• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORETIS. suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain (Notoatmodjo,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORETIS. suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain (Notoatmodjo,"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORETIS

A. Imunisasi

1. Definisi Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten, anak di imunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain (Notoatmodjo, 2007, hlm.43).

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak (Supartini, 2004, hlm.173).

2. Tujuan, dan Manfaat Imunisasi a. Tujuan Imunisasi

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi)

atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar

variola. Keadaan yang terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis penyakit yang hanya

dapat ditularkan melalui manusia, seperti penyakit difteria (Matondang, C.S, & Siregar, S.P, 2008, hlm.10).

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini penyakit-penyakit

(2)

tersebut adalah difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio, dan tuberkulosis (Notoatmodjo, 2007, hlm.46).

Tujuan imunisasi di Indonesia untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) (Depkes, 2006).

b. Manfaat Imunisasi

Manfaat imunisasi tidak hanya dirasakan oleh pemerintah dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, tetapi juga dirasakan oleh : 1) Untuk anak : mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan cacat atau kematian. 2) Untuk keluarga : menghilangkan kecemasan dan biaya pengobatan yang akan dikeluarkan bila anak sakit. Hal ini mendorong penyiapan keluarga yang terencana, agar sehat dan berkualitas. 3) Untuk negara : memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat untuk melanjutkan pembangunan negara dan memperbaiki citra bangsa.

3. Jadwal Pemberian Imunisasi

Tabel 2.1

Jadwal Pemberian Imunisasi di Indonesia

Usia Vaksin Tempat

Bayi lahir dirumah

0 bulan HB 1 Rumah

1 bulan BCG, Polio 1 Posyandu

2 bulan DPT/HB Combo 1, Polio 2 Posyandu 3 bulan DPT/HB Combo 2, Polio 3 Posyandu 4 bulan DPT/HB Combo 3, Polio 4 Posyandu

(3)

Bayi lahir di RS/Praktek Bidan

0 bulan Hep B 0, BCG, Polio 1 RS/Praktek Bidan 2 bulan DPT/HB Combo 1, Polio 2 RS/Praktek Bidan 3 bulan DPT/HB Combo 2, Polio 3 RS/Praktek Bidan 4 bulan DPT/HB Combo 3, Polio 4 RS/Praktek Bidan

9 bulan Campak RS/Praktek Bidan

4. Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) a. Difteri

Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium

Diphtheriae. Penyebarannya adalah melalui kontak fisik dan pernafasan. Daya tular

penyakit ini tinggi. Gejala awal penyakit adalah : gelisah, aktifitas menurun, radang tenggorokan, hilang nafsu makan dan demam ringan. Dalam 2-3 hari timbul selaput putih kebiru-biruan pada tenggorokan dan tonsil. Komplikasi difteri berupa gangguan pernafasan yang berakibat kematian (Depkes, 2009, hlm.12).

Penyakit ini pertama kali diperkenalkan oleh Hyppocrates pada abad ke-5 SM dan epidemi pertama dikenal pada abad ke-6 oleh Aetius. Seorang anak dapat terinfeksi difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan menyebabkan destruksi jaringan setempat dan terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbat jalan nafas. Toksin yang terbentuk pada membran tersebut kemudian diabsorbsi ke dalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Penyebaran toksin ini berakibat komplikasi berupa miokarditis dan

neuritis, serta trombositopenia dan proteinuria (Tumbelaka, A.R & Hadinegoro, S.R,

(4)

b. Pertusis

Pertusis disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari adalah penyakit pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh Bordetella Pertussis. Penyebaran pertusis adalah melalui percikan ludah yang keluar dari batuk atau bersin. Gejala penyakit adalah pilek, mata merah, bersin, demam, dan batuk ringan yang lama-kelamaan batuk menjadi parah dan menimbulkan batuk menggigil yang cepat dan keras. Komplikasi pertusis adalah Pneumania Bacterialis yang dapat menyebabkan kematian (Depkes, 2009, hlm.12). Sebelum ditemukan vaksinnya, pertusis merupakan penyakit tersering yang menyerang anak dan merupakan penyebab kematian (diperkirakan sekitar 300.000 kematian terjadi setiap tahun). Pertusis merupakan penyakit yang bersifat

toxin-mediated toxin yang dihasilkan melekat pada bulu getar saluran nafas atas akan

melumpuhkan bulu getar tersebut sehingga menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan, berpotensi menyebabkan sumbatan jalan nafas dan pneumonia (Tumbelaka, A.R & Hadinegoro, S.R, 2008, hlm.144).

c. Tetanus

Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh Clostridium Tetani yang menghasilkan neurotoksin. Penyakit ini tidak menyebar dari orang ke orang, tetapi melalui kotoran yang masuk kedalam luka yang dalam. Gejala awal penyakit adalah kaku otot pada rahang, disertai kaku pada leher, kesulitan menelan, kaku otot perut, berkeringat, dan demam. Pada bayi terdapat juga gejala berhenti menetek antara 3 sampai dengan 28 hari setelah lahir. Gejala berikutnya adalah kejang yang hebat dan tubuh menjadi kaku (Depkes, 2009, hlm.13). Tetanus dapat ditemukan pada anak-anak, juga dijumpai kasus tetanus neonatal yang bersifat fatal. Komplikasi tetanus yang sering

(5)

terjadi antara lain laringospasme, infeksi nosokomial dan pneumonia ostostatik (Tumbelaka, A.R & Hadinegoro, S.R, 2008, hlm.147).

d. Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa disebut juga batuk darah. Penyakit ini menyebar melalui pernafasan lewat bersin atau batuk. Gejala awal penyakit adalah lemah badan, penurunan berat badan, demam, dan keluar keringat pada malam hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus-menerus, nyeri dada dan mungkin batuk darah. Gejala lain tergantung pada organ yang diserang. Komplikasi tuberkulosis dapat menyebabkan kelemahan dan kematian (Depkes, 2009, hlm.13).

e. Campak

Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Myxovirus viridae measles. Disebarkan melalui udara (percikan ludah) sewaktu bersin atau batuk dari penderita. Gejala awal penyakit adalah demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, konjunctivitis (mata merah) selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke tubuh dan tangan serta kaki. Komplikasi campak adalah diare hebat, peradangan pada telinga, dan infeksi saluran nafas (pneumonia). Prioritas utama untuk penanggulangan penyakit campak adalah melaksanakan program imunisasi lebih efektif (Depkes, 2009, hlm.13).

f. Poliomielitis

Poliomielitis adalah penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu

dari tiga virus yang berhubungan, yaitu virus polio tipe 1, 2 atau 3. Secara klinis penyakit polio adalah anak di bawah umur 15 tahun yang menderita lumpuh layu akut

(6)

(tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan dimulai dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada minggu pertama sakit. Komplikasi poliomielitis adalah kematian bisa terjadi karena kelumpuhan otot-otot pernafasan terinfeksi dan tidak segera ditangani (Depkes, 2009, hlm.13).

Kata polio (abu-abu) dan myelon (sumsum), berasal dari bahasa Latin yang berarti medulla spinalis. Infeksi virus mencapai puncak pada musim panas, sedangkan pada daerah tropis tidak ada bentuk musiman penyebaran infeksi. Virus polio sangat menular, pada kontak antarrumah tangga (yang belum diimunisasi) derajat serokonversi lebih dari 90% (Suyitno, 2008, hlm.157).

g. Hepatitis B

Hepatitis B adalah penyakit kuning yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati. Penularan penyakit secara horizontal yaitu dari darah dan produknya melalui suntikan yang tidak aman melalui tranfusi darah dan melalui hubungan seksual. Sedangkan penularan secara vertikal yaitu dari ibu ke bayi selama proses persalinan. Gejalanya adalah merasa lemah, gangguan perut, dan gejala lain seperti flu. Warna urin menjadi kuning, tinja menjadi pucat. Warna kuning bisa terlihat pula pada mata ataupun kulit. Komplikasi hepatitis B adalah bisa menjadi hepatitis kronis dan menimbulkan pengerasan hati (Cirrhosis Hepatis), kanker hati (Hepato Cellular Carsinoma), dan menimbulkan kematian (Depkes, 2009, hlm.14). Infeksi virus hepatitis B menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Saat ini terdapat 350 juta penderita kronis dengan 4 juta kasus baru/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan dalam 10-20 tahun akan menjadi sirosis dan atau karsinoma hepatoseluler. Oleh karena itu, kebijakan utama tata laksana virus hepatitis B adalah memotong jalur transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir

(7)

merupakan upaya yang paling efektif dalam menurunkan prevalens virus hepatitis B dan karsinoma hepatoseluler (Pujiarto, P.S & Hidayat, B, 2008, hlm.135).

Tahun 1992 Hepatitis B dimasukkan kedalam program imunisasi. Tahun 1995 imunisasi hepatitis B diberikan kepada semua bayi di negara endemis tinggi. Tahun 1997 imunisasi hepatitis B diberikan kepada semua bayi disemua negara diseluruh dunia. Imunisasi Hepatitis B harus diberikan pada bayi 0-7 hari karena : 3-8 % ibu hamil merupakan pengidap (carrier), 45,9 % bayi tertular saat lahir dari ibu pengidap, penularan pada saat lahir hampir seluruhnya berlanjut jadi hepatitis menahun. Pemberian imunisasi HB sedini mungkin akan melindungi 75 % dari yang tertular (Depkes, 2006, hlm.14).

5. Jenis-jenis Vaksin Dalam Program Imunisasi a. Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)

Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak

virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin yang dipakai di Indonesia adalah vaksin BCG buatan PT Biofarma Bandung. Vaksin BCG berisi suspensi Mycobacterium

bovis hidup yang sudah dilemahkan (Rahajoe, 2008, hlm.132).

1) Vaksin BCG strain Paris no 1173. P2

Vaksin BCG bentuk beku kering yang mengandung Mycobacterium bovis hidup yang sudah dilemahkan dari strain Paris no. 1173. P2 dengan kemasan ampul, beku kering, 1 box berisi 10 ampul vaksin. Setiap 1 ampul vaksin dengan 4 ml pelarut NaCl 0,9% = 80 dosis. Setelah dilarutkan dengan 4 ml pelarut NaCL 0,9% mengandung basil BCG hidup 0,75 mg, Natrium Glutamat 1,875 mg dan Natrium Klorida 9 mg. Vaksin yang sudah dilarutkan harus digunakan sebelum lewat 3 jam (Depkes, 2009, hlm.26).

(8)

2) Vaksin BCG strain Danish 1331

Vaksin BCG SSi adalah vaksin hidup bentuk beku kering yang mengandung

mycobacterium bovis strain Danish 1331 yang sudah dilemahkan. Dengan kemasan vial,

beku kering, 1 box berisi 10 vial vaksin, setiap 1 vial vaksin dengan 1 ml pelarut Saution SSi untuk 20 dosis. Setelah dilarutkan dengan 1 ml pelarut Saution SSi vaksin mengandung mycobacterium bovis Danish Strain 1331. Vaksin yang sudah dilarutkan harus digunakan sebelum lewat 4 jam (Depkes, 2009, hlm.28).

BCG disuntikkan secara intrakutan didaerah lengan kanan atas (Insertion

musculus deltoideus), dengan menggunakan alat suntik dosis tunggal yang steril dan

jarum suntik no.26 G. Indikasi BCG untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberkulosa. Kontraindikasi : menderita HIV, menderita gizi buruk, menderita demam tinggi, menderita infeksi kulit yang luas, pernah sakit tuberkulosis (Rahajoe, 2008, hlm.133).

Efek samping imunisasi BCG tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum seperti demam 1-2 minggu, kemudian akan timbul indurasi, dan kemerahan ditempat suntikan yang berubah menjadi pustula, kemudian pecah menjadi ulkus. Luka tidak perlu pengobatan, akan sembuh secara spontan, dan meninggalkan tanda parut. Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional diketiak dan atau leher, terasa padat, tidak sakit, dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal, tidak memerlukan pengobatan dan akan menghilang dengan sendirinya (Depkes, 2009, hlm.27).

b. Vaksin DPT+HB (Difteri, Pertusis, Tetanus + Hepatitis B)

Vaksin DPT+HB adalah vaksin yang mengandung DPT berupa toxoid tetanus yang dimurnikan dan pertusis yang inaktifasi serta vaksin hepatitis B yang merupakan sub unit vaksin virus yang mengandung HbsAg murni dan bersifat non infectious.

(9)

Vaksin hepatitis B ini merupakan vaksin DNA rekombinan yang berasal dari HbsAg yang diproduksi melalui teknologi DNA rekombinan pada sel ragi.

Indikasi vaksin DPT+HB adalah untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), dan hepatitis B. Kemasan 1 box DPT+HB vial terdiri dari 10 vial @ 5 dosis, warna vaksin putih keruh.

Cara pemberian dengan menyuntikkan secara intra muskuler 0,5 ml. Dosis pertama pada usia 2 bulan, dosis selanjutnya dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah reaksi lokal atau sistemik yang bersifat ringan. Kasus yang terjadi adalah bengkak, nyeri, penebalan kemerahan pada bekas suntikan. Menangis lebih dari 3 jam, kadang-kadang terjadi reaksi umum demam seperti demam > 38,5ᴼ C, muntah.

Kontra indikasi DPT+HB adalah hipersensivitas terhadap komponen vaksin, reaksi berat terhadap dosis vaksin kombinasi sebelumnya atau bentuk-bentuk reaksi sejenis lainnya (Depkes, 2009, hlm.29).

c. Vaksin Polio (Oral Polio Vaccine = OPV)

Vaksin oral polio hidup adalah vaksin polio trivalent yang terdiri dari suspanse

virus poliomyelitis tipe 1, 2 dan 3 strain sabin yang sudah dilemahkan, dibuat dalam

biakan jaringan ginjal kera distabilkan dengan sukrosa.

Indikasi vaksin polio adalah untuk memberikan kekebalan aktif terhadap

poliomyelitis. Vaksin virus polio hidup oral yang dibuat oleh PT. Biofarma Bandung

adalah dengan kemasan 1 box terdiri dari 10 vial, 1 vial berisi 10 dosis, dilengkapi dengan pipet untuk meneteskan vaksin. Vaksin polio berbentuk cairan dengan komposisi setiap dosis yaitu 2 tetes = 0,1 ml mengandung komposisi tipe 1 : 106,0 CCID50, tipe 2 : 105,0 CCID50 dan tipe 3 : 105,5 CCID50 dan eritromisin tidak lebih dari 2 mcg, serta

(10)

kanamisin tidak lebih dari 10 mcg. Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral (Suyitno, 2008, hlm.163).

Kontraindikasi OPV adalah pada individu yang menderita immune deficiency, bayi yang mengidap HIV, tidak ada efek yang berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit. Namun jika ada keraguan misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulangan dapat diberikan setelah sembuh (Depkes, 2009, hlm.32).

d. Vaksin Campak

Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Vaksin dibuat PT Biofarma Bandung setiap dosis 0,5 ml mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70 dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. Vaksin ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan dengan aqua bidest steril.

Indikasi vaksin untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak. Disuntikkan secara subkutan pada lengan kiri atas pada usia 9-11 bulan. Diulang pada usia 6-7 tahun. Vaksin campak yang sudah dilarutkan hanya boleh digunakan maksimum 8 jam.

Efek samping adalah hingga 15 % pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari yang dapat terjadi 8-12 hari setelah vaksinasi. Terjadi encephalitis setelah vaksinasi pernah dilaporkan yaitu dengan perbandingan 1 kasus per 1 juta dosis yang diberikan.

Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan pemberian vaksin campak walaupun berlawanan penting untuk mengimunisasi anak yang mengalami malnutrisi, demam ringan, infeksi ringan pada saluran nafas atau diare, alergi berat terhadap kanamycin dan erithomycin, mengidap virus HIV (Depkes, 2009, hlm.33).

(11)

e. Vaksin Hepatitis B PID (Prefil Injection Device)

Vaksin hepatitis B adalah vaksin virus recombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat noninfecious, berasal dari HbsAg yang dihasilkan dalam sel ragi menggunakan tehnologi DNA rekombinan. Vaksin ini merupakan suspense berwarna putih. Indikasi adalah untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Vaksin hepatitis B PID dibuat oleh PT Biofarma Bandung dengan kemasan 1 box vaksin terdiri dari 100 HB PID dengan berbentuk cairan. Komposisi HB PID setiap 0,5 mengandung HbsAg 10 mcg yang teradopsi pada aluminium hidroksida 9,25 mg. Seluruh formulasi mengandung thimerosal 0,01 w/v % sebagai pengawet.

Vaksin disuntikkan dengan dosis 0,5 ml atau 1 buah HB PID secara intra muskuler sebaiknya pada anterolateral paha, pemberian sebanyak 3 dosis. Dosis pertama diberikan pada usia 0-7 hari, dosis berikutnya dengan interval minimum 4 minggu. Efek samping yaitu reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan disekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari. Kontraindikasi HB PID tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat yang disertai kejang (Depkes, 2009, hlm.34).

Penggunaan uniject HB menggantikan vial telah dibuktikan lebih menguntungkan terutama segi sterilitas, tidak boros, mudah dan cepat penggunaannya dan dapat menjangkau sasaran bayi usia 0-7 hari pada saat persalinan dan melalui kunjungan neonatus (KN) (Depkes, 2006, hlm.2).

6. Program Pengembangan Imunisasi

Program imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) atau Expanded Program On Immunisation (EPI) dilaksanakan di Indonesia sejak

(12)

tahun 1997. Program PPI merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen internasional yaitu Universal Child Immunization pada akhir 1982. Program UCI secara nasional dicapai pada tahun 1990, yaitu cakupan DPT 3, Polio3 dan campak minimal 80 % sebelum usia 1 tahun. Sedangkan cakupan untuk DPT 1, Polio 1, dan BCG minimal 90 %. Imunisasi termasuk dalam PPI adalah BCG, Polio, DPT, Campak dan Hepatitis B (Ismael, 2008, hlm.90).

Program imunisasi melalui PPI mempunyai tujuan akhir sesuai dengan komitmen internasional yaitu eradikasi polio (ERAPO), eliminasi tetanus maternal dan neonatal, reduksi campak (RECAM), peningkatan mutu pelayanan imunisasi, menetapkan standar pemberian suntikan yang aman dan pengelolaan limbah tajam (Ismael, 2008, hlm.90).

7. Cakupan Imunisasi

Target UCI merupakan tujuan antara (Intermediate Goal), yang berarti cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B harus mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, dan kabupaten bahkan di setiap desa (Ismael, 2008, hlm.90).

Untuk capaian imunisasi dilihat dari waktu, maka pemantauan dapat dilakukan dengan : a) Apakah pelaksanaan memantau sesuai dengan jadwal b) Apakah vaksin cukup c) Pengecekan lemari es setiap hari dan dicatat temperaturnya d) Melihat apakah suhu lemari es normal e) Hasil imunisasi dibandingkan dengan sasaran yang telah ditentukan f) Peralatan yang cukup untuk penyuntikan yang aman dan steril g) Adakah diantara 7 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dijumpai dalam seminggu.

Cara memantau cakupan imunisasi dapat dilakukan dengan cara cakupan dari bulan ke bulan dibandingkan dengan garis target, dapat digambarkan masing-masing bulan, atau dengan cara kumulatif dan hasil cakupan per triwulan untuk masing-masing desa. Untuk mengetahui keberhasilan program, dapat dengan melihat garis pencapaian

(13)

dalam per tahun. 75%-100% dari target, program sangat berhasil. 50%-75% dari target, program cukup berhasil, di bawah 50% dari target, program belum berhasil. Bila di bawah 25 % dari target berarti program sama sekali tidak berhasil. Untuk tingkat kabupaten dan propinsi, maka penilaian diarahkan pada penduduk tiap kecamatan atau Dati II. Disamping itu, pada kedua tingkat ini perlu memperhitungkan pula memonitoring efisiensi pemakaian vaksin. (Notoatmodjo, 2007, hlm.47).

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian Imunisasi Lengkap 1. Usia Ibu

Usia adalah lamanya seseorang hidup dihitung dari tahun lahirnya sampai dengan ulang tahunnya yang terakhir. Usia merupakan konsep yang masih abstrak bahkan cenderung menimbulkan variasi dalam pengukurannya. Seseorang mungkin menghitung umur dengan tepat tahun dan kelahirannya, sementara yang lain menghitungnya dalam ukuran tahun saja (Zaluchu, 2008, hlm.109).

Ibu yang berusia lebih muda dan baru memiliki anak biasanya cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih akan kesehatan anaknya, termasuk pemberian imunisasi (Reza, 2006). Merujuk hal tersebut, diketahui bahwa usia yang paling aman seorang ibu untuk melahirkan anak adalah 20 sampai 30 tahun (Saputra, 2009). Penelitian Wardhana (2001) disebutkan bahwa ibu yang berusia ≥ 30 tahun cenderung untuk tidak melakukan imunisasi lengkap dibandingkan dengan ibu yang berusia < 30 tahun cenderung untuk melakukan imunisasi lengkap 2,03 kali dibandingkan dengan usia ibu ≥ 30 tahun. Namun secara statistik hubungan antara usia ibu dan status kelengkapan imunisasi tidak bermakna (p-value=0,16). Lienda (2009) dalam

(14)

penelitiannya hasil uji statistik p-value=0,109 bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara usia ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar.

Waldoeher (1997, dalam Reza, 2006, hlm.25) mengatakan bahwa status imunisasi semakin baik seiring dengan peningkatan usia ibu. Penelitian Rahma Dewi (1994) memperoleh hasil bahwa 58,3% kelengkapan status imunisasi anak terdapat pada ibu yang berusia 20-29 tahun. Sedangkan proporsi yang hampir sama pada usia ibu 15-19 tahun sebesar 48,4% dan usia ibu 30 tahun lebih sebesar 48,5%. Reza (2006) ada hubungan bermakna secara statistik yang ditunjukkan oleh nilai p-value=0,000. Ibu yang berusia ≥ 30 tahun 2,78 kali lebih besar status imunisas i dasar anaknya untuk tidak lengkap dibandingkan dengan ibu yang berusia < 30 tahun.

2. Pendidikan

a. Definisi Pendidikan

Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

b. Jenjang Pendidikan

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang dikembangkan. a) Pendidikan anak usia dini, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 Butir 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia

(15)

enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. b) Pendidikan Dasar, merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah. c) Pendidikan Menengah, jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar yang harus dilaksanakan minimal 9 tahun. d) Pendidikan Tinggi, jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Pendidikan adalah salah satu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan menentukan pola pikir dan wawasan seseorang. Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam kwalitas. Lewat pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2003, hlm.95).

Wardhana (2001, dalam Lienda, 2009, hlm.25) bahwa pendidikan tinggi berkaitan erat dengan pemberian imunisasi pada anak. Sejalan dengan hal tersebut berdasarkan penelitian Idwar (2001) juga disimpulkan bahwa tingkat pendidikan seseorang ibu yang telah tinggi akan berpeluang besar untuk mengimunisasikan anaknya. Ibu yang berpendidikan mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang pencegahan penyakit dan kesadaran lebih tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan yang sedikit banyak telah diajarkan disekolah. Hal ini diperkuat kembali dengan adanya penelitian oleh Widyanti (2008) menjelaskan bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang telah tinggi akan memberikan imunisasi lebih lengkap kepada anaknya dibandingkan ibu dengan pendidikan rendah. Lienda (2009) hasil penelitiannya

(16)

mengatakan ada hubungan signifikan antara pendidikan ibu dengan status kelengkapan imunisasi dasar anak dengan p-value=0,000.

Singarimbun (1986, dalam Reza 2006, hlm.25) bahwa tingkat pendidikan ibu, mempunyai hubungan dengan status imunisasi dasar pada anak. Penelitian terhadap 519 responden, didapat hasil bahwa persentase anak dengan imunisasi lengkap lebih tinggi pada ibu dengan tingkat pendidikan SLTA keatas. Reza (2006) hasil penelitiannya ibu dengan pendidikan rendah mempunyai resiko 2,04 kali lebih besar status imunisasi anaknya untuk tidak lengkap dibandingkan dengan ibu pendidikan tinggi dengan p-value=0,000.

3. Pekerjaan

Pekerjaan dapat memberikan kesempatan suatu individu untuk sering kontak dengan individu lainnya, bertukar informasi dan berbagi pengalaman pada ibu yang bekerja akan memiliki pergaulan yang luas dan dapat saling bertukar informasi dengan teman sekerjanya, sehingga lebih terpapar dengan program-program kesehatan khususnya imunisasi (Reza, 2006). Penelitian Darnen (2002) menyebutkan bahwa ibu yang bekerja mempunyai peluang 1,1 kali untuk mengimunisasikan anaknya dengan lengkap dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Rahma Dewi (1994) menjelaskan bahwa proporsi ibu yang bekerja terhadap anak dengan imunisasi lengkap lebih tinggi dibandingkan ibu yang tidak bekerja.

Reza (2006) hasil penelitiannya tidak ada hubungan bermakna antara pekerjaan dengan kelengkapan imunisasi dasar dengan nilai p-value=0,902 begitu juga Lienda (2009) hasil penelitiannya 1,25 kali ibu yang bekerja anaknya diimunisasi lengkap dibandingan yang tidak bekerja namun secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara pekerjaan dengan kelengkapan imunisasi dasar dengan nilai p-value=0,250.

(17)

4. Jumlah anak

Kunjungan ke pos pelayanan imunisasi terkait dengan ketersediaan waktu bagi ibu untuk mencari pelayanan imunisasi terhadap anaknya. Oleh karena itu jumlah anak yang dapat mempengaruhi ada tidaknya waktu bagi ibu meninggalkan rumah untuk mendapatkan pelayanan imunisasi kepada anaknya. Semakin banyak jumlah anak terutama ibu yang masih mempunyai bayi yang merupakan anak ketiga atau lebih akan membutuhkan banyak waktu untuk mengurus anak-anaknya tersebut. Sehingga semakin sedikit ketersediaan waktu bagi ibu untuk mendatangi tempat pelayanan imunisasi (Reza, 2006). Stratfield dan singarimbun (1986) jumlah anak memiliki hubungan yang terbalik dengan status imunisasi anak artinya adalah ibu yang memiliki jumlah anak yang banyak akan tidak lengkap untuk mengimunisasi anaknya. Lienda (2009) dalam hasil penelitiannya jumlah anak hidup ≤ 2 orang mempunyai 1,19 kali a naknya diimunisasi lengkap dibandingkan dengan ibu yang memiliki jumlah anak hidup > 2 orang. Jumlah anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi pada anak. Ibu yang mempunyai banyak anak kesulitan dalam mendatangi tempat pelayanan kesehatan (Luman,2003).

Besarnya anggota keluarga diukur dengan jumlah anak dalam keluarga. Makin banyak jumlah anak makin besar kemungkinan ketidaktepatan pemberian imunisasi pada anak. Keluarga yang mempunyai banyak anak menyebabkan perhatian ibu akan terpecah, sementara sumber daya dan waktu ibu terbatas sehingga perawatan untuk setiap anak tidak dapat maksimal (Dombkowski, 2004).

5. Pengetahuan

Pengetahuan adalah dari hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi melalui

(18)

panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat kita lihat sesuai dengan tingkatan-tingkatan (Notoatmodjo, 2007, hlm.143).

Hubungan antara status imunisasi dasar pada bayi usia 0-12 bulan lengkap dengan pengetahuan ibu tentang imunisasi, pendidikan orangtua, pendapatan orangtua, dan jumlah anak. Di antara beberapa faktor tersebut pengetahuan ibu tentang imunisasi merupakan suatu faktor yang sangat erat hubungannya dengan status imunisasi anak (Ismail, 1999).

Imunisasi merupakam program penting dalam upaya pencegahan primer bagi individu dan masyarakat terhadap penyebaran penyakit menular. Imunisasi menjadi kurang efektif bila ibu tidak mau anaknya diimunisasi dengan berbagai alasan. Beberapa hambatan pelaksanaan imunisasi menurut WHO (2000) adalah pengetahuan, lingkungan dan logistik, urutan anak dalam keluarga dan jumlah anggota keluarga, sosial ekonomi, mobilitas, keluarga, ketidak stabilan politik, sikap petugas kesehatan, pembiayaan, dan pertimbangan hukum (Lienda, 2009).

Pengetahuan, sikap dan perilaku orangtua bayi berhubungan dengan status imunisasi bayi. Tiga pertanyaan meliputi ketidakinginan orangtua untuk mengimunisasikan bayi jika mempunyai bayi lagi (sikap). Ketidakyakinan orangtua tentang keamanan imunisasi (pengetahuan) dan pernah menolak bayinya untuk diimunisasi (perilaku) berhubungan dengan status imunisasi bayi (Gust, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Teknik analisis yang digunakan adalah menganalisis input sistem informasi akuntansi, menganalisis proses sistem informasi akuntansi, menganalisis output sistem

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas limpahan rahmat dan ridha-Nya, serta shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad

Seperti halnya di Stasiun Kota Lama Malang, bangunan Stasiun Pasar Turi Surabaya juga masih menggunakan struktur kayu pada bagian peronnya.. Penggunaan kayu pada

Apabila hasil penjualan barang dan jasa tidak dapat menutupi beban yang langsung terkait dengan barang dan jasa tersebut atau harga pokok penjualan, maka akan sulit

3.1 baja profil H Bj P H-beam baja profil berpenampang H 3.1.1 Bj PHL baja profil berpenampang H dihasilkan dari proses pengelasan welded 3.1.2 Bj PHC baja profil berpenampang

Kepala KUA Gebang, Achmad Dahri mengatakan, pada saat calon pengantin datang mendaftar dirinya mendapat informasi dari warga Desa Sidoleren yang meragukan jenis kelamin

Pada penelitian ini kecenderungan ke arah yang demikian terlihat dengan semakin memanjangnya APTT pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan, sedangkan pada kelompok

Masih dengan analisis yang sama, dilakukan input data parameter kesesuaian lahan dalam SIG dan akan dihasilkan peta kesesuaian lahan budidaya rumput laut di