J
URNAL
K
EUANGAN
P
UBLIK
Vol. 5, No. 1, Oktober 2008Hal 85 - 137
ANALISIS RISIKO KETIDAKPATUHAN WAJIB PAJAK SEBAGAI DASAR
PENINGKATAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK
(Penelitian terhadap Wajib Pajak Badan Di Indonesia) 1
Oleh: Wahyu Santoso2
Abstrak.
Analisis dalam penelitian ini berhasil membuat fungsi diskriminan yang dapat digunakan untuk mengelompokkan wajib pajak menurut risiko ketidakpatuhannya, yaitu risiko bahwa ada pajak yang tidak dibayar karena wajib pajak tidak patuh, sehingga dapat digunakan untuk memprediksi kecenderungan wajib pajak sesuai dengan risiko ketidakpatuhan (rendah, menengah dan tinggi). Selanjutnya, fungsi diskriminan dapat dikembangkan menjadi alat efektif untuk pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa. Pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa berdasarkan tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak akan dapat memperbaiki efektivitas pemeriksaan pajak dalam rangka meningkatkan kapatuhan wajib pajak. Selain itu, penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi variabel-variabel yang berpengaruh kepada ketidakpatuhan wajib pajak badan. Variabel-variabel tersebut adalah tarif pajak, penalti, status pemeriksaan, struktur permodalan (debt to equity ratio), pemegang saham, jenis usaha, skala usaha, pajak relatif terhadap penjualan, dan kompensasi kerugian. Variabel dominan untuk masing-masing kelompok risiko ketidakpatuhan menurut penelitian ini adalah: (1) untuk sampel keseluruhan, tiga variabel paling dominan adalah sanksi, profitabilitas, dan rasio pajak terhadap penjualan; (2) untuk data sampel kelompok risiko ketidakpatuhan rendah tiga variabel paling dominan adalah tarif efektif, profitabilitas, dan rasio pajak terhadap penjualan; (3) untuk sampel kelompok risiko ketidakpatuhan menengah, tiga variabel paling dominan adalah profitabilitas, rasio pajak terhadap penjualan dan status pemeriksaan; dan (4) untuk sampel kelompok risiko ketidakpatuhan tinggi, tiga variabel yang paling dominan adalah debt to equity ratio, sanksi dan peredaran usaha.
Keywords: kepatuhan pajak, risiko wajib pajak.
1 Disertasi pada Program Doktor Manajemen Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 2006. 2 Kepala Kantor Pelayanan Pajak Serang.
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
PENDAHULUAN
Komponen penerimaan pajak sebagai unsur penerimaan negara dalam APBN mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari realisasi penerimaan pajak dalam Ang-garan Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun anggaran 1991/ 1992, realisasi penerimaan pajak men-capai Rp 20,1 triliun. Sedangkan pada tahun anggaran 2001 jumlah tersebut telah mencapai Rp 158,5 triliun atau meningkat lebih dari 600% dalam kurun waktu sepuluh tahun. Dengan menge-sampingkan faktor lain, seperti kenai-kan nilai tukar dan inflasi, penerimaan pajak dalam rentang waktu sepuluh tahun tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Besarnya kebu-tuhan penerimaan pajak dalam APBN menuntut administrasi pajak di Indone-sia untuk dapat bekerja secara efisien dan efektif, karena sumber daya yang dimiliki oleh administrasi pajak terbatas. Perubahan sistem perpajakan dari
official assessment menjadi self assessment, di mana wajib pajak diberi
kepercayaan untuk mendaftar, menghi-tung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakannya menjadikan kepatuhan sukarela wajib pajak sebagai kunci keberhasilan pemungutan pajak. Meskipun demikian, kondisi kepatuhan wajib pajak di Indo-nesia masih rendah, ditunjukkan dengan masih sedikitnya wajib pajak orang pribadi yang terdaftar sebagai wajib pajak dan dari wajib pajak yang terdaftar hanya sebagian yang melaporkan kewajiban perpajakannya. Sebagai gam-baran, misalnya pada tahun 2000, dari sekitar 200 juta penduduk Indonesia
hanya sekitar 1,3 juta orang yang terdaftar sebagai wajib pajak.
Ada tiga fungsi administrasi pajak dalam sistem self assessment yaitu: (1) pendidikan (penyuluhan); (2) pelayanan
(customer service); dan (3) pengawasan
atau penegakan hukum (enforcement) (Milack, 2005). Pemeriksaan pajak merupakan wujud dari fungsi pengawa-san yang dilakukan DJP sebagai bentuk pelaksanaan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Sebagaimana layaknya sebuah pe-meriksaan, untuk melakukan pemeriksa-an pajak juga perlu dilakukpemeriksa-an pere-ncanaan agar hasil pemeriksaan tersebut optimal. Salah satu langkah dalam
perencanaan pemeriksaan adalah
penentuan audit risk dan inherent risk dari obyek pemeriksaan (Arens et al: 2006:241). Penentuan risiko tersebut dilakukan untuk menilai tingkat kesala-han secara material dalam suatu laporan keuangan (rendah, menengah dan tinggi) sehingga dapat digunakan untuk menen-tukan tingkat kedalaman pemeriksaan yang akan dilakukan.
Dalam kaitannya dengan peren-canaan pemeriksaan pajak, penentuan
audit risk dan inherent risk dapat
dianalogikan dengan penentuan risiko bahwa satu wajib pajak akan melakukan pelaporan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan sehingga berpotensi terdapat kesalahan atau wajib pajak tersebut tidak patuh dalam pelaporan pajaknya. Penentuan risiko wajib pajak dapat dilakukan dalam dua tingkatan, yaitu di tingkat kebijakan berupa penentuan wajib pajak mana yang akan diperiksa (audit selection) dan tingkat operasional, yaitu pada saat melakukan pemeriksaan wajib pajak.
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
Penentuan risiko wajib pajak pada tingkat kebijakan mutlak dilakukan karena administrasi pajak tidak akan mungkin melakukan pemeriksaan atas seluruh wajib pajak yang terdaftar mengingat keterbatasan sumber daya yang ada (OECD, 2005). Pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa yang efektif (effective audit case selection) akan menimbulkan persepsi positif di wajib pajak karena wajib pajak yang patuh mempunyai risiko diperiksa yang lebih kecil dibandingkan dengan wajib pajak yang tidak patuh. Di sisi lain, pemeriksaan akan menjadi lebih efisien karena hanya fokus pada wajib pajak yang tidak patuh (Millack, 2005). Pemeriksaan yang tidak memperhi-tungkan tingkat kepatuhan wajib pajak dapat berakibat pada dilakukannya pemeriksaan kepada wajib pajak wajib pajak patuh, sementara wajib pajak yang tidak patuh justru tidak diperiksa. Hal ini akan berakibat pada rendahnya efekti-vitas tujuan pemeriksaan yaitu tercipta-nya kepatuhan wajib pajak yang tinggi.
Oleh karena itu, administrasi pajak perlu melakukan pendekatan yang siste-matis dalam menentukan wajib pajak mana yang akan diperiksa. Pendekatan sistematis yang umum digunakan oleh administrasi pajak di berbagai negara adalah pendekatan berdasarkan risiko ketidakpatuhan wajib pajak (risk-based
approach). Risiko ketidakpatuhan wajib
pajak adalah risiko yang harus ditanggung oleh administrasi pajak (atau pemerintah pada umumnya) karena perilaku wajib pajak yang tidak mema-tuhi ketentuan sehingga ada pajak terutang yang tidak dibayar (taxes at
risk) (OECD, 2001).
Berdasarkan latar belakang seperti dijelaskan di muka, dalam penelitian ini, penulis mengajukan pertanyaan peneli-tian sebagai berikut:
1) Berapa ukuran risiko ketidak-patuhan tiap-tiap kelompok wajib pajak berdasarkan perbedaan penghasilan neto antara Surat Pemberitahuan wajib pajak de-ngan hasil pemeriksaan.
2) Apakah terdapat perbedaan keti-dakpatuhan yang signifikan antara kelompok wajib pajak yang dike-lompokkan ke dalam wajib pajak risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi.
3) Variabel apa saja yang membe-dakan wajib pajak ke dalam kelompok risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi. Selain itu, dalam penelitian ini juga dilakukan pembatasan-pembatasan. Pembatasan pertama adalah penelitian ini terbatas pada kepatuhan material, yakni bagaimana perilaku wajib pajak dalam mengisi SPT untuk menentukan besarnya pajak terutang. Pembatasan kedua, lingkup penelitian ini terbatas pada tingkat kepatuhan dalam pelaksa-naan kewajiban material Pajak Pengha-silan. Pembatasan ketiga, faktor-faktor kepatuhan yang diperhitungkan sebagai variabel penelitian dibatasi pada faktor ekonomi dari ketidakpatuhan yang ada di dalam wajib pajak yang tercermin dalam pelaporan pajaknya dan faktor yang ada di dalam administrasi pajak yang bersifat kuantitatif misalnya tingkat penalti dan tingkat cakupan pemeriksaan.
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
KAJIAN PUSTAKA Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Simon James et al yang dikutip oleh Gunadi (2005), pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) ada-lah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, inves-tigasi seksama, peringatan, atau pun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Sementara Nurmantu (2003:148) mendefinisikan kepatuhan perpajakan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melak-sanakan hak perpajakannya.
Dalam Practice Note tentang
Compliance Measurement yang
diterbit-kan oleh OECD (2001), kepatuhan dibagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) kepatuhan administratif (administrative
compliance); dan (2) kepatuhan teknis
(technical compliance). Kepatuhan admi-nistratif mencakup kepatuhan pelaporan dan kepatuhan prosedural. Sedangkan kepatuhan teknis mencakup kepatuhan dalam penghitungan jumlah pajak yang akan dibayar oleh wajib pajak.
Berdasarkan kedua definisi kepa-tuhan di muka, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan administratif adalah kepatuhan formal, yakni kepatuhan yang terkait dengan ketentuan umum dan tatacara perpajakan. Sedangkan kepatu-han teknis adalah kepatukepatu-han material, yakni kepatuhan yang terkait dengan kebenaran pengisian SPT dalam menen-tukan jumlah pajak yang harus dibayar.
Dalam studi kepatuhan pajak, terdapat dua model utama yang menje-laskan tingkat kepatuhan pajak, yaitu: (1)
model konvensional (model generasi pertama); dan (2) model generasi kedua (Manasan, 2000 dalam Gunadi, 2005). Model konvensional lebih menekankan persoalan tax evasion dari sisi wajib pajak (taxpayers) dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilakunya. Sementara dalam model generasi kedua, persoalan kepatuhan pajak juga ditentukan oleh pelaku lain, yaitu petugas pajak (tax
collector). Dalam model generasi kedua,
analisis dilakukan pada pola perilaku kedua belah pihak secara bersamaan untuk mengetahui respon mereka bila terjadi perubahan tarif pajak, tingkat kemungkinan untuk terdeteksi, tingkat penalti, dan sistem bonus bagi petugas pajak.
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan model
konvensional yaitu pengembangan mo-del untuk menentukan risiko ketidak-patuhan wajib pajak didasarkan pada perilaku pelaporan pajak wajib pajak. Penulis beranggapan bahwa wajib pajak adalah rasional sehingga dalam melaporkan kewajiban perpajakannya akan memperhitungkan berbagai hal yang mungkin akan dihadapi akibat pelaporan yang dilakukannya, misalnya perilaku pihak administrasi pajak dalam menanggapi pelaporan pajak.
Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak
Dalam pelaksanaan pengumpulan pajak, administrasi pajak akan mengha-dapi risiko atas penerimaan dari wajib pajak yang tidak patuh atau risiko ketidakpatuhan wajib pajak, yakni risiko yang harus ditanggung oleh administrasi pajak karena perilaku wajib pajak yang tidak mematuhi ketentuan sehingga ada pajak terutang yang tidak dibayar (taxes
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
mengasosiasikan risiko ini sebagai tax
gap, yaitu selisih antara penerimaan
pajak potensial dengan penerimaan pajak aktual atau perbedaan antara realisasi penerimaan pajak dengan penerimaan yang seharusnya diterima apabila wajib pajak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara penuh.
Sementara itu, Sommerfeld et al (1994) menjelaskan tax gap sebagai besarnya penerimaan pajak yang hilang karena adanya ketidakpatuhan, yang berbentuk baik penghasilan yang tidak dilaporkan (underreported income) maupun pengurang penghasilan yang lebih dilaporkan (overstated
deduc-tions). Berdasarkan penjelasan
Sommer-feld et al ini, dapat disimpulkan bahwa
tax gap akibat ketidakpatuhan wajib
pajak badan di Indonesia adalah gabu-ngan antara selisih penghasilan yang dilaporkan wajib pajak (SPT) dengan penghasilan menurut hasil pemeriksaan (koreksi penghasilan) dan biaya yang dilaporkan wajib pajak (SPT) dengan biaya menurut hasil pemeriksaan (koreksi biaya). Dengan demikian, ketidakpatuhan wajib pajak badan dalam satu tahun dapat diukur dengan koreksi penghasilan dan koreksi biaya pengurang penghasilan. Kedua jenis koreksi ini merupakan koreksi pengha-silan neto wajib pajak sebelum diper-hitungkan dengan kompensasi kerugian dari tahun pajak sebelumnya yang dimiliki oleh wajib pajak.
Apabila dihubungkan dengan ketidakpatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT-nya, maka wajib pajak dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok berdasarkan risiko ketidak-patuhannya (OECD, 2005), yaitu: risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan
tinggi. Kelompok risiko ketidakpatuhan rendah mencakup wajib pajak yang secara sadar mempunyai kemauan untuk patuh. Wajib pajak dalam kelompok ini mempunyai komitmen untuk mendu-kung dan menerima sistem yang ada, yaitu sistem yang menghendaki bahwa sebagai anggota masyarakat mereka harus membayar pajak, dan bersedia melaksanakan kewajiban yang dikehen-daki oleh sistem tersebut. Kelompok
risiko ketidakpatuhan menengah
meliputi kelompok wajib pajak yang pada prinsipnya mereka bersedia melaksanakan kewajiban yang dikehen-daki oleh sistem perpajakan yang ada, akan tetapi mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kewajiban tersebut karena kurangnya pemahaman atas hal-hal yang menjadi kewajiban mereka. Sedangkan kelompok risiko ketidakpatuhan tinggi mencakup kelompok wajib pajak yang secara sadar tidak mau memenuhi kewajiban mereka atau wajib pajak yang menolak sistem perpajakan yang ada.
Variabel-variabel Ketidakpatuhan Wajib Pajak
Banyak penelitian yang membahas mengenai variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Allingham dan Sandmo (1972) menggu-nakan konsep expected utility untuk menjelaskan perilaku kepatuhan wajib pajak. Mereka menggunakan variabel-variabel yang dikenal sebagai faktor ekonomi, yaitu: penghasilan sebelum pajak, tarif pajak, besarnya peluang untuk diperiksa dan besarnya penalti. Sementara Erard (1997) menyimpulkan bahwa skala usaha wajib pajak dapat berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak. Joulfaian dan Rider (1998) menyatakan, selain tarif pajak, jenis
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
usaha wajib pajak serta faktor demografi yang meliputi usia, keluarga (family
size), dan tempat tinggal/lokasi akan
mempengaruhi ketidakpatuhan wajib pajak. Jenis usaha yang dibahas oleh Joulfaian dan Rider juga dibahas oleh Forest (2004).
Krause (2000) berpendapat bahwa pengetahuan atau pemahaman wajib pajak atas peraturan perpajakan dapat mempengaruhi juga terhadap patuh tidaknya wajib pajak. Pendapat Krause ini sejalan dengan OECD (2001) yang menyatakan bahwa pengetahuan wajib pajak akan menentukan tingkat kepatu-han wajib pajak.
Selain variabel di atas, faktor personal dan situasional wajib pajak dapat juga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Faktor personal tersebut meliputi moral, orientasi nilai dan preferensi terhadap risiko. Sedangkan faktor situasional meliputi ada atau tidak adanya pemeriksaan pajak, ketidaksamaan beban pajak, bagaimana perilaku kelompok referensi dalam pelaporan pajak, dan faktor tersedianya barang publik (Trivedi et al, 2001).
Kesempatan untuk melakukan
underreporting akan mendorong
kecen-derungan wajib pajak melakukan
ketidakpatuhannya dalam membayar pajak. Sementara unsur permodalan (Chattopadhayay et al, 2002) yang menyangkut siapa pemegang saham perusahaan juga bagaimana struktur modal melalui perbandingan hutang dengan ekuitas akan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.
Dalam analisis kepatuhan yang dikembangkan oleh Allingham et al (1972), individu diasumsikan memper-oleh penghasilan yang jumlahnya tetap dan harus memilih berapa jumlah penghasilan yang akan dilaporkan pada administrasi pajak. Apabila seorang individu memperoleh penghasilan yang sebenarnya sebesar y, pendapatan yang dilaporkan x, penghasilan setalah pajak penghasilan v, tarif pajak t, tingkat kemungkinan terdeteksi p dan denda atas penghasilan yang tidak dilaporkan s, maka berdasarkan konsep expected
utility, seorang wajib pajak akan
melaporkan penghasilannya sedemikian rupa sehingga tingkat expected utility dari penghasilan yang diterimanya, EU
[I], akan maksimal. Tingkat EU seorang
wajib pajak adalah fungsi dari utility penghasilan setelah pajak baik dalam kondisi penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi maupun tidak. Dengan demikian, expected utility wajib pajak dapat adalah:
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
Besaran (1 – p)U{v + t(y – x)} merupakan utility penghasilan wajib pajak apabila penghasilan yang tidak dilaporkan tidak terdeteksi, terdiri dari
utility penghasilan yang sebenarnya dan utility pajak yang tidak dibayar.
Sedangkan besaran pU{v - s(y – x)} merupakan utility apabila penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi, yaitu utility penghasilan yang sebenarnya dikurangi dengan utility penalti yang harus dibayar karena ada penghasilan yang tidak dilaporkan.
Dalam model yang dikembang-kan oleh Allingham et al ini, wajib pajak dilihat sebagai investor yang mempunyai pilihan dua jenis investasi, yaitu: (1) investasi pada aset berisiko berupa penghasilan yang tidak dilapor-kan; dan (2) investasi pada aset tidak berisiko berupa penghasilan yang dilaporkan (Reinganum et al, 1986). Dalam perspektif yang demikian, wajib pajak akan berusaha memaksimalkan
expected utility dari kedua bentuk
investasi tersebut dengan mempertim-bangkan kondisi-kondisi yang dihadapi oleh wajib pajak, seperti probabilitas wajib pajak akan diperiksa oleh administrasi pajak, tarif pajak dan tingkat penghasilan.
Probabilitas wajib pajak akan diperiksa ditentukan oleh seberapa luas cakupan pemeriksaan yang dilakukan oleh administrasi pajak. Cakupan pemeriksaan adalah rasio antara jumlah wajib pajak diperiksa dibanding dengan jumlah wajib pajak keseluruhan (audit
rate). Dengan demikian, semakin tinggi
cakupan pemeriksaan pajak, semakin tinggi probabilitas wajib pajak akan diperiksa. Apabila audit rate tinggi, wajib pajak akan cenderung melaporkan
sebagian besar dari penghasilannya ke administrasi pajak. Berdasarkan formula
expected utility, semakin besar
proba-bilitas diperiksa p dan faktor lain tetap,
utility dari penghasilan yang tidak
dilaporkan, (1 – p)U{v + t(y – x)}, akan turun. Di pihak lain, utility penghasilan yang dilaporkan, pU{v - s(y – x)}, akan semakin tinggi.
Tarif pajak merupakan bagian dari penghasilan yang dilaporkan yang harus dibayarkan kepada negara oleh wajib pajak. Pada tingkat penghasilan dan penghasilan yang dilaporkan tertentu, tarif pajak akan berpengaruh negatif pada utility wajib pajak. Semakin rendah tarif pajak akan meningkatkan utility wajib pajak dan akan memberikan insentif bagi wajib pajak untuk melaporkan penghasilaannya kepada administrasi pajak. Meskipun demikian, beberapa penelitian menyatakan bahwa hubungan antara faktor tarif pajak dengan jumlah pajak yang dilaporkan adalah ambigu (Ali, 2001).
Pada kondisi tingkat penghasilan rendah, tarif pajak rendah akan mendorong wajib pajak untuk mela-porkan penghasilannya pada administra-si pajak. Meskipun demikian, apabila tarif pajak dan penghasilan tinggi, wajib pajak akan cenderung tidak melaporkan penghasilannya kepada administrasi pajak. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat pada tingkat probabilitas diperiksa tertentu, utility wajib pajak (utility (1 – p)U{v + t(y – x)} dan utility
pU{v - s(y – x)}) akan turun apabila dia
melaporkan seluruh penghasilannya kepada administrasi pajak.
Faktor ekonomi berikutnya yang berpengaruh pada kepatuhan adalah penalti. Penalti akan dikenakan apabila
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
penghasilan yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak dideteksi pada saat pemeriksaan. Pada kondisi penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi, selain harus membayar pajak terutang dari penghasilan yang tidak dilaporkan, wajib pajak juga harus membayar penalti. Tingkat penalti berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak karena menurut konsep expected utility, wajib pajak akan melakukan underreporting sepanjang expected value penalti tersebut masih lebih rendah dari pada
expected value penghasilan yang tidak
dilaporkan. Untuk membuat setiap wajib pajak bersedia melaporkan seluruh penghasilannya, penalti harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga expected
value dari penalti tersebut lebih besar
dari expected value dari penghasilan
yang tidak dilaporkan. Dengan
demikian, tidak ada insentif bagi wajib pajak yang tidak melaporkan pengha-silannya (Lederman, 2003).
Erard (1997) menyimpulkan bahwa skala usaha wajib pajak dapat berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Hal ini berkaitan dengan masalah efisiensi, yaitu besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh satu perusahaan untuk tetap patuh diban-dingkan dengan jumlah pajak yang harus dibayar apabila wajib pajak tersebut tidak patuh dan terdeteksi oleh administrasi pajak. Sebagai contoh, wajib pajak perusahaan kecil mungkin tidak patuh karena tidak mempunyai pemahaman tentang teknis perpajakan yang memadai, tidak dapat mengikuti perkembangan aturan perpajakan, dan enggan menyewa ahli perpajakan untuk menangani masalah perpajakan mereka karena pertimbangan efisiensi biaya.
Tingkat kepatuhan wajib pajak juga ditentukan oleh jenis usaha wajib pajak (Joulfaian et al, 1998). Misalnya, wajib pajak orang pribadi dengan kegiatan usaha (self-employed) cende-rung kurang patuh dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya berasal dari gaji. Hal ini disebabkan wajib pajak yang pengha-silannya dari gaji menjadi subyek dari pemotongan pajak oleh pihak lain (withholding source) yaitu pemberi penghasilan sehingga kepatuhan wajib pajak tersebut akan lebih bisa terkontrol. Variabel jenis usaha dianggap relevan dalam penelitian ini karena di Indonesia terdapat perlakuan perpajakan yang berbeda pada beberapa jenis usaha. Misalnya, jenis usaha persewaan bangunan dikenakan Pajak Penghasilan Final sementara jenis usaha persewaan yang lain dikenakan Pajak Penghasilan biasa (tidak final).
Forest (2004), menyimpulkan bahwa ada wajib pajak yang bergerak dalam satu bidang usaha tertentu lebih patuh dari pada wajib pajak yang bergerak di bidang usaha lainnya. Hal ini dikarenakan ada jenis-jenis usaha tertentu yang sensitif pada dampak negatif yang akan diperoleh apabila ketidakpatuhan terdeteksi oleh adminis-trasi pajak. Hasil penelitian Forest ini memperkuat Joulfaian et al (1998) bahwa jenis usaha wajib pajak berpe-ngaruh pada kepatuhan wajib pajak
Variabel permodalan dilihat dari dua aspek: (1) pemegang saham, yaitu pemegang saham asing atau lokal; dan (2) struktur modal, yaitu sumber pembiayaan dari hutang atau ekuitas. Dalam kaitannya dengan wajib pajak badan, permodalan dikaitkan dengan
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
siapa pemegang saham perusahaan. Contoh, wajib pajak badan yang pemegang sahamnya adalah perusahaan multi-nasional dari luar negeri, akan menjalankan transaksi usahanya secara lebih mutakhir dalam rangka penghin-daran pajak dibanding dengan perusa-haan yang pemegang sahamnya terdiri dari individu-individu lokal. Hasil penelitian menunjukkan perkembangan cara-cara orang menjalankan transaksi usaha dewasa ini menggiring orang untuk melakukan transaksi-transaksi tidak terdokumentasi seperti dalam pembukuan secara konvensional. Cara-cara yang demikian akan memudahkan seseorang untuk menghindar dari pengenaan pajak (Chattopadhayay et al, 2002).
Selain itu, faktor permodalan juga berkaitan dengan struktur modal, yaitu perbandingan antara hutang dengan ekuitas (debt to equity ratio, DER). Perlakuan perpajakan yang berbeda antara biaya modal yang berasal dari hutang (bunga) dan ekuitas (dividen) bisa mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Bunga atas hutang dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak, sementara dividen tidak boleh dikurangkan karena merupakan bagian dari keuntungan setelah pajak.
Selain variabel-variabel seperti dijelaskan sebelumnya, ada satu variabel lagi yang akan dimasukkan dalam penelitian ini. Variabel tersebut adalah elemen-elemen dalam SPT. Model yang akan dihasilkan dari penelitian ini nantinya diharapkan akan menjadi alat
yang dapat digunakan untuk
menentukan SPT mana yang akan diperiksa. Salah satu hal faktor yang
diperhitungkan dalam membentuk
model yang demikian, adalah elemen-elemen SPT karena elemen-elemen-elemen-elemen SPT dapat memberikan informasi tentang bagaimana perilaku kepatuhan wajib pajak sehingga elemen-elemen isian dalam SPT dimasukkan sebagai salah satu variabel yang diduga akan menentukan ketidakpatuhan wajib pajak (Hunter at al, 1996).
Dalam penelitian ini, penulis memilih elemen SPT yang harus dima-sukkan ke dalam model pengelom-pokan wajib pajak berdasarkan tingkat risiko ketidapatuhannya. Elemen SPT yang dipilih adalah yang berkaitan dengan besaran penghasilan neto, yaitu profitabilitas, pajak per penjualan dan status kompensasi.
Profitabilitas adalah kemampuan
wajib pajak dalam memperoleh
keuntungan bersih dalam kegiatan usahanya. Profitabilitas dipilih karena wajib pajak adalah rasional yaitu berusaha memaksimalkan expected
utility penghasilannya. Untuk itu wajib
pajak akan menentukan berapa tingkat keuntungan yang ingin dilaporkan dan
tingkat keuntungan yang tidak
dilaporkan. Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis mempertim-bangkan profitabilitas mempengaruhi tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak.
Pajak per penjualan adalah perban-dingan antara jumlah pajak yang dibayar wajib pajak dengan jumlah penjua-lannya. Penulis memilih variabel ini karena wajib pajak adalah rasional dengan untuk memaksimalkan expected
utility dari penghasilannya. Untuk itu,
penulis berpendapat bahwa wajib pajak telah mempunyai batasan beban pajak
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
yang akan mereka tanggung secara sukarela dibandingkan dengan penjua-lannya. Dengan demikian, adanya batasan beban pajak yang secara sukarela akan dibayar oleh wajib pajak dibandingkan dengan penjualannya akan mempengaruhi tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak.
Status kompensasi adalah variabel yang menunjukkan dalam satu tahun pajak wajib pajak mempunyai kerugian dari tahun-tahun pajak sebelumnya yang bisa diperhitungkan dengan penghasilan neto tahun berjalan untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak pada tahun berjalan. Variabel ini dipilih karena adanya kompensasi kerugian dapat menyebabkan wajib pajak tidak harus membayar pajak meskipun dalam tahun berjalan wajib pajak memperoleh keuntungan. Hal ini berpengaruh pada tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak.
Pengelompokkan Wajib Pajak
Berdasarkan Risiko Ketidakpatuhannya
Pengelompokan wajib pajak ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan atribut yang sama yang ada pada wajib pajak tersebut biasa disebut dengan
segmentasi. OECD (2001) menegaskan
pentingnya administrasi pajak mela-kukan segmentasi berdasarkan ketidak-patuhan wajib pajak agar tercapai efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya administrasi pajak dalam setiap upaya peningkatan kepatuhan. Ini disebabkan setiap upaya tersebut dilaksanakan secara fokus kepada wajib pajak yang tidak patuh.
Dengan adanya model yang bisa
mengelompokkan wajib pajak
berdasarkan risiko ketidakpatuhannya, maka dasar pertimbangan perlakuan
(treatment) yang akan diberikan kepada
masing-masing kelompok wajib pajak akan lebih obyektif (OECD, 2001). Dengan demikian, diharapkan perlakuan terhadap wajib pajak yang berbeda-beda berdasarkan tingkat risikonya akan mampu mendorong kepatuhan sukarela
wajib pajak dan meningkatkan
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemeriksaan pajak.
Untuk itu, diperlukan adanya satu metode yang dapat mengelompokkan wajib pajak berdasarkan risiko
ketidakpatuhannya. OECD (2005)
membagi perilaku dan motivasi wajib pajak dalam kepatuhan menjadi empat, yaitu (1) wajib pajak yang secara sengaja beritikad untuk tidak patuh; (2) wajib pajak yang tidak patuh tetapi akan patuh apabila ada pengawasan; (3) wajib pajak berusaha untuk patuh tetapi belum berhasil; dan (4) wajib pajak yang secara sukarela patuh. Apabila dikaitkan dengan kelompok wajib pajak berdasar-kan risiko ketidakpatuhannya, risiko rendah, menengah, dan tinggi, maka wajib pajak kelompok pertama dan kedua termasuk ke dalam kelompok wajib pajak berisiko tinggi. Wajib pajak pada kelompok ketiga masuk dalam kelompok berisiko menengah, sedang-kan wajib pajak dalam kelompok
keempat merupakan wajib pajak
kelompok risiko rendah.
Berdasarkan pengelompokan ter-sebut, selanjutnya dapat ditentukan prioritas perlakuan wajib pajak berdasarkan risikonya, misalnya penrapan risk-based audit case selection. OECD (2005) menegaskan perlunya pendekatan administrasi pajak yang disesuaikan dengan perilaku dan motivasi wajib pajak. Dengan perlakuan
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
yang berbeda ini berarti administrasi pajak memberikan insentif kepada wajib pajak yang berperilaku dan mempunyai motivasi positif pada kepatuhan dan sebaliknya memberikan disinsentif kepada wajib pajak yang berperilaku dan mempunyai motivasi negatif pada kepatuhan. Sour (2001) membuktikan bahwa pemberian insentif yang positif kepada wajib pajak lebih meningkatkan kepatuhan dari pada pemberian sanksi keras.
Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, administrasi pajak perlu melakukan pendekatan atau perlakuan (strategi kepatuhan) yang berbeda kepada wajib pajak berdasarkan perilaku wajib pajak terhadap kepatuhan dan kelompoksasinya berdasarkan tingkat risiko. Strategi kepatuhan yang dapat dilakukan kepada wajib pajak berda-sarkan tingkat risikonya adalah sebagai berikut (OECD, 2005):
Tabel 1
Tingkat Risiko, Perilaku Kepatuhan dan Strategi Kepatuhan
Tingkat Risiko Perilaku terhadap Kepatuhan Strategi kepatuhan
Tinggi 1. wajib pajak yang secara sengaja beritikad untuk tidak patuh
2. wajib pajak yang tidak patuh tetapi akan patuh apabila ada pengawasan
Penegakan hukum secara penuh (pemeriksaan)
Menengah wajib pajak berusaha untuk patuh tetapi belum berhasil
Bantuan untuk menjadi patuh (penyuluhan)
Rendah wajib pajak yang secara sukarela patuh Pemberian kemudahan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan (pelayanan)
Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori seperti telah diuraikan dan premis-premis di muka, dalam penelitian ini akan diuji hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis 1:
Terdapat ukuran risiko ketidakpatuhan tiap-tiap kelompok wajib pajak berdasarkan perbedaan penghasilan neto antara Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak dengan hasil peme-riksaan.
Hipotesis 2:
Terdapat perbedaan antara kelompok wajib pajak yang dikelompokkan ke dalam kelompok wajib pajak berisiko ketidakpatuhan rendah, menengah
dan tinggi. Hipotesis 3:
Terdapat perbedaan variabel untuk membedakan wajib pajak dalam kelompok risiko ketidakpatuhan ren-dah, menengah dan tinggi.
BAHAN DAN METODE
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan anonim berupa data hasil pemeriksaan pajak wajib pajak badan tahun pajak 2001 yang selesai diperiksa sampai dengan Pebruari 2004 dan data SPT wajib pajak. Data diperoleh dari Sistem Informasi Perpajakan (SIP), Direktorat
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
Jenderal Pajak. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi terhadap sumber data sesuai dengan unit analisis, wajib pajak badan yang telah diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan data yang diambil dari SIP dalam bentuk
Microsoft Excel.
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh wajib pajak badan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2001 yang selesai diperiksa sampai dengan Pebruari tahun 2004, sebesar 9.920 wajib pajak. Dalam penelitian ini, teknik penarikan sampel yang digunakan adalah random sampling.
Untuk menentukan jumlah sampel, digunakan rumus sebagai berikut:
2
1 Ne
N
n
+
=
Di mana: n = jumlah sampel N = populasi e = tingkat kesalahan (5%)Dengan rumus tersebut diperoleh jumlah sampel minimal sebesar 385. Untuk penelitian ini peneliti mengambil sampel sebesar 25% dari populasi. Dengan metode random sistematis yang menggu-nakan angka random dan bantuan komputer diperoleh jumlah sampel sebesar 2.324 wajib pajak badan.
Rancangan Analisis dan Uji Hipotesis
Untuk pemodelan dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini digunakan empat model statistik yang terdiri dari Uji Chow, Multivariate Discriminant
Analysis dan t-test. Uji Chow (Chow Test) digunakan untuk mengelompokkan
wajib pajak berdasarkan tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak; rendah, menengah dan tinggi, menurut tingkat
koreksi penghasilan netto menurut SPT.
Multivariate Discriminant Analysis
digu-nakan untuk mengetahui apakah terda-pat perbedaan yang signifikan antara kelompok wajib pajak yang dikelom-pokkan ke dalam risiko ketidakpatuhan wajib pajak rendah, menengah dan tinggi, dan jika memang ketiga kelom-pok tersebut berbeda, variabel mana saja yang membedakan wajib pajak ke dalam kelompok risiko ketidakpatuhan rendah,
menengah dan tinggi. Untuk
memudahkan analisis data, dalam pene-litian ini digunakan bantuan software SPSS 13.
Pengujian Multikolinier
Multikolinier ialah kondisi di
mana terdapat hubungan antara
variabel-variabel bebas. Jika multiko-linier itu sempurna maka estimasi nilai koefisien regresi dari variabel-variabel
bebasnya mungkin tidak dapat
ditentukan dan standar error-nya tidak terbatas. Jika multikolinier kurang dari sempurna maka koefisien regresi walaupun bisa menentukan, tetapi memiliki standar error yang besar (dalam hubu-ngan dehubu-ngan koefisien mereka itu sendiri), yang berarti koefisien-koefisiennya tidak bisa diestimasi dengan akurasi yang tepat.
Cara umum untuk mendeteksi adanya multikolinier dalam model ialah dengan melihat bahwa adanya R2 yang
tinggi dalam model tetapi tingkat signifikansi t-statistiknya sangat kecil dari hasil regresi tersebut dan cende-rung banyak yang tidak signifikan. Selain itu untuk menguji multikolinier, bisa dilihat matrik korelasinya. Jika masing-masing variabel bebas berkorelasi lebih besar dari 80% maka termasuk yang memiliki hubungan yang tinggi atau ada indikasi multikolinieritas.
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
Pengujian Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi pokok dalam model regresi linier adalah homoke-dastisitas diartikan sebagai distribusi dari variabel gangguan ui, adalah suatu nilai
konstan yang sama σ2 untuk setiap nilai
dari variabel penjelasnya, misal: Xi.
E(ui2 ) = σ2 i = 1,2,3,…,N
Jika variannya tidak sama, maka dalam model tersebut terdapat situasi heteroskedastisitas, di mana :
E(ui2 ) = σi2 i = 1,2,3,…,N
Heteroskedastisitas sering terjadi pada model yang menggunakan data
cross section, karena data tersebut
menghimpun data yang mewakili berbagai ukuran (Sritua, 1993). Konse-kuensi logis dari adanya heteroskedas-tisitas ialah bahwa penaksir OLS tetap tidak bias dan konsisten tetapi penaksir tadi tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun sampel besar.
Terdapat beberapa metode untuk mengidentifikasi adanya heteroskedas-tisitas, antara lain: metode grafik, metode Park, metode rank Spearman, metode Lagrangian Multiflier (LM test) dan white heteroscedasticity test. Pada penelitian ini akan digunakan pengujian
White Heteroscedasticity Test.
a. Uji Heteroskedastisitas dengan Metode White’s General
Hetero-cedasticity
Metode pengujian dengan metode
White ini tidak menggunakan asumsi
normalitas sehingga sangat mudah untuk diimplementasikan. Jika suatu model ialah :
Yi = β1 + β2 X2i + β3 X3i + ui
Kemudian lakukan regresi tambahan dengan menggunakan model White sebagai berikut: i i i i i i i i
X
X
X
X
X
X
v
u
ˆ
2=
α
1+
α
2 2+
α
3 3+
α
4 22+
α
5 32+
α
6 2 3+
Regresi ini ialah regresi di mana variabel residual kuadrat dari regresi asli (3.6) diregres terhadap variabel independen yang asli (X) dan kuadrat dari variabel indepeden tersebut, serta dari interaksi variabel independennya (cross product(s) of the regressors). Dari hasil regresi ini tujuannya adalah untuk mendapatkan nilai R2 yang akan
digunakan dalam pengujian tahap 3. Pengujian hipotesis yang dilakukan ialah :
H0 : Tidak ada heteroskedastisitas
(homokedastis) H1 : Ada heteroskedastisitas
Pengujian:
Pada regresi persamaan (3.6) di atas didapat bahwa jumlah sampel (n) dikalikan dengan nilai R2 akan sama
(asymtot) dengan distribusi Chi-Square dengan degree of freedom (df) sama dengan jumlah regressor (tidak termasuk konstanta) di dalam regresi tambahan, yaitu:
n . R2 ~ χ2 df
dari persaman (3.6) di atas maka didapat
df = 5
Pengujian :
Jika nilai χ2 dari persamaan (3.6) lebih
besar dari nilai χ2 tabel maka H
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
yang artinya terdapat heteroskedastisitas di dalam model tetapi jika χ2 dari
persamaan (3.6) lebih kecil dari nilai χ2
tabel maka H0 diterima yang artinya
tidak terdapat heteroskedastisitas di dalam model.
b. Metode White (White’s
Heteroce-dasticity-Consistent Variances and Standard Errors )
White (1980) membuat suatu formula di dalam mengestimasi suatu
persamaan yang mengandung masalah heteroskedastisitas dengan mengguna-kan estimator matrik kovarians yang konsisten (heterocedasticity consistent
covariance matrix estimator) yang
nantinya memperbaiki estimasi dari koefisien-koefisien kovarians yang ter-dapat masalah heteroskedastisitas yang bentuknya tidak diketahui. Rumus matrik kovarians White adalah:
1 1 2 1
)
)(
.
(
)
(
ˆ
− = −′
′
′
−
=
X
X
∑
U
x
x
X
X
K
T
T
t t T t t tε
Di mana T adalah jumlah observasi, k adalah jumlah regresor, dan
U
i2 adalah kuadrat residualnya.Uji Hipotesis
1. Hipotesis 1
Terdapat ukuran risiko
ketidakpatuhan tiap-tiap kelompok wajib pajak berdasarkan perbedaan pengha-silan neto antara Surat Pemberitahuan wajib pajak dengan hasil pemeriksaan. a. Hipotesis Statistik
H0 : Tidak terdapat
perbe-daan hasil regresi
(inter-cept dan slope) antara
regresi atas full sample dengan sampel berda-sarkan pengelompokan yang ditentukan (wajib pajak risiko rendah, menengah dan tinggi) H1 : Terdapat perbedaan hasil
regresi (intercept dan
slope) antara regresi atas full sample dengan
sampel berdasarkan pe-ngelompokan yang di-tentukan (wajib pajak risiko rendah, menengah dan tinggi)
b. Uji Chow
Hipotesis ini diuji dengan Uji Chow (Chow Test) untuk melihat apakah pembagian risiko menurut tingkat koreksi penghasilan neto, dapat menge-lompokan wajib pajak ke dalam kelompok yaitu wajib pajak risiko ketidakpatuhan rendah dengan tingkat koreksi kurang dari nol sampai dengan 10%, wajib pajak risiko ketidakpatuhan menengah dengan tingkat koreksi antara 10% sampai dengan 20% dan wajib pajak risiko ketidakpatuhan tinggi dengan tingkat koreksi lebih besar dari 20%. Uji Chow didasarkan kepada hasil analisis regresi antara full sample dengan sampel masing-masing tingkat risiko.
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
(
N
N
k
)
S
k
S
F
2
2 1 4 5−
+
=
Keterangan: S5 = S1- S4 S4 = S2+ S3S1 = Residual Sum Square dari
Model (1) untuk Full Sample dalam hal ini seluruh wajib pajak yang terpilih menjadi sampel.
S2 = Residual Sum Square dari
Model (1) untuk
masing-masing pengelompokan (wajib pajak risiko rendah: memiliki TKp≤ 10%, menengah: 20%≤
TKp<10% dan tinggi: TKp>
20%)
S3 = Residual Sum Square dari
Mo-del (1) untuk sampel selain dari sampel yang termasuk ke dalam perhitungan S2.
N1 = Ukuran sampel dalam
perhitungan S2.
N2 = Ukuran sampel dalam
perhitungan S3.
k = Banyaknya parameter yang
ingin ditaksir.
c. Model Regresi Aplikasi Chow Tes
o PU Ind St DER PS St SANG TE RKp=α0+α1. +α2. +α3. _ +α4. +α5. _ +α6. +α7.Pr +α8.PPS+α9.St_Kom+α10.St_Riksa+ε1 Keterangan :
RKp : Tingkat risiko ketidakpatuhan
TE : Tarif efektif
SANG : Penalti
St_PS : Status pemegang saham (1=ada modal asing; 0=tdk ada modal asing)
DER : Debt to Equity Ratio
St_Ind : Klasifikasi Lapangan Usaha (1=manufaktur; 0=non manufaktur)
PU : Peredaran usaha
Pro : Profitabilitas (penghasilan neto per penjualan)
PPS : Pajak per penjualan
St_Kom : Status kompensasi (1=ada; 0=tidak ada)
St_Riksa : Status pemeriksaaan (1=pernah diperikas; 0=belum pernah) Hipotesis 2
Terdapat perbedaan antara kelompok wajib pajak yang dikelom-pokkan ke dalam kelompok wajib pajak berisiko ketidakpatuhan rendah, mene-ngah dan tinggi.
Hipotesis 3
Terdapat perbedaan variabel untuk membedakan wajib pajak dalam kelompok risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi.
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
Hipotesis 2 dan 3, diuji dengan analisis diskriminan. Model Analisis diskriminan digunakan untuk mempre-diksi wajib pajak apakah mempunyai kecenderungan untuk tidak patuh dalam hal ini akan cenderung memiliki risiko
ketidakpatuhan rendah, menengah, atau tinggi.
a. Multivariate Discriminant Analysis
Model analisis diskriminan dalam penelitian ini berkenaan dengan kombi-nasi linier yang dibentuk adalah sebagai berikut:
+
+
+
+
+
+
+
+
=
b
b
TE
b
SANG
b
St
PS
b
DER
b
St
Ind
b
PU
b
o
D
i 0 1.
2.
3.
_
4.
5.
_
6.
7.
Pr
Riksa
St
b
Kom
St
b
PPS
b
8.
+
9.
_
+
10.
_
Di = nilai skor diskriminan dari risiko
ketidakpatuhan wajib pajak ke-i, dengan i = 1,2,3; di mana 1 = risiko ketidakpatuhan rendah, 2 = risiko ketidakpatuhan menengah dan 3 = risiko ketidakpatuhan tinggi.
b = Koefisien yang diestimasi/koefisien
diskriminan dari variabel bebas/ atribut.
Nilai b dipilih sedemikian rupa sehingga fungsi diskriminan antar kelompok berbeda sebesar mungkin atau dengan kata lain memaksimumkan rasio :
ak dk JK JK = λ
JKdk = Jumlah kuadrat dalam
kelompok
JKak = Jumlah kuadrat antar
kelompok
Pemilihan variabel yang akan masuk ke dalam model digunakan algoritma stepwise selection. Variabel yang pertama diikutkan dalam analisis adalah yang mempunyai nilai terbesar menurut kriteria penerimaan seleksi.
Setelah variabel pertama masuk, maka nilai kriteria dievaluasi kembali, untuk semua variabel yang tidak berada dalam model. Selanjutnya, variabel dengan nilai kriteria penerimaan tersebut dimasukan ke dalam model dan variabel yang sudah ada dalam model dievaluasi
kembali untuk menentukan
kesesuaiannya dengan kriteria dikeluar-kan dalam model.
Pemilihan variabel diskriminan linier mengunakan kriteria minimalisasi nilai Wilks’ Lambda. Signifikansi perubahan Wilks’ Lambda jika suatu variabel dimasukan atau dikeluarkan dari model dapat didasarkan terhadap statistik F. Nilai F untuk perubahan
Wilks’ Lambda jika suatu variabel
ditambahkan atau dikurangkan dari suatu model yang telah mengandung p variabel adalah : − − − − = + + p p p p perubahan g p g n F λ λ λ λ / / 1 1 1 1 Di mana :
n = jumlah total sampel
g = jumlah kelompok
λp = Wilks’ Lambda
λp+1 = Wilks’ Lambda setelah
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
Karena jumlah kelompok ada tiga kelompok maka akan terdapat dua fungsi diskriminan (g-1) yang akan dianalisis, yaitu (1) Fungsi 1: fungsi diskriminan antara kelompok risiko rendah dan menengah; dan (2) Fungsi 2: fungsi diskriminan antara kelompok risiko menengah dan tinggi.
Sebelum membangun fungsi
diskriminan, perlu dilakukan pengujian perbedaan vektor nilai rata-rata dari ketiga populasi (risiko ketidakpatuhan rendah, menengah, dan tinggi) untuk mengetahui apakah ada nilai rata-rata dari sifat (variabel) yang dipelajari. Untuk menguji perbedaan vektor nilai rata-rata diantara tiga kelompok populasi digunakan statistik Wilks’ Lambda. Formula hipotesis dapat dinyatakan sebagai berikut :
H0 :
µ1=µ2=µ3,
artinya vektor nilai rata-rata dari ketiga populasi itu sama besarnya;
H1 :
µ1≠µ2≠µ3,
artinya vektor nilai rata-rata dari populasi yang ada berbeda, di mana paling sedikit ada dua vektor nilai rata-rata yang berbeda. Pengujian terhadap hipotesis di muka dilakukan dengan mengunakan statistik
Wilks’ Lambda, yang dikonversikan ke
rasio F. Penelitian ini menggunakan tingkat signifikan sebesar 5% dan 10% untuk nilai kritis F.
Sehubungan pengolahan data mengunakan bantuan software SPSS, maka berdasarkan analisis diskriminan terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dari keluaran analisis diskriminan yaitu:
1) Melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua
kelom-pok wajib pajak. Untuk melihat
apakah ada perbedaan yang
signifikan tersebut dilakukan dengan uji t test atau Wilks’ Lambda test statistik. Semakin kecil nilai Wilks’
Lambda, semakin besar kemungkinan
tidak adanya perbedaan yang signifikan antar dua kelompok. Untuk menguji signifikansi nilai
Wilks’ Lambda, nilai tersebut dapat
dikonversikan ke dalam rasio F. 2) Selanjutnya, untuk menguji
signi-fikansi statistik dari fungsi diskrimi-nan digunakan multivariate test of
significance. Pada pengujian ini
digunakan nilai Wilks’ Lambda atau dapat juga diaproksimasi dengan statistik Chi-Square. Selain melihat nilai Wilks’ Lambda dan Chi Square perlu juga dilihat signifikansi nilai
Wilks’ Lambda tersebut yang
diban-dingkan dengan tingkat kesalahan yang ditetapkan, bila lebih kecil dari tingkat kesalahan yang dapat diterima maka dapat dinyatakan terdapat perbedaan yang signifikan. 3) Analisis canonical correlation yang
dikuadratkan untuk menentukan se-berapa besar kemampuan variabel-variabel independen dapat menje-laskan perbedaaan yang terjadi antara kedua kelompok wajib pajak. 4) Koefisien yang akan dipakai dalam
persamaan diskriminan diambil dari tabel Standardized Canonical
Discri-minant Function Coefficient.
5) Sedangkan untuk menentukan cut
off point, perlu dilihat nilai variabel
yang terdapat pada table structure
matrix.
b. Territorial Map
Karena dalam penelitian ini variabel dependen dikelompokkan ke
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
dalam tiga kategori yaitu tingkat risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi, maka untuk menentukan penem-patan sebuah data pada kelompok tertentu akan mengunakan territorial
map. Territorial map pada dasarnya
memetakan batas-batas setiap kelompok berdasarkan fungsi diskriminan 1 (sumbu X), dan fungsi diskriminan 2 (sumbu Y), dengan memasukan nilai-nilai variabel
independen pada kedua fungsi
diskriminan (Zscore) akan diperoleh nilai
koordinat, sehingga dengan melihat koordinat sebuah kasus, dalam hal ini wajib pajak, akan terlihat wajib pajak tersebut ada di teritori mana.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Uji Asumsi Regresi Linier Klasik
Sebelum hasil regresi yang diperoleh diinterpretasikan maka terle-bih dahulu diuji apakah terdapat pelang-garan asumsi regresi linier klasik dari hasil tersebut. Dalam penelitian ini akan dilakukan dua pengujian yaitu, (1) Uji
Multikolinieritas dan (2) Uji Heteros-kedastisitas.
Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan menguji apakah dalam hasil regresi ditemukan adanya korelasi diantara variabel bebas. Tolerance adalah nilai
1-R2 dari regresi antara suatu variabel
bebas tersebut dengan sisa variabel bebas lainnya. Nilai tolerance yang mendekati 0 menyatakan adanya koli-nieritas antara variabel bebas tersebut dengan sisa variabel bebas lainnya. Indikator kolinieritas lainnya adalah VIF (variance inflation factor) yang merupa-kan kebalimerupa-kan (resiprokal) dari nilai
tolerance. Batasan yang biasa digunakan
adalah 0,1 untuk tolerance yang berarti batas angka 10 untuk VIF. Dengan melihat hasil perhitungan kolinieritas seperti yang tampak pada Tabel 2, dapat dikatakan tidak terdapat kolinier yang berarti dalam hasil regresi untuk model sampel secara keseluruhan (full sample).
Tabel 2
Hasil Uji Kolinieritas Untuk Data Full Sample
TE SANG PS DER SI PU Pro PPS SK SP Toler
ance VIF TE 1 0.70 1.42 SANG 0.30 1 0.82 1.22 PS 0.08 0.09 1 0.97 1.03 DER -0.05 0.08 -0.02 1 0.98 1.02 SI 0.17 0.10 0.01 -0.06 1 0.96 1.04 PU 0.45 0.33 0.04 -0.05 0.04 1 0.72 1.39 Pro 0.10 0.04 0.04 0.01 -0.03 -0.07 1 0.22 4.63 PPS 0.15 0.12 0.07 0.00 -0.02 -0.04 0.09 1 0.21 4.75 SK -0.15 -0.04 0.10 -0.03 -0.05 -0.02 -0.03 -0.02 1 0.96 1.04 SP 0.22 0.13 0.06 -0.07 0.03 0.25 -0.05 -0.01 -0.03 1 0.91 1.09
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dalam penelitian ini dilakukan melalui uji Park. Pada dasarnya uji ini ingin mengetahui apakah terdapat pengaruh yang sig-nifikan antara setiap variabel bebas dengan varian. Bila pengaruh ini signifikan berarti varian berubah-ubah bila variabel bebas
berubah, dengan kata lain varian regresi tidak tunggal (tidak homoskedastis). Uji
Park dilakukan dengan melakukan
regresi antara varian regresi (yang diproxy dengan logaritma kuadrat residu) dengan logaritma dari variabel penjelasnya.
Tabel 3
Hasil Uji Heteroskedastisitas Untuk Data Full Sample
Model Variabel Unstandardized Coefficients T Sig.
Bebas B Std. Error 1 (Constant) 11.5 2.91 3.96 0 ltarif 3.69 3.2 1.15 0.25 lpenalti -0.16 0.09 -1.75 0.22 lder -0.09 0.06 -1.62 0.23 lperus 0.15 0.14 1.08 0.31 lpro 2.42 3.11 0.78 0.44 lpajak -2.99 3.11 -0.96 0.34
a Variabel Terikat : lne2
Sumber: Analisis Data
Tabel 3 memperlihatkan regresi dengan variabel tidak bebas adalah logaritma dari kuadrat residu (residu dari hasil regresi sebelumnya) dan variabel bebasnya adalah logaritma dari variabel bebas. Karena terdapat 4 variabel bebas yang memiliki skala nominal (dummy
variables) maka hanya 6 variabel bebas
saja yang disertakan dalam perhitungan adanya heteroskedastisitas.
Tampak dari “p-value” tidak satupun variabel bebas yang memiliki pengaruh yang signfikan. Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa varian regresi tidak berubah seiring dengan perubahan variabel bebas, atau dengan kata lain terdapat varian regresi tunggal (homo-skedastis). Dengan demikian tidak ditemukan bukti kuat adanya
heteros-kedastisitas dari hasil regresi untuk data secara keseluruhan (full sample).
Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak
Dalam pemungutan pajak de-ngan sistem self-assessment, agar pemeriksaan pajak yang dilakukan dapat efektif, diperlukan identifikasi SPT-SPT yang perlu diperiksa. Untuk dapat mencapai hal ini, pengukuran risiko ketidakpatuhan wajib pajak, yang dapat digunakan untuk mengarahkan pemerik-saan hanya kepada wajib pajak yang tidak patuh, perlu dilakukan (Hind, 2005).
Untuk dapat melakukan pengu-kuran risiko ketidakpatuhan wajib pajak, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengetahui variabel-variabel apa yang
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
berpengaruh kepada kepatuhan dan ketidakpatuhan wajib pajak. Berdasar-kan data pada Tabel 4 dapat dijelasBerdasar-kan pengaruh dari masing-masing variabel
terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak sebagai berikut:
Tabel 4
Hasil Regresi Untuk Full Sample
Variabel Unstandardized Coefficients Standardiz ed Coefficient s Tstat
Sig. Taraf Nyata
B Std. Error Beta
(Constant) 105.599 39.066 2.703 .007 ***
Tarif efektif (TE) -1665.047 324.626 -.097 -5.129 .000 ***
Penalti (SANG) .000 .000 -.565 -30.758 .000 ***
Pemegang saham (PS) 308.877 229.282 .038 1.389 .170 NS
DER -1.685 .675 -.040 -2.496 .013 **
Status industri (SI) -71.105 44.052 -.026 -1.614 .107 NS
Skala usaha (SU) .000 .000 .036 1.806 .071 *
Profitabilitas (Pro) -3935.023 243.888 -.524 -16.135 .000 *** Pajak per penjualan (PPS) 22108.940 1548.889 .471 14.274 .000 *** Status kompensasi (SK) 1499.889 100.145 .243 14.977 .000 *** Status pemeriksaan (SP) -18.405 6.832 -.007 -2.694 .007 ***
Obs= 2324 R2= 0,652 RSS= 1263767768.477
Keterangan: *** : signifikan pada =1%, ** : signifikan pada =5%, * : signifikan pada =10%, NS=Tidak Signifikan
Sumber: Hasil Olah Data
Tarif Efektif
Dari Tabel 4 diketahui bahwa tarif efektif memiliki arah pengaruh yang negatif, berarti semakin tinggi tarif efektif, ceteris paribus, semakin rendah angka koreksi penghasilan neto. Hal ini berarti semakin tinggi tarif pajak yang dikenakan kepada wajib pajak semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak. Di samping itu, tingginya tingkat signifi-kansi yang dihasilkan dari hasil perhitu-ngan menandakan populasi juga memiliki karakteristik yang sama.
Korelasi positif antara tarif efektif pajak dengan kepatuhan juga dapat diartikan bahwa wajib pajak dengan tingkat penghasilan yang lebih tinggi
cenderung lebih patuh dibandingkan dengan wajib pajak yang tingkat penghasilannya lebih rendah. Hal ini disebabkan sistem perpajakan di Indone-sia menggunakan tarif progresif (10% untuk penghasilan sampai dengan Rp 50 juta, 15% untuk penghasilan di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta, dan 30% untuk penghasilan di atas Rp 100 juta), wajib pajak dengan penghasilan tinggi akan menghadapi tarif pajak yang lebih tinggi dan demikian juga halnya tarif efektif yang dihadapi oleh wajib pajak. Allingham et al (1972) meng-asumsikan bahwa wajib pajak adalah rasional sehingga wajib pajak akan memilih tindakan yang utility-nya paling besar.
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
Berdasarkan konsep wajib pajak adalah rasional dan teori utility ini, ada dua hal yang mendorong wajib pajak dengan tingkat penghasilan relatif lebih tinggi akan semakin patuh. Pertama, wajib pajak melihat bahwa kemung-kinan terdeteksinya penghasilan yang tidak dilaporkan cukup tinggi. Hal ini berarti kebijakan pemeriksaan yang selama ini diterapkan oleh administrasi pajak telah mampu membentuk persepsi di kalangan wajib pajak bahwa kemungkinan besar wajib pajak akan diperiksa adalah tinggi sehingga pengha-silan yang tidak dilaporkan kemungkinan besar akan terdeteksi. Kedua, penalti yang akan dikenakan terhadap pengha-silan yang tidak dilaporkan dianggap berat oleh wajib pajak sehingga penalti yang ada sekarang mampu memberikan disinsentif bagi ketidakpatuhan wajib pajak. Tingginya kemungkinan terde-teksinya penghasilan yang tidak dilaporkan dan besarnya penalti yang akan ditanggung wajib pajak menyebab-kan utility penghasilan yang tidak dilaporkan wajib pajak menjadi rendah. Hal ini mebuat wajib pajak dengan tarif efektif yang tinggi cenderung untuk patuh.
Dalam berbagai penelitian di bidang kepatuhan pajak dijelaskan bahwa hubungan antara tarif pajak dengan tingkat kepatuhan wajib pajak adalah ambigious. Artinya, beberapa penelitian berkesimpulan bahwa hubu-ngan kedua variabel tersebut positif, akan tetapi menurut beberapa penelitian yang lain adalah negatif. Dengan perkataan lain, tingginya tarif pajak yang dikenakan dapat membuat wajib pajak semakin patuh atau dapat pula membuatnya semakin tidak patuh.
Berdasarkan sampel pada peneli-tian ini ditemukan fakta bahwa semakin tinggi tarif pajak semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak, namun hal ini bertolak belakang dengan (satu) (Allingham et al (1972), Joulfaian et al (1998), Clotfelter (1983), de Juan, Lasheras, dan Mayo (1993), Das-Gupta, Lahiri, dan Mookherjee (1995) dalam Chattopadhayay dan Das-Gupta (2002)] yang menyatakan wajib pajak yang menghadapi tarif pajak yang tinggi akan cenderung kurang patuh dibandingkan dengan wajib pajak yang menghadapi tarif pajak yang lebih rendah.
Meskipun demikian, penelitian ini sesuai dengan Moser et al, 1995 dan Trivedi et al, 2001 yang menyatakan bahwa kenaikan tarif pajak akan meningkatkan kepatuhan. Selain itu, hasil penelitian ini sesuai juga dengan anggapan bahwa hubungan antara besaran tarif pajak dengan tingkat kepatuhan sifatnya ambigu (Ali et al, 2001 dan Feld et al, 2002).
Penalti
Variabel bebas kedua adalah penalti yang dikenakan kepada wajib pajak. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa variabel ini memiliki arah pengaruh yang negatif secara parsial. Artinya semakin tinggi penalti yang dikenakan, semakin rendah arah koreksi penghasilan neto dari penghasilan neto menurut SPT, ataupun sebaliknya (ceteris
paribus). Dengan demikian, untuk kasus
di Indonesia semakin tinggi penalti yang dikenakan, tingkat kepatuhan wajib pajak akan semakin tinggi. Dilihat dari tingginya taraf nyata dari variabel ini berarti karakteristik ini juga berlaku untuk populasi.
Jurnal Keuangan Publik Vol. 5, No. 1, Oktober 2008
Korelasi negatif antara penalti dengan kepatuhan menandakan bahwa
penalti yang dikenakan kepada
ketidakpatuhan wajib pajak cukup memberikan disinsentif bagi wajib pajak yang tidak patuh. Dengan demikian, wajib pajak cenderung akan patuh karena merasa penalti yang harus dibayar atas setiap penghasilan yang tidak dilaporkan cukup memberatkan.
Hal ini sejalan dengan teori ketidakpatuhan, di mana wajib pajak akan cenderung patuh apabila utility kepatuhan lebih besar daripada utility ketidakpatuhan (Allingham et al, 1972). Dalam konteks penelitian ini, wajib pajak merasa bahwa beban yang harus dibayar atas penghasilan yang tidak dilaporkan apabila nantinya ditemukan oleh administrasi pajak akan lebih besar daripada keuntungan yang mereka peroleh karena penghematan pajak yang dinikmati sekarang karena adanya penghasilan yang tidak dilaporkan. Dengan demikian, hasil perhitungan statistik ini membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat penalti akan berdampak pada meningkatnya kepatuhan wajib pajak seperti disimpulkan oleh Allingham et al (1972), Park et al (2002) dan Lederman (2003).
Pemegang Saham
Penelitian ini menduga bahwa status pemegang saham yang terdiri atas pilihan ada-tidaknya pemegang saham asing dalam perusahaan turut mempe-ngaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Dasar pemikiran yang digunakan dalam memasukkan variabel ini sebagai penjelas adalah kehadiran modal asing dalam perusahaan (yang biasanya perusahaan multi-nasional) akan mem-buat transaksi yang dilakukan
perusa-haan tersebut menjadi lebih mutakhir untuk tujuan penghematan pajak.
Dari hasil perhitungan tampak bahwa koefisien regresi untuk variabel ini adalah positif yang berarti bahwa perusahaan yang sahamnya dimiliki pihak asing (bernilai 1) akan memiliki tingkat koreksi penghasilan neto yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak badan yang sahamnya dimiliki oleh pemodal asing lebih rendah daripada wajib pajak yang sahamnya tidak dimiliki pihak asing (100% dimiliki pihak lokal), ceteris
paribus. Hal ini sejalan dengan
pernya-taan bahwa pemegang saham perusahaan berpengaruh pada perilaku kepatuhan wajib pajak badan [Hinrichs (1966), Slemrod (1990) dalam Chattopadhayay and Das-Gupta (2002)].
Dengan demikian, dugaan bahwa perusahaan dengan saham yang dimiliki pihak asing akan menggiring orang untuk melakukan transaksi-transaksi yang sifatnya
“off the books” (Chattopadhayay and
Das-Gupta (2002) mendapat konfirmasi positif dari studi empiris ini. Kehadiran pemegang saham asing memberikan peluang wajib pajak untuk melakukan rekayasa transaksi yang tujuan akhirnya adalah meminimalisasi beban pajak yang dibayar di Indonesia. Rekayasa transaksi, antara lain dengan melakukan paraktik transfer pricing.
Selain itu, undereporting pengha-silan juga dapat dilakukan melalui praktik pengendalian biaya. Dalam hal ini, perusahaan yang didirikan di Indo-nesia ditetapkan sebagai pusat biaya (cost center) di mana biaya-biaya bersama dari perusahaan multinasional lebih bayak dibebankan di Indonesia
Analisis Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak
karena alasan tarif pajak di Indonesia lebih tinggi.
Pemodal asing pada umumnya datang ke Indonesia untuk melakukan investasi dengan modal yang cukup besar. Hal ini memungkinkan wajib pajak yang sahamnya dimiliki oleh pemodal asing untuk menyewa kon-sultan pajak. Kehadiran konkon-sultan pajak ini dapat meningkatkan pengetahuan perpajakan wajib pajak, yang pada gilirannya dapat dipakai untuk mengeks-ploitasi celah-celah peraturan yang ada dalam ketentuan perpajakan untuk tujuan minimalisasi pajak (agrresive tax
planning) (OECD, 2001).
Debt to Equity Ratio
Variabel keempat yang diduga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak adalah struktur modal, yaitu perbandingan antara hutang dengan ekuitas (debt to equity ratio/DER). Dalam manajemen keuangan dikenal sumber modal yang berasal dari hutang atau dari ekuitas yang dampak kewajiban perpajakannya berbeda. Hutang misalnya akan memunculkan bunga atas hutang sedangkan ekuitas akan memunculkan pembagian deviden kepada pemegang saham.
Dugaannya adalah semakin tinggi modal yang berasal dari hutang (DER) maka wajib pajak cenderung tidak akan berupaya memanipulasi beban-bebannya. Dengan demikian semakin tinggi DER semakin patuh wajib pajak, ceteris
paribus. Dari hasil perhitungan tampak
bahwa koefisien variabel DER ini adalah negatif dan signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini mendukung premis bahwa permodalan (dalam hal ini DER sebagai
proxy struktur modal) mempengaruhi
kepatuhan wajib pajak (Chattopadhayay et al, 2002).
Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa DER yang semakin tinggi akan menyebabkan angka koreksi penghasilan neto semakin rendah, yang berarti bahwa wajib pajak semakin patuh. Taraf nyata yang tinggi untuk variabel ini juga berarti pengaruh yang sama juga akan ditemukan dalam populasi.
Korelasi negatif juga menunjukkan bahwa wajib pajak yang struktur pembiayaannya lebih banyak dilakukan melalui hutang cenderung lebih patuh dibandingkan dengan wajib pajak yang mengandalkan ekuitas. Perlakuan perpajakan atas biaya modal dari kedua alternatif pembiayaan tersebut terlihat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Bunga yang dibayar atas hutang merupakan biaya yang boleh dikurang-kan (deductible expense) sedangdikurang-kan dividen tidak.
Dengan demikian, wajib pajak yang mengutamakan hutang sebagai sumber pembiayaan akan cenderung bersedia melaporkan seluruh penghasi-lannya karena ada keuntungan dengan pengurangan biaya bunga sehingga penghasilan kena pajak akan menjadi lebih kecil dan memperoleh penghe-matan pajak. Di pihak lain, bagi wajib pajak yang mengandalkan ekuitas sebagai sumber pembiayaan tidak mem-peroleh manfaat penghematan pajak dari biaya modal karena dividen tidak boleh dikurangkan dalam penentuan besarnya penghasilan kena pajak.