• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PERJALANAN DINAS MENGHADIRI SIDANG KHUSUS KOMITE PERTANIAN WTO JENEWA, 7-10 FEBRUARI 2005

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PERJALANAN DINAS MENGHADIRI SIDANG KHUSUS KOMITE PERTANIAN WTO JENEWA, 7-10 FEBRUARI 2005"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PERJALANAN DINAS

MENGHADIRI SIDANG KHUSUS KOMITE PERTANIAN WTO JENEWA, 7-10 FEBRUARI 2005

Pantjar Simatupang

I. Pengantar

Perjalanan dinas ini merupakan pelaksanaan tugas yang diemban Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian sebagai anggota Tim Teknis Nasional Perundingan WTO bidang pertanian untuk melaksanakan kajian akademik atas berbagai issu perundingan sebagai bahan pertimbangan bagi delegasi RI dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia dan negara-negara mitranya pada putaran kesepakatan perdagangan WTO. Perjalanan telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Pertanian dan persetujuan dari Sekretariat Negara (surat terlampir).

Agenda sidang selama pekan pertanian (Agricultural Week) merupakan lanjutan putaran perundingan dalam rangka penetapan modalitas sebagai operasionalisasi dari Kerangka Kesepakatan Juli 2005 (agenda dan materi sidang dari sekretariat WTO terlampir) :

1. First reading / scoping exercise (Penggalian issu dan cakupan perundingan) a. Formula untuk mengurangi dukungan domestik distortif.

b. Preferensi dagang (paragraf 44 Kerangka Kesepakatan Juli). c. Pembatasan ekspor (paragraf 50 Kerangka Kesepakatan Juli). d. Revisy dan klarifikasi Green Box.

2. Second reading / detailed technical work (uraian teknis)

a. Kredit ekspor, khususnya perlakukan khusus dan berbeda (paragraf 24) b. Administrasi kuota tarif (paragraf 35)

c. Ekivalensi tarif ad valorem.

Selama menghadiri sidang yang di organisir oleh Sekretariat WTO, kami juga menghadiri rapat koordinasi kelompok G-33, G-20, dan Cairns sekutu runding Indonesia serta rapat konsultasi dengan kelompok Uni Eropa. Berikut dilaporkan bahan, proses dan kesimpulan persidangan yang sempat di ikuti (sidang tanggal

(2)

10 Februari sore dan 11 Februari tidak sempat diikuti karena keterbatasan waktu perjalanan dinas).

II. Materi dan Kesimpulan Sidang

1. Formula Untuk Mengurangi Dukungan Domestik (First Reading)

First reading mengenai formula untuk mengurangi dukungan domestik dilaksanakan secara pleno. Berikut adalah pandangan beberapa anggota mengenai issu ini :

a. Prinsip dasar : transparansi, keseimbangan dan keadilan Metode perhitungan basis penurunan

• Total AMS : berdasarkan final bound, dalam mata uang yang sama, dan disesuaikan dengan inflasi (inflationary adjusted)

• Blue Box : nilai aplikasi terkini • De minimis : nilai aplikasi masa lalu b. Metode pengurangan

• Prinsip umum :

ü Formula berbeda untuk AMS, Blue Box, Deminimis

ü Mengilangkan ketidak seimbangan ekstrim antara negara-negara maju dan sedang berkembang

ü Proteksi tinggi, pengurangan lebih besar • Total AMS dan Blue Box :

ü Dibedakan menurut derajat dukungan :

Ø Persentase dalam PDB negara yang bersangkutan Ø Persentase nilai aktual di seluruh negara

ü Dibedakan menurut nilai nominal :

Ø Nilai lebih tinggi dikurangi lebih besar (tiered formula) ü Dibedakan menurut upaya pengurangan yang sudah dilakukan • De minimis

ü Pengurangan minimal ü Tiered formula (4-5 bands) c. Perlakuan khusus dan berbeda

• Tingkat dan target waktu pengurangan bagi negara-negara lebih maju lebih ketat dari negara-negara sedang berkembang (tiered berbeda)

(3)

• De minimis bagi negara-negara sedang berkembang dikecualikan dari pengurangan

Posisi Indonesia dalam hal ini disalurkan melalui pernyataan G-20 (terlampir) yang pada intinya kurang lebih sebagai berikut :

(i) Target utama formula penurunan trade-distorting domestic support adalah subsidi AMS karena subsidi ini merupakan komponen terbesar dalam trade-distorting domestic support dalam konteks lower

reductions levels making deeper cuts.

(ii) Untuk negara berkembang (S&D), G-20 mendukung penurunan trade distorting domestic support dalam konteks lower reductions level dan

longer periods of time. Hal ini harus terefleksi dalam penerapan

formula penurunan dalam setiap band/tier.

(iii) Dalam kaitan dengan Blue Box, G-20 menekankan pentingnya perhitunagn dan verifikasi value of production, karena merupakan dasar dalam menentukan base level yang credible S&D dalam kaitannya dengan trade distorting domestic support perlu dibahas. (iv) Penentuan penurunan de minimis juga tergantung dengan value of

production. G-20 memandang bahwa de minimis dan AMS support

merupakan 2 jenis subsidi yang sama-sama bersifat mendistorsi pasar sehingga untuk menjamin totalitas penurunannya, keduanya harus saling terkait jangan dipisahkan (untuk menghindari double counting).

(v) G-20 juga menekankan bahwa besar penurunan de minimis negara-negara berkembang harus masuk akal, hal ini mengingat pada kenyataannya semua negara berkembang mengalokasikan de minimisnya untuk petani subsistem dan miskin (para 11 July Framework)

(vi) G-20 menekankan pendekatan “bottom-up” dalam menghitung dan menurunkan overal trade distorting domestic support, dimana diawali dengan menghitung masing-masing komponen (Amber + Blue + de minimis), dan total komponen tersebut merupakan overal trade

distorting domestic support. Setelah itu, baru tiered formula bisa

(4)

2. Preferensi Dagang

Issu eksistensi provisi dan fakta erosi preferensi dagang menimbulkan perdebatan kontroversi sengit diantara anggota pendukung (negara-negara Afrika, Pasifik dan Caribia-APC) dengan penentangnya (negara-negara Amerika Latin). Negara-negara pendukungnya berpendapat bahwa Preferensi amat penting untuk memfasilitasi pembangunan bagi sejumlah negara sedang berkembang, miskin, kecil dan rentan terhadap liberalisasi perdagangan. Kesepakatan WTO telah menimbulkan erosi preferensi sehingga harus dicegah tidak semakin berdampak buruk. Landasan hukumnya sudah jelas dan final yaitu paragraf 44 Kerangka Kesepakatan Juli. Provisi preferensi merupakan bagian dari perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara yang secara historis telah lama memperolehnya. Hal senada disampaikan oleh kelompok G-20 (terlampir), dengan tambahan perlunya transparansi informasi perihal ini bagi semua negara anggota.

Sebaliknya, negara-negara penentang berpandangan bahwa Preferensi dagang tidak sesuai dengan prinsip dasar WTO, yaitu : diskriminatif, distortif dan menghambat perdagangan. Oleh karena itu, provisi Preferensi haruslah disusun sesuai prinsip umum Most Favorable Nations (MFN) yang terbuka bagi semua negara anggota dengan kriteria obyektif dan kompatible dengan ketentuan “Enabling Clause“.

Kontroversi menjadi amat sengit karena Preferensi dagang secara realitas telah menimbulkan perang dagang pisang “banana war” dalam beberapa tahun terakhir sehingga secara politik amat sensitif pula (Pernyataan bersama beberapa presiden negara-negara Amerika Latin terlampir).

Oleh karena kelompok yang pro maupun kontra adalah anggota G-33, sekutu runding Indonesia, maka amat wajar G-33 mengambil posisi netral, sepakat untuk tidak mengeluarkan pernyataan. Indonesia pun mengambil sikap sama, tidak mengeluarkan pernyataan atau abstain.

Pimpinan sidang, Tim Grosser, menutup diskusi dengan mengatakan bahwa masalah ini akan dirumuskan dengan pendekatan “Two Boxes”, tanpa penjelasan lebih lanjut.

3. Kaji Ulang dan Klarifikasi Kriteria Green Box

Pembahasan tentang kaji ulang (review) dan klarifikasi kriteria Green Box berlangsung alot dan tidak fokus terutama berkenaan dengan makna “will be

(5)

reviewed” pada paragraf 16 Kerangka Kesepakatan Juli. Terdapat dua pandangan berbeda. Pertama, representasi pandangan negara maju, bahwa paragraf 16 hanya mengamanatkan penyusunan kriteria baru yang lebih sesuai dengan prinsip tidak ada atau amat kecil dampak distorsi perdagangannya terhadap produksi serta lebih mudah dimonitor dan diawasi, sama sekali tidak mengubah provisi Kesepakatan Pertanian yang berlaku saat ini. Kedua, presensasi pandangan negara sedang berkambang, kata “review” pada paragraf 16 mengandung arti mengkaji ulang untuk melakukan penyempurnaan termasuk perubahan provisi Kesepakatan Pertanian, antara lain untuk mengakomodir kondisi khusus yang ada di negara-negara sedang berkembang. Pandangan negara-negara sedang berkembang ini mungkin dapat direpresentasikan oleh pernyataan kelompok G-20 terlampir.

Sidang sepakat bahwa kriteria Green Box dalam Annex 2 Agreement on Agriculture masih amat kabur dan tidak berimbang. Oleh karena itu, pimpinan sidang meminta agar kelompok atau negara “prominen” membuat usulan konkrit perihal kaji ulang dan klarifikasi kriteria Green Box yang dipandang sesuai dengan amanat paragraf 16 Kerangka Kesepakatan Juli dengan menggunakan article 16

Harbinson text sebagai salah satu referensi. Untuk itu, sebagai koordinator

kelompok G-33, Indonesia sudah sepatutnya mengambil inisiatif untuk menyusun proposal yang memperjuangkan kepentingan negara-negara sedang berkembang secara umum dan Indonesia khususnya terutama dalam rangka mengakomodir sebanyak mungkin program dukungan domestik spesifik negara sedang berkembang kedalam kategori Green Box.

4. Pembatasan Ekspor

Bahasan mengenai pembatasan ekspor lebih terfokus pada issu pajak dan hambatan kuantitatif ekspor yang lebih banyak diterapkan di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Terdapat empat pandangan terhadap issu ini.

a. Pajak ekspor harus didisiplinkan (Amerika Serikat, G-20)

Amerika serikat berpandangan bahwa secara legal, pembahasan mengenai pajak ekspor termasuk dalam amanat Kerangka Kesepakatan Juli (paragraf 50), dan pajak eskpor harus di disiplinkan karena bertentangan dengan

(6)

prinsip dasar WTO : distortif dan mendorong instabilitas harga. Namun demikian, Amerika Serikat dapat memahami pentingya pajak ekspor sebagai instrumen untuk penerimaan negara di sejumlah negara sedang berkembang. Oleh karena itu, modalitas pajak ekspor haruslah disusun dengan memperhatikan kesesuainnya dengan prinsip dasar WTO dan kepentingannya sebagai perolehan penerimaan negara bagi negara-negara sedang berkembang.

b. Penghapusan hambatan kuantitatif atas ekspor (G-20)

Kelompok G-20 berpandangan bahwa yang diamanatkan oleh Kesepakatan paket Juli adalah larangan dan hambatan ekspor, spesifiknya, penghapusan hambatan kuatitatif terhadap eskpor yang sesungguhnya telah diamanatkan dalam Article XI GATT 1994 dan Article 12 Agreement on Agriculture. Hambatan ekspor hanya boleh diterapkan untuk mencegah atau mengatasai masalah kelangkaan pangan di negara eskportir, bersifat temporer dan tidak diskriminatif (draft terlampir). G-20 mengusulkan agar disiplin mengenai hal ini juga mencakup ketentuan :

(i) Setiap anggota harus melaporkan kepada Komite Pertanian WTO segala larangan dan hambatan eskpor yang diterapkannya dan atau meminta perhatian Komite Pertanian tentang adanya hambatan dan larangan yang mestinya dilaporkan anggota lainnya.

(ii) Larangan dan hambatan ekspor pangan dan pakan harus dihapuskan dalam satu tahun, atau jika disetujui negara importir dapat diperpanjang menjadi tidak lebih 15 bulan, dengan memberitahukan kepada Komite Pertanian.

(iii) Batasan waktu perlu ditetapkan untuk hambatan ekspor temporer sesuai paragraf 1 Article 12 Agreement on Agriculture, dan jika melakukan perpanjangan anggota bersangkutan harus menyampaikan alasan yang dapat menjustifikasinya.

(iv) Mekanisme surveilans tahunan perlu ditetapkan untuk mengamati pelaksanaan kewajiban tersebut diatas.

c. Pajak ekspor tidak termasuk dalam cakupan ketentuan paragraf 50 Kerangka Kesepakatan Juli (Negara-negara sedang berkembang).

Pajak eskpor tidak perlu dibahas lebih lanjut karena tidak termasuk dalam cakupan Kerangka Kesepakatan Juli maupun mandat Kesepakatan Doha.

(7)

d. Perubahan mengenai larangan dan hambatan ekspor ditunda hingga Maret 2005 bersama–sama dengan issu Geographical Indication (Uni Eropa).

Nampaknya semua anggota sepakat memperbolehkan penerapan hambatan ekspor untuk mencegah dan mengatasi masalah ancaman ketahanan pangan. Namun pembatasan ekspor, termasuk pajak ekspor, untuk tujuan lainnya masih perlu dibahas lebih lanjut. Boleh jadi issu ini akan dijadikan sebagai kekuatan (leverage) runding oleh Amerika Serikat dalam memperjuangkan kredit ekspor dan oleh Uni Eropa dalam memperjuangkan Geographical indication, keduanya dalam menghadapi tantangan negara-negara sedang berkembang.

5. Kredit ekspor jaminan ekspor serta perlakuan khusus dan berbeda

Sidang membahas hal teknis yang telah dipersiapkan Sekretariat Komite Pertanian (terlampir).

Kelompok Cairns mengemukakan keraguannya terhadap komitmen Uni Eropa untuk secara konsisten mengurangi hingga habis segala bentuk subsidi ekspor, terbukti dari keputusan terbarunya menerapkan kembali kebijakan subsidi ekspor gandum (draft terlampir). Uni Eropa berpendapat bahwa penerapan kembali subsidi ekspor gandum merupakan tindakan penyelamatan khusus (Special Safety Guard) yang sesuai dengan ketentuan Kesepakatan Pertanian ataupun GATT maupun prinsip “paralelism”.

Amerika Serikat mengusulkan agar batas waktu pengembalian kredit ekspor untuk benih/bibit ternak dan sayuran serta untuk negara-negara paling terbelakang (least developed countries) diperpanjang sehingga lebih dari 180 hari ditolak oleh peserta sidang lainnya. Kredit selama 180 hari sudah lebih dari cukup untuk memfasilitasi setiap jenis produk ekspor.

Sidang meminta klarifikasi lebih lanjut makna dari beberapa kata seperti “support”, “market related terms and conditions” (paragraf 1), “Long term” adalah selama satu tahun, karena lebih sesuai dengan praktek pembukuan perusahaan dan memudahkan monitoring. Pengertian “support” dan “market related terms and conditions” akan dipikirkan Sekretariat tanpa menutup usulan dari anggota.

Untuk “starting point” (paragraf 4 a), Amerika Serikat mengusulkan tanggal eksportasi. Usulan ini tidak mendapat tanggapan (diterima ?).

(8)

Perihal penetapan pembayaran premi (paragraf 4 a), Amerika Serikat mengusulkan “market-based and risk-based”, sementara Tim Grosser berpendapat “market-based” mestinya sudah mencakup “risk-based”. Belum ada keputusan tegas perihal ini.

Uni Eropa mengingatkan bahwa ekspor kredit tidak banyak dinikmati negara-negara sedang berkembang dan tidak pula bermanfaat untuk menstabilkan pasar. Oleh karena itu, provisi perlakuan khusus dan berbeda maupun “keadaan khusus” bagi negara-negara sedang berkembang dalam hal kredit ekspor dapat menciptakan “loopholes” yang merugikan negara-negara sedang berkembang sendiri. Keadaan khusus (Special Circumstances) haruslah didasarkan pada suatu kriteria dan dilaksanakan penuh disiplin. Amerika Serikat mengusulkan Article 10 Harbinson text sebagai referensi dalam perumusan “Special Circumstances”. Ketentuan khusus dan berbeda ditetapkan kemudian setelah provisi umum disepakati.

6. State Trading Enterprises (STE)

Sesuai dengan usulan Australia, isu State Trading Enterprises dibahas tersendiri, tidak bagian dari bahasan kompetisi ekspor. Uni Eropa mendukung dan menambahkan agar provisi tentang STE disusun “stand alone”, komprehensif dan paralel dengan provisi lainnya (full paralelism). Oleh karena itu, pada sidang kali ini pembahasan masih pada tahap “open ended scoping”.

Sidang sepakat bahwa pengertian STE perlu dikaji ulang tidak saja berdasarkan statuta hukumnya tetapi juga berdasarkan praktek fungsionalnya. Berdasarkan pengamatan, ada koperasi (di USA) atau perusahaan swasta (di Uni Eropa) yang secara legal bukan STE namun dalam prakteknya berfungsi sebagai STE yakni sebagai agen pelaksana kebijakan pemerintah dan untuk itu menikmati fasilitas khusus dari pemerintah.

Beberapa hal yang perlu dicermati untuk selanjutnya perlu di disiplinkan adalah :

a. Praktek monopoli dan atau monopsoni b. Praktek subsidi harga dan subsidi silang

c. Peroleh fasilitas preferential rates, credit availability, credit guarantee dan monitoring losses

(9)

e. Transparansi

f. Monitoring dan surveilans

Khusus untuk negara-negara sedang berkembang, STE dapat berfungsi sebagai agen pembangunan. Negara-negara sedang berkembang tidak saja pantas memperoleh “Special and Differential Treatment”, bahkan mungkin dapat memperoleh fleksibilitas dalam menggunakan STE sebagai institusi pembangunan.

Sidang sepakat agar anggota membuat usulan mengenai modalitas STE sebagai materi perundingan untuk masa sidang mendatang.

7. Metode konversi ekivalensi tarif ad valorum

Sidang pembahasan draft teknis metode konversi ekivalensi tarif ad valorem yang telah disusun oleh Sekretariat Komite Pertanian (terlampir) tidak sempat diikuti karena dijadwalkan melewati masa kunjungan dinas. Berdasarkan draft pernyataan beberapa kelompok anggota, draft Sekretariat tersebut masih perlu disempurnakan. Berikut adalah ringkasan pernyataan beberapa kelompok anggota.

a. G=33 Statement on AVEs Conversion Methodology in response to the January

11 th text of Secretariat :

(for Detailed work or Room D Concultation, draft terlampir)

Pada intinya, G-33 menyuarakan agar prinsip fairness, transparency, and

predictability merupakan hal penting didalam menentukan AVE-s Conversions methodology dan verifikasinya. Oleh sebab itu beberapa hal berikut perlu

dipastikan dalam melakukan AVEs Conversion Methodology : (1) methodology

for AVEs conversion merupakan komponen mendasar dalam menentukan formulaes tariff reduction yang mengakomudir prinsip proportionality dalam

para 40, dan prinsip progressivity dalam para 29 July framework: (ii) ketidak sungguhan dalam melakukan AVEs conversion akan akan merugikan negara berkembang yang pada umumnya membound tarifnya dalam ad valorem karena prinsip proportionality dan progressivity (sebagai komponen mendasar dari S&D) tidak akan terakomodir dengan baik: dan (iii) G-33 berpandangan bahwa sebagaimana pentingnya SP dan SSM bagi negara berkembang, kejujuran dalam mengkonversi AVEs merupakan hal mendasar yang harus diakomodir.

(10)

b. G-20 Statement on Conversion of Ad Valorem Equivalents in Response to the

January 11th text of Secretariat :

(for Detailed Work or Room D Consultation, draf terlampir)

G-20 dalam statementnya menanggapi secara detail text Sekretariat tentang

AVEs Conversion khususnya terkait dengan alternative methods :

(i) Statement pada para 2.10 yang mengatakan bahwa alternative methods “bisa digunakan” (may apply) pada kondisi adanya pengaruh tariff quota dan prefential trade, dimana hal tersebut dapat menimbulkan masalah mendasar bagi pengguna seperti pertanyaan tentang apakah negara pengekspor dapat menggunakan metoda lain, ataukah dibatasi pada penggunaan import value method, dan sebaliknya apakah negara pengimpor bebas menggunakan metoda lain (di luar import value method). Oleh sebab itu, G-20 menginginkan agar negara yang mepunyai kondisi seperti tersebut di atas menggunakan metoda lain (must apply).

(ii) Selanjutnya, dalam kondisi khusus yaitu apabila terdapat kondisi (apapun) yang mempegaruhi keakurasian data, maka sudah menjadi alasan dasar untuk menggunakan metoda konversi alternative. (iii) Terkait dengan kondisi khusus yang tidak mungkin menggunakan

IDB import value method, G-20 berpandangan bahwa usulan pada

para 2.13 juga tidak tepat mengingat distorsi pasti terjadi pada kondisi khusus. Oleh sebab itu, G-20 berpendapat bahwa untuk mendapatkan konversi yang akurat, sumber data hanya international

prices atau exporters’ prices to the world market.

(iv) Untuk transparency dan fairness dalam merundingkan tariff reduction

formula, maka proses verifikasi sudah harus dilakukan sebelumnya.

(v) Mengingat tidak ada kepastian tentang metoda konversi yang paling akurat dan tepat, G-20 menyatakan bahwa setiap anggota punya hak menyampaikan keberatan terhadap proses konversi yang dilakukan oleh negara pengguna.

(vi) Apabila dalam proses konversi tidak terdapat kesepakatan dengan

importing members, maka G-20 mengusulkan agar tarif bermasalah

dalam proses konversi tersebut: (1) ditempatkan pada band yang harus mengalami penurunan tertinggi, dan (2) diikatkan dalam

(11)

member’s schedule sebagai ad valorem tariff, tidak kembali ke non-ad valorem tariff.

C. EU Statement on Conversion of non-Ad Valorem Duties Into Ad Valorem

Equivalents (draft terlampir)

Pernyataan EU menanggapi teks teknis Sekretariat tentang AVEs Conversion khususnya berkenaan dengan dasar perhitungan harga dan sumber data. Pada intinya EU berpendapat :

(i) AVEs diperhitungkan berdasarkan total nilai perdagangan, tanpa membedakan impor MFN dan non-MFN atau in quota dan out-of-quota karena secara teknis pencatatan data tidak terpilah demikian, dan secara teoritis belum terbukti tidak valid.

(ii) Perhitungan berdasarkan harga dunia tidak terpercaya, konsisten, mudah diverifikasi dan transparan.

(iii) Sesuai provisi legal WTO tarif ad valorem haruslah dihitung berdasarkan data yang tersedia di negara importir, yang berarti harga dunia dan atau turunan harga dunia tidak dapat digunakan sebagai dasar perhitungan AVEs.

(iv) Dalam kondisi khusus (tidak ada impor, impor terlalu kecil atau tidak ada data), anggota dapat memilih alternatif berikut :

• AVEs dihitung berdasarkan data pabean terbaru yang dilaporkan negara tetangga ke Integrated Data Base (IDB).

• Dengan memperhatikan kekurangan teori ekonominya :

ü Harga impor per unit di negara-negara tetangga menggunakan IDB

ü Harga impor per unit mata tarif terdekat

(v) Perhitungan AVEs adalah tanggung jawab anggota sendiri dengan keharusan menjelaskan data dan metoda yang digunakan (jika perlu dapat meminta bantuan teknis kepada Sekretariat)

(vi) Kata “re-conversion” dalam teks Sekretariat tidak relevan. Perhitungan AVEs hanya bertujuan untuk menentukan “tiers”, opsi untuk mengembalikan “binding” dalam bentuk semula diserahkan kepada anggota.

(12)

III. Pertemuan Kordinasi dan Pertukaran Informasi

Selain menghadiri sidang resmi, Delri juga menghadiri pertemuan kordinasi dan pertukaran informasi dengan mitra kelompok negara sebagai berikut:

1. Pertemuan Kelompok G-33

Pertemuan kordinasi kelompok G-33 meliputi perumusan statement bersama (terlampir) dan strategi perundingan dalam sidang-sidang resmi. Duta besar Gusmardi Bustami juga melaporkan hasil pertemuan para Menteri di Davos. India melaporkan bahwa rencana pertemuan para menteri G-33 batal di laksanakan di India dan meminta Indonesia mengambil keputusan akhir mengenai hal ini.

2. Pertemuan Kelompok G-20

Pertemuan koordinasi kelompok G-20 dilakukan untuk merumuskan statement bersama (terlampir). Selain itu, G-33 juga melaksanakan diskusi teknis mengenai hasil kajian “Domestic Supports” dan AVE yang dilakukan oleh ICONE yang pada intinya menyimpulkan :

a. Level base AMS Uni Eropa maupun Amerika Serikat menurut ketentuan Kerangka Kesepakatan Juli masih amat tinggi, jauh di atas proyeksi penggunaannya sehingga penurunan yang cukup tinggi pun masih dapat diakomodir.

b. Perhitungan AVE meliputi nilai per unit impor yang menggunakan non-MFN dan MFN atau in-quota dan out-of-quota bias ke bawah (under estimate) sehingga dapat merugikan negara-negera sedang berkembang.

3. Pertemuan G-33 dengan Uni Eropa

Ketua perunding Uni Eropa menawarkan kerjasama dalam memperjuangkan kepentingan kedua belah pihak. Beliau menjelaskan garis-garis besar posisi runding Uni Eropa sebagai berikut :

a. Sensitive Product • Tiered system

• 2-3 bands (beliau mengingatkan band yang lebih banyak tidak berarti lebih fleksibel)

(13)

b. Special Safety Guard (SSG) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) • Jumlah produk akan dibatasi (berdasarkan kriteria)

• Dapat menerima trigger harga maupun volume (walaupun mungkin trigger volume lebih disukai karena lebih mudah pelaksanaannya)

c. Special Product

• Mendukung perjuangan negara-negara sedang berkembang • Berdasarkan kriteria, bukan deklarasi sendiri

Beliau juga meminta agar anggota G-33 menyampaikan keinginannya untuk didiskusikan bersama dan mengulurkan bantuan apa yang dapat diberikan oleh Uni Eropa. Ini merupakan tawaran simpatik yang perlu ditindak lanjuti Indonesia sebagai koordinator kelompok G-33.

4. Pertemuan kelompok Cairns

Pertemuan kelompok Cairns pertama-tama dimaksudkan untuk menyusun statement bersama (terlampir). Diskusi teknis juga dilakukan yang pada intinya menyimpulkan :

a. Kesulitan dalam perhitungan AVE • Ketidaklengkapan IDB

• Bias akibat TRQ dan PTA/MFN

b. Resiko dalam penentuan modalitas dukungan domestik • Asimetri informasi

• Box shifting

• Kasus “empty top band” c. Green Box

• Bertahan dengan prinsip kriteria

• Terus mengangkat issu dampak distrosi dan akumulasi nilai • Disiplin monitoring untuk mencegah “box shifting”

d. Kredit eskpor

• Issu benih/bibit hewan dan sayuran tidak termasuk dalam Kerangka Kesepakatan Juli

• Special Circumstances harus berdasarkan kriteria • Waspada terhadap “loopholes”

(14)

IV. Kesimpulan dan Saran

Negosiasi modalitas berlangsung alot dan amat lambat. Disatu sisi hal ini dapat dimaklumi karena memang cakupan issu negosiasi amat luas dan kompleks, perbedaan kepentingan antar anggota dan sensitif secara politis. Selain itu, proses negosiasi dilakukan secara paralel dan maju secara berimbang diantara ketiga pilar akses pasar, dukungan domestik dan kompetisi ekspor (seluruh aspek negosiasi). Disisi lain, hal itu juga bagian dari strategi untuk mengulur waktu yang dapat membuat sebagian pihak terlena untuk selanjutnya kurang cermat tatkala negosiasi dipercepat dan dipaksakan mengambil keputusan menjelang putaran akhir perundingan pada bulan Nopember – Desember mendatang. Oleh karena itu, Tim Perunding Indonesia harus terus waspada dan melakukan tindakan antisipasi dini perihal semua aspek perundingan.

Beberapa langkah antisipasi yang perlu segera dilaksanakan adalah sebagai berikut :

1. Melakukan kajian metode konversi AVE dan implikasinya terhadap Indonesia AVE akan menjadi dasar penetapan modalitas penurunan tarif sehingga esensial untuk penetapan posisi ”bands” tarif pada perundingan selanjutnya. Kajian ini mestinya prioritas utama Tim Teknis Nasional Perundingan WTO. 2. Melakukan keputusan akhir tentang kriteria Special Products dan penerapannya

di Indonesia.

Kajian kriteria yang telah ada perlu disintesis dan selanjutnya diambil keputusan kriteria definitif yang mestinya diperjuangkan Indonesia. Hal ini merupakan keputusan pimpinan Tim Teknis Nasional.

3. Mempersiapkan perhitungan Domestic Support

Hasil perhitungan empiris mengenai Domestic Support juga esensial untuk penetapan “bands” dan “bound” pada perundingan selanjutnya.

4. Melakukan kajian mengenai implikasi provisi kredit dan pembatasan ekspor terhadap Indonesia.

Perundingan mengenai modalitas pada dasarnya adalah penyusunan petunjuk teknis Kerangka Kesepakatan Juli. Oleh karena itu, dukungan analisis dan kajian akademik merupakan kebutuhan esensial bagi para juru runding Indonesia. Tim Teknis Nasional perlu terus berkoordinasi dengan Delri/juru

(15)

runding Indonesia, termasuk berpartisipasi aktif secara reguler dalam perundingan di Jenewa.

Kepada Delegasi Indonesia disarankan mengambil garis perjuangan dan posisi runding untuk beberapa issu, sebegai berikut :

1. Scoping proposal tentang kriteria Green Box :

a. Mengajukan “Scoping proposal” tentang kriteria Green Box yang sesuai dengan kondisi dan prtaktek di negara-negara sedang berkembang khususnya bantuan domestik untuk tujuan pembangunan sesuai dengan agenda pembangunan Doha dan sebagaimana diamanatkan paragraf 16 Kerangka Kesepakatan Juli : “(will) take due account of non-trade concern”, khususnya “bantuan untuk petani subsisten dan petani kecil” (resource poor) (menurut Paragraf 11 hanya dikecualikan dalam penurunan de minimis tetapi tetap dihitung dalam AMS). Proposal ini dapat diajukan atas nama Indonesia sendiri maupun atas nama kelompok G-33. b. Bantuan perlindungan asuransi kerugian akibat penurunan harga tidak

termasuk kategori Green Box (Annex-2, para 7 c) 2. Export tax

Mempertahankan bahwa “export tax” tidak termasuk dalam mandat pembahasan modalitas Kesepakatan Juli. Paragraf 49 secara eksplisit mengatakan “differential export taxes” adalah “issues of interest but not agreed”. Lagi pula export tax di negara-negara sedang berkembang dimaksudkan sebagai instrumen penerimaan negara dan ketahanan pangan.

3. Export credit

Sesuai dengan paragraf 17, segala bentuk subsidi ekspor, termasuk kredit ekspor harus diturunkan hingga hapus dengan jadwal akhir tertentu (misalnya 10 tahun). Tenggat waktu kredit ekspor maksimum 180 hari tanpa kecuali ; termasuk “animal and agricultural vegetable reproduction materal” (paragraf 18 butir kedua). 4. De minimis

Negara-negara sedang berkembang dikecualikan dari kewajiban menurunkan batas de minimis karena terutama diberikan kepada petani subsisten dan miskin untuk keseimbangan karena dukungan domestik lainnya praktis amat kecil.

(16)

5. State Trading Enterprise (STE)

Pembahasan STE hanyalah untuk STE pada bidang usaha eksportasi, bukan pada bidang usaha importasi.

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian latihan penguasaan strategi seranga hanya diberikan pada saat latihan permainanan (game). Beberapa pelatih ada yang belum memberikan model-model latihan

 Industri otomotif di India mulai berkembang pesat pada tahun 2012 setelah terjadi urbanisasi, pertumbuhan pembangunan infrastruktur jalan, meningkatnya pendapatan,

Hasil penelitian yang menguji penggunaan teknologi pembelajaran bagi siswa (dengan mengakses website yang merujuk pada tampilan powerpoint untuk catatan dan persiapan ujian) dan

Selain itu ada juga band yang berasal dari Inggris yang punya chart lagu di Amerika Serikat, tapi tidak punya chart lagu di Inggris, seperti Chad & Jeremy dan Ian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai pengawet nira yang lebih terkontrol dan lebih aman, sedangkan tujuan khususnya yaitu

Sebagai standar, digunakan b–karoten (dalam metanol). Reaksi Netralisasi Radikal Bebas DPPH oleh Ikatan Rangkap.. diarahkan pada penemuan senyawa karotenoid, yang merupakan salah

Profil Dinas perindustrian, Perdagangan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Jeneponto pada prinsipnya merupakan bagian dari proses peningkatan kesejahteraan masyarakat