• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTIKEL ILMIAH PERAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS PADA SISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 PURWOKERTO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARTIKEL ILMIAH PERAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS PADA SISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 PURWOKERTO"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

ARTIKEL ILMIAH

PERAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS

PADA SISWA SMP MUHAMMADIYAH 1 PURWOKERTO

Oleh :

Elly Hasan Sadeli, S.Pd., M.Pd (0625058503) Hj. Ratna Kartika Wati, S.H., M.Hum (0614107101)

Dibiayai oleh Proyek Pengabdian pada masyarakat Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Muhammadiyah Purwokerto sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Hibah Program Studi

Nomor: A.11-III/125-S.Pj/LPP/IV/2013

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

(2)

2

ABSTRACT

THE ROLE OF CIVIC EDUCATION LEARNING TO INCREASE THE STUDENTS’ CRITICAL THINKING SKILL IN

SMP MUHAMMADIYAH 1 PURWOKERTO By :

Elly Hasan Sadeli Ratna Kartikawati

This Research about the role of civic education learning to increase the students’ critical thinking skill in SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto. Approach which used in this research is qualitative approach by method of the descriptif analysis. Data collecting gained through observation technique, interview, documentation study, and literature study. The finding of study stated that : First, content development study of civic education in the form of common question which related to items. Second, to measure attainment of skill critical thinking of student in study civic education competence, teacher use assessment instrument emphasizing at all interest aspect. Third, the resistance met by that is the limited student information and knowledge and lower bravery of student to have a notion. Fourth, to surpass the resistance by giving practice and duty analysis civic issue and also give motivation to student to be able to learn better is.

Keyword : Civic education, Critical thinking Pendahuluan

Mata pelajaran PKn diberikan dengan tujuan agar siswa memiliki bekal cukup terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara, baik yang sifatnya teoretis maupun praktis. Secara teoretis siswa memahami kaidah-kaidah hak dan kewajiban, sedangkan secara praktis siswa mampu melaksanakan sikap demokratis dan berpikir kritis dalam kehidupan masyarakat di mana mereka tinggal.

Pembelajaran PKn memiliki implikasi dalam kehidupan siswa, Pembelajaran PKn di jenjang persekolahan memiliki tujuan selain memberikan bekal pengetahuan, tetapi juga diharapkan mampu membentuk karakter siswa. Pembentukan karakter ini penting, karena melalui materi PKn siswa diajarkan akan hak dan kewajiban, tanggung jawab, demokrasi, dan juga Hak Asasi Manusia (HAM). Diharapkan melalui pembelajaran ini karakter yang akan dibangun adalah bersikap demokratis dan berpikir kritis.

Tujuan PKn untuk mengembangkan berpikir kritis itu sangat penting dan tepat, namun dalam proses pembelajarannya selama ini masih belum mengarah pada hal itu, karena dalam menerapkan strategi pembelajarannya guru hanya memberikan informasi-informasi saja dan belum mampu memprovokasi untuk mendorong siswa berpikir kritis. Interaksinya masih sepihak yang didominasi oleh guru. Jadi, siswa hanya mendengarkan saja.Ini perlu diubah agar interaksi itu

(3)

3

bersifat dua arah. Proses pembelajaran PKn di persekolahan belum sesuai dengan harapan kurikulum, karena banyak hal dalam pembelajaran yang tidak dilaksanakan oleh guru.

Selama ini proses belajar mengajar PKn lebih berorientasi pada pengembangan kognitif siswa, ini pun masih bersifat kognitif rendah, padahal karakter PKn ini lebih terfokus pada aspek afektif dan psikomotor. Akibatnya guru hanya banyak memberikan materi pembelajaran yang sifatnya hafalan. Sementara aspek afektif dan psikomotor kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu, tidak heran apabila perilaku siswa tidak berubah kearah yang diharapkan, begitu juga kemampuan berpikir kritis siswa kurang tampak. Apabila fenomena seperti itu yang ada, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran PKn telah gagal mengembangkan potensi siswa sebagai makhluk berpikir.

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Djahiri (2002:93) bahwa:

Salah satu pembaharuan dalam PKn ialah pola/strategi pembelajarannya, dimana siswa bukan hanya belajar tentang hal ihwal (materi pembelajaran) PKn melainkan juga belajar ber-PKn atau praktek, dilatih uji coba dan mahir serta mampu membakukan diri, bersikap perilaku sebagaimana isi pesan PKn.

Jadi, dalam pembelajaran PKn itu bukan hanya memberikan informasi yang bersifat kognitif semata, tetapi juga harus menitikberatkan pada aspek afektif dan psikomotor. Hal ini yang sampai sekarang belum mampu dilaksanakan oleh guru secara optimal, sehingga pembelajaran PKn hampir tidak ada bedanya dengan pembelajaran mata pelajaran lainnya, padahal PKn ini mempunyai karakter berbeda dangan mata pelajaran lain, akibatnya kualitas PKn hanya dilihat dari segi kognitif siswa semata.

Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kompetensi yang harus dikembangkan dalam PKn. Hal ini terlihat jelas dalam kurikulum PKn Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 di mana tujuan PKn adalah:

1. Memiliki kemampuan berfikir secara rasional, kritis, dan kreatif, sehingga mampu memahami berbagai wacana Kewarganegaraan. 2. Memiliki keterampilan intelektual dan keterampilan berpartisipasi

secara demoktratis dan bertanggung jawab.

3. Memiliki watak dan kepribadian yang baik, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rumusan tujuan tersebut sejalan dengan aspek-aspek kompetensi yang hendak dikembangkan dalam pembelajaran PKn. Sejalan dengan hal tersebut Branson (1999:8) menjelaskan bahwa aspek-aspek kompetensi tersebut mencakup pengetahuan Kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan Kewarganegaraan (civic skill), dan watak atau karakter Kewarganegaraan (civic dispositions). Selanjutnya, Budimansyah (2007:160) mengatakan bahwa sebagai warga negara kita juga harus meningkatkan :

1. Kapasitas kita untuk berpikir secara kritis dan sistematis,

2. Pemahaman dan kepekaan kita terhadap masalah-masalah perbedaan-perbedaan budaya,

3. Pilihan kita terhadap pemecahan dan penyelesaian masalah yang bertanggung jawab, kooperatif dan tanpa kekerasan, dan

(4)

4

4. Keinginan kita untuk melindungi lingkungan, membela hak asasi manusia, dan ikut serta dalam kehidupan masyarakat.

Hal di atas sesuai dengan ciri-ciri warga negara Indonesia yang yang dikemukakan Winataputra (1999) antara lain :

1. Beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME, 2. Berfikir kritis – argumentasi dan kreatif,

3. Mengemukakan pikiran dan perasaan secara jernih dan sesuai aturan, 4. Menerima ke-bhineka-tunggal-ikaan dalam kehidupan,

5. Berorganisasi secara sadar dan bertanggung jawab.

Untuk melaksanakan hal tersebut tentunya harus dengan cara yang cerdas, yaitu dengan berpikir secara kritis. Menurut Halpen (1996), berpikir kritis adalah :

Memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran-merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasi-mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis juga biasa disebut pemikiran yang diarahkan (directed thinking), sebab berpikir langsung kepada fokus yang akan dituju.

Pendapat senada dikemukakan Anggelo (1995:6) bahwa, berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi.

Dari dua pendapat tersebut, tampak adanya persamaan dalam hal sistematika berpikir yang ternyata berproses. Berpikir kritis harus melalui beberapa tahapan untuk sampai kepada sebuah kesimpulan atau penilaian.

Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar. Jadi, secara umum bahwa berpikir itu dianggap sebagai suatu proses kognitif, yaitu suatu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan.

Seperti yang diungkapkan dalam pandangan Cogan (1998:115), karakteristik yang harus dimiliki oleh warga negara terutama pada abad 21, salah satunya adalah, the capacity to think in a critical and systemic way (kemampuan berpikir kritis dan sistematis).

Dengan demikian, maka dalam proses pembelajaran PKn harus mengandung upaya pengembangan kemampuan berpikir kritis. Dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam PKn itu perlu adanya pendekatan-pendekatan yang strategis dengan metode yang tepat dalam arti yang potensial untuk mengajak siswa berpikir termasuk berpikir kritis.

(5)

5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui teknik observasi, wawancara, studi dokumentasi, dan studi literatur. Lokasi penelitian ini dilakukan di SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto. Sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah guru PKn, siswa dan kepala sekolah.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Kontribusi Materi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa.

Berdasarkan Hasil penelitian terungkap bahwa setiap melaksanakan proses pembelajaran, terutama pada saat apresepsi guru selalu mengembangkan materi pembelajaran. Oleh karena guru mempunyai tugas yang penting dalam mengembangkan dan memperkaya materi pembelajaran, karena hal tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran.

Materi pembelajaran merupakan subtansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran (Djamarah dan Zain, 2002:50). Materi pembelajaran merupakan komponen penting dalam semua proses pembelajaran, termasuk proses pembelajaran PKn. Tanpa materi pembelajaran, proses pembelajaran tidak akan berjalan. Materi pembelajaran dapat berupa fakta, konsep, prinsip maupun prosedur (Sadirman, 2003:162).

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pembelajaran, yaitu:

1) Materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.

2) Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa pada umumnya.

3) Materi pembelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan.

4) Materi pembelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat tekstual maupun kontekstual (Djamarah dan Zain, 2003:51).

Berdasarkan hal tersebut, maka materi pembelajaran PKn harus mengacu pada kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang dibelajarkan harus bermakna bagi siswa dan merupakan bahan-bahan yang benar-benar penting, baik dilihat dari kompetensi yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk menentukan materi pada proses pembelajaran berikutnya.

Berdasarkan deskripsi penelitian terungkap bahwa, dalam memberikan penjelasan materi tersebut didominasi dengan tanya jawab dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan umum yang terkait dengan materi yang diajarkan, pertanyaan yang diajukan guru dengan lisan dan dijawab dengan lisan pula oleh siswa. Sehingga pada saat pembelajaran, materi yang disampaikan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dan mengeluarkan pendapat lebih banyak dibandingkan guru. Sehingga materi-materi yang dikemas agar siswa dituntun untuk berpikir kritis.

(6)

6

Materi pelajaran keterampilan berpikir kritis menurut Wijaya (1999:81) mencakup hal-hal sebagai berikut:

Membedakan fakta yang dapat diuji dengan tuntutan nilai yang berlaku; Membedakan informasi relevan dan tidak relevan, tuntutan atau alasan-alasannya; Menentukan ketelitian fakta dari sebuah pernyataan; Menentukan derajat kredibilitas sumber; Mengidentifikasikan argumen yang bersifat ganda; Mengidentifikasikan asumsi yang tidak dinyatakan; Menditeksi penyimpangan-penyimpangan/bias; Mengidentifikasi buah pikiran yang keliru agar menjadi logis; Memperkenalkan ketertautan logis dalam reasoning; Menentukan besarnya kekuatan argumentasi dan tuntutannya.

Oleh karena itu, pembelajaran PKn di kelas banyak memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang baru dari siswa yang begitu antusias menerima pembelajaran PKn. Para siswa dituntut untuk memberikan argumentasinya yang berkaitan dengan materi yang sedang dibahas.

Selain itu, dalam memberikan sumber atau media yang mendukung materi pembelajaran di kelas, guru menggunakan sumber dan media yang sangat memadai, yaitu berupa buku paket PKn, LKS, whiteboard, Liquid Crystal Display (LCD) dan Video Compact Disc (VCD) serta televisi. Guru menggunakan media tersebut, sehingga membuat pembelajaran PKn lebih menarik, hal inipun sangat memotivasi siswa untuk lebih berpartisipasi dalam proses belajar mengajar di kelas. Pada akhirnya proses pembelajaran PKn sangat menarik.

Media pengajaran harus dibedakan dengan sumber pengajaran. Djahiri (1995/1996:31) mengemukakan bahwa sumber pembelajaran merupakan tempat di mana butir mata pelajaran dan media bisa dilihat, diperoleh dan dikaji seperti buku, perpustakaan, media cetak, kehidupan nyata dan lain-lain. Sedangkan, media pembelajaran lebih diutamakan pada fungsi dan perannya.

Djahiri (1995/1996:31) mengemukakan, bahwa dengan adanya media pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk:

a. Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil Belajar Real

b. Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan Mengajar Guru interaktif – reaktif

c. Meningkatkan motivasi belajar atau suasana belajar yang baik

d. Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran dan keberhasilan pengajaran

e. Meningkatkan proses Kegiatan Belajar Mengajar secara efektif, efisien dan optimal

f. Menyegarkan Kegiatan Belajar Mengajar Jenis dan bentuk media, antara lain :

a. Materiil, berupa alat peraga, media cetak (Koran, majalah dll) b. Immaterial, seperti iklim, status sosial masyarakat dll

c. Personal, yaitu tokoh, pahlawan, narasumber dll d. Audio visual

(7)

7

Penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya memperhatikan kualifikasi standar kompetensi, kompetensi dasar dan metoda pembelajaran yang akan digunakan.

Kontribusi Hasil Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Keterampilan Berpikir Kritis

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa, secara umum PKn bertujuan untuk mengembangkan potensi individu warganegara Indonesia yang memiliki wawasan, disposisi, serta keterampilan intelektual dan sosial kewarganegaraan yang memadai, yang memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Setiap guru PKn memiliki pendapat yang sama bahwa kompetensi yang harus dikembangkan pada mata pelajaran PKn pada dasarnya berkaitan dengan tiga komponen penting, yaitu Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan),

Civic Skills (keterampilan kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak-watak

kewarganegaraan). Ketiga komponen penting itu akan menggambarkan ketercapaian kompetensi siswa pada ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan).

Sebagaimana dikemukakan oleh Branson (1999:4) yaitu Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak-watak kewarganegaraan). Komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut (Bransons 1999:8).

Komponen pertama, civic knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara”. Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran PKn merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.

Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.

Ketiga, Civic Disposition (watak kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai "muara" dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif.

(8)

8

Banyak cara untuk mengukur kompetensi yang harus dicapai siswa dalam pembelajaran PKn. Dari hasil penelitian terungkap cara mengukur ketercapaian aspek kognitif melalui tugas-tugas yang disusun dalam LKS, ulangan harian, Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). Aspek afektif biasanya diukur melalui sikap siswa di sekolah, dan nilai psikomotor siswa biasanya diperoleh dari keaktifan siswa di sekolah, seperti aktif dalam kegiatan-kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.

Branson (Winataputra dan Budimansyah 2007:196-198) memberikan contoh indikator ketercapaian kompetensi kewarganegaraan siswa dalam hal pengetahuan, keterampilan dan watak kewarganegaraan sebagai mana diuraikan beriut ini. pertama komponen civic knowledge harus diwujudkan dalam bentuk lima pertanyaan penting yang secara terus-menerus harus diajukan sebagai sumber belajar PKn. Lima pertanyaan yang dimaksud adalah: (1) apa kehidupan kewarganegaraan, politik, dan pemerintahan ?; (2) apa dasar-dasar sistem politik Indonesia ?; (3) bagaimana pemerintahan yang dibentuk oleh konstitusi mengejewantahkan tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia?; (4) bagaimana hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia?; (5) apa peran warganegara dalam demokrasi Indonesia?.

Kedua, komponen civic skills memiliki kecakapan-kecakapan intelektual

dan partisipatoris yang relevan. Kecakapan-kecakapan intelektual meliputi: berpikir kritis, mengidentifikasi, mendeskripsikan, menjelaskan dan menganalisis, mengevaluasi, mengambil, dan mempertahankan pendapat; sedangkan kecakapan partisipatoris mencakup: berinteraksi, memonitor, dan mempengaruhi.

Ketiga, komponen civic disposition mengisyaratkan pada karakter publik

maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Watak kewarganegaraan sebagaimana kecakapan kewarganegaraan, berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi civil society. Secara singkat karakter publik dan privat itu adalah (a) menjadi anggota masyarakat yang independen, (b) memenuhi tanggung jawab personal kewarganegaraan di bidang ekonomi dan politik, (c) menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tiap individu, (d) berpartisipasi dalam urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana; (e) mengembangkan berfungsinya demokrasi konstitusional secara sehat.

Lebih lanjut Sapriya dan Winataputra (2004:15) mengemukakan, bahwa: Misi PKn dengan paradigma yang direvitalisasi adalah mengembangkan pendidikan demokrasi yang mengemban tiga fungsi pokok, yakni mengembangkan kecerdasan warga negara (civic intelegence), membina tanggung jawab warga negara (civic responsibility), dan mendorong partisipasi warga negara (civic partisipation). Kecerdasan warga negara yang dikembangkan untuk membentuk warga negara yang baik bukan hanya, dalam dimensi: rasional dan intelektual semata melainkan juga dalam dirnensi spiritual. emosional dan sosisl sehingga paradigma baru PKn bercirikan multidimensional.

Berdasarkan perdapat diatas jelas, bahwa PKn sebagai pendidikan demokrasi berfungsi membentuk warga negara yang baik yaitu warga negara yang takwa, berakhlak mulia, cerdas, kritis, demokratis, partisipatif, dan bertanggung

(9)

9

jawab. Apabila, tiga kompetensi pokok warga negara yaitu kecerdasan, tanggung jawab, dan partisipasi bisa tumbuh dan berkembang melalui pembelajaran PKn, maka akan merupakan kontribusi yang sangat besar dari PKn sebagai pendidikan demokrasi. Sehingga diharapkan akan tumbuh peserta didik sebagai warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, pastisipatif, dan demokrastis.

Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa penilaian ketercapaian siswa terhadap kompetensi pembelajaran PKn tercapai pada seluruh aspek kompetensi, penilaian dilakukan melalui tugas-tugas LKS, ulangan harian, Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS), serta penilaian pada perilaku dan keterampilan siswa pada saat proses pembelajaran di kelas. Sehingga, ketiga aspek kompetensi tersebut cukup tercapai.

Dengan melihat hasil nilai yang dicapai oleh siswa dapat menggambarkan bahwa hal tersebut juga mempengaruhi tingkat berpikir kritis siswa bersangkutan, tidak bisa dipungkiri bahwa selain nilai nya baik siswa yang punya kemampuan berpikir kritis juga akif dalam kegiatan yang ada di sekolah. Misalnya mengikuti paskibra, pramuka dan OSIS.

Dengan demikian, secara umum pembelajaran PKn di SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto memiliki tujuan untuk mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik (to be good citizenship) yang dapat dilukiskan dengan warga negara yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, saling menghormati, menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, memupuk rasa kekeluargaan, memupuk rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan tanah air, demokratis, cakap dan bertanggung jawab, mentaati hukum dan norma-norma yang berlaku, berwawasan luas, berbudi pekerti luhur, dan seterusnya (memiliki kecerdasan dan keterampilan spiritual, intelektual, sikap/emosional, serta keterampilan sosial) sehingga dapat mengembangkan potensi, berperan dan mampu memposisikan diri dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, negara bahkan dalam pergaulan antar bangsa.

Berdasarkan hasil penelitian, terungkap bahwa, dalam mengaplikasi hasil pembelajaran PKn, siswa biasanya mengaplikasinya dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, seperti OSIS, Paskibra dan lain-lain. Siswa yang mengikuti kegiatan tersebut biasanya aktif dalam kegiatan pembelajaran dan menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam hal pengambilan keputusan dibandingkan dengan siswa yang tidak mengikuti kegiatan tersebut.

Dalam mengaplikasi pembelajaran PKn dalam kehidupan sehari-hari kaitannya dengan berpikir kritis, biasanya dengan mendiskusikan kembali dengan temannya di lingkungan rumah, sehingga apa yang telah dibelajarkan bisa kembali diingat dan diaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Khususnya tentang keterampilan berpikir kritis.

Hambatan Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa

Berdasarkan deskripsi penelitian terungkap bahwa dalam upaya meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, guru menghadapi beberapa hambatan. Hambatan yang dihadapi guru itu adalah terbatasnya pengetahuan dan informasi siswa tentang berbagai isu-isu kewarganegaraan/kasus/permasalahan

(10)

10

yang terjadi di sekitar lingkungan siswa, rendahnya keberanian siswa untuk berpendapat mengeluarkan ide-ide kritis.

Pada dasarnya, pembelajaran di sekolah meliputi seluruh bidang kehidupan, salah satunya adalah pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Sekaitan dengan hal tersebut, Djahiri (2006:9) mengemukakan bahwa:

PKn merupakan program pendidikan/pembelajaran yang secara programatik-prosedural berupaya memanusiakan (humanizing) dan membudayakan (civilizing) serta memberdayakan peserta didik/siswa (diri dan kehidupannya) supaya menjadi warga negara yang baik sebagaimana tuntutan keharusan/yuridis konstitusional bangsa/negara yang bersangkutan.

Pendapat tersebut memposisikan pembelajaran PKn sebagai wahana pokok dalam membentuk warga negara Indonesia yang baik dan cerdas. Hal tersebut dapat terwujud apabila dalam proses pembelajaran PKn siswa dibekali pengetahuan untuk menjadi warga negara yang melek politik dan hukum serta dilatih untuk menciptakan suasana kehidupan yang demokratis serta mencerminkan kehidupan warga negara Indonesia yang melek politik dan hukum (Djahiri, 2006:10).

Kenyataannya keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa tentu saja menghambat pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa. Hal ini menyebabkan adanya keraguan apa yang siswa pikirkan tidak dapat terlaksana, pikiran yang siswa miliki tidak selaras dengan keinginan lingkungan, dan ketika adanya perbedaan pemikiran/kepentingan menyebabkan siswa merasa tidak mampu berpikir kritis.

Menurut Sapriya dan Winataputra (2004:59) mengemukakan, dalam hal ini Nampak bahwa siswa perlu mengetahui bagaimana proses belajar, berfikir, dan berperasaan. Sejalan dengan pendapat di atas, Taylor (Sapriya dan Winataputra, 2004:59) memerinci bahwa siswa adalah manusia yang dinamis, berkesadaran, bertujuan, kreatif dan berkembang, punya perasaan, mampu berfikir dan dapat menjalin hubungan, namun ini adalah gambaran relatif yang hanya dapat dipelajari melalui psikologi. Kondisi tersebut perlu penanganan segera, sebab sebagaimana dikemukakan dalam bagian sebelumnya diketahui bahwa berpikir adalah suatu proses yang membutuhkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan berupa pengetahuan.

Ada beberapa alasan perlunya membentuk budaya berpikir kritis di masyarakat. Salah satunya adalah untuk menghadapi perubahan dunia yang begitu pesat yang selalu muncul pengetahuan baru tiap harinya, sementara pengetahuan yang lama ditata dan dijelaskan ulang. Di zaman perubahan yang pesat ini, prioritas utama dari sebuah sistem pendidikan adalah mendidik anak-anak tentang bagaimana cara belajar dan berpikir kritis (Shukor, 2001). Beberapa karakteristik dari era pengetahuan (knowledge age) adalah:

1. Kehidupan, masyarakat, dan ekonomi menjadi lebih kompleks. 2. Lapangan kerja menipis, dibanding era sebelumnya,

3. Ilmu pengetahuan dan informasi, tanah, buruh dan modal sebagai masukan paling utama dalam sistem produksi modern.

(11)

11

Wilson (2000) mengemukakan beberapa alasan tentang perlunya keterampilan berpikir kritis, yaitu:

1. Pengetahuan yang didasarkan pada hafalan telah didiskreditkan; individu tidak akan dapat menyimpan ilmu pengetahuan dalam ingatan mereka untuk penggunaan yang akan datang.

2. Informasi menyebar luas begitu pesat sehingga tiap individu membutuhkan kemampuan yang dapat disalurkan agar mereka dapat mengenali macam-macam permasalahan dalam konteks yang berbeda pada waktu yang berbeda pula selama hidup mereka.

3. Kompleksitas pekerjaan modern menuntut adanya staf pemikir yang mampu menunjukkan pemahaman dan membuat keputusan dalam dunia kerja.

4. Masyarakat modern membutuhkan individu-individu untuk menggabungkan informasi yang berasal dari berbagai sumber dan membuat keputusan.

Dengan kata lain, pekerja yang memasuki tempat kerja di masa mendatang harus benar-benar memiliki berbagai kemampuan yang akan menjadikan mereka pemikir sistem dan orang yang tak pernah henti belajar sepanjang hidup mereka (Shukor, 2001). Alasan lain perlunya budaya berpikir adalah bahwa dunia yang mengekspresikan ketertarikan dan kepedulian mereka pada kemampuan pembelajaran berpikir karena mereka mendapati ketidakmampuan lulusan universitas dalam membuat keputusan sendiri dengan mandiri (Phillips, 2001).

Selain itu dalam proses tersebut terjadi kegiatan penggabungan antara persepsi dan sistem unsur yang ada dalam pikiran. Berpikir juga adalah suatu proses kognitif, yaitu aktivitas mental untuk memperoleh pengetahuan. Aktivitas mental ini terjadi karena adanya suatu rangsangan dari luar yang membentuk suatu pemikiran, penalaran dan keputusan serta kegiatan memperluas aturan yang diketahui untuk memecahkan masalah.

Upaya yang Dilakukan Guru Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Keterampilan Berpikir Kritis Siswa

Berdasarkan deskripsi penelitian terungkap bahwa, hambatan-hambatan dalam pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto Indramayu, seperti terbatasnya pengetahuan dan informasi siswa tentang berbagai isu yang aktual, keberanian siswa untuk berpendapat mengeluarkan ide-ide kritis, dan keterbatasan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran yang merangsang daya kritis siswa menjadi pijakan bagi guru PKn untuk menyiasatinya dengan berbagai strategi. Strategi dimaksud dilakukan dalam rangka melatih dan mempraktekan keterampilan berpikir kritis siswa.

Dalam bagian terdahulu diketahui bahwa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis tidak bisa hanya diceramahkan atau dijelaskan saja, akan tetapi harus banyak melatih dan mempraktekan. Anita Harnadek yang dikutip oleh Zaleha Izhab Hasoubah (2003:90) menyatakan “critical thinking is a

skill which must be practiced in order to develop effectively”. Jadi, untuk

mengembangkan kemampuan berpikir termasuk berpikir kritis pada peserta didik, salah satu cara yang efektif adalah melalui latihan-latihan atau dipraktekan.

(12)

12

Keterkaitan berpikir kritis dalam pembelajaran adalah perlunya mempersiapkan siswa agar menjadi pemecah masalah yang tangguh, pembuat keputusan yang matang, dan orang yang tak pernah berhenti belajar. Penting bagi siswa untuk menjadi seorang pemikir mandiri sejalan dengan meningkatnya jenis pekerjaan di masa yang akan datang yang membutuhkan para pekerja handal yang memiliki kemampuan berpikir kritis. Selama ini, kemampuan berpikir masih belum merasuk ke jiwa siswa sehingga belum dapat berfungsi maksimal di masyarakat yang serba praktis saat ini.

Beberapa upaya yang dilakukan guru PKn untuk mengatasi berbagai hambatan dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa antara lain adalah melalui pemberian motivasi kepada siswa untuk dapat belajar dengan baik, membuka cakrawala berpikir melalui kegiatan belajar dan membaca serta memperluas pengetahuan dengan beragam informasi aktual dari berbagai sumber dan media belajar.

Dalam hal pemberian motivasi, guru mengarahkan beberapa bentuk aktifitas untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, yaitu melalui pemberian tambahan nilai, hadiah, memberikan pujian, termasuk juga memberikan tugas dan latihan. Motivasi dalam kegiatan belajar merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar sehingga tujuan yang dikehendaki dari subjek belajar itu dapat tercapai. Motivasi belajar ini merupakan salah satu faktor penunjang dalam kegiatan belajar mengajar yang dapat menciptakan suasana yang menyenangkan dalam pembelajaran.

Pemberian motivasi belajar kepada siswa oleh guru merupakan motivasi ekstrinsik, yaitu “motif-motif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar” (Syaiful Bahri, 2002:117). Dalam motivasi belajar ini anak didik menempatkan tujuan belajarnya di luar faktor-faktor situasi belajar. Motivasi ini diperlukan agar anak didik mau belajar. Pemberian motivasi merupakan hal penting yang harus dapat dilakukan oleh guru kepada siswa-siswanya. Hal tersebut dalam pandangan Djahiri (1990:23) sesuai dengan tugas dan peran guru sebagai motivator siswa. Melalui pemberian motivasi ini, siswa dapat terdorong untuk melakukan kegiatan belajar dengan baik.

Menurut Sanjaya (2006:19), peran guru adalah: “Sebagai sumber belajar, fasilitator, pengelola, demonstrator, pembimbing, dan evaluator”. Sebagai motivator guru harus mampu membangkitkan motivasi siswa agar aktivitas siswa dalam proses pembelajaran berhasil dengan baik.

Salah satu cara untuk membangkitkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran adalah dengan mengganti cara/model pembelajaran yang selama ini tidak diminati lagi oleh siswa, seperti pembelajaran yang dilakukan dengan ceramah dan tanya-jawab, model pembelajaran ini membuat siswa jenuh dan tidak kreatif. Suasana belajar mengajar yang diharapkan adalah menjadikan siswa sebagai subjek yang berupaya menggali sendiri, memecahkan sendiri masalah-masalah dari suatu konsep yang dipelajari, sedangkan guru lebih banyak bertindak sebagai motivator dan fasilitator. Situasi belajar yang diharapkan di sini adalah siswa yang lebih banyak berperan (kreatif).

(13)

13

Dalam tujuannya, PKn mengarahkan siwanya untuk berperan aktif dalam kehidupannya, sebagaimana menurut Sapriya (2001), bahwa tujuan PKn adalah :

Partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat.

Tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis..., Pancasilasejati” (Somantri, 2001:279). Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD NRI 1945.

Sementara itu, berkaitan dengan pemberian tugas dan latihan, terungkap bahwa guru memberikan tugas dan latihan yang berorientasi untuk melatih keterampilan berpikir kritis siswa, antara lain melalui tugas analisis kliping atau isu aktual dan pemecahan masalah. Setiap siswa dengan panduan pertanyaan guru akan dilatih untuk memecahkan setiap permasalahan aktual yang terjadi baik di lingkungan terdekat mereka maupun lingkungan yang lebih luas. Siswa juga dilatih bekerja secara kelompok (belajar kooperatif) dalam membahas isu-isu kewarganegaraan/kasus/permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar siswa.

Pemberian tugas dan latihan analisis isu aktual dan pemecahan masalah, diakui oleh siswa dapat melatih mereka untuk menggunakan daya kritis mereka. Sebab melalui kegiatan tersebut siswa terlatih untuk menanggapi setiap isu atau permasalahan aktual dan mencari pemecahannya segera, baik dilakukan sendiri-sendiri maupun dengan diskusi dalam kelompok-kelompok.

Melalui kegiatan belajar kelompok, setiap siswa dapat saling membantu satu sama lain dalam proses pembelajaran. Sebab kegiatan ini adalah strategi belajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok. Melalui diskusi-diskusi dalam kelompok, setiap siswa akan memiliki kesempatan yang sama untuk berpendapat mengeluarkan ide-ide atau gagasannya untuk menanggapi setiap persoalan yang ada. Dengan demikian upaya yang paling mungkin dilakukan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa adalah melalui latihan dan praktek.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa upaya yang dilakukan guru untuk mengatasi hambatan dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa adalah melalui pemberian motivasi belajar kepada siswa dan

(14)

14

pemberian tugas dan latihan analisis isu-isu kewarganegaraan aktual yang terjadi baik di sekitar lingkungan siswa, maupun lingkungan nasional dan internasional. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan, yang terdiri dari kesimpulan umum dan kesimpulan khusus. Adapun kesimpulan umum dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan berpikir kritis siswa, perlu membangun sarana dan prasarana di sekolah, pengetahuan yang harus dimiliki oleh guru PKn dan kemauan atau karsa yang harus lebih ditingkatkan oleh guru PKn.

Sedangkan kesimpulan khusus dalam penelitian ini diambil beberapa kesimpulan khusus yang dapat dirumuskan oleh penulis berdasarkan sejumlah temuan dalam penelitian adalah sebagai berikut: Pertama, pengembangan materi pembelajaran PKn dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan umum yang terkait dengan materi yang diajarkan. Kedua, untuk mengukur pencapaian keterampilan berpikir kritis siswa pada kompetensi pembelajaran PKn, guru menggunakan instrumen penilaian yang menekankan pada seluruh aspek kompetensi. Ketiga, hambatan ditemui yaitu terbatasnya pengetahuan dan informasi siswa dan rendahnya keberanian siswa untuk berpendapat. Keempat, dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut dengan memberikan tugas dan latihan analisis isu-isu kewarganegaraan serta memberikan motivasi kepada siswa untuk dapat belajar dengan baik.

Berdasarkan kesimpulan di atas, berikut ini peneliti kemukakan beberapa saran yang diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran PKn dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa di sekolah, khususnya di SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto. Rekomendasi disampaikan kepada pihak-pihak terkait, yaitu:

1. Guru Pendidikan Kewarganegaraan

a. Menggunakan berbagai strategi pembelajaran PKn yang variatif yang dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mata pelajaran PKn dan melatih siswa berpikir kritis.

b. Untuk lebih meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, hendaknya guru memberikan tugas dan latihan yang lebih variatif yang merangsang kemampuan berpikir siswa.

c. Untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, guru harus lebih banyak mengangkat materi-materi yang bersifat isu-isu kontroversial sehingga siswa terbiasa mengolah kemampuan dan potensi berpikirnya.

2. Siswa

a. Dalam proses pembelajaran di kelas, siswa diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dan kreatif, sehingga kegiatan pembelajaran PKn tidak menjenuhkan.

b. Siswa diharapkan tidak lekas merasa puas dengan nilai yang diperoleh, melainkan terus berusaha meningkatkan pengalaman belajar untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

(15)

15

c. selalu menggali informasi dari berbagai sumber, sehingga wawasan pengetahuannya semakin luas dan terlatih untuk berpikir kritis.

d. Dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis harus didukung dengan keterampilan membaca yang tertanam dalam diri siswa, oleh sebab itu siswa harus membiasakan kemampuan dan keterampilan membaca buku atau literatur lainnya.

3. Kepala Sekolah

a. Sebagai pihak yang sangat strategis dan memiliki otoritas dalam mengambil dan menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan pada tingkat sekolah, maka kepala sekolah diharapkan mempunyai komitmen untuk memperhatikan pengadaan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran, khususnya PKn yang diperlukan oleh pendidik. Kepala sekolah seyogyanya dapat memberi bimbingan, motivasi dan kesempatan seluas-luasnya kepada para guru untuk mengembangkan potensinya dan meningkatkan kompetensinya dalam melaksanakan pembelajaran, serta mencobakan berbagai model pembelajaran yang aktual, baik dalam wadah pengembangan profesional guru seperti kegiatan MGMP maupun kegiatan-kegiatan lain seperti penataran, seminar, dan sebagainya perlu terus diberdayakan.

b. Kepala sekolah disarankan untuk melakukan peningkatan kualitas serta frekuensi pembinaan yang berkesinambungan terhadap guru-guru PKn maupun guru lainnya, baik itu secara kekeluargaan maupun secara kedinasan. Sehingga kinerja guru-guru dapat dikontrol dengan baik. 4. Dinas Pendidikan

Untuk meningkatkan kemampuan profesional guru PKn, seyogyanya diperbanyak kegiatan-kegiatan pelatihan guru, termasuk pelatihan mengenai model-model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) dan model-model penilaian yang lebih komprehensif, pelatihan tersebut sebaiknya dipandu oleh tenaga-tenaga yang mempunyai kualitas dan kepakaran atau ahli pada bidangnya.

DAFTAR PUSTAKA

Branson, S Margaret. (1999). Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta: LkiS.

Budimansyah, Dasim. (2002). Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis

Portofolio. Bandung: PT Genesindo.

__________________. dkk (2004). Pedoman Evaluasi dan Hasil Belajar PKn

Sekolah Menengah. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar dan Menengah.

Cogan, J John and Raymond Derricott. (1998). Citizenship Education in 21st

Century. London: Kogan Page.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Pendekatan Kontekstual (Contextual

Teaching and Learning (CTL)). Jakarta: Direktoran Jenderal Pendidikan

(16)

16

Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kompetensi Standar Mata Pelajaran

Kewarganegaraan Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta.

Djahiri, A Kosasih. (1985). Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan

Games dalam VCT. Bandung: Jurusan PMPKN FPIPS IKIP Bandung.

________________. (2004). Memahami Makna dan Isi Pesan Pembelajaran dan

Portofolio Learning and Evaluation Based, PPs UPI.

_______________. (2007). Kapita Selekta Pembelajaran; Pembaharuan

Paradigma PKN – PIPS – PAI. Bandung: Lab. PMPKN FPIPS UPI

Bandung.

Djamarah, S.B dan Zain, A. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Fajar, Arnie. (2005). Portofolio dalam Pelajaran IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Fraenkel, Jack R dan Wallen, Norman E. (1990). How To Design and Evaluate

Research in Education. New York: Mc. Graw-Hill Publishing Company.

Izhab Hasoubah, Zaleha. (2004). Developing Creative and Critical Thingking

Skills (Cara Berpikir Kreatif dan Kritis). Bandung: Yayasan Nuansa

Cendikia.

Sapriya dan Winataputra, Udin S. (2003). Pendidikan Kewarganegaraan: Model

Pengembangan Materi dan Pembelajaran. Bandung: Lab. PKn FPIPS

UPI.

Sardiman, A.M. (2003). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Senjaya Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Standar Proses

Pendidikan. Jakarta : Kencana Prima

Somantri, Nu’man. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Usman, Moh. Uzer. (1995). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Wijaya, Cece. (1999). Pendidikan Remedial. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Winataputra, Udin S. (1999). Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai

Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi. Bandung: CICED.

________________. (2001). Jati Diri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai

Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi. Bandung: PPS UPI (Disertasi).

______________. dan Budimansyah, Dasim. (2007). Civic Education. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan.

Referensi

Dokumen terkait

Implementasi Gaya Mengajar Inklusi dalam Pembelajaran Aktivitas Permainan Bola Tangan, Studi PTK di kelas VII-D SMPN 26 Bandung.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Populasi dan sampel penelitian adalah seluruh anak usia 0-59 bulan di Kelurahan Tanjung Marulak, dengan mempergunakan ibu sebagai responden.Data primer dikumpulkan

Diese Ordnung findet auf Bewerberinnen und Bewerber Anwendung, die die Aufnahme des Studiums im Studiengang im englischen und deutschen Recht des University College London und

Für die Vergabe von Leistungspunkten muss die erbrachte Gesamtleistung der Modulprüfung mit mindestens der Note „ausreichend“ (4 Punkte nach dem Notensystem der Universität zu

Abstrak: Imam Solehudin, 2016, Tingkat Pemanfaatan Buku Teks dalam Proses Pembelajaran PKn untuk Meningkatkan Hasil Belajar Peserta Didik (Studi Deskriptif di Kelas VII

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 pasal 43 ayat 5 kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikan buku teks pelajaran dinilai oleh BSNP

4 des Gesetzes über die Hochschulen des Landes Nordrhein-Westfalen (Hochschulgesetz – HG) in der Fassung des Hochschulfreiheitsgesetzes (HFG) vom 31. 308) in Verbindung mit

The indings showed that the strat- egies used by the lecturers include using various texts, stimulating the students’ interest, asking critical questions, discussing