• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRAKTIK TUKAR GULING (RUISLAG) TANAH WAKAF DI DESA PAMULIHAN KABUPATEN SUMEDANG DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRAKTIK TUKAR GULING (RUISLAG) TANAH WAKAF DI DESA PAMULIHAN KABUPATEN SUMEDANG DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PRAKTIK TUKAR GULING (RUISLAG) TANAH WAKAF DI

DESA PAMULIHAN KABUPATEN SUMEDANG DITINJAU

DARI HUKUM ISLAM

DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Gelar (S.H)

Diajukan Oleh :

Encep Dudin Saepudin

NIM : 11160440000065

JURUSAN HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PRAKTIK TUKAR GULING (RUISLAG) TANAH WAKAF PROYEK JALAN TOL DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-

UNDANGAN DI INDONESIA

(S

tudi Kasus Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang

)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

ENCEP DUDIN SAEPUDIN NIM: 11160440000065

Di Bawah Bimbingan: Dr. Abdul Halim, M.Ag

NIP: 196706081994031005

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1442 H/2021 M Dr. Abdul Halim, M. Ag.

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang ditujukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua narasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketetuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 13 Januari 2021

Encep Dudin Saepudin NIM: 11160440000065

(4)
(5)

ABSTRAK

Encep Dudin Saepudin. NIM 1116044000065. PRAKTIK TUKAR GULING (RUISLAG) TANAH WAKAF PROYEK JALAN TOL DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA (Studi Kasus Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang). Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2020 M. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana proses ruislag ini berjalan, bagaimana tinjauan hukumnya baik menurut perundang-undangan di Indonesia maupun hukum Islam dan kenapa pelaksanaan ruislag ini memakan waktu yang tidak singkat.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode hukum empiris dan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan sosiologi hukum, dan pendekatan normatif-empiris. Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan dokumen dengan memperoleh informasi untuk mendapatkan data dari hasil penelitian. Sedangkan analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif eksploratif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan tukar guling (ruislag) tanah wakaf pada di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang berjalan sesuai dengan langkah-langkah yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pada prinsipnya telah mengatur tatacara dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam proses tersebut. Dalam kajian fikih, para ulama juga memperbolehkan adanya tukar guling (ruislag) tanah wakaf dengan syarat terpenuhi persyaratan yang ditentukan dengan mempertimbangkan aspek kelestarian dan kemanfaatan tanah wakaf. Maka dari itu, apa yang dipersyaratkan oleh para ulama tidak berbeda persoalan hukumnya dengan persyaratan yang tercantum dalam perundang-undangan wakaf diatas. Dengan dasar ini maka pelaksanaan tukar guling (ruislag) di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang sesuai dan tidak bertentangan dengan Hukum Islam.

(6)

KATA PENGANTAR

مي ِح هرلا ِنَمْح هرلا ِ هاللَّ ِمْسِب Assalâmu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh

Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhânahu Wa Ta’alâ, karena dengan rahmat dan karunia serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tanah Wajkaf Proyek Jalan Tol Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Perundang-undangan (Studi Kasus Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang).” Demikian pula, shalawat dan salam penulis peruntukkan kepada Baginda Nabi Muhammad Shallâllâhu ’Alaihi Wa Sallam, tidak lupa kepada sahabat, tabiin, tabi’ut tabiin dan seluruh ahlulbait di dunia dan akhirat.

Dengan selesainya penyusunan skripsi yang penulis buat, penulis patut menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak. Karena sedikit atau banyaknya batuan mereka, menjadikan penulis mewujudkan skripsi ini. Berkenaan dengan itu, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, khususnya untuk yang teristimewa kedua Orang tua yang sangat penulis cintai dan sayangi dan yang menyayangi penulis tanpa batas, Bapak Enceng Sahrudin dan Ibu Ratih Otihawati yang senantiasa mendoakan penulis tanpa berhenti, yang memberi semangat dan kasih sayang tanpa ujung, yang telah mengorbankan tenaga dan waktunya untuk mendidik dan membimbing, membesarkan, dan memberikan pendidikan yang tinggi kepada penulis, sehingga kedua orang tua penulis mampu untuk senantiasa menjadi sumber inspirasi dalam kehidupan dan penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sungguh pegorbanan yang tak akan pernah mampu penulis balas.

Juga kepada Kakak penulis yaitu Eneng Shopuroh yang senantiasa memberi warna untuk menyuntik semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan tak lupa juga ucapan terima kasih yang sebesar-besarnyaa penulis sampaika kepada:

1. Prof. Dr. Amany B. Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

(7)

2. Dr. Tholabi Kharlie, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

3. Dr. Mesraini, M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A. yang masing-masing selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah memberikan perhatian, nasihat, pembinaan, arahan, dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

4. Dr. Abdul Halim, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar dan tulus meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan, koreksi, mendidik, nasihat, dan arahan yang sangat membantu penulis dalam penulisan menyelesaikan skripsi ini.

5. Dr. Maskufa M.A selaku dosen pembimbing akademik yang membimbing dan memberikan arahan hingga akhir semester.

6. Seluruh Staf Pengajar/Para Dosen dan jajaran Kepala Bagian Umum, khususnya di lingkungan Program Studi Hukum Keluarga dan umumnnya lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing, mengarahkan, menasehati, dan memberikan ilmu-ilmu dalam perkuliahan sehingga penulis mampu di penghujung perkuliahan untuk menulis skripsi ini.

7. Bapak Badruzzaman, M. BA, sebagai Nadzir tanah wakaf di Dususn Cimasuk II yang telah menyempatkan waktunya di tengah-tengah kesibukannya, sehingga penulis bisa melakukan wawancara dan permohonan data, semoga diberikan kesehatan.

8. Bapak Ayi Nuronudin, S.Pd. sebagai Kepala Bidang Wakaf di KUA Pamulihan yang telah menyempatkan waktunya untuk wawancara dan permohonan data dengan penulis, semoga diberikan kesehatan.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memotivasi dan memberi inspirasi untuk mecapai suatu cita-cita, dan yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, baik moril maupun materil, tidak ada yang penulis berikan untuk jasa-jasa kalian kecuali dengan ucapan doa dan terimakasih yang dapat penulis haturkan

(8)

semoga segala bantuan tersebut dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda aamiin.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi yang penulis uat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa adanya kritik dan saran yang membangun.

Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dipahami oleh siapa pun yang membacanya, sekiranya dalam skripsi ini berguna bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan semoga segala bantuan dan dorongan yang diberikan kepada penulis selama ini, mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah Subhânahu Wa Ta’alâ. Âmîn yâ rabbal ‘âlamîn

Wassalâmu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh

Jakarta, 13 Januari 2021

Encep Dudin Saepudin NIM: 11160440000065

(9)

Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN ... 2

LEMBAR PERNYATAAN ... 3

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... 4

ABSTRAK ... 5 KATA PENGANTAR ... 6 Daftar Isi... i BAB I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Identifikasi Masalah ... 3 C. Rumusan Masalah ... 3 D. Batasan Masalah... 4 E. Tujuan Penelitian ... 4 F. Manfaat Penelitian ... 4

G. Kajian Studi Terdahulu ... 4

H. Metodologi Penelitian ... 6

1. Jenis Penelitian ... 7

2. Pendekatan Penelitian ... 7

3. Sumber Data ... 8

4. Teknik Pengumpulan Data ... 8

5. Teknik Pengolahan Data ... 9

6. Teknik Analisis Data ... 10

I. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II WAKAF DAN RUISLAG MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ... 13

A. Wakaf dan Ruishlag Menurut Islam ... 13

1. Pengertian dan Sejarah Wakaf ... 13

2. Dasar Hukum Wakaf ... 20

3. Rukun dan Syarat ... 24

(10)

B. Wakaf dan Ruislag Menurut Perundang-undangan ... 32

1. Perkembangan Hukum Wakaf dalam Sistem Hukum Positif ... 32

2. Pengertian Wakaf Menurut Perundang-undangan ... 35

3. Rukun dan Syarat ... 37

4. Ruislag Tanah Wakaf Menurut Hukum Positif ... 43

5. Mekanisme Ruislag atau Perubahan Status Harta Benda Wakaf ... 44

BAB III TUKAR GULING (RUISLAG) TANAH WAKAF PADA PROYEK JALAN TOL DI DESA PAMULIHAN KABUPATEN SUMEDANG ... 50

A. Gambaran Umum Lokasi Tanah Wakaf ... 50

1. Penguasaan, Penggunaan dan Keadaan Tanah... 50

2. Nilai Harta Benda Wakaf ... 51

B. Prosedur Tukar Guling (Ruislag) Tanah Wakaf di Dusun Cimasuk II Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang ... 52

C. Proses Tukar Guling (Ruislag) Tanah Wakaf di Dusun Cimasuk II Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang ... 53

BAB IV TUKAR GULING (RUISLAG) TANAH WAKAF PADA PROYEK JALAN TOL DI DESA PAMULIHAN KABUPATEN SUMEDANG PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN ... 58

A. Analisis Perspektif Hukum Islam ... 58

B. Analisis Perspektif Perundang-undangan ... 63

BAB V PENUTUP ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ruislag tanah wakaf masih menjadi hal yang tabu di kalangan masyarakat umum, khususnya masyarakat muslim di Indonesia. Masih ada pemahaman sebagian masyarakat muslim di Indonesia tentang tidak dibolehkannya harta benda wakaf ditukar gantikan. Tentu saja hal ini tidaklah terlepas dari sejarah awal mulanya islam masuk dan perkembang di wilayah tersebut. Menjadikan mereka lebih dekat dan berpegang erat kepada hukum wakaf menurut fiqih oriented dan bermadzhab Syafi’i. Sebab inilah yang menjadikan pemahaman masyarakat muslim Indonesia tentang wakaf ini melahirkan sikap dan perilaku mereka dalam berwakaf berdasarkan barometer fiqih oriented dan ala Syafiiyah dan yang paling mereka yakini bahwa ibdal al waqf atau istibdal al waqf itu tidak diperbolehkan sehingga cenderung tradisional dan konvensional1.

Maka dari itu, penting bagi masyarakat Indonesia terutama masyarakat muslim untuk mengetahui dan memahami wakaf secara luas khususnya ruislag tanah wakaf. Mengingat betapa intens nya percepatan pembangunan infrastruktur di Negara ini yang tentunya melibatkan tidak sedikit tanah wakaf. Menurut data Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf sampai saat ini ada 382.486 jumlah tanah wakaf di seluruh wilayah di Indonesia dengan luas sekitar 51.298,93 hektare.2

Maraknya tukar guling wakaf didukung oleh proses modernisasi yang terjadi pada masyarakat muslim sehingga melihat praktek keagamaan secara lebih rasional sejauh menyangkut urusan sosial kemasyarakatan. Praktek wakaf berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Semakin modern dan rasional masyarakat, maka praktek wakaf juga mengalami perubahan ke arah moderniasasi.

1 Jaenal Arifin, Problematika Perwakafan di Indonesia (Telaah Historis Sosiologis), Ziswaf, No.2 (2014)

2 Sistem Informasi Wakaf, Jumlah Tanah Wakaf Seluruh Indonesia, www.Siwak.kemenag.go.id

(12)

Sejalan dengan medernisasi di Indonesia, tukar guling wakaf adalah satu bentuk pemanfaatan wakaf yang bertujuan untuk kemaslahatan wakaf dan umum.

Dalam perjalanan pelaksanaan wakaf di Indonesia, untuk lebih memantapkan kedudukannya serta dalam rangka menghindari hal-hal yang dapat merugikan banyak pihak khususnya masyarakat seperti penyalahgunaan wakaf, pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur perwakafan. Hal ini diawali dengan adanya kemunculan peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 disertai dengan aturan pelaksanaan selanjutnya. Dimulai dari titik inilah bahwa tujuan utama pemerintah adalah menjadikan tanah wakaf sebagai suatu instrumen keagamaan yang dapat digunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat islam berdasarkan Pancasila untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.3

Tetapi pada pelaksanaannya, terdapat beberapa batu sandungan dimana belum maksimalnya pelaksanaan regulasi disebabkan belum terpenuhinya perangkat hukum yang ada di dalam regulasi seperti adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang memiliki tugas dan fungsi yang sangat vital dalam pelaksanaan pengelolaan zakat. Tetapi pada kenyataannya di berbagai wilayah kabupaten/kota masih banyak yang belum dibentuk badan wakaf tersebut. Maka dari itu kendala formil inilah yang menjadikan adanya warna baru dalam pelaksanaan wakaf yang masih jauh dari harapan kita semua. Sehingga dalam praktiknya banyak sekali menemukan hambatan-hambatan yang dihadapi. Seperti sertifikasi tanah wakaf, yang menurut data Siwak (Sistem Informasi Wakaf) bahwa Badan Wakaf Indonesia mencatat baru 62% tanah wakaf di Indonesia yang memiliki sertifikat tanah4 . Faktor lain yang mempengaruhi lemahnya pencatatan

tanah wakaf ini adalah kebanyakan paham masyarakat muslim Indonesia bahwa wakaf adalah sah dilakukan secara lisan tanpa dicatatkan resmi kepada administrasi

3 Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, cet 1 (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa 2002)

4 Sistem Informasi Wakaf, Jumlah Tanah Wakaf Seluruh Indonesia,

(13)

pemerintah. Padahal di dalam UU no.5 tahun 1960 dan PP no. 28 Tahun 1977 sudah mengatur tatacara dan pendaftaran perwakafan tanah milik, hingga lahirnya UU Nomor 41 Tahun 2004. Selain itu problem nadzir yang tidak professional juga menjadi dampak mengelola zakat hanya dijadikan sambilan yang dijalani seadanya akibat tidak adanya/kurang perhatian dari BWI dan lembaga Pemerintah.

Sehingga, penelitian ini penting dilakukan untuk menganalisis bagaimana proses ruislag ini berjalan, bagaimana tinjauan hukumnya baik menurut perundang-undangan di Indonesia maupun hukum islam dan kenapa pelaksanaan ruislag ini memakan waktu yang tidak singkat. Studi ini menitikberatkan analisis kepada proses pelaksanaan ruislag dan regulasi yang mengakibatkan penerbitan surat keputusan kementrian agama yang sangat lama dan alot. Padahal proses ruislag tanah wakaf ini diharapkan bisa lebih cepat dan efektif untuk kepentingan umum dan mendukung stabilnya proses infrastruktur sehingga tanah wakaf dan tanah wakaf pengganti dapat segera dimanfaatkan dan dikembangkan.

B. Identifikasi Masalah

a. Bagaimana hukum tukar guling (ruislag) tanah wakaf menurut hukum islam dan perundang-undangan di Indonesia.

b. Bagaimana praktik tukar guling (ruislag) tanah wakaf di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang.

c. Bagaimana sistematis regulasi terkait tukar guling (ruislag) tanah wakaf sampai terbitnya surat Keputusan Kementrian Agama Pusat.

C. Rumusan Masalah

Bagaimana proses praktik ruislag tanah wakaf di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang serta bagaimana praktik ruislag ini apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia ataupun tinjauan hukum menurut Hukum Islam.

(14)

D. Batasan Masalah

Untuk memfokuskan penelitian ini agar tidak keluar dari lingkaran pembahasan, maka kajian pada penelitian ini dibatasi hanya pada hukum islam terkait ruislag tanah wakaf, hukum ruislag menurut Undang-undang yang ada di Indonesia, dan regulasi pelaksanaan ruislag menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI)

E. Tujuan Penelitian

a. Memberikan gambaran secara detail dan memahami terkait proses ruislag tanah wakaf di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang.

b. Menganalisis apakah ruislag telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

c. Menganalisis hukum ruislag tanah wakaf menurut hukum Islam

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih bagi akademisi, praktisi, muslim di Indonesia, pembaca pada umumnya, serta seluruh lapisan masyarakat Indonesia terkait praktik ruislag tanah wakaf dan diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi positif bagi pengembangan wacana keilmuan di bidang perwakafan di Indonesia. Menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan regulasi wakaf nasional.

G.

Kajia

n Studi Terdahulu

Kajian terhadap wakaf di Indonesia telah banyak dilakukan para peneliti terdahulu, diantaranya; Amelia Fauzia (2009) membahas tentang tukar guling wakaf adalah satu bentuk pemanfaatan wakaf yang bertujuan untuk kemaslahatan wakaf dan umum, dan berproses sesuai dengan kondisi budaya, ekonomi, dan politik, di mana kemungkinan menjadi kontroversial dan konflik sosial bisa terjadi. Maraknya tukar guling wakaf didukung oleh proses modernisasi yang terjadi pada masyarakat Muslim sehingga melihat praktek keagamaan secara lebih rasional sejauh menyangkut urusan sosial kemasyarakatan. Praktek wakaf berkembang

(15)

sesuai dengan perkebangan masyarakat. Semakin modern dan rasional masyarakat, maka praktek wakaf juga mengalami perubahan ke arah moderniasasi.5

Dari sisi kajian hukum fikih murni, Misbachudin (2018) memberikan perhatian pada proses tukar guling wakaf di kabupaten tegal dan keabsahannya menurut hukum Islam. Mengetahui secara gamblang tentang sah nya praktik tukar guling wakaf tersebut menurut kajian fikih murni dengan mempertimbangkan aspek kelestarian dan kemanfaatan tanah wakaf tersebut.6

Sejalan dengan ini, Indriyani (2019) menitikberatkan kajiannya ditinjau dari Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 serta kepada mekanisme tukar guling (Ruislag) tanah Wakaf Pondok Pesantren Daarul Rahman dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu; kesepakatan ruislag antara nazir Pondok Pesantren Daarul Rahman dengan PT. Ambal Ancor. Pondok Pesantren Daarul Rahman melakukan prosedur perizinan ruislag dan awal pengajuan permohonan nazir ke KUA, Kementrian Agama Kota Jakarta Selatan, Walikota Jakarta Selatan, Badan Wakaf Indonesia (BWI) Dan Kementrian Agama. Setelah keluar surat izin ruislag dari Kementrian Agama maka ditetapkanlah proses Ruislag tanah Wakaf antara nazir wakaf Pondok Pesantren Daarul Rahman dengan PT. Ambal Ancor dengan meruislag tanah wakaf Di Jalan Senopati Dalam II Nomor 35 A Rt.0l Rw.02 Kelurahan Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta ke Jalan Purwaraya Rt.006 Rw.03, Kelurahan Cipedak, Kecamatan Jagakarsa, Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta.7

5 Amelia Fauzia, “TUKAR GULING WAKAF DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

(Rasionalisasi Pemanfaatan Wakaf dan Konflik Sosial)”. Jurnal Ilmiah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018; volume II, no. 3, Agustus 2009

6 Misbachudin, Tukar guling (ruislag) tanah wakaf pada proyek jalan tol pejagan-pemalang di kabupaten tegal perspektif hukum Islam, Tesis, IAIN Purwokerto 2018

7 Indriyani, Tukar guling (ruislag) tanah wakaf ditinjau dari hukum Islam dan

undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf studi kasus pondok pesantren daarul rahman, Skripsi UIN Jakarta 2019

(16)

Sementara Ekasari Damayanti (2019) membahas keadaan lahan tanah wakaf di Kota Semarang dan faktor administrasinya. Terdapat 15 bidang tanah wakaf di Kota Semarang yang terkena proyek pembangunan jalan Tol Trans Jawa dan 5 diantaranya belum mendapat izin tukar guling dari Menteri Agama/ Kakanwil Kemenag Provinsi. Salah satu tanah wakaf di Kota Semarang yang belum mendapat izin tukar guling adalah tanah wakaf Yayasan Baiturrohim Ringinwok di Kecamatan Ngaliyan8

Sisi perbedaan studi ini dengan Amelia Fauzia (2009) adalah tentang tukar guling wakaf adalah satu bentuk pemanfaatan wakaf yang bertujuan untuk kemaslahatan wakaf dan umum, dan berproses sesuai dengan kondisi budaya, ekonomi, dan politik, di mana kemungkinan menjadi kontroversial dan konflik sosial bisa terjadi. Indriyani (2019) praktik tukar guling wakaf tersebut menurut Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dan proses ruislag Pondok Pesantren Daarul Rahman. Sedangkan Misbachudin (2018) lebih fokus menurut kajian fikih murni dengan mempertimbangkan aspek kelestarian dan kemanfaatan tanah wakaf tersebut. Studi Ekasari Damayanti (2019) membahas faktor-faktor penghambat dalam proses tukar guling tanah wakaf Yayasan Baiturrohim Ringinwok di Kecamatan Ngaliyan.

H.

M

etodologi Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian ialah suatu upaya yang dilakukan manusia untuk memperkuat, membina, serta mengembangkan konstruksi ilmu pengetahuan secara metodologis, sistematis dan konsisten.9

Dalam penelitian ini, penulis menerapkan metode penelitian sebagai berikut:

8 Ekasari Damayanti, Pelaksanaan tukar guling ruishlag tanah wakaf di kota

semarang untuk pembangunan jalan tol trans jawa, eJurnal Volume 8 Nomor 04, Universitas Diponegoro 2019

(17)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yaitu menganalisa dan menyajikan fakta secara sistimatik tentang objek yang sebenarnya. Dengan metode deskriptif kualitatif ini penulis akan mendeskripsiklan secara komprehensif dan mendalam tentang suatu peristiwa atau kejadian yang berlangsung pada saat sekarang yang berhubungan dengan objek penelitian. Melalui metode ini, diharapkan akan memperoleh pemahaman dan penafsiran yang mendalam mengenai makna dan data dilapangan untuk kemudian di analisis dan ditelaah.

Setelah ditelaah, langkah selanjutnya adalah reduksi data, penyususnan satuan, kategorisasi dan terakhir adalah penafsiran data. Mengenai penelitian deskriptif, metode ini bertujuan untuk menggambar sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab dari gejala tertentu.10

Penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk menggali data dan informasi baik tentang proses dan mekanisme. Selain itu penelitian ini merupakan paduan dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan, karena diawali dengan penelitian lapangan dan kemudian dilakukan telaah bahan pustaka dan literatur

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian adalah penelitian hukum yurudis-empiris dan pendekatan kasus (case approach). Dengan jenis dan pendekatan penelitian tersebut, akan mengumpulan data yang akan dapat menjawab empat pertanyaan; pertama, gambaran terkait hukum ruislag tanah wakaf menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan. Kedua, gambaran secara detail terkait proses ruislag tanah wakaf di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang. Ketiga, menjalaskan bagaimana regulasi ruislag menurut BWI (Badan Wakaf Indonesia). Keempat, menjelaskan alasan yang mendasari proses ruislag tanah wakaf di Indonesia khususnya di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang berjalan lama dan alot.

10 Husen Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 22

(18)

3. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggali bahan informasi dengan mengacu kepada dua jenis sumber data penelitian, yaitu data primer dan data sekunder. Adapun perinciannya sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

Data primer dalam penelitian ini adalah sumber data atau hasil penelitian lapangan. Untuk mendapatkan data primer ini, penulis mengadakan observasi serta wawancara mendalam (depth interview) kepada pihak terkait seperti nadzir wakaf dan pemerintah yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah diperoleh dari beberapa literature baik dari peraturan perundang-undangan, buku, hasil penelitian, jurnal, skripsi, majalah ilmiah, surat kabar, artikel, dan internet atupun materi yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data a. Observasi

Peneliti akan melaksanakan penelitian lapangan secara langsung ke lokasi penelitian di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang selama 30 hari untuk memperoleh data yang diperlukan terkait praktik ruislag tanah wakaf dan sistematis prosesnya

b. Wawancara

Dalam penelitian ini penulis akan melakukan wawancara kepada beberapa pihak yang terlibat dalam proses tukar guling ruislag tanah wakaf di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang.

Karena menurut Susan Stainback dengan wawancara, peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipasi dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi dimana hal ini tidak

(19)

bias didapatkan ketika melakukan observasi.11Adapun pihak yang akan

diwawancarai adalah sebagai berikut: Badruzzaman, M.BA, Nadzir tanah wakaf Madrasah Al Qolam Dusun Cimasuk II RT 003/003, Desa Pamulihan, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang Ayi Nuronuddin, Bagian Wakaf KUA Kecamatan Pamulihan

c. Studi Pustaka

Studi pustaka adalah pengumpulan data melalui benda-benda tertulis, seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan, dan sebagainya. Metode ini digunakan untuk mendapatkan bahan-bahan informasi tentang pelaksanaan tukar guling ruislag tanah wakaf

5. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan prosedur pengolahan dari sumber data yang sudah didapatkan sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga pengolahan data akan mengalami beberapa tahapan sebagai berikut;

a. Pengeditan Data (Editing)

Pada tahapan ini, data yang sudah penulis kumpulan akan dilakukan pemeriksaan ulang, kemudian pengeditan data dilakukan dengan melengkapi kekurangan dan menghilangkan kesalahan yang terdapat pada data mentah. Dalam penelitian ini penulis melakukan proses editing terhadap hasil wawancara dari narasumber terkait

b. Klasifikasi (classifying)

Pada tahap ini dilakukan proses pengelompokan semua data baik yang berasal dari hasil wawancara, regulasi, data perkara dan catatan lapangan. Setelah data dibaca secara mendalam, data tersebut digolongkan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dilakukan agar data yang sudah didapat dapat dipahami oleh penulis

c. Verifikasi (Verifying)

(20)

Pada tahapan ini, akan dilakukan pengecekan data ulang, dengan cara memriksa data yang sudah didapatkan dilapangan untuk dilakukan uji validitas data agar dapat digunakan dalam penelitian. Yaitu dengan menyerahkan data yang sudah didapat kepada subjek penelitian. Hal ini dilakukan untuk menjamin data yang didapatkan adalah benar-benar valid dan tidak ada manipulasi.

d. Kesimpulan (Concluding)

Kesimpulan merupakan tahap terakhir dalam proses pengolahan data. Tahap inilah yang akan menjadi data terkait objek penelitian yang digunakan setelah melalui tahapan-tahapan pengolahan data dari editing, classifying, verifying, dan concluding.

6. Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisis data dilakukan dengan cara deskriptif dan content analisis. Mengenai penelitian deskriptif, metode ini bertujuan untuk menggambar sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab dari gejala tertentu. Penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk menggali data dan informasi baik tentang proses dan mekanisme. Selain itu penelitian ini merupakan paduan dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan, karena diawali dengan penelitian lapangan dan kemudian dilakukan telaah bahan pustaka dan literatur.

Sementara analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis untuk mempermudah penulis dalam memperoleh kesimpulan. analisis data yang penulis gunakan merupakan mencari dan menyusun secara sistematik data yang diperoleh data hasil wawancara, catatan lapanga, dan bahan-bahan lain untuk dilakukan interpretasi data sehingga dapat dipahami dan diinformasikan kepada orang lain. analisis ini data ini menggunakan metode analisis kualitatif berikut ini:

a. Metode Induktif, yaitu analisis yang berangkat dari bentuk data yang ksusus kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat umum. Artinya penulis

(21)

bermula dari satu praktik tukar guling ruislag tanah wakaf di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang, kemudian melakukan analisis terhadap praktik-praktik ruislag serupa yang menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum

b. Metode Deduktif, yaitu analisis yang berangkat dari ketentuan hukum islam dan perundang-undangan atau regulasi yang bersifat umum menuju suatu kesimpulan yang bersifat khusus. Artinya ketentuan yang ada dalam hukum islam maupun regulasi perundang-undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam menganalisis proses praktik ruislag tanah wakaf di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang.

I. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran tentang kerangka dan skema penulisan skripsi ini, maka penulis menguraikan sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:

BABI, Pendahuluan. Bagian ini berisi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BABII, berisi tentang menguraikan bagaimana hukum dan ketentuan tukar guling (ruislag) tanah wakaf menurut hukum islam beserta itinbat hukumnya dan menurut perundang-undangan di Indonesia, persoalan umum yang beredar dikalangan masyarakat terkait wakaf khususnya tukar guling (ruislag) tanah wakaf. BABIII, pada bagian ini dipaparkan data lapangan di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang terkait profil, akta ikrar wakaf, dan proses yang di lakukan serta hak dan kewajiban dalam kasus tukar guling (ruislag) tanah wakaf.

BAB IV, pada bab ini berisikan tentang analisis praktik ruislag tanah wakaf di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang dengan hukum islam dan ketentuan undang-undang atau regulasi yang berlaku.

BAB V, penutup berisi kesimpulan hasil penelitian dan analisis praktik ruislag tanah wakaf pada proyek jalan tol di Desa Pamulihan Kabupaten Sumedang.

(22)

pada bagian ini juga dicantumkan rekomendasi atau saran agar penelitian dievaluasi dan dapat dikembangkan lagi pada aspek yang lainnya.

(23)

BAB II

WAKAF DAN RUISLAG MENURUT HUKUM ISLAM DAN

PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Wakaf dan Ruishlag Menurut Islam

1. Pengertian dan Sejarah Wakaf

Wakaf menurut bahasa berasal dari bahasa Arab “waqf’’ asal katanya adalah wa-qa-fa artinya menahan, berhenti, tetap berdiri ataupun diam di tempat. Kata Waqafa-yaqifu-waqfan ini sama artinya dengan habasa-yahbisu-tahbisan yang mempunyai arti menahan, menahan harta untuk diwakafkan.12

Sedangkan menurut istilah ahli fiqih terdapat beberapa perbedaan dalam mendefinisikan wakaf, sehingga muncullah beberapa pandangan mengenai hakikat wakaf. Adapun berbagai pandangan ulama mengenai wakaf menurut istilah akan disebutkan dibawah ini;

a. Madzhab Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal

Dalam permasalahan definisi wakaf secara istlah ini mereka beliau berpendapat bahwa; wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif (orang yang berwakaf), setelah sempurna prosedur perwakafannya. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti : perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Karena itu mazhab Syafi’i mendefinisikan wakaf

12Muhammad al-Khathib, al-Iqna' (Bairut : Darul Ma'rifah), hal. 26 dan Dr. Wahbah

(24)

adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial)”.

b. Madzhab Imam Abu Hanifah

Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”.13

c. Madzhab Imam Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari pengunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik

13 Kementrian Agama Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, FIQIH WAKAF, 2006

(25)

si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

d. Madzhab Lain

Mazhab lain sama dengan mazhab pertama, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf), meskipun mauquf ‘alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.14

Permasalahan wakaf ini sudah dikenal sejak masa Rasulallah SAW didalam sejarah Islam, karena wakaf disyariatkan setelah Nabi SAW berhijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan Syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa'ad bin Muad berkata : “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW. (Asy-Syaukani: 129)

Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan tujuh kebun Kurma di Madinah; di antaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya.

Menurut pendapat sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Umar bin Khattab. Pendapat ini berdasarkan hadist Ibn Umar RA; “Bahwa sahabat Umar ra. meperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. Menghadap Rasulullah SAW. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan

14Dr. Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqhu Islami wa 'Adillatuhu (Damaskus : Dar Fikr

(26)

(pokoknya) tanah itu, dan engkau sadekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar mensadekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim).

Kemudian Syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khaththab disusul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha’”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur. Mu’adz bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin Awwam dan ‘Aisyah Istri Rasulullah SAW.

Praktik wakaf menjadi luas pada masa dinasti-dinasti Islam. semua orang berduyun- duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.

Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah masyarakat Islam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.

(27)

Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar al-Hadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan di seluruh negara Islam. Pada saat itu juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.

Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “Shadr al-Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan administrasinya.

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, di mana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semuanya dikelola oleh negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyyah sebelumnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda pendapat di antara para ulama. Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik negara (baitul mal) kepada yayasan keagamaan dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Syahid dengan ketegasan fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu ‘Ishrun dan didukung oleh para ulama lainnya bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negera pada dasarnya tidak boleh diwakafkan

Shalahuddin al-Ayyuby banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan

(28)

madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Di mana harta milik negara (baitul mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusur mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.

Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya yang diwakafkan untuk merawat lembaga-lembaga agama. Seperti mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh penguasa dinasti Utsmani ketika menaklukkan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.

Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang lebih membawa syi’ar Islam adalah wakaf untuk sarana di Haramain, ialah Mekkah dan Madinah, seperti kain Ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Shaleh bin al-Nasir yang membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali

(29)

Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M./658-676 H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum.

Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk menerapkan Syari’at Islam, di antaranya ialah peraturan tentang perwakafan. Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada masa dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administratif dan perundang-undangan.15

Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negera-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang.

Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri

15 Kementrian Agama Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, FIQIH WAKAF, 2006

(30)

muslim, termasuk di Indonesia. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak.

2. Dasar Hukum Wakaf

Dasar hukum amalan ibadah wakaf adalah sama seperti amal jariyah yang tidak akan terputus dan mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan masih berguna dan bermanfaat. Sesuai dengan jenis amalannya maka wakaf ini lebih besar pahala dan manfaatnya baik untuk pewakaf ataupun masyarakat dan lingkungan sekitar yang menggunakannya. Dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara implisit tentang wakaf, namun para ulama telah berijtihad mengenai permasalahan wakaf. Adapun dalil atau dasar hukum disyariatkannya wakaf adalah sebagai berikut;

a. Dasar Hukum Wakaf Menurut Al-Qur’an

Di dalam al-Quran tidak disebutkan secara eksplisit dan jelas, serta tegas tentang wakaf. A1-Qur'an hanya menyebutkan dalam artian umum, bukan khusus menggunakankata wakaf. Tetapi para ulama fikih menjadikan ayat umum itu sebagai dasar hukumwakaf dalam Islam, seperti ayat-ayat yang membicarakan tentang kebaikan, sodaqah, infak dan amal jariyah. Para ulama menafsirkan bahwa wakaf sudah tercakup dalam cakupanayat-ayat umum itu, antara lain;

ْمُكهب َر اوُدُبْعا َو اوُدُجْسا َو اوُعَك ْرا اوُنَمآ َنيِذهلا اَهُّيَأ اَي

َو

َنوُحِلْفُت ْمُكهلَعَل َرْيَخْلا اوُلَعْفا

“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (Q.S Al-Hajj ayat 77). 16

16 Tafsirq.com / Index Surat

(31)

هبَح ِلَثَمَك ِ هاللَّ ِليِبَس يِف ْمُهَلا َوْمَأ َنوُقِفْنُي َنيِذهلا ُلَثَم

ٍةَلُبْنُس ِ لُك يِف َلِباَنَس َعْبَس ْتَتَبْنَأ ٍة

ِم

ُ هاللَّ َو ۗ ٍةهبَح ُةَئا

ٌميِلَع ٌعِسا َو ُ هاللَّ َو ۗ ُءاَشَي ْنَمِل ُفِعاَضُي

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkanhartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuhbulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” ( Q.S Al Baqarah ayat 261) 17

ِفْنُت اَم َو ۚ َنوُّب ِحُت اهمِم اوُقِفْنُت ٰىهتَح هرِبْلا اوُلاَنَت ْنَل

ْن ِم اوُق

ٌميِلَع ِهِب َ هاللَّ هنِإَف ٍءْيَش

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamumenafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkanmaka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Q.S Ali Imran ayat 92) 18

َنيِفَلْخَتْسُم ْمُكَلَعَج اهمِم اوُقِفْنَأ َو ِهِلوُس َر َو ِ هللَّاِب اوُنِمآ

َل اوُقَفْنَأ َو ْمُكْنِم اوُنَمآ َنيِذهلاَف ۖ ِهيِف

ٌريِبَك ٌرْجَأ ْمُه

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian darihartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yangberiman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Q.S Al -Hadid ayat 7)19.

17 Tafsirq.com / Index Surat

18 Tafsirq.com / Index Surat

(32)

َيِيْحُنَلَف ٌنِم ْؤُم َوُه َو ٰىَثْنُأ ْوَأ ٍرَكَذ ْنِم اًحِلاَص َلِمَع ْنَم

َح ُههن

َرْجَأ ْمُههنَي ِزْجَنَل َو ۖ ًةَبِ يَط ًةاَي

اَم ِنَسْحَأِب ْمُه

َنوُلَمْعَي اوُناَك

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. ( Q.S An Nahl ayat 97 )20

b. Dasar Hukum Wakaf Menurut Hadist

Sedangkan hadist yang membahas mengenai hukum wakaf yang secara umum bermaksud menjelaskan amalan wakaf adalah sebagai berikut; Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: "Apabila anak adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya". (HR. Muslim).21

Dari lbnu Umar ra. berkata, bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk Umar berkata:Ya Rasulullah, saya mendapatknn tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta yang sebaik itu, maka engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab, bila kamu suka, kamu tahan pokoknya (tanah) itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudin Umarmenyedekahkannya, bahwasanya ia tidak dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak puladiwariskan. Berkata ibnu Umar; Umar menyedekahkannya kepada arang-orang fakir,kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yangmenguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang

20 Tafsirq.com / Index Surat

(33)

baik(sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud untuk memilikinya ". (HR. Muslim) 22

Kelima ayat al-Qur‟an di atas, walaupun secara gamblang tidak langsung menunjuk kepada makna wakaf, namun para ulama sepakat untuk menggunakannya sebagai dalil amalan wakaf. Karena keumuman ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa bagaimana cara mendapatkan kebaikan, adalah dengan menginfakkan sebagian harta yang dimiliki seorang muslim di antaranya melalui sarana wakaf. Kemudian jika al-Quran menganjurkan agar manusia berbuat baik dengan cara menginfakkan sebagian dari hartanya maka wakaf adalah salah satu dari realisasi anjuran al-Qur'an untuk berbuat baik di jalan kebajikan. Bagi mereka yang memenuhi ajakan al-Quran ini, Allah Swt akan membalasnya dengan limpahan pahala yang berlipat ganda.

Sedangkan mengenai hadist Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa ada tiga hal yang pahala amalnya tidak akan berhenti meskipun orangnya sudah meninggal. Salah satunya adalah "shadaqah jariyah” para ulama menafsirkannya sebagai "wakaf'’ bukan sadaqah biasa. Sebab bentuk sadaqah lain (bukan wakaf) tidak akan menghasilkan pahala yang terus menerus (jariyah), karena benda yang disedekahkan tidak kekal. Atas dasar itu maka amalan wakaf dapat dikategorikan harta yang terus-menerus mengalir pahalanya selama benda yang diwakafkan itu utuh dan dapat dimanfaatkan. Wakaf untuk tempat ibadah misalnya selama bangunan itu masih berdiri kokoh dan dimanfaatkan maka orang yang berwakaf akan terus-menerus menerima pahala dari Allah Swt. Sementara hadis Ibnu Umar yang menceritakan bagaimana Umar bin Khattab mewakafkan tanahnya di Khaibar menandakan bahwa praktek wakaf sudah dilaksanakan di masa Rasulullah. Dari hadis ini dapat disimpulkan bahwa nazir (pengurus wakaf) dapat memakan sebagian dari hasil wakaf secara ma'ruf (patut) 23

22 Muslim, Sahih Muslim (Riyad : Dar al-salam), hal. 717

23 Syarif Syarif Hidayatullah, Wakaf Uang Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif di Indonesia, WaratsahVolume 01, Nomor 02, Desember 2016, hal. 78

(34)

3. Rukun dan Syarat

Adapun rukun sahnya pelaksanaan wakaf menurut Syariat Islam adalah sebagai berikut;24

a. Wakif, adalah orang yang mewakafkan hartanya.

b. Maukuf Biih, adalah harta atau barang yang diwakafkan.

c. Maukuf ‘Alaih, adalah pihak yang diberi manfaat wakaf atau peruntukan wakaf.

d. Shigat, adalah pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya.

Kemudian mengenai syarat sahnya pelaksanaan wakaf menurut Syariat Islam adalah sebagai berikut;

1) Syarat Wakif (orang yang mewakafkan harta)

Orang yang menjadi wakif mempunyai syarat harus memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan dalam bertindak ini memiliki empat kriteria, sebagai berikut;

a) Merdeka25

Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimiliki adalah kepunyaan tuannya. Namun demikian, Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat, budak itu boleh mewakafkan hartanya bila ada ijin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya. Bahkan Adz-Dzahiri (pengikut Daud Adz-Dzahiri) menetapkan bahwa budak dapat memiliki sesuatu yang diperoleh dengan jalan waris atau tabarru'. Bila ia dapat memiliki sesuatu berarti ia dapat pula membelanjakan miliknya itu. Oleh karena itu, ia boleh mewakafkan, walaupun hanya sebagai tabarru' saja.

24 Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah) IV, hal. 377 dan Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Kairo : Mushthafa Halabi), II, hal. 376

(35)

b) Berakal Sehat

Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya. c) Dewasa (Baligh)26

Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.

d) Tidak berada dibawah pengampuan (boros/lalai)27

Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru'), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain.

2) Syarat Maukuf Biih (Harta yang diwakafkan)28

Sementara pembahasan tentang harta yang diwakafkan ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, tentang syarat sahnya harta yang diwakafkan, kedua, tentang kadar atau ukuran benda yang diwakafkan.

a) Syarat Sahnya Harta Wakaf

Harta dan benda yang akan diwakafkan harus memenuhi syarat sebagai berikut ini;

26 Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah) IV, hal. 377 dan Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Kairo : Mushthafa Halabi), II, hal. 376

27 Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, (Bairut : Dar al-Fikr), Juz II, hal. 44

28 Kementrian Agama Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, FIQIH WAKAF, 2006

(36)

(1) Harta yang diwakafkan harus mutaqawwam

Pengertian harta yang mutaqawwam (al-mal al- mutaqawwam) menurut Madzhab Hanafi ialah segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat). Karena itu madzhab ini memandang tidak sah mewakafkan : Sesuatu yang bukan harta, seperti mewakafkan manfaat dari rumah sewaan untuk ditempati atau harta yang tidak mutaqawwam, seperti alat-alat musik yang tidak halal digunakan atau buku-buku anti Islam, karena dapat merusak Islam itu sendiri.

Latar belakang syarat ini lebih karena ditinjau dari aspek tujuan wakaf itu sendiri, yaitu agar wakif mendapat pahala dan mauquf 'alaih (yang diberi wakaf) memperoleh manfaat. Tujuan ini dapat tercapai jika yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan atau dapat dimanfaatkan tetapi dilarang oleh Islam.

(2) Diketahui dengan yakin ketika diwakafkan

Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan yakin ('ainun ma'lumun), sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena itu tidak sah mewakafkan yang tidak jelas seperti satu dari dua rumah.7 pernyataan wakaf yang berbunyi : "Saya mewakafkan sebagian dari tanah saya kepada orang-orang kafir di kampung saya", begitu pula tidak sah : "Saya wakafkan sebagian buku saya sepada para pelajar". Kata sebagian dalam pernyataan ini membuat harta yang diwakafkan tidak jelas dan akan menimbulkan persengketaan.

Latar belakang syarat ini ialah karena hak yang diberi wakaf terkait dengan harta yang diwakafkan kepadanya. Seandainya harta yang diwakafkan kepadanya tidak jelas, tentu akan menimbulkan sengketa. Selanjutnya sengketa ini akan menghambat pemenuhan haknya. Para fakih tidak mensyaratkan agar benda tidak bergerak yang diwakafkan harus dijelaskan batas-batasnya dan luasnya, jika batas- batasnya dan luasnya diketahui dengan jelas. Jadi, secara fiqih, sudah sah pernyataan sebagai

(37)

berikut : "Saya wakafkan tanah saya yang terletak di..." sementara itu wakif tidak mempunyai tanah lain selain tempat itu.

(3) Milik Wakif

Hendaklah harta yang diwakafkan milik penuh dan mengikat bagi wakif ketika ia mewakafkannya. Untuk itu tidak sah mewakafkan sesuatu yang bukan milik wakif.8 Karena wakaf mengandung kemungkinan menggugurkan milik atau sumbangan. Keduanya hanya dapat terwujud pada benda yang dimiliki.

(4) Terpisah, bukan milik bersama (musya)

Muhammad berpendapat wakaf ini tidak boleh kecuali setelah dibagi dan diserahkan kepada yang diberi wakaf, karena menurutnya kesempurnaan wakaf mengharuskan penyerahan harta wakaf kepada yang diberi wakaf, artinya yang diberi wakaf menerimanya. Abu Yusuf berpendapat wakaf ini boleh meskipun belum dibagi dan diserahkan kepada yang diberi wakaf, karena menurutnya kesempurnaan wakaf tidak menuntut penyerahan harta wakaf kepada yang diberi wakaf.

b) Kadar Benda Atau Harta yang Diwakafkan

Sebelum Undang-undang Wakaf di terapkan, Mesir masih menggunakan pendapatnya madzhab Hanafi tentang kadar harta yang akan diwakafkan. Yaitu harta yang akan diwakafkan seseorang tidak dibatasi dalam jumlah tertentu sebagai upaya menghargai keinginan wakif, berapa saja yang ingin diwakafkannya. Sehingga dengan penerapan pendapat yang demikian bisa menimbulkan penyelewengan sebagian wakif, seperti mewakafkan semua harta pusakanya kepada pihak kebajikan dan lain-lain tanpa memperhitungkan derita atas keluarganya yang ditinggalkan.

3) Syarat Maukuf ‘Alaih (penerima wakaf)29

Yang dimaksud dengan mauquf 'alaih adalah tujuan wakaf (peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan Syariat Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang

29 Kementrian Agama Republik Indonesia, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Pemberdayaan Wakaf, FIQIH WAKAF, 2006

(38)

mendekatkan diri manusia kepada Tuhan. Karena itu mauquf 'alaih (yang diberi wakaf) haruslah pihak kebajikan. Para faqih sepakat berpendapat bahwa infaq kepada pihak kebajikan itulah yang membuat wakaf sebagai ibadah yang mendekatkan diri manusia kepada Tuhannya.

Namun terdapat perbedaan pendapat antara para faqih mengenai jenis ibadat disini, apakah ibadat menurut pandangan Islam ataukah menurut keyakinan wakif atau keduanya, yaitu menurut pandangan Islam dan keyakinan wakif.

Madzhab Hanafi mensyaratkan agar mauquf 'alaih (yang diberi wakaf) ditujukan untuk ibadah menurut pandangan Islam dan menurut keyakinan wakif. Jika tidak terwujud salah satunya, maka wakaf tidak sah.

Madzhab Maliki mensyaratkan agar mauquf 'alaih (peruntukan wakaf) untuk ibadat menurut pandangan wakif. Sah wakaf muslim kepada semua syi'ar Islam dan badan-badan sosial umum. Dan tidak sah wakaf non muslim kepada masjid dan syiar-syiar Islam.

Madzhab Syafi'i dan Hambali mensyaratkan agar mauquf 'alaih adalah ibadat menurut pandangan Islam saja, tanpa memandang keyakinan wakif. Karena itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti penampungan, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam Islam seperti masjid. Dan tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang tidak sejalan dengan Islam seperti gereja.

4) Syarat Shigat (ikrar wakaf)

Shighat wakaf ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Namun shighat wakaf cukup dengan ijab saja dari wakif tanpa memerlukan qabul dari mauquh 'alaih. Begitu juga qabul tidak menjadi syarat sahnya wakaf dan juga tidak menjadi syarat untuk berhaknya mauquf 'alaih memperoleh manfaat harta wakaf, kecuali pada wakaf yang tidak tertentu. Ini menurut pendapat sebagian madzhab.

Status shighat (pernyataan), secara umum adalah salah satu rukun wakaf. Wakaf tidak sah tanpa shighat. Setiap shighat mengandung ijab, dan mungkin mangandung qabul pula.

(39)

Dasar (dalil) perlunya shighat (pernyataan) ialah karena wakaf adalah melepaskan hak milik dan benda dan manfaat atau dari manfaat saja dan memilikkan kepada yang lain. Maksud tujuan melepaskan dan memilikkan adalah urusan hati. Tidak ada yang menyelami isi hati orang lain secara jelas, kecuali melalui pernyataannya sendiri. Karena itu penyataanlah jalan untuk mengetahui maksud tujuan seseorang. Ijab wakif tersebut mengungkapkan dengan jelas keinginan wakif memberi wakaf. Ijab dapat berupa kata- kata. Bagi wakif yang tidak mampu mengungkapkanya dengan kata-kata, maka ijab dapat berupa tulisan atau isyarat.

Pentingnya Nadzir Wakaf

Selain syarat dan rukun harus dipenuhi dalam perwakafan sebagaimana disebutkan diatas, kehadiran Nazhir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam mengelola harta wakaf sangat lah penting. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan Nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk Nazhir wakaf, baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan. Pengangkatan Nazhir wakaf ini bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus, sehingga harta wakaf itu tidak sia-sia.

Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi wakaf mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam perwakafan, sehingga berfungsi tidaknya benda wakaf tergantung dari Nazhir itu sendiri. Untuk itu, sebagai instrument penting dalam perwakafan, Nazhir harus memenuhi syarat-syarat yang memungkinkan, agar wakaf bisa diberdayakan sebagaimana mestinya.

Secara garis umum, syarat-syarat Nazhir itu harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Para ahli fiqih menetapkan, syarat-syarat yang luwes (pantas dan tidak kaku), seperti hendaklah orang yang pantas dan layak memikul tugasnya. Kepantasan dan kemampuan melaksanakan tugasnya.

Mengingat salah satu tujuan wakaf ialah menjadikannya sebagai sumber dana yang produktif, tentu memerlukan Nazhir yang mampu melaksanakan tugas- tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab. Apabila Nazhir tidak mampu

(40)

melaksanakan tugasnya, maka Qadhi (pemerintah) wajib menggantinya dengan tetap menjelaskan alasan-alasannya.

Fleksibelitas persyaratan Nazhir wakaf itu tergantung kebutuhan di lapangan. Kalau selama ini Nazhir wakaf perseorangan masih dipakai dan ternyata dalam pelaksanaannya tidak memberikan peran yang baik dalam pengelolaan wakaf, maka persyaratan Nazhir harus berupa badan hukum menjadi keniscayaan agar dapat memberdayakan benda-benda wakaf secara optimal.

4. Ruislag atau Istibdal Wakaf dalam Islam

Ruislag, tukar guling atau istibdal dalam wakaf telah dikenal sejak lama, dengan adanya kasus penjualan benda atau harta wakaf lalu diganti dengan membeli objek lain dengan maksud mengganti benda yang pertama. Objek penukaran wakaf ini sendiri bisa jadi merupakan jenis barang yang sama maupun jenis yang berbeda. Istibdal dalam wakaf menurut Muhamamd Abid Abdullah Al Kabisi merupakan istilah penukaran barang wakaf yang telah dijual maupun penukaran dalam hal peruntukan wakaf.30

Istibdal wakaf (penukaran benda wakaf) ini menempatkan makna benda atau harta wakaf pertama pada posisi benda yang digantikannya. Dalam bahasa arab, antara penukaran terhadap objek barang wakaf (al-ibdal) maupun istilah permintaan untuk mengganti (istibdal) dimaknai sama. Kedua istilah ini tidak hanya berlaku pada istilah ibadah wakaf saja, namun berlaku sebagai satu pola akad tersendiri.31

Menurut Syekh abu Zahrah Rahimahullah, beliau memaparkan bahwa praktik istibdal yang berlaku pada masa itu merupakan salah satu cara menghapus hukum benda wakaf pertama. Karena alasan ini kemudian para wakif menuliskan persyaratan agar tidak menjual ataupun mengganti benda dan harta wakaf. Manfaat istibdal wakaf, tidak hanya terbatas pada pihak siapa peruntukan wakaf, namun mencakup manusia dan umat mayoritas. Ini sejalan dengan padangan Abu zahrah.

30Muhamamd Abid Al Kabisi, Hukum Wakaf, Jakarta :IIMaN, 2003. Hal. 20 31Muhamad Maksum, dkk, Fikih Ruishlagh, Badan wakaf Indonesia, 2015. Hal. 31

Referensi

Dokumen terkait

Pada umumnya wakif adalah seseorang atau beberapa orang pemilik tanah yang telah dewasa, sehat akalnya dan tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, dalam melakukan wakaf harus