• Tidak ada hasil yang ditemukan

KASUS 1 FARMAKOTERAPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KASUS 1 FARMAKOTERAPI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS FARMAKOTERAP

TUGAS FARMAKOTERAPI I

I I

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

(PPOK)”

(PPOK)”

OLEH :

OLEH :

TIYA SYAHRANI (1501104)

TIYA SYAHRANI (1501104)

DOSEN :

DOSEN :

HUSNAWATI

HUSNAWATI, M.Farm,

, M.Farm, Apt

Apt

PROGRAM STUDI SI FARMASI

PROGRAM STUDI SI FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIVERSITAS RIAU

YAYASAN UNIVERSITAS RIAU

2016

2016

(2)

KASUS :

“Seorang pria berusia tahun 54 dengan riwayat kesehatan terakhir hipertensi datang ke

klinik dengan keluhan sesak napas yang mulai sekitar 4 sampai 5 tahun yang lalu.

Gejalanya telah secara bertahap memburuk sejak saat itu. Dia sekarang tidak mampu

 berjalan 100 meter tanpa harus berhenti dan beristirahat. Dia juga sehari-hari memiliki

 penyakit batuk yang biasanya produktif sputum/dahak kekuningan. ia merokok sekitar 11/2

 bungkus rokok sehari dan telah melakukannya selama 30 tahun terakhir. Dia juga minum

rata-rata 6 sampai 7 bir sehari. Dia tidak memiliki pekerjaan terpajan yang signifikan

terhadap debu, gas, atau asap.”

1. DEFINISI

Menurut WHO yang dituangkan dalam Panduan Global Initiative for Chronic Obstructive  Lung Disease (GOLD) tahun 2010, Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) didefenisikan sebagai penyakit yang dikarakterisasi oleh adanya obstruksi saluran pernafasan yang tidak reversible  sepenuhnya. Sumbatan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap  partikel atau gas yang berbahaya. Dua gangguan yang terjadi pada PPOK adalah bronkitis

kronis atau emfisema.

Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut -turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napasyang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.

2. ETIOLOGI :

Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan antara lain adalah:

(3)

a. Merokok

Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih besar pada  perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK.

Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan  banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat

PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.

b. Pekerjaan

Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.

c. Polusi udara

Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan adanya  polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap kendaraan  bermotor, dll, maupun polusi dari dalam rumah misalnya asap dapur.

d. Infeksi

Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.

Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasien antara lain adalah:

a. Usia

Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan genetik  berupa defisiensi α1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami <1% pasien PPOK.

b. Jenis kelamin

Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok.

(4)

c. Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi

Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.

d. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT)

Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif.

3. PATOFIOSIOLOGI

Proses potogenesis PPOK

.

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK

yangdiakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal,

 perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang

kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran

nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding

luar salurannafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas

kecil berkurangakibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang

meningkat sesuai berat sakit.

(5)

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan

seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.

Radikal bebasmempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar

dari berbagai macam penyakit paru.

Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan

menyebabkanterjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan

kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar,

aktivasi sel tersebut akanmenyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti

interleukin 8 dan leukotrienB4,tumuor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic

 peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan

merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru

sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel

akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti

 proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapatkeseimbangan antara oksidan dan

antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofagdan neutrofil akan

mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksidadengan bantuan

enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akandiubah

menjadi OH dengan menerima elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero

denganhalida akan diubah menjadi anion hipohalida (HOCl).

Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk

kronissehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.Penurunan fungsi paru terjadi

sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi

alveol yangmenuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh

leukosit dan polusidan asap rokok.16,18,19

4. Pemeriksaan dan Diagnosis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada  pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK di

tegakkan berdasarkan: 1. Anamnesis

(6)

-

Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.

-

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.

-

Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),

infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara, batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.

2. Pemeriksaan Fisik

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan a) Inspeksi

  Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu).

  Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding).  Penggunaan otot bantu napas.

 Hipertropi otot bantu napas.  Pelebaran sela iga.

 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai.

 b) Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar. c) Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.

d) Auskultasi

 Suara napas vesikuler normal, atau melemah.

 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.  Ekspirasi memanjang.

 Bunyi jantung terdengar jauh.

3. Pemeriksaan Penunjang a) Darah rutin

Hb, Ht, leukosit  b) Radiologi

(7)

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran:

 Hiperinflasi  Hiperlusen

 Ruang retrosternal melebar  Diafragma mendatar

 Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance) Pada bronkitis kronik:

  Normal

 Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien kronis, produksi dahak atau dispnea dan yang memiliki faktor risiko penyakit ini. Adanya keterbatasan aliran udara dapat dijelaskan lebih lanjut dengan spirometri. Spirometri merupakan penilaian komprehensif dari kapasitas dan volume paru. Spirometri yang dikombinasikan dengan pemeriksaan fisik dapat meningkatkan akurasi diagnosis PPOK. Spirometri juga digunakan untuk menentukan tingkat keparahan penyakit,  bersama dengan penilaian gejala dan adanya komplikasi. Keuntungan utama dari spirometri adalah

dapat mengidentifikasi individu yang memiliki kemampuan farmakoterapi untuk mengurangi eksaserbasi.

Prosedur pengujian reversibilitas: 1. Persiapan

Pengujian harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari infeksi pernafasan. Pasien tidak diberikan inhalasi bronkodilator short-acting 6 jam sebelumnya, long- acting β-agonis 12 jam sebelumnya, atau teofilin SR 24 jam sebelumnya.

2. Spirometri

FEV1harus diukur sebelum diberikan bronkodilator. Bronkodilator dapat diberikan dengan

metered-dose inhaler (MDI) atau nebulisasi. Dosis umumbiasanya 400mcg, β-agonis 160mcg, antikolinergik atau kombinasi keduanya. FEV1dapat diukur 10-15 menit setelah pemberian

β-agonis atau 30-45 menit setelah kombinasi diberikan. 3. Hasil

(8)

Peningkatan FEV1yang lebih besar dari 200 ml dan 12% di atas

 prebronchodilator FEV1 dianggap signifikan.

5. Penatalaksanaan PPOK a. Terapi Non-Farmakologis

1.

Berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk mengurangi risiko PPOK dan satu-satunya intervensi yang terbukti mempengaruhi penurunan FEV1  jangka panjang dan

memperlambat perkembangan PPOK.

2.

Program rehabilitasi paru termasuk latihan bersama dengan  berhenti merokok, latihan pernapasan, pengobatan medis yang optimal, dukungan  psikososial, dan pendidikan kesehatan. Tambahan oksigen, dukungan nutrisi, dan perawatan  psychoeducational (misalnya, relaksasi) adalah tambahan penting yang berarti dalam  program rehabilitasi paru.

3.

Vaksinasi tahunan dengan vaksin intramuskular influenza tidak aktif yangdirekomendasikan.

4.

Satu dosis vaksin pneumokokus polivalen diindikasikan untuk pasien  pada setiap usia dengan PPOK; vaksinasi ulang dianjurkan bagi pasien yang lebih tua dari 65 tahun jika vaksinasi pertama adalah lebih dari 5 tahun sebelumnya dan pasien lebih muda dari 65 tahun.

5.

Terapi oksigen jangka panjang. Penggunaan terapi oksigen dapat meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK dengan hipoksemia kronis.

 b. Terapi Farmakologis

Pemberian terapi farmakologis pada PPOK untuk terapi PPOK stabil perlu disesuaikan dengan keparahan penyakitnya. Pada gambar, disajikan panduan umum terapi PPOK berdasarkan keparahan penyakitnya menurut GOLD 2010.

Obat-obat yang digunakan adalah: 1. Bronkodilator

Bronkodilator merupakan pengobatan simtomatik utama pada PPOK. Obat ini bisa digunakan sesuai kebutuhan untuk melonggarkan jalan nafas ketika terjadi serangan, atau secara reguler untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala. Efek samping obat bronkodilator umumnya dapat diprediksi dan tergantung dosis. Jarang menimbulkan efek obat yang tidak

(9)

dikehendaki (adverse drug reaction), dan kalaupun terjadi umumnya segera hilang jika obat dihentikan.

Beberapa contoh bronkodilator untuk PPOK adalah sbb: Antikolinergik

Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil. Hal ini karena  persyarafan utama yang memediasi aksi bronkokonstriksi adalah saraf kolinergik, di mana  pada usia lanjut saraf adrenergik sudah mengalamai down regulasi dan berkurangnya sensitivitas. Mekanisme utama obat golongan antikolinergik adalah blokade pada reseptor muskarinik M3.

Simpatomimetik

Obat golongan simpatomimetik yang selektif terhadap reseptor adrenergik β -2 bersifat  bronkodilator dengan menstimulasi enzim adenil siklase untuk meningkatkan  pembentukan adenosine 3’,5’  monophosphate (3’,5’ -cAMP). cAMP akan menghambat aksi myosin light chain kinase, sehingga pada gilirannya akan mencegah terjadinya kontraksi otot polos bronkus. .

Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik

Penggunaan kedua obat ini secara kombinasi terutama sering digunakan jika  perkembangan penyakitnya meningkat atau gejalanya memburuk.

Metilxantin

Teofilin dan aminofilin dapat menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat phosphodiesterase monofosfat (sehingga meningkatkan cAMP), menghambat masuknya ion kalsium ke dalam otot polos.

2. Kortikosteroid

Secara teori, kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi dan mempunyai keuntungan pada penanganan PPOK yaitu: mereduksi permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, menghambat pelepasan enzim proteolitik  dari leukosit , dan menghambat prostaglandin.

3. Terapi Oksigen jangka panjang (long term)

Penggunaan oksigen berkesinambungan (>15 jam sehari) dapat meningkatkan harapan hidup  bagi pasien-pasien yang mengalami kegagalan respirasi kronis, dan memperbaiki tekanan

(10)

4. Antibiotik

Sebagian besar eksaserbasi akut PPOK disebabkan oleh infeksi, baik infeksi virus atau  bakteri. GOLD pada tahun 2010 merekomendasikan penggunaan antibiotika pada pasien- pasien yang:

a)

Dengan eksaserbasi akut dengan 3 tanda utama yaitu: peningkatan dyspnea (sesak nafas),  peningkatan volume sputum, dan peningkatan purulensi sputum, atau

 b)

Dengan eksaserbasi akut dengan 2 tanda utama, jika peningkatan purulensi sputum merupakan salah satunya, atau

c)

Dengan eksaserbasi parah yang membutuhkan ventilasi mekanik, baik invasif maupun non-invasif. Beberapa bakteri yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus parainfluenzae, dan Moraxella catarrhalis.

5. Imunisasi

Vaksin influenza terbukti dapat mengurangi gangguan serius dan kematian akibat PPOK sampai 50%. Vaksin influenza direkomendasikan bagi pasien PPOK usia lanjut karena cukup efektif dalam mencegah eksaserbasi akut PPOK. Pasien PPOK sebaiknya menerima satu atau dua kali vaksin pneumococcal   dan vaksinasi influenza per tahun untuk mengurangi insiden  pneumonia. Bila pasien terpapar pada influenza sebelum divaksinasi, maka dapat digunakan

obat antivirus amantadin dan rimantadin.

6. Mukolitik

Penggunaan mukolitik seperti ambroksol, karbosistein, dan gliserol teriodinasi telah diteliti  pada sejumlah studi dan menunjukkan hasil yang kontroversial. Meskipun mungkin  penggunaannya memberikan manfaat bagi sebagian pasien, tetapi secara keseluruhan manfaatnya sangat kecil. Karena itu, menurut GOLD 2010, penggunaannya tidak direkomendasikan berdasarkan bukti-bukti klinis yang ada.

7. Terapi Pengganti AAT (alpha anti trypsine)

Pada pasien dengan defisiensi AAT secara herediter, selain dengan mengurangi faktor risiko dan terapi simptomatik menggunakan bronkodilator, dapat ditambahkan terapi penggantian AAT (AAT replacement therapy). Terapi ini terdiri dari infus AAT secara rutin (mingguan) untuk memelihara kadar AAT plasma di atas 10 mikromolar. Regimen dosis yang direkomendasikan adalah 60 mg/kg yang diberikan secara intravena sekali seminggu dengan kecepatan 0.08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi pasien. Saat ini, contoh  produk yang tersedia adalah Prolastin, Aralast , dan Zemaira.

(11)

8. Terapi Pada Komplikasi PPOK: Cor Pulmonale

Pada keadaaan PPOK berat (tahap IV), pasien seringkali mengalami komplikasi akibat hipoksemia yang berkepanjangan, yaitu terjadinya vasokonstriksi kronis pada arteri  pulmonary yang menyebabkan terjadinya gagal jantung kanan atau cor pulmonale.

a. Terapi Oksigen

Terapi oksigen sangat penting pada pasien PPOK terutama bila diberikan secara terus-menerus.

b. Diuretik

Diuretik digunakan dalam terapi cor pulmonale, terutama jika volume pengisian ventrikel kanan meningkat tajam, dan juga pada pengelolaan edema yang terjadi. Obat diuretik dapat memperbaiki fungsi kedua belah ventrikel, kiri dan kanan, tetapi diuretik dapat menghasilkan efek samping hemodinamik jika tidak digunakan secara hati-hati.

c. Vasodilator

Obat vasodilator telah disarankan pada penatalaksanaan jangka panjang pada cor  pulmonale kronis dengan hasil sedang. Golongan penghambat kanal kalsium,

terutama nifedipin oral bentuk sustained-release dan diltiazem, dapat mengurangu tekanan pulmonar, walaupun obat-obat ini nampaknya lebih efektif pada hipertensi  pulmonar primer daripada sekunder.

d. Glikosida jantung

Penggunaan glikosida jantung seperti digoksin pada pasien cor pulmonalemasih kontroversial, dan manfaatnya tidak sebesar seperti pada penatalaksanaan gagal jantung kiri. Namun demikian, penelitian telah membuktikan bahwa digitalis memiliki efek sedang pada cor pulmonale. Obat ini harus dipakai dengan hati-hati, dan tidak boleh digunakan selama fase akutkarena dapat meningkatkan risiko terjadinya aritmia jantung.

e. Teofilin

Selain memiliki efek bronkodilatasi, teofilin dilaporkan dapat mengurangi vasokonstriksi  paru dan tekanan arteri pulmonary secara akut pada pasien PPOK dengan cor pulmonale.

Teofilin memiliki efek inotropik yang lemah, sehingga dapat meningkatkan ejeksi ventrikel kiri dan kanan. Teofilin dosis rendah juga dilaporkan dapat memberikan efek antiinflamasi sehingga dapat mengontrol penyakit paru seperti PPOK.

(12)

PEMBAHASAN KASUS

METODE SOAP DATA SUBJEKTIF

Umur

: 54 th

Jenis kelamin

: laki-laki

Riwayat penyakit

: Hipertensi, batuk berdahak

Riwayat Sosial

: - Perokok berat (perokok aktif)

-

Peminum bir

Keluhan Pasien

: Sesak napas sejak 4-5 tahun yang lalu, tidak sanggup berjalan lebih

dari 100 m tanpa istirahat dan berhenti dan batuk berdahak.

DATA OBJEKTIF

Dahak berwarna kekuningan

ASSESMENT

PLAN

Pengobatan :

1. Pengobatan farmakologi

a. Obat yang bisa melebarkan saluran pernafasan

 b. Obat yang bisa mengurangi peradangan dinding saluran nafas

c. Obat untuk mengencerkan dahak

d. Oksigen terapi

e. Pengobatan infeksi apabila

2. Pengobatan non farmakologi

a. Menghentikan kebiasaan merokok

 b. Meningkatkan toleransi paru dengan olahraga

c. Latihan pernapasan

(13)

d. Memperbaiki nutrisi

e. Edukasi penyakit yaitu menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah

kecepatan perburukan penyakit

DAFTAR PUSTAKA :

Anonim, 2003, Perhimpunan Dokter Paru Indoneia: Pedoman Diagnosis/Penatalaksanaan

Di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Anemia Defisiensi Besi Pada Kehamilan Dengan Bayi Berat Badan Lahir Rendah di RS Muhammadiyah Gresik Periode Januari – Desember 2009.. Fakultas

Status gizi ibu yang tidak optimal menjadi faktor risiko pertumbuhan janin menjadi terhambat sehingga berimplikasi terhadap kejadian berat badan lahir rendah.. Status gizi ibu

Selanjutnya Agustien (2016) membahas tentang Pemodelan Risiko Kejadian Bayi Berat Badan Lahir Rendah Berdasarkan Pendekatan Multivariate Adaptive Regression Spline

Selanjutnya Agustien (2016) membahas tentang Pemodelan Risiko Kejadian Bayi Berat Badan Lahir Rendah Berdasarkan Pendekatan Multivariate Adaptive Regression Spline

Angka kematian neonatal dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko seperti tingkat sosial ekonomi yang berhubungan dengan kelahiran berat bayi lahir rendah,

Keadaan ini akan tercipta keseimbangan energi.15 2.5 Faktor Risiko 2.5.1 Berat Bayi Lahir Rendah Bayi dengan lahir rendah akan berisiko mengalami berat badan berlebih di kemudian

Selain itu, bayi berat lahir rendah termasuk bayi prematur dapat lahir dan merupakan faktor risiko utama kematian bayi di daerah endemis malaria.13 ACT Artemisinin Combination

Anak dengan riwayat berat badan lahir rendah pada penelitian ini tidak ada yang memiliki motorik halus yang normal namun anak dengan riwayat berat badan lahir rendah yang motorik