• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN CIVIL SOCIETY DALAM OTONOMI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN CIVIL SOCIETY DALAM OTONOMI DAERAH"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

RUANG KAJIAN

Pendahuluan

Perbincangan mengenai civil so-ciety di Indonesia mulai berkembang sejak dekade 1970 bersamaan dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Maraknya wacana civil society juga dipengaruhi oleh berbagai peristiwa politik dunia yang mendesak proses demokrasi ke berbagai belahan dunia. Desakan demokratisasi dan redemokratisasi ini oleh Huntington dinilai sebagai “gelombang demokrasi ketiga”1. Ciri dari gelombang de-mokratisasi ketiga ini diantaranya adalah perubahan lebih bersifat global dari sebelumnya, dan sebagai konsekuensinya mempengaruhi lebih banyak negara, terutama negara-negara berkembang yang bersifat otoritarian dan totaliter. Dengan kata lain demokrasi merupakan suatu

1

Samuel Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga.Grafiti: Jakarta. 1995

sistem politik yang bersifat ke-harusan.2

Dalam konteks Indonesia, gaung demokratisasi yang dimulai sejak tahun 1990-an dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 yang ditandai oleh lengsernya Presiden Suharto, tidak dapat melepaskan dari peranan masyarakat atau civil society dalam proses tranformasi demokrasi tersebut. Dan, pengaruh reformasi di tingkat nasional dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Berbagai tuntutan keadil-an regional bahkkeadil-an pemisahkeadil-an diri mulai bermunculan. Kondisi sosial politik di daerah ini merupakan salah satu faktor yang mendorong Pe-merintah Pusat mencairkan sentral-isme kekuasaan yang sudah sekian lama berada di tangannya. Otonomi daerah dijadikan semacam kebijakan untuk meresolusi konflik pusat-daerah itu dengan pemberian otoritas politik,

2Richard Falk, On Human Government, Toward a New Global Politics. Pennsylvania St ate University Press: Pen nsylvania. 1995. Hlm. 104

PERAN CIVIL SOCIETY DALAM OTONOMI DAERAH

M. Harun Alrasyid

Abstract

Talking about civil society in Indonesia has been arise since the non governmental organization grew up in Indonesian society. When local autonomy became mainstream in ruling governance system, increasing of civil society role is needed to lead. This paper talks about how to find answer the civil society idea accepted in implementation of local autonomy.

(2)

85 administratif, dan ekonomi yang sangat luas kepada daerah.

Pada umumnya dalam perspektif teori liberal tentang negara ber-pendapat bahwa demokrasi lokal memberi kontribusi yang positif terhadap kematangan demokrasi nasional (national democracy). Hal ini disebabkan banyaknya kesempatan bagi berkembangnya partisipasi da-lam menentukan kebijakan pemerin-tah karena adanya iklim demokrasi yang menghargai pendapat dan kebebasan berbicara. Dengan demi-kian demokrasi lokal (local de-mocracy) menjadi sangat besar perannya dalam mendukung demo-krasi nasional. Oleh karena itu pem-berian otonomi yang seluas-luasnya pada daerah justru akan sangat ber-pengaruh pada kehidupan demokrasi negara secara keseluruhan.

Berbagai pandangan yang me-nyebutkan bahwa pemerintahan da-erah merupakan cara yang terbaik dalam memberikan pelayanan ter-hadap masyarakat, bersandar pada dua asumsi. Pertama, kehidupan demokrasi di tingkat pemerintahan daerah akan berimbas pada baiknya kehidupan demokrasi di tingkat na-sional. Pada tingkat nasional ini terkait dengan pendidikan politik, la-tihan dalam kepemimpinan politik dan stabilitas politik. Kedua, mengem-bangkan kehidupan demokrasi di tingkat daerah mempunyai manfaat yang sangat besar, seperti ber-kembangnya kesamaan (equality), kebebasan (liberty), dan bersikap tanggap (responsiveness).3

3

Untuk lebih jelasnya lihat BC Smith, Desentalization, the Territorial Dimen -sional of the State, Australia: George Allen & Unwim, 1985. Hlm. 18-44

Lebih lanjut Mill mengatakan: “Local government on the ground that it provides extra opportunities for political participation, both in electing and being elected to local offices, for people who otherwise would have few chances to act politically between national election. Local government extends such opportunities to the ‘lower grades’ of society, local positions rarely being sought by the higher ranks”4

Untuk itu, dalam kerangka civil society, menarik untuk mengkaji sejauhmana otonomi daerah dapat memainkan peran dalam meng-akomodasi berbagai aspirasi ma-syarakat, sehingga ia berfungsi se-bagai akselerator demokrasi di tingkat lokal. Makalah ini mencoba mencari jawaban bagaimana konstruksi civil society mendapat tempat dalam implementasi otonomi daerah.

Asumsi sederhana yang dijadi-kan pijadijadi-kan membangun gagasan dalam tulisan ini adalah prospek demokrasi seiring dengan di-berlakukannya otonomi daerah yang sangat ditentukan oleh sejauhmana masyarakat otonom vis a vis negara (pemerintah). Kedua variabel ini memainkan peranan penting dalam proses tranformasi demokrasi. Se-hingga proses demokrasi yang sehat di tingkat lokal akan sangat

di-4 John Stuart Mill, “Representative

Government”, dalam BC Smith, Decen-tralization, the Territorial Dimensional of the State. Australia: George Allen & Unwim, 1985. Hlm. 21

(3)

86 tentukan oleh sejauhmana masya-rakat bertindak dan di lain pihak ba-gaimana pemerintah daerah ako-modatif terhadap aspirasi masya-rakatnya.

Civil Society dalam Implementasi Otonomi Daerah

Secara konseptual, sebagaimana dipaparkan di atas, konsep civil society biasanya ditempatkan dalam kaitan pembahasan tentang peran negara, karena posisinya yang seringkali ditempatkan secara ber-hadapan dengan negara. Oleh ka-rena itu, untuk memahami civil so-ciety secara empirik perlu dipahami terlebih dahulu bentuk sistem peme-rintahannya. Dalam kerangka pe-mikiran semacam ini, untuk mema-hami civil society di Indonesia perlu meletakkan pada konteks bentuk pemerintahan yang dianut negara Indonesia.

Pemerintahan Orde Baru me-miliki beberapa ciri. Pertama, Model Birokrasi Otoriter (Bureaucratic Au-thoritarian Regime). Model ini pada awalnya digunakan untuk men-jelaskan fenomena politik di beberapa negara Amerika Latin.5 Menurut model ini legitimasi pemerintahan didasarkan pada kombinasi berbagai sumber kekuasaan seperti ekonomi, militer dan budaya. Oleh karena itu pada masa Orde Baru birokrasi ber-kembang menjadi sebuah kekuatan yang besar dan berhasil mengontrol masyarakat. Kedua, adalah rezim birokrasi militer (Bureaucratic Military Regime). Birokrasi didominasi oleh

5

Lihat Guillermo O’Donnel, Transisi Menuju Demokrasi” Jilid 1 – 4. LP3ES: Jakarta 1979.

kelompok militer yang bertindak secara komando. Oleh karena itu, birokrasi miskin dengan nilai-nilai partisipasi di mana setiap keputusan ditentukan berdasarkan kepentingan para pejabat birokrasi (top down). Birokrasi negara tidak lagi berfungsi sebagai instrumen yang memudah-kan praktek pelayanan publik, melainkan telah bergeser menjadi salah satu kekuatan untuk mem-pertahankan kekuasaan.

Ketiga, pemerintahan Orde Baru berhasil mewarnai negara menjadi negara organik-korporatis6. Sistem ini membagi masyarakat ke dalam golongan-golongan fungsional: biro-krasi militer, birobiro-krasi sipil, golongan karya, partai politik, organisasi fung-sional seperti buruh dan tani, or-ganisasi massa dan oror-ganisasi pro-fesional. Pada umumnya, golongan-golongan tersebut dipimpin oleh kalangan militer yang secara teknis dominan, sehingga mudah untuk dikontrol oleh negara. Keempat, pada masa akhir Orde Baru mulai timbul corak birokrasi patrimonial. Ciri biro-krasi ini adalah manajemen birobiro-krasi dikendalikan oleh kepentingan ke-luarga pejabat yang pada umumnya bergerak di bidang bisnis. Dari sinilah muncul gejala nepotisme yang ber-pusat pada elit politik di sekitar keluarga presiden.7

Ditegakkannya struktur kekuasa-an ykekuasa-ang represif oleh Pemerintah Orde Baru ternyata berhasil menjaga stabilitas politik, sehingga

pem-6Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Demokrasi, Kemajuan dan Keadilan . Makalah dalam Seminar “ Strategi penguatan Civil Society di Indonesia, 23-25 Oktober 1998. di Bogor

7

(4)

87 bangunan ekonomi berjalan dengan lancar. Bentuk kekuasaan yang he-gemonik dan dominatif ini mampu untuk sementara meredam gejolak sosial yang muncul di tingkat masyarakat, terutama masyarakat lokal yang merasakan hubungan yang tidak adil antara Pusat dan daerah. Semangat penyelenggaraan kekuasaan yang sentralistik serta ditopang oleh kehadiran struktur oto-ritarian (dalam sistem militer teritorial) sampai pada tingkatan terendah, menguatkan sebuah format politik lokal yang lebih berorientasi ke Pemerintah Pusat (Jakarta) daripada tergantung pada konfigurasi politik lokal.

Amandemen UU No. 5/1974 me-ngenai Pemerintahan Daerah men-coba membalikkan sentralisme ke-kuasaan pusat. Hal ini dapat dilihat dari substansi perubahan yang me-rupakan asas fundamental yang pen-ting dalam konsep hubungan antara pusat dan daerah. Dasar legitimasi pemerintahan daerah yang baru (UU No. 22/1999), menurut Benyamin Hoessein menganut “the local demo-cracy model”. Model otonomi seperti ini lebih menekankan pada demo-cratic and locality values daripada efficiency values (the structural efficiency model)8. Di samping itu,

8

”the structural efficiency model” lebih mengutamakan pentingnya menghimpun sumber daya dan potensi dari daerah ditarik ke pusat, dengan dalih untuk pemerataan dan pemberian pelayanan secara efisien kepada local communities, akibatnya lebih mendorong intervensi pusat yang lebih besar untuk mengontrol pemerintah daerah guna menjamin efisiensi dan kemajuan ekonomi, penekanan yang lebih besar kepada “uniformity and conformity”, serta

local democracy model menghargai local differences and system diversity, because local authority has both the capacity and the legitimacy for local choice and local voice.9

Walaupun UU No. 22 Tahun 1999 memberikan lebih banyak kekuasaan kepada daerah, dalam

prakteknya ternyata masih

menyimpan banyak persoalan, baik teknis administrasi maupun respon Pemerintah Daerah dan masyarakat terhadap penye-lenggaraan otonomi daerah. Realitas politik di daerah, seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah te-lah melahirkan persoalan pelik, baik di tingkat kelembagaan daerah mau-pun di pihak masyarakatnya sendiri, terutama yang menyangkut Kepala Daerah. Pemilihan dan pertanggung-jawaban Kepala Daerah menjadi akar berbagai konflik yang muncul di Daerah, terutama dijadikan alat untuk memaksakan kepentingan kelompok-kelompok bila muncul ketidakpuasan. Dialog sebagai jalan terbaik dalam demokrasi dipahami sebatas bila sesuai kepentingan politik.

Upaya untuk meredam konflik adalah dengan merevisi UU No. 22 monopolistik dengan mengabaikan nilai-nilai lokal dan keanekaragaman daerah, yang pada akhirnya mengabaikan nilai-nilai demokrasi (dalam Benyamin Hossein, 1999)

9

Halligan, John, and Chris Aulich, “Reforming Australian Government: Impact and Implications for Local Public Administration”, dalam Reforming Government: New Concepts and Practices in Local Public Administration, Tokyo: Eropa Local Government Center, 1998, dalam Bhenyamin Hoessein : “Landasan Filosofis Tentang Pembentukan Daerah Otonom di Indonesia”, IULA-ASPAC, 1999, hlm.6.

(5)

88 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004. Perbedaan yang mendasar dari UU otonomi yang baru adalah pemilihan Kepala Daerah secara langsung, tidak lagi melalui mekanisme DPRD. Otoritas Kepala Daerah berdasarkan Pilkada Lang-sung sangat kuat dan tidak bisa dengan mudah dijatuhkan oleh DPRD, sebagaimana UU sebelum-nya. Namun, realitas politik lokal me-nunjukkan justru konflik pilkada lang-sung jauh lebih luas spektrumnya. Konflik tidak lagi bersifat horizontal namun juga vertikal.

Konflik-konflik yang pada awal-nya didasari pada perbedaan pen-dapat, kepentingan ataupun cara penyelesaian masalah yang ditempuh itu, karena tidak didasari oleh suatu pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai demokrasi dan terlalu besarnya gejolak eforia politik, sehingga yang terjadi adalah aksi-aksi yang meng-arah pada pemaksaan fisik dan ke-kerasan. Bahkan bagi daerah-daerah tertentu, hal ini telah menjadi model tersendiri, yaitu dengan pengerahan massa untuk mewujudkan kepen-tingan tertentu, sekalipun mengorban-kan nilai dan cara-cara yang demo-kratis yang pada akhirnya menim-bulkan korban fisik.

Frans Magnis mengidentifikasi ada dua dimensi yang berdampingan dalam budaya kekerasan, yaitu di-mensi politik dan dimensi sosial budaya. Dalam dimensi sosial bu-daya, kekerasan itu ada dalam prak-tik kehidupan sehari-hari, termasuk tindakan kriminal. Sedangkan dalam dimensi politik, kekerasan digunakan untuk mengintimidasi lawan politik atau untuk memaksakan kepen-tingan-kepentingan dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu,

masya-rakat hanya memahami bahwa peng-gunaan kekerasan bisa dijadikan alat untuk mencapai tujuan. Sedangkan pendekatan dialogis dalam mencapai kompromi dipahami sebagai sebuah kesia-siaan.10

Berdasarkan paparan di atas, je-las sekali terlihat bahwa keberadaan civil society dalam implementasi otonomi daerah masih belum nampak menjadi sebuah kenyataan. Dengan menggunakan kerangka berpikir Eisenstadt, civil society sebagai wilayah mandiri bagi aktivitas politik masyarakat masih didominasi oleh lembaga-lembaga formal politik. Par-tisipasi politik rakyat – misalnya, dalam kasus pemilihan kepala daerah – direduksi menjadi bentuk dukungan kepada calon Kepala Daerah. Oto-nomi daerah yang seharusnya me-letakkan pada kepentingan masya-rakat lebih banyak dimanfaatkan oleh elit politik daerah.

Begitu pula dengan akses ma-syarakat terhadap lembaga-lembaga politik yang ada di daerah. Dalam kerangka civil society setiap ma-syarakat harus mempunyai akses yang bebas terhadap lembaga-lembaga pemerintahan daerah. Da-lam arti, setiap individu dapat me-lakukan partisipasi dalam berbagai bentuk. Dan, pemerintah dituntut ko-mitmennya untuk mewujudkan aspi-rasi masyarakat yang berkembang. Masyarakat memang diberikan ke-bebasan untuk berpartisipasi, namun keputusan akhir cenderung lebih mendasarkan pada kepentingan elit-elit politik, baik yang ada di lemabaga perwakilan maupun pemerintahan.

10

(6)

89 Sehingga kebebasan untuk ber-partisipasi lebih bersifat formalitas. Meminjam istilah Huntington, bentuk seperti itu disebut “partisipasi semu”.11

Padahal secara teoritis, dengan adanya perluasan wewenang pe-merintah daerah ini akan dapat tercipta apa yang Smith (1985) sebut dengan local accountability, yakni meningkatkan kemampuan pemerin-tah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Namun pada sisi lain, kebijakan otonomi daerah juga tidak kecil kemungkinan membuka peluang semakin terkon-sentrasinya kekuasaan di tangan local state actors (birokrat dan politisi di daerah). Ini sebenarnya salah satu bahaya dari perluasan otonomi da-erah yang perlu dicermati. Bila kecenderungan ini yang terjadi, maka otonomi daerah tidak akan serta merta membuka peluang terwujudnya civil society. Apalagi kalau men-cermati perilaku elite lokal dalam mengimplementasikan otonomi da-erah.

Penutup

Walaupun implementasi otonomi daerah masih menyimpan banyak persoalan, namun tidak ada pilihan lain untuk menunda pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang patut dipersiapkan agar otonomi daerah menjelma menjadi otonominya ma-syarakat bukan otonominya elit politik atau Pemerintah Daerah. Pertama, kebijakan otonomi daerah harus memiliki pra-kondisi yaitu pengakuan

11

Lihat Huntington dan Joan Nelson. Partispasi Politik di Negara Berkembang. Rineka Cipta:Jakarta. 1994

terhadap hak politik masyarakat da-erah untuk menentukan hubungan yang seimbang antara kepentingan pusat dan daerah. Kedua, de-sentralisasi politik (devolusi) harus diikuti dengan demokratisasi dalam tataran kelembagaan maupun pro-sedural, termasuk di dalamnya yang paling penting adalah pemberdayaan badan -badan perwakilan daerah. Ketiga, kebijakan otonomi daerah tidak diartikan untuk memperkuat state di daerah melainkan mem-bangun kekuatan civil society. Dengan demikian otonomi daerah ha-rus mampu memperkuat posisi tawar daerah -daerah berhadapan dengan pemerintah pusat serta memperkuat posisi masyarakat daerah berhadap-an dengberhadap-an pemerintahnya sendiri.

Oleh karena itu, dalam otonomi daerah rakyat semestinya lebih diberi kesempatan mengembangkan poten-si kekuatannya dan bekerja atas dasar pilihan-pilihan sukarela sesuai ukuran kekuatan dan kebutuhan diri-nya. Otonomi daerah adalah otonomi masyarakat daerah, sehingga semua proses politik dan pelayanan pe-merintahan di daerah ditujukan bagi kepentingan mereka. Keberadaan masyarakat menjadi dasar pertim-bangan bagi setiap pendasaran, perencanaan dan tujuan otonomi daerah. Pemerintah dengan otonomi politik yang dimilikinya hanyalah instrumen dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat. Kalau kebijakan otonomi daerah dilaksanakan seperti itu, maka pemberdayaan civil society relatif mudah untuk diwujudkan.

(7)

90 DAFTAR PUSTAKA

Asfar, Muhammad, Islam, Penguatan Civil Society dan Prospek Demokrasi di Indonesia, Bigraf Publishing: Malang. 2000.

Budiman, Arief (eds), State and Civil Society in Indonesia, Centre of South East Asia Studies: Australia, 1992.

Cohen, Jean L. and Arato, Andrew, Civil Society and Political Theory, Time MIT Press: Cambridge. 1992.

Eisensdadt, SN, Civil Society, dalam Seymour M. Lipset (eds), The Encyclopedia of Demo-cracy, Volume I, Washington DC. 1995.

Falk, Richard, On Human Govern-ment, Toward a New Global Politics. Pennsylvania State University Press: Pennsyl-vania. 1995.

Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 1999.

Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society, LP3ES: Jakarta. 1996

Hoessein, Benyamin. Hubungan Penyelenggaraan Pemerin-tahan Pusat dengan Pe-merintahan Daerah, dalam Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Nomor 1/Volume 1, 2000,

Jur. Ilmu Administrasi, Fisip – Universitas Indonesia. ---, Otonomi

Dae-rah dan Kepemerintahan yang Baik, Makalah Seminar Nasional “OTONOMI DAE-RAH”: Menuju Kepemerin-tahan yang Baik Guna Pem-berdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat”, Century Park, Senayan – Jakarta. 2000 . ---: “Landasan

Fi-losofis Tentang

Pembentuk-an Daerah Otonom di

Indonesia”, IULA-ASPAC, 1999.

Huntington, Samuel. Gelombang De-mokratisasi Ketiga.Grafiti: Jakarta. 1995.

Huntington dan Joan Nelson. Partispasi Politik di Negara Berkembang. Rineka Cipta: Jakarta. 1994.

Huseini, Martani, “Otonomi Daerah, Integrasi Bangsa, dan Daya Saing Nasional: Saka Sakti Suatu Model Alternatif Pem-berdayaan Ekonomi Da-erah”, Makalah Orasi Ilmiah STIA LAN, Bandung 29 April 2000.

Mill, John Stuart, Representative

Government, dalam BC

Smith, Decentralization the Territorial Dimensional of The State. Australia: George Allen & Unwim.

(8)

91 O’Donnel, Guillermo, Transisi Menuju

Demokrasi” Jilid 1 – 4. LP3ES: Jakarta 1979. Rahardjo, Dawam, Masyarakat

Ma-dani: Demokrasi, Kemajuan dan Keadilan. Makalah da-lam Seminar “Strategi peng-uatan Civil Society di Indo-nesia, 23-25 Oktober 1998. di Bogor

Smith, BC, Decentralization, the Territorial Dimensional of the State, (Australia: George Allen & Unwim, 1985). Sulardi, “Bencana Otonomi Daerah ”

Artikel dalam Harian Umum Kompas, 28 April 2000 Kompas, 19 Oktober 1998

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk dari hasil validasi oleh validator, respon siswa, guru serta observasi di dalam kegiatan pembelajaran, modul penggunaan alat ukur yang dihasilkan pada penelitian ini

Data terintegrasi dalam SID TKPK Desa Pemanfaatan Data di Desa TKPK Desa Koreksi Data Pusat TNP2K Musyawarah &Koordinasi Provinsi TKPK Provinsi. Musyawarah & Koordinasi

Tujuan penelitian untuk mendapatkan dosis inokulum Rhizopus oligosporus dan waktu fermentasi biji kecipir yang optimum terhadap peningkatan kandungan protein murni dan

Dari diagram di atas dapat dianalisis bahwa kelebihan perangkat ajar ini adalah tampilan yang menarik (29%), mudah digunakan dan dipahami (24%), adanya suara (21%), adanya

Bichon van Tselmonde menyatakan : saya masih selaiu berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur,

Sedangkan bahan-bahan yang digunakan pun merupakan bahan untuk pembuatan susu ubi jalar, tepung ubi jalar dan flakes ubi jalar dengan rincian: ubi jalar ungu, gula,

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian lapangan ( field research ), artinya data-data dalam penelitian ini diperoleh melalui studi lapangan yang disusun

Penjumlahan vektor adalah penjumlahan dari gaya-gaya gravitasi yang dialami oleh benda, maka dapat dihitung jika sebuah benda mengalami dua buah gaya gravitasi