• Tidak ada hasil yang ditemukan

NABALANO NEMANDEMO : POTRET ANAKMUNA DALAM BUDAYANYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NABALANO NEMANDEMO : POTRET ANAKMUNA DALAM BUDAYANYA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

“NABALANO NEMANDEMO”:

POTRET ANAKMUNA DALAM BUDAYANYA

Heksa Biopsi Puji Hastutia, Rahmawatib, Zakiyah Mustafa Husbac Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara

Kompleks Bumi Praja, Jalan Haluoleo, Anduonohu, Kendari, Indonesia Pos-el: heksa.bph@gmail.com

Abstrak

Nyanyian rakyat sebagai produk budaya adalah gambaran dari masyarakat pemiliknya. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana potret anak Muna tergambarkan dalam nyanyian rakyat Muna, “Nabalano Nemandemo”? Tujuan penelitian ini adalah mengungkap posisi anak Muna dalam budayanya melalui pemaknaan nyanyian rakyat tersebut. Data berupa larik-larik syair nyanyian rakyat Muna “Nabalano Nemandemo”. Analisis data dilakukan dengan terlebih dahulu mengelompokan larik-larik data nyanyian berdasarkan relasi maknanya, lalu dilakukan pemaknaan dengan pendekatan hermeneutika Ricouer pada larik-larik dalam setiap kelompok relasi makna. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam nyanyian “Nabalano Nemandemo” seorang anak dipandang berada pada posisi yang istimewa dan harus senantiasa dijaga dengan segenap kemampuan. Anak adalah aset bagi masa tua ayah dan ibunya karena menjadi tumpuan harapan di masa tua.

Kata kunci: anak Muna, budaya, nyanyian rakyat, suku Muna.

“Nabalano Nemandemo” Potrait of Munanese Children in It’s Culture Abstract

Folksong as a cultural product becomes a reflection of the socio-cultural image of the people who own the culture. The problem raised in this research is how the portrait of Munanese children reflected in the folksong "Nabalano Nemandemo"? This research aims to reveal the positioning of Munanese children in cultural perspective through the meaning of this song. The data is in the form of lines in Munanese folksong, "Nabalano Nemandemo". Data analysis was carried out by first grouping chanting data arrays based on their meaning relations, then interpreting the interpretation using Ricoeur hermeneutic approach to the arrays in each group of meaning relations. The results of the data analysis show that in the cultural perspective of Muna, which is reflected in the song "Nabalano Nemandemo", a child is considered to be in a special position and must always be looked after to the best of his ability. Children are an asset to the parents because children become the foundation of hope in their old age.

Keyword: Munanese children, culture, folksong, Muna tribe

PENDAHULUAN

Anak-anak, dengan segala

keistimewaannya, memiliki tempat tersendiri bagi orang dewasa, baik yang

langsung karena pertalian darah dengan si anak maupun tidak. Pertalian darah paling inti adalah antara anak dan orang tua kandungnya dalam lingkungan keluarga

(2)

inti. Selanjutnya pertalian darah mengarah keluar pada lapis kedua, yaitu keluarga besar satu nenek, dan seterusnya hingga lapis-lapis berikutnya. Dalam konteks yang lebih makro, kehadiran anak teramat penting bagi keberlangsungan eksistensi sebah komunitas atau kelompok suku. Sudah menjadi fitrah makhluk hidup secara umum untuk selalu berupaya mempertahankan eksistensi dirinya, terlebih manusia yang digariskan sebagai khalifah di muka bumi. Manusia bereproduksi untuk tetap eksis dengan menghasilkan keturunan sebagai generasi penerus dan pewaris nama keluarga dan sukunya, tidak terkecuali bagi suku Muna di Sulawesi Tenggara.

Anak-anak memiliki posisi sebagai tumpuan harapan bagi masyarakatnya. Analog dengan kehidupan sebatang pohon, anak-anak ibarat tunas muda yang kelak melanjutkan proses berkehidupan, mengolah nutrisi untuk menghidupi seluruh bagian yang ada dalam pohon tersebut. Inilah proses penjaminan kelangsungan hidup sang pohon secara utuh. Kehadiran anak-anak menjadi penjamin keberlangsungan eksistensi kelompok masyarakatnya. Setiap kelompok masyarakat, terlebih kelompok masyarakat yang diikat dengan kesamaan budaya, memiliki sistem pemosisian dan model pengasuhan yang khas. Sistem atau model ini dapat dilihat dari sastra lisan sebagai salah satu produk budaya yang menjadi cerminan masyarakat pemiliknya. Dari sastra lisan sebuah kelompok masyarakat, dapat dilihat potret atau gambaran anak-anak bagi masyarakatnya.

Melalui nyanyian rakyat sebagai salah satu bentuk sastra lisan produk budaya, leluhur suku Muna menitipkan kearifan-kearifan yang sudah menjadi identitas budayanya sejak lama. Nyanyian

rakyat Muna sebagai salah satu produk budaya menjadi wahana bagi orang Muna tradisional untuk menyampaikan pesan atau sekadar mengungkapkan hasil pikir dan perasaannya. Suku Muna memiliki kekayaan budaya berupa nyanyian rakyat. Nyanyian mewarnai keseharian orang Muna sejak lama. Nyanyian ini tidak sekadar rangkaian bunyi yang disusun dan dilantunkan tanpa makna, banyak nilai- nilai luhur hasil pemikiran ditanamkan di dalamnya dan diturunkan dari generasi ke generasi.

Nyanyian rakyat Muna telah banyak dijadikan objek penelitian. Sebuah penelitian tentang kantola, sebuah prosa liris Muna yang lebih menyerupai nyanyian, mengungkapkan bahwa tema- tema kantola cukup beragam, dari kritik sosial hingga tema pelipur lara dan ekspresi emosional (Aderlaepe et al., 2006). Sementara itu, Rahmawati, Hastuti, & Husba (2010) melakukan penelitian dengan mengangkat permalasahan nilai dan fungsi nyanyian rakyat bagi suku Munadengan pendekatan hermeneutika. Dua publikasi Mulawati pada 2014 membahas nyanyian rakyat Muna sebagai objek dengan tinjauan dari aspek sosiologis dan posisinya sebagai pembentuk karakter bangsa. Dalam simpulannya, dikatakan bahwa nyanyian pengantar tidur bagi orang Muna memuat pesan tentang pentingnya ilmu, sedangkan nyanyian orang tua memuat pesan bagi anak-anaknya agar memiliki kasih sayang dan motivasi dalam hidup bermasyarakat (Mulawati, 2014a). Nyanyian rakyat Muna juga menyiratkan nilai-nilai karakter bangsa seperti disiplin, selalu bekerja keras, mandiri, kreatif, dan toleransi (Mulawati, 2014b). Hasnata (2016) dalam penelitiannya sampai pada simpulan bahwa mbue-bue, salah satu nyanyian rakyat Muna, mengandung nilai-

(3)

nilai pendidikan karakter, khususnya nilai pendidikan karakter religius, nilai pendidikan karakter kecerdasan, nilai pendidikan karakter kemandirian, nilai pendidikan karakter kesantunan, nilai pendidikan karakter ketangguhan, dan nilai pendidikan karakter kepedulian. Sementara itu, Munandar, Marafad, & Sahlan (2020) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa nyanyian rakyat bagi warga Muna memiliki fungsi sebagai didikan atau nasihat, simbol budaya, dan sebagai alat pemersatu. Dari sekian banyak penelitian yang sudah dilakukan, terlihat belum ada yang mengangkat permasalahan bagaimana posisi seorang anak Muna dalam perspektif budayanya, yang tercermin dari sebuah nyanyian rakyat. Penelitian ini sebagai upaya mengisi celah yang belum tergarap tersebut.

Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan, permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana potret anak-anak Muna dipandang dari perspektif budaya yang terefleksi dalam syair nyanyian “Nabalano Nemandemo”? Dengan berpijak pada permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan menguraikan gambaran bagaimana orang Muna memosisikan anak-anak dalam kehidupan di lingkungan keluarga. Mengingat nyanyian rakyat dalam masyarakat tradisional merupakan refleksi kehidupan komunal, gambaran yang diperoleh di dalamnya pun dapat dianggap mewakili refleksi kelompok. TEORI

Secara denotatif, istilah anak mengacu pada generasi kedua atau keturunan langsung yang dilekatkan pada makhluk hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan). Komponen makna lainnya, istilah anak mengacu pada sesuatu yang

kecil atau lebih kecil ketika digunakan pada benda. Sementara itu, makna konotatif dari istilah ini dapat mengacu pada beragam persepsi, bergantung pada konteks pembahasan. Istilah “anak” dapat melekat pada makhuk hidup maupun benda mati, misalnya pada kata anak kunci, anak bawang, anak gawang, dan lain-lain.

Bagaimana kriteria “anak” bagi manusia sebagai makhluk sosial? Pertanyaan awal ini erat kaitannya dengan pembahasan mengenai potret anak dalam beragam aspek sosial masyarakat, termasuk dalam perspektif budayanya. Dalam aspek hukum, beberapa undang- undang yang memuat tata aturan terkait anak menetapkan definisi “anak” yang dimaksudkan dalam pasal-pasal di dalamnya. Misalnya, dalam KUHP istilah anak ditujukan pada orang yang belum cukup umur (minderjarig), tetapi pada salah satu pasalnya (Bab IX pasal 45) tertulis batasan riilnya, yaitu sebelum berusia enam belas tahun. Undang-undang hukum lainnya, seperti undang-undang perkawinan dan undang-undang hukum pidana, memiliki kriteria dan batasan umur tersendiri untuk mengacu pada pribadi yang disebut “anak”. Sementara itu, dari perspektif keilmuan, bidang ilmu psikologi yang berkaitan erat dengan ranah sosial memiliki batasan usia tersendiri untuk kriteria “anak”. Batasan ini mengacu pada perkembangan kejiwaan individu manusia sesuai dengan usianya. Lester D. Crow, sebagaimana dikutip dalam Zulkifli L. (2012), membagi fase perkembangan manusia ke dalam tiga tahap, yaitu masa anak-anak ‘childhood’, masa kematangan ‘maturity’ dan masa dewasa ’adulthood’. Masa anak-anak mencakup rentang waktu sejak berada dalam kandungan, masa kelahiran, masa bayi, dan masa bersekolah sebelum menginjak tahap kematangan.

(4)

Masa kematangan adalah proses peralihan dari masa anak-anak menuju kedewasaan, sedangkan masa kedewasaan adalah fase perkembangan di mana manusia sudah dapat dikatakan dewasa secara kejiwaan. Dari pengertian ini, dapat disepakati bahwa yang termasuk dalam kriteria anak adalah manusia yang berada pada fase dalam kandungan, masa bayi, dan masa bersekolah, sebelum memasuki masa kematangan. Masa kematangan dalam pemahaman kultural secara umum ditandai dengan masa akil balig.

Nyanyian Rakyat dan Masyarakatnya Masyarakat berdinamika dalam kelompoknya melahirkan kebudayaan, baik produk berupa benda maupun bukan benda. Folklor menjadi bagian besar produk budaya dalam sebuah masyarakat. Di dalam folklor tercakup produk-produk tradisi masyarakat pendukungnya, seperti karya sastra, ritual adat, hukum, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang bersifat khas atau lokal. Folklor didefinisikan sebagai kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara lisan maupun contoh perilaku atau perbuatan berupa gerak, isyarat, atau disertai kelengkapan lainnya. Bagi masyarakat, tradisi bersifat mengikat anggotanya dalam satu kesatuan. Ikatan tradisi ini selanjutnya menjadi warna tersendiri yang khas bagi masyarakat pemiliknya. Tradisi bisa berupa tata aturan yang disertai sanksi bagi pelanggarnya, bisa juga berupa kebiasaan yang umum dilakukan, seperti kebiasaan menyanyikan nyanyian tertentu.

Brunvand (dalam Danandjaja, 1986) menyebut nyanyian rakyat sebagai salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri atas kata-kata dan lagu atau irama. Nyanyian rakyat beredar secara lisan. Karena kelisanannya, nyanyian rakyat memiliki banyak varian. Kata-kata dan

lagu atau rama dalam nyanyian rakyat membentuk satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan, tetapi selalu ada variasi dalam praktiknya. Misalnya, satu teks yang sama biasa dinyanyikan dengan irama berbeda dan sebaliknya, satu lagu atau irama digunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian yang berbeda. Sebagai produk budaya, nyanyian rakyat lahir sebagai hasil olah pikir penciptanya yang dalam hal ini adalah masyarakat secara komunal. Nyanyian rakyat digunakan secara fungsional sebagai media interaksi. Dengan demikian, nyanyian rakyat dapat digunakan sebagai bahan telusur untuk mengetahui gambaran kehidupan sosial masyarakat pemiliknya. Hermeneutika untuk Memahami Nyanyian Rakyat

Dalam kajian karya sastra, hermeneutika dipandang sebagai sebuah metode yang berfungsi untuk menafsirkan dan menginterpretasikan teks dan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Artinya, dalam kajian hermeneutika, sebuah teks selalu berkaitan dengan penafsiran makna yang terkandung dalam sebuah teks dengan menggunakan bahasa tertentu. Hermeneutika terikat pada dua kepentingan, yaitu memastikan isi dan makna sebuah elemen kebahasaan (kata, kalimat, teks, dan sebagainya) serta memahami instruksi-instruksi yang hadir dalam simbol-simbol (Bleicher, 2013). Menurut Ratna (2010), karya sastra menyediakan begitu banyak ruang dan peluang bagi pembaca untuk menafsirkan makna yang terkandung di dalamnya. Metode hermeneutika tidak mencari makna yang paling benar, melainkan mencari makna yang optimal.

Dalam kaitannya dengan telaah nyanyian rakyat, metode hermeneutika digunakan untuk menafsirkan makna dari

(5)

ujaran-ujaran yang dilantunkan dengan irama tertentu. Telaah ini akan berkaitan dengan isi sebuah nyanyian dengan berbagai permasalahan dalam masyarakat tertentu, seperti masalah sosial, agama, tradisi, ekonomi, atau masalah politik yang terjadi pada masanya. Nyanyian rakyat yang dilantunkan bukan semata-mata hanya untuk menjalankan fungsi menghibur dari sebuah karya seni sastra, tetapi terdapat pesan khusus yang ingin disampaikan melalui nyanyian tersebut.

Ada dua hal penting yang terkandung dalam sebuah teks, kaitannya dengan hermeneutika, yaitu isi laten dan isi komunikasi (Ratna, 2010). Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen atau naskah berupa tulisan dari bahasa tertentu. Nyanyian rakyat yang berbentuk tulis merupakan isi laten. Isi komunikasi adalah pesan yang terkandung dalam teks atau naskah. Ujaran yang mengandung pesan khusus saat dilagukan merupakan isi komunikasi dari teks nyanyian rakyat. Artinya, ada hubungan komunikasi yang terjadi antara pelantun lagu dengan yang mendengarkan. di sinilah penafsiran pesan teks diperlukan.

Hermeneutika Ricouer

Teori Ricouer tentang hermeneutika pada awalnya ditekankan pada penafsiran dan pemahaman pada sejumlah disiplin ilmu. Selanjutnya, toeri tersebut dipakai untuk membandingkan dan membedakan penafsiran dan pemahaman berdasarkan fungsi penafsiran pada disiplin ilmu yang berbada-beda tersebut, seperti psikoanalisis, fenomenolgi, dan kritik sastra. Menurut Ricouer, simbol-simbol yang ada dalam kebudayaan senantiasa menyembunyikan makna dan intensionalitas ganda.

Karya sastra sebagai salah satu bagian dari hasil kebudayaan, secara tidak

langsung mengandung simbol-simbol khusus yang bisa dimaknai dengan cara khusus pula. Nyanyian rakyat merupakan hasil sastra yang kedudukan dan fungsinya memegang peran penting dalam masyarakat. Dengan kata lain, nyanyian rakyat tersusun atas struktur yang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yamng menjadi panutan masyarakat penghasilnya. Hermeneutika Ricouer merupakan strategi yang sesuai untuk menafsirkan dan menyingkap makna harfiah dan makna batin dari simbol-simbol yang terkandung dalam sebuah karya sastra, seperti halnya nyanyian rakyat. Hermeneutika Ricoeur digunakan untuk menafsirkan teks-teks sastra secara umum yang setiap teks memiliki komponen, struktur bahasa, dan semantik yang berbeda-beda. Pada nyanyian rakyat, terdapat teks yang harus dibedakan antara bahasa sastra dan nonsastra, bahasa puitik dan nonpuitik, bahasa simbolik dan nonsimbolik.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data berupa nyanyian rakyat Muna yang memuat gambaran tentang anak-anak, yaitu “Nabalano Nemandemo”. Adapun pendekatan hermeneutika Ricouer digunakan untuk memberikan penafsiran guna menangkap potret anak-anak Muna yang terepresentasi dalam nyanyian rakyat. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa nyanyian rakyat Muna “Nabalano Nemandemo”. Nyanyian ini biasa dinyanyikan oleh orang tua untuk anaknya. Data berasal dari laporan penelitian awal yang dilakukan pada tahun 2010 (Rahmawati et al., 2010). Nyanyian rakyat Muna yang merefleksikan posisi anak

(6)

adalah nyanyian yang biasa didendangkan oleh orang-orang tua untuk anak-anaknya ataupun nyanyian yang biasa didendangkan oleh anak-anak itu sendiri. Nyanyian “Nabalano Nemandemo“ yang biasa dinyanyikan oleh orang tua dijadikan data penelitian dengan pertimbangan lebih bisa mewakili pemosisian anak-anak Muna dalam budayanya. Nyanyian yang biasa didendangkan orang-orang tua untuk anaknya dipandang lebih mewakili perspektif budaya Muna dibanding nyanyian yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak. Data berupa larik-larik nyanyian “Nabalano Nemandemo” dikelompokkan menurut keterkaitan maknanya. Ada tiga kelompok makna yang pada tahap selanjutnya dilakukan pembacaan untuk menemukan makna dari setiap lariknya. Dari hasil pemaknaan, diperoleh simpulan yang merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Nyanyian Rakyat Muna “Nabalano Nemandemo”

Dalam berbagai situasi, masyarakat tradisional Muna kerap mengisi kesehariannya dengan menyanyi (Aderlaepe, 2017). Nyanyian “Nabalano Nemandemo” umumnya disenandungkan oleh orang tua, baik ayah-ibu, maupun orang tua dalam arti orang yang merawat anak. Nabalano nemandemo artinya “Sayangku kepada Anak-Anak”. Nyanyian ini lahir dan hidup pada masyarakat Muna. Sebagai produk budaya yang hidup, walaupun sekarang sudah mulai tergusur oleh lagu-lagu yang lebih pop, nyanyian ini layak menjadi media penelusuran untuk memperoleh gambaran potret anak-anak Muna bagi masyarakatnya. Nyanyian yang pada masa lalu sering dinyanyikan oleh orang-orang

tua Muna, umumnya ibu, ketika mengisi waktu senggang sembari menemani anak- anaknya bermain atau sebagai nyanyian pengantar tidur ini memuat lirik yang terdiri atas satu bait yang biasa diulang- ulang dalam menyanyikannya. Dari untaian kata-kata yang tersusun indah ini tergambar bagaimana orang tua suku Muna memosisikan anak-anaknya. Berikut ini lirik nyanyian “Nabalano Nemandemo” yang dikutip dari Rahmawati et al. (2010).

NabalanoNemandemo

La ana wa ana Ambue-mbueko

Natiara laangka wasamo La ana wa ana

Ae lau-lagu angko

Amampeko tetana mbu-mbuku Amolateko nebakeku

Tumolaangko nekawasano Nalomoa loaku ghule To malanimo saide tomakule Ane mani nabala na mande Soka lolino bhuku maani Rumato neoa lea hitu

Terjemahan:

Sayangku Kepada Anak-anak sayangku hai anak-anak

saya timang-timang jika kau besar nanti sayangku hai anak-anak saya nyanyikan

saya angkat di ubun-ubunku kutempatkan di hatiku saya berdoa pada Tuhanku agar terlepas dari mulut ular

begitulah cita-cita kami kami orangtuamu anak kami besar dan pandai

untuk pengganti generasi penerus setelah kami tak kuat lagi

Pada nyanyian “Nabalano Nemandemo” ada larik-larik yang letaknya tidak berurutan yang membentuk satu bagian relasi makna.Untuk memahami dan

(7)

memberikan interpretasi pada nyanyian ini, kelompok-kelompok makna pada tabel 1 direlasikan satu sama lain sehingga membentuk bagian-bagian pemaknaan yang saling terhubung. Ada tiga bagian relasi makna dalam nyanyian “Nabalano Nemandemo”. Kelompok makna pertama memuat ungkapan kasih sayang orang tua kepada anaknya, terdiri atas larik 1, larik 2, larik 4, dan larik 5. Bagian kedua memuat

posisi anak bagi orang tua di Muna, terdiri atas larik 6 dan larik 7. Bagian ketiga memuat harapan orangtua yang digantungkan orang tua bagi anaknya, terdiri atas larik 8, larik 3, larik 9, larik10, larik 11, larik 12, dan larik13.Tabel 1 berikut ini memuat larik-larik data nyanyian “Nabalano Nemandemo” berdasarkan kelompok makna. Tabel 1

Pengelompokan data berdasarkan substansi makna Kelompok

makna

Substansi Larik data

Kelompok pertama

Ungkapan/seruan rasa sayang orang tua kepada anaknya

Larik 1, 2, 4, dan 5

La ana wa ana ‘sayangku hai anak-anak’

(1)

Ambue-mbueko ‘saya timang-timang’ (2) La ana wa ana ‘sayangku hai anak-anak’

(4)

Ae lau-lagu angko ‘saya nyanyikan’ (5)

Kelompok kedua

Ungkapan rasa sayang orang tua kepada anaknya yang menunjukkan pemosisian anak

Larik 6 dan7

Amampeko tetana mbu-mbuku ‘saya

angkat di ubun-ubunku’ (6)

Amolateko nebakeku ‘kutempatkan di

hatiku’ (7) Kelompok

ketiga -

Ungkapan orang tua yang menunjukkan harapan terhadap anaknya:

- Harapan untuk keselamatan anak saat dewasa nanti. - Harapan orang tua terhadap

sang anak sebagai generasi penerus, tempat bersandar di hari tuanya.

Larik 8, 3, 9, 11, 12, 13, dan 10

Tumolaangko nekawasano ‘saya berdoa

pada Tuhanku’ (8)

Natiara laangka wasamo ‘jika kau besar

nanti‘ (3)

Nalomoa loaku ghule ‘agar terlepas dari

mulut ular’ (9)

Ane mani nabala na mande ‘anak kami

besar dan pandai’ (11)

Soka lolino bhuku maani ‘untuk pengganti

generasi penerus’ (12)

Rumato neoa lea hitu ‘setelah kami tak

kuat lagi’ (13)

To malanimo saide tomakule ‘begitulah

cita-cita kami kami orangtuamu’ (10) Nyanyian “Nabalano Nemandemo”

tersusun atas larik-larik kalimat yang

memenuhi kaidah puitis, di antaranya dengan penempatan larik yang secara

(8)

makna tidak beralur linear. Permainan kronologi dalam larik-larik lagu ini menunjukkan alur yang “tidak biasa” sehingga menimbulkan pengalaman yang menarik bagi penikmatnya. Alur seperti ini di dalam prosa biasa disebut alur sorot balik atau flashback. Penikmat lagu diarahkan pemahamannya sedemikian rupa sehingga dapat merasakan perasaan orang tua terhadap anaknya. Melalui naik- turunnya alur, pesan yang utuh tetap dapat disampaikan dalam kemasan nyanyian ini. Kelompok Makna Pertama: Ungkapan Rasa Sayang Orang Tua Kepada Anaknya

Kelompok makna pertama, yaitu larik 1 dan larik 2 berisi kalimat yang sama, yaitu /La ana wa ana ‘sayangku hai anak-anak’/. Kalimat ini secara harafiah merujuk pada panggilan untuk anak perempuan dan anak laki-laki. Orang Muna mengenal penamaan khusus berdasar jenis kelamin, yaitu nama yang diawali dengan kata “La” merujuk pada nama laki-laki dan nama yang diawali dengan kata “Wa” merujuk pada nama perempuan, meskipun belakangan penggunaan “La” dan “Wa” ini ditengarai relatif memudar (Fariki, 2005). Kalimat ungkapan kasih sayang terhadap anak dalam nyanyian“Nabalano Nemandemo” ini menunjukkan bahwa nyanyian ini diperuntukkan baik untuk anak perempuan maupun anak laki-laki, tidak ada pembedaan di antara keduanya. Kerap dijumpai lirik syair atau puisi yang hanya menampilkan sebutan, panggilan, bahkan nama seseorang untuk mewakili rasa sayang dan cinta kasih yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Justru pemunculan satu aspek nama atau sebutan ini memiiki nilai rasa yang tidak ternilai. Kebahagiaan orang tua secara tidak

langsung tersirat dari kedua larik pertama nyanyian “Nabalano Nemandemo” ini.

Selanjutnya, larik 2 /Ambue-mbueko

‘saya timang-timang’/ dan larik 5 /Ae lau- lagu angko ‘saya nyanyikan’/ berisi

kalimat ungkapan rasa sayang yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan. Dalam kedua larik ini tersurat aktivitas orang tua menimang dan menyanyikan lagu untuk sang anak. Perbuatan “menimang” secara makna biasa dilakukan pada anak yang masih kecil dan masih digendong-gendong oleh orang tuanya, sekira dalam rentang usia 0--2 tahun. Sementara itu, perbuatan “menyanyikan” biasa dilakukan pada anak-anak yang rentang usianya lebih panjang dari 0--2 tahun. Banyak faktor yang turut memengaruhi seorang orang tua menyanyi dan “menyanyikan lagu”, seperti faktor kebiasaan, faktor waktu luang, dan faktor- faktor lain yang sangat mungkin berbeda antara orang tua yang satu dengan lainnya. Kelompok Makna Kedua: Ungkapan Rasa Sayang Orang Tua Kepada Anaknya yang Menunjukkan Pemosisian Anak

Kelompok makna kedua secara substantif memuat ungkapan rasa sayang orang tua kepada anaknya yang menunjukkan bagaimana orang tua memosisikan anaknya. Kelompok ini terdiri atas dua larik, yaitu larik 6 /Amampeko tetana mbu-mbuku ‘saya

angkat di ubun-ubunku’/ dan larik 7 /Amolateko nebakeku ‘kutempatkan di hatiku’/. Ubun-ubun berada di kepala bagian atas. Bisa dikatakan ubun-ubun adalah tempat tertinggi dalam tubuh manusia. Bagian ini begitu dilindungi sejak saat manusia dilahirkan. Biasanya, ubun- ubun bayi ditutupi kain atau topi untuk mencegah masuk angin. Metafora ubun-

(9)

ubun menunjukkan betapa berharganya seorang anak bagi orang tuanya. Orang tua akan rela menjaga anaknya dengan sepenuh jiwa dan raga. Pada larik 6, terdapat kalimat yang memperlihatkan juga posisi anak bagi orang tuanya, yaitu di hati. Hati adalah organ badan yang terletak di bagian kanan atas rongga perut dengan fungsi yang sangat krusial bagi keberlangsungan hidup. Hati dalam arti harfiah pun sudah menunjukkan betapa penting posisi anak bagi orang tuanya. Namun, kata “hatiku” dalam larik ini lebih mangacu pada istilah “hati” yang tidak bersifat fisik. “Hati” dalam nyanyian “Nabalano Nemandemo” merupakan bagian dalam diri yang menjadi tempat segala macam perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian, perasaan, dan sebagainya. Kedua larik dalam kelompok makna kedua ini secara lengkap memuat substansi pemosisian anak bagi orang tuanya, yakni pada tempat yang sangat istimewa. Tempat tersebut istimewa baik dari sisi perlakuan maupun fungsinya.

Kelompok Makna Ketiga: Ungkapan Orang Tua yang Menunjukkan Harapan Terhadap Anak

Kelompok makna ketiga merupakan inti dari nyanyian “Nabalano Nemandemo”. Dalam kelompok makna ini ada tujuh larik yang saling berelasi. Untuk dapat membaca makna yang dimaksud di dalam nyanyian ini, ketujuh larik tersebut disusun tidak berdasarkan urutan dalam nyanyian. Urutan awal kelompok makna ketiga adalah /Tumolaangko nekawasano

‘saya berdoa pada Tuhanku’/ (larik 8).

Larik 8 menunjukkan perbuatan yang dilakukan oleh orang tua, yakni berdoa kepada Tuhan, sebagai perwujudan ungkapan kasih sayang terhadap sang anak yang terdapat pada kelompok makna

pertama dan kelompok makna kedua. Selanjutnya adalah larik 3 /Natiara laangka

wasamo ‘jika kau besar nanti‘/ dan larik 13

/Rumato neoa lea hitu ‘setelah kami tak kuat lagi’/. Kedua larik ini menunjukkan latar waktu untuk isi doa orang tua dapat terwujud. Waktu yang dimaksud diekspresikan dari dua arah. Arah pertama adalah dari sisi anak, yaitu pada saat sang anak besar nanti. Arah kedua adalah dari sisi orang tua, yaitu pada saat orang tua sudah lemah, tidak kuat lagi untuk bekerja. Rentang waktu yang cukup jauh antara pengucapan doa (saat orang tua menyanyikan “Nabalano Nemandemo”) dengan saat doa itu diharapkan terkabul (saat sang anak besar nanti dan orang tua sudah tidak kuat lagi) menunjukkan kesungguhan hati. Doa-doa disemai sejak anak masih kecil, dengan harapan kelak dapat menuai hasilnya. Selain itu, nyanyian ini tidak hanya sekali dinyanyikan untuk anak. Orang tua dapat menyanyikannya berkali-kali. Berkali-kali pula doa-doa dan harapan dipanjatka kepada Tuhan untuk sang buah hati.

Selanjutnya, larik 9, larik 11, dan larik 12 memuat doa dan harapan orang tua bagi anaknya. Pertama, larik 9 /Nalomoa

loaku ghule ‘agar terlepas dari mulut

ular’/merupakan doa orang tua agar sang anak selamat dari mulut ular. Ular sudah lazim diidentikkan dengan perumpamaan perilaku culas dan licik. Perumpamaan ini tidak terlepas dari sifat ular, walau tidak semua jenis ular, yaitu berbisa. Melalui larik 9 nyanyian “Nabalano Nemandemo” ini orang tua meminta Sang Mahakuasa melindungi anaknya dari tipu daya pihak lain kelak saat sudah besar. Orang tua mengharapkan anaknya berada pada lingkungan orang-orang baik dan jujur. Selain kondisi lingkungan yang baik, orang tua juga melambungkan harapan agar

(10)

pribadi si anak tumbuh dengan kualitas yang baik pula. Larik 11 /Ane mani nabala

na mande ‘anak kami besar dan pandai’/

menunjukkan harapan ini. Pada larik 11 terkandung kualitas yang meliputi kondisi fisik dan psike. Kondisi fisik diekspresikan dengan kata “besar”, sedangkan kondisi psike diungkapkan dengan kata yang lebih konkret, yaitu “pandai”.

Segala harapan dan doa-doa yang telah dipanjatkan dalam larik-larik nyanyian “Nabalano Nemandemo” bermuara pada satu harapan besar. Harapan besar ini termaktub dalam larik 12 /Soka

lolino bhuku maani ‘untuk pengganti

generasi penerus’/. Bereproduksi adalah fitrah makhluk hidup, termasuk manusia, dalam mempertahankan eksistensinya di muka bumi. Manusia sebagai makhluk sosial tidak hanya berupaya mempertahankan eksistensi spesiesnya sebagaimana makhluk hidup lain, tetapi jauh lebih kompleks dari itu. Ada berbagai aspek dalam dirinya yang diupayakan tetap bertahan melalui kehadiran seorang anak, seperti nama keluarga, kedudukan sosial, kekuasaan, dan kedudukan ekonomi. Selain itu, bagi manusia anak menjadi tumpuan harapan di hari tua dan menjadi lemah. Makna penutup nyanyian tidak terletak pada larik terakhir, melainkan pada larik 10 /To malanimo saide tomakule ‘begitulah cita-cita kami kami orangtuamu’/. Larik yang menutup secara makna ini menegaskan bahwa kalimat-kalimat yang terdapat pada nyanyian “Nabalano Nemandemo” merupakan keinginan yang diharapkan dapat terwujud.

Potret Anak Muna dalam Nyanyian “Nabalano Nemandemo”

Sebagaimana tunas pada pokok pisang dan bunga-bunga yang menghasilkan buah dan biji sebagai hasil

penyerbukan yang menjadi harapan munculnya individu baru yang siap menggantikan pokok lama yang tidak produktif lagi dan bergerak menuju kematiannya. Itulah harapan besar orang- orang tua di Muna yang tercetus dalam nyanyain “Nabalano Nemandemo”. Nyanyian tersebut” menggambarkan ungkapan perasaaan kasih sayang yang dimiliki oleh seorang ibu atau ayah kepada anaknya. Anak merupakan buah hati, pelepas lelah, penerus keturunan, dan harapan orang tua di masa depan. Waktu kecil seorang anak ditimang-timang. Orang tua berusaha menumpahkan kasih sayangnya kepada anak. Anak dibelai dan dibuai oleh orang tua. Segenap kemampuan dikerahkan untuk memenuhi kebutuhan sang anak serta menjaganya dari berbagai marabahaya. Saat sudah tumbuh besar, tidak kurang upaya orang tua utuk menjaga anaknya melalui doa-doa kepada Tuhan agar selalu berada di lingkungan yang baik dengan pencapaian yang baik pula.Meskipun kelak karena tuntutan pekerjaan sang anak pergi meninggalkan orang tua di kampung halaman, doa-doa dan harapan baik selalu diberikan oeh orang tua. Anak menjadi harapan bagi orang tua sebagai generasi penerus dan harapan penjagaan jika kelak mereka sudah tua.

PENUTUP

Dalam perspektif budaya Muna yang terefleksi dari nyanyian “Nabalano Nemandemo”, seorang anak dipandang berada pada posisi yang istimewa dan harus senantiasa dijaga dengan segenap kemampuan. Anak adalah aset bagi masa tua ayah dan ibunya. Sebagai tumpuan harapan, anak selalu dijaga dengan sepenuh hati oleh orang tuanya, sejak masih berada dalam buaian hingga saat sudah dewasa.

(11)

Saat masih kanak-kanak, bentuk penjagaan orang tua kepada anaknya adalah dengan pelibatan aktivitas fisik, tergambar dari kata menimang, menyanyikan, memosisikan anak di ubun-ubun, dan memosisikan anak di hati. Setelah sang anak besar, bentuk penjagaan tercurah dalam bentuk doa-doa

DAFTAR PUSTAKA

Aderlaepe. (2017). Sejarah dan Kebudayaan Muna (Mursalim (ed.)).

Daulat Press Jakarta.

Aderlaepe, Rohmana, & Sukmawati. (2006). Analisis Semiotik atas Lirik

Kantola: Sastra Lisan Daerah Muna.

Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Bleicher, J. (2013). Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik (A. N. P.

(penerjemah) (ed.)). Fajar Pustaka. Danandjaja, J. (1986). Folklor Indonesia.

Grafitipers.

Fariki, L. (2005). Sejarah Islam, Kata

“La” di Depan Nama Pria dan “Wa” di Depan Nama Wanita di Sulawesi Tenggara. Unhalu Pers.

Hasnata. (2016). Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Nyanyian Rakyat Mbue-Bue pada Masyarakat Muna.

Jurnal Bastra, 3(3), 1–18.

Mulawati. (2014a). Aspek Sosiologis Nyanyian Pengantar Tidur Rakyat Muna. Kandai, 10(2), 190–202. Mulawati. (2014b). Nilai Karakter Bangsa

dalam Nyanyian Rakyat Muna. Sirok

Bastra, 2(2), 201–210.

Munandar, Marafad, S., & Sahlan. (2020). Nyanyian Rakyat Dalam Konteks Pendidikan Karakter Bagi Masyarakat Muna (Kajian Semiotik). Jurnal

Pendidikan Bahasa, 9(1), 52–62.

Rahmawati, Hastuti, H. B. P., & Husba, Z. M. (2010). Tinjauan Hermeneutika

terhadap Nyanyian Rakyat Muna.

Ratna, N. K. (2010). Teori, Metode, dan

Teknik Penelitian Sastra. Pustaka

Pelajar.

Zulkifli L. (2012). Psikologi Perkembangan. Remaja Karya.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: indikasi program untuk perwujudan kawasan lindung yang terdiri dari: kawasan yang memberikan perlindungan terhadap

Pandangan ini menyatakan bahwa konflik tidak hanya menjadi kekuatan positif di dalam kelompok, tetapi justru mutlak perlu bagi kelompok agar dapat menghasilkan kinerja yang

(ada saat terjadinya perkembangan sel kelamin, sel ini mulai mengalami mitosis, dan menghasilkan generasi sel-sel yang baru. Sel- sel yang baru dibentuk dapat mengikuti satu dari

Dengan mengetahui nilai rata-rata INP pada setiap tingkat pertumbuhan vegetasi mangrove yang terdapat di Desa Khatulistiwa, selanjutnya ditentukan nilai dari potensi

Kesiapan Masyarakat Terhadap Pembangunan Jalan Tol Cileunyi – Sumedang – Dawuan di Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang1. Universitas Pendidikan Indonesia |

Dengan cuci tangan pakai sabun dapat mencegah kuman penyakit dan merupakan salah satu intervensi kesehatan yang paling mudah, murah, efektif, dan telah

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semua sampel minyak dalam keadaan cair pada suhu ruang (±27ºC) namun ketika pada suhu rendah (±5ºC) terjadi perubahan fase pada beberapa