BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Sistem Pemungutan Penerimaan Pabean & PDRI
Bea masuk, cukai, dan PDRI merupakan elemen perpajakan yang
termasuk ke dalam golongan pajak eksklusif. Tidak semua wajib pajak pribadi
atau badan berkewajiban membayarkan bea masuk, cukai ataupun pajak dalam
rangka impor, kecuali jika wajib pajak tersebut melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan impor barang. Bea masuk, Cukai, dan Pajak dalam rangka
impor (PDRI) akan dipungut oleh instansi pemerintah yang secara khusus
mengurusi kegiatan ekspor impor di Indonesia atau yang biasa disebut dengan
Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC). Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
merupakan instansi pemerintah yang bertugas untuk memungut Bea masuk dan
cukai, serta membantu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memungut dan
menghitung PDRI.
Tugas dan target utama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah
memungut bea masuk dan cukai atas barang-barang yang berasal dari luar daerah
pabean (luar negeri). Besarnya tarif untuk setiap elemen dalam menghitung dan
memungut bea masuk, cukai dan PDRI harus seusai dengan besarnya tarif yang
telah ditentukan dalam perundang-undangan. Bea masuk merupakan sebuah
elemen penting dalam proses penghitungan , karena besar/ kecilnya bea masuk,
akan mempengaruhi besar kecilnya pajak impor yang dipungut, termasuk PPh 22
impor, PPN impor, maupun PPnBM impor. Semakin besar bea masuk yang
dipungut, semakin besar PPh 22 impor, PPN & PPNBm impor yang diterima,
Terdapat dua jenis KPPBC di Indonesia, dan setiap jenis KPPBC
memiliki sistem pemungutan yang sedikit berbeda. Namun secara keseluruhan,
alur dari sistem pemungutan bea masuk, cukai, dan PDRI antar KPPBC adalah
sama (Lampiran 6). Pada kesempatan ini, Penulis akan membahas beberapa
perbandingan yang terjadi antara kedua KPPBC yang jika dilihat berdasarkan
wilayah pemungutannya, berbeda. Perbandingan akan dilakukan antara KPPBC
TMP A Bekasi yang terdapat di dalam kawasan berikat, dan KPPBC TMP
Soekarno-Hatta yang berlokasi di wilayah bebas berikat atau wilayah umum.
Penerapan sistem pemungutan bea masuk dan cukai tiap KPPBC akan
berpengaruh terhadap efektifitas dan efisiensi kinerja pegawai serta penerimaan
pabean untuk mendapatkan hasil yang optimal.
4.1.1 KPPBC TMP A Bekasi
Seperti yang sudah Peneliti jelaskan pada bab sebelumnya, KPPBC TMP
A Bekasi adalah kantor bea cukai yang berlokasi di dalam kawasan berikat, yang
memiliki sistem pemungutan berbeda dengan kantor bea cukai lain seperti
KPPBC TMP Soekarno-Hatta. Pada hakikatnya, setiap importir yang memiliki
usaha dan izin wilayah berikat, berkewajiban membayarkan bea masuk
(penjualan lokal), cukai (jika ada), dan PDRI-nya kepada petugas bea cukai tidak
pada saat barang impor tersebut datang ke wilayah pabean, namun pada saat
terjadinya penjualan setelah barang tersebut diproduksi menjadi sebuah barang
jadi. Untuk pengimpor yang mendapatkan izin usaha di dalam kawasan berikat,
mereka mendapatkan fasilitas untuk dibebaskan dari pembayaran bea masuk. Bea
masuk yang seharusnya dibayarkan oleh importir akan ditangguhkan oleh negara,
sehingga yang mereka bayarkan adalah nominal pajak dalam rangka impor dan
kawasan berikat adalah barang yang bersifat bahan baku atau bahan setengah
jadi, yang kemudian diolah menjadi sebuah barang jadi yang kemudian siap
untuk diekspor kembali.
Barang impor yang masuk melalui pelabuhan udara, laut atau darat,
langsung dikirimkan atau diteruskan ke pabrik dimana importir tersebut
menjalankan usahanya (kawasan berikat). Sebelum barang tersebut diteruskan ke
dalam pabrik, importir harus memenuhi beberapa dokumen yang menjadi
pelengkap kelayakan barang tersebut, seperti PIB BC 2.3 (Lampiran 1), L/C,
AWB, API, NIK. Dokumen PIB yang diserahkan oleh pengusaha yang memiliki
izin usaha di kawasan berikat ini, berupa PIB BC 2.3 yang berarti dokumen
tersebut hanya dipergunakan oleh importir yang memiliki izin usaha di dalam
kawasan berikat.
Setelah dokumen-dokumen penunjang sudah lengkap, barang impor
tersebut dapat dibawa dari TPS (Tempat Penimbunan Sementara) ke pabrik
importir. Namun dikarenakan banyakanya permasalahan seputar kegiatan
impor yang bersifat ilegal, maka dari itu setiap barang yang masuk ke dalam
parbik, akan diperiksa kembali oleh hanggar yang bertugas, kemudian importir
harus menyerahkan dokumen-dokumen penunjang impor yang dimilikinya,
sampai barang tersebut diizinkan masuk ke dalam pabrik mereka.
Sebelum proses pemotongan pajak impor terjadi, terdapat beberapa
prosedur yang harus dilaksanakan oleh importir sampai barang tersebut dapat
diekspor kembali. Pertama. importir harus meminta izin kepada bea cukai yang
berwenang di wilayah kerjanya untuk melakukan impor atas bahan-bahan baku
melengkapi dokumen-dokumen pelengkap untuk memenuhi izin yang sudah
diberikan, sehingga importir dapat melakukan impor sesuai dengan izin yang
diminta. Setelah barang yang diimpor tersebut datang ke pabrik, petugas bea
cukai akan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dokumen, serta
kebenaran barang tersebut secara menyeluruh. Jika barang yang datang tersebut
sudah benar dan sesuai dengan izin atau dokumen yang diserahkan, barang
tersebut diperbolehkan untuk masuk ke dalam pabrik/ gudang penyimpanan
untuk diolah menjadi barang jadi.
Ketika importir mengeluarkan barang yang sudah jadi/ masih dalam
proses pengerjaan dari pabrik, importir harus menyerahkan beberapa dokumen
khusus, menyesuaikan dari tindakan apa yang dilakukan perusahaan, seperti:
1. Dokumen BC 3.0
Dokumen ini diperuntukan untuk mereka yang memiliki izin usaha
wilayah/ kawasan berikat yang akan melakukan penjualan barang
secara ekspor ke luar negeri. Selain itu, dokumen ini juga dapat
digunakan untuk melakukan re-ekspor atas bahan baku yang rusak
atau tidak sesuai ke negara pengekspor bahan baku tersebut.
Dokumen BC 3.0 harus dicantumkan ketika melakukan kedua
kegiatan tersebut.
2. Dokumen BC 2.7
Dokumen ini digunakan untuk importir saat akan melakukan
pengeluaran barang dari pabriknya perihal: Subkontrak,
peminjaman, maupun pengembalian ke kawasan berikat/ gudang
3. Dokumen BC 2.6.1 (Dengan jaminan) (Lampiran 2)
Dokumen ini digunakan oleh importir ketika akan melakukan
kegiatan seperti Subkontrak, peminjaman, dan reparasi. Biasanya,
dokumen BC 2.6.1 digunakan pada saat perusahaan memiliki
keterbatasan dalam perakitan atau perbaikan sebuah barang. Dengan
begitu, perusahaan akan memberikan barang tersebut untuk dirakit/
reparasi kepada perusahaan cabang di dalam negeri. Importir yang
menggunakan dokumen ini, harus membayarkan uang jaminan
sesuai dengan besarnya nominal yang ditentukan bea dan cukai.
Jaminan tersebut dapat diambil kembali ketika barang tersebut
sudah kembali ke pabrik asal.
4. Dokumen BC 4.1
Dokumen ini digunakan ketika importir akan melakukan kegiatan
seperti ex-subkontrak dan ex-reparasi. Kegiatan yang dilakukan
tidak berbeda dengan kegiatan menggunakan dokumen BC 2.6.1,
namun perbedaannya adalah barang tersebut dikirimkan ke
perusahaan cabang yang berada di luar negeri.
5. Dokumen BC 2.5 (Lampiran 5)
Dokumen ini digunakan ketika perusahaan mengeluarkan barang
jadi untuk diperjualkan di dalam negeri. Biasanya dokumen ini
digunakan bersamaan dengan dokumen BC 3.0. Jadi, perusahaan
akan melakukan penjualan sebesar 75% untuk ekspor menggunakan
BC 3.0, dan 25% untuk penjualan dalam negeri menggunakan BC
Dikarenakan banyaknya importir yang berlokasi di dalam kawasan
berikat tidak sebanding dengan banyaknya petugas hanggar yang bertugas,
maka KPPBC TMP A Bekasi berinisiatif membuat wilayah kerja untuk setiap
hanggar. Terhadap satu hanggar yang terdiri dari Kasubsi Hanggar, Pemeriksa,
dan Administrasi ditugaskan untuk menjaga dan menangani satu blok wilayah
kerja, yang berarti satu Hanggar dapat menangani sekitar Sembilan perusahaan
pengimpor.
Pemeriksaan barang dilakukan secara menyeluruh dalam satu kontainer.
Jika barang yang diperiksa oleh hanggar sudah sesuai dengan surat bukti dan
izin barang impor, maka barang tersebut dapat diteruskan ke dalam pabrik
untuk diolah. Tidak ada suatu keharusan atau deadline untuk importir
menjualkan barang yang sudah diolah tersebut. Jika importir tidak melakukan
penjualan dari barang impor yang telah diolah menjadi barang jadi, maka
petugas bea cukai tidak mempunyai wewenang atau hak untuk menagih atau
memungut pajak impornya. Petugas bea cukai berkewajiban menagih atau
memungut pajak impor jika terjadi kegiatan penjualan yang dilakukan importir,
dan penghitungan pajak pun harus sesuai dengan barang yang dijual, bukan
berdasarkan bahan baku yang masuk pada waktu itu.
Di dalam kawasan berikat, bahan baku impor yang sudah diolah
menjadi barang jadi harus dijual kembali untuk diekspor. Sebagian besar,
pabrik yang berada di dalam kawasan berikat merupakan perusahaan vendor
yang bertugas mengolah bahan baku atau bahan setengah jadi menjadi barang
jadi yang kemudian hasilnya dijual kembali dengan cara di ekspor. Persentase
penjualan barang jadi dari wilayah berikat untuk ekspor adalah 75% dan 25%
lokal yang dilakukan melebihi batas yang ditentukan tersebut, importir harus
dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, seperti sanksi
administrasi, pembekuan izin berikat, sampai pemblokiran, tergantung besar
kecil kesalahan yang dilakukan.
Indonesia adalah negara yang sistem perpajakannya menggunakan self
assessment system, begitu juga dalam kegiatan impor di Indonesia. Importir menghitung sendiri jumlah pungutan yang harus dibayarkan atas barang yang
dijual kembali (ekspor + lokal). Dengan menggunakan dokumen PIB BC 3.0
dan PIB BC 2.5 (Lampiran 5) (jika ada penjualan dalam negeri), importir
berkewajiban melaporkannya pada petugas bea cukai. Setelah barang yang
diperiksa secara fisik sudah sesuai dengan dokumen yang dilampirkan, barang
tersebut sudah dapat diekspor kembali. Sebelum barang yang akan diekspor
tersebut dikeluarkan dari dalam pabrik, perusahaan harus menyerahkan
dokumen PIB BC 3.0 serta PIB BC 2.5 (jika ada penjualan dalam negeri).
Seperti dokumen PIB lainnya, dokumen ini berisikan penghitungan atas jumlah
barang yang akan dipungut pajak impor dan bea masuknya (penjualan lokal).
Setelah dokumen-dokumen selesai diserahkan kepada petugas hanggar, barang
akan diperiksa secara menyeluruh sampai petugas mengizinkannya untuk
dijual.
4.1.2 KPPBC TMP Soekarno-Hatta
Berbeda dari KPPBC TMP A Bekasi, KPPBC TMP Soekarno-Hatta
merupakan salah satu bea cukai yang berdiri dan berlokasi di dalam wilayah
umum. Tentunya sistem pemungutan yang dilakukan bea cukai Soekarno-Hatta
merupakan salah satu bea cukai yang memiliki sistem pemungutan yang cukup
mudah jika dibandingkan dengan bea cukai di wilayah berikat, namun jenis
barang yang masuk ke wilayah pabean melalui bea cukai Soekarno-Hatta lebih
beragam jika dibandingkan dengan wilayah berikat yang sebagian besar
merupakan barang industri. Selain itu, bea cukai Soekarno-Hatta merupakan
fasilitator bagi bea cukai wilayah berikat yang barangnya masuk melalui
Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa di dalam
KPPBC Soekarno-Hatta terdapat berbagai macam jenis barang yang masuk ke
wilayah pabean. Cara yang digunakan importir untuk memasukan barangnya
pun berbeda-beda. Terdapat empat kategori cara/ jalur yang biasa digunakan
importir:
1. Bagasi Penumpang
Penumpang dapat membawa barang yang dibelinya dari luar
negeri dengan sendiri melalui bagasi penumpang. Tidak ada
persyaratan khusus importir yang harus dipenuhi penumpang.
Penumpang tidak harus memiliki API (Angka Pengenal Impor) atau
NIK (Nomor Induk Kepabeanan), selain itu penumpang tidak
diperbolehkan untuk membawa barang terlarang ke dalam negeri.
Pada umumnya, barang impor yang dibawa oleh penumpang
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bawaan tangan Hand Carry dan
melalui kurir atau kargo. Barang penumpang yang dikirim melalui
kurir atau kargo akan sampai ke dalam daerah pabean (Indonesia)
maksimal 15 hari setelah atau 30 hari sebelum kedatangan
diberikan pembebasan bea masuk, jika harga barang tersebut tidak
melebihi $250,- untuk 1 orang atau tidak melebihi $1000,- untuk 1
keluarga yang terdiri dari 4 orang atau lebih. Jika melebihi,
penumpang akan dikenakan bea masuk dan pajak impor terkait
(PPN & PPh) yang dinilai oleh petugas.
Selain itu, bea cukai juga menetapkan kebijakan pembebasan
cukai untuk barang kena cukai yang dibawa dari luar daerah pabean
seperti tembakau (rokok, cerutu,dsb) atau minuman beralkohol.
Untuk tembakau, penumpang hanya boleh membawa maksimal 200
batang rokok atau 25 batang cerutu dan maksimal 1 liter minuman
beralkohol. Jika penumpang membawa barang kena cukai yang
melebihi kebijakan diatas, penumpang akan dikenakan pungutan
cukai sesuai tarif dan penilaian petugas.
Barang-barang yang dibawa dari luar dartah pabean tersebut
akan dibebaskan oleh petugas jika penumpang mendapat pernyataan
persetujuan petugas Hand Carry atau jika penumpang telah
melengkapi dokumen PIB-K, Fotocopy Paspor, dan Boarding pass
(Bagasi tanpa pendamping).
2. Layanan Surat
Barang kiriman juga dapat dikirim melalui jasa layanan surat.
Untuk menggunakan jasa layanan surat, importir tidak harus
memiliki API atau NIK sebagai syarat utama. Selain itu, importir
juga diberi persyaratan bahwa tidak boleh melakukan pengiriman/
tersebut dilanggar, importir akan mendapatkan sanksi sesuai
ketetapan yang berlaku
Bea cukai memberi kebijakan atas pembebasan cukai untuk
setiap pengiriman, yaitu sebesar maksimal $50,- untuk FOB setiap
pengiriman. Selain itu, bea cukai juga memberikan tunjangan
barang atas barang kena cukai setiap pengiriman, seperti maksimal
40 batang rokok atau 10 batang cerutu dan maksimal 350 mL
minuman beralkohol.
Pengiriman melalui jalur layanan surat ini, dibagi menjadi 2
jenis, yaitu pengiriman melalui EMS atau pengiriman dengan paket
regular atau paket biasa. Untuk pengiriman melalui jasa EMS,
paket atau barang kiriman akan diperiksa dan diselesaikan oleh
pejabat bea cukai Bandara Internasional Soekarno-Hatta, sedangkan
kiriman yang dilakukan dengan menggunakan paket regular akan
diperiksa dan diselesaikan oleh pejabat bea cukai Kantor Pos Pasar
Baru.
3. Jasa Kurir (PJT = Perusahaan Jasa Titipan)
Tidak ada persyaratan khusus untuk melakukan impor melalui
jalur atau penggunaan PJT ini. importir memiliki persyaratan untuk
tidak mengirimkan barang yang dilarang oleh negara, jika importir
diketahui memesan dan menerima barang kiriman yang terlarang,
importir akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketetapan peraturan
yang berlaku. Selain itu, importir tidak berkewajiban memiliki API
Dalam melakukan kegiatan impor menggunakan PJT, importir
tidak boleh melebihi batas berat yang telah ditentukan untuk setiap
pengiriman, yaitu maksimal 100 kg. barang yang dikirim melalui
PJT yang beratnya dibawah 100 kg, dianggap sebagai barang
kiriman. Namun, jika barang yang dikirim melebihi batas yang
ditentukan, barang sudah dianggap sebagai barang impor. Dengan
begitu, importir yang belum memiliki API & NIK harus mengurus
kepemilikan API & NIK, dan kemudian menyelesaikan
dokumen-dokumen yang digunakan untuk melakukan impor barang.
Ada dua pilihan ketika importir mengimpor barang melalui PJT
dengan melebihi kapasitas untuk satu kali pengiriman. Importir
tersebut diminta untuk menyelesaikan dokumen impor hingga tuntas
ditambah dengan membayarkan sanksi/ denda sesuai perhitungan
pejabat bea cukai, atau melakukan ekspor kembali atas barang yang
salah kirim kepada pengekspor asal, dan biaya pengiriman
ditanggung oleh importir di Indonesia. Berikut adalah sebagian
daftar nama PJT yang digunakan di Bandara Internasional
Soekarno-Hatta, seperti: UPS (Halim Perdanakusuma), FedEx,
EMS, TNT, DHL, dan sebagainya.
Seperti penggunaan jasa layanan surat, kegiatan impor
menggunakan PJT juga memiliki ketetapan pembebasan cukai untuk
setiap pengiriman jika maksimal FOB adalah sebesar $50,-. Selain
itu, importir akan dibebaskan dari pembayaran cukai untuk
maksimal 40 batang rokok atau 10 batang cerutu, 40 gr hasil
Tidak ada kelengkapan khusus untuk mengeluarkan barang dari bea
cukai, importir hanya perlu mengurusi dokumen PIB-K
(Pemberitahuan Impor Barang – Khusus) setiap pengiriman.
4. Impor Umum
Untuk melakukan kegiatan impor secara umum, importir harus
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan bea cukai. Importir
harus memiliki API & NIK untuk melakukan kegiatan impor
melalui jalur impor umum ini. selain harus memiliki API & NIK,
importir juga berkewajiban memiliki NPPBKC (Nomor Pengenal
Pengusaha Barang Kena Cukai).
Di dalam kegiatan impor yang menggunakan jalur umum ini,
tidak ada batas minimum pembebasan bea masuk dan cukai, kecuali
jika telah memperoleh keputusan pembebasan bea masuk
berdasarkan peraturan menteri keuangan. Importir harus
menyerahkan dokumen PIB BC 2.0 (Lampiran 4) yang dikirimkan
melalui sistem elektronik menggunakan modul yang diberikan bea
cukai kepada importir atau menggunakan jasa PPJK (Pengusaha
Pengurusan Jasa Kepabeanan) yang biasa disebut warung PPJK.
Untuk importir yang melakukan kegiatan impor namun tidak
memiliki NIK, importir berkewajiban melaporkan dan mengajukan
surat permohonan impor secara tertulis kepada kepala kantor dan
hanya diperbolehkan sekali saja.
Warung PPJK adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
importir atau eksportir. Berikut daftar nama PPJK besar yang cukup
sering beraktivitas di dalam kepabeanan:
- Solusindo - Cargo Lintas
- DHL Birotika - DHL Danzas
- TNT - Nippon Express
- FedEx - NSA Cargo
- Restu - Agility Logistic
- Raka Sukma
Dalam melakukan pemungutan PDRI dan bea masuk, KPPBC TMP
Soekarno-Hatta telah menjalankan sistem pemungutan sesuai dengan prosedur
yang telah ditetapkan oleh dirjen bea dan cukai. Dalam menjalankan tugasnya,
bea dan cukai berkomitmen penuh untuk tidak menerima sogokan atau tip dari
pengguna jasa, sehingga dibuatlah peraturan mengenai sanksi bagi orang yang
memberi dan petugas yang menerima tip. terhadap peraturan tersebut, petugas
bea cukai Soekarno-Hatta menyambutnya dengan tangan terbuka dan berjanji
untuk melaksanakan tugas dengan jujur dan bersih.
4.2 Target dan Realisasi Penerimaan Pabean Tahun 2011 & 2012
4.2.1 KPPBC TMP A Bekasi
Target penerimaan bea masuk dan cukai pada KPPBC TMP A Bekasi
selalu mengalami perubahan setiap tahunnya. Dengan banyaknya perusahaan
vendor yang berlokasi dan memiliki izin usaha di wilayah berikat, menjadikan
hal tersebut sebagai sebuah peluang besar bagi bea cukai dalam
memaksimalkan penerimaan sesuai dengan target yang telah ditentukan. Naik
A Bekasi sangat bergantung terhadap kebijakan dan ketegasan para petugas bea
cukai. Pada KPPBC yang berlokasi di kawasan berikat ini, bea masuk bukan
menjadi target utama, karena importir yang memiliki izin usaha berikat akan
mendapat fasilitas pembebasan bea masuk. Berikut ini adalah jumlah target dan
realisasi penerimaan pabean KPPBC TMP A Bekasi pada tahun 2011 dan 2012.
Tabel 4.1
Target dan Realisasi Penerimaan Bea Masuk & Cukai pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Bekasi
Tahun
Penerimaan Pabean
Total Realisasi Penerimaan
Bea Masuk Cukai
Target Realisasi Target Realisasi
2011 323,790,000 286,100,000 3,672,120,000 4,318,630,000 4,604,740,000 2012 245,460,000 285,640,000 6,209,750,000 5,482,490,000 5,727,960,000 Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa total realisasi penerimaan pabean
KPPBC TMP A Bekasi pada tahun 2011 melampaui target yang telah
ditentukan. Namun, jika diperhatikan dengan teliti bahwa penerimaan bea
masuk pada tahun 2011 hanya terealisasi sebesar Rp. 286.100.000 dari target
penerimaan sebesar Rp. 323.790.000, atau hanya sebesar 88,36%. Hal tersebut
dapat terjadi karena besarnya bea masuk setiap tahun tidak dapat diprediksi
secara benar. Kebenarannya adalah, pencabutan, pembekuan, atau pengaktifan
kembali izin berikat importir selalu berubah setiap tahun, dan hal tersebut yang
menjadikan realisasi bea masuk tahun 2011 tidak mencapai target.
Sedangkan untuk tahun 2012, realisasi penerimaan bea masuk dan cukai
melampaui target yang telah ditentukan, dimana total realisasi penerimaan bea
masuk dan cukainya adalah sebesar Rp. 5.727.960.000 atau sebesar 113,39%
merubah ukuran target penerimaan berdasarkan jumlah perusahaan impor yang
memiliki izin wilayah berikat di wilayah tersebut. Berikut merupakan grafik
pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2011 dan 2012 KPPBC TMP A Bekasi:
Grafik 4.1
Grafik Pertumbuhan Bea Masuk & Cukai tahun 2010 – 2012 pada KPPBC TMP A Bekasi
4.2.2 KPPBC TMP Soekarno-Hatta
Seperti KPPBC Bekasi, KPPBC TMP Soekarno-Hatta pun memiliki
target yang selalu berubah secara fluktuatif setiap tahunnya. Berkurangnya
angka importir, peraturan yang kian diperketat, merupakan salah satu faktor
penyebab perubahan angka impor setiap tahunnya. Namun, ketatnya peraturan
kegiatan impor yang ditetapkan oleh pemerintah, tidak merubah atau
mengurangi niat importir untuk terus melakukan impor yang cukup terbilang
besar.
Pada tahun 2011 tercatat bahwa penerimaan pabean dalam realisasinya
adalah sebesar Rp. 1.866.886.040.230 atau lebih besar 26.12% dari target yang
1.480.248.890.000. realisasi penerimaan pabean yang besar tersebut menjadi
acuan bagi KPPBC untuk melakukan penambahan angka target pada tahun
berikutnya, karena minat importir terus bertambah seiring berjalannya waktu,
meski kegiatan impor lebih dipersulit.
Pada tahun 2012 tercatat angka target penerimaan pabean pada KPPBC
TMP Soekarno-Hatta sebesar Rp. 1.943.073.000.000. angka tersebut tentunya
sudah berdasarkan perhitungan dan pertimbangan dari angka impor tahun
sebelumnya (2011). Namun dengan diperketatnya kegiatan impor di Indonesia
tidak membuat niat para importir terurung sedikitpun, karena pada
kenyataannya angka bea masuk yang sebenarnya pada tahun 2012 tercatat
sebesar Rp. 2.240.602.277.228 atau sekitar 15% lebih dari total target pada
tahun itu.
Pemerintah berkeinginan untuk mengurangi kegiatan impor di
Indonesia, karena kegiatan impor akan mengurangi cadangan devisa negara.
Maka dari itu, menteri keuangan bersama DJBC melakukan perubahan
peraturan yang lebih mempersulit importir, namun hal tersebut tidak cukup
ampuh dalam mengurangi kegiatan impor di Indonesia. Sebagai contoh nyata
bahwa minat importir untuk tetap melakukan kegiatan impor yang lebih besar
dari tahun sebelumnya, berikut penjabaran angka penerimaan pabean yang
termasuk bea masuk dan pabean lain selama tahun 2012:
Tabel 4.2
Target & Realisasi Penerimaan Bea Masuk & Cukai pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai TMP Soekarno-Hatta
Bulan Penerimaan Pabean Target Persentase
Bea Masuk Pabean Lain Jml.
Januari 139,677,499,793 923,692,900 140,601,192,693 161,922,750,000 86.83% Februari 164,402,954,500 938,491,700 165,341,446,200 161,922,750,000 102.11%
Maret 184,304,030,693 1,843,238,800 186,147,269,493 161,922,750,000 114.96% April 177,443,834,377 898,397,400 178,342,231,777 161,922,750,000 110.14% Mei 178,869,175,625 2,431,885,700 181,301,061,325 161,922,750,000 111.97% Juni 188,112,909,462 1,853,288,800 189,966,198,262 161,922,750,000 117.32% Juli 197,334,882,021 2,347,867,180 199,682,749,201 161,922,750,000 123.32% Agustus 173,333,762,898 1,987,577,200 175,321,340,098 161,922,750,000 108.27% September 194,274,263,144 1,666,817,450 195,941,080,594 161,922,750,000 121.01% Oktober 213,947,211,490 1,487,123,500 215,434,334,990 161,922,750,000 133.05% November 202,532,654,901 3,209,292,400 205,741,947,301 161,922,750,000 127.06% Desember 204,105,768,594 2,675,656,700 206,781,425,294 161,922,750,000 127.70% Jumlah 2,218,338,947,498 22,263,329,730 2,240,602,277,228 1,943,073,000,000 115.31%
Dapat terlihat dengan jelas bahwa dengan adanya peraturan yang lebih
diperketat oleh petugas yang menyulitkan kegiatan impor, tidak menjadikan
para importir enggan untuk melakukan kegiatan impor, bahkan kegiatan impor
tersebut bertambah tinggi setiap bulannya. Hal ini tentunya menjadi
keperihatinan yang besar bagi bangsa Indonesia, mengapa? karena tingginya
angka impor di Indonesia akan mengurangi cadangan devisa negara dalam
membiayai kegiatan ekspor, dan mengurangi minat pembeli dalam memilih
produk dalam negeri. Selain itu, ditambah juga dengan kebijakan pemerintah
yang secara bertahap akan menetapkan bea masuk sebesar 0%, sehingga barang
impor dari negara yang telah bekerja sama dapat dengan mudah untuk
melakukan ekspor dari negaranya tersebut ke Negara Indonesia (Impor).
Berikut tabel pertumbuhan penerimaan pabean pada tahun 2011 dan 2012 :
Tabel 4.3
Tabel Penerimaan Bea Masuk 2010 – 2011 KPPBC TMP Soekarno-Hatta
Tahun Penerimaan Pabean
Target Penerimaan Realisasi Persentase
2011 1,480,248,890 1,866,886,040 126.12%
Dari tabel diatas dapat dikatakan bahwa kenaikan penerimaan dan target
setiap tahun selalu bertambah cukup banyak. Meski dengan peraturan atau
kebijakan impor yang menyulitkan importir itu sendiri, hal tersebut bukan
sebagai halangan atau hambatan terhadap bertambahnya angka penerimaan tiap
tahun tersebut. Berikut grafik pertumbuhan realisasi penerimaan pabean
KPPBC TMP Soekarno-Hatta:
Grafik 4.2
Target dan Realisasi Penerimaan Pabean KPPBC TMP Soekarno-Hatta
4.3 Kendala Kepabeanan dan Upaya Mengatasinya
Sebuah perusahaan, baik itu kecil maupun besar, swasta atau
pemerintah, pastinya memiliki kendala yang selalu menghambat kinerja serta
produktivitas para pegawai. Hal tersebut tentunya menjadi keprihatinan yang
sangat dihindari oleh semua organisasi atau perusahaan. Maka dari itu, berbagai
cara di gunakan untuk meminimalisir permasalahan tersebut, termasuk kantor
KPPBC yang dibawahi oleh DJBC dan menteri keuangan juga
merupakan sebuah instansi pemerintah yang tidak luput dari kendala-kendala
seperti diatas. Dikarenakan bea dan cukai sebuah instansi pemerintah, kerugian
yang mereka alami akibat adanya kendala-kendala tersebut tentunya akan
berdampak buruk terhadap penerimaan Negara. Pada kesempatan ini, kendala
yang dimaksud peneliti adalah kendala yang dihadapi dalam kegiatan impor.
Kurangnya SDM adalah salah satu faktor utama terhadap berkurangnya
efektifitas dan efisiensi kerja pegawai, serta berkurangnya produktivitas para
pegawai bea cukai.
Pada kesempatan ini, penulis akan membahas secara keseluruhan
kendala apa saja yang dihadapi bea cukai Bekasi dan Soekarno-Hatta.
Kendala-kendala tersebut akan dipaparkan secara jelas, dan solusi atau upaya apa saja
yang sudah dijalankan oleh bea cukai sendiri dalam mengoptimalisasikan
penerimaan pabean secara efektif dan efisien. Selain itu, penulis juga akan
memaparkan tabel pertumbuhan pelaksanaan upaya yang dilaksanakan dalam
mengatasi kendala-kendala tersebut pada tahun 2011 dan 2012.
4.3.1 KPPBC TMP A Bekasi
4.3.1.1 Kendala Kepabeanan
Secara umum, kendala yang dihadapi oleh bea cukai di Indonesia
hampir sama. Kendala seperti penyelundupan barang, kurangnya informasi
seputar kegiatan ekspor impor, kurangnya SDM dalam bertugas, serta besarnya
wilayah yang ditangani merupakan kendala utama yang dihadapi bea cukai di
Indonesia. KPPBC TMP A Bekasi merupakan bea cukai yang berlokasi di
umumnya, sehingga upaya atau penanganan yang dilakukan petugas pun
berbeda, baik itu perbedaan berdasarkan waktu, tempat, maupun cara.
Kendala-kendala seperti penyelundupan barang, sering sekali
ditemukan oleh KPPBC TMP A Bekasi. Sejak tahun 2011, kasus
penyelundupan barang yang berujung pada sanksi pidana, sanksi administrasi,
pembekuan, serta pemblokiran terhitung lebih dari 20 kasus. Bila pengawasan
diperketat, memungkinkan angka tersebut tidak akan bertambah hingga ratusan,
namun kendala untuk menangani hal tersebut adalah kurangnya SDM (Sumber
Daya Manusia) yang bertugas di KPPBC TMP A Bekasi ini. Kekurangan SDM
merupakan sebuah kendala yang cukup berarti bagi petugas dalam melakukan
pengawasan di kawasan berikat. Luas wilayah dan banyaknya perusahaan
importir menjadikan petugas tidak dapat mengawasi secara ketat.
Pada kenyataannya, kendala yang dihadapi oleh KPPBC Bekasi bisa
dikatakan cukup berbeda jika dibandingkan dengan KPPBC Soekarno Hatta.
Sebagian besar perusahaan pengimpor barang baku di wilayah berikat adalah
perusahaan vendor yang bertugas merakit beberapa bahan baku menjadi barang
jadi, yang kemudian hasilnya akan di ekspor kembali sebesar 75% dari total
barang yang akan dijual, dan 25% untuk penjualan lokal. Pembatasan penjualan
seperti itu menjadi beban bagi para importir, karena sebagian besar pelanggan
mereka adalah orang Indonesia sendiri. Maka munculah kata “penyelundupan”
didalam wilayah berikat. Kurangnya pengawasan, menjadikan importir
semakin mudah dalam melakukan penyelundupan penjualan.
Penyelundupan barang di dalam kawasan berikat, beragam. Banyak cara
- Importir melakukan penjualan lokal lebih dari batas yang ditentukan,
dengan dokumen yang berbeda dari kenyataannya.
- Importir mengeluarkan barang secara diam-diam tanpa sepengetahuan
petugas pada malam hari, ketika petugas hanggar sudah tidak bertugas.
- Pemindahan barang impor yang baru dikirim dari pelabuhan pada saat
perjalanan menuju ke pabrik dengan menggunakan kendaraan lain, yang
kemudian barang tersebut dikirim ke pabrik lain (perusahaan cabang).
Kenyataannya adalah, barang impor yang masuk ke pabrik yang terletak
di kawasan berikat memang di periksa terlebih dahulu kebenarannya, namun
tidak ada jangka waktu yang pasti untuk melakukan penjualan barang impor
tersebut setelah diolah menjadi barang jadi. Hal seperti itu sebenarnya sangat
menguntungkan importir, ketika penyelundupan terjadi, petugas tidak akan
melakukan pengecekan barang lain yang menurutnya belum dikeluarkan dari
pabrik. Petugas hanggar hanya akan melakukan pemeriksaan dokumen dan
barang jadi yang akan dikeluarkan untuk penjualan ekspor dan lokal.
Sementara barang yang diselundupkan pada malam hari tersebut akan tetap
berstatus Work in Process.
4.3.1.2 Upaya Mengatasi Kendala
Dalam menangani masalah atau kendala yang sering muncul, KPPBC
TMP A Bekasi memiliki beberapa cara atau upaya yang mungkin dapat
membantu meminimalisir masalah yang ada, walaupun tidak semua masalah
dapat teratasi. Kekurangan SDM merupakan salah satu faktor utama dalam
kurang maksimalnya pengawasan. Maka dari itu, KPPBC membagi beberapa
dalam 1 wilayah kerja. Hal tersebut dapat memperkecil permasalahan, karena 1
hanggar akan terfokus terhadap beberapa perusahaan yang menjadi bahan
pengawasan. Meski begitu, masih saja ada kekurangan atau celah, sehingga
beberapa importir pun masih tetap berbuat “nakal”.
Upaya lain yang dilakukan bea cukai Bekasi dalam mengurangi kendala
yang ada adalah dengan memberikan informasi seluas-luasnya dan akses yang
mudah dalam menjalankan kegiatan impor itu sendiri, sehingga tidak ada
kesalahan atau kecurangan dengan berbagai alasan yang terjadi lagi. KPPBC
meberlakukan sistem yang dinamakan Customs Visit. Customs Visit itu sendiri
adalah kegiatan penyuluhan dan pengakraban antara petugas dan pengguna jasa
dengan melakukan kunjungan ke perusahaan-perusahaan yang tersebar di kota
Bekasi tersebut. Namun pada kenyataannya masih banyak masalah yang timbul
baik itu masalah mengenai dokumen, surat izin, dan sebagainya dengan alasan
kurangnya informasi.
Maka dari itu, DJBC menetapkan undang-undang mengenai sanksi akan
kendala-kendala yang selalu menempel pada bea cukai, yaitu dengan
memberikan sanksi administrasi (Lampiran 3), sanksi pidana, dilakukan
pembekuan perizinan wilayah berikat (untuk importir wilayah berikat), bahkan
sampai pemblokiran perizinan jika memungkinan. Dengan begitu, importir
akan kehilangan fasilitas izin berikatnya, yang berarti importir tersebut harus
membayarkan bea masuk sepenuhnya, sesuai dengan tarif yang telah
ditentukan. Hal tersebut sudah dipikirkan secara matang oleh DJBC dengan
laporan-laporan dari KPPBC di Indonesia, sehingga keputusan tersebut
dijadikan salah satu upaya dalam mengatasi permasalahan yang ada pada bea
Dalam menangani hampir 500 perusahaan lebih di dalam kawasan
berikat, tingkat pertumbuhan kelalaian dan kenakalan importir yang berujung
pada pemberian sanksi, sangat besar. Banyaknya pemberian surat sanksi
bertumbuh sekitar dua kali lipat dari tahun 2011 pada tahun 2012. Berikut data
surat penetapan sanksi yang dikeluarkan Bea cukai Bekasi tahun 2011 – 2012
Tabel 4.4
Jumlah Surat Penetapan Sanksi yang dikeluarkan KPPBC TMP A Bekasi
Selain upaya yang telah dicanangkan oleh DJBC, upaya pribadi dari
KPPBC TMP A Bekasi adalah melakukan kegiatan dengan tegas dan jelas,
serta mencantumkan sanksi tegas untuk para petugasnya yang
mengesampingkan tanggung jawab dan kejujuran, baik itu sanksi surat
peringatan, sampai pemecatan yang nantinya akan disetujui oleh kantor pusat.
Sedangkan bagi importir yang mendapat izin di wilayah berikat, upaya yang
dilakukan bea cukai Bekasi adalah melakukan patroli setiap hari terhadap
pabrik-pabrik yang sudah di daftarkan namanya sebagai pengusaha yang
memiliki surat izin wilayah berikat, menempatkan mata-mata baik orang dalam
2011 SBP 12
SPSA (Surat Putusan Sanksi
Administrasi) 11
Sanksi Pidana 1
2012 SBP 28
SPSA (Surat Putusan Sanksi
Administrasi) 22 Sanksi Pidana 2 Surat Pembekuan 1 Re-Ekspor 1 BDN 1 BC 2.5 1
importir, maupun mata-mata dari penduduk sekitar, serta tim intelejen yang
selalu mengawasi gerak gerik pabrik setiap harinya. Dengan begitu, celah atau
peluang importir untuk bertindak kurang baik akan lebih sempit, dan kendala
atau permasalahan itu dapat teratasi sedikit demi sedikit.
4.3.2 KPPBC TMP Soekarno-Hatta
4.3.2.1 Kendala Kepabeanan
Tidak berbeda jauh dengan KPPBC TMP A Bekasi, kendala yang
dihadapi bea cukai Soekarno-Hatta pun hampir sama secara keseluruhan. Yang
membedakan ialah, kendala yang dihadapi lebih beragam dan jumlahnya yang
jauh lebih banyak. Secara garis besar, kendala yang dihadapi adalah
penyelundupan, kurangnya SDM, minimnya informasi yang dimiliki importir
mengenai kegiatan ekspor impor, dan sebagainya. Kendala tersebut tentunya
menjadi keprihatinan petugas bea cukai Soekarno-Hatta dalam menjalankan
tugas. Kendala atau hambatan yang biasa terjadi akan sangat menyulitkan dan
mengurangi kinerja para petugas bea cukai sendiri.
Pada kesempatan ini, peneliti juga akan membahas banyaknya macam
penyelundupan yang terjadi di KPPBC TMP Soekarno-Hatta sebagai salah satu
kendala kerja. Banyaknya penyelundupan di bea cukai ini dikarenakan, kantor
berlokasi dan bertugas untuk menangani wilayah Bandara Internasional, yang
menjadi salah satu pelabuhan utama dalam masuknya barang impor ke
Indonesia. Penyelundupan barang dibagi menjadi dua jenis, berdasarkan
individual/ penumpang, dan berdasarkan perusahaan industri.
Jika dilihat dari catatan yang dimiliki bea cukai ini, kendala seperti
perseorangan, baik yang langsung dibawa oleh penumpang itu sendiri, maupun
melalui PJT (Perusahaan Jasa Titipan) yang berupa barang kiriman. kurangnya
SDM, merupakan salah satu faktor utama terhadap lengahnya petugas dalam
menangani kendala-kendala seperti ini. Penumpang akan dengan mudah
membawa barang dari luar negeri tanpa harus dikenakan pajak, bahkan barang
haram seperti narkoba pun mungkin sering lolos dari pemeriksaan.
Misalnya saja kasus penyelundupan barang seperti narkoba, sabu-sabu,
kokain, dan sebagainya. Penyelundupan barang-barang tersebut seringkali
terjadi, baik melalui penumpang itu sendiri, perusahaan jasa titipan, ataupun
melalui kantor Pos. barang-barang tersebut diselipkan pada barang lain yang
dikirimkan bersama dalam satu dokumen atau satu kemasan kiriman. misalnya:
1. Pengiriman/ penyelundupan kokain melalui jalur pos. Barang yang
dikirimkan adalah dokumen penting, yang kemudian diselipkan kokain di
dalam lembaran kertas-kertas tersebut. Petugas pun tidak akan
mengetahui kokain yang berada di dalam kemasan dokumen tersebut,
kecuali jika kemasan tersebut mencurigakan dari segi bentuk, alamat
tujuan, atupun asal negara pengirim.
2. Penyelundupan juga dapat dilakukan melalui perusahaan jasa titipan.
Dengan mengirimkan sebuah kemasan berisi baju/ kain yang dibungkus
oleh sebuah kardus tebal, kemudian narkoba diselipkan kedalam dinding
kardus, sehingga tidak merubah bentuk kemasan, dan tidak
mencurigakan.
3. Sama halnya dengan penyelundupan barang terlarang melalui
dalam, atau dengan merobek dinding koper yang kemudian diisi dengan
pakaian lain, sehingga tidak terlihat mencurigakan.
Paparan diatas merupakan penjelasan mengenai penyelundupan barang
haram seperti narkoba dan sejenisnya melalui perorangan/ individu. Berbeda
dengan barang impor lain seperti elektronik, biasanya penumpang
membawanya sendiri yang mana kemasan barang tersebut sudah terbuka
segelnya, bahkan kemasan dan invoice nya pun sudah dibuang. Dengan begitu,
petugas tidak dapat menyimpulkan bahwa barang tersebut adalah barang yang
dibeli dari luar negeri. Biasanya penumpang akan mengakui bahwa barang
tersebut adalah barang pribadinya, meski kemasan barang tersebut masih ada.
Yang dibuang, hanya struk belanja/ invoice atas barang tersebut, sehingga
petugas tidak dapat mengambil tindakan lebih atas barang tersebut.
4.3.2.2 Upaya Mengatasi Kendala
Untuk mengatasi banyaknya kendala yang dihadapi oleh KPPBC TMP
Soekarno-Hatta, berbagai cara dicari dan dilakukan demi meminimalisir
permasalahan yang ada. Lemahnya kuantitas SDM menjadi salah satu
penyebab yang paling utama. Namun dengan adanya kekurangan tersebut,
KPPBC ini membuat upaya dengan memaksimalkan SDM yang ada, meski
tidak banyak jumlahnya. Ketegasan dan sanksi bagi petugas bea cukai yang
bekerja dengan tidak jujur, merupakan salah satu upaya mengatasinya. Dengan
begitu, permasalahan yang sering terjadi, mungkin dapat diminimalisir
semaksimal mungkin.
Selain memberi sanksi yang tegas dan jelas kepada para petugasnya,
memberikan akses yang mudah bagi para pengguna jasa bea cukai, serta
memberikan informasi seluas-luasnya, sehingga tidak ada alasan lagi bagi para
importir yang melanggar peraturan yang ada tersebut. Di dalam undang-undang
bea cukai dijelaskan bahwa sanksi bagi para pelanggar dibedakan menjadi dua,
yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi adalah sanksi
yang akan diberikan kepada pengguna jasa yang surat-surat atau dokumen
impornya belum lengkap atau kurang. Misalkan, ketika pengguna jasa
(importir) mengimpor barang, dan barang tersebut sudah masuk ke Bandara
Internasional Soekarno-Hatta, namun pengguna jasa belum memiliki izin impor
atas barang tersebut, sehingga pengguna jasa akan dikenakan sanksi berupa
denda dan bunga (dikenakan setiap harinya setelah lewat dari 30 hari) sampai
surat izin impor barang tersebut dikeluarkan.
Selain sanksi administrasi, ada juga sanksi pidana yang akan diterima
oleh pengguna jasa (Importir) jika kesalahan dan kecurangan yang diketahui
termasuk kategori fatal dan merugikan negara, dengan begitu sanksi pidana
dapat dengan mudah diberikan baik itu berupa sanksi kurungan, penjara,
pencabutan izin impor, dan sebagainya sesuai dengan ketentuan perundangan
bea dan cukai di Indonesia. Dalam memberikan surat putusan sanksi, KPPBC
harus melaporkan permasalahan terkait kepada kantor pusat, dan setelah kantor
pusat menyetujui, barulah KPPBC memberikan surat sanksi tersebut. Untuk
upaya bea cukai dalam membuat sanksi pidana ini, sudah ditemukan beberapa
kasus terkait penyelundupan barang seperti narkoba dan sejenisnya, atau barang
lain yang diatur oleh perundangan bea dan cukai, serta barang industri lain
yang tidak seharusnya diimpor ke negara Indonesia. Penindakan tegas seperti
cukai dalam kegiatannya, dengan begitu angka impor dapat lebih teratasi
peningkatannya.
4.4 Mekanisme Penghitungan Penerimaan Pabean dan PDRI
Seperti yang sudah diketahui dan sudah penulis jelaskan, bahwa sistem
pemungutan pajak di Indonesia menggunakan Self Assesment System, yang
berarti wajib pajak berkewajiban mengurus, menghitung, dan melaporkannya
sendiri kepada instansi terkait. Sama halnya dengan kegiatan impor di
Indonesia, pengguna jasa/ wajib pajak berkewajiban melakukan penghitungan
sendiri terhadap jumlah dan besarnya bea masuk, cukai, PPh 22 impor, PPN
impor, atau PPNBm impor atas barang yang diimpornya tersebut. Dengan
begitu, secara tidak langsung pengguna jasa diwajibkan untuk bertindak jujur
dalam melakukan penghitungan tersebut. Bea cukai hanya menyediakan modul
penghitungan, menerima laporan, dan memeriksanya kembali.
Meskipun sistem penghitungan yang dilakukan oleh semua KPPBC di
Indonesia sudah menggunakan sistem komputer, pengguna jasa juga
diwajibkan secara penuh untuk mengetahui tarif-tarif kepabeanan dan PDRI
dengan benar dan akurat, serta tata cara penghitungan manualnya. Berikut
contoh penghitungan dalam kegiatan impor:
1. Sebagai contoh nyata, di KPPBC TMP Soekarno Hatta terdapat PT. I
(API) yang melangsungkan kegiatan impor barang dari Swedia. PT. I
menggunakan PT. Danzas Sarana Perkasa Soewarna Business Park
sebagai jasa penyediaan modul PIB. Di dalam PIB, dijelaskan bahwa PT.
I telah mengimpor “Part of RBS6601 = MCM” sesuai dengan
barang tersebut dengan total berat bersih sebesar 116,8 kg, dan total unit
seluruhnya adalah sebanyak 58.968 buah, sedangkan NDPBM (Nilai
Dasar Pengenaan Bea Masuk) barang tersebut adalah sebesar Rp. 9.821.
Didalam PIB, tidak dicantumkan besarnya harga asuransi dan biaya
angkut, sehingga pada kasus ini dinyatakan bahwa barang tersebut tidak
memiliki asuransi dan biaya angkut dibebankan kepada importir. Dengan
begitu, total CIF (Cost, Insurance, Freight)/ nilai pabean barang tersebut
adalah sebesar Rp. 579.124.728,-.
o Harga barang = Rp. 9.821,-
o Banyak barang = 58.968 buah
o PPh = 2,5% (API) o PPN = 10% Penghitungan: Tabel 4.5 Mekanisme Penghitungan Harga Barang Rp. 9.821
Jumlah Barang 58.968 buah x
Total Harga Barang Rp. 579.124.728
Asuransi 0 Rp. 0 Biaya Angkut 0 Rp. 0 + Nilai Pabean Rp. 579.124.728 Bea Masuk 0% Rp. 0 + Nilai Impor Rp. 579.124.728 PPN Impor 10% Rp. 57.913.000 PPh Impor 2,5% Rp. 14.479.000
Dengan rincian perhitungan yang sudah dipaparkan di atas, menunjukan
utang pajaknya sebesar Rp. 72.392.000,- (PPN Impor + PPh Impor)
kepada petugas bea cukai yang menangani PT. I.
2. Saudara A mendapat barang kiriman impor yang dikirim melalui PJT
dengan harga barang sesuai invoice $250, biaya pengangkutan udara
sesuai Airwaybill (AWB) adalah $100. Saudara A tidak memiliki API
dan dapat menunjukan NPWP. Kurs pajak yang berlaku saat pembayaran
adalah $1 = Rp. 9.000,-. Tariff BM = 10%, PPh = 7,5%
Dalam contoh ini, bea masuk dan PDRI yang harus dibayarkan saudara
A adalah sebesar:
o Harga barang (C) = $250
o Dikurangkan dengan
Pembebasan bea masuk = $ 50
o Harga barang (C) = $200
o Biaya pengangkutan (F) = $100
o C & F = $300
o Biaya asuransi
(0,5% x C&F) = $ 1,5
o Nilai Pabean (NP)(CIF) = $ 301,5
o Nilai Pabean (NP)
($301,5 x Rp. 9.000) = Rp. 2.713.500,-
o Bea Masuk (10%) = Rp. 272.000
o Nilai Impor (NI) = Rp. 2.985.500
o PPN impor (10% x NI) = Rp. 299.000,-
Dari data dan penghitungan diatas, berarti saudara A harus membayarkan
bea masuk sebesar Rp. 272.000, PPN impor Rp. 299.000, dan PPh 22