Delirium : Presentasi, Epidemiologi, Evaluasi Diagnostik. Terapi dan
Delirium : Presentasi, Epidemiologi, Evaluasi Diagnostik. Terapi dan
Pencegahan
Pencegahan
ABSTRAK ABSTRAK
Delirium merupakan kelainan neuropsikiatri yang kompleks dengan prevalensi yang Delirium merupakan kelainan neuropsikiatri yang kompleks dengan prevalensi yang tinggi. Delirium ditandai dengan adanya disfungsi atensi, gangguan pada fungsi kognitif yang tinggi. Delirium ditandai dengan adanya disfungsi atensi, gangguan pada fungsi kognitif yang multiple, perubahan pada psikomotor, gangguan persepsi, gangguan tidur, dan gangguan proses multiple, perubahan pada psikomotor, gangguan persepsi, gangguan tidur, dan gangguan proses berpikir.
berpikir. Delirium Delirium timbul timbul akibat akibat dari dari intoksikasi, intoksikasi, metabolik, metabolik, infeksi, infeksi, berbagai berbagai etiologi etiologi yangyang bersifat
bersifat struktural struktural yang yang mempengaruhimempengaruhi outcomesoutcomes yang buruk. Patofisiologi delirium sendiri yang buruk. Patofisiologi delirium sendiri berkaitan
berkaitan dengan dengan kerusakan kerusakan pada pada sistem sistem neurotransmitter. neurotransmitter. Manifestasi Manifestasi klinis klinis dari dari deliriumdelirium bersifat
bersifat umum umum dan dan sering sering bukan bukan merupakan merupakan proses proses gangguan gangguan mental mental primer. primer. PemeriksaanPemeriksaan diagnostik delirium meliputi pemeriksaan fisik langsung, tes fungsi kognitif, pemeriksaan diagnostik delirium meliputi pemeriksaan fisik langsung, tes fungsi kognitif, pemeriksaan laboratorium untuk infeksi dan gangguan metabolik, riwayat penggunanaan obat sebelumnya, laboratorium untuk infeksi dan gangguan metabolik, riwayat penggunanaan obat sebelumnya, scanning
scanning struktural otak dan elektroencephalografi sesuai indikasi. Pengobatan farmakologi dan struktural otak dan elektroencephalografi sesuai indikasi. Pengobatan farmakologi dan non-farmakologi
non-farmakologi talah tertalah tercatat mengurangi catat mengurangi angka kejadian angka kejadian keparahan delirium. keparahan delirium. AntipsikotikAntipsikotik merupakan
merupakan treatment of choicetreatment of choice untuk delirium dengan gejala untuk delirium dengan gejala agitasi dan sindrom psikosis.agitasi dan sindrom psikosis.
Manajemen delirium dimulai dengan intervensi nonfarmakologi dan pengobatan penyakit Manajemen delirium dimulai dengan intervensi nonfarmakologi dan pengobatan penyakit yang mendasarinya. Tidak ada pengobatan yang diakui untuk kondisi delirium tekait psikosis yang mendasarinya. Tidak ada pengobatan yang diakui untuk kondisi delirium tekait psikosis dan agitasi, walaupun beberapa obat telah banyak diteliti. Ukuran sampel yang terlalu kecil, dan agitasi, walaupun beberapa obat telah banyak diteliti. Ukuran sampel yang terlalu kecil, kriteria inklusi yang sempit, kontrol placebo yang kurang baik, dan berbagai metodologi yang kriteria inklusi yang sempit, kontrol placebo yang kurang baik, dan berbagai metodologi yang menyebabkan kesulitan dalam penelitian obat delirium. Beberapa penelitian dan guidline menyebabkan kesulitan dalam penelitian obat delirium. Beberapa penelitian dan guidline mendukung penggunaan antipsikotik untuk delirium terkait psikosis dan agitasi, dan penggunaan mendukung penggunaan antipsikotik untuk delirium terkait psikosis dan agitasi, dan penggunaan kombinasi antara obat psikotik generasi petama dan kedua. Bukti lain juga menunjukkan kombinasi antara obat psikotik generasi petama dan kedua. Bukti lain juga menunjukkan antipsikotik dan dexmedetomedine efektif dalam mencegah kejadian delirium pada pasien pasca antipsikotik dan dexmedetomedine efektif dalam mencegah kejadian delirium pada pasien pasca bedah dan pasien dengan alat bantu napas.
bedah dan pasien dengan alat bantu napas.
Kata kunci :
PENDAHULUAN PENDAHULUAN
Delirium merupakan kelainan neuropsikiatri yang ditandai dengan perubahan tingkat Delirium merupakan kelainan neuropsikiatri yang ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, disfungsi atensi, gangguan fungsi kognitif yang meliputi memory, orientasi, dan kesadaran, disfungsi atensi, gangguan fungsi kognitif yang meliputi memory, orientasi, dan bahasa, dan
bahasa, dan perubahan non-kognitif sepperubahan non-kognitif seperti psikomotor, persepsi, afektif, erti psikomotor, persepsi, afektif, siklus tidur, dan siklus tidur, dan prosesproses berpikir.
berpikir. Delirium Delirium timbul timbul dari dari berbagai berbagai etiologi etiologi yang yang mempengaruhi mempengaruhi gejala gejala klinis klinis dandan outcomeoutcome diantaranya infeksi sekunder, gangguan jatuh, tindak kekerasaan, dan menambah lamanya diantaranya infeksi sekunder, gangguan jatuh, tindak kekerasaan, dan menambah lamanya perawatan
perawatan di di rumah rumah sakit, sakit, biaya, biaya, dan dan kematian. kematian. Walaupun Walaupun patofisiologi patofisiologi dari dari delirium delirium belumbelum sepenuhnya dimengerti, sindroma neuropsikiatri menunjukkan gangguan mekanisme kerja sepenuhnya dimengerti, sindroma neuropsikiatri menunjukkan gangguan mekanisme kerja sistem neuritransmitter yang selanjutnya meluas ke seluruh jaringan saraf.
sistem neuritransmitter yang selanjutnya meluas ke seluruh jaringan saraf.
Pada intinya delirium merupakan gangguan kognitif, sementara kaitannya dengan Pada intinya delirium merupakan gangguan kognitif, sementara kaitannya dengan perubahan
perubahan neurobahavior neurobahavior dan gejala atau tanda psikiatri adalah pertimbangan yang kedua. dan gejala atau tanda psikiatri adalah pertimbangan yang kedua. Delirium telah banyak dejelaskan dari berbagai literatur sejak dahulu dan telah banyak Delirium telah banyak dejelaskan dari berbagai literatur sejak dahulu dan telah banyak penamaaan
penamaaan diagnostiknya diagnostiknya seperti seperti status status konfusional konfusional akut, akut, disfungsi disfungsi otak otak akut,akut, acute brainacute brain failure
failure, sindroma otak organik akut, psikosis ICU, dan metabolik encephalopathy. Terminologi, sindroma otak organik akut, psikosis ICU, dan metabolik encephalopathy. Terminologi delirium berasal dari bahasa latin
delirium berasal dari bahasa latin dede (artinya menjauh) dan (artinya menjauh) dan liralira (artinya jalur) sehingga dapat(artinya jalur) sehingga dapat diartikan bahwa delirium adalah orang yang menjauh dari jalur yang lurus atau yang sudah diartikan bahwa delirium adalah orang yang menjauh dari jalur yang lurus atau yang sudah digariskan.
digariskan.
Istilah
Istilah encephalopathyencephalopathy sering digunakan dalam kondisi tertentu, atau kondisi klinis yangsering digunakan dalam kondisi tertentu, atau kondisi klinis yang diiringi dengan kejadian delirium dan memungkinkan kejadian kognitif yang terjadi secara diiringi dengan kejadian delirium dan memungkinkan kejadian kognitif yang terjadi secara bersamaan
bersamaan antara antara delirium delirium dan dan demensia. demensia. Sementara Sementara dalam dalam perjalanan perjalanan penyakitnya, penyakitnya, antaraantara delirium dan demensia memiliki perbedaan yaitu delirium yang terjadi secara akut dan reversibel delirium dan demensia memiliki perbedaan yaitu delirium yang terjadi secara akut dan reversibel sedangkan demensia berjalan secara progresif dan kronis. Penggunaan istilah ini juga bisa untuk sedangkan demensia berjalan secara progresif dan kronis. Penggunaan istilah ini juga bisa untuk kejadian sindroma encephalopathy sub akut dimana disfungsi kognitif kurang dominan kejadian sindroma encephalopathy sub akut dimana disfungsi kognitif kurang dominan dibandingkan dengan gejala neuropsikiatrinya.
dibandingkan dengan gejala neuropsikiatrinya.
Menejemen delirium dimulai dengan intervensi non-farmakologi dan pengobatan Menejemen delirium dimulai dengan intervensi non-farmakologi dan pengobatan penyakit
penyakit yang yang mendasarinya. mendasarinya. Tidak Tidak ada ada pengobatan pengobatan yang yang diakui diakui untuk untuk kondisi kondisi delirium delirium tekaittekait psikosis
psikosis dan dan agitasi, agitasi, walaupun walaupun beberapa beberapa obat obat telah telah banyak banyak diteliti. diteliti. Beberapa Beberapa penelitian penelitian dandan guidline
guidline mendukung penggunaan antipsikotik untuk delirium terkait psikosis dan agitasi, dan mendukung penggunaan antipsikotik untuk delirium terkait psikosis dan agitasi, dan penggunaan
menunjukkan antipsikotik dan dexmedetomedine efektif dalam mencegah kejadian delirium pada pasien pasca bedah dan pasien dengan alat bantu napas.
Penelitian tentang penanganan delirium dikemas dalam bentuk pencegahan dan pengobatan untuk pasien pembedahan, penyakit yang kritis, dan pasien ICU, yang terdiri dari intervensi non farmakologi dan farmakologi. Namun ukuran sampel yang terlalu kecil, kriteria inklusi yang sempit, kontrol placebo yang kurang baik, dan berbagai metodologi yang menyebabkan kesulitan dalam penelitian penanganan delirium.
Beberapa obat telah diteliti dalam penanganan delirium diantaranya antipsikotik, benzodiazepine, cholinesterase inhibitor dan obat pro-cholinergic lainnya, ketamine, dan yang terbaru dexmedetomidine. Guidline dari numerous subspecialty societies dan meta analisis terbaru merekomendasikan haloperidol dan antipsikotik lainnya dalam penanganan delirium.
EPIDEMIOLOGI, FAKTOR RISIKO, DAN OUTCOME
Delirium mempunyai prevalensi yang tinggi yaitu berisiko terjadi pada 10 - 15 % pasien bedah umum, 25 – 45 % pasien kanker yang rawat inap, dan 80 – 90 % pada pasien stadium akhir yang melakukan terapi paliatif. Insidensi delirium menjadi lebih tinggi pada pasien yang dirawat di ICU. Lebih dari 80% pasien ICU yang mendapat ventilasi mekanik juga berisiko mengalami delirium.
Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi penting untuk diidentifikasi lebih lanjut sebagai pencegahan dan manajemen yang tepat pada kasus delirium. Faktor risiko seperti usia tua,
gangguan kognitif dasar, riwayat penyakit medis, serta penggunaan obat-obatan dapat memprediksi perkembangan delirium pada seseorang. Pasien bedah, terutama pasien yang akan melakukan total joint replacement dan bypass pada pasien jantung mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mengalami delirium. Selain itu, delirium bersamaan dengan demensia atau gangguan kognitif lainnya lebih resisten terhadap terapi yang diberikan.
Delirium mempunyai hubungan yang erat dengan peningkatan biaya kesehatan, penurunan kualitas hidup, lama rawat inap pasien, peningkatan mortalitas, serta gangguan kognitif menetap. Selain itu, kasus delirium di ICU berhubungan dengan peningkatan penggunaan ventilator serta lama rawat inap di ICU dan mengakibatkan peningkatan mortalitas pasien di ICU. Sehingga, semakin lama penegakan diagnosis dan pemberian terapi pada pasien
GEJALA KLINIS, PEMERIKSAAN, DAN PERJALANAN PENYAKIT
Gejala delirium dapat dijabarkan dalam tiga domain inti diantaranya domain “kognitif” (orientasi, atensi, memori jangka pendek, memori jangka panjang, dan kemampuan visuospasial), domain “pikiran” (bahasa dan proses pikir), dan domain “sirkardian” (siklus tidur bangun dan perilaku motorik). Sehingga dapat disimpulkan, definisi delirium adalah gangguan
atensi yang sering ditandai dengan penurunan kesadaran atau kemampuan sensorik. Tingkat kesadaran pada pasien delirium dapat bervariasi yaitu antara somnolen hingga sadar dengan gangguan konsentrasi yang ringan.
Fungsi atensi yang baik di sini berarti seseorang mampu untuk tetap fokus, mempertahankan, dan mengalihkan konsentrasi atau atensi sesuai dengan lingkungannya. Manifestasi klinis gangguan atensi yang dapat diamati yaitu ketika diberi pertanyaan oleh pemeriksa, pasien tampak kebingungan atau mudah dialihkan konsentrasinya. Jika atensi dan konsentrasi terganggu, maka fungsi kognitif yang lebih kompleks seperti bahasa, orientasi, memori, dan proses pikir juga akan terganggu. Pada kasus delirium yang berat, gangguan atensi dapat menghalangi penatalaksanaan yang adekuat pada domain kognitif yang lainnya.
Ketika atensi dan kesadaran berubah, maka kemampuan navigasi pasien delirium pun akan terganggu. Observasi dari kejauhan justru dapat memberikan petunjuk tentang fungsi kognitif pasien. Pasien delirium biasanya berpenampilan acak-acakan, gelisah, dan berbicara dengan suara keras ketika berada di ruangan sendiri.
Delirium dapat terjadi selama beberapa jam hingga hari. Pada kasus ensefalopati subakut dapat terjadi selama beberapa hari hingga mingguan. Perubahan kognitif dan perilaku pada delirium bersifat fluktuatif dan sesuai siklus diurnal.
Perubahan kemampuan motorik pada delirium dapat dibedakan menjadi dua subtipe yaitu hiperaktif dan hipoaktif. Akan tetapi, perubahan motorik juga bersifat fluktuatif sehingga terkadang pasien hiperaktif kemudian berubah menjadi hipoaktif. Delirium tipe hiperaktif sering terjadi pada pasien yang mengalami intoksikasi obat dan withdrawal . Dari studi yang ada menunjukkan bahwa delirium tipe hiperaktif lebih responsif terhadap pengobatan farmakologi daripada tipe hipoaktif.
Gejala psikiatri dan neurobehavioral pada delirium bersifat berubah-ubah/ fluktuatif seperti agitasi, gelisah, ansietas, disforia, apati, withdrawal , halusinasi maupun delusi. Pada
delirium gejala psikiatri yang ada terjadi termasuk fenomena sekunder dan didapatkan fungsi yang abnormal dari otak.
Walaupun kasus delirium mempunyai prevalensi yang tinggi serta menyebabkan morbiditas dan mortalitas, delirium sering tidak terdeteksi oleh dokter. Hal ini disebabkan karena perubahan perilaku pada pasien delirium mirip dengan proses psikiatri primer. Delirium tipe
hipoaktif sering didiagnosis depresi karena adanya penurunan psikomotor, nafsu makan yang berkurang, dan pasien menjadi senang menyendiri. Sedangkan gelisah dan ansietas pada pasien dengan penyakit medis tertentu dianggap respon psikologi yang normal. Hal ini menyebabkan penegakkan diagnosis dan pemberian tatalaksana tertunda bahkan tidak tepat. Misalnya, pasien justru mendapatkan terapi antidepresan atau benzodiazepine yang bersifat deliriogenik.
Halusinasi, ilusi, dan delusi tipe paranoid sering terjadi pada pasien delirium. Sehingga dokter sering salah menginterpretasikan gejala yang ada sebagai gejala psikosis. Maka, halusinasi maupun delusi pada lansia dan pasien dengan penyakit medis tertentu dapat dipertimbangkan sebagai delirium atau demensia hingga dapat dibuktikan diagnosis pastinya.
Episode delirium dapat berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Selain itu, delirium dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif jangka panjang terutama pada pasien yang telah melewati masa kritis dan kasus sepsis ensefalopati.
FAKTOR RESIKO DAN PENYEBAB
Delirium dapat disebabkan oleh banyak hal seperti metabolik, keracunan obat, infeksi, vaskular, trauma, dan keadaan paska bedah. Brain imaging menjadi evaluasi awal pada kasus delirium walaupun mayoritas episode delirium tidak selalu diikuti oleh kelainan struktural. Penyebab struktural delirium biasanya dikabarkan dari riwayat trauma atau pemeriksaan neurologis fokal. Delirium banyak terjadi pada pasien stroke rawat inap dan paling sering akibat dari kelainan metabolik ataupun komplikasi infeksi. Biasanya stroke tidak menjadi penyebab langsung delirium.
Mekanisme terjadinya delirium masih belum banyak dipahami. Proses inflamasi yang biasanya teraktivasi pada proses infeksi, metabolik, dan berbagai proses terkait delirium. Beberapa percobaan terhadap hewan dan manusia didapatkan bahwa terdapat perubahan mood, perilaku, dan daya kognitif yang buruk, diperantai oleh mediator inflamasi seperti IL, 1,
IL-6, TNF-. Berbagai penyakit-terkait inflamasi sistemik diperkirakan berperan utama dalam berbagai sebab di etiologi delirium.
Disfungsi neurotransmitter dilibatkan sebagai patofisiologi dari delirium. Kacaunya fungsi neurotransmiter seperti dopamin dan serotonin, sepertinya menjadi penyebab dalam diagnosis neuroleptic malignant syndome dan sindroma serotonin. Defisiensi gamma amino butyric acid (GABA) dan hiperreaktivitas glutamat dikaitkan dengan terjadinya encephalopahty sedative-hypnotic withdrawl . Sifat anti-kolinergik dari berbagai obat juga berperan dalam munculnya delirium. Narkotika golongan opioid merangsang terjadinya delirium lewat mekanisme efek anti-kolinergis.
Ganguan metabolisme seperti pada metabolisme sodium dan kalsium, hipoalbuminemia, hipoksemia, hiperkapnea, insufisiensi ginjal dan hepar, hiperglikemia dan hipoglikemia, keracunan obat maupun gejala putus obat, infeksi, dan penyakit primer pada sistem syaraf pusat seperti stroke, kejang dan trauma kepala dihubungkan dengan kejadian delirium.
Tabel 1. Penyebab delirium
Autoimun
Acute graft versus host disease
Autoimun ensefalopati (voltage-gated potassium channel, NMDA receptor ) Vaskulitis sistem syaraf pusat
Hashimoto’s encephalopathy Systemic lupus erythematosus Jantung
Infark myocardial akut Gagal jantung
Cerebrovascular
Stroke (iskemik, hemoragik) Transient ischemic attack Subarachnoid hemoragik Hypertensive encephalopathy Intoksikasi obat
Alkohol Bath salts
Cannabinoids (marijuana, synthetic) Gamma-hydroxybutyrate Hallucinogens Opioid Psikostimulan Sedatif-hipnotik (benzodiazepines, Metabolik Asidosis or alkalosis Anemia Heparic failure Hipercapnea Hipoalbuminemia
Hipo- atau hiperkalsemia Hipo- atau hiperglikemia Hipo- atau hiperkalemia Hipo- atau hipermagnesemia Hipo- atau hipernatremia Hipofosfatemia
Hipoksemia Uremia
Other (carcinoid, porphyria, dll) Neoplasma
Carcinomatous meningitis Intraparenchymal brain tumor Lymphomatous meningitis Parenchymal metastasis Paraneoplastic syndrome Infeksi Sistemik Bacteremia Selulitis
barbiturates) Dr ug withdrawal Alkohol Sedatif-hipnotik (benzodiazepines, barbiturates) Endokrin
Insufisiensi atau hipereksresi adrenal Hypo- atau hiperthyroid
Hypo- atau hyperparathyroid Panhipopituitari
Infeksi Intrakranial Abses
Ensefalitis (HSV, arboviruses) Human immunodeficiency virus Meningitis (bacterial, viral, fungal) Neurosyphilis
Pneumonia Sepsis
Infeksi saluran kemih Trauma kepala Diffuse axonal injury Parenchymal contusion
Subdural hematoma Lainnya
Radiasi sistem syaraf pusat
Disseminated intravascular coagulation, thrombotic thrombocytopenic purpura Malignant hyperthermia, neuroleptic
malignant syndrome, serotonin syndrome Tahap post operasi
(cardiotomy, joint arthroplasty) Kejang
Terapi untuk berbagai kelas, lewat mekanisme yang telah dimengerti maupun belum dimengerti, juga dikaitkan dengan kejadian delirium. Pengobatan dengan antimikroba seperti clerithromycin, fluoroquinolone (ciprofloxacin, penicillin, cephalosporin, dan metronidazole), antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital, asam valproat), kortikostroid, obat anti parkinson (amantadine, levodopa), obat jantung (digitalis, lidocain, quinidine, dan beta blocker), berbagai obat anti kanker (5-fluoruracil, methotrexate, procarbazine, vincristine, interferon-, dan
ifosfamide). Analgetik opioid dan benzodiazepine menjadi penyebab utama terjadinya delirium pada pasien bedah.
Intoksikasi obat akut disebabkan oleh penyalahgunaan obat bisa memicu delirium (drug withdrawl delirium), biasanya berasal dari golongan obat hipnotik sedatif (barbiturat, alkohol dan benzodiazepine) yang digunakan secara bebas. Mekanisme melalui GABA-nergik sehingga terjadi delirium tremens-like encephalopathy syndrome. Meskipun terdapat laporan kasus delirium terkait penghentian tiba-tiba narkotik opioid (metadon), pada dasarnya agen ini tidak menyebabkan withdrawl-delirium, dugaan opioid dapat menyebabkan delirium pada penyalahangunaan opioid dan pasien paska bedah sebenarnya karena pasien memiliki resiko lain
Tabel 2. Obat-obat penyebab delirium Analgesik Opioid Salisilat Antimikroba Acyclovir, gancyclovir Aminoglycosides Amphotericin B Antimalaria Sefalosporin Ethambutol Interferon Isoniazid Macrolides (clarithromycin) Metronidazole Quinolones (ciprofloxacin) Rifampin Sulfonamides Vancomycin Antikolinergik Antihistamin (H1) Antispasme
Atropine dan atropine-like drugs Benztropine
Phenothiazines
Tricyclics (amitriptyline, doxepin, imipramine) Trihexiphenidyl Antikonvulsan Phenobarbital Phenytoin Asam valproat Anti inflamasi Kortikosteroid
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs Antineoplasma Asparaginase Dacarbazine Diphosphamide 5-Fluorouracil Methotrexate Procarbazine Vinblastine Vincristine Antiparkinson Amantadine Bromocriptine Agonis dopamine (ropinirole, pramipexole) Levodopa Obat jantung Beta-blocker Captopril Clonidine Digoksin Lidocaine Methyldopa Procainamide Quinidine Tocainide Sedatif-hipnotic
(intoksikasi atau withdrawal) Barbiturates Benzodiazepines Stimulan Amphetamines Epinephrine, phenylephrine Pseudoephedrine Theophylline Lainnya Antihistamines (H2)
Baclofen (intoksikasi atau withdrawal) Bromides Disulfiram Ergotamine Lithium Propylthiouracil Quinacrine Timolol (ophthalmic)
Kemudian dibuatlah protokol kegawatdaruratan delirium yang didukung oleh pengobatan empiris pada delirium yang reversibel. Protokol darurat, termasuk tes diagnostik yang tepat,
pemberian oksigen tambahan, dekstrosa intravena, larutan saline intravena, nalokson, dan penargetan thiamin pada masing-masing keadaan hipoksemia, hipoglikemia, hipovolemia, intoksikasi opioid, dan encephalopathy wernicke. Flumazine (benzodiazepine reverse agonist ) kadang diberikan pada pasien dengan dugaan keracunan benzodiazepine, namun laporan mengenai kejang-terinduksi benzodiazepin withdrawl menyebabkan penggunaan agen ini digunakan secara lebih berhati-hati.
INTERVENSI NON-FARMAKOLOGIS
Sebuah studi yang dilakukan Inouye et al meneliti protokol multidisiplin dalam suatu intervensi nonfarmakolois untuk menurunkan insidensi, durasi, dan keparahan delirium pada 852 pasien lansia yang masuk ke pelayanan kesehatan umum sebuah rumah sakit akademik.Protokol tersebut terdiri atas intervensi global dan intervensi khusus untuk pasien dengan faktor risiko spesifik. Intervensi tersebut yaitu mobilisasi segera, pengurangan paparan bising dan pengaturan jadwal harian untuk mencegah gangguan tidur, pengenalan dan penatalaksanaan awal dehidrasi,
serta bantuan komunikasi untuk pasien dengan gangguan penglihatan dan pendengaran. Indisensi delirium pada kelompok intervensi 40% lebih rendah daripada kelompok kontrol. Durasi delirium pada kelompok intevensi juga lebih rendah secara signifikan pada kelompok intervensi. Zaubler et al mereplikasi hasil ini dan melaporkan penghematan $841,000 dalam 9 bulan pada sebuah setting rumah sakit umum. Protokol ini dipertimbangkan sebagai pelayanan standar dan telah dilaksanakan pada berbagai institusi di berbagai penjuru negara (Amerika Serikat). Intervensi nonfarmakologis yang serupa telah didesain dan diimplementasikan oleh Brown-based Geriatric Medicine Program, dan menjadi dasar dari Close Observation Medical Unit (COMU) serta protokol pelayanan lansia lain di rumah sakit Rhode Island dan rumah sakit Miriam (L. McNicoll, komunikasi personal, Juli 2012).
INTERVENSI FARMAKOLOGIS
–
TERAPI DAN PREVENSI OverviewAntipsikotik generasi pertama seperti haloperidol merupakan pilihan utama untuk terapi gejala neurobehaviour pada delirium. Obat ini bekerja melalui blokade dopaminergik berdasarkan teori bahwa hiperaktivitas dopaminergik dan defisiensi kolinergik berpengaruh pada
digunakan, namun menimbulkan outcome yang beragam. Haloperidol memiliki efek samping hemodinamik yang minimal dan merupakan terapi yang paling dianjurkan untuk agitasi terkait delirium. Haloperidol dapat digunakan secara oral, intramuskular (IM), atau intravena (IV), memiliki window terapi yang panjang, dan dapat dititrasi dalam rentang dosis yang luas mulai 0.5 mg sampai 10 mg perjam jika diperlukan, dengan onset kerja antara 30-60 menit untuk rute pemberian IM dan IV. Puncak konsentrasi dalam serum didapatkan setelah 2-6 jam setelah pemberian oral. Terdapat sebuah case report yang melaporkan bahwa pemberian haloperidol 500 mg perhari masih aman dan efektif. Haloperidol yang diberikan secara IM dan IV sangat berguna pada pasien yang tidak kooperatif dan pasien dengan penyakit berat di mana absorpsi
gastrointestinal tidak berjalan baik. Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian haloperidol berhubungan dengan risiko extrapyramidal symptom (EPS) yang rendah. Data terbaru menunjukkan bahwa selain memiliki aktivitas antidopaminergik, haloperidol juga memperbaiki keadaan delirium dengan mengurangi stres oksidatif dan inflamasi karena bersifat antagonis terhadap interleukin-1 dan memblokade reseptor σ-1.
Terdapat beberapa literatur yang mendukung penggunaan antipsikosis generasi kedua dalam terapi agitasi dan psikosis yang terkait delirium. Antipsikosis generasi kedua yang digunakan saat ini adalah risperidone, quetiapine, olanzapine, ziprasidone, dan aripiprazole. Kelebihan antipsikotik generasi kedua dibanding haloperidol adalah risiko EPS yang relatif rendah, yang relevan pada pasien dengan sindroma parkinson seperti demensia Lewy bodies dan Parkinson’s disease idiopatik. Quetiapin paling sedikit menyebabkan atau mengeksaserbasi EPS dan merupakan pilihan utama terapi agitasi dan psikosis pada pasien parkinson. Tidak seperti haloperidol, tidak ada antipsikosis generasi kedua yang tersedia dalam sediaan IV. Olanzapine, ziprasidone, dan aripiprazole dapat diberikan dalam bentuk IM lepas cepat dan diindikasikan ketika rute oral tidak memungkinkan atau haloperidol dikontraindikasikan. Risperidone dan paliperidone tersedia dalam formulasi IM long-acting yang digunakan dalam terapi psikosis
kronis, namun tidak diindikasikan untuk pasien delirium.
Food and Drug Association (FDA) mengeluarkan peringatan “black box” pada April 2005 dan Juni 2008 mengenai penggunaan antipsikosis pada lansia. Peringatan ini terkait dengan bukti meningkatnya kejadian serebrovaskular dan mortalitas pada studi tentang terapi antipsikosis jangka panjang pada lansia yang merupakan pasien nursing home. Relevansi hasil penelitian dan
peringatan ini dalam penggunaan antipsikosis jangka pendek pada pasien delirium belum jelas. Karena jumlah pasien delirium dengan komorbid demensia cukup tinggi, maka peringatan ini perlu mendapatkan perhatian ketika menimbang risiko dan keuntungan penggunaan antipsikosis
sebagai terapi delirium.
Haloperidol dan semua antipsikosis generasi kedua memiliki risiko perpanjangan kompleks QT yang merupakan prediktor utama torsade de pointes (TdP), sebuah disritmia vertrikular maligna. Efek antipsikosis dan agen terapi lain pada perpanjangan QT didokumentasikan pada www.torsades.org. Haloperidol dosis rendah memiliki efek perpanjangan QT yang minimal. Thioridazone, ziprasidone, dan haloperidol IV dosis tinggi memiliki efek perpanjangan QT yang paling signifikan di antara berbagai antipsikosis. Walaupun derajat perpanjangan QT dan risiko
absolut TdP dari penggunaan obat ini relatif kecil, sebagian besar guideline memberikan peringatan dalam penggunaan haloperidol IV pada pasien dengan faktor risiko perpanjangan QT
atau TdP. Absolute risk TdP atas penggunaan haloperidol IV adalah sekitar 0.27%.
Dexmedetomidine merupakan analgesik, anxiolitik, dan agonis α-2 kerja sentral yang bersifat selektif tinggi dan sedatif, dan telah diteliti penggunaannya pada prevensi delirium dan
agitasi terkait delirium pada pasien ICU. Sebuah uji yang membandingkan dexmedetomidine dengan benzodiazepine + opioid pada protokol sedasi ICU telah menunjukkan efikasi, keamanan, dan efek samping yang dapat ditoleransi. Tidak seperti sebagian besar sedatif yang digunakan di ICU, dexmedetomidine tidak menyebabkan depresi napas, namun hipotensi dan bradikardi dapat terjadi pada penggunaan dexmedetomidine dengan infus tetesan cepat. Berbagai
studi telah melaporkan penurunan kebutuhan opiat di ICU dan pasien post-operative pada penggunaan sedasi dengan dexmedetomidine. Penurunan penggunaan opioid kemungkinan berkontribusi pada penurunan insidensi delirium pada pasien yang diterapi dengan dexmedetomidine. Dexmedetomidine juga memiliki aktivitas kolinergik sedang yang tidak terlalu mempengaruhi siklus tidur-bangun.
Benzodiazepine berpotensi delirionergik. Kecuali pada kasus alkoholisme dan withdrawal sedatif-hipnotik di mana benzodiazepine merupakan pilihan utama, golongan ini bukan merupakan terapi firt-line pada agitasi terkait delirium. Penggunaan benzodiazepine adjunctive tepat pada kasus toxidromes dan sindroma neuroleptik maligna, atau pada delirium dengan komplikasi katatonia atau EPS berat yang tidak memungkinkan penggunaan antipsikosis.
Di bawah ini akan diringkaskan studi-studi terbaru dengan membedakan pasien bedah umum dengan pasien ICU. Outcome bervariasi di antara studi-studi ini, termasuk insidensi delirium, durasi dan keparahan, lama perawatan di rumah sakit, lama perawatan di ICU, lama penggunaan ventilator, dan kecenderungan untuk perawatan di rumah dibanding fasilitas medis
atau institusi lain.
Beberapa studi merekomendasikan penggunaan antipsikosis pada terapi psikosis dan agitasi terkait delirium, namun tidak direkomendasika untuk sindroma delirium murni. Studi pada hewan coba membuktikan bahwa mekanisme dopaminergik memainkan peran penting dalam munculnya delirium, baik yang disertai atau tidak disertai dengan agitasi. Beberapa studi melaporkan sejumlah besar pasien delirium non-agitasi dan hipoaktif mengalami distressing psychotic symptom dan gejala ini dapat menyebabkan terjadinya post-traumatic stress disorder
(PTSD)-like syndrome. Observasi ini bertentangan dengan penggunaan dopamine-blocking agent yang luas untuk terapi delirium walau tanpa gangguan perilaku.
Tabel 1. Menilai dan Memonitor Risiko Obat yang Menyebabkan Perpanjangan QT
Faktor Risiko Perpanjangan QT:
Penyakit jantung berat
Riwayat sindroma kompleks QT yang panjang Baseline kompleks QT > 450 msec
Hipokalemia Hipomagnesemia
Penggunaan obat yang menyebabkan perpanjangan QT
Hal yang Perlu Dilakukan pada Penggunaan Obat yang Menyebabkan Perpanjangan QT:
Pemeriksaan elektrokardiogram untuk mengukur baseline interval kompleks QT Pemeriksaan level potassium dan magnesium plasma
Melakukan koreksi abnormalitas elektrolit
Melakukan review interaksi obat yang menyebabkan perpanjangan QT
Perpanjangan QT:
Mengulang pemeriksaan elektrokardiogram pada interval yang teratur (biasanya
sekali sehari)
STUDI TERAPEUTIK
Praktek umum dan pasien pembedahan
Pada sebuah studi multi kasus menyatakan bahwa obat golongan antipsikosis atipikal (SGA) seperti risperidone, quetiapine, olanzapine, aripiprazoledan ziprasidone, efektif dan aman untuk terapi delirium. Dari suatu uji coba dengan metode Randomized Control Trial (RCT) yang membandingkan antara obat golongan SGA dengan haloperidol pada terapi delirium tidak didapatkan perbedaan signifikan antara keduanya baik dalam hal hasil terapi maupun efek di kemudian hari. Sebuah uji coba dengan metode RCT mengenai perbandingan risperidone dengan haloperidol didapatkan hasil peningkatan sebanding antar kelompok. Pada sebuah review Cochrane 2007 tentang penggunaaan antipsikosis pada terapi delirium termasuk sebuah meta analisis dari haloperidol, olanzapine, risperidon dan placebo, dapat disimpulkan bahwa 1). Haloperidol tidak signifikan menurunkan insidensi delirium dibandingkan dengan placebo, 2). Haloperidol dosis rendah mengurangi tingkat keparahan dan durasi pada pasien delirium post operasi, 3). Haloperidol dosis rendah dan obat golongan SGA mempunyai efikasi dan insidensi EPS yang sama, 4). Haloperidol dosis tinggi berhubungan dengan gejala EPS yang lebih parah.
Pasien ICU
Pada studi MIND, yang mengevaluasi pencegahan dan terapi, pada 101 pasien ICU dengan ventilator yang secara acak menerima haloperidol oral, ziprasidone oral, atau placebo selama 14 hari, menurut protokol yang memungkinkan untuk penyesuaian dosis berdasarkan tingkat keparahan delirium, tingkat sedasi dan efek samping. Agen tidak signifikan mengurangi durasi delirium, meskipun kekuatan penelitian tersebut kemungkinan besar lemah dikarenakan jumlah sampel yang sedikit, diikutsertakannya pasien tanpa delirium pada awal penelitian, dan penggunaan haloperidol IV open-label pada seluruh kelompok. Tidak ada perbedaan durasi koma
memperpanjang waktu koma. Munculnya gejala EPS, termasuk akathisia, sebanding pada seluruh kelompok. Gejala dan tanda ekstrapiramidal dinilai dengan pemeriksaan fisik. Akathisia hanya dapat dinilai pada saat pasien tidak koma maupun tidak delirium dan dapat berpartisipasi dalam pemeriksaan. Sebuah studi internasional 2013 menggunakan metode yang sama untuk membandingkan antara penggunaan haloperidol IV dengan placebo untuk pencegahan dan terapi pada pasien dengan ventilator, dan tidak ditemukan perbedaan signifikan antar kelompok dalam
hal durasi delirium.
Devlin et al mengacak 36 pasien delirium, pasien ICU untuk menerima quetiapine oral atau placebo. Terapi dengan quetiapine berhubungan dengan durasi total delirium yang lebih pendek,
waktu yang lebih pendek untuk resolusi pertama delirium, dan waktu yang lebih singkat untuk agitasi dibandingkan dengan placebo. Secara signifikan beberapa efek di kemudian hari dilaporkan pada penggunaan quetiapine, terutama sedasi. Meskipun gejala EPS maupun QTP ditemukan.
Pada penelitian pasien ICU dengan ventilator dengan agitasi sekunder berat serta delirium yang secara acak menerima infus kontinu medetomidine atau haloperidol. Obat golongan medetomidine menghabiskan waktu yang lebih banyak dengan gejala minimal atau tanpa gejala delirium, waktu intubasi lebih pendek, dan waktu lebih singkat di ICU. Tiga pasien yang menerima haloperidol tidak dapat diekstubasi dan menjalani trakeostomi, berbeda dengan pasien yang mendapat terapi medetomidine. Haloperidol dihentikan lebih awal pada satu pasien karena QTP.
Pada penelitian RCT mengenai penggunaan rivastigmine dibandingkan dengan placebo sebagai terapi tambahan untuk haloperidol pada pasien delirium ICU dihentikan lebih awal karena peningkatan kematian pada penggunaan rivastigmin. Waktu paruh dari delirium, keparahan
delirium, lamanya dirawat di ICU, dan dosis kumulatif dari kebutuhan haloperidol, lorazepam dan propofol, semua meningkat pada penggunaan rivastigmin. American College Critical Care Medicine (ACCM) tidak menyarankan penggunaan rivastigmine pada pasien delirium yang dirawat di ICU.
STUDI PENCEGAHAN
Praktek Umum dan Pasien Pembedahan
Setidaknya tiga penelitian membahas mengenai penggunaan antipsikosis profilaksis pada pasien pembedahan ortopedi dan gastrointestinal. Pada penelitian Kalisvaart et al mengacak 430 pasien operasi panggul untuk menerima haloperidol oral atau placebo dari masuk sampai hari ketiga post operasi. Insidensi terjadinya delirium diantara dua kelompok tersebut adalah sama, meskipun episode delirium lebih pendek dan tingkat keparahan lebih rendah pada pasien yang menerima haloperidol. Kaneko et al mengacak 78 pasien operasi gastrointestinal untuk menerima haloperidol atau saline normal IV pada hari pertama post operasi hingga hari kelima. Insidensi, tingkat keparahan, dan durasi terjadinya delirium secara signifikan lebih rendah pada pemberian haloperidol. Pada penelitian yang dilakukan Larsen et al, 400 pasien yang menjalani operasi panggul dan lutut diacak dan diberi satu dosis olanzapine atau placebo segera sebelum dan setelah operasi. Insidensi delirium secara signifikan lebih rendah pada olanzapine (14,3% vs 40,2%, p <0,0001) dan lebih banyak pasien menerima olanzapine yang pulang ke rumah. Ketika delirium terjadi pada pemberian olanzapine, itu bertahan lebih lama dan tingkat keparahannya lebih tinggi.
Pasien ICU
Dua penelitian telah membahas penggunaan antipsikosis profilaksis pada pasien ICU post operasi. Prakanrattana et al meneliti 126 pasien bedah jantung yang diacak untuk menerima risperidone dosis tunggal atau placebo post operasi. Insidensi delirium secara signifikan lebih rendah pada risperidone. Wang et al mengacak 457 pasien bedah jantung untuk menerima infus kontinu haloperidol atau saline normal post operasi. Terapi haloperidol berhubungan dengan penurunan insidensi delirium serta onset delirium yang lebih lama. Penelitian meta analisis baru- baru ini membahas tentang pencegahan delirium pada praktek umum dan pasien bedah ICU
dengan hasil risiko relatif 0,5 untuk perkembangan delirium pada pasien yang menerima pengobatan antipsikosis profilaksis dibandingkan dengan placebo.
Tiga penelitian RCT telah membahas tentang insidensi delirium pada pasien ICU yang diberi dexmedetomidine dibandingkan dengan benzodiazepin atau opioid. Pada penelitian MENDS 106 pasien yang terpasang ventilator di ICU diberi dexmetomidine atau lorazepam. Pada pasien yang
diberi dexmetomidine waktu sadar tanpa koma maupun delirium lebih lama. Maldonado et al mengacak 118 pasien bedah jantung yang terpasang ventilator dan diberi dexmetomidine, propofol atau midazolam. Insidensi delirium secara signifikan lebih rendah pada terapi dexmetomidine tapi tidak ada perbedaan signifikan pada lamanya waktu dirawat di ICU atau waktu mondok. Pada penelitian DEXCOM, 306 pasien bedah jantung diacak untuk mendapat terapi sedasi dan analgesik menggunakan dexmetomidine atau morfin. Insidensi delirium sebanding , namun pasien yang menerima terapi dexmetomidine menghabiskan waktu 3 hari lebih sedikit mengalami delirium, lebih awal diekstubasi, kemungkinan lebih kecil hipotensi dan membutuhkan lebih sedikit norepinefrin. Penggunaan dexmetomidine berhubungan dengan insidensi terjadinya bradikardi yang lebih tinggi.
Dua penelitian dengan menggunakan placebo melaporkan bahwa tidak ada keuntungan penggunaan inhibitor kolinesterase untuk pencegahan delirium pada pasien bedah yang dirawat di ICU. Sebaliknya, penggunaan ketamin selama induksi anestesi berhubungan dengan insidensi yang lebih rendah pada pasien delirium post operasi dibandingkan penggunaan placebo pada pasien bedah jantung (3% versus 31%).
EVALUASI
Evaluasi delirium dimulai dengan pemeriksaan fisik langsung dengan memperhatikan secara teliti untuk menemukan kelainan metabolik, infeksi, dan kelainan neurologis fokal. Pemeriksaan metabolik rutin, urinalysis, dan X-ray thoraks harus dilakukan. CT-Scan kepala sering muncul dalam penilaian kejadian delirium, tapi lebih sering tidak disertakan. Indikasi CT-Scan kepala untuk mengevaluasi pasien dengan perdarahan subdural atau perdarahan intraparenkim dengan riwayat trauma dan dengan gejala neurologis fokal. Sementara MRI lebih sensitif dalam mengevaluasi adanya SOP, proses white matter disease dan stroke iskemik baru yang menyebabkan kondisi delirium.
Pemeriksaan Electroencephalografi (EEG) pada pasien delirium tampak gambaran khas dimana terdapat perlambatan bilateral yang menyeluruh pada gelombang delta ke gelombang theta. Perubahan EEG ini tidak begitu spesifik dan terlalu umum seperti gambaran encephalopathy dari berbagai etiologi yang lain. Penyebab pasti delirium berdasarkan penemuan gambaran khas pada
EEG diantaranya gelombang trifasik pada encephalopathy hepaticum, hiperaktivitas gelombang beta pada kondisi intosikasi benzodiazepin, dan periode supresi gelombang pada prion disease.
Pemeriksaan EEG tidak begitu membantu ketika pemeriksaan neuropsikiatri mengarah ke delirium berdasarkan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium. Sementara gambaran perlambatan gelombang pada EEG sangat membantu dalam membedakan antara penyakit
gangguan mental dan encephalopati sub akut dimana gangguan kognitifnya tidak begitu menonjol. Gambaran EEG pada gangguan mental menunjukkan gelombang yang normal.
Ketika pasien dengan status encephalophatic namun evaluasi adanya intoksikasi, gangguan metabolik, infeksi, dan kelainan struktural tidak ditemukan, maka pemeriksaan EEG dianjurkan untuk mengevaluasi status epileptikus non konvulsif. Penelitian terbaru mencatat kejadian tidak diharapkan dari status epileptikus non konvulsif pada penyakit kritis dan pasien ICU. Ini bisa menjadi catatan, dimana menganjurkan pemeriksaan EEG pada pasien dengan kritis encephalopathy yang secara khas memiliki multiple non-epileptic process yang menyebabkan delirium.
KESIMPULAN
Guidline berbagai penelitian dan para ahli mendukung penggunaaan antipsikotik untuk penanganan delirium terkait psikosis dan agitasi. Anti psikotik generasi pertama dan kedua terbukti efektif dan aman bisa digunakan dengan kombinasi. Intervensi non farmakologi secara signifikan mengurangi insidensi, durasi, dan keparahan dari delirium. Terdapat bukti yang berkembang bahwa antipsikotik dan dexmedetomidine efektif dala mencegah delirium pada pasien pasca bedah dan pasien dengan alat bantu napas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Trzepacz PT, Meagher DJ. Delirium. In: Levenson JL, editor. American Psychiatric
Publishing Textbook of Psychosomatic Medicine. Washington, DC: American Psychiatric Publishing. 2005;91-130.
2. Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med. 2006;34:1157-1165.
3. Witlox J, Eurelings LS, deJonghe JF, et al. Delirium in elderly patients and the risk of postdischarge mortality, institution-alization, and dementia: a meta-analysis. JAMA.
4. Robinson TN, Raeburn CD, Tran ZV, et al. Postoperative delirium in the elderly: risk factors and outcomes. Ann Surg. 2009;249:173-178.
5. Siddiqi N, House AO, Holmes JD. Occurrence and outcome of delirium in medical in- patients: a systematic literature review. Age and Ageing. 2006;35:350-364.
6. Gonzalez M, Martinez G, Calderon J, et al. Impact of delirium on short-term mortality in elderly patients: a prospective cohort study. Psychosomatics. 2009;50(3):234-238.
7. Leslie DL, Zhang Y, Holford TR, et al. Premature death associated with delirium at 1-year follow-up. Arch Intern Med. 2005;165:1657-1662.
8. Leslie DL, Marcantonio ER, Zhang Y, et al. One-year health care costs associated with delirium in the elderly population. Arch Intern Med. 2008;168:27-32.
9. Lamar CD, Hurley RA, Taber KH. Sepsis-associated encephalopathy: review of the
neuropsychiatric manifestations and cognitive outcome. J Neuropsychiatry Clin Neurosci. 2011;23(3): 236-241.
10. Choi SH, Lee H, Chung TS, et al. Neural network functional connectivity during and after an episode of delirium. Am J Psychiatry. 2012;169:498-507.
11. Maldonado JR. Delirium in the acute care setting: characteristics, diagnosis and treatment. Crit Care Clin. 2008;24:657-722.
12. Breitbart W, Gibson C, Tremblay A. The delirium experience: delirium recall and delirium-related distress in hospitalized patients with cancer, their spouses/caregivers, and their nurses. Psychosomatics. 2002;43:183-194.
13. Iwashyna TJ, Ely EW, Smith DM, et al. Long-term cognitive impairment and functional disability among survivors of severe sepsis. JAMA. 2010;304(16):1787-1794.
14. Girard TD, Jackson JC, Pandharipande PP, et al. Delirium as a predictor of long-term
cognitive impairment in survivors of critical illness. Crit Care Med. 2010;38(7):1513-1520. 15. Barr J, Gilles L, Puntillo K, et al. Clinical practice guidelines for the management of pain,
agitation, and delirium in adult patients in the intensive care unit. Crit Care Med. 2013;41: 263-306.
16. Ely EW, Shintani A, Truman B, et al. Delirium as a predictor of mortality in mechanically ventilated patients in the intensive care unit. JAMA. 2004;291 (14):1753-1762.
17. Minden SL, Carbone LA, Barsky A, et al. Predictors and outcomes of delirium. Gen Hosp Psychiatry. 2005;27:209-214.
18. Pandharipande PP, Girard TD, Jackson JC, et al. Long-term cognitive impairment after critical illness. N Engl J Med. 2013;369:1306-1316.
19. Trzepacz P, Breitbart W, Franklin J, et al. Practice guideline for the treatment of patients with delirium. Am J Psychiatry. 1999;156(suppl):1-38.
20. Prakanrattana U, Prapaitrakool S. Efficacy of risperidone for prevention of postoperative delirium in cardiac surgery. Anaesth Intensive Care. 2007;35:714-719.
21. Larsen KA, Kelly SE, Stern TA, et al. Administration of olanzapine to prevent postoperative delirium in elderly joint-replacement patients: a randomized, controlled trial.
22. Teslyar P, Stock VM, Wilk CM, et al. Prophylaxis with antipsychotic medication reduces the risk of post-operative delirium in elderly patients: a meta-analysis. Psychosomatics. 2013;54: 124-131.
23. Heymann A, Radtke F, Schiemann A, et al. Delayed treatment of delirium increases
mortality rate in intensive care unit patients. The Journal of International Medical Research. 2010;38: 1584-1595.
24. Franco JG, Trzepacz PT, Meagher DJ, et al. Three core domains of delirium validated using exploratory and confirmatory factor analyses. Psychosomatics. 2013;54(3):227-238.
25. Misak C. ICU psychosis and patient autonomy: some thoughts from the inside. Journal of Medicine and Philosophy. 2005;30:411-430.
26. Jones C, Griffiths RD, Humphris G, et al. Memory, delusions, and the development of acute posttraumatic stress disorder-related symptoms after intensive care. Crit Care Med.
2001;29:573-580.
27. Fong TG, Jones RN, Shi P, et al. Delirium accelerates cognitive decline in Alzheimer disease. Neurology. 2009;72:1570-1575.
28. Raison CL, Demetrashvili M, Capuron L, et al. Neuropsychiatric effects of interferon-alpha: recognition and management. CNS Drugs. 2005;19(2):105-123.
29. Dantzer R, O’Connor JC, Freund GG, et al. From inflammation to sickness and depression: when the immune system subjugates the brain. Nat Rev Neurosci. 2008;9:46-57.
30. Sutter R, Steven RD, Kaplan PW. Continuous electroencephalographic monitoring in critically ill patients: indications, limitations, and strategies. Crit Care Med. 2013;41:1124-1132.
31. American Psychiatric Association: Practice guideline for the treatment of patients with delirium. Am J Psychiatry. 1999;156(5 suppl):1 – 20.
32. Barr J, Fraser GL, Puntillo K, et al. Clinical practice guidelines for the management of pain, agitation, and delirium in adult patients in the intensive care unit. Crit Care Med. 2013;41(1): 263-306.
33. Inouye SK, Bogardus ST, Charpentier PA, et al. A multicomponent intervention to prevent delirium in hospitalized older patients. N Engl J Med. 1999;340(9):669-76.
34. Zaubler TS, Murphy K, Rizzuto L, et al. Quality improvement and cost savings with
multicomponent delirium interventions: replication of the Hospital Elder Life Program in a community hospital. Psychosomatics. 2013;54(3):219-26.
35. Maldonado JR. Delirium in the acute care setting: characteristics, diagnosis and treatment. Crit Care Clin. 2008;24(4):657-722, vii.
36. Bledowski J, Trutia A. A review of pharmacologic management and prevention strategies for delirium in the intensive care unit. Psychosomatics. 2012;53(3):203-11.
37. Teslyar P, Stock VM, Wilk CM, Camsari U, Ehrenreich MJ, Himelhoch S. Prophylaxis with antipsychotic medication reduces the risk of post-operative delirium in elderly patients: a meta-analysis. Psychosomatics. 2013;54(2):124-31.
38. Lonergan E, Britton AM, Luxenberg J, Wyller T. Antipsychotics for delirium. Cochrane Database Syst Rev. 2007;(2):CD005594.
39. Devlin JW, Skrobik Y. Antipsychotics for the prevention and treatment of delirium in the intensive care unit: what is their role? Harv Rev Psychiatry. 2011;19(2):59-67.
40. Han CS, Kim YK. A double-blind trial of risperidone and haloperidol for the treatment of delirium. Psychosomatics. 2004;45(4):297-301.
41. Prakanrattana U, Prapaitrakool S. Efficacy of risperidone for prevention of postoperative delirium in cardiac surgery. Anaesth Intensive Care. 2007;35(5):714-9.
42. Devlin JW, Roberts RJ, Fong JJ, et al. Efficacy and safety of quetiapine in critically ill patients with delirium: a prospective, multicenter, randomized, double-blind,
placebo-controlled pilot study. Crit Care Med. 2010;38(2):419-27.
43. Larsen KA, Kelly SE, Stern TA, et al. Administration of olanzapine to prevent postoperative delirium in elderly joint-replacement patients: a randomized, controlled trial.
Psychosomatics. 2010;51(5):409-18.
44. 44.http://www.fda.gov/Drugs/DrugSafety/PostmarketDrugSafetyInformationforPatientsandP roviders/ucm124830.htm. Accessed January 22, 2014.
45. Reade MC, O’Sullivan K, Bates S, Goldsmith D, Ainslie WR, Bellomo R. Dexmedetomidine vs. haloperidol in delirious, agitated, intubated patients: a randomized open-label trial. Crit Care. 2009;13(3):R75.
46. Pandharipande PP, Pun BT, Herr DL, et al. Effect of sedation with dexmedetomidine vs lorazepam on acute brain dysfunction in mechanically ventilated patients: the MENDS randomized controlled trial. JAMA. 2007;298(22):2644-53.
47. Maldonado JR, Wysong A, Van der starre PJ, Block T, Miller C, Reitz BA.
Dexmedetomidine and the reduction of postoperative delirium after cardiac surgery. Psychosomatics. 2009;50(3): 206-17.
48. Shehabi Y, Grant P, Wolfenden H, et al. Prevalence of delirium with dexmedetomidine compared with morphine based therapy after cardiac surgery: a randomized controlled trial (DEXmedetomidine COmpared to Morphine-DEXCOM Study). Anesthesiology.
2009;111(5):1075-84.
49. Dasta JF, Kane-Gill SL, Pencina M, et al. A cost-minimization analysis of dexmedetomidine compared with midazolam for long-term sedation in the intensive care unit. Crit Care Med. 2010;38(2):497-503.
50. Mayo-Smith MF, Beecher LH, Fischer TL, et al. Management of alcohol withdrawal delirium. An evidence-based practice guideline. Arch Intern Med. 2004;164(13):1405-12. 51. Misak CJ. The critical car e experience: a patient’s view. Am J Respir Crit Care Med.
2004;170(4):3579.
52. Jones C, Griffiths RD, Humphris G, Skirrow PM. Memory, delusions, and the development of acute posttraumatic stress disorder-related symptoms after intensive care. Crit Care Med. 2001;29(3):573-80.
53. Girard TD, Pandharipande PP, Carson SS, et al. Feasibility, efficacy, and safety of
antipsychotics for intensive care unit delirium: the MIND randomized, placebo-controlled trial. Crit Care Med. 2010;38(2):428-37.
54. Page VJ, Ely EW, Gates S, et al. Effect of intravenous haloperidol on the duration of
delirium and coma in critically ill patients (Hope-ICU): a randomised, doub le-blind, placebo-controlled trial. Lancet Respir Med. 2013;1(7):515-23.
55. van Eijk MM, Roes KC, Honing ML, et al. Effect of rivastigmine as an adjunct to usual care with haloperidol on duration of delirium and mortality in critically ill patients: a multicentre, double blind, placebo-controlled randomised trial. Lancet. 2010;376 (9755):1829-37.
56. Kalisvaart KJ, De jonghe JF, Bogaards MJ, et al. Haloperidol prophylaxis for elderly hip-surgery patients at risk for delirium: a randomized placebo-controlled study. J Am Geriatr Soc. 2005;53(10):1658-66.
57. Wang W, Li HL, Wang DX, et al. Haloperidol prophylaxis decreases delirium incidence in elderly patients after noncardiac surgery: a randomized controlled trial*. Crit Care Med. 2012;40(3):731-9.
58. Hudetz JA, Patterson KM, Iqbal Z, et al. Ketamine attenuates delirium after cardiac surgery with cardiopulmonary bypass. J Cardiothorac Vasc Anesth. 2009;23(5):651-7.