terhadap Volume pada Temperatur Standar). Walaupun tabel ini tidak begitu akurat, tetapi telah digunakan selama lebih dari 3 dekade. Tabel ini hanya dapat digunakan untuk mengkoreksi volume aspal sampai dengan temperatur 160o C. Bila

temperatur aspal telah diketahui, faktor koreksi untuk menghitung volume aspal pada temperatur 150 C dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

V = Vt (Fk) (5)

Dengan pengertian :

V = Volume aspal pada temperatur 150 C.

Vt = Volume aspal pada temperatur tertentu. Fk= Faktor Koreksi

Contoh :Sebuah truk mengangkut 20.000 liter aspal pada temperatur 150o C. Berat

jenis dari aspal tersebut adalah 0,970. Berapa volume aspal tersebut pada temperatur 15o C ?.

Jawab :Karena spesific gravity aspal diatas 0,966. Dari Tabel pada Tata Cara Penentuan Koreksi Volume Aspal Terhadap Volume pada Temperatur Standar (SNI 06-6400-2000) diperoleh Fk, Faktor koreksi adalah : 0,9181, maka

V = Vt . Fk = 20.000 X 0,9181 V = 18362 liter.

Jadi volume Aspal tersebut pada temperatur 150 C adalah 18.374 liter. Indeks Penuaan

Indeks Penuaan

Penuaan selama pencampuran

Penuaan selama pengangkutan dan pemadatan Penuaan setelah masa pelayanan 8 tahun

(34)

4.2.6 Hubungan antara sifat-sifat kimia dengan sifat-sifat fisik aspal

Aspal memiliki struktur molekul yang sangat kompleks dan memiliki ukuran yang bervariasi serta jenis ikatan kimia yang berbeda-beda. Semua jenis molekul ini berinteraksi satu dengan yang lainnya dengan cara yang berbeda-beda, cara berinteraksi antar molekul ini mempengaruhi tidak saja sifat kimia aspal tetapi juga sifat fisik dari aspal tersebut.

Perubahan komposisi molekul-molekul yang terdapat di dalam aspal juga akan mempengaruhi sifat fisik aspal. Hilangnya minyak ringan yang terkandung dalam aspal akibat proses penguapan ataupun akibat dari proses destilasi hampa akan menaikkan kandungan aspalten dalam aspal. Meningkatnya kandungan aspalten ini akan meningkatkan viskositas aspal pada temperatur yang sama. Selain itu, bila kadar aspalten di dalam suatu aspal dipertahankan tetap, maka :

- Peningkatan kadar aromatik dengan rasio saturated terhadap resin yang konstan akan menurunkan kepekaan modulus geser aspal.

- Peningkatan kadar saturated dengan rasio resin terhadap aromatik yang konstan akan menaikkan nilai penetrasi aspal.

- Peningkatan kadar resin dalam aspal akan menurunkan nilai penetrasi aspal, menurunkan indeks penetrasi aspal dan menurunkan kepekaannya terhadap geser tetapi menaikkan viskositas aspal.

Molekul-molekul aspal, aspalten, resin, aromatik dan saturated, memiliki ikatan dan berikatan secara kimia satu dengan yang lainnya. Ikatan ini sangat lemah dan sangat dipengaruhi oleh panas dan tegangan geser. Ikatan ini akan putus pada saat aspal dipanaskan sehingga aspal akan mencair dan dapat dituangkan. Ikatan ini akan segera terbentuk kembali dengan struktur yang berbeda apabila aspal tersebut telah dingin. Putus dan terbentuknya kembali ikatan kimia inilah yang memberikan sifat viskoelastis pada aspal. Karena struktur molekulnya yang kompleks dan susunan kimianya yang selalu berubah menyebabkan sulitnya memprediksi kinerja dan sifat-sifat fisik aspal berdasarkan analisa kimianya.

4.2.7 Hubungan antara sifat-sifat fisik aspal dengan perilaku campuran

aspal panas

Selain sifat agregat dan komposisi campuran, kinerja perkerasan sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia aspal. Aspal adalah material yang bersifat viskoelastis, hal ini berarti bahwa sifat aspal selalu berubah tergantung pada temperatur selama proses pencampuran dan pemadatan. Gambar 9 mengilustrasikan pengaruh sifat fisik aspal selama pencampuran, pemadatan dan masa pelayanan campuran beraspal.

4.2.7.1 Pengaruh sifat aspal selama masa produksi dan penghamparan

Sifat - sifat aspal memberikan pengaruh selama masa konstruksi, yaitu baik pada masa pencampuran dan pengangkutan maupun pada masa penyebaran dan pemadatannya.

a) Pengaruh sifat aspal pada pencampuran dan pengangkutan

Selama pencampuran aspal harus cukup encer untuk menyelimuti agregat dengan cepat dan menyeluruh (biasanya dalam waktu 30 detik). Masa pencampuran yang lama yang dimaksudkan untuk mendapatkan homogenitas campuran justru akan merubah sifat dan merusak aspal. Untuk itu, aspal harus dipanaskan pada

Gambar

Gambar 1   Ilustrasi proses penyulingan minyak (The Asphalt Institute, 1983)
Gambar 2   Tipikal temperatur destilasi minyak bumi dan produk yang  dihasilkannya (The Asphalt Institute, 1983)
Tabel 1  Jenis dan kelas aspal emulsi  Jenis Aspal Emulsi  Kelas
Tabel 2  Klasifikasi  aspal  keras berdasarkan viskositas  STANDAR VISKOSITAS  Pengujian  Satuan
+7

Referensi

Dokumen terkait