KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR
LEMBAGA NEGARA
(Studi Kasus Divestasi Saham Newmont)
JURNAL ILMIAH
Disusun Dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Oleh:
Erga Yuhandra, S.H. NIM. 11010111400043
Jurnal ilmiah dengan judul di atas Telah disahkan dan disetujui untuk diperbanyak
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S. NIP: 195602031981031002
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM
MENYELESAIKAN SENGKETA KEWENANGAN ANTAR
LEMBAGA NEGARA
(Studi Kasus Divestasi Saham Newmont)
Oleh : Erga Yuhandra
Program Kajian Gabungan SPP, HET, HTN, HAN, HAM,
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Arief Hidayat
ABSTRAK
Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai pengawal Konstitusi (the guardian of
constitution) dan penafsir final Konstitusi (the final interpreter of the constitution), salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mekanisme hubungan antar lembaga negara bersifat horizontal, tidak bersifar vertika. Hubungan antar satu lembaga dengan lembaga yang lain diikat oleh prinsip check and balences, dimana lembaga-lembaga tersebut diakui sederajat tetapi saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme hubungan yang sederajat itu timbul kemungkinan dalam melaksanakan kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana yang terjadi persengketaan antara Presiden selaku Pemohon dan DPR selaku Termohon I, BPK Termohon II dalam pembelian 7% saham Divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara.
Selaku lembaga penafsir final konstitusi bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara, apakah pembelian saham merupakan kewenangan Presiden dalam menjalankan pemerintahan negara tanpa adanya persetujuan dari DPR, bagaimana pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan Mahkamah konstitusi dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk mengetahui kewenangan Presiden dalam pembelian saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara dalam hal pengelolaan keuangan negara, dan mengetahui pasca putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian yuridis-normatif. Pendekatan yuridis-normatif diperlukan untuk mendapatkan gambaran mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Lembaga negara yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi yaitu: (1) merupakan sengketa kewenangan konstitusional antar lembaga negara, (2) kewenangan diberikan oleh Undang-Undang Dasar, dan (3) lembaga negara tersebut memiliki kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Presiden selaku pemegang kekuasaan mempunyai kewenangan dalam hal pengelolaan keuangan negara, namun DPR memiliki fungsi pengawasan terhadap hal penggunaan keuangan negara begitu juga hal nya BPK mempunyai fungsi audit dan Laporan Hasil Pemeriksaan dilaporkan kepada kepada DPR Pasca putusan Mahkamah Konstitusi pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara harus melalui persetujuan DPR.
ABSTRACT
The Constitutional Court has function as the guardian and interpreter of constitution, one of its duties is to solve the dispute of authority between state bodies. Following the amendment of the 1945 Indonesian Constitution, relation between state bodies altered into a horizontal mechanism from the previously vertical mechanism. The relation between state bodies are bounded by the check and balances principle, wherein those institutions are equally recognized but nevertheless checked on each other. As the consequence of equal relation, it is possible to raise a dispute of interpreting the 1945 Indonesian Constitution. This is occurred in the dispute between the President as the applicant and the Parliament as First Respondent with the Financial Supervisory Body as Second Respondent in the matter of 7% purchase of PT. Newmont Nusa Tenggara divestment Holding.
As the body with power of interpreting the constitution, how does the authority of Constitutional Court in solving dispute of power between the state bodies, is the holding purchase become part of president authority in conducting the government without any consent from the parliament, how does the aftermath of the Court of Constitution decision concerning to the 7% purchase of PT. Newmont Nusa Tenggara divestment holding. This research is aimed to know the president authority in the holding purchase concerning to the matter of state finance management, and to know the aftermath of Constitutional Court decision about it. This is a juridical normative research with juridical normative approach that is necessary to obtain the description of authority dispute between state bodies.
State bodies which apply for dispute resolution before the Constitutional Court shall consider to: (1) it is the matter of constitutional authority between the state bodies, (2) the authority is given through the constitution, and (3) the state body has a direct interest to the disputed power. The president as the executive has power in state financial management; however the parliament also attributed with the supervising function for the management of state finance, the Financial Supervisory Body has the authority in accounting and report the financial budget to the parliament. Following the Constitutional Court Decision the 7% purchase of PT. Newmont Nusa Tenggara divestment holding requires the parliament consent.
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melahirkan lembaga baru dibidang kekuasaan
kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi.1
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dilengkapi dengan lima kewenangan atau sering disebut empat kewenangan ditambah satu kewajiban, yaitu : 1. Menguji konstitusionalitas Undang-Undang
Terhadap Undang-Undang Dasar NRI
1945.2
2. Memutus sengketa kewenangan
konstitusional antar lembaga negara.
3. Memutus pembubaran partai politik.3
4. Memutus perselisihan mengenai hasil pemilihan umum.
5. Memutus pendapat DPR yang berisi tuduhan bahwa Presiden/Wakil Presiden melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam
UUD NRI 1945.4
1
Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara Dalam Masa
Transisi Demokrasi, Yogyakarta, UII Press, hlm.
135.
2 Jimly Asshiddiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 73.
3 Jimly Asshiddiqie, 2006, Kemerdekaan Berserikat,
Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, Konstitusi Press, hlm. 145.
4 Jimly Assiddiqie, 2010, Perkembangan dan
Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 131.
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang penulis lebih difokuskan pada kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD NRI Tahun 1945.5
Dilihat dari ketentuan ini, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara merupakan manifestasi dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi tersebut.6
Perkara Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara (SKLN) antara Presiden Republik Indonesia (Pemerintah/Pemohon)
dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR/Termohon I) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK/ Termohon II) terkait masalah proses pembelian divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) terus bergulir. Perselisihan Pemerintah, DPR, dan BPK soal divestasi saham Newmont berbuntut
5 Jimly Asshiddiqie, 2006, Kata Pengantar dalam Buku
Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara,
Jakarta, Konstitisi Press, hlm. vii.
6 Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara
panjang sehingga harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh Pemerintah.
Dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya untuk menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan, Pemohon
melakukan pengelolaan keuangan negara dan pengelolaan investasi in casu pembelian 7% saham divestasi PT NNT tahun 2010, yang menurut Pemohon tidak diperlukan lagi persetujuan dari Termohon I. Oleh karena itu, persetujuan yang dikehendaki oleh Termohon I dan kesimpulan dalam LHP Termohon II atas
pelaksanaan kewenangan konstitusional
Pemohon sebagaimana disebutkan di atas menurut pendapat Pemohon jelas bahwa Termohon I dan Termohon II telah mengambil,
mengurangi, menghalangi, mengabaikan
dan/atau merugikan pelaksanaan kewenangan konstitusional Pemohon.
Sementara itu DPR selaku (Termohon I) mengacu pada hasil pemeriksaan LHP BPK (Termohon II), status pembelian 7% saham PT NNT adalah penyertaan modal kepada perusahaan swasta yang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari DPR sebagaimana
dimaksud pada Pasal 24 ayat (7) UU
Keuangan Negara.7
BPK (Termohon II) berdasarkan Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, telah menjalankan fungsinya masing-masing sesuai dengan kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.8
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis terdorong untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut lagi mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara.
7 Lihat Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dikatakan bahwa dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapatkan persetujuan DPR.
8 Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 1. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis-normatif yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu kegunaan dari penelitian hukum adalah untuk mengetahui apakah dan bagaimanakah hukum mengatur suatu hal serta bagaimana aturan
hukum tersebut diterapkan.9 Spesifikasi
penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, dimana penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas, rinci, dan sistematis. Sedangkan dikatakan analitis karena data yang diperoleh akan dianalisis untuk pemecahan terhadap permasalahan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jenis data, dalam penelitian hukum normatif data yang digunakan adalah data sekunder. Untuk pemecahan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogianya, diperlukan sumber-sumber
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum
9 Lihat Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di
Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Edisi Pertama,
Bandung, Alumni hlm. 140-141.
primer dan bahan hukum sekunder.10 Metode
Pengumpulan Data, sesuai sumber data yang digunakan data sekunder dalam penelitian ini, maka metode pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi dokumenter yang bertempat di Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Perpustakaan Program Magister ilmu Hukum UNDIP Semarang, serta Perpustakaan Pribadi yang dimiliki oleh penulis.
3. Kerangka Teori
Penggunaan teori negara hukum adalah Rechtsstaat (tradisi hukum civil law) dan
Rule of Law (tradisi hukum common law)
berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum Amandemen), yaitu: “Negara
Indonesia berdasarkan atas hukum
(Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan belaka (Machtsstaat) dan
perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada sidang tahunan MPR tahun 2001, prinsip negara hukum dicantumkan dalam Pasal 1 ayat
10 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum,
(3)11 dengan istilah yang netral tanpa menyebut
rechtsstaat atau rule of law yang tepatnya
berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Esensi dari konsep negara hukum adalah”...negara berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua
orang yang sama dihadapan hukum”. 12
Konsepsi negara hukum yang dulu dikesankan menganut rechtsstaat sekarang dinetralkan menjadi negara hukum saja, tanpa lebel rechtsstaat yang diletakan di dalam kurung. Dengan demikian, politik hukum kita tentang konsepsi negara hukum menganut unsur-unsur yang baik dari rechtsstaat dan rule
of law, bahkan sistem hukum lain sekaligus.
Dulu, konsep negara hukum ditegaskan di dalam Penjelasan UUD dengan kalimat “Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)...,” namun sekarang Penjelasan UUD sudah tidak berlaku dan pernyataan prinsip negara hukum itu penuangannya di dalam konstitusi dipindahkan
11 Jimly Asshiddiqie, 2009, Komentar Atas
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 12-13.
12 Muchtar Kusumaatmadja, 1995, Pemantapan Cita
Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, (Jakarta).
ke dalam Pasal 1 ayat (3) dengan kalimat yang netral, yaitu, “negara Indonesia adalah negara
hukum.”13
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah hukum dasar positif di Indonesia, juga merupakan dasar hukum konstitusional bagi negara hukum Indonesia. Istilah negara hukum itu sendiri tidak terdapat dalam pembukaan, dan juga tidak dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, melainkan pada penjelasan umumnya, yang
langsung dikaitkan dengan sistem
pemerintahan negara. Apabila dihubungkan dengan tujuan berdirinya negara Indonesia pada alinea 4 UUD 1945 berbunyi :
“…….Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial”.14
Dari sini dapat disimpulkan bahwa negara hukum menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
13 Moh. Mahfud MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata
Negara Pascaamandemen Konstitusi, Jakarta,
Rajawali Pers, hlm. 52.
14 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
bukanlah sekedar negara hukum dalam arti formal (negara polisi atau negara penjaga malam) melainkan adalah negara hukum dalam arti luas atau arti material, yang mencakup pengertian, bahwa negara bukan saja melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Singkatnya negara hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu adalah suatu negara hukum
kesejahteraan.15
Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam kepuatakaan Inggris, untuk menyebut lembaga negara digunakan istilah
political institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah
staat organen. Sementara itu, bahasa
Indonesia menggunakan lembaga negara,
badan negara, atau organ negara.16
15 J.C.T. Simorangkir, 1982, Hukum dan Konstitusi
Indonesia II, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 91.
16 Firmansyah Arifin dkk. (Tim Peneliti), Lembaga
Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, KRHN bekerjasama dengan MKRI didukung
oleh The Asia Foundation dan USAID, Jakarta, Juni
Pasca amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikenal dua istilah untuk mengidentifikasi organ-organ penyelenggara negara, yakni
istilah “badan”17 dan “lembaga”18. Namun,
perbedaan itu sama sekali tidak mengurangi esensi adanya organisasi yang melaksanakan
fungsi penyelenggaraan negara dan
pemerintahan. Meskipun demikian, memang akan terjadi beberapa silang pendapat ketika akan menggolongkan berdasarkan fungsi penyelenggara negara dan penyelenggara pemerintahan karena pernah juga terdapat istilah selain “lembaga negara”, yakni “lembaga
pemerintahan”.19
Mengacu pada teori Trias Politika Montesquieu, bahwa kekuasaan dalam
2005, hlm. 29. Dikutip dari buku Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, hlm. 76.
17 Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam Bab VIIA Pasal 23F, dan Pasal 23G tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
18 Lihat Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai salah satu bentuk kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksan dan memutus sengketa antar “Lembaga Negara” yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
19 Untuk menyebut Kepresidenan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menggunakan istilah Kekuasaan Pemerintahan Negara. Lihat Bab III Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
negara itu dibedakan dalam tiga cabang kekuasaan yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, namun dalam beberapa negara cabang-cabang kekuasaan negara ini bentuk maupun kewenangannya bervariasi sesuai dengan sistem ketatanegaraan yang dianut
oleh suatu negara.20
Definisi dan pengertian tentang lembaga negara sangat beragam, tidak lagi bisa hanya dibatasi pada tiga lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ negara yang disebut baik namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan peraturan yang lebih rendah.
B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Konsepsi mengenai kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
20 Rahimullah, Hukum Tata Negara Hubungan Antar
Lembaga Negara, 2007, Jakarta, Fakultas Hukum
Universitas Satyagama, hlm. 15.
diberikan oleh UUD tidak disebutkan oleh UUD 1945 begitu juga dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Ada beberapa penafsiran tentang konsepsi ini antara lain:21
1. Penafsiran luas, sehingga mencangkup semua lembaga negara yang nama dan kewenangannya tercantum dalam UUD 1945.
2. Penafsiran moderat, yakni yang hanya membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai lembaga tinggi dan lembaga tinggi negara.
3. Penafsiran sempit, yakni penafsiran yang nerujuk secara implisit dari ketentuan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasca dilakukannya perubahan
terhadap UUD 1945, banyak terjadi pergeseran dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, salah satunya adalah pergeseran paradigma lembaga negara. Pergeseran ini ditandai dengan direduksinya peran MPR yang kini tidak lagi sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan demikian, tidak lagi dikenal adanya lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara, yang ada hanyalah lembaga negara.
21 Abdul Muktie Fajar, 2005, Hukum Konstitusi dan
Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta, Konstitusi Press,
Dalam menjalankan fungsi-fungsinya lembaga negara tentu tidak lepas dari hubungan atau kerja sama dengan lembaga negara lain. Hubungan antar lembaga-lembaga negara memungkinkan konflik, yaitu manakala suatu lembaga negara yang merupakan bagian dari sistem pemerintahan bekerja tidak sebagaimana mestinya. Agar sistem itu tetap bekerja sesuai dengan yang dituju, konflik harus diselesaikan. Lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu adalah lembaga peradilan. Disinilah peran Mahkamah Konstitusi sangat diperlukan. Sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara dalam rangka mekanisme check and
balences dalam menjalankan kekuasaan
negara.
Menurut Pasal 2 PMK Nomor 08/PMK/2006 “pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Namun terdapat
pengecualin dalam Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 08/PMK/2006 bahwa, “Mahkamah Agung tidak menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial)”.
Pasal 2 ayat (1) Lembaga Negara yang dapat menjadi Pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional
lembaga negara, adalah:22
a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD); c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); d. Presiden;
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); f. Pemerintah Daerah (Pemda), atau
g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945.
Sedangkan yang menjadai objek sengketa di Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 yaitu
Kewenangan yang dipersengketakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kewenangan yang diberikan atau ditentukan
oleh UUD 1945.23
22 Subjektum Litis Pemohon atau Termohon
berdasarkan Peraturan MK Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
23 Objektum Litis mengenai kewenangan yang
dipersengketakan kedua-duanya harus merupakan kewenangan yang diberikan langsung oleh UUD NRI 1945.
Berdasarkan rumusan beberapa pasal tersebut di atas, dapat diformulasikan terdapat tiga syarat suatu sengketa kewenangan lembaga negara dapat menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi, yaitu:24
1. Merupakan sengketa kewenangan antar lembaga negara.
2. Kewenangan diberikan oleh Undang-Undang Dasar, dan
3. Lembaga negara tersebut memiliki
kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan. .
Jadi pada dasarnya tidak semua lembaga negara dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi, hanya lembaga-lembaga sebagaimana di atas yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi, adapaun lembaga lain asalkan kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar maka lembaga tersebut menjadi objek sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Adapun yang menjadi kedudukan hukum bagi para pihak dalam sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi yaitu: 1. Para pihak yang bersengketa (subjectum
litis): Pemohon dan Termohon,
kedua-duanya harus merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
24 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/2006
tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara.
2. Kewenangan yang dipersengketakan
(obyektum litis): Merupakan kewenangan
yang diberikan oleh UUD 1945.
3. Pemohon (syarat khusus): Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 yang dipersengketakan.
Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain, Pemohon harus mempunyai kepentingan
langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan, Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.
Apabila telah memenuhi unsur sebagaimana di atas maka Mahkamah Konstitusi berwenang menyelesaikan sengketa antar lembaga tersebut seperti halnya sengketa kewnangan antara Presiden selaku Pemohon, DPR selaku Termohon I dan BPK selaku Termohon II terkait pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut merupakan salah satu cermin bahwa UUD NRI Tahun 1945 menganut sistem pemerintahan presidensil yang memberi kewenangan luas
kepada presiden untuk menjalankan
pemerintahan negara, namun kewenangan tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi, dan tidak melampaui kewenangan lembaga negara lainnya yang diberikan oleh konstitusi atau undang-undang, sehingga kewenangan presiden menjadi terbatas untuk menghindari kesewenang-wenangan. Dalam kaitannya dengan hal pengelolaan keuangan negara, presiden memiliki kewenangan eksklusif untuk mengajukan program kerja pemerintahan dan rencana anggaran negara setiap tahun dalam bentuk Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) kepada DPR.
Presiden yang menyusun rencana anggaran pendapatan belanja negara karena presiden-lah yang akan menjalankan dan mengelola pendapatan belanja negara sesuai Pasal 23 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, namun presiden tidak dapat menjalankan dan
mengelola anggaran negara tanpa persetujuan DPR sesuai dalam Pasal 23 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dalam hal ini DPR memiliki posisi untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu RAPBN yang telah dikelola dan dijalankan oleh presiden. Karena DPR selaku lembaga perwakilan rakyat yang mana memunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.
Namun dalam pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara yang dilakukan pemerintah belum terinci dalam RAPBN yang diajukan oleh pemerintah, sehingga DPR sebagai lembaga negara yang kewenangan konstitusionalnya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 perlu melakukan persetujuan dari DPR yang memiliki fungsi pengawasan. Sedangkan BPK melakukan audit terhadap semua kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara yang mana hasil laporan pemeriksaan BPK akan dilaporkan kepada lembaga terkait, misalnya DPR, DPD, dan DPRD. Sehingga dalam sengketa kewenangan yang diajukan oleh pemohon kepada termohon II tidak terjadi sengketa kewenangan lembaga negara karena
BPK selaku lembaga negara yang kewenangannya diberikan langsung oleh UUD NRI Tahun 1945 menjalankan fungsi audit sesuai Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945.
Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1)
sebagai berikut:25
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini mencangkup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2/SKLN-X/2012 dalam amar
putusannya menyatakan:
Permohonan Pemohon terhadap Termohon
II tidak dapat diterima;
Menolak permohonan Pemohon terhadap
Termohon I untuk seluruhnya.
25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi.
Dalam arti apabila pemerintah ingin melakukan pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara harus melalui persetujuan DPR sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi yang sifatnya final dan mengikat, arinya tidak ada upaya hukum lain bagi Pemohon untuk melakukan upaya hukum.
Namun penulis berharap DPR sebagai wakil rakyat harus dapat mewakili suara rakyat jangan sampai DPR selaku wakil rakyat tetapi tidak mendengarkan aspirasi dari rakyat dan harus menjalankan amanatnya dengan baik, sehingga lebih mementingkan rakyat banyak daripada sekelompok golong. Adapun implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu tertundanya pembelian saham tersebut karena harus mendapatkan persetujuan dari DPR, sehingga lebih menguntungkan investor asing dalam pembelian saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara. Namun DPR tetap akan memperbolehkan pemerintah untuk melakukan pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara melalui persetujuan DPR.
C. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan
Sengketa kewenangan antar lembaga negara yang dapat diselesaikan di Mahkamah Konstitusi hanya lembaga negara yang kewenangan konstitusional diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD NRI Tahun 1945 yang memberi kewenangan luas
kepada presiden untuk menjalankan
pemerintahan negara sepanjang tidak
bertentangan dengan konstitusi dan tidak melampaui kewenangan lembaga negara lain, yang mana dalam hal pengelolaan keuangan negara DPR memiliki fungsi anggaran dan pengawasan termasuk dalam pembelian 7% saham divestasi PT. Newmont Nusa Tenggara harus meminta persetujuan DPR terlebih dahulu.
2. Saran
Perlu adanya penegasan peraturan mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara sehingga tidak menimbulkan multi tafsir. Presiden segera meminta persetujuan kepada DPR untuk membeli
saham tersebut dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku
Arifin, Firmansyah dkk. 2005, Lembaga Negara
dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta: KRHN
bekerjasama dengan MKRI didukung oleh The Asia Foundation dan USAID. Asshiddiqie, Jimly, 2010, Hukum Acara
Pengujian Undang-Undang, Jakarta:
Sinar Grafika.
---, 2006, Kemerdekaan
Berserikat, Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta:
Konstitusi Press.
---, 2010, Perkembangan dan
Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika.
---, 2006, Kata Pengantar
dalam Buku Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Jakarta:
Fajar, Abdul Muktie, 2005, Hukum Konstitusi
dan Mahkamah Konstitusi, Yogyakarta:
Konstitusi Press.
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di
Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20,
Edisi Pertama, Bandung: Alumni. Huda, Ni’matul 2007, Lembaga Negara Dalam
Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta:
UII Press.
Indra, Mexsasai, 2011, Dinamika Hukum Tata
Negara Indonesia, Bandung: Refika
Aditama.
Kusumaatmadja, Muchtar, 1995, Pemantapan
Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, Jakarta.
Mahmud, Marzuki Peter, 2005, Penelitian
Hukum, Jakarta: Prenada Media Group.
MD, Moh. Mahfud, Perdebatan Hukum Tata
Negara Pascaamandemen Konstitusi,
2010, Jakarta: Rajawali Pers.
Rahimullah, 2007, Hukum Tata Negara
Hubungan Antar Lembaga Negara,
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Satyagama.
Simorangkir, J.C.T. 1982, Hukum dan
Konstitusi Indonesia II, Jakarta:
Rajawali Press.
2. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta Perubahannya.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Beracara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.