• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETHICS AND HUMAN RIGHTS (ETIKA DAN HAM) Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk: Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ETHICS AND HUMAN RIGHTS (ETIKA DAN HAM) Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk: Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

i Paper ke-IX

ETHICS AND HUMAN RIGHTS (ETIKA DAN HAM)

Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:

Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia

Dosen:

Dr. EPI SUPIADI, M.Si

Dra. SUSILADIHARTI, M.SW

Oleh: HERU SUNOTO

NRP: 13.01.03

PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL

BANDUNG 2013

(2)

ii

KATA PENGANTAR

... دعبو ،نيعمجأ هبحصو هلآ ىلعو ،نيملأا هلوسر ىلع ملاسلاو ةلاصلاو ،نيملاعلا ّبر لله دمحلا Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ke-VII, paper tentang Ethics and Human Rights (Etika dan HAM) dengan referensi utama buku Jim Ife, “Human Right and Social Work” Bab VII untuk mata kuliah Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan HAM bisa selesai, pertemuan ke-VIII.

Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1, dan lebih khusus lagi dosen kami.

Bandung, 03 Oktober 2013 Heru Sunoto

(3)

iii DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I. PENDAHULUAN 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2

Hak dan etika

Etika dalam wacana konservatif-individualis Etika dalam modernis

Etika dan HAM Praktik yang beretika

BAB III. PEMBAHASAN 8

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 11

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

Ethics and Human Right (Etika dan HAM). Etika adalah sekumpulan pranata perilaku yang menunjuk pada “baik-buruk”, “benar-salah”. Etika lebih konkrit daripada Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah gagasannya, sedangkan etika adalah bagaimana cara memperoleh hak tersebut secara manusiawi, tidak mengganggu kepentingan orang lain, dan sebagainya. Pada pertemuan kedua Kuliah Value, Ethics, and Human Right in social work, kita sudah membahas tentang apa itu nilai dan etika. Di sana dinukilkan penjelasan para ahli tentang apa itu etika. Diantaranya, yang dinukil oleh Brenda L. DuBois, dalam bukunya: Social Work: an Empowering Profession.

Diantaranya, Levy, yang mendefinisikan bahwa etika berkaitan dengan standar perilaku yang menunjuk “benar-salah”, dan dalam etika profesi, maka etika adalah nilai dalam tindakan nyata.

Perilaku yang etis, sebagaimana yang dijelaskan oleh DuBois, adalah perilaku yang mengindahkan standar moral yang tinggi yang berlaku, dalam ranah praktik profesi, maka perilaku yang etis adalah jika praktik profesi mengindahkan standar praktik yang ditetapkan oleh kode etik profesi.

HAM adalah hak-hak yang melekat dan dimiliki manusia, siapapun, dan dimanapun tanpa melihat perbedaan identitas sosialnya.

Apakah etika dan HAM sama? Dalam profesi, apakah etika harus dibakukan sebagai standar praktik? Apakah kode etik praktik statis? Terkait dengan perjuangan manusia dalam mendapatkan kembali haknya, maka etika dan HAM adalah penting. Apakah keduanya sama? HAM mengalami perkembangan dari generasi pertama, kedua, ketiga, hingga postmodernis. Apa implikasinya kepada etika profesi? Hal inilah yang akan kita bahas pada paper kita kali ini.

(5)

2 BAB II ETIKA DAN HAM1

Salah satu karakteristik penting yang ada pada profesi adalah kode etik.2 Pekerjaan social, sebagai salah satu profesi, memiliki kode etik yang menjadi pengarah dalam praktiknya. Diskusi tentang kode etik, bagi peksos berguna untuk (i) pengembangan kode etik, (ii) revisi kode etik, khususnya ketika berhadapan dengan isu-isu etika dalam tataran praktik. Dan ini merupakan salah satu bagian dari praktik peksos.3

Kode etik, bagi pekerja social berfungsi untuk: (i) Memotivasi perilaku etis,

(ii) Membantu peksos yang berhadapan dengan dilemma etik yang sangat sulit,

(iii) Fungsi control dari perilaku yang tidak etis. Tentang ini, biasanya ada sanksi dari asosiasi profesi yang dijatuhkan kepada peksos yang berjalan tidak sesuai kode etik, dari misalnya, mencabut izin praktik, ataupun merekomendasikan untuk mengikuti pelatihan.4

HAK DAN ETIKA

Ada hubungan yang jelas antara kode etik dan gagasan HAM.5 Oleh karena itu, terkadang kode etik dianggap sama dengan hak. Beragam prinsip dan praktik diletakkan pada kode etik pekerjaan social untuk menegaskan adanya hak, misalnya: hak klien atau hak kelompok, hak pegawai peksos, hak kawan seprofesi peksos, dan lain-lain. Dari penjelasan ini, etika adalah pernyataan tentang pentingnya hak-hak tersebut (i) untuk dijelaskan, (ii) bagaimana direalisasikan dan (iii) dilindungi.

Sebaliknya, praktik peksos didasarkan pada gagasan fundamental dan “HAM yang tidak dapat dicabut” dari manusia yang menuntut perilaku etis dari peksos. Maka, hak dan etika dapat dilihat seperti dua sisi mata uang logam, saling berpengaruh dan terkait. Keduanya merupakan dua cara yang berbeda terhadap hal yang sama. Bahkan keduanya memiliki perbedaan yang penting tentang tekanan atau fokusnya. Salah satunya, disebut fungsi control kode etik profesi dan wacana tentang “etika”. Untuk wacana tentang hak, fungsi control kode etik memang terasa lemah, karena hanya mengikuti tuntan moral dan bukan

1

Diterjemahkan secara ringkas dari buku Human Right and Social Work, Bab VII, Jim Ife, revised ed, 2008.

2

Corey et.al. Issues and ethics in the Helping Profesions, 5th ed., 1998.

3 Clarck, Social work ethics Politics, Principles, and Practice, MacMillan, London, 2000. 4

Gaha, a Professional Code of ethics – an imperfect regulator, 1997.

5

(6)

3

karena takut sanksi. Meskipun, tentu saja ada sanksi yang legal terhadap pelaku pelanggaran HAM, misalnya, pengadilan, Komisi HAM, dan lain-lain.

ETIKA SEBAGAI WACANA INDIVIDUALIS YANG KONSERVATIF

Wacana tentang etika sebenarnya sangat individu. Etika adalah tentang seseorang yang membuat pilihan-pilihan etika untuk masalah tertentu. Hal ini cocok dengan ideology neo-liberal dan dengan realitas praktik peksos, karena peksos sering digambarkan dalam “praktik dengan individu dalam rangka membuat keputusan-keputusan yang juga buat individu.6 Tekanannya justeru ada pada peksos dan keputusan yang harus diambil.

Pada profesi lain, HAM sangat terkait dengan isu-isu kolektif, dimana hak bisa dilekatkan pada kelompok, meski pembuatan keputusan etis-nya ada pada bingkai pilihan individu. Wacara HAM juga telah bergeser perhatiannya, dari peksos ke individu atau ke kelompok dimana peksos berinteraksi. Singkatnya adalah, pembuatan keputusan secara etis ada pada peksos, sedangkan hak melekat pada klien.

Ketika etika dan hak berlaku pada satu masalah yang sama, maka ada dua wacana berbeda yang mendorong kita untuk memahaminya dalam 2 cara berbeda:

(i) Instrospektif dan refleksi diri, dan (ii) Fokus pada keadaan luar.

Dilema peksos pada sisi etika adalah ia memiliki peran membuat keputusan. Ini tidak jelas bagi klien. Di sisi lain, menurut perspektif HAM, klien diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk aktif dalam proses pengambilan keputusan tentang dirinya. Ini yang pernah kita bahas pada bab terdahulu tentang pemandulan atau penguatan potensi klien. Ini bukanlah maksudnya untuk mengatakan bahwa peksos yang concern dengan pengembangan dan penguatan kode etika, tidak berarti tidak bekerja dari motivasi yang terbaik, namun praktik terkadang secara halus menguatkan konservatif dan melemahkan kerangka praktik peksos. Ini bisa terjadi, meski bukan itu yang diniatkan oleh peksos dalam praktik di lapangan.

ETIKA SEBAGAI MODERNIS

Sebuah kode etik ditetapkan dengan maksud untuk mengembangkan peran secara “tepat” bagi praktik profesi yang beretika, tentang (i) apa yang bisa dikerjakan dan (ii) apa yang tidak bisa diterima. Yang berbahaya dari pendekatan ini adalah, ia menjadi “kebenaran” bagi pekerjaan social. Kode etik adalah laksana “satu model ideal tapi tunggal” pada praktik

6

(7)

4

profesi, dan seorang peksos dipaksa (antara dorongan modal dan sanksi) untuk mengambil model ini. Ini merupakan pendekatan yang menyatukan beragam dan kompleksnya peran dan aksi peksos menjadi satu cara praktik ideal yang tunggal.7 Ini artinya menyatukan segala hal yang bervariasi dan kompleks menjadi satu system. Tujuannya, agar mudah difahami dan dilaksanakan. Ini begitu menancap dalam modernitas, meski hampir dipertanyakan, kecuali bagi beberapa filosof yang gampang untuk menyisihkan dan menyebutnya keliru, hingga muncul sejumlah kritik yang menyebut sebagai proyek modernitas, oleh postmodernisme.8

Postmodernisme menyatakan bahwa pencarian untuk menemukan otoritas tunggal atas segala hal adalah tidak mungkin tercapai/sia-sia, dan hasil dari penyisihan beragam suara yang menguasai pandangan dunia. Kritikan dari Postmodernisme, dalam beragam bentuknya, mungkin gampang dihargai dalam filsafat dan ilmu social. Namun, tidak selalu ditekankan pada konstruksi arus-utama fenomena social. Kebijakan sosial, misalnya, pada umumnya bertekad menemukan cara terbaik untuk menjalankan sistem jaminan sosial, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Dari perspektif postmodernis, pencarian tersebut akan selalu gagal, karena postmodernisme memandang “kita bisa menempuh beragam cara “yang benar” untuk dilakukan, tergantung konteks, budaya, sejarah, dan konstruksi yang terus berubah dan gambaran kenyataan oleh orang-orang yang terlibat. Etik sebagian besar masih terjebak dalam paradigma modernis. Oleh karena itu, mulai disadari, peksos mulai menerima Postmodernisme9, meskipun bagaimana hal ini bisa masuk dalam praktik, masih perlu dibahas kembali.

Inilah tantangannya, yaitu merumuskan gagasan etika peksos menjadi sesuatu yang lebih konsisten dengan filsafat postmodern. Dunia postmodern ditandai oleh (i) kurangnya kepastian dan jaminan, (ii) keberagaman dan multi-realitas, dan bukan pernyataan kategoris “benar-salah” yang tersirat dalam banyak kode etik peksos.

Cara lain dimana kode etik konvensional yang pada dasarnya modernis, adalah ia berupaya untuk menjangkau segala hal dan memberikan “buku saku” bagi pekerja sosial yang akan membantu klien dalam beragam situasi sulit. Siswa peksos, misalnya, sering diberi kode etik dan diminta untuk menggunakannya untuk “memecahkan” masalah. Asumsinya, jika kode etik digunakan dengan benar, maka akan memberikan jawaban yang “benar”, apapun masalahnya. Sekali lagi, keyakinan tersebut adalah modernitas klasik. Asumsi ini, menurut

7 Touraine 1995; Griffin 1996; Jenkins 1999. 8

Harvey 1989; Seidman 1994; Kumar 1995.

9

(8)

5

postmodernisme, tidak masuk akal. Praktek di dunia nyata jauh lebih rumit dan berantakan daripada kandungan kode etik modernis10.

Kritik berikutnya adalah mereka mampu melakukan fungsi control atas profesi dengan kode etik tersebut. Padahal, sebuah kode etik, pasti ditulis hanya oleh beberapa pekerja sosial, lalu diberlakukan kepada pekerja sosial lain. Oleh karena itu, timbul pertanyaan: siapa yang menulis kode etik, siapa yang menyetujuinya, siapa yang memberlakukan dan bagaimana. Semua ini pada dasarnya aktivitas politik yang mencerminkan ideologi praktek. Hal ini, memang diam-diam, diakui sehingga muncul kode etik alternatif:

(i) Kode etik bagi pekerja sosial yang radikal, (ii) Kode etik untuk pekerja sosial pribumi,

(iii) Kode etik untuk para pekerja sosial dalam banyak setting, dan sebagainya.11 Ini artinya pekerjaan social tidak bisa hanya dibingkai oleh satu kode etik.

Solusi dari postmodernisme adalah perlunya legitimasi kode etik yang multiply (bisa digunakan dalam beragam segmen), dengan cara menyusun dan kemudian disusun kembali, secara terus menerus, oleh beragam peksos sejalan meningkatnya kebutuhan. Ini, kayaknya, lebih mencerminkan praktik yang realistis.

ETIKA DAN HAM

Sesuatu yang penting tentang kode etik profesi bukanlah pada kode etik itu sendiri. Namun, apa muatan moral yang ada di dalamnya. Inilah moralitas pekerjaan social dan action peksos pada isu-isu yang dihadapinya. Kode etik sebagai alat ukur dan alat evaluasi. Moralitas harus dibedakan dengan kode etik. Berakhirnya masa kode etik tidak harus diikuti dengan berakhirnya moralitas. Etika adalah perwujudan dari moralitas, tapi tidak mesti hanya berupa satu jenis etika saja. Dan dalam postmodernisme, kita harus terus mencari melalui wacana tentang moral, sebagaimana kita mengupas HAM.12

Seorang peksos akan dituntut akuntabilitasnya, tidak hanya dari parameter prinsip nilai dan prinsip moral profesi saja, tapi juga prinsip nilai, etika, dan moral klien, baik individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat.13

HAM adalah cara dimana kita berusaha mendefinisikan tentang bagaimana hidup bersama dan menyediakan lingkungan yang kondusif bagi setiap anggotanya untuk

10

Parton & O'Byrne 2000.

11 Loewenberg et.al, 2000. 12

Hershock, 2000.

13

(9)

6

mewujudkan potensi kemanusiaannya.14 Dari perspektif ini, prinsip moral peksos yang didasarkan pada HAM, bisa dinyatakan secara singkat dalam 2 hal:

 Melakukan sesuatu, ini untuk menegaskan dan merealisasikan HAM semua orang  Tidak melakukan sesuatu, ini untuk membatasi, menolak, dan melanggar HAM orang

lain.

Jadi, mendefinisikan HAM dalam perspektif yang otoriter, tidak mungkin, dan secara modernis menjadi sesuatu yang baku, ini tidak berkembang. Tapi, gagasan tentang hak, yang dikonstruksikan melalui wacana, mampu membentuk alternative dasar dan pendekatan yang kuat bagi moralitas dalam praktik peksos.

PRAKTIK YANG BERETIKA

Meski penggunaan kode etik formal sudah mulai tidak relevan pada era postmodernisme, namun gagasan tentang etika tetap diperlukan. Penggunaan kode etik, di lapangan, cenderung untuk membatasi “kekuatan yang sedang berkuasa”, padahal fungsi peksos adalah juga harus concern dengan isu kekuasaan dan empowering, sehingga bisa membatasi “keserakahan” kekuasaan untuk kemudian membantu kelompok yang lemah. Secara khusus, bagi seorang peksos, gagasan etika profesi berimplikasi pada kekuatan profesi untuk berpraktik “menyiksa”. Maka, penting untuk mengatakan “berpraktik yang beretika” dapat difahami dalam “praktik yang bermoral”, menggunakan pemahaman HAM sebagai referensinya. Prinsip untuk membentuk landasan bagi koridor praktik yang beretika adalah selalu berusaha:

(i) Memaksimalkan dalam merealisasikan HAM (ii) Perlindungan HAM

(iii) Jangan pernah melanggar HAM orang lain.

Fokus utama kode etik peksos adalah seorang peksos menghormati HAM siapapun. Ada level yang lebih tinggi bagi praktik peksos yang beretika, yaitu:

(i) Memastikan pemenuhan HAM secara maksimal,

(ii) Melihat HAM semua orang dan memastikan terpenuhi dan terlindungi.

Tidak sekedar “berusaha memberikan pelayanan yang sebaik mungkin”. Hal-hal ini diletakkan pada segmen ekonomi, social, budaya, politik, dan sebagainya.

14

(10)

7

Piranti berikutnya sebagai pertimbangan praktik yang beretika, adalah pemahaman tentang hak kolektif (hak yang menjadi milik bersama). Hal ini perlu ditekankan, karena ranah praktik peksos tidak hanya individu dan keluarga --ini perspektif Barat. Pemahaman tentang hak kolektif, juga mengharuskan pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak kolektif, melampaui hak-hak pribadi. Contoh: dalam perpektif kemiskinan, menolak pembangunan ekonomi mungkin akan berimplikasi kepada individu. Isu ini bisa disasar dengan pendekatan hak kolektif melalui:

(i) Level masyarakat/komunitas,

(ii) Pembuatan atau advokasi kebijakan, (iii) Aksi politik,

(iv) Aksi social.

Orang-orang yang hanya mencukupkan diri pada ranah casework, saja, adalah terlalu conservative dan tidak beretika. Jika hak kolektif kita perluas, maka peksos juga harus masuk pada isu lingkungan. Inilah perbedaan bentuk perhatian peksos, bahkan ada pandangan apabila peksos tidak masuk pada fokus ini, maka ia akan disebut berpraktik secara tidak beretika.

Apa ukuran beretika dan tidak beretika? Perpektif HAM memiliki kerangka bagi peksos untuk mendesain ulang moralitas, mengubah dari mainset konservatif-individualis, praktik selama ini, dan berganti pada paradigm HAM. Hal ini setahap demi setahap memang harus dimulai, apalagi ketika terjadi krisis Negara, globalisasi dan beragam masalah yang mengharuskan peksos melihat isu global sebagai masalah manusia.

Implikasi dari hal ini adalah:

(i) Konstruksi beretika-tidak beretika, adalah dari fokus individual ke “melibatkan pihak lain” dalam penanganan masalah, semisal berorientasi pada komunitas. Jadi yang terfikir bukanlah “apa yang harus saya lakukan”, tapi “dengan siapa saya bisa bekerja sama”. (ii) Fokus ranah praktik pasti bergerak dari ranah individual ke HAM. Konsentrasi pada

casework, direct-practice, therapy saja, tidak bisa mencapai tujuan praktik peksos, tapi harus didasarkan pada HAM. Peksos harus punya link dengan community-work, pengembangan kebijakan, aksi social, dan pendekatan makro lainnya.

(11)

8 BAB III PEMBAHASAN ETIKA DAN HAM

Bagi manusia, ethics and human right (etika dan HAM) adalah dua sisi mata uang. Hal ini karena, manusia harus beretika ketika bergaul dengan sesame, ketika ia harus memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mendapatkan hak asasinya sebagai manusia (HAM).

Etika adalah sekumpulan pranata perilaku yang menunjuk pada “baik-buruk”, “benar-salah”. Etika lebih konkrit daripada Hak Asasi Manusia (HAM). HAM adalah gagasannya, sedangkan etika adalah bagaimana cara memperoleh hak tersebut secara manusiawi, tidak mengganggu kepentingan orang lain, dan sebagainya.

Pada pertemuan kedua Kuliah Value, Ethics, and Human Right in social work, kita sudah membahas tentang apa itu nilai dan etika. Di sana dinukilkan penjelasan para ahli tentang apa itu etika. Diantaranya, yang dinukil oleh Brenda L. DuBois, dalam bukunya: Social Work: an Empowering Profession.

Apa Kata Mereka Tentang Etika?

Pada kelompok modernis, ada dua orang yang pertama berbicara tentang nilai dan etika serta bagaimana mengimplementasikannya. Keduanya adalah John Stuart Mill dan Jeremy Bentham. Etika, menurut keduanya, etika dibangun di atas landasan untuk “meraih kebahagiaan”. (Bentham, 1789, JH. Mill 1848, dalam Adam Bernard15).

Menurut Adam Bernard, ada empat ranah nilai dan etika pekerjaan sosial16, yaitu:

 Yang pertama adalah bidang abstrak, yaitu filsafat moral. Ia menjadi latar belakang untuk memperdebatkan etika dalam pekerjaan sosial.

 Yang ke dua adalah undang-undang. Ia menciptakan konteks untuk praktek peksos, dan memberikan respon hukum untuk masalah peksos tertentu dan kasus.

 Yang ke tiga adalah ideologi politik. Cara ini terbentuk pada model peksos, metode dan praktik.

 Yang ke empat adalah pekerjaan sosial sebagai profesi dan perjuangan untuk memperoleh identitas profesional. Hal ini telah dilakukan oleh para pekerja sosial.

Reamer, dalam bukunya, Social Work Values and Ethics17, ketika menjelaskan sejarah munculnya nilai-nilai dasar dalam pelayanan sosial, mengatakan bahwa etika menjadi

15

Adam Barnard (2008): The Value Base of Social Work and Social Care, Mc.Graw-Hill Companies, hal 9.

16

(12)

9

pertimbangan apa yang harus dilakukan dalam “misi peduli dengan sesama”; perkembangan nilai dan etika pekerjaan sosial mengalami empat tahap:  Periode moralitas,

 Periode nilai;

 Periode teori etika dan periode pengambilan keputusan, dan  Periode standar etika dan periode manajemen risiko.

Etika adalah menunjuk pada perilaku yang pantas-tidak pantas. Etika bisa juga didefinisikan sebagai studi tentang benar-salah dan bagaimana seseorang mengambil keputusan dalam situasi yang dihadapinya terkait mana yang benar dan mana yang salah tersebut.18

Diantaranya, Levy, yang mendefinisikan bahwa etika berkaitan dengan standar perilaku yang menunjuk “benar-salah”, dan dalam etika profesi, maka etika adalah nilai dalam tindakan nyata.19 Levy menyatakan dalam penjelasan lain, the application of values to human relationships and transactions (pelaksanaan dari nilai sebagai akibat dari hubungan dan transaksi antar sesama manusia).20

Perilaku yang etis, sebagaimana yang dijelaskan oleh DuBois, adalah perilaku yang mengindahkan standar moral yang tinggi yang berlaku. Dalam ranah praktik profesi, maka perilaku yang etis adalah jika praktik profesi mengindahkan standar praktik yang ditetapkan oleh kode etik profesi.

Etika Profesi

Etika profesi adalah aturan yang membimbing pekerja sosial atau profesional lainnya dalam pilihan yang mereka ambil dalam kapasitas profesionalnya.21

Berdasarkan hal ini, etika profesi adalah penting. Penting dalam menjadi arahan perilaku sehingga aktivitas profesionalnya bisa sistematis, maksimal, dan akuntabel. Etika profesi, bagaimanapun sempurnanya saat ini, tetaplah ia merupakan etika. Dan etika, sebagaimana kita tahu adalah turunan dari nilai, yang pasti memiliki keterbatasan, baik ruang dan waktu. Maka, perlu untuk terus dilakukan diskusi dan kajian untuk selalu selaras dengan waktu dan kebutuhan terkini. Hal ini pasti karena bersinggungan dengan HAM.

17

Idem, hal 10.

18

Allan Edward Barsky (2010): Ethics and Value in Social Work, Oxford, hal 3.

19 Dubois, Social Work: an Empowering Profession. 20

Allan E. Barsky, hal 3.

21

(13)

10 Apa itu HAM?

HAM adalah hak-hak yang melekat dan dimiliki manusia, siapapun, dan dimanapun tanpa melihat perbedaan identitas sosialnya.

HAM sebagaimana kita pernah bahas, telah mengalami perkembangan. Perkembangan ini sebagai efek dari perjuangan merebut kembali hakya yang tercabut akibat beragam “sikap dunia” terhadap kalangan tertentu, baik yang tidak beruntung maupun termarjinalkan. Perkembangan HAM dari generasi pertama, kedua ketiga, hingga postmodernisme, menyiratkan bahwa hak asasi selalu meluas sejalan dengan perkembangan manusia, meski inti dari HAM itu adalah keluhuran martabat manusia. Implementasi dari keluhuran martabat manusia itulah core dari HAM.

Kaitannya dengan etika, kode etik profesi, dan perilaku yang etis, serta perilaku profesi yang juga etis, maka HAM lebih luas daripada etika atau kode etik profesi. Ham adalah wacana tentang keluhuran martabat manusia, sedangkan etika adalah perwujudan dari HAM dalam bagaimana mengimlementasikannya agar harmonis dengan yang lain. Maka, etika pasti memiliki keterbatasan ruang dan waktu.

Fokus pada etika profesi, yang diyakini sebagai piranti legal bagi profesi peksos untuk berperilaku dalam melayani 3 segmen layanan: mikro, mezzo, dan makro, harus kuat teryakini secara professional. Ini dengan tetap melakukan pencarian, diskusi, dan kajian tentang kemungkinan pengembangan etika profesi ke dalam kajian yang lebih luas dan menyempurna.

Kode etik profesi peksos yang dimiliki IPSPI hanya merupakan copy-paste dari NASW yang jika ditilik secara zaman, maka itu sudah terlalu lama berlalu. Apalagi NASW sendiri pertama kali membuat kode etik adalah pada tahun 1960, 5 tahun setelah dibentuk22. Dan beberapa kali memperbaharui kode etiknya, terakhir sepanjang yang saya tahu adalah pada tahun 1996. Kedua, kita juga butuh etik yang sangat Indonesia. Maka, re-aktualisasi kode-etik peksos Indonesia adalah sangat perlu, mendesak dan darurat. Ketiga perkembangan kemanusiaan di Indonesia juga menuntut re-aktualisasi kode-etik, ranah peran, dan metode-teknik-pendekatan peksos.

Benar sekarang sudah ada UU tentang HAM, tetapi itu adalah ranah yang sangat umum. Maka, berbagai lembaga terkait, semisal Kementerian Sosial sebenarnya sangat berkepentingan dalam pemajuan peksos, dalam hal ini memformat kode etik profesi peksos yang sangat Indonesia. Demikian juga berbagai lembaga NGO, IPSPI sendiri bahkan.

.***

22

(14)

11 BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut:

Etika adalah pranata perilaku, hasil dari bagaimana manusia berhubungan dengan sesama. Dalam konteks profesi, etika profesi adalah pranata perilaku yang wajib digunakan profesi, dalam hal ini peksos, untuk bekerja bersama klien. Klien dalam 3 segmen layanan, mikro, mezzo, dan makro, termask kebijakan dan politik.

HAM adalah apa yang dipandang luhur oleh manusia sebagai penghargaan martabat manusia yang juga luhur. HAM sangat fundamental bagi manusia, ranah penting yang “baru” bagi pekerjaan social. Ia wujud perjuangan manusia meraih kembali hak-haknya.

Etika profesi peksos harus next to date, bisa menjawab masalah yang akan datang, khususnya isu HAM. Meski penetapan kode etik profesi itu penting --alat ukur dan evaluasi praktik layanan— tetapi tidak boleh eksklusif. Ia harus inklusif, bisa menerima kritik dan saran, bisa dikembangkan sejalan dengan ruang dan waktu. Inilah perlunya kaji ulang dan diskusi atas seluruh piranti peksos sebagai profesi.

Klien memiliki HAM sebagaimana manusia pada umumnya. HAM itu harus dihargai pertama sekali oleh peksos sebelum ia membantunya. Diantara adalah dengan “tidak memaksakan” etika profesi yang ternyata sudah tidak selaras dengan isu-isu HAM.

SARAN

1. Pekerja Sosial harus memahami etika, etika profesi, dan HAM beserta rinciannya pada satu sisi dan kewajiban manusia pada sisi lainnya, sehingga bisa secara proper dalam praktik.

2. Etika profesi sangat localized sedangkan HAM sangat universal, maka peksos disarankan untuk bisa melakukan korelasi mutualistic antara etika profesi dan agenda HAM yang menjadi hak klien dalam ranah mikro, mezzo, dan makro.

3. Para stakeholder, seperti Kementerian Sosial RI dan termasuk IPSPI, NGO-NGO, perlu untuk secara regular duduk bersama, melakukan re-definisi, dan re-aktualisasi etika profesi yang “meng-Indonesia” sehingga next to date terhadap permasalahan yang akan datang, khususnya terkait isu-isu HAM.***

(15)

12

DAFTAR PUSTAKA

Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge Univercity Press, 2008;

_______, Human Right form Below, Cambridge University Press, UK, 2009

Brenda L. Dubois and Karla Krogsrud Miley, (1995): Social Work: an Empowering Profession;

Lester Parrott, (2010): Value and Ethics in Social Work Practice, 2nd Ed. Learning Matters Ltd.;

Adam Barnard (2008): The Value Base of Social Work and Social Care, Mc.Graw-Hill Companies;

Allan Edward Barsky (2010): Ethics and Value in Social Work, Oxford;

Ben-Zion Cohen (1987): The Ethics of Social Work Supervision Revisited, NASW;

Frederick G. Reamer (1998): The Evaluation of Social Work Ethics, Rhode Island College; Ian O’Connor, et.all (2006): Social Work and Social Care, Sage Publication

Kimberly Strom-Gottfried (2008): Comprehensive Handbook of Social Work and Social Welfare: Values and Ethics for Professional Social Work Practice, Wiley and Sons. Inc.

Referensi

Dokumen terkait

Kaitannya dengan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan sekarang yaitu penelitian sebelumnya menganalisis tentang penguasaan reduplikasi bahasa

Seminar Nasional Teknik Kimia “ Kejuangan ” yang diselenggarakan pada tanggal 17 Maret 2016 merupakan seminar ke-16 yang diselenggarakan oleh Program Studi

Target khusus dalam penelitian ini adalah memberikan informasi khusus bagi guru pendidikan jasmani “bagaimana tingkat Kemampuan Motorik Kasar Siswa Sekolah Dasar

Rata-rata rugi daya yang direduksi dan kenaikan tegangan pada masing-masing phasa dengan pemasangan kapasitor daya (Tabel 4,5 dan 6) nilainya cukup kecil hal ini

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Return On Asset, Debt to Equity Ratio, dan Earning Per Share Terhadap Harga Saham Perusahaan LQ 45 yang terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI)”

Berdasarkan permasalahan yang ada dan beberapa penelitian yang membahas penerapan algoritma Rabin- Karp, maka peniliti bermaksud untuk melakukan penelitian dalam

Semakin banyak kapang yang tumbuh pada substrat maka kadar karbohidrat akan semakin menurun, karena kapang Rhizopus oryzae akan mengeluarkan

Penelitian ini bertujuan untuk :pertama mengetahui kelayakan usahatani padi di Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar; keduauntuk mengetahui bagaimana dan seberapa