• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KEDALAMAN AIR TERHADAP TINGKAH LAKU DAN LAMA HIDUP TERIPANG LOKAL (Phyllophorus sp.) SELAMA MASA ADAPTASI DI BAK PEMELIHARAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH KEDALAMAN AIR TERHADAP TINGKAH LAKU DAN LAMA HIDUP TERIPANG LOKAL (Phyllophorus sp.) SELAMA MASA ADAPTASI DI BAK PEMELIHARAAN"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENGARUH KEDALAMAN AIR TERHADAP TINGKAH LAKU DAN LAMA HIDUP TERIPANG LOKAL (Phyllophorus sp.) SELAMA

MASA ADAPTASI DI BAK PEMELIHARAAN

Oleh :

BINTI RUMIYATI

BOJONEGORO – JAWA TIMUR

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya : N a m a : BINTI RUMIYATI N I M : 141011009

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang berjudul : Pengaruh Kedalaman Air terhadap Tingkah Laku dan Lama Hidup Teripang Lokal (Phyllophorus sp.) selama Masa Adaptasi di Bak Pemeliharaan adalah benar hasil karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik yang berlaku di Universitas Airlangga, termasuk berupa pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.

Demikian surat pernyataan yang saya buat ini tanpa ada unsur paksaan dari siapapun dan dipergunakan sebagaimana mestinya.

Surabaya, 15 Juli 2014 Yang membuat pernyataan,

BINTI RUMIYATI NIM. 141011009

(3)

SKRIPSI

PENGARUH KEDALAMAN AIR TERHADAP TINGKAH LAKU DAN LAMA HIDUP TERIPANG LOKAL (Phyllophorus sp.) SELAMA

MASA ADAPTASI DI BAK PEMELIHARAAN

Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Progam Studi Budidaya Perairan

Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga

Oleh :

BINTI RUMIYATI NIM. 141011009

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Pembimbing Pertama

Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP. NIP. 19690912 199702 2 001

Pembimbing Kedua

(4)

SKRIPSI

PENGARUH KEDALAMAN AIR TERHADAP TINGKAH LAKU DAN LAMA HIDUP TERIPANG LOKAL (Phyllophorus sp.) SELAMA

MASA ADAPTASI DI BAK PEMELIHARAAN

Oleh :

BINTI RUMIYATI NIM : 141011009

Telah diujikan pada Tanggal : 2 Juli 201

KOMISI PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Woro Hastuti Satyantini, Ir., M. Si. Anggota : Boedi Setya Rahardja, Ir., MP.

Abdul Manan, S.Pi., M.Si. Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP.

Rr. Juni Triastuti, S. Pi., M. Si.

Surabaya, 15 Juli 2014

Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga

Dekan,

(5)

RINGKASAN

BINTI RUMIYATI. Pengaruh Kedalaman Air terhadap Tingkah Laku dan Lama Hidup Teripang Lokal (Phyllophorus sp.) Selama Masa Adaptasi di Bak Pemeliharaan. Dosen Pembimbing Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP. Dan Rr. Juni Triastuti, S.Pi., M. Si.

Teripang lokal, Phyllophorus sp. merupakan komoditas laut yang berekonomis penting. Kebutuhan teripang lokal saat ini masih tergantung pada hasil tangkapan alam, sehingga diperlukan upaya budidaya teripang. Faktor keberhasilan budidaya teripang salah satunya diperankan oleh keberhasilan adaptasi teripang dari habitat ke lingkungan baru. Ketidakmampuan teripang salam beradaptasi akan mempengaruhi fisiologi teripang yang ditunjukkan dengan beberapa tingkah laku seperti dikeluarkannya usus, gonad dan lendir saat kondisi stres berat (Purnayudha, 2013). Kedalaman air merupakan faktor yang berpengaruh terhadap tingkah laku pembenaman diri teripang (Darsono, 2009) dan dikeluarkannya tentakel Curcumaria frondosa ke permukaan (Singh et al.,1999).

(6)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman air yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) terhadap tingkah laku dan lama hidup teripang. Perlakuan kedalaman air 40 cm merupakan kedalaman air yang sesuai untuk masa adaptasi teripang sebelum dibudidayakan. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh salinitas, suhu, intensitas cahaya dan DO terhadap tingkah laku, pertumbuhan kelulushiduan dan lama proses regenerasi organ Phyllophorus sp. selama masa adaptasi.

(7)

SUMMARY

BINTI RUMIYATI. The Effect of Water Depth Against The Behaviour and Lifespan of Local Sea Cucumber (Phyllophorus sp.) During Adaptation Period in the Maintenance Tank. Academic Advisor Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP. And Rr. Juni Triastuti, S.Pi., M. Si.

Local sea cucumber, Phyllophorus sp. is an important economic commodity. Needs of local sea cucumbers are still dependent on the catch in nature, so it takes effort for sea cucumber cultivation. The one of the factors that make sea cucumber’s aquaculture success is the successful adaptation of sea cucumber habitats to the new environment. Inability to adapt will affect sea cucumber physiology demonstrated with some behavior such as the issuance of the intestine, gonads and mucous when severe stress conditions (Purnayudha, 2013). Water depth is a factor that affects the self-embedding behavior of sea cucumbers (Darsono, 2009) and the issuance of tentacles of Curcumaria frondosa to the surface (Singh et al., 1999).

This study aims to determine the effect of water depth against the behavior and the lifespan of sea cucumbers. The method used is an experiment with a completely randomized design (CRD) as the experimental design. The treatments used are different water depths, with 10 cm, 20 cm, 30 cm and 40 cm, each treatment iss replicated 5 times. The main parameters of the observed behavior of sea cucumbers is composed of fully exposed, fully buried, half buried, out tentacles, out intestines, out gonads, out ring and slimy skin of sea cucumbers and lifespan. Supporting parameters measured are temperature, brightness, salinity and dissolved oxygen. Data analysis of behaviour using descriptive Variety Variam Analysis (ANOVA), lifespan data analysis using Varian Variety Analysis (ANOVA) and to determine the best treatment performed Duncan's Multiple Range Test.

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas limpahan rahmat dan ridha-Nya, serta shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga Skripsi tentang Pengaruh Kedalaman Air terhadap Tingkah Laku dan Lama Hidup Teripang Lokal (Phyllophorus sp.) Selama Masa Adaptasi di Bak Pemeliharaan dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun dalam rangaka memenuhi persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Progam Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga Surabaya.

Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis ucapkankan terimakasih kepada

1) kedua orang tua yang selalu memberi semangat dan doa selama kuliah, 2) Ibu

Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., MP. dan Ibu Rr. Juni Triastuti, S.Pi., M.Si. selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam sejak penulisan Usulan Penelitian hingga selesainya penyusunan Skripsi ini, dan 3) semua civitas

akademika Universitas Airlangga serta semua yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan maupun penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih belum sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Skripsi ini lebih lanjut. Akhirnya penulis berharap semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi semua pihak.

Surabaya, 15 Juli 2014

(10)

DAFTAR ISI

1.2 Perumusan Masalah ………...

1.3 Tujuan ………

2.1.3 Habitat, Penyebaran dan Pakan ………. 2.2 Tingkah Laku Teripang pada Kedalaman Berbeda ………... 2.3 Tingkah Laku Teripang terhadap Perubahan Lingkungan ………… III. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS ………...

3.1 Kerangka Konseptual ………

3.2 Hipotesis ………

IV. METODOLOGI ………

4.1 Tempat dan Waktu ………

4.2 Materi Penelitian ………... 4.2.1 Peralatan Penelitian ………...

4.2.2 Bahan Penelitian ………

(11)

4.3 Metode Penelitian ……….. 4.3.1 Rancangan Penelitian ………. 4.3.2 Prosedur Kerja ………... 4.3.3 Parameter Penelitian ………..

4.3.4 Analisis Data ……….

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ……….

5.1 Hasil Penelitian ………. 5.1.1 Tingkah Laku Teripang ………. 5.1.2 Lama Hidup dan Kelulushidupan Teripang ………..

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Perubahan tingkah laku teripang selama penelitian ……… 2. Frekuensi relatif tingkah laku teripang saat pengambilan sampel …….. 3. Hasil uji ANOVA frekuensi tingkah laku teripang selama penelitian … 4. Hasil uji ANOVA lama hidup dan kelulushidupan teripang selama penelitian ……… 5. Data kisaran kualitas air pada media adaptasi selama penelitian ……

34 40 40

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Pola tingkah laku membenamkan diri teripang Thyonella gemmata di dalam substrat ……….……….. 2. Proses penyisipan tentakel teripang ordo Dendrocerotida …………. 3. Data Penelitian Pendahuluan ……… 4. Tabel data hasil pengamatan tingkah laku teripang ……….………… 5. Contoh pencatatan lama hidup teripang ………. 6. Ukuran ketinggian air pada bak pemeliharaan ……….…… 7. Perubahan tingkah laku teripang selama penelitian ……….…. 8. Data frekuensi relatif tingkah laku teripang selama penelitian …… 9. Hasil uji ANOVA tingkah laku teripang selama penelitian …………. 10. Hasil uji ANOVA lama hidup teripang ……… 11. Hasil uji ANOVA kelulushidupan teripang ……….…

(15)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Teripang lokal (Phyllophorus sp.) atau dikenal sebagai terung termasuk dalam filum Echinodermata yang merupakan salah satu spesies teripang berprotein tinggi (44,39%) dan berpotensi sebagai imunostimulator terhadap bakteri Escherichia coli (Ramadany, 2011) dan Mycobacterium tuberculosis (Leksana, 2012). Teripang lokal juga merupakan salah satu komoditi unggulan di pantai timur Surabaya. Pemanfaatan teripang lokal di pantai timur Surabaya lebih banyak digunakan sebagai makanan ringan berupa keripik yang diperjualbelikan di wilayah Surabaya, Sidoarjo, Lamongan dan Gresik. Berdasarkan informasi dari beberapa pengepul, teripang lokal kering juga merupakan komoditi yang diekspor secara kontinyu ke Taiwan dan Hongkong (Masithah dkk., 2012). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teripang lokal memiliki nilai ekonomis penting.

Kebutuhan teripang lokal saat ini masih tergantung pada hasil tangkapan alam. Selama ini, belum ada upaya budidaya teripang lokal di Indonesia yang mampu menunjang pemenuhan kebutuhan pasokan teripang lokal. Dalam jangka panjang, keadaan ini mengkhawatirkan keberadaan teripang lokal di alam yang akan mengalami over fishing, maka diperlukan upaya yang mengarah pada budidaya teripang lokal.

(16)

domestikasi teripang lokal dari habitat di alam ke bak pemeliharaan, mendapatkan hasil bahwa pemeliharaan dengan sistem resirkulasi dan pemberian substrat lumpur habitat asal teripang lokal mampu memberikan daya dukung lebih baik dibanding adaptasi menggunakan substrat kerikil dan tanpa substrat. Walaupun demikian, hasil ini masih memerlukan berbagai upaya optimasi adaptasi karena teripang hanya mampu hidup 5 hari.

Faktor lingkungan yang diduga berpengaruh terhadap tingkah laku dan lama hidup teripang adalah kedalaman air pemeliharaan. Darsono (2009) mengatakan, level muka air (kedalaman air) yang rendah mengurangi pemunculan teripang pasir Holothuria scabra yang merupakan respon teripang pasir terhadap surut rendah.

Ketidakmampuan teripang dalam beradaptasi akan mempengaruhi fisiologi teripang yang ditunjukkan dengan beberapa tingkah laku yaitu keadaan stres dan pertahanan diri baik secara mekanik maupun kimiawi. Eviserasi adalah salah satu tanda stres berat pada teripang (Purcell et al., 2006). Eviserasi juga merupakan upaya pertahanan diri teripang secara mekanik (Bingham and Braithwaite, 1986

dalam Tursina, 2011). Eviserasi merupakan pengeluaran organ dalam dari tubuh teripang yang dilakukan melalui anus dan mulut. Sedangkan pertahanan diri teripang secara kimiawi dilakukan dengan cara menghasilkan senyawa metabolit sekunder (saponin) pada dinding tubuh dan organ dalam (Dyck dkk., 2010 dalam Tursina, 2011).

(17)

pada pengaruh kedalaman air terhadap tingkah laku dan lama hidup teripang selama masa adaptasi di bak pemeliharaan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu apakah kedalaman air berpengaruh terhadap tingkah laku dan lama hidup teripang lokal selama masa adaptasi di bak pemeliharaan?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kedalaman air terhadap tingkah laku dan lama hidup teripang lokal selama masa adaptasi di bak pemeliharaan.

1.4 Manfaat

(18)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teripang Lokal (Phyllophorus sp.)

2.1.1 Klasifikasi

Grube (1840) dalam O’Loughlin et al. (2012) mengatakan klasifikasi

Phyllophorus sp. adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia

Gambar Phyllophorus sp. dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Phyllophorus sp. di pantai timur Surabaya (Winarni dkk., 2010) Keterangan : a : mulut

b : kaki tabung c : anus

2.1.2 Morfologi

Teripang lokal (Phyllophorus sp.) yang memiliki nama lokal terung seringkali disebut teripang bola atau ball sea cucumber karena berbentuk bola, meskipun ada yang berbentuk memanjang. Seluruh tubuhnya ditutupi oleh filamen kecil (papulae) yang merata. Bagian tubuhnya lunak berwarna putih,

a

(19)

krem, coklat atau oranye. Pada bagian anterior terdapat mulut, berupa tentakel transparan yang tipis dan gelap (Wild Fact Sheets, 2008). Tentakel bermanfaat sebagai alat penangkap makanan (Holtz, 2009).

Secara umum teripang yang termasuk ordo Dendrochirotida memiliki tipe tentakel bukal dendritik (berbentuk pohon) (Fankboner, 1978 dalam Aziz, 1996) dan memiliki pohon pernapasan (James, 1984). Genus Phyllophorus memiliki 20 tentakel, kaki tabung tersebar di seluruh tubuh dan calcareous ring (cincin kapur) terdiri atas 5 pasang lempeng mengelilingi faring (Heding and Panning, 1954

dalam O’Loughlin et al., 2012). Tentakel dendritik pada Pyllophorus spiculata dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tentakel tipe dendritik pada Phyllophorus spiculata (Wild Fact Sheets, 2008)

Keterangan : a : tentakel b : mulut

c : cabang tentakel

Panjang, diameter dan bentuk tubuh Phyllophorus sp. bervariasi. Di Indonesia Phyllophorus sp. ditemukan dengan panjang antara 10-15 cm (Wild Fact Sheets, 2008). Liao et al. (2007) mengatakan Phyllophorus maculatus

(20)

ujung posterior tumpul, sedangkan O’Loughlin et al. (2012) mengatakan

Phyllophorus notialis memiliki panjang 20 mm, diameter 7 mm, warna tubuh abu-abu kecoklatan, dan tentakel coklat pucat dengan beberapa tanda coklat pekat.

2.1.3 Habitat, Penyebaran dan Pakan

Secara umum, teripang hidup di kedalaman laut yang bervariasi (Pearse, 1908 dalam Smilek and Hembree, 2012). Hyman (1955) dalam Rohani (1998) juga mengatakan bahwa teripang hidup di daerah pasang surut hingga laut dalam. Teripang ordo Dendrochirotida di Mexican Pacific ditemukan hidup pada kedalaman 1.150 m di bawah permukaan air laut, suhu 4oC dan kadar oksigen

0,3 mg/l (Massin and Hendrick, 2011). Phyllophorus (Urodemella) occidentalis dari teluk Mexico hidup di sublittoral, lepas pantai di sedimen yang lunak dengan kedalaman antara 6-158 m (Pawson et al., 2010). Phyllophorus parvipedes yang berdistribusi di Teluk Myanmar, Singapura, India Timur dan Australia Utara ditemukan pada kedalaman 2 m dan 20 m (James, 1965). Phyllophorus spiculata di pulau Hainan, Cina ditemukan pada zona intertidal sampai kedalaman 30 m (Yulin, 1998).

(21)

Ruppert and Barnes (1996) dalam Smilek and Hembree (2012) mengemukakan bahwa teripang di habitatnya ada yang bersifat menempel pada tumbuhan laut, membenamkan diri di dalam substrat, menopang di atas substrat dan bersembunyi di celah-celah batu. Macam-macam habitat teripang dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Macam-macam habitat Holothurians di dasar laut (Ruppert and Barnes, 1996 in Smilek and Hembree, 2012). Keterangan : A

B-D E F

Pawson (1970) dalam Hartati dkk. (2005), mengatakan teripang memanfaatkan tiga sumber makanan yaitu plankton, detritus dan kandungan organik pada pasir dan lumpur. Lawrence (1987) dalam Hartati dkk. (2005) mengatakan, pakan teripang secara umum terdiri dari kandungan zat organik dalam pasir dan berbagai biota yang terdapat dalam pasir seperti diatom, protozoa, polichaeta, algae filamen, copepoda, ostracoda, foraminifera, radiolaria dan partikel-partikel pasir. Sedangkan teripang ordo Dendrochirotida adalah pemakan suspensi (suspension feeder) dan pemakan plankton (plankton feeder) (Aziz, 1996). Masithah dkk. (2012) mengatakan bahwa larva Phyllophorus sp. yang

: menempel pada tumbuhan laut.

: membenam/mengubur diri di dalam sedimen lunak. : di permukaan sedimen.

(22)

diberi pakan Chlorella sp. memiliki tingkat kelulushidupan tertinggi yaitu 75% dibandingkan dengan diatome (60%) dan Spirulina sp. (45%).

2.2 Tingkah Laku Teripang pada Kedalaman Berbeda

Secara umum teripang yang hidup di laut dalam, memiliki tiga kebiasaan berenang, yaitu pelagic (menghabiskan seluruh hidupnya untuk berenang dan mengapung di kolom air), benthopelagic (sebagian besar hidupnya untuk berenang) dan facultative swimmers (sebagian besar hidupnya menjadi hewan bentik, tetapi juga berenang apabila terdapat gangguan kondisi lingkungan).

Teripang yang hidup di laut dangkal, seperti Actinopyga mauritiana di pulau Solomon ditemukan di kedalaman air 5-10 m memiliki kebiasaan bergerak di dasar perairan (Graham and Battaglene, 2004). Teripang Phyllophorus di Pantai Kenjeran dengan kedalaman air 3,8-7,8 m memiliki kebiasaan membenamkan dirinya di dalam pasir atau pasir berlumpur dan kehidupannya bersifat kelompok serta ada pula yang soliter (Winarni dkk., 2010). Thyonella gemmata yang dipelihara dalam akuarium dengan kedalaman air 61,6 cm memiliki pola tingkah laku membenam diri di dalam substrat, dengan memulai menembus sedimen hingga menutupi permukaan tubuhnya kecuali bagian anterior dan posterior tubuhnya (Smilek and Hembree, 2012). Pola tingkah laku membenamkan diri teripang Thyonella gemmata dapat dilihat pada pada Lampiran 1.

(23)

menyebabkan berkurangnya pemunculan teripang ke permukaan. Pasang surut secara tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku pembenaman teripang, sebab pada kondisi air surut, kecerahan air meningkat, suhu meningkat dan salinitas juga meningkat, hal ini menyebabkan teripang tidak muncul ke permukaan (Mercier

et. al., 1999). Bohman and Held (1963) dalam Aziz (1995) mengatakan bahwa pembenaman diri dalam substrat pada teripang dilakukan untuk menghindari diri dari efek cahaya yang kuat dan suhu yang relatif tinggi, karena pada umumnya teripang bersifat fototaksis negatif (Aziz, 1995).

Perilaku pembenaman diri dalam pasir atau substrat, selain dilakukan teripang juga dilakukan oleh organisme Echinodermata lain yaitu sand dollar dan

bintang laut. Perilaku pembenaman diri sand dollar (Laganum laganum,

L. decagonale, dan Echinodiscus bisperforatus) dan bintang laut (Archaster typicus) terjadi saat pasang surut besar (Aziz dan Darsono, 1999).

(24)

2.3 Tingkah Laku Teripang terhadap Perubahan Lingkungan

Purnayudha (2013) mengemukakan bahwa salah satu tanda teripang

Phyllophorus sp. mengalami stres terhadap perubahan lingkungan adalah dengan dikeluarkannya usus dan gonad teripang dari bagian anterior, seperti yang ditunjukkan Gambar 4.

Gambar 4. Phyllophorus sp. dengan usus dan gonad terburai (Purnayudha, 2013) Keterangan : a : gonad

b : anus c : usus

Purnayudha (2013) juga mengatakan bahwa perubahan lain yang terjadi akibat stres yaitu kulit teripang dipenuhi lendir yang akan menyebabkan kulit teripang mudah terluka. Kulit teripang pada dasarnya memiliki tekstur yang kesat dan kuat, akan tetapi dalam proses respon terhadap stress akan banyak mengekskresikan lendir atau kelenjar mukosa yang lama kelamaan akan menyebabkan kulit mudah luka hingga hancur dan berakhir pada kematian. Menurut Triastuti dkk. (2010) kelenjar mukosa pada kulit berfungsi sebagai pelindung kulit dari parasit, bakteri dan mikroorganisme merugikan lainnya serta memperkecil gesekan dengan adanya sifat mucus yang licin.

(25)

Perilaku stres teripang terhadap perubahan lingkungan juga terjadi pada juvenil teripang. Purcell et al., (2006) mengatakan bahwa stres berat pada juvenil teripang ditandai dengan eviserasi. Adaptasi juvenil teripang Holothuria scabra setelah masa transportasi, pada hari pertama mengalami stres saat dilepaskan dan selalu berada di permukaan substrat. Setelah teripang pulih dari stres awal (pada hari kedua), teripang menggali substrat lebih dalam dibandingkan biasanya. Perilaku menggali lubang lebih dalam juga merupakan respon teripang terhadap stres akibat transportasi.

Eviserasi selain sebagai tanda stres, juga merupakan upaya pertahanan diri teripang secara mekanik terhadap predator. Selain eviserasi, pertahanan diri teripang juga dilakukan dengan penebalan dinding tubuh, autotomi, membenamkan diri ke dalam pasir, bersembunyi di bawah batu/karang dan mengeluarkan organ cuverian (Bingham and Braithwaite, 1986 dalam Tursina, 2011). Pengeluaran organ cuverian umumnya langsung terjadi setelah adanya gangguan dan jumlah organ cuverian yang dikeluarkan sesuai dengan intensitas gangguan yang diberikan (Dyck dkk., 2010 dalam Tursina, 2011). Misalnya pada

Holothuria leucospilota, organ yang dikeluarkan dari perutnya adalah organ cuverian berbentuk benang yang sangat lengket, saluran pencernaan, mesenterium, pohon pernapasan bagian kiri dan gonad sebanyak 29% dari massa tubuhnya (Hsieh, 2012).

(26)

senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh Holothuria atra (Septiadi dkk., 2013). Teripang juga dapat mengeluarkan cairan berwarna setelah diberikan gangguan, seperti pada Holothuria arta yang mengeluarkan cairan berwarna merah untuk melawan hewan predator. Cairan tersebut dianggap bersifat toksik bagi predator dan hewan lainnya (Bakus, 1973 dalam Tursina, 2011).

Ketidakmampuan adaptasi teripang di lingkungan baru selain menyebabkan stres juga dapat menyebabkan kematian. Ceesay et al. (2012) mengatakan bahwa Holothuria leucospilota dan Stichopus japonicus setelah mengalami eviserasi mengalami kematian. Teripang yang mampu beradaptasi akan tetap bertahan hidup setelah mengalami eviserasi dengan melakukan regenerasi organ. Kecepatan regenerasi organ teripang bervariasi antara 15-120 hari. Kecepatan regenerasi S. regalus adalah 15 hari (Bertolini, 1930 dalam Bai, 1994). Kecepatan regenerasi A. agassizi antara 25-27 hari (Mosher, 1956 dalam Bai, 1994). Kecepatan regenerasi Thyone briareus antara 32-40 hari (Scott, 1914

(27)
(28)

III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Teripang lokal (Phyllophorus sp.) atau terung merupakan salah satu teripang bernilai ekonomis penting. Kebutuhan teripang lokal saat ini masih tergantung pada hasil tangkapan alam. Upaya budidaya teripang lokal di Indonesia yang mampu menunjang pemenuhan kebutuhan pasokan teripang lokalpun belum dilakukan. Dalam jangka panjang, keadaan ini mengkhawatirkan keberadaan teripang lokal di alam akan mengalami over fishing, maka diperlukan upaya yang mengarah pada budidaya teripang lokal.

Keberhasilan budidaya teripang dipengaruhi oleh keberhasilan adaptasi teripang dari habitat aslinya ke lingkungan baru di bak pemeliharaan. Ruppet and Barnes (1994) dalam Ceesay et al. (2012), mengatakan faktor fisika dan kimia berpengaruh terhadap tingkah laku teripang seperti eviserasi. Faktor fisika yang berpengaruh terhadap tingkah laku teripang antara lain adalah kedalaman air, suhu dan kecerahan. Darsono (2009), mengatakan level permukaan air (kedalaman air) yang rendah menyebabkan Holothuria scabra jarang muncul ke permukaan. Perubahan kedalaman air akibat pasang surut air juga berpengaruh terhadap tingkah laku makan teripang jenis Curcumaria frondosa yang ditunjukkan dengan dikeluarkannya tentakel Curcumaria frondosa saat pasang naik air (Singh et al., 1999).

(29)

jam/hari, sedangkan pada suhu 17oC aktivitas pembenaman diri berlangsung selama 14,5 jam/hari dan aktivitas makan berlangsung selama 0,8 jam/hari.

Kecerahan air merupakan ukuran transparansi perairan yang nilainya dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk dalam air. Mercier et al. (1999) mengatakan bahwa teripang akan membenamkan diri saat terdapat cahaya (matahari terbit) dan akan keluar saat matahari tenggelam. Hal ini membuktikan bahwa kecerahan air yang tinggi menyebabkan teripang bersembunyi (berendam diri di dalam substrat) dan saat kecerahan rendah teripang muncul di permukaan substrat.

Faktor kimia yang berpengaruh terhadap tingkah laku teripang antara lain adalah salinitas dan DO (oksigen terlarut). Penurunan salinitas dari 35 ppt sampai 30 ppt, 25 ppt dan 20 ppt menyebabkan kegiatan pembenaman Holothuria scabra lebih dalam tetapi akan muncul kembali setelah beberapa jam(Mercier et al., 1999). Kondisi oksigen yang rendah menyebabkan tubuh Holothuria forskali membengkak, tetapi ketika kondisi oksigen sangat rendah menyebabkan teripang mengalami eviserasi (Astall and Jones, 1991 dalam Loddington, 2011).

(30)

organ tubuh. Kecepatan regenerasi teripang antara 15-120 hari (Bai, 1994). Keluarnya tentakel pada teripang yang sebelumnya mengalami stres merupakan indikator bahwa teripang telah kembali normal.

Teripang yang stres ditandai dengan perilaku eviserasi seperti pada

(31)

Gambar 5. Bagan kerangka konseptual penelitian Keterangan : = faktor yang diteliti

= faktor yang tidak diteliti

Budidaya teripang lokal 2. Mengeluarkan tentakel

(32)

3.2 Hipotesis

(33)

IV METODOLOGI

4.1 Tempat dan Waktu

Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga pada bulan April − Mei 2014.

4.2 Materi Penelitian

4.2.1 Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah akuarium berukuran 40x30x25 cm3, 40x30x35 cm3, 40x30x45 cm3, 40x30x55 cm3, kantong plastik

berukuran 100x120 cm2 dan 60x80 cm2,bak plastik 3 liter, bak fiber 4.000 liter,

tong 1.000 liter, garuk sampah bermata enam, selang, kran air, pompa air, karet gelang, sendok sayur kayu, gayung, spatula kayu, saringan, gelas ukur 500 ml, tali rafia, botol kaca 1 liter, pipet volume, bulb, pipet tetes, mikroskop, aerator, batu aerasi, lampu TL, autoclave, haemocytometer, secchi disk, termometer, penggaris, refraktometer, DO meter, timbangan digital, kamera digital, senter, kulkas, kertas label dan alat tulis.

4.2.2 Bahan Penelitian

(34)

4.3 Metode Penelitian

4.3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap) yang terdiri dari 4 perlakuan dan ulangan 5 kali. Rancangan Acak Lengkap digunakan apabila media dan bahan percobaan seragam atau dapat dianggap seragam (Kusriningrum, 2008). Perlakuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Perlakuan A : adaptasi teripang dengan kedalaman air 10 cm Perlakuan B : adaptasi teripang dengan kedalaman air 20 cm Perlakuan C : adaptasi teripang dengan kedalaman air 30 cm Perlakuan D : adaptasi teripang dengan kedalaman air 40 cm

Kedalaman air dihitung mulai dari permukaan lumpur. Perlakuan kedalaman air yang digunakan mengacu pada penelitian pendahuluan yaitu pada adaptasi teripang dengan kedalaman air 8 cm teripang mampu hidup hingga 17 hari. Diharapkan dengan ditingkatkan kedalaman airnya maka teripang mampu hidup normal sampai hari ke-22. Data penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Variabel bebas kedalaman air.

Variabel tergantung tingkah laku (pembenaman diri, keluarnya tentakel, eviserasi dan keluarnya lendir di permukaan tubuh) dan lama hidup teripang.

(35)

Variabel terikat : teripang (panjang tubuh) dan kualitas air (suhu, kecerahan air, salinitas air, DO dan pakan teripang).

4.3.2 Prosedur Kerja

A.Persiapan Alat

Akuarium, bak plastik, jerigen dan pipa paralon dicuci sampai bersih dan dibilas dengan air tawar kemudian didesinfeksi menggunakan alkohol 70% dan dibilas menggunakan air serta dikeringkan. Akuarium dan peralatan tersebut direndam air selama 24 jam untuk menetralisir kandungan alkohol yang telah disemprotkan kemudian air rendaman dibuang (Yudha, 2009). Kran air, selang, dan gayung dicuci sampai bersih dan dibilas dengan air tawar kemudian direndam dengan larutan klorin 150 ppm selama 24 jam dan dikeringkan di bawah sinar matahari (Kusdarwati, 2011).

Botol kultur dicuci menggunakan deterjen kemudian dikeringkan dan dibungkus dengan kertas koran. Selanjutnya disterilisasi menggunakan autoclave dengan cara memasukkan botol kultur ke dalam autoclave, autoclave ditutup rapat dan dioperasikan dengan suhu 121oC dan tekanan 1 atm selama 15 menit. Setelah

(36)

B.Persiapan Media Hidup Teripang

Air laut diperoleh dengan cara mengambil air laut dari pantai timur Surabaya (Desa Sukolilo) menggunakan gayung dan dimasukkan ke dalam tong 1.000 liter kemudian dibawa ke Laboratorium Pendidikan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga dan di tuangkan ke dalam bak fiber 4.000 liter. Sebelum digunakan air laut diendapkan selama 3 hari kemudian disaring dengan cara mengalirkan air laut dalam bak fiber ke bak filter dan di bawah bak filter terdapat bak fiber untuk menampung air hasil filter. Bak filter yang digunakan adalah bak platik 3 liter yang didalamnya terdapat komponen filter dengan urutan dari atas : 1) spon, 2) karbon aktif dan 3) zeolit. Air laut yang telah disaring dialirkan ke bak pompa. Instalasi bak filter dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Instalasi bak filter Keterangan : a : bak plastik 3 liter

C.Persiapan Chlorella sp.

Chlorella sp. merupakan pakan yang sesuai untuk Phyllophorus sp. karena Masithah dkk. (2012) mengatakan bahwa kelulushidupan juvenil Phyllophorus sp.

(37)

yang diberi pakan Chlorella sp. lebih tinggi yaitu 75% dibandingkan dengan diatom (60%) dan Spirulina sp. (45%). Bibit Chlorella sp. dimasukkan dalam botol kultur yang berbahan kaca. Media kultur yang digunakan dalam penelitian adalah air laut sebanyak 250 ml dan media Walne sebanyak 2 ml/liter serta diberi aerasi. Bibit Chlorella sp. dimasukkan dalam botol masing-masing dengan kepadatan 1x105 sel/ml. Lingkungan kultur yang diharapkan dalam penelitian

adalah suhu 20-25oC, salinitas 30-35 ppt, pH 8-9,5 yang merupakan lingkungan kultur terbaik Chlorella sp. Menurut Ekawati (2005), Perhitungan jumlah bibit

Chlorella sp. untuk kultur menggunakan rumus :

V1 = 𝑁2 𝑥𝑉2

𝑁1

Keterangan : V1 : volume bibit untuk penebaran awal (ml) N1 : kepadatan bibit/stock Chlorella sp. (sel/ml) V2 : volume media kultur yang dikehendaki (ml) N2 : kepadatan Chlorella sp. yang dikehendaki (sel/ml)

Kepadatan plankton dihitung menggunakan haemocytometer dan untuk mempermudah penghitungan plankton digunakan handtally counter. Sampel plankton diambil dari media kultur dan diteteskan dengan menggunakan pipet tetes sebanyak 1 tetes (0,05 ml) pada haemocytometer kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 atau 400 kali. Rumus penghitungan plankton yang digunakan adalah metode Small Block (Satyantini dkk., 2012), karena ukuran Chlorella sp. 2-8 mikron.

(38)

D.Persiapan Bak Adaptasi

Adaptasi teripang dilakukan dalam ruang semioutdoor. Bak pemeliharaan yang digunakan adalah akuarium yang dilengkapi dengan aerasi. Setiap bak pemeliharaan diisi lumpur hingga ketinggian 10 cm. hal ini sesuai dengan pendapat Darsono (2009) yaitu ketinggian substrat untuk pemeliharaan teripang adalah 10 cm. Selanjutnya air laut yang berada di bak fiber dialirkan dalam bak pemeliharaan dengan cara menyalurkan air yang terdapat dalam bak fiber ke bak pemeliharaan menggunakan selang hingga mencapai kedalaman air sesuai dengan perlakuan. Apabila ketinggian lumpur tidak merata, maka diratakan dengan menggunakan spatula kayu. Air didiamkan hingga jernih (seluruh lumpur sudah mengendap di dasar bak pemeliharaan). Pengelolaan media pemeliharaan (air laut) dilakukan sesuai dengan pendapat Darsono (2009) yaitu dengan melakukan pergantian air harian yang dilakukan setiap pagi hari sebanyak 30-50% volume.

E.Pengambilan dan Transportasi Teripang

Teripang diambil secara bebas pada saat air laut surut dengan alasan agar mempermudah dalam pengambilan sampel dan tidak terkendala dengan arus serta gelombang (Wijayanti, 2007). Teripang diambil dengan cara menggali pasir menggunakan garuk sampah hingga kedalaman ± 6 cm, apabila ditemukan teripang maka diambil langsung dengan tangan agar teripang tidak cacat sedangkan apabila tidak ditemukan dilakukan pencarian teripang di lokasi lain (jarak ± 2 meter dari lokasi awal).

(39)

ditambahkan lumpur hingga menutupi seluruh tubuh teripang kemudian kantong plastik ditali menggunakan karet gelang tanpa penambahan oksigen. Cara packing teripang disesuaikan dengan cara packing selama penelitian pendahuluan. Selanjutnya teripang ditransportasikan ke Laboratorium Pendidikan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga.

F. Penempatan Teripang di Bak Pemeliharaan

Teripang yang sampai di laboratorium diambil menggunakan sendok sayur kayu dan dimasukkan ke dalam saringan yang alasnya terdapat ukuran dengan satuan cm untuk mengetahui panjang tubuh teripang kemudian teripang dimasukkan ke dalam bak pemeliharaan dengan padat tebar 3 ekor per bak. Pada setiap perlakuan kedalaman air, teripang disebar secara merata berdasarkan panjang tubuhnya. Penempatan perlakuan percobaan dilakukan setelah seluruh teripang dimasukkan dalam bak pemeliharaan dengan cara memberi label (tertulis perlakuan dan ulangan) pada sisi bak pemeliharaan. Hal ini dilakukan agar media teripang tidak keruh. Adaptasi teripang lokal dilakukan selama 22x24 jam karena menurut Bai (1994) masa regenerasi teripang minimal 15 hari setelah eviserasi dan teripang mulai beraktivitas makan 7 hari setelah regenerasi.

G.Pengamatan Tingkah Laku dan Lama Hidup Teripang

(40)

(teripang terbenam di dalam lumpur) dan half buried (teripang setengah terbenam di dalam lumpur), keluarnya tentakel dari mulut teripang, eviserasi yang terdiri dari teripang mengeluarkan usus, gonad dan cincin kapur serta ada tidaknya lendir pada permukaan tubuh teripang. Sedangkan pengamatan lama hidup teripang dilakukan selama penelitian hampir setiap satu jam sekali dengan mengamati hidup atau matinya teripang.

Perilaku keluarnya tentakel dari mulut merupakan perilaku normal teripang yang dapat dirangsang dengan pemberian Chlorella sp. karena menurut Masithah dkk. (2012), Chlorella sp. merupakan pakan terbaik untuk larva

Phyllophorus sp.. Singh et al., (1999) mengatakan bahwa semakin banyak jumlah pakan yang berada di kolom air maka semakin sering teripang mengeluarkan tentakel. Pada penelitian ini pemberian Chlorella sp. dilakukan dengan cara memasukkan Chlorella sp. dengan kepadatan 20 x 103 sel/ml secara merata dalam bak pemeliharaan karena menurut Holtz dan MacDonald (2009) teripang yang dipelihara dengan ketinggian substrat 10-20 cm akan mengeluarkan tentakel 30 menit setelah pemberian pakan sebanyak 20-25 x 103. Chlorella sp. diberikan

pada pukul 15.00, 20.00 dan 01.00 WIB karena menurut Perez-Ruzafa and Marcos (1987) dalam Navarro et. al. (2013) aktifitas makan teripang dimulai antara pukul 15.00-20.00 kemudian antara pukul 20.00-01.00 dan terakhir antara pukul 01.00-06.00.

(41)

dilakukan dengan cara melihat pergerakan (membuka dan menutup) anus teripang atau menyentuh anus teripang menggunakan penggaris. Apabila anus teripang bergerak atau mengkerut saat disentuh menggunakan penggaris maka dapat dikatakan teripang masih hidup. Pergerakan anus merupakan perilaku teripang untuk bernafas (Barnes, 1980 dalam Sunarno, 1997).

H.Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data tingkah laku teripang saat pengambilan sampel dilakukan dengan mengamati tingkah laku teripang di habitatnya. Sedangkan selama penelitian, pengumpulan data tingkah laku teripang dilakukan dengan mengamati tingkah laku teripang di setiap bak adaptasi setiap satu jam sekali selama satu menit per bak adaptasi. Apabila saat dilakukan pengamatan terlihat tingkah laku teripang, maka pada tabel tingkah laku yang terlihat tersebut diberi tanda turus (I). Apabila saat dilakukan pengamatan tidak terlihat tingkah laku teripang, maka pada tabel tingkah laku yang tidak terlihat tersebut diberi tanda penghubung (-). Tanda turus menunjukkan frekuensi suatu aktivitas. Tabel data hasil pengamatan tingkah laku teripang dapat dilihat pada Lampiran 4.

(42)

teripang dapat dilihat pada Lampiran 5. Pengamatan tingkah laku dan lama hidup dilakukan pada setiap teripang yang berada di dalam bak adaptasi.

I. Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan pada saat pengambilan teripang di pantai timur Surabaya, daerah Desa Sukolilo dan selama penelitian. Kualitas air yang diukur adalah suhu air, kecerahan air, kedalaman air, salinitas, dan oksigen terlarut. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui kualitas air teripang di alam dan mengantisipasi terjadinya penurunan kualitas air selama masa adaptasi. Pengukuran kualitas air saat pengambilan teripang dilakukan pukul 17.00 WIB yaitu saat air laut surut. Sedangkan selama penelitian pengukuran kualitas air diukur pada pukul 06.00 dan 21.00.

Suhu air diukur menggunakan termometer dengan cara memasukkan termometer ke dalam air, kemudian setelah stabil dilihat nilai suhunya. Pengukuran kecerahan air pada saat pengambilan teripang lokal di pantai timur Surabaya daerah Sukolilo menggunakan secchi disk dengan cara memasukkan

(43)

4.3.3 Parameter Penelitian

A. Parameter Utama

Parameter utama yang diamati adalah tingkah laku membenamkan diri di dalam lumpur, keluarnya tentakel dari mulut teripang, eviserasi, keluarnya lendir pada permukaan tubuh teripang dan lama hidup teripang.

B. Parameter Penunjang

Parameter penunjang pada penelitian ini adalah data kualitas air dalam bak pemeliharaan yang meliputi, suhu air, kecerahan air, salinitas air dan oksigen

terlarut selama penelitian.

4.3.4 Analisis Data

Data hasil pengamatan tingkah laku teripang saat pengambilan sampel dianalisis menggunakan metode deskriptif. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkah laku teripang di habitatnya, sehingga dapat digunakan sebagai bahan acuan tingkah laku teripang di habitat. Frekuensi suatu aktivitas yang didapatkan saat pengambilan sampel selanjutnya dijumlahkan untuk mengetahui frekuensi setiap tingkah laku teripang. Perhitungan frekuensi setiap tingkah laku teripang menggunakan formula Sudjana (1992) dalam Sawitri dkk. (2012) sebagai berikut:

F = Fi1+ Fi2+ Fi3+ .... + Fin

Keterangan : F = Frekuensi

Fi1,2,3,...in = Frekuensi suatu aktivitas

(44)

berdasarkan tingkah laku teripang. Penghitungan frekuensi relatif teripang menggunakan rumus (1) :

Frekuensi relatif aktivitas = Frekuensi suatu aktivitas Jumlah pengamatan x 100%

Data tingkah laku teripang selama penelitian yang didapatkan di analisis menggunakan metode deskriptif dan uji ANOVA dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) untuk mengetahui adanya pengaruh perlakuan yang diberikan (Kusriningrum, 2008). Apabila hasil uji ANOVA yang didapat menunjukkan adanya perbedaan maka akan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan satu dengan perlakuan lain (Kusriningrum, 2008). Metode deskriptif digunakan untuk menganalisis perubahan tingkah laku teripang, bentuk tingkah laku teripang dan frekuensi relatif tingkah laku teripang. Hasil data perubahan tingkah laku teripang harian diringkas menjadi data perubahan tingkah laku teripang setiap 4 hari. Bentuk tingkah laku teripang diperoleh dengan cara mengambil gambar tingkah laku teripang menggunakan kamera. Frekuensi relatif teripang diperoleh dengan cara menghitung rata-rata frekuensi suatu aktivitas yang didapatkan pada setiap bak adaptasi, yaitu dengan menjumlah seluruh frekuensi suatu aktivitas kemudian di bagi jumlah teripang yang diamati. Rata-rata frekuensi suatu aktivitas yang didapatkan dihitung frekuensi relatifnya menggunakan rumus (1).

(45)

tingkah laku teripang selama penelitian dianalisis menggunakan uji ANOVA dan uji jarak berganda Duncan.

(46)

Gambar 7. Diagram alir penelitian

1. Kecerahan 2. Suhu 3. DO 4. Salinitas 1. Eviserasi

2. Pembenaman diri teripang 3. Keluarnya tentakel teripang

4. Ada tidaknya lendir pada permukaan tubuh 5. Teripang hidup

6. Teripang mati

Analisis Data Persiapan alat dan bahan

Persiapan media hidup teripang

Perakitan bak adaptasi

Pengambilan sampel teripang lokal Persiapan Chlorella sp.

Penempatan teripang di bak pemeliharaan

Perlakuan adaptasi

Kedalaman air

10 cm Kedalaman air 20 cm Kedalaman air 30 cm Kedalaman air 40 cm

(47)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian terdiri dari data tingkah laku dan lama hidup teripang serta parameter kualitas air berupa suhu, kecerahan, salinitas, dan oksigen terlarut selama penelitian.

5.1.1 Tingkah Laku Teripang

(48)

Tabel 1. Perubahan tingkah laku teripang selama penelitian

(49)

dengan perlakuan kedalaman air 20 cm, yaitu tingkah laku mengeluarkan usus dan pada kedalaman air 30 cm terlihat tingkah laku kulitnya berlendir. Dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya, teripang pada perlakuan 10 cm terlihat lebih abnormal karena teripang mengeluarkan usus, gonad dan cincin kapur serta kulitnya berlendir. Hari ke 5-8 teripang pada perlakuan kedalaman air 20 cm, 30 cm dan 40 cm mulai stabil bertingkah laku fully buried, meskipun pada perlakuan kedalaman air 20 cm dan 30 cm terdapat tingkah laku half buried. Sedangkan pada perlakuan kedalaman air 10 cm terdapat tingkah laku fully exposed, fully

buried dan half buried. Bersamaan dengan tingkah laku pembenaman diri, pada perlakuan kedalaman air 30 cm terdapat tingkah laku mengeluarkan tentakel dan mengeluarkan usus, pada perlakuan kedalaman air 40 cm terdapat tingkah laku mengeluarkan usus. Sedangkan pada perlakuan kedalaman air 10 cm terdapat tingkah laku mengeluarkan tentakel, usus, cincin kapur dan kulit berlendir. Berbeda dengan hari ke 1-4 dan 5-8, pada hari ke-9-12 teripang pada perlakuan kedalaman air 10 cm telah mati. Tingkah laku fully buried pada perlakuan kedalaman air 20 cm, 30 cm dan 40 cm cukup stabil, meskipun masih terlihat tingkah laku fully exposed pada perlakuan kedalaman air 20 cm dan 40 cm dan terlihat tingkah laku half buried pada perlakuan kedalaman air 20 cm, 30 cm dan 40 cm. Pada perlakuan kedalaman air 20 cm teripang terlihat abnormal karena teripang mengeluarkan usus dan gonad.

(50)

laku abnormal yaitu kulit berlendir dan pada kedalaman 20 cm teripang juga mengeluarkan cincin kapur. Tingkah laku pada hari ke 17-20 dan 21-23 hampir sama dengan tingkah laku pada hari ke 13-16 yaitu tingkah laku fully buried teripang terlihat stabil, meskipun pada perlakuan kedalaman air 30 cm di hari ke 21-23 terdapat teripang yang mati dan di hari ke 17-20 dan 21-23 pada perlakuan kedalaman air 40 cm teripang terlihat mengeluarkan tentakel. Perubahan tingkah laku teripang per hari dapat dilihat pada Lampiran 7. Gambar tingkah laku teripang selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 8 sampai Gambar 12.

A B

C D

Gambar 8. Tingkah laku fully exposed Phyllophorus sp.

(51)

Berdasarkan Gambar 8, terdapat tingkah laku fully exposed teripang, yang ditandai dengan seluruh tubuh teripang berada di atas substrat dan posisi anus ke arah permukaan air. Tingkah laku fully exposed dilakukan bersamaan dengan tingkah laku lain yaitu tingkah laku mengeluarkan tentakel dari mulut dan mengeluarkan gonad dan usus dari anus teripang. Teripang yang mengeluarkan tentakel tubuh bagian anteriornya lebih menonojol dibandingkan dengan bagian posterior. Teripang yang mengeluarkan gonad dan usus tubuhnya berbentuk oval dengan posisi anus ke arah permukaan air.

A B

C

Gambar 9. Tingkah laku fully buried Phyllophorus sp.

Keterangan : A : fully buried a : teripang d : mulut teripang B : keluar tentakel dan fully buried b : substrat e : tentakel

a b

b

a

b f

c

(52)

Berdasarkan Gambar 9. terdapat tingkah fully buried teripang, yang ditandai dengan terbenamnya seluruh tubuh teripang kecuali lubang anus. Posisi lubang anus ke arah permukaan air. Tingkah laku fully buried dilakukan bersamaan dengan tingkah laku lain yaitu tingkah laku mengeluarkan tentakel dari mulut dan mengeluarkan usus dari anus teripang. Teripang yang mengeluarkan tentakel dan usus seluruh tubuhnya terbenam di dalam substrat kecuali mulut, tentakel dan usus. Selama tentakel keluar terdapat tingkah laku penyisipan tentakel ke dalam mulut yang di ditandai dengan melengkungnya tentakel ke arah mulut serta

masuknya cabang tentakel dan tentakel ke dalam mulut.

A B

Gambar 10. Tingkah laku half buried Phyllophorus sp. Keterangan : A : half buried

Berdasarkan Gambar 10, terdapat tingkah laku half buried yang ditandai dengan setengah terbenamnya tubuh teripang di dalam substrat dan posisi anus ke arah permukaan air. Tingkah laku half buried dilakukan bersamaan dengan tingkah laku mengeluarkan gonad. Gonad dikeluarkan dari anus teripang.

b a

d b

(53)

Gambar 11. Tingkah laku kulit berlendir Phyllophorus sp. Keterangan : a : teripang

b : lendir

Berdasarkan Gambar 11, terdapat tingkah laku kulit berlendir pada teripang. Tubuh teripang pada kondisi ini berbentuk oval dengan seluruh tubuhnya dipenuhi lendir.

Gambar 12. Cincin kapur Phyllophorus sp. Keterangan : a : cincin kapur

b : tentakel

Berdasarkan Gambar 12, diketahui bentuk cincin kapur teripang yang keluar dari mulut teripang.

(54)

Data frekuensi tingkah laku teripang saat pengambilan sampel dan selama penelitian menyatakan tingkah laku teripang saat pengambilan sampel dan tingkah laku teripang selama masa adaptasi. Data frekuensi tingkah laku teripang secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8. Frekuensi relatif tingkah laku teripang saat pengambilan sampel dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Frekuensi relatif tingkah laku teripang saat pengambilan sampel Tingkah laku Frekuensi relatif tingkah

laku teripang (%)

Keluar cincin kapur 0

Kulit berlendir 0

Berdasarkan Tabel 2, diketahui frekuensi relatif tingkah laku teripang saat pengambilan sampel di pantai timur Surabaya (Desa Sukolilo) adalah 100% melakukan tingkah laku fully buried. Hasil uji ANOVA tingkah laku teripang secara detail dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil uji ANOVA frekuensi relatif tingkah laku teripang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji ANOVA frekuensi relatif tingkah laku teripang

Tingkah Laku 10 cm Perlakuan Kedalaman Air (%) 20 cm 30 cm 40 cm

Kulit berlendir 14,20±3,56a 0b 1,60±2,30b 0,60±1,34b

(55)

Tabel 3. menunjukkan hasil rata-rata frekuensi relatif tingkah laku fully

exposed, fully buried, half buried, keluar tentakel, keluar usus, keluar cincin kapur dan kulit berlendir yang tidak berbeda nyata pada perlakuan kedalaman air 20 cm, 30 cm dan 40 cm. Sedangkan pada kedalaman air 10 cm menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan sebelumnya. Rata-rata frekuensi relatif tingkah laku keluar gonad menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada perlakuan kedalaman air 10 cm, 20 cm, 30 cm dan 40 cm.

5.1.2 Lama Hidup dan Kelulushidupan Teripang

Data lama hidup dan kelulushidupan teripang dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui keberhasilan adaptasi teripang pada perlakuan kedalaman air 10 cm, 20 cm, 30 cm dan 40 cm. Hasil uji ANOVA lama hidup teripang secara detail dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil uji ANOVA Kelulushidupan teripang secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11. Hasil Uji ANOVA lama hidup dan kelulushidupan teripang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil ANOVA lama hidup dan kelulushidupan teripang selama penelitian

Pengamatan Perlakuan Kedalaman Air

10 cm 20 cm 30 cm 40 cm

Lama Hidup

(Jam) 53,40±3,13b 513,80±3,40a 454,20±10,42a 522,60±3,89a Kelulushidupan

(%) 0b 86,80±1,81a 80,00±2,99a 93,40±a Keterangan : Superskrip berbeda dalam satu baris menunjukkan ada perbedaan nyata

(p<0,05)

(56)

perlakuan sebelumnya. Data tersebut juga didukung dengan hasil rata-rata kelulushidupan teripang yang menunjukkan bahwa pada perlakuan kedalaman air 20 cm, 30 cm dan 40 cm juga tidak berbeda nyata. Begitu pula dengan perlakuan kedalaman air 10 cm yang menunjukkan hasil berbeda nyata dengan perlakuan sebelumnya.

5.1.3 Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan selama penelitian (setiap pukul 06.00 dan 21.00 WIB). Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia, yaitu suhu, kecerahan, kedalaman, salinitas dan dissolved oxygen (DO). Data kisaran kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 5. Data kisaran kualitas air pada media adaptasi teripang selama penelitian Kedalaman

(57)

Tingkah laku abnormal pada teripang terdiri dari eviserasi (mengeluarkan usus, gonad dan cincin kapur) dan kulit berlendir (Purnayudha, 2013).

Kedalaman air diketahui berpengaruh terhadap tingkah laku teripang. Kedalaman air yang rendah menyebabkan teripang jarang muncul ke permukaan (Darsono, 2009). Perubahan kedalaman air juga berpengaruh terhadap fluktuasi tingkah laku mengeluarkan tentakel (Singh et al., 1999).

Berdasarkan pada hasil pengamatan tingkah laku teripang selama pengambilan sampel, teripang yang diambil antara pukul 05.00-06.00 WIB saat air laut pada kondisi surut terendah diketahui frekuensi relatif tingkah laku fully

buried mencapai 100%. Hal ini sesuai dengan pendapat Darsono (2009) bahwa pada pada level permukaan air yang rendah menyebabkan teripang jarang muncul ke permukaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa teripang bersifat fototaksis negatif (Aziz, 1995).

Berdasarkan pada hasil pengamatan tingkah laku teripang selama penelitian, pada perlakuan kedalaman air 20 cm, 30 cm dan 40 cm menunjukkan tingkah laku yang normal. Tingkah laku normal tersebut adalah perilaku pembenaman diri, yang dilakukan secara berurutan mulai dari fully exposed, kemudian half buried dan terakhir fully buried. Hal tersebut sesuai dengan tingkah laku teripang dengan spesies Holothuria scabra yang melakukan aktivitas pembenaman diri yang dimulai dari fully exposed, kemudian half buried dan terakhir fully buried pada kondisi normal (Wolkenhauer, 2008).

(58)

kapur dan terakhir kulit berlendir. Hal tersebut terjadi pada perlakuan kedalaman air 10 cm. Scott (1914) mengatakan, teripang dengan genus Thyone juga melakukan tingkah laku abnormal yang mirip dengan tingkah laku Phyllophorus sp. Tingkah laku abnormal tersebut adalah tingkah laku eviserasi yang dimulai dari tingkah laku mengeluarkan usus, kemudian gonad, tentakel dan terakhir cincin kapur. Sedangkan tingkah laku kulit berlendir menurut Purnayudha (2013) dilakukan sebelum eviserasi. Tingkah laku mengeluarkan gonad dan mengeluarkan cincin kapur setelah keluarnya usus terkadang tidak dilakukan teripang yang mengalami kematian. Hal tersebut diduga disebabkan teripang mengalami stres berat, sehingga tanpa mengeluarkan gonad dan cincin kapur teripang langsung mengalami kematian. Scott (1914) mengatakan teripang yang mengalami kematian biasanya diakibatkan stres berat.

(59)

saat melakukan aktivitas makan (Holtz and MacDonald, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa teripang mampu bertingkah laku normal pada kedalaman air 20 cm, 30 cm dan 40 cm.

Hasil uji ANOVA frekuensi relatif tingkah laku teripang menunjukkan bahwa kedalaman air berpengaruh terhadap tingkah laku teripang selama penelitian. Hal tersebut ditunjukkan pada perlakuan kedalaman air 10 cm yang memiliki nilai frekuensi relatif fully exposed lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan kedalaman air 20 cm, 30 cm dan 40 cm. Banyaknya nilai frekuensi relatif fully exposed yang dilakukan oleh teripang pada kedalaman air 10 cm menunjukkan bahwa teripang tidak mampu beradaptasi. Purcell et al. (2006) mengatakan bahwa teripang yang mampu beradaptasi hanya akan melakukan fully

exposed pada hari pertama dan kedua, sebab pada dua hari tersebut teripang masih shock akibat transportasi. Tingkah laku yang dinyatakan oleh Purcell et al. (2006) tersebut ditunjukkan oleh teripang pada perlakuan kedalaman air 20 cm, 30 cm dan 40 cm. Sedangkan pada perlakuan kedalaman air 10 cm, fully exposed masih dilakukan sampai hari ke-7. Hal ini diduga, tingkah laku full exposed yang dilakukan oleh teripang pada kedalaman air 10 cm menunjukkan bahwa teripang mengalami stres hingga terjadi kematian.

Frekuensi relatif fully buried lebih banyak dilakukan pada perlakuan kedalaman air 40 cm yaitu sebesar 79,80%. Banyaknya nilai frekuensi relatif fully

(60)

Selain itu saat beraktivitas makan juga pada kondisi fully buried (Holtz and MacDonald, 2009). Hal tersebut didukung oleh pendapat Hukom dan Pelulu (1989) kedalaman terendah yang baik untuk teripang adalah 40 cm. Meskipun Holtz and MacDonald (2009) mengatakan bahwa teripang mampu beraktivitas normal pada kedalaman air 25 cm. Hal tersebut terlihat pada kedalaman air 20 cm dan 30 cm yang juga melakukan fully buried dengan frekuensi relatif sebesar 77,20% dan 76,40%.

Frekuensi relatif half buried lebih banyak dilakukan pada perlakuan kedalaman air 10 cm yaitu 37,80%. Banyaknya nilai frekuensi relatif half buried menunjukkan bahwa teripang mulai beradaptasi. Sebab Purcell et al. (2006) mengatakan bahwa teripang dengan spesies Holothuria scabra yang diadaptasikan juga mengalami half buried sebelum beraktivitas fully buried. Half buried tersebut menunjukkan bahwa teripang sedang menggali substrat (Wolkenhauer, 2008).

(61)

tersebut juga dilakukan oleh teripang dengan spesies Cucumaria frondosa saat beraktivitas makan (Holtz and MacDonald, 2009). Aktivitas makan tersebut dilakukan dengan cara mengeluarkan tentakelnya dari mulut teripang, dengan posisi tubuh fully buried, kemudian dilakukan penyisipan tentakel ke dalam mulut saat terdapat makanan yang menempel di cabang tentakel. Tingkah laku mengeluarkan tentakel selama penelitian dilakukan mulai hari ke- 17 pada pukul 18.00 WIB hingga 06.00 WIB dengan frekuensi relatif mengeluarkan tentakel terbanyak pada perlakuan kedalaman air 40 cm yaitu 2,60%. Hal tersebut menunjukkan bahwa teripang bersifat nokturnal yaitu beraktivitas makan pada malam hari atau pada kondisi gelap.

Frekuensi relatif teripang melakukan eviserasi lebih banyak dilakukan pada perlakuan kedalaman air 10 cm. Banyaknya nilai frekuensi relatif melakukan eviserasi menunjukkan bahwa teripang mengalami stres. Seperti halnya yang dilakukan Phyllophorus sp. pada penelitian Purnayudha (2013), saat teripang mengalami eviserasi, organ yang dikeluarkan adalah usus dan gonad. Selain itu organ yang dikeluarkan saat eviserasi adalah tentakel dan cincin kapur, yang menurut Scott (1914) juga dilakukan oleh teripang dengan genus Thyone saat mengalami stres akibat tidak sesuai dengan lingkungannya.

(62)

Lendir berfungsi sebagai pelindung kulit dari parasit, bakteri dan mikroorganisme merugikan lainnya serta memperkecil gesekan dengan adanya sifat mucus yang licin (Triastuti dkk., 2010).

(63)

VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kedalaman air berpengaruh terhadap tingkah laku teripang dan lama hidup teripang selama masa adaptasi di bak pemeliharaan.

2. Kedalaman air 40 cm merupakan kedalaman air yang sesuai untuk adaptasi teripang.

6.2 Saran

(64)

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, A. 1995. Beberapa Catatan tentang Teripang Bangsa Aspidochirotida. Oseana, 20 (4) : 11-23.

. 1996. Makanan dan Cara Makan Berbagai Jenis Teripang. Oseana, 21 (4) : 43-59.

Aziz, A. dan P. Darsono. 1999. Fauna Ekhinodermata dari Pulau-Pulau Karimunjawa, Jepara. Majalah Ilmu Kelautan, 14 : 83-91.

Bai, M. M. 1994. Studies on Regeneration in the Holothurian Holothuria (metriatyla) scraba Jaeger. Bull. Cent. Mar. Fish. Res. Inst., 46 : 44-50. Ceesay, A., M. N. Shamsudin, N. M. Alipiah and I. S. Ismail. 2012. Holothuria

leucospilota and Stichopus japonicus Sea Cucumber Species in Artificial Environment. J. Aquac Res Development, 3 (2) : 6.

Chuanxin, QIN., D. Shuanglin, T. Fuyi, T. Xiangli, W. Fang, D. Yunwei and G. Qinfeng. 2009. Optimization of Stocking Density for the Sea Cucumber, Apostichopus japonicus Selenka. Under Feed-Supplement and Non-Feed-Supplement Regimes in Pond Culture. J. Ocean Univ. China, 8 (3) : 296-302.

Darsono, P. 1999. Perkembangan Pembenihan Teripang Pasir Holothuria Scabra Jaeger, di Indonesia. Oseana, 24 (3) : 34-45.

. 2009. Pemeliharaan Induk Teripang Pasir, Holothuria scabra, dalam Bak Pemeliharaan. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 35 (2) : 257-271. Drajat dan J. Ismadi. 2008. Stories. Kumpulan Rumus dan Cerita. Matematika.

Mizan. Hal. 110.

Dyck, S. V., P. Gerbaux and P. Flammang. 2010. Qualitative and Quantitative Saponin Content in Five Sea Cucumbers from the Indian Ocean. Marine Drugs, 8 (1) : 173-189.

Ekawati, A. W. 2005. Diktat Kuliah Budidaya Pakan Alami. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang. Hal. 48.

(65)

Hartati, R., Widianingsih dan D. Pringgenies. 2005. Teknologi Penyediaan Pakan bagi Teripang Putih (Holothuria scabra). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponegoro. Semkarbon aktif. 48 hal.

Holtz, E. H. and B. A. MacDonald. 2009. Feeding Behaviour of the Sea Cucumber Curcumaria frondosa (Echinodermata : Holothuroidea) in the Laboratory and the Field : Relationships Between Tentacle Insertion Rate, Flow Speed, and Ingestion. Mar Biol, 156 : 1389-1398.

Hsieh, V. 2012. Monitoring Organ Regeneration of Sea Cucumber Holothuria Leucospilota after Evisceration. eScholarship University of California. 12 p. Hukom, F. D. dan U. Pelulu. 1989. Percobaan Budidaya Teripang (Holothuria scabra) di Teluk Un, Tual, Maluku Tenggara. Prosiding Seminar Ekologi Laut dan Pesisir I, 27-29 November 1989. Puslitbang Oseanologi – LIPI dan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI). Jakarta. 12 hal.

James, D. B., 1965. Phyllophorus (Phyllophorella) parvipedes Clark (Holothuroidea), a New Record to the Indian Seas. J. Mar. biol. Ass. India, 7 (2) : 325-327.

Karyawati, T., R. Hartati dan E. Rudiana. 2004. Konsumsi Oksigen Teripang Hitam (Holothuria atra) pada Sistem Statis dan Sistem Dinamis. 9 (3) : 169-173.

Kusdarwati, R., M. Akhyar dan B. S. Rahardja. 2011. Pengaruh Penambahan Vitamin B12 pada Media Blotong Kering terhadap Pertumbuhan Populasi

Dunaliella salina. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan, 3 (1) : 73-77. Kusriningrum R. S. 2008. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press.

Surabaya. hal. 77-170.

Leksana, D. P. 2012. Pengaruh Ekstrak Teripang Lokal Phyllophorua sp. terhadap Diameter Germinal Center Limpa Mencit (Mus musculus) yang diinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Skripsi. Progam Studi S-1 Biologi. Departemen Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Airlangga. 47 hal.

Liao, Y., D. L. Pawson and W. Liu. 2007. Phyllophorus (Phylloporus) maculatus, a New Species of Sea Cucumber from the Yellow Sea (Echinodermata : Holothuroidea : Dendrochirotida). Zootaxa, 1608 : 31-34.

(66)

Masithah, E. D., A. N. Kristanti dan S. Andriyono. 2012. Budidaya Teripang Lokal Phyllophorus sp. sebagai Sumber Bahan Aktif Imunomodulatore terhadap Infeksi Mycobacterium tuberculosis. Laporan Hibah Strategis Nasional Tahun Anggaran 2012. Universitas Airlangga. 42 hal.

Massin, C. and M. E. Hendrick. 2011. Deep-water Holothuroidea (Echinodermata) Collected During the TALUD Cruises off the Pacific Coast of Mexico, with the Description of Two New Species. Revista Mexicana de Biodiversidad, 82 : 413-443.

Mercier, A., S. C. Battaglene and J. Hamel. 1999. Daily Burrowing Cycle and Feeding Activity of Juvenile Sea Cucumber Holothuria scabra in response to environmental Factors. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 239 : 125-156.

Miller, J. E. and D. L. Pawson. 1990. Swimming Sea Cucumbers (Echinodermata : Holothuroidea) : A Survey, with Analysis of Swimming Behavior in Four Bathyal Species. Smithsonian Contributions to the Marine Sciences, 35 : 1-18.

Muhaimin, H. 2013. Distribusi Makrozoobenthos pada Sedimen Bar (Pasir Pnghalang) di Intertidal Pantai Desa Mappakalompo kabupaten Takalar. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasannudin. Makassar. 53 hal.

Navarro, P. G., S. Garcia-Sanz, J. M. Barrio and F. Tuya. 2013. Feeding and Movement Pattern of the Sea Cucumber Holothuria sanctori. Marine Biology. International Journal on Life in Oceans and Coastal Waters. O’Loughlin, P. M., S. Barmos and D. VandenSpiegel. 2012. The Phyllophorid

Sea Cucumber of Southern Australia (Echinodermata : Holothuroidea : Dendrochirotida : Phyllophoridae). Memoirs of Museum Victoria, 69 : 269-308.

Pawson, D. L., D. J. Pawson and R. A. King. 2010. A Taxonomic Guide to the Echinodermata of the South Atlantic Bight, USA : 1. Sea Cucumber (Echinodermata : Holothuroidea). Zootaxa, 2449 : 1-48.

Purcell, S. W., B. F. Blockmans and N. N. S. Agudo. 2006. Transportation Methods for Restocking of Juvenile Sea Cucumber Holothuria scabra. Aquaculture, 251 : 238-244.

(67)

Ramadany, H. M. 2011. Pengaruh Pemberian Ekstrak Tiga Jenis Teripang Lokal Pantai Timur Surabaya terhadap Hepar Mencit (Mus musculus) setelah Infeksi Escherichia coli. Skripsi. Progam Studi S-1 Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga. 54 hal. Rohani AR. 1998. Sebaran Ukuran dan Kematangan Gonad Teripang Pasir

(Holothuria scabra, Jaeger) pada Berbagai Kedalaman Perairan. Tesis. Progam Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 97 hal.

Satyantini, W. H., E. D. Mashithah, M. A. Alamsjah, Prayogo dan S. Andriyono. 2012. Diktat Praktikum Budidaya Pakan Alami. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya. Hal. 49.

Sawitri, R., M. Bismark dan M. Takandjandji. 2012. Perilaku Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di Penangkaran Purwodadi, Deli Serdang Sumatera Utara.Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 9 (2) : 285-297.

Scott, J. W. 1914. Regeneration, Variation and Correlation in Thyone. The American Naturalist, 48 (509) : 280-307.

Septiadi, T., D. Pringgenies dan O. K. Radjasa. 2013. Uji Fitokimia dan Aktivitas Aintijamur Ekstrak Teripang Keling (Holothuria arta) dari Pantai Bandengan Jepara terhadap Jamur Candida albicans. Journal of Marine Research, 2 (2) : 76-84.

Setyono, H., Kusriningrum R. S., Mustikoweni, T. Nurhajati, R. Sidik, A. Al-Arief, M. Lamid dan W. P. Lokapirnasari. Teknologi Pakan Hewan. Edisi 2. Departemen Peternakan. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga.

Singh, R., B. A. Mac Donald, M. L. H. Thomas and P. Lawton. 1999. Patterns of Seasonal and Tidal Feeding Activity in the Dendrochirote Sea Cucumber Curcumaria frondosa (Echinodermata : Holothuroidea) in the Bay of Fundy, Canada. Mar Ecol Prog Ser, 187 : 133-145.

Smilek, K. R. and D. I. Hembree. 2012. Neoichnology of Thyonella gemmata: A Case Study for Understanding Holothurian Ichnofossils. The Open Paleontology Journal. 4 : 1-10.

Subekti, S., Kismiyati, Rosmanida, S. Andriyono dan K. T. Pursetyo. 2011. Buku Ajar Avertebrata Air. hal. 202.

Gambar

Tabel
Gambar  Halaman
Gambar 1. Phyllophorus sp. di pantai timur Surabaya (Winarni dkk., 2010)
Gambar 2. Tentakel tipe dendritik pada Phyllophorus spiculata(Wild Fact Sheets, 2008)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terhadap Stateless Persons Rohingya) The Law Protection of Stateless Persons based on Internaional Law (A Study on Stateless Persons of Rohingya) sebagai syarat

1) Konflik pekerjaan keluarga yang dialami oleh perawat wanita rumah sakit BaliMed Denpasar mempengaruhi stress kerja perawat. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan

2.1 Alur Studi Numerik Pergerakan Pig Melalui Equal Tee pada Operasi Pigging Penelitian yang dilaksanakan pada tugas akhir ini adalah untuk melaksanakan studi numerik analisa

Aset keuangan (atau mana yang lebih tepat, bagian dari aset keuangan atau bagian dari kelompok aset keuangan serupa) dihentikan pengakuannya pada saat: (1) hak kontraktual atas arus

Membuat pencatatan dan pelaporan serta visuaslisasi data kegiatan kesehatan lingkungan sebagai bahan informasi dan pertanggungjawaban kepada kepala puskesmas.. Melakukan evaluasi

Majlis yang berlangsung di perkarangan ruang legar auditorium Skeikh Muham- mad Ramadhan Al Bu telah mendapat sambutan yang menggalakkan dari kakitangan Fakul

Dari hasil analisis Matriks IE, diketahui bahwa UD Payung Agung ada pada Cell I yang menunjukkan bahwa UD Payung Agung memiliki kekuatan untuk mengatasi kelemahan dan dapat

Dari data tersebut apabila digali dengan baik maka dapat diketahui alur atau pengetahuan baru yang dapat dikembangkan untuk di terapkan pada BLU Terminal