• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

27 2.1 Hukum Lingkungan Internasional

Hukum dan lingkungan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dalam kajian yang lebih jauh lagi, hukum lingkungan telah masuk kedalam sendi-sendi internasional, hal ini terjadi ketika pembangunan mengarah kepada kerusakan lingkungan dan dan dibarengi dengan kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya menjaga lingkungan tersebut. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, hukum lingkungan internasional adalah keseluruhan kaedah, azas-azas, lembaga-lembaga, dan proses-proses yang mewujudkan kaedah tersebut dalam kenyataan.23 Hukum atau keseluruhan kaedah dan azas yang dimaksud adalah keseluruhan kaedah dan azas yang terkadung dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan hidup, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat Negara-negara termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan Negara, diwujudkan

23 Mochtar Kusuma Atmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Binacipta,

(2)

dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan internasional.24

Perkembangan hubungan internasional dan hukum internasional selama beberapa dekade terakhir ini telah mendefinisikan langkah maju dari hukum yang hanya saling hidup berdampingan dan aturan hukum yang abstain menuju kerja sama hukum yang positif, yaitu dengan negara-negara menjadi lebih bergantung satu sama lain dalam dunia yang semakin kompleks dengan masalah lingkungan dan sosialnya. Peningkatan jumlah isu-isu internasional membutuhkan peraturan internasional dan kerjasama untuk dapat mengaturnya, dan bidang hukum lingkungan internasional adalah salah satu isu kunci dari perkembangan isu saat ini.25

Hukum lingkungan internasional adalah salah satu cabang ilmu yang mulai berkembang sejak tahun 60-an, United Nations

Conference on the Human Environment yang lebih dikenal dengan

Konferensi Stockholm yang diadakan di Stockholm pada tahun 1972 merupakan konferensi dengan isu lingkungan hidup internasional yang pertama kali dilaksanakan. Konferensi Stockholm merupakan

24 Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Lingkungan Internasional: Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm. 1.

25 Jurgen Friedrich, 2013, International Environmental “soft law”, New York, Springer,

(3)

titik balik dalam perkembangan politik lingkungan hidup internasional.26 Konferensi Stockholm melahirkan konsep “Hanya Ada Satu Bumi” (Only One Earth).

Penting untuk menyadari bahwa hukum lingkungan internasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum publik internasional. Prinsip-prinsip hukum publik internasional seperti kewajiban untuk bernegosiasi dengan itikad baik, prinsip bertetangga baik dan pemberitahuan (notification), dan tugas untuk menyelesaikan sengketa secara damai juga berlaku pada hukum lingkungan internasional. Pada saat yang sama, pengembangan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional dan konsepnya dapat mempengaruhi perkembangan prinsip-prinsip di bidang hukum internasional.27

2.2 Pengertian Tanggungjawab Negara

Tanggung jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh

26 John Baylis, Steve Smith, 2005, The Globalization of World Politics (3rd ed), Oxford

University Press, hlm. 454-455.

27 United Nation Environment Programme, Training Manual on International Environmental Law, Division of Environmental Policy & Law, Kenya, hlm. 24.

(4)

pihak lain.28 Dalam kajian hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul akan timbul apabila suatu Negara telah melanggar atau menganggu batas-batas wilayah Negara baik langsung ataupun tidak langsung dan perbuatan tersebut telah merugikan Negara lain. Dalam praktiknya pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional saja. Sehingga bias dikatakan, apabila suatu perbuatan negara yang merugikan negara lain tetapi perbuatan tersebut tidak dikategorikan melanggar hukum internasional, maka perbuatan tersebut tidak menimbulkan pertanggungjawaban. Salah satu contoh konkritnya adalahperbuatan negara menolak seorang warga negara asing yang masuk ke dalam wilayah negaranya.29

State responsibilities atau pertanggungjawaban negara

mengandung kewajiban dari suatu negara untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan dari sebuah serangan yang dilakukan dalam wilayah yurisdiksinya dan melawan anggota lainnya dari komunitas internasional.30 Sehingga dapat dikatakan bahwa, adanya

28

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 1006.

29 F, Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan UAJ Yogyakarta, hlm. 77. 30 Joseph P Harris, 1935, Introduction to the Law of Nations, McGraw Hill Series Inc.,

(5)

konsep pertanggungjawaban negara adalah bentuk perlindungan hukum dalam konteks internasional dan upaya sadar untuk mencegah suatu kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik.

Salah satu prinsip yang diakui dan dilindungi oleh hukum internasional adalah prinsip kedaulatan negara, dimana setiap negara berhak untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu di dalam yuridiksinya. Akan tetapi dalam konteks hubungan internasional, setiap negara harus dan wajib menghormati serta mengakui kedaulatan negara. Namun kedaulatan tersebut bukanlah tidak ada batasnya, dimana setiap negara dalam menikmati hak kedaulatannya berkewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut.

Suatu Negara dapat dimintai pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakannya yang melawan hukum akibat perbuatan dan kelalaiannya. Latar belakang adanya tanggung jawab di dalam hukum internasional adalah bentuk upaya sadar masyarakat internasional untuk dapat hidup berdampingan, dimana setiap negara bebas menikmati haknya namun dibarengi dengan kewajiban untuk menghormati hak-hak negara lain. Sehingga, setiap perbuatan atau kelalaian yang menimbulkan hilangnya hak negara lain, mewajibkan Negara tersebut untuk memperbaiki kondisi atau keadaan tersebut.

(6)

2.3 Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Tanggungjawab Negara

Aktivitas negara dalam menjalankan hubungan internasional kadangkala tidak dapat terhindar dengan resiko timbulnya konflik dan kesalahan. Sehingga dibutuhkan suatu konsep dimana, ketika negara tersebut melakukan kesalahan, negara tersebut berkewajiban memulihkan atau memperbaiki kesalahannya. Dewasa ini, konsep pertanggungjawaban negara terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan jaman. Para ahli hukum internasional mengakui bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental hukum internasional.31

Prinsip tanggung jawab negara lahir dari kewajiban internasional yang bersifat primer (primary rules of obligation), yakni suatu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban suatu negara. Setiap negara yang menyandang hak tertentu adalah juga merupakan subjek yang mendukung kewajiban tertentu pula. Kewajiban ini merupakan sisi lain dari hak yang diberikan oleh hukum.32

31 M.N. Shaw, 1986, International Law, edisi 2, Butterworths, London, hlm. 466, dalam

Ian Brownlie, 1979 Principles of Public International Law, Oxford University Press, hlm. 431, seperti dikutip oleh Huala Adolf, 1996, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum

Internasional, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 174.

32 Arif, 2000, Pencemaran Transnasional Akibat Kebakaran Hutan di Indonesia dalam Hubungannya dengan Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara, Tesis Pasca Sarjana

(7)

Fungsi dasar dari prinsip tanggung jawab negara dalam kajian hukum internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada setiap negara, antara lain dengan cara mewajibkan setiap negara pelanggar membayar ganti rugi kepada negara yang menderita kerugian yang diakibatkannya.33 Pertanggungjawaban negara biasanya dilakukan dalam bentuk perbaikan, rehabilitasi ataupun ganti rugi, dan bentuk pertanggungjawabannya sangat tergantung pada peristiwa yang terjadi.

Dalam praktiknya, negara yang menderita kerugian akan meminta sesuatu yang bersifat satisfaction melalui cara-cara diplomatis. Disisi lain, apabila suatu negara merasa kehormatannya direndahkan, permohonan maaf resmi dari negara yang melakukan perbuatan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab negara yang akan dilakukan. Sedangkan kesalahan negara yang menimbulkan suatu kondisi kerugian dan membutuhkan perbaikan ataupun kompensasi, jalur hukum biasanya akan diajukan kepada badan arbitrase internasional atau tribunal untuk memutuskan suatu perkara.34

33 Ibid.

(8)

Menurut Sharon Williams, ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara yaitu:35

2.3.1. Subjective fault criteria

2.3.2. Objective fault criteria

2.3.3. Strict Liability

2.3.4. Absolute Liability

Subjective fault criteria menentukan arti pentingnya

kesalahan, baik dolus maupun culpa si pelaku untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara atau tidak. Dalam konsep

objective fault criteria ditentukan melalui adanya

pertanggungjawaban negara yang timbul dari atas suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Namun, negara tersebut dapat dibebaskan atas suatu tanggung jawab apabila negara tersebut dapat menunjukkan adanya forcé majeure atau adanya tindakan pihak ketiga.

Lebih lanjut lagi, Konsep strict liability membebani negara dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan (commission) atau kelalaian (ommission) pada yurisdiksinya dan akibat kelalaian atau

35 Sharon Williams, 1984, Public International Governing Trans-boundary Pollution,

(9)

perbuatan tersebut menyebabkan kerugian bagi negara lain. Akan tetapi dalam konsep ini acts of God, tindakan pihak ketiga atau forcé

majeure dapat digunakan sebagai alasan pemaaf (exculpate) yang

dapat melepaskan Negara dari pertanggungjawabannya. Disisi lain, menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam konsep ini negara bertanggung jawab penuh walaupun segala standar telah dipenuhi.36

Dalam konteks kerusakan lingkungan, pelaksanaan kegiatan di dalam suatu wilayah negara terhadap lingkungannya merupakan perwujudan kedaulatan dari suatu negara. Jika kegiatan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara lainnya (the act injuries to

another states) maka timbullah tanggung jawab negara. Prinsip responsibility dikaitkan pula dengan legal strategy, yakni upaya

pencegahan terhadap suatu aktivitas dengan cara menetapkan standar permisible injury atau ambang batas dari kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan (environmental injuries) dapat pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang timbul dari kegiatan

36 Ibid.

(10)

ekonomi. Adanya kerusakan lingkungan ditetapkan berdasarkan ambang batas atau baku mutu lingkungan.37

Penetapan permisible injury dilakukan berdasarkan putusan pengadilan internasional, atau penetapan standar perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, dan melalui pelaksanaan fungsi pengaturan oleh badan-badan internasional. Sebagian besar tanggung jawab negara ini didasarkan pada ketentuan larangan

injury of one state to another. Berbeda halnya apabila suatu

kerusakan tersebut terjadi di wilayah yang termasuk common

heritage of mankind (wilayah-wilayah yang merupakan warisan

bersama umat manusia) maka tanggung jawab yang timbul adalah tanggung jawab internasional (shared responsibility).38

Dalam kajian hukum lingkungan internasional, terdapat beberapa prinsip yang diakui dan diatur secara internasional. Salah satu prinsipnya principles of good neighbourliness yang mengatur kewajiban Negara untuk tidak menganggu kedaulatan Negara lain. Prinsip selanjutnya yakni preservation and the protection of

environment yang menegaskan tindakan-tindakan apa saja yang

perlu diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan

37 Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, ed. 2, cet. 1, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 129-137.

(11)

bagi kondisi yang baik di masa depan. Kemudian preventive

principle yang mengatur terkait upaya-upaya pencegahan kerusakan

lingkungan.

Pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip diatas akan berimbas kepada penerapan prinsip berikutnya yakni prinsip ke 21 Deklarasi Stockholm yang menuntut negara pencemar untuk melakukan usaha perbaikan akibat perbuatannya. Pendekatan yang sama ini bisa juga dilihat dalam Pasal 2 (1) dari Konvensi ECE tentang Pengendalian Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus ikut serta dalam upaya pencegahan dan mengurangi dampak pencemaran lintas batas. Pada umumnya kewajiban setiap negara adalah mewujudkan langkah-langkah administratif dan legislatif untuk melindungi lingkungan sehingga dapat dikatakan sebagai pemerintah yang baik.39

Prinsip lain yang juga dikenal luas adalah kerjasama antara negara untuk mitigasi resiko kerusakan lingkungan lintas batas. Prinsip ini juga tercantum dalam prinsip ke 24 Deklarasi Stockholm. Lalu ada juga prinsip polluter pays principle yang menekankan pada prinsip ekonomi dimana negara pencemar atau Penyebab kerusakan

39 Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, 1992, International Law & The Environment,

(12)

dituntut untuk membiayai tindakan yang dibutuhkan agar lingkungan kembali pada kondisi semula.40 Berikutnya adalah prinsip ’balance of interest’ keseimbangan kepentingan pihak-pihak yang telah dirugikan. Prinsip ini terdapat di dalam Pasal 9 Draft on

State Responsibility. Kemudian ada juga prinsip non-diskriminasi

yang mewajibkan negara untuk menanggulangi akibat-akibat yang diderita oleh Negara lain dengan cara yang sama tanpa membedakan dengan apa yang sudah dilakukan di negaranya.

Berdasarkan prinsip pencemar membayar dan asas strict

liability telah dikembangkan prosedur tentang pembuktian yang

disebut shifting or alleviating the burden of proofs. Penerapan asas

strict liability dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan:41

2.3.1. Strict liability with contributory negligence defense, yakni strict liability diterapkan kepada tergugat sepanjang pihak

korban tidak mempunyai andil kesalahan atas timbulnya kerugian, kesalahan dari pihak tergugat tidak perlu dibuktikan;

40

M Ramdan Andri GW, Masalah Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban (“Liability Theories”), Asuransi, Dan Dana Ganti Kerugian, Jurnal Hukum Lingkungan

ISSN 0854-7378 Tahun V No. I/1999, hlm. 5.. 41 Ibid.

(13)

2.3.2. Negligence with contributory negligence defense, yakni

tergugat bertanggungjawab apabila kerugian itu timbul karena kesalahannya, beban pembuktian ada pada tangan penggugat;

2.3.3. Comparative negligence, yakni ganti kerugian akan

disesuaikan dengan proporsi dari besarnya andil terhadap timbulnya kerugian.

2.4 Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan dan

Lahan

Eksploitasi hutan yang berlebihan demi lahan perkebunan, pembersihan lahan dengan metode (land clearing) oleh perusahaan-perusahaan dengan cara pembakaran hutan secara terbuka demi menekan biaya produksi merupakan salah satu penyebab terjadinya

Tranboundary Haze Pollution atau yang lebih dikenal juga sebagai

polusi kabut asap. Kebakaran hutan yang menghasilkan polusi asap tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara tempat terjadinya kebakaran, namun juga menyebabkan kerugian pada negara lain. Sejak tahun 1997, kebakaran hutan telah menjadi peristiwa tahunan yang sudah merugikan negara secara ekonomi dan aspek lainnya.

(14)

Pada kurun waktu 1997-1998 saja, kebakaran hutan telah mengakibatkan kerugian negara sebesar 3 Milyar Dollar Amerika.42

Transboundary haze pollution sejatinya telah melanggar

hak-hak warga negara yang telah dijamin konstitusi dan juga hukum internasional. Seperti hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang tertera dalam prinsip 21 deklarasi Stockholm, hak mengajukan gugatan, hak atas perlakuan yang sama dan juga yang tidak kalah penting adalah hak anak cucu bagi lingkungan yang baik kelak.43

Besarnya dampak negatif yang dihasilkan oleh polusi asap terhadap lingkungan, telah menggerakkan Negara-negara di ASEAN untuk mengesahkan sebuah perjanjian lingkungan hidup yang bertujuan untuk mengendalikan pencemaran polusi asap di Asia Tenggara yaitu The ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution (AATHP).44 ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution ditandatangani tanggal 10 Juni tahun 2002 di Kuala

Lumpur, Malaysia. Pada saat itu negara-negara yang menandatangani adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia,

42 “WWF desak Indonesia ratifikasi perjanjian asap”,

http://www.bakornaspb.go.id/website/index.php?option=com_content&task=view&id=1 691&Itemid=120, diakses pada tanggal 3 April 2015, jam 10.28 WIB.

43 Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, 1992, International Law & the Environment, Oxford,

hlm. 190-214

44 “Sekretariat ASEAN” diakses dari Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap

(15)

Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Pada dasarnya, perjanjian ini menekankan kembali kepada Deklarasi ASEAN 8 Agustus 1967 yang menjadi titik awal kerjasama regional diantara negara-negara ASEAN. Dalam beberapa poin, perjanjian ini juga mengingat kembali pada pertemuan di Kuala Lumpur mengenai Lingkungan dan Pembangunan yang menyatakan perlunya pencegahan polusi lintas batas Negara, dan juga sebagai tidak lanjut ASEAN Cooperation Plan on

Transboundary Pollution yang khusus membahas mengenai polusi

lintas batas negara, dan menetapkan prosedur dan mekanisme kerjasama diantara negara ASEAN dalam pencegahan dan mitigasi kebakaran hutan dan kabut asap.45

Referensi

Dokumen terkait

kualifikasi yang harus terpenuhi dalam suatu perjanjian untuk dapat disebut sebagai. perjanjian internasional, yaitu: (i) kata sepakat, (ii) subyek-subyek hukum

Berdasarkan berbagai definisi tersebut, fraud dapat juga disederhanakan sebagai kecurangan yang mengandung makna suatu penyimpangan dan perbuatan melanggar hukum (illegal

Dalam khasanah manajemen sektor publik, Pertanggungjawaban (akuntabilitas) keuangan adalah bagian inheren dari setiap pengelolaan anggaran negara, artinya seluruh

Untuk mengungkap terjadinya suatu tindak pidana didahului dengan adanya laporan atau pengaduan terhadap tindakan yang melanggar hukum yang menyangkut kepentingan anggota

Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik tidak menentukan kriteria kewarganegaraan Negara-negara Pihak pada Kovenan, tapi Komite Hak Asasi Manusia

Tindak Pidana Narkotika merupakan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2.2.1 Teori Negara Hukum Kesejahteraan Teori negara hukum kesejahteraan diprakarsai oleh Freidrich Julius Stahl yang merupakan pemikir Jerman.Teori ini berawal dari anggapan bahwa