• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyusunan Analisis Indikator Ekonomi Makro Kota Bekasi Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyusunan Analisis Indikator Ekonomi Makro Kota Bekasi Tahun 2011"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

3-17 berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan,

dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia (bisa juga digunakan untuk Daerah). IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah

negara (daerah) adalah negara (daerah) maju, negara (daerah) berkembang atau negara (daerah) terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.

Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel india Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak itu dipakai oleh Program pembangunan PBB pada laporan IPM tahunannya.

IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara (daerah) menjadi 3 (tiga) dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu sebagai berikut:

1. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran.

2. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).

3. Standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita dalam Paritasi Daya Beli (Purchasing Power Varity)

Berikut ini adalah formula serta tahapan yang seringkali digunakan dalam proses perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM):

*) Tahap pertama penghitungan IPM adalah menghitung indeks

masing-masing komponen IPM, yaitu:

ü X1 = Indeks Angka Harapan Hidup

(2)

3-18 ü X3 = Indeks Standar Hidup Layak (Konsumsi per Kapita/ PPP)

Keterangan:

Xi = Indikator komponen pembangunan manusia ke-i, i= 1,2,3 Xmin = Nilai minimum Xi

Xmax = Nilai maksimum Xi

*) Tahap kedua perhitungan IPM adalah menghitung rata-rata sederhana dari

masing-masing indeks Xi dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan;

X1 = Indeks Angka Harapan Hidup

X2 = 2/3 (Indeks Melek Huruf) + 1/3 (Indeks Rata-rata Lama Sekolah) X3 = Indeks Konsumsi perkapita yang disesuaikan (PPP)

*) Tahap ketiga adalah menghitung Reduksi Shortfall, yang digunakan untuk

mengukur kecepatan perkembangan nilai IPM dalam suatu kurun waktu tertentu.

r = {(IPM t+n – IPM t) / (IPM ideal – IPM t) x 100} 1/n

Keterangan:

IPM t = IPM pada tahun t Xi-Xmin Indeks (Xi) = Xmax-Xmin (X1+X2+X3) IPM = 3

(3)

3-19

IPM t+n = IPM pada tahun t+n IPM ideal = 100

3.2. METODOLOGI PENELITIAN

Sesuai dengan pendapat diatas, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dimana menurut Suharsimi Arikunto (1990), metode deskriptif adalah pengumpulan informasi mengenai suatu gejala yang ada, yaitu keadaan menurut apa adanya pada saat penelitian dilaksanakan.

Menurut Nazir, M. (1999:63) pendekatan analisis deskriptif kuantitatif yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang, mempunyai tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki..

Artinya, bahwa penelitian ini hanya difokuskan pada wilayah Kota Bekasi. Sementara itu, permasalahan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, dijawab melalui teknik dan prosedur mendeskripsikan berbagai data kuantitatif empirik pada Kota Bekasi.

A. Teknik Pengumpulan data

1. Sumber Data

Sesuai dengan jenis data yang digunakan yaitu data sekunder, pengumpulan yang dilakukan dalam hal ini yaitu dengan menelaah data-data sekunder yang ada dalam berbagai dokumen resmi Pemerintah Daerah. Dokumen resmi yang digunakan terutama adalah adalah:

a. Kota Bekasi Dalam Angka beberapa edisi (2005-2011), yang diterbitkan oleh Kantor Statistik Kota Bekasi;

b. Dokumen Laporan Pertanggungjawaban Walikota Bekasi, beberapa tahun (2005-2011);

(4)

3-20 c. Hasil penelitian sebelumnya tentang “Penyusunan Indikator Makro

Ekonomi Kota Bekasi Tahun 2011” yang dilakukan oleh Pemerintah

Kota Bekasi.

d. Dokumen-dokumen terkait lainnya.

2. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data sekunder yang diperlukan, penulis melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Studi kepustakaan yaitu dengan membaca litelatur-litelatur bidang ekonomi dan pembangunan yang digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dan teori yang sesuai dengan topik penelititan.

b. Penelitian dokumenter yaitu dengan menelaah dan menganalisa laporan-laporan mengenai ekonomi dan pembangunan yang diterbitkan diantaranya oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeda, LKPJ Walikota dan dokumen lainnya.

B. Model dan Teknik Analisis Data

1. Alat Analisis

a. Teknik komparatif

Teknik komparatif dimaksudkan untuk membandingkan kinerja pembangunan indikator makro ekonomi wilayah Kota Bekasi dengan Kota-kota sebanding lainnya dan terdekat dalam wilayah Kota Bekasi, seperti Jabodetabek ataupun Jawa Barat.

b. Teknik Pertumbuhan

Teknik pertumbuhan dilakukan untuk melihat pertumbuhan dari beberapa indikator kinerja pembangunan selama periode pengamatan. Formulasi pertumbuhan yang digunakan sebagai berikut:

(5)

3-21 X(t) – X(t-1) G = X(t-1) Keterangan: G = growth (pertumbuhan)

X (t) = variable perhitungan pada waktu t X (t-1) = variable perhitungan pada waktu (t-1)

c. Perhitungan Trend

Trend merupakan suatu gerakan kecenderungan naik atau turun dalam jangka panjang yang diperoleh dari rata-rata perubahan dari waktu ke waktu dan nilainya cukup rata (smooth). Menghitung nilai trend dapat dilakukan dengan beberapa metode, dalam tulisan ini akan disampaikan 2 (dua) metode yang paling sering digunakan yaitu:

1) Metode Kuadrat Terkecil (Least Square Method)

Perhitungan nilai trend dengan metode ini juga biasa disebut dengan metode linier yang dilakukan dengan menggunakan persamaan:

YX = a + bX

Keterangan:

Y adalah data time series periode X X adalah waktu ( tahun)

a dan b adalah bilangan konstan (nilai a dan b diperoleh dari): a = ΣY / n atau a = Y

(6)

3-22 2) Metode Trend Kuadratis (Quadratic Trend Method)

Menghitung nilai trend dengan metode ini dilakukan dengan menggunakan persamaan:

YX = a + bX + cX²

Keterangan:

Y adalah data time series periode X X adalah waktu (tahun)

a, b dan c adalah bilangan konstan (nilai a dan b diperoleh dari): a = ((ΣY)(ΣX². X²)-(Σ X².Y)(Σ X²)) / n(ΣX². X²)-(ΣX²)²

b = ΣX.Y / Σ X²

c = (n.(Σ X².Y)-(Σ X²)(ΣY)) / n(ΣX². X²)-(Σ X²)²

Untuk menentukan metode yang paling baik dari metode tersebut harus dipilih metode yang mempunyai derajat kesalahan paling kecil yaitu yang mempunyai selisih antara data asli (actual) dengan hasil estimasi (trend) yang paling kecil. Untuk mengukurnya dilakukan dengan menggunakan persamaan perhitungan nilai trend dapat juga dilakukan dengan menggunakan software SPSS atau Eviews, dan untuk menentukan metode yang paling baik adalah memilih metode yang mempunyai nilai Standard Error paling kecil dan R-square yang paling besar.

C. Uji Statistik

1. Regresi Linier

Untuk mengukur seberapa dekat model regresi yang terestimasi dengan data sesungguhnya atau seberapa besar pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan suatu ukuran yang

(7)

3-23 disebut dengan Koefisien Determinasi (R2). Rumus R2 (Dominic Salvatore, 2001:161) adalah sebagai berikut:

_ ∑ (Ŷt – Y )2 R2 = _________ _ ∑ (Yt – Y )2 Keterangan :

R2 = Nilai koefisien determinasi

Yt = Variabel terikat pada observasi ke-t

Ŷt = Estimasi nilai Yt

Ϋ = Nilai rata-rata dari Y

Nilai koefisien determinasi (R2) ini mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel terikat (Y) dapat diterangkan oleh variabel bebas (X). Bila R2=0, artinya variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh variabel bebas X sama sekali. Sementara bila R2=1, maka variasi Y secara

keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel bebas X, atau bisa dikatakan bahwa semua titik pengamatan berada tepat pada garis regresi. Dengan demikian nilai R2 dapat diasumsikan sebagai nilai antara

0 dan 1, dimana nilai R2 semakin mendekati 1 semakin baik suatu persamaan regresi tersebut.

2. Koefisien Korelasi (R)

Analisis koefisien korelasi (R) Yaitu untuk melihat besarnya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu teknik pengukuran asosiasi/ hubungan (measures of association). Pengukuran asosiasi merupakan istilah umum yang mengacu pada sekelompok teknik dalam statistik bivariat yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel.

(8)

3-24 Diantara sekian banyak teknik-teknik pengukuran asosiasi, terdapat dua teknik korelasi yang sangat populer sampai sekarang, yaitu Korelasi Pearson Product Moment dan Korelasi Rank Spearman. Selain kedua teknik tersebut, terdapat pula teknik-teknik korelasi lain, seperti Kendal, Chi-Square, Phi Coefficient, Goodman-Kruskal, Somer, dan Wilson.

Pengukuran asosiasi mengenakan nilai numerik untuk mengetahui tingkatan asosiasi atau kekuatan hubungan antara variabel. Dua variabel dikatakan berasosiasi jika perilaku variabel yang satu mempengaruhi variabel yang lain. Jika tidak terjadi pengaruh, maka kedua variabel tersebut disebut independen.

Korelasi bermanfaat untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel (kadang lebih dari dua variabel) dengan skala-skala tertentu, misalnya Pearson data harus berskala interval atau rasio; Spearman dan Kendal menggunakan skala ordinal; Chi Square menggunakan data nominal. Kuat lemah hubungan diukur diantara jarak (range) 0 sampai dengan 1. Korelasi mempunyai kemungkinan pengujian hipotesis dua arah (two tailed).

Korelasi searah jika nilai koefesien korelasi diketemukan positif; sebaliknya jika nilai koefesien korelasi negatif, korelasi disebut tidak searah. Yang dimaksud dengan koefesien korelasi ialah suatu pengukuran statistik kovariasi atau asosiasi antara dua variabel. Jika koefesien korelasi diketemukan tidak sama dengan nol (0), maka terdapat ketergantungan antara dua variabel tersebut. Jika koefesien korelasi diketemukan +1, maka hubungan tersebut disebut sebagai korelasi sempurna atau hubungan linear sempurna dengan kemiringan (slope) positif. Jika koefesien korelasi diketemukan -1. maka hubungan tersebut disebut sebagai korelasi sempurna atau hubungan linear sempurna dengan kemiringan (slope) negatif.

Dalam korelasi sempurna tidak diperlukan lagi pengujian hipotesis, karena kedua variabel mempunyai hubungan linear yang sempurna. Artinya variabel X mempengaruhi variabel Y secara sempurna. Jika korelasi sama dengan nol (0), maka tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut.

(9)

3-25 3. Uji-F

Uji-F digunakan untuk mengetahui signifikansi seluruh koefisien regresi, apakah variabel bebas secara bersama-sama (simultan) berpengaruh terhadap variabel terikat. Langkah awal yang dikerjakan dalam uji-F adalah dengan merumuskan hipotesis sebagai berikut:

§ Ho : ß1 = ß2 = ß3 = 0 , yang berarti tidak ada pengaruh yang

signifikan antara variabel bebas (independent variables) terhadap variabel terikat (dependent variable) secara bersama-sama

§ Ha : ß1 ≠ ß2 ≠ ß3 ≠ 0 , yang berarti bahwa ada pengaruh yang

signifikan antara variabel bebas (independent variables) terhadap variabel terikat (dependent variable) secara bersama-sama.

Rumus menghitung uji- F menurut Nachrowi (2006:21) adalah sebagai berikut: R2 n – k -1 Fhitung = ──── ٠۰ ───── 1 – R2 k Keterangan: R2 = koefisen determinasi n = jumlah observasi k = jumlah variabel bebas

Kemudian tentukan Ftabel dengan tingkat signifikansi (α) sebesar 5%

dan degree of freedom (df) = k;(n-k-1). Selanjutnya dibandingkan antara Ftabel dengan Fhitung untuk menentukan Ho ditolak atau diterima. Kriteria

(10)

3-26

a. Ho diterima jika Fhitung < Ftabel

b. Ho ditolak jika Fhitung > Ftabel

Untuk mempermudah dan menjamin ketelitian pelaksana uji statistik, maka dalam penelitian ini dalam perhitungannya akan digunakan program siap pakai SPSS.

(11)

4-1

BAB IV

ANALISIS INDIKATOR EKONOMI MAKRO

4.1. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih populer dengan istilah Pendapatan Regional (Regional Income) merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi disuatu wilayah. Berikut ini disajikan data pertumbuhan PDRB Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011, baik itu PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) maupun PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK), dalam bentuk tabel maupun grafik.

Tabel 4.1

(Pertumbuhan PDRB-ADHB dan ADHK Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Tahun PDRB -ADHB (Juta Rupiah) Pertumbuhan PDRB-ADHB (Juta Rupiah) PDRB-ADHK Pertumbuhan PDRB-ADHK

2005 19.226.331,12 23,1% 11.739.946,23 5,6% 2006 22.376.414,93 16,4% 12.453.012,96 6,1% 2007 25.419.184,81 13,6% 13.255.153,53 6,4% 2008 29.525.360,38 16,2% 14.042.404,18 5,9% 2009 31.475.387,85 6,6% 14.622.593,73 4,1% 2010 35.679.065,36 13,4% 15.476.100,56 5,8% 2011 40.528.807,92 13,6% 16.571.540,11 7,1%

(12)

4-2

Grafik 4.1

(Grafik Pertumbuhan PDRB-ADHB dan ADHK Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Sumber: Hasil Olah Data

Sebagaimana sudah disampaikan diatas bahwa PDRB Kota Bekasi yang disajikan melalui tabel dan grafik tersebut merupakan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) dengan tahun dasar yang dijadikan acuan adalah tahun 2000.

Pertumbuhan rata-rata PDRB-ADHB mencapai 14,7%, dimana pertumbuhan tertinggi berada pada tahun 2005, yaitu mencapai pertumbuhan sebesar 23,1%, sedangkan pertumbuhan yang paling rendah yaitu hanya mencapai 6,6% berada pada tahun 2009. Sementara itu pertumbuhan rata-rata PDRB-ADHK mencapai 5,85% dimana pertumbuhan tertinggi berada pada tahun 2011 dimana mencapai angka 7,1%, sementara itu pertumbuhan yang paling rendah juga berada pada tahun 2009 atau hanya mencapai 4,1% saja.

(13)

4-3 Nilai PDRB-ADHB Kota Bekasi secara berkelanjutan mengalami trend pertumbuhan yang terus meningkat, meskipun kenaikan nilai PDRB pada tahun 2009 tidak seperti peningkatan pada tahun-tahun sebelumnya (2005-2008). Kondisi ini direfleksikan dengan nilai pertumbuhan PDRB-ADHB pada tahun 2009 yang hanya mencapai 6,6%, jauh lebih rendah ketimbang rata-rata pertumbuhan PDRB-ADHB tahun 2005-2011, yang mencapai hingga 14,7%.

Sementara itu PDRB-ADHK cenderung meningkat secara konsisten meskipun peningkatannya tidak terlalu signifikan seperti kita lihat pada PDRB-ADHB. Rata-rata pertumbuhan PDRB-ADHK hanya mencapai kisaran 5,85% pertahunnya, terhitung sejak tahun 2005 hingga tahun 2011.

Nilai PDRB Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011, sebagaimana sudah ditampilkan dalam tabel dan grafik diatas kemudian akan kita breakdown lagi dalam bentuk distribusi kedalam beberapa sektor yang tercakup dalam perhitungan standar PDRB. Berikut ini disajikan datanya dalam bentuk tabel 4.2 seperti tampak dibawah ini:

(14)

4-4

Tabel 4.2

(Distribusi Sektoral PDRB-ADHB Kota Bekasi Tahun 2005-2011, Juta Rupiah)

Tahun Pertanian Pertambang an dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa 2005 175.624,94 - 8.972.716,97 684.437,88 642.514,22 5.416.447,99 1.591.070,35 626.676,72 1.116.842,05 2006 192.767,89 - 10.241.541,23 781.350,38 820.591,16 6.403.494,04 1.822.012,97 772.704,55 1.341.952,71 2007 214.956,77 - 11.765.711,35 876.762,33 936.593,07 7.261.830,13 1.933.126,55 939.876,90 1.490.327,71 2008 262.837,87 - 13.344.270,25 1.045.974,72 1.091.817,87 8.633.456,68 2.362.760,16 1.103.846,53 1.680.396,30 2009 271.780,41 - 13.499.050,01 1.159.616,13 1.146.303,07 9.640.712,00 2.676.363,38 1.199.729,96 1.881.832,89 2010 318.617,63 - 15.092.960,96 1.364.063,54 1.218.520,16 11.077.001,17 3.137.586,29 1.360.572,83 2.109.742,78 2011 341.293,59 - 17.168.824,03 1.607.057,35 1.376.312,87 12.491.927,52 3.572.443,06 1.566.220,34 2.404.729,15

(15)

4-5

Grafik 4.2

(Grafik Distribusi Sektoral PDRB-ADHB Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Sumber: Hasil Olah Data

Distribusi PDRB-ADHB pada berbagai sektor (tahun 2005-2011) juga mengalami trend peningkatan sejalan dengan PRDB-ADHB secara komprehensif. Dari 9 (sembilan) sektor yang berkontribusi terhadap nilai total PDRB-ADHB Kota Bekasi, Sektor Industri Pengolahan merupakan salah satu sektor unggulan yang paling banyak memiliki kontribusi terhadap nilai total PDRB-ADHB Kota Bekasi.

(16)

4-6

Tabel 4.3

(Distribusi Sektoral PDRB-ADHK Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Tahun Pertanian Pertambang an dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa 2005 126.235,06 - 5.478.623,00 398.020,25 407.545,00 3.239.088,80 927.067,17 403.358,84 760.008,11 2006 123.367,34 - 5.712.583,24 428.944,01 433.719,12 3.509.562,84 978.649,00 453.245,74 812.941,67 2007 129.426,07 - 6.112.459,47 468.274,18 485.652,18 3.689.782,45 1.003.499,61 525.067,64 840.991,93 2008 131.568,51 - 6.388.657,78 512.610,33 529.219,49 3.882.989,35 1.170.570,25 563.669,30 863.119,17 2009 130.852,55 - 6.344.557,00 562.665,48 542.548,82 4.148.715,64 1.366.629,78 596.092,77 930.531,69 2010 132.840,89 - 6.545.807,28 627.784,60 564.793,32 4.401.545,04 1.550.992,54 647.054,50 1.005.282,39 2011 135.205,37 - 6.868.059,82 696.315,14 620.425,47 4.782.974,62 1.707.287,22 704.351,80 1.056.920,67

(17)

4-7

Grafik 4.3

(Grafik Distribusi Sektoral PDRB-ADHK Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Sumber: Hasil Olah Data

Sementara itu distribusi PDRB-ADHK pada berbagai sektor (tahun

2005-2011) juga mengalami trend peningkatan sejalan dengan PRDB-ADHK secara

komprehensif. Dari 9 (sembilan) sektor yang berkontribusi terhadap nilai total PDRB-ADHK Kota Bekasi, Sektor Industri Pengolahan merupakan salah satu sektor unggulan yang paling banyak memiliki kontribusi terhadap nilai total PDRB-ADHK Kota Bekasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa pergerakan PDRB total, baik itu PDRB-ADHB maupun PDRB-ADHK, merupakan pergerakan peningkatan pertumbuhan secara proporsional.

4.2. PDRB PER KAPITA

PDRB per Kapita merupakan data turunan yang bisa kita hasilkan dari PDRB. Untuk mendapatkan PDRB Kota Bekasi per Kapita, maka terlebih dahulu disajikan jumlah pertumbuhan penduduk Kota Bekasi sejak tahun 2005 hinggga tahun 2011, sebagaimana terlihat melalui tabel 4.4 dibawah ini:

(18)

4-8

Tabel 4.4

(Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan

Penduduk (%) 2005 2.001.899 - 2006 2.071.444 3,47% 2007 2.143.804 3,49% 2008 2.238.717 4,43% 2009 2.319.518 3,61% 2010 2.334.871 0,66% 2011 2.422.922 3,77%

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi

 

Melalui tabel diatas dapat kita lihat bahwa sejak tahun 2005, jumlah penduduk Kota Bekasi sudah mencapai jumlah 2.001.899 jiwa, kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 2.071.44 jiwa atau tumbuh sebesar 3,47%. Pada tahun 2007 kembali tumbuh 3,49% atau menjadi 2.143.804 jiwa.

Peningkatan jumlah penduduk Kota Bekasi tertinggi terjadi pada tahun 2008, dimana melonjak hingga mencapai 2.238.717 jiwa atau mengalami pertumbuhan sebesar 4,43%, kemudian ditahun berikutnya (2009) kembali meningkat sebesar 3,61% atau menjadi 2.319.518 jiwa.

Sementara itu pertumbuhan paling rendah terjadi pada tahun 2010, dimana pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bekasi hanya tumbuh sebesar 0,66% hingga berada pada kisaran 2.334.871 jiwa. Namun pada tahun 2011 kembali tumbuh sebesar 3,77% atau hingga berada pada kisaran 2.422.922 jiwa. Dengan kata lain sejak tahun 2005 hingga tahun 2011, telah terjadi pertumbuhan sebesar 21,03% atau jumlah penduduk Kota Bekasi mengalami kenaikan sebesar 421.023 jiwa, dari 2.001.899 jiwa pada tahun 2005, melonjak hingga menjadi 2.422.922 jiwa pada tahun 2011.

Pendapatan per Kapita Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011 adalah dengan membagi jumlah total PDRB dengan jumlah penduduk seperti sudah disajikan diatas. Hasil perhitungan Pendapatan Per Kapita tersebut akan disajikan dalam tabel 4.5 seperti dibawah ini:

(19)

4-9

Tabel 4.5

(PDRB-ADHB dan PDRB-ADHK per Kapita Kota Bekasi Tahun 2005-2011)  

Tahun PDRB-ADHB per Kapita PDRB-ADHK per Kapita

2005 9.604.046,52 5.864.404,86 2006 10.802.326,75 6.011.754,58 2007 11.857.047,01 6.183.006,25 2008 13.188.518,41 6.272.523,14 2009 13.569.796,76 6.304.151,87 2010 15.280.957,86 6.628.246,51 2011 16.727.244,18 6.839.485,59

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi

Grafik 4.4

(Grafik PDRB-ADHB dan PDRB-ADHK per Kapita Kota Bekasi Tahun 2005-2011)  

Sumber: Hasil Olah Data

Pertumbuhan PDRB per Kapita Kota Bekasi dari tahun ke tahun (2005-2011) meningkat secara konsisten, baik itu pada PDRB-ADHB maupun PRDB-ADHK. Pendapatan per Kapita Kota Bekasi PDRB-ADHB pada tahun 2005 sebesar 9,6 juta rupiah terus meningkat hingga berada pada kisaran 16,7 juta rupiah pada tahun 2011. Sementara itu Pendapatan per Kapita Kota Bekasi PDRB-ADHK jauh lebih rendah, dimana pada tahun yang sama (2005) hanya mencapai 5,8 juta rupiah dan 6,8 juta rupiah pada tahun 2011. Pergerakan kenaikan PDRB-ADHB dan PDRB-ADHK bisa kita lihat melalui grafik 4.4 tersebut.

(20)

4-10 4.3. LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI (LPE)

Indikator ekonomi lainnya yang dapat diturunkan dari PDRB yaitu Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), Laju Pertumbuhan Ekonomi dapat melihat perkembangan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral. Kontribusi sektoral memperlihatkan peranan masing-masing sektor terhadap pembentukan PDRB. Sedangkan PDRB perkapita memberikan gambaran rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk di Kota Bekasi.

Dalam proses perencanaan, salah satu rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah adalah dengan membuat suatu rencana ekonomi. Rencana ekonomi yang baik tentunya memerlukan data sebagai bahan acuan perencanaan. Indikator ekonomi makro yang sering digunakan sebagai acuan untuk proses perencanaan dan evaluasi proses pembangunan antara lain Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE). Melalui tabel 4.6 dibawah ini, disajikan data pertumbuhan LPE Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011.

Tabel 4.6

(Pertumbuhan LPE-ADHB dan LPE-ADHK Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Tahun LPE-ADHB LPE-ADHK

2005 23,09% 5,64% 2006 16,38% 6,07% 2007 13,60% 6,44% 2008 16,15% 5,94% 2009 6,60% 4,13% 2010 13,36% 5,84% 2011 13,59% 7,08%

(21)

4-11

Grafik 4.5

(Grafik Pertumbuhan LPE-ADHB dan LPE-ADHK Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Sumber: Hasil Olah Data

LPE-ADHB Kota Bekasi mengalami pertumbuhan yang paling optimal pada tahun 2005, karena mencapai pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 23,09%. Sementara itu LPE paling rendah terjadi pada tahun 2009, dimana LPE-nya hanya mencapai 6,60%, namun pada tahun 2010 LPE-ADHB Kota Bekasi kembali melonjak hingga mencapai pertumbuhan sebesar 13.36%, kemudian bergerak perlahan hingga berada pada kisaran 13.59% pada tahun berikutnya (2011).

Sementara itu pertumbuhan LPE-ADHK Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011 cenderung meningkat stabil, dimana titik tertinggi pertumbuhan terjadi pada tahun 2011 karena mencapai nilai pertumbuhan sebesar 7,08%. Sementara itu pertumbuhan terendah berada pada tahun yang sama pada LPE-ADHB, yaitu pada tahun 2009, karena hanya mencapai pertumbuhan sebesar 4,13%.

Berdasarkan fakta serta data-data diatas, bisa disimpulkan bahwa pada tahun 2009 merefleksikan kondisi perekonomian Kota Bekasi yang kurang bagus, jika kita coba bandingkan dengan kondisi perekonomian Kota Bekasi dalam rentang waktu tahun 2005 hingga tahun 2011 penelitian ini.

(22)

4-12 4.4. INFLASI DAN INDEKS HARGA IMPLISIT (IHI)

Inflasi adalah suatu keadaan dalam perekonomian di mana terjadi kenaikan harga-harga secara umum. Kenaikan dalam harga barang dan jasa yang biasa terjadi jika permintaan bertambah dibandingkan dengan jumlah penawaran atau persediaan barang di pasar, dalam hal ini lebih banyak uang yang beredar yang digunakan untuk membeli barang dibanding dengan jumlah barang dan jasa yang tersedia. Beberapa penyebab inflasi diantaranya bisa disebabkan oleh sektor ekspor-impor, tabungan atau investasi, pengeluaran dan penerimaan negara, sektor pemerintah dan swasta. Biasanya untuk mengukur tingkat inflasi dapat menggunakan Indek Harga Konsumen (IHK)

Sementara itu, Indeks Harga Implisit (IHI) adalah suatu indeks harga yang mengambarkan perbandingan antara nilai produk atas dasar harga berlaku dan atas harga konstan, sedangkan perubahan Indeks Harga Implisit (IHI) mencerminkan tingkat inflasi yang tejadi dalam suatu periode. Perubahan Indeks Harga Implisit (IHI) dapat dianggap lebih menggambarkan tingkat tinflasi yang menyeluruh dibandingkan dengan indikator inflasi lainnya seperti Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Indeks Sembilan Bahan Pokok. Hal ini disebabkan Indeks Harga Implisit (IHI) sudah mewakili semua jenis harga yaitu harga konsumen, harga produsen, harga perdagangan besar, harga eceran dan harga lainnya yang sesuai dengan berbagai jenis harga yang dipergunakan dalam penghitungan nilai produksi setiap sektor. Laju Inflasi dan Indeks Harga Implisit (IHI) Kota Bekasi pada tahun 2005 hingga tahun 2011 bisa terlihat melalui tabel dan grafik dibawah ini :

Tabel 4.7

(Inflasi dan Indeks Harga Implisit/ IHI Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Tahun Inflasi Indeks Harga Implisit (IHI)

2005 16,88% 163,77% 2006 6,53% 179,69% 2007 4,85% 191,77% 2008 10,10% 210,26% 2009 1,93% 215,25% 2010 7,88% 230,54% 2011 3,45% 244,57%

(23)

4-13

Grafik 4.6

(Grafik Laju Inflasi Tahun 2005-2011)

 

Sumber: Hasil Olah Data

 

Grafik 4.7

(Grafik Indeks Harga Implisit/ IHI Tahun 2005-2011)

Sumber: Hasil Olah Data

Laju inflasi tertinggi Kota Bekasi terjadi pada tahun 2005, dimana nilai inflasi mencapai 16,88% selanjutnya laju inflasi terus bergerak sangat berfluktuatif, mulai turun menjadi 6,53% pada tahun 2006, kemudian kemblai bergerak turun paada tahun berikutnya (2007) hingga berada pada kisaran 4,85%. Peningkatan laju inflasi kembali terjadi pada tahun 2008 hingga berada pada kisaran 10,10% atau naik lebih dari 2 (dua) kali lipat jika dibandingkan

(24)

4-14 dengan tahun sebelumnya (2007), lalu kembali anjlok sangat curam hingga menjadi 1,93% saja pada tahun 2009. Pergerakan naik laju inflasi kembali terjadi pada tahun berikutnya (2010) yaitu berada pada angka 7,88% dan turun kembali pada tahun 2011 hingga berada pada kisaran 3,45%.

Kondisi fluktuatifnya angka inflasi mulai dari 1 (satu) digit hingga menjadi 2 (dua) digit lalu menjadi 1 (satu) digit lagi merefleksikan kondisi inflasi yang kurang bagus kontrol dan tidak terkontrol. Padahal jika saja pergerakan laju inflasi dari tahun ke tahun bisa dilakukan prediksi, maka diharapkan pemerintah bisa melakuka intervensi untuk meredam laju inflasi yang mencapai titik tertinggi pada angka 16,88% pada tahun 2005.

Sementara itu pergerakan Indeks Harga Implisit (IHI) yang menggambarkan perbandingan antara nilai produk Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK),dan juga bisa merefleksikan tingkat inflasi sesungguhnya yang terjadi dalam suatu periode tertentu, juga bisa kita lihat melalui tabel dan graifik diatas. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2011, pergerakan laju IHI meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Mulai dari 163,77% pada tahun 2005 hingga berada pada kisaran 244,57% pada tahun 2011. Dengan melihat fakta-fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pergerakan turun-naik laju inflasi hanya bersifat sementara, karena jika kita lihat pergerakan IHI, yang sesungguhnya terjadi adalah kenaikan tingkat inflasi bergerak naik secara perlahan dan konsisten sejak tahun 2005 hingga tahun 2011.

4.5. EKSPOR-IMPOR

Kinerja Ekspor-Impor Kota Bekasi sebagaimana tampak pada tabel 4.6 dibawah, cenderung mengalami peningkatan dari tahun ketahun (2005-2011). Untuk volume ekspor sendiri, pada tahun 2005 mencapai nilai US$ 152,5 juta, namun mengalami penurunan pada tahun berikutnya (2006) karena pada tahun tersebut hanya berhasil dicapai volume ekspor sebesar US$ 138,6 juta. Pada tahun berikutnya (2007), volume ekspor Kota Bekasi kembali mengalami

(25)

4-15 peningkatan yang cukup berarti hingga mencapai nilai US$ 152,5 juta dan kembali meningkat menjadi US$ 167,8 juta pada tahun berikutnya (2008). Peningkatan yang cukup siginifikan hingga mencapai lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya adalah pada tahun 2009, dimana nilai volume ekspor Kota Bekasi mencapai nilai US$ 366,1 juta dalam satu tahun, lalu kembali turun pada tahun berikutnya (2010) hingga berada pada kisaran US$ 315,4 juta, sebelum akhirnya kembali melonjak naik pada tahun 2011 hingga berada pada kisaran US$ 536,4 juta.

Tabel 4.8

(Nilai Ekspor & Impor Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Tahun Ekspor (US$) Impor (US$)

2005 152.513.254,00 31.698.837,00 2006 138.690.042,10 38.038.604,75 2007 152.559.046,31 45.646.325,00 2008 167.814.950,94 52.493.273,75 2009 366.141.711,71 63.790.255,84 2010 315.480.103,77 66.403.991,29

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi

Sementara itu volume impor Kota Bekasi cenderung meningkat stabil dari tahun ke tahun meskipun tidak terlalu mencolok seperti nilai ekspor pada tahun 2009. Pada tahun 2005 volume impor mencapai nilai US$ 31,6 juta, lalu meningkat menjadi US$ 38 juta pada tahun berikutnya (2006). Tahun 2007 volume impor Kota Bekasi kembali mengalami peningkatan hingga mencapai nilai US$ 45,6 juta, lalu meningkat menjadi US$ 52,4 juta pada tahun 2008 dan menjadi US$ 63,7 juta pada tahun 2009. Pada tahun berikutnya (2010), nilai impor Kota Bekasi kembali meningkat tipis hinggga berada pada kisaran US$ 66,4 juta, dan kembali melonjak cukup signifikan pada tahun 2011, dimana nilai impor mencapai angka US$ 122,8 juta, atau meningkat hampir 2 (dua) kali lipat dari tahun sebelumnya.

Positifnya nilai ekspor Kota Bekasi dari tahun ke tahun (2005-2011) merefleksikan kondisi surflus, dimana cadangan devisa Kota Bekasi cukup baik dan bisa menghandle atau mengkompensasi nilai impor Kota Bekasi dengan cukup baik pula. Surflusnya nilai ekspor Kota Bekasi juga akan memberikan kontribusi pada pendapatan Kota Bekasi itu sendiri dimana nilai ekspor sebagai

(26)

4-16 indikator positif (faktor penambah) pendapatan daerah melebihi nilai import sebagai indikator negatif (faktor pengurang) pendapatan daerah Kota Bekasi. Berikut ini melalui grafik 4.8, disajikan juga nilai pertumbuhan ekspor-Impor Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011:

Grafik 4.8

(Grafik Pertumbuhan Ekspor-Impor Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Sumber: Hasil Olah Data

4.6. KEUANGAN DAERAH (APBD, PAD)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. APBD sendiri terdiri atas:

a. Anggaran Pendapatan, terdiri atas (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain (2) Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus, (3) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.

b. Anggaran Belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah.

(27)

4-17 c. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Sementara itu, realisasi Penerimaan dan Pengeluaran pemerintah Kota Bekasi dengan mengacu terhadap nilai APBD yang sudah ada, mulai tahun 2005 hingga tahun 2011 adalah sebagaimana terlihat pada tabel dan grafik dibawah ini:

Tabel 4.9

(Realisasi Pengeluaran dan Penerimaan APBD Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Tahun Realisasi Pengeluaran (Rp) Realisasi Penerimaan (Rp)

2005 772.005.871.763 693.295.367.464 2006 882.004.547.483 893.239.242.964 2007 1.028.289.186.131 1.109.796.738.023 2008 1.363.777.222.839 1.235.060.641.143 2009 1.501.555.212.793 1.476.770.000.163 2010 1.593.446.958.195 1.582.441.084.727 2011 1.981.344.801.647 2.220.351.556.783

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi

Grafik 4.9

(Grafik Realisasi Penerimaan & Pengeluaran APBD Kota Bekasi Tahun 2005-2011)

Sumber: Hasil Olah Data

Pengeluaran sebagaimana kita lihat pada grafik diatas merupakan realisasi dari Belanja Pemerintah Kota Bekasi. Dalam grafik tersebut bisa terlihat bahwa realisasi penerimaan pemerintah Kota Bekasi masih lebih kecil

(28)

4-18 jika kita bandingkan dengan realisasi pengeluarannya. Kondisi surflus hanya terjadi pada tahun 2006, 2007 dan 2011, sementara itu, pada tahun 2005, 2008, 2009 dan 2010, selalu mengalami defisit, karena penerimaan yang ada tidak bisa menutupi jumlah pengeluaran yang ada.

4.7. INVESTASI

Indikator makro ekonomi selalu menampilkan sisi investasi. Walaupun hanya menampilkan angka absolut yang dibandingkan dari tahun ke tahun, namun besaran ini sangat berdampak terhadap kinerja ekonomi suatu daerah. Penilaian terhadap keberhasilan suatu daerah salah satunya adalah daya tarik untuk berinvestasi didaerah tersebut.

Dari infrastruktur, Pemerintah Kota Bekasi terus mengembangkannya bahkan relatif dapat dikatakan berkembang pesat dari tahun ketahun. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pebisnis untuk terus melakukan aktivitas bisnisnya di Kota Bekasi. Indikasi terus meningkatnya investor masuk ke Kota Bekasi, antara lain dengan melihat tingginya angka permohonan perizinan usaha. Pemohon Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) terlihat terus meningkat dari 2008 hingga 2010.

Investasi di Kota Bekasi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori industri, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Industri Logam, Mesin dan Elektronika; (2) Industri Agro dan Hasil Hutan; dan (3) Industri Kimia. Berdasarkan data yang diperoleh untuk memperkuat analisis kajian penelitian ini, berikut ini disajikan data investasi ketiga kategori tersebut dalam bentuk tabel 4.10, sebagai berikut:

(29)

4-19

Tabel 4.10

(Investasi Kota Bekasi Berdasarkan Kelompok Industri Tahun 2008-2011)

Tahun

Industri Logam, Mesin dan Elektronika

Industri Agro dan

Hasil Hutan Industri Kimia

2008 120.790.972.000 83.611.470.000 18.564.550.000 2009 60.364.363.480 19.058.176.270 26.351.500.000 2010 81.553.560.000 96.089.703.000 76.939.250.000 2011 89.687.005.000 133.348.516.000 199.878.000.000 Sumber: BKPMD Bekasi Grafik 4.10

(Grafik Investasi Kota Bekasi Berdasarkan Kelompok Industri Tahun 2008-2011)

Sumber: Hasil Olah Data

Pada tahun 2008, Industri Logam, Mesin dan Elektronika nilai investasinya masih cukup besar jika dibandingkan kelompok industri lainnya dan hal tersebut masih terjadi pada tahun 2009, namun selanjutnya menurun di tahun 2010 dan kembali menurun pada tahun 2011. Sementara itu jika kita perhatikan investasi pada kelompok Industri Kimia semakin meningkat dari tahun ke tahun, sejak tahun 2008 hingga tahun 2011. Investasi pada kelompok Industri Agro dan Hasil Hutan dalam tabel dan grafik di atas cenderung tetap, meskipun penurunan cukup signifikan terlihat pada tahun 2009.

Selain pengelompokkan data investasi berdasarkan industri, data investasi Kota Bekasi juga dikelompokkan berdasarkan skalanya, yaitu sebagaimana tampak pada tabel 4.11 seperti dibawah ini:

(30)

4-20

Tabel 4.11

(Investasi Kota Bekasi Berdasarkan Skala Industri Tahun 2008-2011)

Tahun Kecil Menengah Besar

2008 26.782.380.000 24.748.175.000 171.436.437.000 2009 21.110.564.750 34.637.275.000 50.026.200.000 2010 26.880.010.000 33.382.003.000 194.320.500.000 2011 23.033.150.000 46.681.871.000 353.198.500.000 Sumber: BKPMD Bekasi Grafik 4.11

(Grafik Investasi Kota Bekasi Berdasarkan Skala Industri Tahun 2008-2011)

Sumber: Hasil Olah Data

Nilai investasi pada skala industri memang di dominasi oleh industri dengan skala besar. Perbedaan cukup signifikan nampak terlihat pada tahun 2009 dengan nilai investasi hanya mencapai 50 miliar rupiah, dimana nilainya menurun 3 (tiga) kali lipat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2008) yang berada pada kisaran 171 miliar rupiah. Lalu bergerak naik kembali pada tahun 2010 hingga berada pada kisaran 194 miliar rupiah, dan terus melonjak pada tahun 2011 hingga mencapai 353 miliar rupiah. Sementara itu untuk industri dengan skala kecil dan menengah nilai investasi hanya mencapai nilai yang tidak melebihi 50 miliar rupiah.

(31)

4-21 4.8. ANALISA KOMPARATIF DENGAN KOTA/ KABUPATEN DI JAWA

BARAT

Melakukan perbandingan pertumbuhan ekonomi antar wilayah juga diperlukan bagi penelitian ini, agar kondisi Pemerintah Kota Bekasi bisa segera melakukan evaluasi atau perbaikan sejak dini, jika dirasakan masih tidak lebih baik dari daerah sekitar yang dijadikan pembanding tersebut.

Selain itu dalam penyusunan indikator ekonomi makro daerah juga biasanya dengan membandingkan data PDRB daerah tersebut dengan daerah disekitarnya melalui analisis Location Quotient (LQ) untuk melihat keuntungan komparatif suatu daerah terhadap daerah pembandingnya. Terkait dengan data-data pembanding kota-kota lainnya yang sangat sulit diperoleh, maka analisis perbandingan kajian ini hanya terhadap nilai Indeks Pembangunan manusia (IPM) dari seluruh Kota dan Kabupaten yang berada dalam cakupan wilayah Jawa Barat.

Metode Location Quetion (LQ) merupakan suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Teknik Location Quetion (LQ0 merupakan salah satu pendekatan yang paling umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. Location Quetion (LQ) juga mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.

4.8.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Menurut United Nation Development Programme (UNDP) (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4 (empat) komponen utama, yaitu:

a. Produktivitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia,

b. Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus

(32)

4-22 dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini,

c. Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi,

d. Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan peningkatan kemampuan, kreatifitas dan produktifitas manusia akan meningkat sehingga mereka menjadi agen pertumbuhan yang efektif. Pertumbuhan ekonomi harus dikombinasikan dengan pemerataan hasil-hasilnya. Pemerataan kesempatan harus tersedia baik, semua orang, perempuan maupun laki-laki harus diberdayakan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi).

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia (bisa juga digunakan

untuk Daerah). IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah

negara (daerah) adalah negara (daerah) maju, negara (daerah) berkembang atau negara (daerah) terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel india Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom Pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale

(33)

4-23 University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak itu dipakai oleh Program pembangunan PBB pada laporan IPM tahunannya.

Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen karena batasannya, indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan. Indeks ini juga berguna sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal yang lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya.

IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara (daerah) menjadi 3 (tiga) dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu sebagai berikut:

a. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran.

b. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar , menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).

c. Standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita dalam Paritasi Daya Beli (Purchasing Power Varity)

Salah satu data komparatif kota atau wilayah sekitar yang bisa diperoleh dalam kajian ilmiah ini adalah data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sebagaimana disajikan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 4.12

(IPM Kota Bekasi dan Kota/ Kabupaten Pembanding di Jawa Barat Tahun 2006-2011)

Kabupaten/ Kota

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

2006 2007 2008 2009 2010 2011 3201 Kab Bogor 69,73 70,08 70,66 71,35 72,16 72,58 3202 Kab Sukabumi 68,88 69,21 69,66 70,17 70,66 71,06 3203 Kab Cianjur 67,1 67,65 68,17 68,66 69,14 69,59 3204 Kab Bandung 72,62 72,97 73,41 73,84 74,05 74,43 3205 Kab Garut 69,46 69,99 70,52 70,98 71,36 71,70 3206 Kab Tasikmalaya 70,86 71,24 71,35 71,73 72,00 72,51

(34)

4-24 3207 Kab Ciamis 69,3 70,14 70,57 70,96 71,37 71,81 3208 Kab Kuningan 69,21 69,7 70,12 70,42 70,89 71,55 3209 Kab Cirebon 66,32 67,3 67,7 68,37 68,89 69,27 3210 Kab Majalengka 68,41 68,94 69,4 69,94 70,25 70,81 3211 Kab Sumedang 70,56 71,3 71,68 72,14 72,42 72,67 3212 Kab Indramayu 66,28 66,22 66,78 67,39 67,75 68,40 3213 Kab Subang 69,88 70,03 70,43 70,86 71,14 71,50 3214 Kab Purwakarta 68,86 69,88 70,31 70,79 71,17 71,59 3215 Kab Karawang 66,95 68,45 69,06 69,47 69,79 70,28 3216 Kab Bekasi 70,72 71,55 72,1 72,47 72,93 73,54

3217 Kab Bandung Barat 72,27 72,29 72,65 72,99 73,35 73,80

3271 Kota Bogor 74,57 74,73 75,16 75,47 75,75 76,08 3272 Kota Sukabumi 73 73,66 74,17 74,57 74,91 75,36 3273 Kota Bandung 74,52 74,86 75,35 75,64 76,06 76,39 3274 Kota Cirebon 73,8 73,67 74,26 74,68 74,93 75,42 3275 Kota Bekasi 74,82 75,31 75,73 76,10 76,36 76,68 3276 Kota Depok 77,67 77,89 78,36 78,77 79,09 79,36 3277 Kota Cimahi 73,35 74,42 74,79 75,17 75,51 76,01 3278 Kota Tasikmalaya 72,27 72,75 73,35 73,96 74,40 74,85 3279 Kota Banjar 69,64 70,17 70,61 70,98 71,38 71,82 3200 JAWA BARAT 70,32 70,71 71,12 71,64 72,29 72,73

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi

Dengan melihat tabel diatas, nampak bahwa IPM Kota Bekasi masih berada pada nomor urut 2 (dua) dengan nilai mencapai 74-76, masih jauh lebih baik ketimbang beberapa wilayah atau kota kabupaten pembandingnya dalam wilayah Jawa Barat, diantaranya seperti Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya dan Kota lainnya. Kota Bekasi hanya berada dibawah Kota Depok yang menempati nomor urut 1 (satu) untuk IPM-nya yang berkisar antara 77-79. Sementara itu jika kita bandingkan dengan Provinsi Jawa Barat, rata-rata IPM Kota Bekasi memang berada diatas rata-rata IPM Jawa Barat yang nilainya antara 70-72 saja. Kondisi ini merefleksikan bahwa pertumbuhan IPM Kota Bekasi masih lebih baik ketimbang Provinsi Jawa Barat.

(35)

4-25 Tabel 4.13

(Ranking Kota Bekasi dan Kota/ Kabupaten Pembanding di Jawa Barat Tahun 2006-2011)

Kabupaten/ Kota

Peringkat IPM di Jawa Barat

2006 2007 2008 2009 2010 2011 3201 Kab Bogor 15 16 16 14 13 13 3202 Kab Sukabumi 20 21 21 21 21 21 3203 Kab Cianjur 23 24 24 24 24 24 3204 Kab Bandung 8 8 8 9 9 9 3205 Kab Garut 17 18 17 15 17 17 3206 Kab Tasikmalaya 11 13 13 13 14 14 3207 Kab Ciamis 18 15 16 17 16 16 3208 Kab Kuningan 19 20 20 20 20 19 3209 Kab Cirebon 25 25 25 25 25 25 3210 Kab Majalengka 22 22 22 22 22 22 3211 Kab Sumedang 13 12 12 12 12 12 3212 Kab Indramayu 26 26 26 26 26 26 3213 Kab Subang 14 17 18 18 19 20 3214 Kab Purwakarta 21 19 19 19 18 18 3215 Kab Karawang 24 23 23 23 23 23 3216 Kab Bekasi 12 11 11 11 11 11

3217 Kab Bandung Barat 9 10 10 10 10 10

3271 Kota Bogor 3 4 4 4 4 4 3272 Kota Sukabumi 7 7 7 7 7 7 3273 Kota Bandung 4 3 3 3 3 3 3274 Kota Cirebon 5 6 6 6 6 6 3275 Kota Bekasi 2 2 2 2 2 2 3276 Kota Depok 1 1 1 1 1 1 3277 Kota Cimahi 6 5 5 5 5 5 3278 Kota Tasikmalaya 10 9 9 8 8 8 3279 Kota Banjar 16 14 15 16 15 15

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi

Sejak tahun 2006 hingga tahun 2011, Kota Bekasi tetap konsisten menempati nomor urut 2 (dua), sementara itu Kota Depok juga konsisten berada pada urutan pertama sejak tahun 2006 hingga tahun 2011, sementara itu Kota-Kota pembanding lainnya mengalami perubahan urutan sejak tahun 2006 hingga tahun 2011. Sementara itu jika nilai IPM berada di atas 80, maka wilayah tersebut termasuk kategori wilayah yang status pembangunan manusianya tinggi.

(36)

4-26

Tabel 4.14

(IPM Jawa Barat dan Provinsi Pembanding di Indonesia Tahun 2005-2010)

Provinsi 2005 2006 2007 2008 2009 2010

11. Nanggroe Aceh Darussalam 69.05 69.41 70.35 70.76 71.31 71.70

12. Sumatera Utara 72.03 72.46 72.78 73.29 73.80 74.19 13. Sumatera Barat 71.19 71.65 72.23 72.96 73.44 73.78 14. Riau 73.63 73.81 74.63 75.09 75.60 76.07 15. Jambi 70.95 71.29 71.46 71.99 72.45 72.74 16. Sumatera Selatan 70.23 71.09 71.40 72.05 72.61 72.95 17. Bengkulu 71.09 71.28 71.57 72.14 72.55 72.92 18. Lampung 68.85 69.38 69.78 70.30 70.93 71.42 19. Bangka Belitung 70.68 71.18 71.62 72.19 72.55 72.86 20. Kepulauan Riau 72.23 72.79 73.68 74.18 74.54 75.07 31. DKI Jakarta 76.07 76.33 76.59 77.03 77.36 77.60 32. Jawa Barat 69.93 70.32 70.71 71.12 71.64 72.29 33. Jawa Tengah 69.78 70.25 70.92 71.60 72.10 72.49 34. Yogyakarta 73.50 73.70 74.15 74.88 75.23 75.77 35. Jawa Timur 68.42 69.18 69.78 70.38 71.06 71.62 36. Banten 68.80 69.11 69.29 69.70 70.06 70.48 51. Bali 69.78 70.07 70.53 70.98 71.52 72.28

52. Nusa Tenggara Barat 62.42 63.04 63.71 64.12 64.66 65.20

53. Nusa Tenggara Timur 63.59 64.83 65.36 66.15 66.60 67.26

61. Kalimantan Barat 66.20 67.08 67.53 68.17 68.79 69.15 62. Kalimantan Tengah 73.22 73.40 73.49 73.88 74.36 74.64 63. Kalimantan Selatan 67.44 67.75 68.01 68.72 69.30 69.92 64. Kalimantan Timur 72.94 73.26 73.77 74.52 75.11 75.56 71. Sulawesi Utara 74.21 74.37 74.68 75.16 75.68 76.09 72. Sulawesi Tengah 68.47 68.85 69.34 70.09 70.70 71.14 73. Sulawesi Selatan 68.06 68.81 69.62 70.22 70.94 71.62 74. Sulawesi Tenggara 67.52 67.80 68.32 69.00 69.52 70.00 75. Gorontalo 67.46 68.01 68.83 69.29 69.79 70.28 76. Sulawesi Barat 65.72 67.06 67.72 68.55 69.18 69.64 81. Maluku 69.24 69.69 69.96 70.38 70.96 71.42 82. Maluku Utara 66.95 67.51 67.82 68.18 68.63 69.03

91. Irian Jaya Barat 64.83 66.08 67.28 67.95 68.58 69.15

94. Papua 62.08 62.75 63.41 64.00 64.53 64.94

Indonesia (BPS) 69.57 70.10 70.59 71.17 71.76 72.27

(37)

4-27 Sementara itu jika kita coba bandingkan IPM Kota Bekasi dengan IPM seluruh Provinsi bahkan IPM Nasional, faktanya memang nilai IPM yang berhasil diraih oleh Kota Bekasi dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 cukup membanggakan, karena rata-rata nilai IPM Kota Bekasi, masih lebih tinggi ketimbang nilai rata-rata dalam skala nasional yang hanya berada pada kisaran 69-72 saja (tahun 2005 sampai dengan tahun 2010). Walaupun tidak lebih baik dari Provinsi DKI Jakarta, yang IPM-nya berada pada kisaran nilai 76-77, namun sebagai sebuah bagian dari Provinsi Jawa Barat, ternyata Kota Bekasi mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap nilai IPM Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan.

4.8.2. Komponen IPM-Angka Harapan Hidup (Indeks Kesehatan)

Angka Harapan Hidup (Indeks Kesehatan) untuk Kota Bekasi dari tahun ke tahun, sejak tahun 2006 hingga tahun 2011 sebagaimana terlihat pada tabel 4.15 dibawah ini terus meningkat, hanya saja jika dilihat dari rangking secara keseluruhan pada komponen ini terhadap Kabupaten/ Kota se-Jawa Barat tidaklah demikian. Jika kita perhatikan, mulai tahun 2006 hingga tahun 2008 Kota Bekasi terus-menerus berada pada rangking ke-3, selanjutnya mengalami penurunan pada tahun 2010 dan berada pada rangking ke-4, bahkan pada tahun 2011 kembali merosot hingga berada pada rangking ke-6.

Meski secara keseluruhannya terhadap Kabupaten/ Kota se-Jawa Barat IPM Kota Bekasi selalu berada pada nomor urut 2, tetapi perlu ditinjau lebih lanjut agar pada komponen Angka Harapan Hidup yang merupakan bagian dari perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Bekasi tidak terjadi penurunan jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa Barat. Tabel IPM, khususnya komponen Angka Harapan Hidup Kota Bekasi sejak tahun 2006 hingga tahun 2011 adalah sebagaimana tampak pada tabel 4.15 dibawah ini :

(38)

4-28 Tabel 4.15

(IPM-Angka Harapan Hidup Kota Bekasi Tahun 2006-2011)

No Kota/ Kabupaten 2006 No Kota/ Kabupaten 2007 No Kota/ Kabupaten 2008 No Kota/ Kabupaten 2009 No Kota/ Kabupaten 2010 No Kota/ Kabupaten 2011

1 Kota Depok 72,60 1 Kota Depok 72,72 1 Kota Depok 72,85 1 Kota Depok 72,97 1 Kota Depok 73,09 1 Kota Depok 73,22 2 Kota Bandung 69,60 2 Kota Bandung 69,55 2 Kota Bandung 69,61 2 Kota Bandung 69,66 2 Kota Tasikmalaya 69,86 2 Kota Tasikmalaya 70,23

3 Kota Bekasi 69,40 3 Kota Bekasi 69,45 3 Kota Bekasi 69,52 3 Kota Bekasi 69,58 3 Kota Bandung 69,72 3 Kota Bandung 69,78

4 Kota Cimahi 68,90 4 Kota Cimahi 68,97 4 Kota Tasikmalaya 69,13 4 Kota Tasikmalaya 69,49 4 Kota Bekasi 69,64 4 Kab Bekasi 69,73 5 Kab Subang 68,80 5 Kab Subang 68,95 5 Kab Subang 69,09 5 Kab Subang 69,24 5 Kota Sukabumi 69,44 5 Kota Sukabumi 69,70 6 Kab Bandung 68,70 6 Kota Sukabumi 68,87 6 Kota Cimahi 69,04 6 Kota Sukabumi 69,18 6 Kab Bekasi 69,40 6 Kota Bekasi 69,70 7 Kota Bogor 68,60 7 Kota Tasikmalaya 68,78 7 Kota Sukabumi 68,92 7 Kota Cimahi 69,11 7 Kab Subang 69,39 7 Kab Subang 69,54 8 Kab Bandung Barat 68,50 8 Kab Bandung 68,78 8 Kab Bandung 68,86 8 Kab Bekasi 69,07 8 Kota Cimahi 69,18 8 Kab Bogor 69,28 9 Kota Tasikmalaya 68,40 9 Kota Bogor 68,69 9 Kab Bekasi 68,74 9 Kab Bandung 68,94 9 Kab Bandung 69,02 9 Kota Cimahi 69,25 10 Kota Sukabumi 68,40 10 Kab Bandung Barat 68,53 10 Kota Bogor 68,68 10 Kota Bogor 68,77 10 Kota Bogor 68,87 10 Kab Bandung 69,10 11 Kota Cirebon 68,40 11 Kab Bekasi 68,43 11 Kab Bandung Barat 68,58 11 Kab Bandung Barat 68,61 11 Kab Bogor 68,86 11 Kota Bogor 68,97 12 Kab Bekasi 68,10 12 Kota Cirebon 68,42 12 Kota Cirebon 68,45 12 Kota Cirebon 68,47 12 Kab Bandung Barat 68,65 12 Kab Bandung Barat 68,68 13 Kab Bogor 67,20 13 Kab Bogor 67,53 13 Kab Bogor 68,03 13 Kab Bogor 68,44 13 Kota Cirebon 68,50 13 Kota Cirebon 68,52 14 Kab Tasikmalaya 67,10 14 Kab Tasikmalaya 67,32 14 Kab Tasikmalaya 67,53 14 Kab Tasikmalaya 67,75 14 Kab Tasikmalaya 67,96 14 Kab Tasikmalaya 68,18 15 Kab Sumedang 67,00 15 Kab Kuningan 67,12 15 Kab Kuningan 67,23 15 Kab Kuningan 67,35 15 Kab Kuningan 67,47 15 Kab Kuningan 67,59 16 Kab Kuningan 67,00 16 Kab Sumedang 67,10 16 Kab Sumedang 67,21 16 Kab Sumedang 67,31 16 Kab Sumedang 67,42 16 Kab Sumedang 67,52 17 Kab Ciamis 66,60 17 Kab Ciamis 66,77 17 Kab Ciamis 66,94 17 Kab Ciamis 67,11 17 Kab Ciamis 67,29 17 Kab Ciamis 67,47 18 Kab Indramayu 66,20 18 Kab Purwakarta 66,20 18 Kab Purwakarta 66,48 18 Kab Purwakarta 66,77 18 Kab Sukabumi 67,06 18 Kab Sukabumi 67,38 19 Kab Purwakarta 65,90 19 Kab Sukabumi 66,12 19 Kab Sukabumi 66,43 19 Kab Sukabumi 66,74 19 Kab Purwakarta 67,06 19 Kab Purwakarta 67,35 20 Kota Banjar 65,80 20 Kota Banjar 65,91 20 Kab Karawang 66,10 20 Kab Indramayu 66,41 20 Kab Indramayu 66,82 20 Kab Indramayu 67,23 21 Kab Sukabumi 65,80 21 Kab Karawang 65,70 21 Kota Banjar 66,03 21 Kab Karawang 66,40 21 Kab Karawang 66,70 21 Kab Karawang 67,00 22 Kab Karawang 65,60 22 Kab Indramayu 65,62 22 Kab Indramayu 66,01 22 Kota Banjar 66,15 22 Kab Majalengka 66,35 22 Kab Majalengka 66,62 23 Kab Majalengka 65,30 23 Kab Majalengka 65,57 23 Kab Majalengka 65,82 23 Kab Majalengka 66,09 23 Kota Banjar 66,26 23 Kota Banjar 66,38 24 Kab Cirebon 64,80 24 Kab Cianjur 64,96 24 Kab Cianjur 65,29 24 Kab Cianjur 65,64 24 Kab Cianjur 66,00 24 Kab Cianjur 66,35 25 Kab Cianjur 64,80 25 Kab Cirebon 64,92 25 Kab Cirebon 65,05 25 Kab Garut 65,20 25 Kab Garut 65,60 25 Kab Garut 66,00 26 Kab Garut 64,00 26 Kab Garut 64,42 26 Kab Garut 64,80 26 Kab Cirebon 65,17 26 Kab Cirebon 65,29 26 Kab Cirebon 65,41

JAWA BARAT 67,40 JAWA BARAT 67,88 JAWA BARAT 67,80 JAWA BARAT 68,00 JAWA BARAT 68,20 JAWA BARAT 68,40

(39)

4-29 4.8.3. Komponen IPM-Angka Melek Huruf (Indeks Pendidikan)

Angka Melek Huruf (Indeks Pendidikan) di Kota Bekasi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sedangkan secara rangking ada peningkatan rangking, jika pada tahun 2006 berada pada rangking ke-10, maka pada tahun 2007 komponen IPM-Angka Melek Huruf Kota Bekasi jika dibandingkan dengan komponen sejenis dengan kota-kota pembanding lainnya dalam wilayah Jawa Barat, Kota Bekasi berada pada rangking ke-8. Namun untuk selanjutnya, sejak tahun 2009 hingga tahun 2010 berturut-turut mendapatkan rangking ke-10, bahkan kembali turun pada tahun 2011, yaitu berada pada rangking ke-11.

(40)

4-30 Tabel 4.16

(IPM-Angka Melek Huruf Kota Bekasi Tahun 2006-2011)

No Kota/ Kabupaten 2006 No Kota/ Kabupaten 2007 No Kota/ Kabupaten 2008 No Kota/ Kabupaten 2009 No Kota/ Kabupaten 2010 No Kota/ Kabupaten 2011

1 Kota Sukabumi 99,84 1 Kota Sukabumi 99,64 1 Kota Sukabumi 99,64 1 Kota Bandung 99,67 1 Kota Bandung 99,67 1 Kota Cimahi 99,74 2 Kota Cimahi 99,63 2 Kota Bandung 99,58 2 Kota Bandung 99,64 2 Kota Sukabumi 99,66 2 Kota Sukabumi 99,66 2 Kota Bandung 99,70 3 Kota Bandung 99,58 3 Kota Tasikmalaya 99,20 3 Kota Cimahi 99,63 3 Kota Cimahi 99,64 3 Kota Cimahi 99,65 3 Kota Sukabumi 99,67 4 Kab Garut 98,89 4 Kota Depok 98,90 4 Kota Tasikmalaya 99,42 4 Kota Tasikmalaya 99,45 4 Kota Tasikmalaya 99,55 4 Kota Tasikmalaya 99,57 5 Kab Tasikmalaya 98,81 5 Kab Garut 98,88 5 Kota Depok 98,90 5 Kab Garut 98,93 5 Kab Garut 98,94 5 Kab Bandung Barat 99,11 6 Kota Tasikmalaya 98,80 6 Kab Tasikmalaya 98,81 6 Kab Garut 98,89 6 Kota Depok 98,93 6 Kota Depok 98,94 6 Kota Depok 98,96 7 Kota Bogor 98,70 7 Kota Bogor 98,70 7 Kab Tasikmalaya 98,81 7 Kab Tasikmalaya 98,88 7 Kab Tasikmalaya 98,90 7 Kab Garut 98,96 8 Kota Depok 98,39 8 Kota Bekasi 98,48 8 Kota Bogor 98,70 8 Kota Bogor 98,75 8 Kota Bogor 98,77 8 Kab Tasikmalaya 98,92 9 Kab Bandung 98,37 9 Kab Bandung 98,37 9 Kab Bandung 98,59 9 Kab Bandung 98,72 9 Kab Bandung 98,72 9 Kota Bogor 98,79

10 Kota Bekasi 97,70 10 Kab Sumedang 97,51 10 Kota Bekasi 98,46 10 Kota Bekasi 98,49 10 Kota Bekasi 98,51 10 Kab Bandung 98,75

11 Kab Sumedang 97,40 11 Kab Cianjur 97,09 11 Kab Bandung Barat 98,00 11 Kab Bandung Barat 98,04 11 Kab Bandung Barat 98,51 11 Kota Bekasi 98,56 12 Kab Cianjur 97,09 12 Kota Cirebon 97,00 12 Kab Sumedang 97,51 12 Kab Sumedang 97,58 12 Kab Sumedang 97,73 12 Kab Ciamis 97,93 13 Kota Cirebon 97,00 13 Kab Ciamis 96,66 13 Kab Cianjur 97,21 13 Kab Cianjur 97,45 13 Kab Ciamis 97,59 13 Kab Sumedang 97,75 14 Kab Sukabumi 96,59 14 Kab Sukabumi 96,59 14 Kota Cirebon 97,00 14 Kab Sukabumi 97,33 14 Kab Cianjur 97,55 14 Kab Cianjur 97,64 15 Kab Ciamis 96,38 15 Kota Banjar 96,43 15 Kab Ciamis 96,68 15 Kota Banjar 97,16 15 Kab Sukabumi 97,33 15 Kab Sukabumi 97,35 16 Kota Banjar 96,20 16 Kab Bandung Barat 96,00 16 Kota Banjar 96,65 16 Kota Cirebon 97,02 16 Kota Banjar 97,26 16 Kota Banjar 97,30 17 Kab Bandung Barat 96,00 17 Kab Purwakarta 95,59 17 Kab Sukabumi 96,59 17 Kab Ciamis 97,01 17 Kota Cirebon 97,05 17 Kota Cirebon 97,06 18 Kab Majalengka 94,81 18 Kab Majalengka 94,81 18 Kab Purwakarta 95,59 18 Kab Purwakarta 95,65 18 Kab Purwakarta 95,71 18 Kab Kuningan 96,99 19 Kab Purwakarta 94,24 19 Kab Bekasi 93,67 19 Kab Majalengka 94,81 19 Kab Majalengka 95,03 19 Kab Kuningan 95,45 19 Kab Purwakarta 96,07 20 Kab Kuningan 93,64 20 Kab Kuningan 93,64 20 Kab Kuningan 93,86 20 Kab Bogor 94,29 20 Kab Majalengka 95,09 20 Kab Majalengka 95,11 21 Kab Bogor 93,59 21 Kab Bogor 93,59 21 Kab Bekasi 93,67 21 Kab Kuningan 94,28 21 Kab Bogor 95,02 21 Kab Bogor 95,09 22 Kab Bekasi 92,70 22 Kab Karawang 93,06 22 Kab Bogor 93,59 22 Kab Bekasi 93,69 22 Kab Bekasi 94,03 22 Kab Bekasi 94,14 23 Kab Subang 92,38 23 Kab Subang 92,38 23 Kab Karawang 93,06 23 Kab Karawang 93,09 23 Kab Karawang 93,21 23 Kab Karawang 93,22 24 Kab Cirebon 88,51 24 Kab Cirebon 90,66 24 Kab Subang 92,38 24 Kab Subang 92,40 24 Kab Subang 92,45 24 Kab Subang 92,47 25 Kab Karawang 88,21 25 Kota Cimahi 89,63 25 Kab Cirebon 90,66 25 Kab Cirebon 91,55 25 Kab Cirebon 92,33 25 Kab Cirebon 92,41 26 Kab Indramayu 83,80 26 Kab Indramayu 85,58 26 Kab Indramayu 85,58 26 Kab Indramayu 85,60 26 Kab Indramayu 85,65 26 Kab Indramayu 85,66

JAWA BARAT 94,91 JAWA BARAT 95,32 JAWA BARAT 95,53 JAWA BARAT 95,98 JAWA BARAT 96,18 JAWA BARAT 96,29

(41)

4-31 4.8.4. Komponen IPM-Rata-rata Lama Sekolah (Indeks Pendidikan)

Rata-rata Lama Sekolah (Indeks Pendidikan) untuk Kota Bekasi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Secara rangking, pada komponen IPM-Rata-rata Lama Sekolah ini, Kota Bekasi berada pada rangking ke-3 sejak tahun 2006 hingga tahun 2008, dan kembali mengalami peningkatan pada tahun 2009 hingga tahun 2010, dimana Kota Bekasi menempati rangking ke-2, namun pada tahun 2011 kembali menggalami penurunan hingga berada pada rangking ke-3 se-Jawa Barat.

(42)

4-32 Tabel 4.17

(IPM-Rata-rata Lama Sekolah Kota Bekasi Tahun 2006-2011)

No Kota/ Kabupaten 2006 No Kota/ Kabupaten 2007 No Kota/ Kabupaten 2008 No Kota/ Kabupaten 2009 No Kota/ Kabupaten 2010 No Kota/ Kabupaten 2011

1 Kota Depok 10,5 1 Kota Depok 10,5 1 Kota Depok 10,5 1 Kota Depok 10,77 1 Kota Depok 10,94 1 Kota Depok 10,97 2 Kota Bandung 10,1 2 Kota Cimahi 10,28 2 Kota Cimahi 10,26 2 Kota Bekasi 10,52 2 Kota Bekasi 10,53 2 Kota Cimahi 10,61

3 Kota Bekasi 10 3 Kota Bekasi 10,19 3 Kota Bekasi 10,19 3 Kota Cimahi 10,42 3 Kota Cimahi 10,50 3 Kota Bekasi 10,58

4 Kota Cimahi 9,7 4 Kota Bandung 10,1 4 Kota Bandung 10,1 4 Kota Bandung 10,22 4 Kota Bandung 10,44 4 Kota Bandung 10,45 5 Kota Bogor 9,6 5 Kota Bogor 9,6 5 Kota Bogor 9,6 5 Kota Bogor 9,77 5 Kota Bogor 9,79 5 Kota Bogor 9,80 6 Kota Cirebon 9,2 6 Kota Cirebon 9,2 6 Kota Cirebon 9,2 6 Kota Cirebon 9,46 6 Kota Cirebon 9,47 6 Kota Cirebon 9,75 7 Kota Sukabumi 9 7 Kota Sukabumi 9 7 Kota Sukabumi 9 7 Kota Sukabumi 9,21 7 Kota Sukabumi 9,32 7 Kota Sukabumi 9,35 8 Kota Tasikmalaya 8,4 8 Kota Tasikmalaya 8,4 8 Kota Tasikmalaya 8,4 8 Kota Tasikmalaya 8,59 8 Kota Tasikmalaya 8,83 8 Kota Tasikmalaya 8,85 9 Kab Bandung 8,2 9 Kab Bandung 8,2 9 Kab Bandung 8,2 9 Kab Bandung 8,37 9 Kab Bandung 8,37 9 Kab Bekasi 8,60 10 Kab Bekasi 8,1 10 Kab Bekasi 8,1 10 Kab Bekasi 8,1 10 Kab Bekasi 8,21 10 Kab Bekasi 8,33 10 Kab Bandung 8,46 11 Kab Bandung Barat 8 11 Kab Bandung Barat 8 11 Kab Bandung Barat 8 11 Kab Bandung Barat 8,04 11 Kab Bandung Barat 8,07 11 Kota Banjar 8,12 12 Kota Banjar 7,8 12 Kota Banjar 7,8 12 Kota Banjar 7,8 12 Kota Banjar 7,97 12 Kota Banjar 8,01 12 Kab Bandung Barat 8,11 13 Kab Bogor 7,2 13 Kab Sumedang 7,65 13 Kab Sumedang 7,65 13 Kab Sumedang 7,91 13 Kab Bogor 7,98 13 Kab Bogor 7,99 14 Kab Sumedang 7,2 14 Kab Bogor 7,2 14 Kab Bogor 7,2 14 Kab Bogor 7,54 14 Kab Sumedang 7,93 14 Kab Sumedang 7,94 15 Kab Garut 7,1 15 Kab Garut 7,1 15 Kab Garut 7,1 15 Kab Garut 7,29 15 Kab Purwakarta 7,42 15 Kab Ciamis 7,47 16 Kab Purwakarta 7 16 Kab Purwakarta 7 16 Kab Purwakarta 7 16 Kab Purwakarta 7,24 16 Kab Garut 7,34 16 Kab Purwakarta 7,44 17 Kab Ciamis 6,9 17 Kab Ciamis 6,9 17 Kab Ciamis 6,9 17 Kab Ciamis 7,09 17 Kab Ciamis 7,19 17 Kab Garut 7,37 18 Kab Tasikmalaya 6,8 18 Kab Tasikmalaya 6,8 18 Kab Tasikmalaya 6,8 18 Kab Tasikmalaya 6,98 18 Kab Tasikmalaya 6,99 18 Kab Tasikmalaya 7,33 19 Kab Kuningan 6,8 19 Kab Kuningan 6,8 19 Kab Kuningan 6,8 19 Kab Subang 6,91 19 Kab Kuningan 6,95 19 Kab Kuningan 7,22 20 Kab Majalengka 6,7 20 Kab Majalengka 6,7 20 Kab Majalengka 6,7 20 Kab Kuningan 6,87 20 Kab Karawang 6,95 20 Kab Majalengka 7,17 21 Kab Subang 6,6 21 Kab Karawang 6,68 21 Kab Karawang 6,68 21 Kab Majalengka 6,83 21 Kab Subang 6,92 21 Kab Karawang 7,02 22 Kab Karawang 6,5 22 Kab Subang 6,6 22 Kab Subang 6,6 22 Kab Karawang 6,83 22 Kab Sukabumi 6,88 22 Kab Subang 6,94 23 Kab Cianjur 6,4 23 Kab Cirebon 6,42 23 Kab Cianjur 6,42 23 Kab Cirebon 6,67 23 Kab Cirebon 6,85 23 Kab Sukabumi 6,90 24 Kab Sukabumi 6,3 24 Kab Cianjur 6,4 24 Kab Cirebon 6,42 24 Kab Cianjur 6,63 24 Kab Majalengka 6,84 24 Kab Cirebon 6,87 25 Kab Indramayu 5,5 25 Kab Sukabumi 6,39 25 Kab Sukabumi 6,39 25 Kab Sukabumi 6,54 25 Kab Cianjur 6,82 25 Kab Cianjur 6,85 26 Kab Cirebon 5,1 26 Kab Indramayu 5,5 26 Kab Indramayu 5,5 26 Kab Indramayu 5,64 26 Kab Indramayu 5,73 26 Kab Indramayu 5,95

JAWA BARAT 7,5 JAWA BARAT 7,5 JAWA BARAT 7,5 JAWA BARAT 7,72 JAWA BARAT 8,02 JAWA BARAT 8,06

(43)

4-33 4.8.5. Komponen IPM-Pengeluaran per Kapita di Sesuaikan (Indeks

Standar Hidup Layak/ Indeks Kemampuan Daya Beli)

Komponen IPM-Pengeluaran per Kapita di Sesuaikan atau lebih sering disebut dengan Indeks Standar Hidup Layak atau Indeks Kemampuan Daya Beli, di Kota Bekasi bisa dikatakan relatif cukup stabil, hal ini direfleksikan dengan diperolehnya rangking ke-4 oleh Kota Bekasi secara berturut-turut sejak tahun 2006 hingga tahun 2011, dibandingkan dengan beberapa Kota/ Kabupaten se-Jawa Barat.

Referensi

Dokumen terkait

a.. 1) Dua website Bapenda yaitu Bapenda Jawa Barat dan Bapenda Jawa Tengah memperoleh hasil untuk Page Speed Grade di level F yang artinya kualitas

Kesan-kesan buruk lain : Tiada kesan yang penting atau bahaya kritikal yang diketahui.

Tetapi lambat laun peristiwa- peristiwa yang telah dilalui dalam catatan sejarah bangsa Indonesia ditepis dengan mantap oleh Ideologi Pancasila dengan ditandainya Ideologi

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik hipotesis yang diajukkan dalam penelitian ini didukung oleh teori sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa

Jumlah pembiayaan piutang murabahah yang disalurkan oleh Koperasi Karya Usaha Mandiri Syariah (KUM) selaku kuasa dari PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta

Kenaikan persentase nilai pada kelas eksperimen lebih besar dari pada kelas kontrol, dapat dilihat dari perbedaan kenaikan hasil belajar kognitif sebesar 28,3%.Dalam artian

Menyatakan bahwa Skripsi ini dengan judul: “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Batik di Kampung Batik Kauman Kota Pekalongan”, tidak terdapat karya yang pernah diajukan

Total biaya produksi usaha sapi potong di rumah tangga untuk setiap ekor dalam setahun sebesar 67 juta rupiah... Dengan nilai produksi sebesar 3,11 juta per ekor per tahun