• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN SOSIAL MASYARAKAT TERASING DI ERA OTONOMI DAERAH: STUDI KASUS MASYARAKAT SUKU ANAK DALAM DI MUAROJAMBI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBANGUNAN SOSIAL MASYARAKAT TERASING DI ERA OTONOMI DAERAH: STUDI KASUS MASYARAKAT SUKU ANAK DALAM DI MUAROJAMBI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KASUS MASYARAKAT SUKU ANAK

DALAM DI MUAROJAMBI

M

AHMUD

MY & E

DY

K

USNADI

Abstrak

Pembangunan sering kali mengesampingkan aspirasi dari bawah dan menggunakan paradigma dari atas (top-down). Dalam era otonomi daerah sekarang, pembangunan model tersebut ditinggalkan, diganti dengan paradigma bottom-up. Namun, pembangunan model terakhir ternyata tidak luput dari kegagalan. Artikel ini berusaha membahas faktor yang menghambat pembangunan sosial dengan mengambil kasus pada Suku Anak Dalam di Sungai Segandi, Desa Nyogan, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muarojambi.

Kata Kunci: paradigma pembangunan sosial, otonomi daerah, SAD.

Pendahuluan

Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) adalah masyarakat terasing yang hidup di Sumatera bahagian selatan, termasuk di Provinsi Jambi. Masyarakat SAD seperti masyarakat terasing lainnya, merupakan penduduk yang secara turun-temurun menduduki wilayah geografis tertentu.

Pemerintah pada dasarnya telah memberikan perhatian kepada masyarakat terasing dalam aspek pembangunan sosial. Pemerintah berusaha untuk meningkatkan dan memperbaiki kehidupan sosio-ekonomi masyarakat itu. Salah satu aspek utamanya adalah meningkat-kan tahap kesejahteraan mereka dengan cara memberimeningkat-kan pendidimeningkat-kan yang secukupnya kepada masyarakat, memberikan layanan kesehatan, membangun sistem ekonomi, dan sebagainya.

Namun apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak sepenuhnya berhasil. Program-program pembangunan yang bersifat top-down

(2)

sering kali mengalami kegagalan sehingga mengakibatkan terabaikannya kepentingan masyarakat terasing itu sendiri. Keadaan tersebut dapat dilihat dalam program pelaksanaan pembangunan sosio-ekonomi masyarakat SAD di Jambi, yakni banyak program yang dilaksanakan mengalami kegagalan. Hal itu ditandai dengan perkampungan-perkampungan masyarakat yang dibangun pemerintah ditinggalkan oleh masyarakat. Mereka kembali lagi ke dalam hutan-hutan dan perkampungan tersebut telah dihuni oleh masyarakat-masyarakat lain. Kegagalan program pemerintah dalam membangun masyarakat terasing secara umumnya di Indonesia dan masyarakat SAD secara khususnya bukanlah permasalahan yang baru terjadi pada masa otonomi daerah ini saja, tetapi permasalahan ini telah berlangsung cukup lama di Indonesia. Pada dasarnya pemerintah Indonesia telah melakukan program pembangunan masyarakat ini sejak tahun 1968, ketika berdiri Orde Baru. Usaha yang dilakukan Orde Baru (1968-1998) adalah mendirikan Departmen Sosial (Depsos) yang bertujuan menangani masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, memelihara anak-anak yatim dan piatu, warga tua, dan masalah sosial lainnya serta melaksanakan pembangunan masyarakat terasing.

Seiring perkembangan sistem politik di Indonesia yang mengalami perubahan pada 1998, program pemerintah juga mengalami per-ubahan. Jika sebelumnya program tersebut diletakkan di bawah pemerintah pusat, setelah perubahan politik, program berada pada pemerintah daerah. Perubahan dikarenakan perubahan sistem dari sentralisasi ke desentralisasi atau otonomi daerah. Perubahan terlak-sana pada 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang meletakkan pelaksanaan otonomi itu pada daerah kabupaten atau kota. Dengan undang-undang itu, pembangunan masyarakat terasing tidak lagi dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah pusat, melainkan menjadi kewajiban pemerintah daerah. Akibatnya dana peruntukan yang sebelumnya disediakan pemerintah pusat telah dihentikan dan dibe-bankan kepada pemerintah daerah.

(3)

Berdasarkan kenyataan di atas, artikel ini berusaha melihat pemba-ngunan masyarakat SAD di Jambi, khususnya di Desa Nyogan dan Sungai Sekandi, Kecamatan Sebapo, Kabupaten Muarojambi, setelah pelaksanaan otonomi daerah. Pertanyaan yang berusaha dijawab adalah mengapa program pembangunan tersebut masih kurang berhasil, faktor apa saja yang memengaruhinya dan bagaimana implikasi yang ditimbulkan.

Proses Pembangunan di Wilayah SAD

SAD termasuk salah satu masyarakat terasing di Indonesia yang mendapatkan perhatian dari para sosiolog, di antaranya Qyvind (1984), Muntholib (1995), Amilda (1999), Warsi (2000), Ali M.A. Rahman (2000), Wientre (2001), dan sebagainya. Mereka meneliti tentang kehidupan masyarakat SAD di Jambi. Dengan kata lain, para ahli tersebut meneliti kehidupan sehari-hari masyarakat SAD, baik dari kebiasaan cara berburu, adat istiadat, dan sebagainya. Sementara peneliti seperti Amilda (1999) melihat kehidupan mereka dalam pembangunan, dalam arti kata mereka melihat tingkah laku masyarakat tersebut sebelum dan sesudah mereka dibina.

Qyvind (1984) adalah di antara ahli yang meneliti tentang keberadaan SAD ini. Dalam penelitian beliau yang berjudul Kubu Conception of Reality, Qyvind meneliti tentang kehidupan dan tingkah laku SAD atau dengan kata lain dia lebih menekankan kepada aspek kehidupan sosial mereka sehari-hari. Penelitiannya dilakukan di daerah Bukit Duabelas, Provinsi Jambi. Dari penelitiannya didapati bahwa masyarakat SAD juga mempunyai struktur organisasi sebagaimana masyarakat umum lainnya. Pada keseluruhan masyarakat tersebut, terdapat pemimpin yang dinamakan tumenggung. Pemimpin ini harus orang yang menjalani adat secara rutin dan tidak pernah melanggar adat mereka.

Istilah pembangunan itu sendiri menunjukkan makna yang subjektif dan merujuk kepada sesuatu proses. Dalam arti kata, proses dari satu tahap ke tahap lain, atau proses perkembangan dan usaha untuk

(4)

memajukan serta menyejahterakan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, di dalam istilah pembangunan, akan terdapat dua kata yang saling berlawanan, yaitu satu merujuk kepada “yang terbelakang” atau “mundur” dan satu lagi merujuk kepada “maju”.1

Konsep pembangunan diartikan sebagai suatu tranformasi secara “menyeluruh” masyarakat tradisional atau masyarakat pramodern menjadi masyarakat yang bercorak teknologi serta organisasi sosialnya berkaitan seperti yang terdapat di negara-negara maju.2 Konsep ini

sering dinamakan dengan modenisasi, yakni pergantian teknik produksi daripada cara-cara tradisional ke cara-cara modern yang tertampung dalam pengertian revolusi industri. Namun, revolusi industri itu sendiri merupakan salah satu aspek dari proses yang jauh lebih luas. Oleh karena itu, pembangunan ialah “suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat segala aspek-aspeknya”.3

Ada tiga dimensi penting dalam pembangunan sosial, yaitu 1) meningkatkan kualitas kehidupan sosial, 2) aspek elemen sosial, dan 3) meningkatkan penyertaan komunitas. Dalam artikel ini, ketiga elemen tersebut dijadikan model dalam pembangunan sosial. Dalam usaha meningkatkan kualitas kehidupan sosial, terdapat beberapa komponen penting yang perlu dicapai di dalam pembangunan kualitas kehidupan sosial, yaitu kesehatan, pangan, pendidikan, perumahan, kerohanian (agama), lapangan pekerjaan, dan fasilitas umum lainnya. Dalam hal ini, minimal ada tiga implikasi penting, yaitu: a) masyarakat harus dapat memengaruhi proses usulan kebijakan yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penggunaan sumber pembangunan sosial yang produktif; b) masyarakat harus dilibatkan di dalam setiap perencanaan usulan dan pelaksanaan aktivitas yang boleh mening-katkan taraf kehidupan sosial mereka; c) penyertaan masyarakat haruslah befungsi untuk memastikan bahwa mereka paling layak

1 Ali M.A. Rahman, Masyarakat Kecil dalam Era Global, (Bangi: Penerbit Universiti

Kebangsaan Malaysia, 2000), hlm. 163.

2 Soejono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, ( Jakarta: Rajawali, 2001). 3 Soekanto, Sosiologi.

(5)

menerima bagian pembangunan sosial tersebut dan diberikan peluang yang sewajarnya.

Di samping itu, penyertaan masyarakat dalam pembangunan sosial juga harus disertai keyakinan bahwa masyarakat mempunyai kemam-puan untuk mengubah keadaan mereka sendiri ke arah kehidupan yang lebih baik dan mapan. Dengan adanya keyakinan ini, masyarakat tidak bergantung sepenuhnya kepada pembangunan yang selalunya dilaksanakan dari atas (top-down) atau pemerintah sehingga mereka dapat berdikari untuk mengubah kehidupan mereka sendiri (button-up).4

Program pembangunan masyarakat SAD di Jambi secara umumnya dan di Desa Nyogan khususnya telah dimulai sejak 1970-an. Namun, berbagai persoalan timbul dalam proses pembangunan kualitas hidup masyarakat SAD di daerah Jambi, termasuk pascareformasi dan otonomi daerah di Indonesia. Walaupun berbagai cara untuk mema-jukan hak masyarakat tersebut dan melindungi kepentingan mereka terus diperjuangkan, ternyata belum juga berhasil dan bahkan banyak masyarakat tersebut yang hidup miskin dan kurang terarah.

Menurut Agus Sukamto,5 di kawasan Sungai Segandi,

pemba-ngunan dimulai pada 2003. Pemerintah telah membangun berbagai fasilitas seperti 66 rumah hunian untuk 66 kepala keluarga (KK). Pemerintah telah membangun sebuah balai pertemuan yang berfungsi sebagai tempat serbaguna dan sebuah musala. Pemerintah juga memberikan bantuan kepada masyarakat di kawasan tersebut seperti beras, minyak sayur sebanyak 5 kg sebulan untuk satu keluarga, kopi 500 g, garam 2 kg, gula 3 kg, baju, peralatan pertanian seperti cangkul dan parang, serta sarana ibadah.

Bantuan-bantuan kepada masyarakat SAD tersebut diberikan selama dua tahun berturut-turut hingga awal 2006, sebelum mereka benar-benar dilepaskan oleh pemerintah untuk hidup mandiri.

4 Taliziduhu Ndraha, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal

Landas, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1990).

(6)

Pembangunan Sosial Masyarakat Suku Anak Dalam

Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya mempunyai orientasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Usaha-usaha peningkatan kesejahteraan tersebut tidak semata faktor ekonomi, tetapi juga pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan fasilitas lainnya. Berikut faktor-faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut.

Pendidikan

Usaha untuk meningkatkan pendidikan bagi masyarakat SAD di Desa Nyogan telah dilaksanakan oleh Kementerian Sosial bersamaan dengan pelaksanaan program untuk membangun masyarakat tersebut. Pelak-sanaan program pendidikan yang dilaksanakan adalah pendidikan formal yang disesuaikan dengan kurikulum yang ada.

Terdapat sebuah sekolah dasar (SD) saja di Sungai Segandi, Desa Nyogan, yaitu SD No. 238/IX Sungai Segandi, Desa Nyogan, dan baru dua lokal. Walaupun pemerintah telah mendirikan SD di Sungai Segandi, sekolah tersebut masih kekurangan guru. Menurut Hasan yang merupakan guru SD No. 238/IX, mereka sekarang kekurangan guru. SD tersebut hanya memiliki satu guru tetap dan satu honor.6

Ekonomi

Kehidupan ekonomi masyarakat SAD di Desa Nyogan telah dibentuk oleh pemerintah. Secara umum dapat dikatakan pemerintah meng-hendaki masyarakat tersebut hidup menetap dengan pertanian tetap. Sistem tersebut juga dibuat karena semua kawasan di sekitar Desa Nyogan telah menjadi milik perusahaan swasta, terutama perusahaan kelapa sawit. Bahkan kawasan perkampungan masyarakat SAD sekarang diapit oleh perkebunan-perkebunan sawit sehingga tidak memungkinkan untuk membuka ladang atau kebun lagi.

Jika dilihat peluang pekerjaan masyarakat SAD Nyogan terhadap

(7)

perkebunan sawit, mereka menyatakan tidak ada yang bekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit. Ketika ditanyakan mengapa pihak perkebunan sawit enggan mengambil mereka sebagai pekerja, jawa-bannya karena orang Jawa lebih rajin jika dibandingkan dengan SAD. Mungkin adat dan kebiasaan masyarakat SAD selama ini yang telah terbiasa bekerja sendiri tanpa peraturan, tidak sesuai dengan yang dikehendaki perusahaan.

Dengan demikian, masyarakat SAD Sungai Segandi Desa Nyogan yang dulu adalah penduduk Jatang Mageris, tidak mempunyai peker-jaan tetap. Oleh karena itu, kebanyakan dari mereka hanya hidup bergantung kepada pemberian pemerintah pada masa pembinaan. Selebihnya mereka hanya mencari ikan untuk keperluan sehari-hari. Kesehatan

Masalah kesehatan berhubungan dengan tahap kesejahteraan masya-rakat. Jika masyarakat tidak mengalami peningkatan kesehatan, berarti kurang sejahtera. Di Desa Nyogan, terdapat sebuah puskesmas yang melayani kesehatan masyarakat, namun tempatnya berada di pangkal kampung. Dengan demikian cukup jauh jaraknya dari Sungai Segandi, kira-kira 10 kilometer. Di Sungai Segandi, Desa Nyogan, sarana kesehatan tidak ada, sehingga banyak penduduk yang mengidap penyakit. Jika ada penduduk yang mengalami sakit, mereka hanya menggunakan obat tradisional. Jika penyakitnya cukup serius, mereka baru pergi ke puskesmas. Dalam anggapan mereka, bila mereka menderita penyakit ringan, cukup berobat ke dukun dan tidak perlu ke puskesmas, karena kebiasaan mereka sedari dulu demikian.

Begitu juga dengan kesehatan ibu mengandung dan anak-anak. Karena tidak tersedia klinik kesehatan, ibu yang mengandung hanya dikunjungi oleh petugas kesehatan 1 hingga 3 bulan sekali. Namun apabila melahirkan, mereka melahirkan di rumah dan hanya dibantu dukun kampung.7

(8)

Keagamaan

Masyarakat Sungai Segandi, Desa Nyogan, semua beragama Islam. Pembangunan dalam bidang keagamaan untuk SAD di Sungai Segandi, Desa Nyogan, sangat kurang. Hal ini ditandai bahwa sejak awal pembangunan, tidak terdapat guru agama atau guru mengaji. Menurut Yan,8 hingga sekarang belum ada guru mengaji di kampung

mereka, sehingga mereka tidak tahu mengaji sama sekali dan mereka tidak tahu salat.

Memang pernah ada seseorang yang menjadi imam di masjid mereka, bernama Hasan. Namun selama tiga tahun ini dia pindah. Sejak itu pula masjid mereka tidak pernah dipakai. Mereka menga-takan bahwa alasan tidak pernah ke mesjid karena mereka tidak diajarkan mengaji dan salat.

Menurut Pak Kubung, pada masa awal pembangunan, ada guru agama yang datang, namun tidak lama. Setelah itu tidak pernah datang lagi ke kawasan tersebut. Menurutnya lagi, mereka hanya mengajar anak-anak. Guru agama yang datang mengajarkan mengaji Alquran dan membaca tulisan bahasa Indonesia. Dengan demikian, pemba-ngunan mental dan spritual masyarakat SAD di kawasan ini sangat kurang.

Mulyadi mengatakan, dia tidak tahu sama sekali mengaji dan sembahyang karena semenjak dibina, tidak pernah mendapatkan pengajaran tentang agama. Mereka tahu agama Islam tanpa mengerti isi atau ajaran Islam.9 Sepengakuan mereka, Islam itu hanya sebutan,

namun mereka tidak pernah menjalankan ibadah. Jika ada yang meninggal dunia, mereka memanggil imam masjid dari tempat lain. Pandangan Masyarakat SAD terhadap Pembangunan

Bagi penduduk atau masyarakat SAD di Nyogan yang telah dibangun, pada mulanya mereka setuju dan berterima kasih kepada pemerintah

8 Wawancara, 8 Desember 2010. 9 Wawancara, 17 Desember 2010.

(9)

yang telah membina mereka. Hal itu dikarenakan kehidupan mereka sebelum ini susah dan berada di dalam hutan yang semakin sedikit serta sering kali terjadi konflik antara mereka dan pihak lain. Namun sebagian tidak melihat adanya kemajuan dan beberapa keluarga tidak tahan dengan sistem kehidupan di luar hutan. Untuk mencukupi keperluan hidup sehari-hari keluarga terasa berat karena mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap. Oleh karena itu, sebagian pindah ke tempat lain.

Dalam bidang pendidikan, masyarakat di kawasan Nyogan menilai bahwa sarana pendidikan di kawasan Nyogan kurang karena baru setahun belakangan sekolah dasar dibangun. Apalagi tenaga pengajar di sana juga sangat kurang. Untuk fasilitas kesehatan, mereka juga menilai pemerintah kurang memerhatikan mereka, dalam hal ini tidak ada pegawai kesehatan yang berkunjung ke kawasan tersebut. Kalau-pun ada, pada waktu awal mereka dipindahkan dahulu. Menurut mereka, seharusnya di kampung mereka tersebut disediakan klinik desa dan seorang bidan desa yang tinggal di sana. Itu karena untuk berobat ke dokter jauh dan biayanya mahal, sehingga jika mereka sakit biasanya memanggil dukun atau berubat ke Pak Kubung.10

Dalam wawancara dengan Pak Kubung dan beberapa penduduk lainnya, mereka umumnya hanya meminta beberapa hal lagi, yaitu peluang pekerjaan. Dalam aspek ini, mereka meminta agar pemerintah memerhatikannya.

Melihat pandangan penduduk di kawasan tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat SAD setuju dengan pembangunan yang dijalankan pemerintah. Itu karena mereka sulit hidup di hutan yang semakin sempit. Namun, mereka mengharapkan pembangunan tersebut difo-kuskan kepada peluang pekerjaan untuk keperluan hidup mereka dan mengharapkan bahwa daerah pembangunan tersebut di dekat kawasan hutan yang dapat membantu menambah penghidupan mereka. Selain itu, mereka mengharapkan bahwa pendidikan juga harus dijadikan

(10)

prioritas oleh pemerintah.

Hambatan dan Halangan yang Dihadapi Pemerintah dalam Pembangunan Sosial Masyarakat SAD di Desa Nyogan

Kementerian Sosial sendiri telah mengeluarkan pandangannya tentang hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh pelaksana dalam pemba-ngunan masyarakat SAD. Menurut Kementerian Sosial, hambatan dan tantangan tersebut adalah:

a. Kurangnya tenaga ahli di bidang pembangunan masyarakat terasing yang berani tampil untuk membangun masyarakat SAD, sehingga tenaga yang digunakan hanyalah mereka yang berani untuk ikut serta di dalam program dengan pelatihan yang diberi-kan sekadarnya.

b. Perkampungan atau kawasan masyarakat terasing jauh dan sukar didatangi, terutama transportasi yang tidak dapat masuk ke kawasan tersebut.

c. Masalah bahasa dan adat istiadat masyarakat terasing.

d. Kurangnya dukungan nyata dari berbagai sektor atau pihak terkait di lapangan.

e. Kurangnya kerja sama atau hubungan antara departemen yang pada dasarnya mempunyai hubungan secara langsung dengan pembangunan masyarakat terasing.

Dengan adanya laporan-laporan dari hasil pemberdayaan masyarakat SAD, ada beberapa perubahan kebijaksanaan yang dibuat pemerintah. Selama Orde Baru (1966-1998), bentuk pelaksanaannya merupakan bentuk pelaksanaan dari atas ke bawah (top-down) yang merupakan suatu program pemaksaan agar masyarakat terasing ikut serta dengan program pemerintah. Sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru, sistem tersebut telah mengalami perubahan, yakni pemerintah mela-kukan kebijaksanaan dengan sistem pemberdayaan.

Namun, usaha-usaha yang dilaksanakan tersebut masih menemui banyak hambatan dan tantangan. Dari laporan-laporan penyelidikan terhadap pembangunan masyarakat SAD, Kementerian Sosial juga

(11)

merumuskan beberapa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan.

Pertama, pada tingkat lokal, persepsi yang berbeda dalam pember-dayaan masyarakat terasing atau komunitas adat terpencil (KAT), seperti dalam penetapan sasaran pemberdayaan yang kurang tepat. Dengan kata lain, sasarannya bukanlah komunitas adat terpencil, melainkan masyarakat yang berada di desa pedalaman. Selain itu, para pekerja sosial yang ikut mendampingi pelaksanaan pembangunan yang sebelumnya berasal dari pekerja sosial kecamatan (PSK), kini tidak lagi. Pekerja sosial yang ikut mendampingi pelaksanaan pembangunan kemudian punya kemampuannya tidak seperti yang diharapkan.

Kedua, pada tingkat nasional, ada beberapa masalah yang dihadapi, yaitu:

a. Keterbatasan anggaran dana. Dalam pelaksanaan pembangunan komunitas adat terpencil, anggaran yang disediakan pemerintah tidak seimbang dengan permasalahan kompleks yang dihadapi komunitas adat terpencil. Pelaksanaan pembangunan sosial masyarakat hanya dilaksanakan dengan anggaran dana yang terse-dia. Anggaran rutin yang dulu ada untuk mendukung kegiatan-kegiatan pembangunan sosial masyarakat, kini tidak tersedia lagi. b. Di beberapa daerah, untuk menangani masalah masyarakat terpencil tidak menjadi fokus daerah. Itu karena besarnya biaya yang diperlukan untuk pembangunan sosial masyarakat tersebut. c. Dari pengamatan beberapa kalangan, komunitas adat terpencil atau masyarakat terasing tidak perlu ditangani secara khusus. Itu dikarenakan keberhasilan pembangunan ekonomi secara otomatis akan berpengaruh kepada kehidupan masyarakat ini dan dengan sendirinya masyarakat akan lebih maju sejalan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat.

d. Kurangnya keprihatinan masyarakat luar dalam pembangunan masyarakat terasing.11

(12)

Permasalahan yang dihadapi pemerintah antara sebelum perubahan dan sesudah perubahan hampir sama, di antaranya kurangnya ang-garan dana yang diperuntukkan pemerintah bagi pembangunan masyarakat terasing dan kurangnya tenaga ahli dalam pembangunan tersebut. Bagi pelaksana pembangunan masyarakat SAD di Jambi, terutama di Desa Nyogan, masalah juga hampir sama dengan hambatan dan halangan yang dihadapi pemerintah pada tingkat nasional secara keseluruhan. Menurut Agus Sukamto,12 masalah utama

yang dihadapi oleh mereka adalah kurangnya dana pelaksanaan yang diberikan pemerintah. Kekurangan dana membawa kesan kepada kurangnya tenaga kerja yang ahli digunakan.

Sementara hambatan yang dihadapi pegawai, menurut Agus Sukamto, adalah kurangnya tenaga yang betul-betul ahli dan terlatih membangun masyarakat SAD. Keadaan itu membawa implikasi lambannya proses sosialisasi dan pembangunan masyarakat SAD; petugas banyak tidak mengetahui petunjuk pelaksanaan yang diberikan oleh pusat.

Tantangan dan hambatan yang juga dihadapi adalah kurangnya kerja sama antarkementerian terkait. Setiap kementerian, ketika diminta untuk ikut serta membangun, terlambat merespons bahkan terkadang tidak ada sama sekali respons yang diberikan. Di Desa Nyogan, misalnya, Kementerian Sosial telah meminta Dinas Pendidikan untuk mengirim atau meneliti keperluan pendidikan di kawasan tersebut.

Demikian hambatan dan tantangan yang dihadapi pemerintah dan petugas di lapangan dalam membangun masyarakat SAD. Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa hambatan dan tantangan yang diha-dapi pemerintah dapat dibagi kepada dua bentuk, yaitu pelaksanaan di lapangan dan hambatan dari masyarakat SAD itu sendiri. Yang perlu dilihat dalam tantangan dan hambatan tersebut, budaya malas menurut perspektif petugas pembangunan tidak dapat dijadikan

Terpencil, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Departemen Sosial RI., 2004), hlm. 6-10.

(13)

alasan bagi lambatnya pembangunan masyarakat SAD. Hal itu karena sikap malas bergantung kepada individu dan bukan komunitas secara keseluruhan. Namun, yang perlu diperhatikan adalah kesungguhan pemerintah untuk membangun masyarakat SAD sehingga masyarakat ini juga merasakan pembangunan sama seperti masyarakat lainnya. Implikasi Pembangunan Sosial Masyarakat SAD di Desa Nogan Dari hasil penelitian penulis terkait pembangunan masyarakat SAD di Desa Nyogan, tampak banyak kekurangan dalam pembangunan tersebut. Salah satunya adalah relokasi yang dilaksanakan tanpa melihat lingkungan kawasan yang sesuai dengan budaya dan cara hidup masyarakat SAD. Ini mengakibatkan masyarakat yang tidak mempu-nyai keterampilan akan kehilangan arah dan bahkan kehidupan mereka benar-benar miskin. Masalah relokasi pada dasarnya bukan hanya dilaksanakan di Indonesia, bahkan banyak negara ikut dalam model relokasi.

Masalah pembangunan kesejahteraan atau peningkatan kualitas hidup masyarakat terasing, terutama masyarakat SAD, tidak dapat dilepaskan dari usaha yang serius dari pemerintah. Di Jambi, tepatnya di Desa Nyogan, kesejahteraan hidup masyarakat belum tercapai. Hal itu diakui oleh Agus Sukamto yang menilai bahwa masyarakat di Sungai Segandi, Nyogan, adalah masyarakat yang miskin.

Kurangnya kualitas hidup masyarakat SAD di Desa Nyogan di masa pembangunan pada dasarnya karena kesalahan pemerintah yang terlalu cepat mengubah cara hidup masyarakat tanpa melihat adat dan kebiasaan serta tata cara kehidupan masyarakat SAD itu sendiri. Kemudian pemerintah terlalu menyamaratakan semua masyarakat terasing. Padahal, setiap masyarakat memiliki segi kehidupan masing-masing.

Pembangunan masyarakat SAD punya beberapa implikasi bagi mereka, baik implikasi negatif maupun positif. Dari hasil penelitian, terdapat beberapa implikasi positif, yaitu masyarakat SAD Desa Nyogan sebagian besar percaya dan yakin bahwa pembangunan dan

(14)

perubahan penting untuk mereka, terutama sekali untuk anak-anak mereka. Mereka sendiri juga berkeyakinan bahwa peningkatan kua-litas hidup seperti pendidikan, kesehatan, pangan, dan sebagainya penting untuk mengubah kehidupan sosial menjadi lebih baik. Keyakinan tersebut seperti tampak pada keinginan mereka yang mengharapkan adanya tenaga pendidik untuk mendidik mereka, khususnya dalam bidang rohaniah dan mendidik anak-anak mereka. Walau demikian, kadangkala masalah ekonomi sangat memengaruhi keinginan mereka untuk lebih cepat berubah.

Kemudian masyarakat SAD sedikit-banyak telah mengenal keadaan luar dan telah banyak berinteraksi dengan masyarakat di luar mereka, seperti dengan penduduk lokal ataupun masyarakat transmigran. Selain itu, pemerintah atau dinas yang terkait pembangunan kualitas hidup masyarakat SAD dapat mengetahui apa yang menjadi keku-rangan atau kelemahan dari program yang dilaksanakan oleh mereka dan menjadi pengalaman bagi pembangunan masyarakat SAD lain-nya. Hal itu mengingat banyak program pembangunan yang gagal dilaksanakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, program pemba-ngunan di Desa Nyogan harus dijadikan sebagai pelajaran bagi pemerintah di dalam membangun masyarakat terasing tersebut dan memastikan bahwa masyarakat tersebut tidak lagi menjual tanah-tanah yang diperuntukkan bagi mereka ke orang lain.

Adapun implikasi negatifnya, masyarakat kehilangan arah, terutama sekali dalam mencari kerja. Masyarakat yang direlokasi tidak tahu apa yang harus mereka kerjakan untuk memenuhi keperluan hidup mereka. Itu karena pemerintah terlihat hanya bertugas memindahkan mereka ke kawasan baru dan memberikan program kepada masyarakat SAD. Selanjutnya, sistem relokasi mengakibatkan masyarakat SAD kehilangan hak atas tanah yang mereka tinggali dahulu. Padahal, pemerintah pusat telah merencanakan bahwa pembangunan tersebut seharusnya tidak merugikan masyarakat itu sendiri dan sebaliknya memberikan pengaruh yang kuat agar masyarakat maju dan dapat berpartisipasi di dalam pembangunan.

(15)

Selain itu, akibat dari ketiadaan perubahan situasi kawasan, meng-akibatkan masyarakat terlalu tergantung kepada pemerintah. Itu karena ekonomi mereka yang semakin tidak menentu. Padahal, apabila mereka dibangun di kawasan mereka sendiri, sistem ketergantungan untuk hidup tidaklah berlebihan, apalagi kawasan baru mereka tidak dapat menghasilkan apa-apa. Kawasan tanah yang diberikan pemerintah tidak dapat ditanami dengan tanaman, walaupun pihak pemerintah, Dinas Sosial dan Dinas Pertanian, telah memberikan berbagai bibit. Sementara, untuk menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit juga sulit. Akibatnya, mereka terlalu berharap bekalan hidup mereka daripada pemerintah.

Sistem relokasi masyarakat SAD ke kawasan baru dan diambilnya tempat mereka yang lama untuk perkebunan kelapa sawit dan perusa-haan penebangan hutan dengan alasan peningkatan pendapatan daerah dan pembangunan, mengakibatkan kerusakan alam yang sangat besar dan mengakibatkan musnahnya habitat hutan yang seharusnya dijaga. Bagi masyarakat SAD sendiri, itu merupakan salah satu bentuk kehancuran kawasan hutan mereka dan sebagai bentuk peminggiran mereka dari kehidupan lama.

Demikianlah implikasi-implikasi positif dan negatif utama yang dihasilkan dari program pembangunan masyarakat SAD di Nyogan, di samping implikasi-implikasi lainnya seperti kemiskinan, karena mereka menganggap bahwa kehidupan dulu dan kehidupan sekarang tidak jauh berbeda, yaitu tidak dapat mengubah pekerjaan mereka dahulu yang mencari ikan pada sektor lain. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan pembangunan sosial oleh pemerintah, cukup banyak perubahan pada kehidupan sosial keseharian mereka. Kesimpulan

Masyarakat SAD di Desa Nyogan pada mulanya hidup berpindah-pindah dan pada waktu tertentu akan kembali lagi ke tempat asal mereka. Mereka berpindah-pindah karena membuka ladang-ladang yang kemudian, setelah ladang tersebut tidak menghasilkan, mereka

(16)

membuka ladang baru di kawasan lain yang dianggap lebih baik. Masyarakat SAD di Desa Nyogan pertama kali direlokasi di Dusun Sungai Segandi. Mereka ditempatkan pada perkampungan baru dan diberikan rumah serta tanah agar mereka dapat menetap dan berladang di tanah yang diberikan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga memberikan bahan makanan untuk beberapa bulan sewaktu proses pembangunan dijalankan. Namun, dalam fase perkembangan-nya, perkampungan masyarakat telah banyak dikuasai oleh masyarakat luar.

Demikian pula, masyarakat SAD tidak mempunyai pekerjaan tetap. Pekerjaan mereka hanya menangkap ikan di sungai untuk keperluan hidup harian. Tanah yang dijanjikan pemerintah untuk 66 kepala keluarga ternyata hanya dapat direalisasikan setengahnya. Masyarakat SAD Sungai Segandi mendapati tanah kurang baik untuk mereka berkebun. Akibatnya, masyarakat tidak tahu apa yang harus mereka perbuat dan bahkan akibat dari sikap ketidaktahuan dan ketidak-tentuan hidup mereka, banyak yang keluar dan menjual taanah kepada orang luar.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa masyarakat SAD sebelum dibina di tempat yang baru dan setelah dibina, kualitas kehidupan sosial mereka tidak banyak berubah. Walaupun ada pembangunan infrastruktur, kehidupan sosial ekonomi mereka tidak mengalami perubahan bahkan lebih buruk, yakni mereka kehilangan unsur-unsur pengetahuan dan kebudayaan dalam kehidupan mereka.

Keadaan tersebut semakin bertambah buruk ketika pelaksanaan pembangunan tersebut sering kali menyimpang dari aturan yang dibuat oleh pemerintahan pusat. Petugas di lapangan sering mengam-bil keputusan sendiri atau mengammengam-bil jalan mudah seperti menarik masyarakat ke kawasan baru mereka dengan membuat janji-janji yang menarik namun tidak terbukti. Ketidakberhasilan pelaksanaan program pembangunan sosial pemerintah terhadap masyarakat SAD di Desa Nyogan disebabkan beberapa faktor penting, di antaranya ketika pemerintah membuat suatu perencanaan pembangunan, masyarakat

(17)

tidak terlibat. Walhasil, apa yang menjadi masalah masyarakat tersebut tidak diketahui dengan jelas.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Chamsyah, Bahtiar, Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kesejah-teraan Sosial, ( Jakarta: Depsos RI, 2002).

Departmen Sosial, Pedoman Teknis pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Departemen Sosial RI, 2003).

Departemen Sosial, Membangun Jaringan Kerja Dama Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Depaertemen Sosial RI, 2004). Idris, Nor Aini Haji, Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi,

(Malaysia: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2003).

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 06/PEGHUB/ 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.

Muntholib, “Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi”, disertasi di Universitas Padjadjaran Bandung, 1995.

Ndraha, Taliziduhu, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1990). Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yokyakarta: LkiS, 2007). Rahman, Ali M.A., Masyarakat Kecil dalam Era Global, (Bangi:

Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 2000).

Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, terj. Alimandan, ( Jakarta: Prenada Media, 2005).

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Simpulan: Input, proses dan tindak lanjut pelaksanaan sistem rujukan pada kasus perdarahan post partum primer oleh Bidan Desa di wilayah kerja Puskesmas Bayat

Dari grafik lama waktu penyelesaian KTI mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan tingkat akhir di STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta didapatkan hasil dengan presentase

Selain itu, hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan Kompetensi Keislaman pada guru dan anak didik dengan cara guru mengangkat atau memilih kisah-kisah nyata

Proses Pengecoran (casting) adalah salah satu teknik pembuatan produk dimana logam dicairkan dalam tungku peleburan kemudian dituangkan ke dalam rongga cetakan yang

Berdasarkan hasil analisi data sebagaimana digambarakan atau tercantum di atas pada tabel yang merupakan hasil perhitungan uji t-test menunjukkan bahwa ada perbedaan

Hasil penelitian yang didapatkan bahwa program siaran dakwah Muzakarah Ramadhan RRI Mataram edisi 2019 terhadap pemahaman Masyarakat Pejeruk Bangket tentang Ibadah