• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAB 33 PENANGGULANGAN DAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BAB 33 PENANGGULANGAN DAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PRESIDEN R E P U B L I K I N D O N E S I A

BAB 33

(2)

BAB 33

PENANGGULANGAN DAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA

A. KONDISI UMUM

Setelah kejadian bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias pada bulan Desember 2004, lndonesia masih menghadapi berbagai kejadian bencana di berbagai daerah seperti gempabumi, tsunami, banjir dan longsor, angin puting beliung, ancaman letusan gunung api, dan kebakaran hutan. Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa dan tsunami di Aceh dan Kepulauan Nias, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, penanganan semburan lumpur Sidoarjo, gempa bumi di Sumatera Barat dan Bengkulu, belum terselesaikan. ditambah lagi dengan berbagai kejadian bencana yang dapat diakibatkan karena perubahan iklim global, seperti gelombang pasang, banjir dan longsor, yang mempengaruhi perekonomian pada skala lokal maupun nasional, akibat terhambatnya perdagangan komoditas antar pulau dan pasokan batubara untuk PLTU di pulau Jawa dan -Bali.

Perubahan iklim juga dapat mengakibatkan berkembangnya pandemi di berbagai wilayah di Indonesia, yang menunjukkan bahwa beragamnya bencana alam yang berdampak pada bencana kemanusiaan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sangat membutuhkan penanganan secara khusus.

Setelah empat tahun pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Kepulauan Nias, serta hampir tiga tihun pelaksanaan tugas dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara (BRR NAD-Nias), lembaga tersebut akan segera mengakhiri masa tugasnya pada bulan April 2009 yang akan datang. Dengan berakhirnya tugas dari BRR NAD-Nias tersebut, maka pada tahun 2009 penyelesaian dan keberlanjutan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias akan dilanjutkan oleh kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan di Provinsi Sumatera Utara, sesuai sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Pada tahun 2007, pencapaian dari program rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias yang telah dilaksanakan oleh BRR NAD-Nias mencakup

beberapa kegiatan pokok yaitu: penyelesaian perumahan, prasarana lingkungan permuliman, air bersih dan sanitasi, pengembangan perekonomian masyarakat, peningkatan kesejahteraan sosial, pembangunan fasilitas pendukung kehidupan sosial kemaJyarakatan seperti pendidikan dan kesehatan, serta peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat.

Pada tahun 2008 pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias ditbkuskan pada peningkaan kualitas infrastrukttr, penyelesaian pe.rumahan dan permukiman bagi korban bencana, pengelolaan lingkungan hidup, dan penyelesaian rnasalah penataan ruang wilayah. Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dilakukan melalui proses legalisasi peraturan daerah, peningkatkan SDM, pemenuhan pelayanan dasar, dan pengarusutamaan gender, dengan mernperkuat landasan perekonomian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, memperkuat kapasitas kelembagaan, meningkatan koordinasi antar pelaku pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, serta meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan pengembangan wilayah.

(3)

PRESIDEN R E P U B L I K I . N D O N E S I A

Dengan kinerja pencapaian yang telah dilakukan BRR NAD-Nias selama tahun 2007 dan 2008 di atas, maka pada tahun 2009 masih akan dilanjutkan penyelesaian dari beberapa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana wilayah yang meliputi: (t) menyelesaikan infrastruktur jalan, jembatan dan infiastruktur lainnya; (2) menyelesaikan pembangunan perekonomian di tingkat masyarakat; (3) menyelesaikan kegiatan pelayanan sosial kemasayarakatan seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan dan peningkatan peran perempuan dalam pembangunan; serta (4) mempersiapkan langkah-langkah mehuju berakhirnya masa tugas dan mandat BRR NAD-Nias pada bulan April 2009 mendatang.

Berbagai permasalahan dan tantangan masih akan dihadapi dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pasca bencana di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias pada tahun 2009, meliputi: (l) masih belum terselesaikannya infrastruktui utama, yaitu jalan provinsi, jalan kabupaten, dan infrastruktur lainnya; (2) masih belum maksimalnya pelaks4naan program pemberdayaan masyarakat korban bencana; (3) masih rendahnya kualitas pelayanan pubtik seperti pendidikan, kesehatan, dan peran perempuan dalam pembangunan; (4) belum terselesaikannya masalah penataan ruang wilayah yang dijadikan dasar kebijakan spasial pelaksanaan pembangunan, baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota; (5) dalam rangka melanjutkan program rehabilitasi dan rekonstruksi yang berkesinambungan pascaberakhirnya BRR NAD-Nias pada tahun 2009, maka sejak awal sudah perlu dipersiapkan penguatan kapasitas Pemerintah Daerah; serta, (6) diperlukan payung hukum secara khusus mengenai pengakhiran masa tugas BRR NAD-Nias, dan pengalihan tanggung jawab pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Selain di wilayah Provinsi NAD dan Kepulauan Nias, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana juga dilakukan selama hampir dua tahun terakhir ini di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Provinsi Jawa Tengah, pascakejadian gempa bumi pada tanggal27 Mei 2006 yang lalu. Sesuai dengan Keputusan Fresiden No. 91ahun 2006, pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah pasca bencana gempa bumi 27 Mei 2006, drjadwalkan dapat diselesaikan pada bulan Juni 2008. Pelaksanaan pemulihan pascabencana melalui pendanaan APBN sejak tahun 2006 hingga 2008, menunjukkan bahwa pemulihan perumahan korban bencana telah diselesaikan melalui pendanaan sebesar Rp5,74 triliun; sementara untuk pemulihan prasarana publik telah dialokasikan sebesar Rpl,2 triliun; dan untuk pemulihan perekonomian masyarakat dan daerah telah dialokasikan sebesar Rp430,4 miliar. Namun demikian, masih banyak tantangan yang akan dihadapi pada tahun 20og dalam pembangunan daerah pascarehabilitasi dan rekonstruksi, diantaranya: (l) penataan ruang permukiman dan pengembangan lahan skala besar yang memenuhi tata lingkungan yang baik dengan pendekatan pengurangan risiko bencana; (2) masih diperlukan perhatian untuk meningkatkan petayanan dasar bagi masyarakat, terutama bagi kelompok rentan; (3) masih diperlukannya dukungan yang difbkuskan bagi pengembangan usaha kecil dan menengah serta pemulihan infrastruktur perekonomian lokal; serta (4) dukungan bagi perumusan kebijakan dan peningkatan kapasitas kelembagaan dalam penguranganliriko b.n"unu.

Dalam konteks pengurangan risiko bencana, perubahan paradigma dari penanggulangan bencana menjadi pengurangan risiko bencana telah diwujudkan dengan teirs"usunnya Rencana Aksi Nasional Pengurangan .Risiko Bencana 20061009 dan teibitnya Undang-Undang Nomor 24 tahun ZO-02 tentang Penanggulangan Bencana, yang disusul kdmudian dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan iulau Pulau Kecil.

(4)

Terbitnya Undang-Undang. Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, merupakan suatu komitmen Pemerintah yang sangat jelas dalam menangani kebencanaan di tingkat nasional maupun daerah, yang mencakup berbagai aspek yang bersifat terobosan di dalam pengelolaan dan penanganan masalah kebencanaan secara lebih komprehensif dan berdimensi sistemik. Hal ini ditunjukkan dengan muatan dari undang-undang Nomor 24 tahun 2007, yang menjadi dasar hukum dalam penanganan masalah kebencanaan, tidak hanya dalam penanganan kedaruratan, namun juga mencakup kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan penanganan pemulihan pascabencana dalam jangka menengah dan ppjang. Hal penting lainnya yang juga diatur dalam Undang-undang tersebut adalah pembentukan kelembagaan penanggulangan bencana di tingkat pusat maupun daerah, yang akan bertanggung jawab di dalam mengkoordinasikan penanggulangan bencana secara li ntaspemangku kepenti ngan.

Salah satu turunan dari Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 adalah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 8 khun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Tugas dan tanggung jawab dari BN PB, selain dalam melakukan koordinasi penanggutangan bencana di tingkat nasional, namun juga memberikan dukungan peningkatan kapasitas bagi lembaga penanggulangan bencana di tingkat daerah, serta berbagai upaya lainnya untuk meningkatkan kesiapsiagaan seluruh pemangku kepentingan di tingkat nasional maupun daerah di dalam penanggulangan dan pengurangan risiko bencana.

Dalam Rencana Kerja Pemerintah 2008, telah ditetapkan program dan fokus kegiatan pengurangan risiko bencana melalui pendayagunaan rencana tata ruang wilayah sebagai salah satu instrumen utama untuk mengurangi resiko bencana dan peningkatan kualitas informasi, data maupun peta wilayah rawan bencana yang memadai bagi analisa pola pemanfaatan ruang sekaligus menguatkan kelembagaan di tingkat daerah dalam pengendalian pemanfaatan rencana tata ruang wilayah. Meskipun demikian, pencapaian di bidang penataan ruang wilayah pada tahun 2008 masih terkendala oleh beberapa hal pokok, diantaranya: (l) belum memadainya kapasitas kelembagaan dan koordinasi penataan ruang wilayah di tingkat pusat dan daerah; (2) lemahnya dukungan sistem informasi dan monitoring penataan ruang wilayah sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang wilayah yang tanggap terhadap bencana; (3) belum tersedianya Norma Standar Prosedur dan Manual (NSPM) penataan ruang wilayah yang tanggap terhadap risiko bencana; serta (4) belum optimalnya upaya penyediaan data dan informasi spasial.

Berkenaan dengan pencapaian pada tahun 2008 tersebut, maka tantangan yang dihadapi pada tahun 2009 diantaranya adalah: (l) masih rendahnya kinerja penanggulangan bencana; dan (2) masih rendahnya perhatian terhadap perlunya pengurangan risiko bencana.

Dihadapkan pada tantangan tersebut, maka dalam konteks peningkatan kinerja penanggulangan bencana pada tahun 2009, masih diperlukan dukungan kebijakan yang diarahkan untuk: (l) menyelesaikan dan melanjutkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias, di Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah, di Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Barat, serta di berbagai daerah lainnya sesuai dengan sasaran. yang telah ditetapkan dalam rencana induk maupun rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi dari masing-masing wilayah; (2) meningkatkan kapasitas penanganan kedaruratan terhadap korban bencana; serta (3) meningkatkan kapasitas pemulihan perekonomian daerah pascabencana.

Selanjutnya dalam konteks peningkatan perhatian terhadap perlunya pengurangan risiko bencana, masih diperlukan dukungan kebijakan pada: (l) pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) pada kawasan rawan dan berisiko tinggi terhadap bencana; (2) mengurangi tingkat kerawanan dan risiko terjadinya bencana melalui

(5)

PRESIDEN R E P U B L I K I N D O N E S I A

perencanaan dan pelaksanaan tata ruang wilayah yang konsisten; serta (3) mempersiapkan langkah-langkah antisipasi untuk mengurangi tingkat kerawanan dan potensi risiko bencana dan pengaruh perubahan iklim global.

B. SASARAN PEMBANGUNAN TAHUN 2OO9

Penanggulangan dan pengurangan risiko bencana pada tahun 2009 dimasukkan ke dalam fokus Peningkatan Kapasitas Mitigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim serta Peningkatan Pengurangan Risiko Bencana. Sasaran yang akan dicapai dalam penanggulangan dan pengurangan risiko bencana pada tahun 2009 terdiri dari: (l) terselesaikannya dan tuntasnya program dan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias, Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah, dan daerah pascabencana lainnya; serta (2) terpadunya upaya pengurangan risiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan iklim global.

Terkait dengan sasaran terselesaikannya dan tuntasnya program dan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencarra di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias, akan difokuskan pada sasaran kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

l. Terselesaikannya rehabilitasi dan pembangunan kembali prasarana dan sarana transportasi wilayah, terutama jaringan jalan nasional, drainase berskala besar di Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Meulaboh, dan Lhoukseumawe pelabuhan dan bandar udara, pembangunan jalan provinsidan kabupaten, serta berbagai infrastruktur lainnya, seperti terminal, jaringan irigasi, tanggul pengendali banjir, pengaman pantai, sarana dan prasarana air minum, sanitasi, air limbah, dan persampahan;

2. Terselesaikannya pemulihan perekonomian lokal, sosial kemasyarakatan, dan penguatan kelembagaan, termasuk sertifikasi tanah di 25 kabupaten/kota di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.

Sementara itu, sasaran yang akan dicapai dalam penanggulangan dan pengurangan risiko bencana di wilayah Provinsi DIY dan Provinsi Jawa Tengah, serta daerah pasca bencana lainnya, meliputi:

l. Terselesaikannya pembangunan dan rehabilitasi pftNarana publik yang meliputi prasarana pendidikan, kesehatan, dan prasarana peribadatan secara proporsional; termasuk pembangunan pusat informasi perumahan, permukiman, bangunan dan gedung; serta pembangunan pusat pelayanan sosial dan trauma psikologis bagi korban bencana.

2. Tersusunnya strategi pengembangan ekonomi lokal dan strategi untuk menciptakan sistem perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, termasuk pengembangan insentif dan perlindungan bagiUMKM diwilayah pasca bencana.

Sasaran yang akan dicapai dalam pengurangan risiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan iklim gobal meliputi:

l. Berkurangnya risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah yang implementasinya dilaksanakan oleh lembaga penanggulangan bencana di tingkat pusat dan daerah, sesuai dengan Peraturan Presiden No 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang berfungsi sebagai badan koordinasi lintaspemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah dalam penanggulangan bencana secara terpadu, yang meliputi pencegahan dan kesiapsiagaan, penanganan darurat, serta pemulihan pascabencana.

(6)

J .

4.

Terbentuknya Forum Nasional (National Platform) Penanggulangan Bencana sebagai penjabaran-kesepakatan internasional yang tertuang dan Kerangka Aksi Hyogo untuk Pengurangan Risiko Bencana'

Terciptanya penguatan kelembagaan di pusat dan daerah dalam rangka memadukan rencana pengurangan risiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Tersusunnya Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana, terutama pTla daerah-daerah yang telah membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)' dengan melibatkan partisipasi berbagai pemangku kepentingan, tefmasuk lembaga donor internasional, dunia usaha serta akademisi.

Terlaksananya pelatihan peningkatan kesiapsiagaan .aparat BPBD, serta Satlak dan Satkorlak daerah (bagi daerah yang belum membentuk BPBD), serta kader Karang Taruna dalam penanganan bencana di daerah, terutama di daerah rawan bencana, dan penyediaan kelengkapan standar sarana dan prasarana kebencanaan.

Terbangunnya sistem informasi Pengurangan Risiko Bencana dan tersedianya peta multi riwan bencana yang dapat menjadi acuan bagi instansi di tingkat national maupun di daerah.

Tercapainya pemantapan teknologi, informasi dan prosedur sistem peringatan dini pada institusi di tingt<at pusat dan daerah, melalui sosialisasi dan fasilitasi pengembangan dan penguatan keiembagaan dalam prosedur dan operasional sistem deteksi dini baik di tingkat pusat maupun daerah.

Terlaksananya pendidikan di lingkungan sekolah yang berkaitan dengan pengetahuan tentang keiiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana serta adaptasi terhadap perubahan iklim global, sebagai bagian dari pendidikan formal maupun ekstra kurikulum.

g. Terlaksananya kegiatan fasilitasi dan pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah beibasis pengurungan risiko bencana didukung informasi peta tematik multi 1u*an bencana dengan skala yang sesuai serta penguatan kelembagaan pengendalian pemanfaatan ruang, terutama di daerah-daerah rawan bencana di Indonesia.

C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN 2OO9

Dalam rangka melanjutkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pascabencana di Provinsi XAO Oan Kepulauan Nias, diprioritaskan pada upaya-upaya sebagai berikut:

l. Penguatan Kapasitas Pemerintahan dan Transisi Pembangunan NAD-Nias Pascabencana;

2. Peningkatan Kehidupan Masyarakat dan Pengembangan Wilayah NAD-Nias Pascabencana.

Dalam rangka melanjutkan kegiatan pemulihan pasca bencana diwilayah Provinsi DIY dan Pqovinsi Jawa Tengah dan daerah pasca bencana lainnya, diprioritaskan pada upaya-upaya sebagai berikut:

l. Fasilltasi pelayanan informasi dan peningkatan pemahaman masyarakat dalam melanjutkan pembangunan perumahan dan permukiman pasca pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.

5 .

7.

(7)

PRESIDEN R E P U B L I K I N D O N E S I A

2. Peningkatan pelayanan dasar bagi masyarakat yang meliputi pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sarana peribadatan, termasuk peningkatan pelayanan sosial dan trauma psikologis bagi korban bencana.

3. Penyusunan strategi pengembangan ekonomi lokal dan perbaikan infiastruktur pedesaan melalui penyempurnaan dan perluasan cakupan program yang berbasis ' masyarakat dan sekaligus perlindungan sosial bagi masyarakat miskin, serta

pengembangan insentif dan perlindungan bagi UMKM di wilayah pascabencana. Dalam rangka mengantisipasi berbagai kemungkinan kejadian bencana beserta tantangan dan permasalahannya di tahun 2009, kebijakan penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana diprioritaskan pada upaya-upaya pengintegrasibn pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim global, sebagai berikut:

1. Penjabaran rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, kegiatan meliputi beberapa diantaranya:

a) Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional maupun daerah dan implementasinya harus dilaksanakan oleh suatu institusi yang kuat dan bersif'at koordinatif I intas sektoral:

b) Mempersiapkan penyusunan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana sebagai salah satu prioritas daerah dengan mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim global, serla dengan mengikutsertakan partisipasi dan konsensus serta komitmen berbagai pemangku kepentingan di tingkat daerah;

c) Mengkaji termasuk mengembangkan Sistem Infbrmasi Pengurangan Risiko Bencana serta peta multi rawan bencana yang terintegrasi antar institusi yang mempunyai tugas dan fungsi berkaitan dengan penanggulangan dan pengurangan risiko bencana.

d) Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta mengembangkan '

sistem (prosedur dan teknologi) peringatan dini (early warning system); e) Mengurangi cakupan luasan dan dampak risiko bencana.

2. Pengembangan kemampuan kelembagaan dan SDM dalam mitigasi bencana dan perubahan iklim global, kegiatan meliputi beberapa diantaranya:

a) Penguatan kelembagaan dalam pencegahan dan penanganan bencana di tingkat nasional dan daerah-daerah, dengan prioritas pada daerah-daerah yang rawan bencana;

b) Pembentukan Forum Nasional (National Platform) Penanggulangan Bencana sebagai pelaksanaan kesepakatan internasional dalam Kerangka Aksi Hyogo;

c) Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam usaha mitigasi bencana; d) Peningkatan kesiapsiagaan masyarakat untuk mampu memberikan tanggapan yang

tepat dan efbktif terhadap dampak bencana;

e) Penerapan sistem deteksi dini (early wm'ning iys/em) dalam rangka peningkatan ' kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana di tingkat daerah dan masyarakati

0 Pengingkatan kapasitas kelembagaan dan SDM terkait dengan penyedia data dan informasi cuaca dan iklim dalam memprediksi iklim secara akurat dan menyebarluaskannya ke masyarakat secara langsung (real time);

3.'Peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim global, kegiatan meliputi beberapa diantaranya:

a) Memanfaatkan pendidikan dan menciptakan inovasi ilmu pengetahuan dan '

teknologi untuk membangun budaya dalam mengurangi risiko bencana, keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan;

(8)

b) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim global dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat, Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) serta tokoh masyarakat dan tokoh agama;

c) Penyebaran informasi kepada masyarakat tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam usaha pelaksanaan pengurangan risiko bencana;

d) Peningkatan pemahaman dan pengetahuan masyarakat akan perubahan iklim global yang perlu diterapkan ke dalam kegiatan mata pencaharian sehari-hari, seperti pertanian, perikanan, dan lain-lain;

4. Pendayagunaan penataan ruang nasional dan daerah yang berbasis pengurangan risiko bencana, kegiatan meliputi beberapa diantaranya:

a) Konsolidasi dan penyediaan informasidan data spasial rawan bencana;

b) Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota berbasis pengurangan risiko bencana;

c) Penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) pengendalian pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan faktor mitigasi bencana;

d) Penguatan dukungan Sistem Informasi dan Monitoring Penataan Ruang dalam rangka mendukung upaya pengendalian pemanfaatan ruang;

e) Penguatan kapasitas kelembagaan dan koordinasi penataan ruang di tingkat nasional dan daerah dalam rangka mendukung upaya pengendalian pemanfaatan ruang; f) Peningkatan kualitas pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah

yang berbasis mitigasi bencana, daya dukung wilayah, dan pengembangan kawasan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil survey didapatkan tingkat budaya peduli 53,5% sementara target yang hendak dicapai 70%. Hal ini disebabkan antara lain karena kepedulian dalam meningkatkan

Sebelum melakukan penyulusan tentang konseling, terlebih dahulu memberikann gambaran tentang bagaimana Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK-R) dikalangan mahasiswa, yang

Kelompok komoditas yang memberikan andil/sumbangan inflasi pada Mei 2016, yaitu: kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan 0,14 persen; kelompok makanan

atau tidak beratap. Sarana ini dikategorikan jenis yang menetap. d) Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana terdapat dua jenis, yaitu beratap dan tidak. beratap. Sarana ini

Membawa kelengkapan dokumen asli atau dokumen yang dilegalisir oleh pihak.. yang berwenang sebagaimana yang telah disampaikan dalam daftar

Sebagai sumber referensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai Analisis Implementasi Program Deteksi Dini Kanker Serviks dengan Metode IVA Di Puskesmas Tanjung

formulasi sediaan lipstik dengan menggunakan zat warna alami dari ekstrak

Apabila kerusakan dalam jual beli itu terkait dengan barang yang dijualbelikan, maka hukumnya batal, seperti memperjualbelikan benda haram (khamr, babi, dan darah). Apabila