• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN MASYARAKAT KELURAHAN ILIR, KECAMATAN GUNUNG SITOLI. Gunung Sitoli merupakan kota tertua dan terbesar yang ada di Kepulauan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN MASYARAKAT KELURAHAN ILIR, KECAMATAN GUNUNG SITOLI. Gunung Sitoli merupakan kota tertua dan terbesar yang ada di Kepulauan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN MASYARAKAT KELURAHAN ILIR, KECAMATAN GUNUNG SITOLI

2.1 Lokasi dan Letak Gunung Sitoli

Gunung Sitoli merupakan kota tertua dan terbesar yang ada di Kepulauan Nias. Setelah ditingkatkan statusnya dari Kecamatan menjadi Kota Otonom, kota ini yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 47 Tahun 2008 ini semakin mengalami pertubuhan di segala bidang. Perlahan namun pasti, geliat Kota Gunung Sitoli sebagai pintu gerbang Kepulauan Nias semakin dirasakan. Ibaratnya, ada idealisme dan semangat baru menuju arah kemajuan.

Berdasarkan catatan sejarah, Gunung Sitoli atau sering disebut Luaha sudah dikenal dan dikunjungi sejak abad ke 18. Posisi kota Luaha ini terletak pada muara sungai Nou atau pasar Gunung Sitoli saat ini. Dari keterangan bapak Faziduhu Telaumbanua nama kota Gunung Sitoli diberikan oleh para pedagang yang berasal dari Indocina daratan Asia. Kelak, para pedagang inilah yang disebut-sebut sebagai nenek moyang orang Nias. Namun tidak ada catatan sejarah yang memastikan kebenaran hal ini.

Merujuk secara harfiah, jelas kata Gunung Sitoli berasal dari kata Gunung dan kata Sitoli. Gunung berarti tanah yang tinggi (berbukit) dan Sitoli berasal dari nama orang pertama yang berdiam di bukit dekat rumah sakit (daerah Onozitoli sekarang). Jumlah penduduk 125.495 jiwa( tahun 2008) dengan luas wilayah 469,36 km persegi.

(2)

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sitolu Ori, Kabupaten Nias Utara. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Gido dan Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias. Sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Hiliduho, Kecamatan Alasa Talumuzoi, dan Kecamatan Namohalu Esiwa. Sementara sebelah Timur berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.

Terdapat 6 Kecamatan, antara lain Gunung Sitoli dengan 31 desa, Gunung Sitoli Alo’oa, 10 desa, Gunung Sitoli Barat, 9 desa, Gunung Sitoli Idanoi, 26 desa, Gunung Sitoli Selatan, 15 desa, dan Gunung Sitoli Utara, 10 desa. Karena baru dimekarkan dan pemerintahan baru ada sejak Penjabat Wali Kota dilantik, tidak heran masih ada status desa di Kota Gunung Sitoli. Nantinya, secara bertahap statusnya diusulkan jadi Kelurahan. Saat ini baru ada 3 Kelurahan yang berdiam di bukit dekat rumah sakit umum Gunung Sitoli.

2.2 Sejarah Singkat Kelurahan

Kelurahan Ilir yang dulunya disebut Desa Ilir ( Perubahan terjadi semenjak peningkatan status kota Gunung Sitoli menjadi Kotamadya) adalah salah satu desa yang termasuk dalam Kecamatan Gunung Sitoli. Desa ini terletak sekitar satu stengah kilometer dari pusat Kota Gunung Sitoli, sebagai pusat pemerintahan. Arti Ilir ini adalah tempat dimana kita mulai bekerja dan mencari nafkah dimulai dari tanah yang kita pijak. Mata pencaharian penduduk adalah sebagai nelayan, petani buruh, pedagang dan sebagian kecil menjadi pegawai pada instansi pemerintahan. Jumlah yang terbesar adalah sebagai petani.

(3)

Menurut keterangan warga, pendiri desa ini adalah Tuada Balugu

Lasoborombanua Telaumbanua. Tahun didirikan tidak diketahui dengan pasti, namun

diperkirakan sekitar awal abad 20) Pendiri desa ini adalah salah seorang putera dari

Tuhenöri Onozitoli1

Lambat laun tanah ini berkembang menjadi desa tempat pemukiman penduduk. Penghuni desa ini semakin ramai baik itu keturunan dari pendiri desa,

. Menurut kebiasaan di masa lampau, seorang putera bangsawan yang baru berkeluarga biasanya akan berdiri sendiri dengan penguasahakan tanah pemberian orangtuanya.

Tanah yang masih berbentuk hutan belukar inilah yang akan diusahakan sebaik mungkin untuk tempat tinggal dan lahan pertanian yang sedapat mungkin memberikan hasil yang diharapkan untuk kehidupan keluarga yang baru.

2

1

Nias dulunya dibagi dalam beberapa Ori, yakni suatu wilayah pemerintahan yang membawahi beberapa desa. Salah satu ori tersebut adalah ori Onozitoli yang sekarang disebut sebagai kota Gunungsitoli. Kepala pemerintahan ori di sebut Tuhenori.

2

Pendiri desa dan keturunannya dengan sendirinya akan menjadi sanaru mbanua (pendiri desa) di desa tersebut yang berhak menentukan segala sesuatu mengenai wilayahnya, baik ke dalam maupun ke luar. Adapaun penduduk diluar keturunan dari pendiri desa, dianggap sebagai pendatang (sifatewu) yang tunduk kepada pendiri desa tersebut.

maupun penduduk yang datang dari tempat lain dan diterima menetap di desa ini. Meskipun demikian antara penduduk asli dan pendatang dibedakan dalam masalah hak dan kewajiban. Penduduk pendatang dibatasi dalam beberapa hal seperti tidak dapat membeli tanah walaupun dapat mengusahakannya; tidak dapat memasuki susunan pemerintahan kecuali pernah berjasa dalam desa atau memiliki harta benda yang banyak. Dalam hal perkawinan, pendatang tidak diperbolehkan mengawini penduduk asli. Dimasa lampau hal ini dapat menimbulkan ketegangan dalam desa,

(4)

namun di masa sekarang sesudah sistem pemerintahan berubah, hal ini jarang terjadi, walaupun belum hilang sama sekali.

2.3. Stratifikasi Sosial

Masyarakat di Nias mengenal pembagian derajat kepemimpinan dalam masyarakat. Pembagian sitem derajat ini dapat kita lihat dan segi pemerintahan dan dan sistem penggolongan derarajat manusia yang disebut bosi.

Dalam sistem pemerintahan menurut tradisi di Nias Utara, seperti yang dideskripsikan oleh Zebua (1984: 62-64) dikenal pembagian jabatan sebagai berikut: 1. Tuhenöri, Tuhe artinya tunggul. Nöri atau ori artinya kumpulan dari beberapa

banua. Tuhenöri dipilih dan antara pemimpin banua (sa1awa).

2. Salawa artinya “yang tinggi”. Seorang salawa memimpin satu wilayah yang disebut banua (desa tradisional Nias).

Jabatan ini mempunyai beberapa pengertian yakni: (1) Fa’atulö (adil)

(2) Fa’atua - tua (bijakana)

(3) Fa’abälö (kuat jasmani dan rohani)

(4) Fokhö (kaya atau mampu dalam arti memiliki harta benda) (5) Salawa Sofu (berwibawa)

3. Satua Mbanua, yaitu penasehat salawa yang terdini atas 3 (tiga) orang pemegang jabatan;

(5)

(1) Tambalina (wakil ini atau orang kedua) (2) Fahandrona (orang ketiga)

(3) Sidaöfa (orang keempat)

Untuk lebih Jelasnya melihat struktur Jabatan menurut adat Nias lihat bagan 1

Bagan 1

TUHENÖRI

SALAWA

SATUA MBANUA

TAMBALINA FAHANDRONA SIDAÖFA

Semua Jabatan pemerintahan ini diduduk i oleh golongan bangsawan yang merupakan keturunan pendiri desa. Tentu saja tidak semua golongan bangsawan yang dapat menduduki salah satu dan Jabatan yang sudah disebutkan di atas, namun umumnya hanya bagi golongan bangsawa kaya, mengingat bahwa untuk menduduki suatu jabatan harus diadakan pesta dengan biaya yang cukup besar untuk keperluan pesta. Melalui pesta inilah ia akan memperoleh pengakuan secara resmi dari tokoh-tokoh adat dan sekaligus dari penduduk desanya. Kebiasaan yang sudah menjadi

(6)

tradisi ini masih membekas dalam suasana pemerintahan desa pada masa sekarang. Seseorang yang diangkat menjadi Salawa famareta (Salawa dalam arti kepala desa) barangkali akan menghadapi kesulitan saat menjalankan tugasnya bila salawa

famareta tersebut belum mengadakan pesta bagi penduduk desa. Dalam alam pikiran

orang desa, figur seseorang yang dihormati, ditakuti dan berderajat tinggi hanyalah mereka yang sudah melakukan kewajiban adat dalam arti melaksanakan beberapa tahapan pesta sepanjang hidupnya hingga mencapai derajat tertentu.

Golongan orang yang termasuk dalam susunan pemerintahan desa ini selalu mendapat perlakuan istimewa. Orang lain tidak dapat berbicara dengan tidak sopan; selalu dihormati selalu diundang dan hadir dalam pesta adat seperti; perkawinan, kematian dan sebagainya dan mereka yang memutuskan hal-hal penting dalam desa.

2.4. Pembagian Tingkat-tingkat Kehidupan Manusia Menurut Adat Nias Utara

Sistem pengolongan derajat manusia berdasarkan tingkat-tingkat kehidupan dari janin sampai kehidupan akhirat pada orang Nias Utara di sebut bosi. Pengertian

bosi dapat digambarkan seperti anak tangga yang bergerak dan anak tangga pertama

hingga anak tangga kedua belas sehingga dengan demikian derajat manusia dibagi menjadi dua belas tingkat yang berbeda. Sistem pembagian tingkatan atau derajat manusia ini dijiwai oleh kepercayaan suku Nias pra Kristen yang disebut Sanőmba

Adu. Dalam konteks kepercayaan ini bosi nantinya mengarahkan manusia untuk

berusaha mencapai tingkat tertinggi agar nanti setelah ia mati, ia akan memperoleh kebahagiaan di dalam tetehöli ana’a (semacam surga). Adapun pembagian bosi yang

(7)

dibedakan atas dua belas tingkat yang berbeda itu, adalah sebagai berikut:

fangaruwusi, tumbu, famatörö döi, famoto, falöwa, famadadao omo, fa aniha mbanua, famaoli, fangai töi, fa’amakhö, mame’e gö mbanua, dan mame’e gö nöri.

2.4.1. Bosi I: Fangaruwui (memperlihatkan kandungan)

Ibu yang sedang hamil akan diperiksa oleh solomö (dukun bersalin) untuk menentukan usia kandungan sudah berusia tiga sampai lima bulan orang tua akan berkunjung ke rumah mertuanya (orang tua istri) yang disebut sebagai uwu3

3

Perkawinan dengan sendirinya akan menimbulkan hubungan kekerabatan dimana setiap menantu pria akan menyapa orang tua istrinya (mertuanya) dengan sebutan uwu yang artinya paman. Sedangkan mertuanya akan menyapa menantunya dengan istilah umönö yang artinya menantu.

.Tujuan kedatangan ini adalah untuk memohon berkat agar anak yang masih dalam kandungan tersebut kelak akan lahir dengan selamat dan sehat. Pada acara ini diadakan jamuan akan dengan memotong seekor anak babi.

Selesai acara makan uwu memberkati kandungan ibu dengan cara memercikkan air dari atas piring. Piring tadi berisi air, daun zini-zini (tumbuhan sejenis cocor bebek), dan 5 (lima) keping uang perak Belanda (floring, harga satu keping mata uang ini pada masa sekarang adalah Rp. 5.000,-). Air adalah lambang kesucian, daun zini-zini adalah lambang kesehatan (daun ini merupakan salah satu bahan campuran obat-obatan) dan uang perak adalah persembahan bagi para Dewa. Dimasa lampau ere yakni iman religi Sanömba Adu akan membuat sebuah adu atau patung pelindung untuk bayi dalam kandungan tersebut.

(8)

Selama ibu mengandung kandungan harus dijaga dari akibat-akibat buruk. Orang tua sedapat mungkin menghindari apa yang disebut sebagai amonita. Amonita adalah tabu atau pantangan yang tidak boleh dilanggar, sebab apabila dilanggar dapat menimbulkan akibat yang tidak baik pada sifat-sifat dan perilaku si anak nantinya setelah ia lahir. Pantangan tersebut antara lain tidak boleh membunuh binatang seperti ular, monyek, babi, tidak boleh berjalan di tempat bekas pembunuhan, tidak boleh duduk di depan pintu dan pantangan lainnya (Suzuki, 1959: 78). Salah satu contoh apabila orang tua membunuh seekor-monyet saat sedang terjadi kehamilan maka bila anaknya lahir, sifat-sifat anak itu akan mirip dengan monyet; tidak dapat bicara, dan bertingkah laku seperti monyet.

Selain menghindari apa yang disebut amonita Ibu hamil mesti dilindungi dari gangguan matiana. Matiana adalah roh wanita yang mati melahirkan dan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu (dalam rupa seekor burung) untuk tujuan-tujuan jahat yang salah satu diantaranya adalah mencelakakan ibu yang sedang mengandung. Matiana biasanya datang pada malam hari, dan akan berkicau di sekitar rumah. Bila beberapa hari kemudian si ibu hamil sakit, maka penyakitnya bisa saja dihubung-huhungkan dengan matiana yang berkicau beberapa hari yang lalu di sekitar rumah. Penyakit ini bisa menjadi masalah lain bila penyakit tersebut dianggap sebagai “kiriman”dan tetangga atau orang lain yang dicurigai. Kepercayaan akan matiana ini umumnya masih ada di desa-desa, ia dipercaya sebagai sumber penyakit dan orang tua mungkin saja akan menakut-nakuti anaknya yang tidak mau tidur dengan mengatakan kalau tidak mau tidur, nanti akan dimakan oleh matiana.

(9)

Usia kehamilan biasanya di rahasiakan. Tujuannya adalah menghindari niat jahat orang lain yang ingin mencelakan kandungan tersebut melalui perantaraan dukun. Keseluruhan usaha melindungi ibu yang sedang hamil jelas merupakan upaya menyelamatkan bayi dalam kandungan dan melindungi ibu hamil yang memang kondisi fisiknya tidak begitu kuat. Upaya pencegahan dilakukan dengan menghindari beberapa pantangan dan larangan seperti yang sudah disebutkan diatas.

2.4.2. Bosi II : Tumbu (lahir)

Apabila usia kandungan sudah cukup tua, solomö dipanggil untuk membantu persalinan. Peran solomö pada masa sekarang digantikan oleh bidan, khususnya di desa-desa yang dekat dengan puskesmas. Bila anak lahir dengan selamat, orang tua akan mengadakan acara lasasai danga solomö (mencuci tangan solomö). Acara ini merupakan ungkapan rasa terima kasih atas pertolongan solomö yang sudah menolong kelahiran anak mereka. Pada saat ini orang tua akan memberikan 1 (satu)

pau emas (1 pau = 10 gram), kain sarung dan kain selendang. Solomö kemudian

memberkati ibu dan anak dengan memercikkan air. Ia kemudian mendoakan agar ibu dan anak supaya sehat dan terhindar dari penyakit.

2.4.3. Bosi III : Famatoro Doi (memberi nama)

Beberapa hari setelah anak lahir, orang tua akan mengadakan acara pemberian nama bagi anak yang baru lahir tersebut. Pada saat ini Salawa (kepala pemerintahan desa), banua (masyarakat sedesa) dan uwu (paman) diundang. Kepada mereka

(10)

masing-msing dipotong dan dimasak seekor babi4

Setelah pemberian nama dilakukan, orang tua akan membawa anak tadi ke rumah uwu (mertua atau orang tua istri) untuk melaksanakan acara molöwö. Molöwö artinya membungkus nasi dan daging babi rebus dengan daun pisang. Selain bungkusan tadi, orang tua juga menyerahkan ömö ndraono (ömö berarti utang,

ndraono berarti anak-anak). Untuk anak laki-laki pertama orang tua menyerahkan 1

dan emas satu pau (dibagi tiga). Babi dan emas ini merupakan bentuk penghormatan yang resmi secara adat.

Pada masa lampau nama anak diberikan oleh salawa atau salah seorang dari tokoh adat, namun dimasa sekarang nama anak ditentukan oleh orang tuanya.

Pemberian nama di hadapan tokoh-tokoh adat, dan orang sedesa menunjukkan bahwa nama anak tersebut sah dan resmi menurut adat. Siapapun yang kelak mempermainkan atau menghina anak tersebut melalui namanya, akan diberikan sanksi hukum sesuai dengan berat pelanggaran yang dilakukan. Misalnya apabila penghinaan dilakukan oleh satu orang akan didenda sekitar 10 floring (1 floring sama dengan Rp. 5.000,- maka 10 floring sama dengan Rp. 50.000,-). Jika penghinaan dilakukan oleh sekelompok masyarakat dari desa lain, maka perang antar desa bisa saja terjadi. Tentang syarat-syarat sanksi pelanggaran ini akan ditentukan oleh rapat adat (orahua). Berdasarkan hal ini akan sangat jelas bahwa nama seseorang mempunyai arti yang sangat penting bagi dirinya sendiri, keluarga serumpun, dan komunitas masyarakatnya.

4

Bagi penganut agama di luar Kristen biasanya tahapan-tahapan ini tidak dilaksanakan lagi sebagaimana mestinya.

(11)

(satu) pau (10 gram) emas, untuk anak perempuan pertama ½ (setengah) pau emas, sedangkan untuk anak-anak yang lahir kemudian, besar pemberian dapat dikurangi (Gulo, 1983;192). Selain emas, orang tua juga menyediakan 5 (lima) keping uang perak untuk tefetefe idanö (pemberkatan dengan air).

Setelah uwu menerima bungkusan dan ömö ndraono, uwu akan memberkati si anak dengan air. Uang perak yang dibawa oleh orang tua si anak tadi dimasukkan ke dalam piring yang berisi air dan daun zini-zini (sejenis tumbuhan cocor bebek). Uwu kemudian mengucapkan berkat dan berdoa untuk keselamatan orang tua dan anaknya, lalu memercikkan air dari atas piring dengan mempergunakan daun zini-zini tadi. Bila keluarga yang molöwö tadi hendak kembali kerumah, uwu akan memberikan seekor babi atau ayam dan untuk si anak akan dihadiahkan emas sekedarnya yang dulu di sebut löfö nono (löfö berarti rejeki dan nono berarti anak). Di daerah Nias bagian Timur, uwu juga memberikan periuk tanah liat berisi beras dan sebutir telor ayam dan ditutup dengan daun pisang. Acara ini disebut fangandrö bowoa (memohon periuk). Setelah tiba di rumah, jari si anak akan ditusukkan menembus tutup periuk, kemudian isinya dimasak untuk ibunya, dengan tujuan si anak kelak murah rejeki (Gulö,1983: 192).

2.4.4. Bosi IV : Famoto (sirkumsisi)

Orang Nias memakai garis keturunan secara patrilineal (garis keturunan dari ayah). Anak laki-laki diharapkan menjadi penerus garis keturunan secara patrilineal dan anak laki-laki biasanya memperoleh hak-hak yang lebih banyak dibanding

(12)

dengan anak perempuan. Bosi yang ke empat ini jelas menunjukkan hak istimewa yang menjadi milik anak laki-laki. Sunat ini sendiri bagi orang Nias merupakan hal penting dan telah ada sebelum kekristenan di kenal di sana. Sunat menjadi alat

famago mbawa (penutup mulut). Artinya seseorang yang belum disunat tidak dapat

memberikan pendapat atau berbicara dalam kegiatan adat sebab mulutnya “masih tertutup”. Meskipun mayoritas orang Nias tidak lagi menganut religi suku pada masa sekarang ini, namun kegiatan sunat di Nias, khususnya di Nias Utara masih tetap dilakukan. Sunat pada masa sekarang sudah dilakukan secara modern dengan menggunakan jasa paramedis (dokter atau perawat) di rumah sakit. Kegiatan sunat ini dilakukan berdasarkan faktor kebiasaan saja. Seorang anak yang belum disunat akan menjadi bahan olok-olok bagi teman-temannya, sehingga orang tua secara sadar akan menyunat anaknya untuk mencegah olok-olok tadi di samping faktor kebiasaan yang sudah berlangsung turun temurun. Menurut bapak Yulius Laoli/Ama Yuliama (petugas gereja BNKP) fihak gereja dalam hal ini tidak melarang dan juga tidak menganjurkan sunat.

Penyunatan terhadap anak laki-laki biasanya dilakukan pada usia 8-10 tahun. Sunat dalam bahasa Nias di sebut laboto yang artinya dibelah. Proses penyunatan dilakukan dengan cara membelah kulit penis dan bukan memotong kulit penis seperti halnya sunat yang dilakukan pada masa sekarang ini.

Di masa lampau sunat dilakukan oleh ere (lima dalam kepercayaan Nias

Sanömba Adu). Sebelum melakukan penyunatan, ere membuat adu (patung)

(13)

faso (alat pengganjal dari kayu aren, menyerupai pasak kira-kira sebesar jari

telunjuk). Setelah pisau diasah sampai / tajam pisau tersebut direndam di dalam air berisi daun zini-zini agar pisau menjadi dingin saat digunakan. Ere yang dibantu oleh dua orang pembantunya akan mengalihkan perhatian si anak dengan berceritera yang lucu-lucu. Saat sunat hendak dilakukan, Ere berpura-pura mengatakan bahwa ia hendak membuat garis untuk menentukan bagian yang akan disunat. Saat si anak lengah, ere bukannya membuat garis namun tiba-tiba mengiriskan pisau dengan kuat. Kulit penispun terbelah dan luka ini akan diobati dengan ramuan tumbuh-tumbuhan sampai luka sembuh.

Sunat sebagai salah satu syarat inisiasi dalam proses untuk menuju kedewasaan secara adat. Disamping sunat masih ada syarat lain yakni pemotongan gigi (lahozi).Pemotongan gigi ini berlaku bagi anak laki-laki dan anak perempuan yang berusia 12-15 tahun (Suzuki 1959; 82). Walaupun tradisi pemotongan gigi ini tidak pernah lagi kedengaran di Nias pada masa sekarang.

2.4.5. Bosi V : Falöwa (Perkawinan)

Bila seorang anak laki-laki akan memasuki usia perkawinan (sekitar 18-25 tahun), maka orang tuanya akan mencari jodoh yang sesuai dengan anaknya. Penentuan jodoh sepenuhnya tergantung kepada orang tua, walaupun anak laki-laki telah menjalin hubungan cinta dengan seorang wanita, persetujuan orang tua masih menentukan bila ia ingin menikahi wanita tersebut. Dalam adat Nias, kawin lari sangat sulit untuk diterima. Seseorang yang kawin tanpa persetujuan orang tua, akan

(14)

tersingkir dari lingkungan adat, bahkan orang tua bisa saja menyatakan putus hubungan sebagai anak bila anaknya tersebut kawin tanpa restu orang tua.

Untuk menentukan jodoh, orang tua terlebih dahulu melihat beberapa kriteria seperti derajat orang tua si gadis, kecantikan, perilaku si gadis dan tingkat pendidikan pada masa sekarang. Biasanya orang tua akan memilih calon dari keluarga yang setaraf dengan derajat (bosi) mereka. Hal ini sudah menjadi kebiasaan disamping memperkecil faktor penolakan.5

5

Walaupun lamaran diterima, tetapi penolakan secara halus dapat dilakukan oleh fihak wanita dengan meminta mas kawin (bowo) tinggi, yang tidak mungkin disanggupi oleh fihak laki-laki.

Setelah mendapatkan calon yang dianggap sesuai menurut kehendak pihak laki-laki, maka orang tua akan mengutus salah seorang keluarga terdekat yang akan menjadi penyampai lamaran. Utusan ini disebut si’o yang arti sebenarnya adalah tongkat, namun dalam hal ini si’o diartikan sebagai perantara yang menjembatani dua keluarga. Biasanya si’o dipilih dari keluarga terdekat, yakni adik laki-laki dari ayah si pemuda yang telah berkeluarga. Namun bila tidak memungkinkan, maka akan diutus salah seorang kerabat lainnya. Pada saat menyampaikan lamaran si’o tidak berbicara langsung dengan orang tua si wanita, tetapi ia menyampaikan maksud tersebut kepada salah seorang keluarga terdekat mereka yang nantinya akan menyampaikannya kepada orang tua si wanita. (Untuk jelasnya dapat dilihat pada Bab III).

(15)

2.4.6. Bosi VI : Famadadao Omo (Membangun rumah)

Seorang anak laki-laki yang telah berkeluarga tidak dapat terus-menerus menetap di rumah orang tuanya. Untuk itu ia harus berusaha untuk memiliki rumah sendiri. Rumah dapat dibangun di dekat rumah orang tua atau di tempat lain yang jauh dari rumah orang tua. Dimasa lampau pada saat tanah masih cukup luas dengan penduduk sedikit, keluarga baru lebih suka membangun rumah di lokasi baru. Bila mereka termasuk keturunan bangsawan, maka pada saat mereka memasuki rumah baru mereka akan diiringi beberapa orang pembantu dan membawa alat-alat pertanian.

Ketika membangun rumah beberapa hal mesti diperhatikan. Ukuran panjang dan lebar menggunakan bilangan ganjil 5,7, atau 9, sebab menurut kepercayaan ukuran dengan bilangan ganjil ini akan membuat rumah menjadi kuat, dapat menolak ilmu hitam, menolak sial, dan menolak penyakit. Pintu rumah mesti menghadap ke arah matahari terbit. Hal ini dipercaya sebagai sumber berkat dari matahari. Matahari dalam bahasa Nias disebut luo. Dahulu orang Nias menyembah Luobalangi atau

lowalangi adalah pencipta dan sumber kehidupan, itulah sebabnya pintu rumah

biasanya menghadap ke sebelah timur dengan harapan agar rumah tersebut dapat mendatangkan rejeki dan keberuntungan.

Setelah rumah selesai dibangun, pemilik rumah mengadakan acara lafofanö

tuka (melepas tukang). Kepada tukang diberikan satu ekor babi dan satu balaki emas

(1 balaki sama dengan 12,5 gram); khusus kepada sanu’a (orang yang mengukur rumah) diberikan 5 keping uang perak ”floring” (mata uang Belanda); kepada solohe

(16)

balö zinali (pemegang ujung tali pengukur) diberikan satu ringgit; kepada penduduk

desa (banua) diberikan satu balaki emas yang diterima oleh salah seorang pengetua adat. Ini adalah prosedur yang berlaku dimasa lampau, sementara dimasa sekarang pembayaran di atas dapat digantikan dengan uang tunai (rupiah).

2.4.7. Bosi VII : Fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa)

Bila rumah telah selesai didirikan, pemilik rumah beberapa waktu kemudian mengadakan jamuan makan kepada penduduk desa sebagai syarat agar dapat diterima secara resmi6

2.4.8. Bosi VIII : Famaoli (menjadi anggota adat)

sebagai anggota masyarakat desa (naha mbanua).

Untuk memasuki kelompok pengetua adat, yakni kelompok elit dalam masyarakat desa, seseorang harus memenuhi syarat antara lain harus keturunan bangsawan, pandai bicara dan berharta. Bila syarat ini telah terpenuhi, maka diadakan musyawarah oleh para pengetua adat untuk menentukan dapat diterima atau tidak. Bila seseorang diterima, maka ia harus mempelajari adat istiadat, yang meliputi hukum adat, bahasa adat dan kesenian. Dalam hal ini kesenian yang harus dikuasai antara lain adalah : hendri-hendri, fangowai dan bölihae. Semakin banyak cabang-cabang kesenian yang dapat dikuasai, maka semakin besar pula kemungkinan orang tersebut diterima sebagai anggota kelompok adat.

6

Pada dasarnya setiap keluarga yang baru menikah berhak mendirikan rumah pada kelompok asalnya. Namun untuk lebih memantapkan kedudukannya, orang tersebut harus mengadakan jamuan makan kepada penduduk sebagai syarat untuk pengakuan secara resmi.

(17)

2.4.9. Bosi IX : Fangai toi (mengambil gelar)

Status sosial yang dianggap tinggi di dalam desa adalah orang-orang yang memakai gelar salawa, balugu dan tuha. Dan untuk memakai gelar salawa biasanya mengorbankan sekitar 50 ekor babi, untuk balugu mengorbankan sekitar 100 ekor, dan untuk tuha mengorbankan sekitar 200 ekor, dengan berat minimal sekitar 50 kg per ekor.

Konsep utama pemakaian gelar ini dilandasi oleh religi Nias pada masa lampau yang menganggap bahwa derajat manusia yang hidup di dunia akan sama derajatnya bila ia nanti meningal dan memasuki dunia para dewa di tetehöli ana’a (semacam surga). Itulah salah satu sebab mengapa orang Nias jaman dahulu begitu gigih mengumpulkan harta benda agar dapat memperoleh salah satu gelar, meskipun sering sekali hal ini tidak diimbangi dengan kemampuan menyediakan biaya yang cukup besar. Ada kalanya seseorang meminjam uang untuk biaya pesta peningkatan status (fangai töi) ini, namun setelah pesta dilaksanakan dan gelar sudah disandang adakalanya orang ini akan terlilit hutang yang secara ekonomis tidak terbayar. Dengan demikian utang tersebut akan tetap berkelanjutan menjadi tanggungan keturunannya. Kondisi seperti ini di Nias dapat berlanjut sampai kepada generasi berikutnya, hingga utang terlunasi. Namun demikian walaupun utang tidak dapat di bayar, tetapi status orang tersebut tidak dapat lagi dicabut.

(18)

2.4.10. Bosi X : Fa’amokhö (kekayaan)

Sebagai bukti seseorang itu benar-benar kaya, ia akan memamerkan semua harta bendanya (seolah-olah menjemur di panas matahari) berupa perhiasan emas, perak dan benda-benda berharga lainnya. Dengan demikian ia akan mendapat pujian dan rasa kagum dan mungkin juga rasa iri dari orang-orang sedesanya.

Pada saat seperti ini biasanya juga masyarakat diundang untuk menyaksikan pameran harta benda tersebut. Dengan kesaksian dari orang yang diundang, secara otomatis status orang tersebut akan naik di mata masyarakat.

2.4.11. Bosi XI : Mame’e gö banua (menjamu orang sedesa)

Seseorang yang benar-benar kaya akan mengadakan acara ini, yaitu menjamu makan semua penduduk desa untuk mengukuhkan dan menaikan statusnya lebih tinggi lagi. Semakin banyak orang yang diundang dan diberi makan, semakin tinggi pula status orang tersebut.

2.4.12. Bosi XII : Mame’e gö nöri (menjamu orang satu öri)

Pada masa lampau beberapa banua dapat menggabungkan diri menjadi satu bentuk pemerintahan yang lebih luas yang disebut öri. Pemimpin öri disebut

Tuhenöri (tuhe artinya tunggul kayu yang kokoh) yang dipilih di antara

pemimpin-pemimpin banua yang bergabung tadi. Tuhenöri harus mengadakan pesta besar (owasa) dengan mengundang semua penduduk sewilayah orinya. Pesta ini merupakan pengukuhan sebagai tuhenöri, disamping sebagai pemberitahuan bahwa telah diangkat pemimpin baru yang berkuasa penuh.

(19)

Dari status-status yang telah disebutkan di atas, maka tuhenöri adalah merupakan status tertinggi yang dimiliki oleh seseorang di lingkungan masyarakat sekitarnya. Boleh dikatakan hanya orang-orang tertentu yang dapat menjadi tuhenöri, yaitu telah memenuhi dua belas tingkatan atau bosi seperti telah dijelaskan di atas.

Dengan masuknya kekristenan di Nias tahun 1865 melalui missionaris Jerman (lihat halaman 48), maka lambat laun penduduk mulai meninggalkan kepercayaan sukunya dan beralih ke agama Kristen.

Agama Kristen mengajarkan bahwa manusia di hadapan lowalangi (Tuhan) sama derajatnya, sedangkan dalam agama suku tidak demikian halnya. Secara bertahap konsep bosi ini mulai ditinggalkan oleh penganut agama Kristen. Pada masa kini semua orang dianggap/temasuk golongan orang biasa dengan bosi VII (niha

mbanua). Hal ini disebabkan bukan hanya akibat peralihan agama penduduk, namun

faktor lain juga turut menentukan, antara lain sistem pemerintahan, kemajuan zaman dan semakin terbukanya jalur komunikasi dari dan ke Pulau Nias, yang memungkinkan pendudukan pulau Nias dapat berhubungan dengan penduduk di luar pulau Nias.

2.5. Sistem Religi

2.5.1 Sebelum Kekristenan

Masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut Sanömba Adu.

Sanömba berarti menyembah, dan Adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu

(20)

di osali börönadu7

Pada masa lampau adu selalu dibuat untuk kejadian penting, misalnya saat mendirikan rumah, anak lahir, sunat, perkawinan, kematian dan sebagainya. Adu untuk rumah dibuat agar rumah tersebut kuat, membawa keberuntungan dan kesehatan; adu untuk anak lahir dibuat agar anak tersebut dilindungi oleh dewa dan roh nenek moyang dari penyakit dan marabahaya; adu saat sunat dibuat agar anak tersebut dapat memasuki masa dewasa dengan baik, orang tua dan persekutuan

banua; adu saat perkawinan dibuat dengan tujuan pengantin kelak mejadi keluarga

yang baik, memiliki keturunan dan murah rezeki; saat kematian seorang bangsawan dibuat sebuah adu dan disamping itu beberapa orang budak sengaja dibunuh dan dikubur bersama-sama dengan orang mati yang menurut kepercayaan, budak-budak ini nantinya akan melayaninya di dunia lain seperti halnya ketika masih hidup di dunia

yaitu bangunan sebagai tempat ibadah agama Sanömba Adu. Biasanya osali ini ditempatkan di dekat omo hada (rumah adat besar).

8

Pembuatan sebuah adu tidak dapat dilepaskan dari campur tangan ere yakni imam agama sanömba adu. Ere merupakan orang yang bertugas menempatkan roh tertentu ke dalam patung adu, yang walaupun tidak kelihatan dengan mata biasa, dipercaya dapat menjadi roh pelindung. Bila sebuah adu telah selesai diukir, misalnya

adu zatua (adu untuk roh orang tua) maka ere memanggil roh orang tua tersebut

.

7

Setelah munculnya kekristenan, osali telah berubah arti sebagai gedung gereja, yakni gedung tempat beribadah bagi umat kristiani.

8

Kebiasaan ini sudah hilang dan digantikan dengan menanam bunga-bungaan pada kuburan orang mati.

(21)

melalui upacara retual (disebut fo’ere) dengan mantra-mantra yang dinyanyikan sambil memukul fondrahi (gendang satu sisi).

Ere menjadi orang penting dalam setiap kegiatan keagamaan baik secara

umum, maupun kegiatan keagamaan secara pribadi. Ia menjadi penghubung antara manusia dan alam gaib (Laiya, 1979; 28), penyampai persembahan, pemberkat dan pengutuk, peramal dan tukang obat. Kemampuan ini diperoleh bukan melalui kursus formil. Menurut Pieper dalam tulisan Bamböwö laiya (Laiya, 1979; 29) sebelum memulai jabatan sebagai ere, ia akan lari ke dalam hutan dan bertingkah laku seperti orang gila. Setelah empat atau lima hari di hutan maka dia akan kembali ke desa lalu mengumumkan tabu, meramal, dan menyembuhkan penyakit.

Menurut mitos9

Teks hoho:

orang Nias di bagian utara mengenai Luo Walangi sebagai pencipta. Luo walangi menciptakan bumi dari adukan angin dan taufan (Zebua, 1984; 56). Adukan inilah yang kemudian berubah menjadi bola bumi. Pada bumi ini kemudian diciptakan pohon tora’a (semacam pohon kehidupan). Syair hoho yakni salah satu musik vokal di Nias (ibid) menyebutkan:

Artinya:

Maoso luo walangi sokhö maoso luo walangi so’aya ifowa’a ba guli danö ölia ifalandru ba guli ndrao naya-naya döla dora’a tora’i dila dora’a tanömö zoya mowa’a hulö rumi zatara molandru

Bangkitlah luo walangi sokho bangitlah luo walangi so’aya diberinya berakar didalam semesta diberinya berkecambah di atas tanah pohon döra’i töra’a phon tora’a sumber yang banyak berakar bagaikan

9

Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang (peursen, strategio kebudayaan, alih bahasa Dick Hartoko, 1985:37). Mitos penciptaan ini di Nias selatan, pencipta bukanlah Luo Walangi, namun Inada Samihara Luwo (Suzuki, op. Cit. 4).

(22)

mofalaölwa alau lehe sofanikha-nikha alau mbulu sogala-gala

benang sutra berkecambah bagaikan jarum muncullah pucuk yang berminyak muncullah daun yang melebar

Syair di atas mengungkapkan sebagian dari proses penciptaan pohon tora’a. Dari kuncup pohon inilah luo walangi menciptakan makhluk halus, manusia, dan dewa-dewa. Adapun manusia pertama yang merupakan nenek moyang manusia sekarang ini adalah Sihai Silo Uwu-uwu atau Sihai Silo Ama-ama dan Sibolowua atau

Buruti. Pasangan manusia inilah yang dapat diartikan sebagai tanah manusia artinya

bumi yang menjadi pemukiman manusia.

Dalam kepercayaan Sanömba Adu dikenal beberapa dewa. Adapun dewa-dewa penting bagi penganut agama sanomba adu adalah sebagai berikut:

2.5.1.1. Luo Walangi

Merupakan dewa maha pencipta alam semesta, kemudian dipakai untuk menggantikan nama Tuhan dalam agama Kristen. Istilah Lowalangi dipakai hingga sekarang di seluruh Nias, meskipun di daerah Nias Selatan dulunya pencipta adalah

Inada Samihara Luwo menurut catatan Suzuki. Luo Walangi dipersonifikasikan

sebagai matahari. Matahari merupakan lambang kehidupan dan terang yang menyinari bumi, sehingga dulu matahari disembah sebagai dewa pencipta. Pintu rumah diupayakan menghadap ke sebelah timur, mengingat matahari terbit dari

(23)

sebelah timur dan akan menerangi rumah. Sinar matahari inilah yang kemudian mendatangkan rejeki atau berkat bagi penghuni rumah tersebut.

2.5.1.2. Lature Sobawi Sihono

Dewa ini merupakan pemilik atau penguasa ”babi”. Yang dimaksud dengan babi disini adalah manusia, sehingga bila ia ingin memakan daging ”babi” maka ia akan membunuh ”babinya” tersebut. Laiya menulis:

Orang Nias mempercayai bahwa manusia itu hanyalah sebagai ciptaan biasa dari dewa-dewa, sebagian dari ciptaan lainnya. Manusia adalah babi dewa-dewa (illah). Bila dewa berselera memakan daging babi (dalam hal ini babi adalah manusia) maka secara bebas dewa mengambil dan membunuh satu atau lebih babinya. Oleh karena itu, maka babi merupakan unsur penting dalam kebudayaan Nias (Laiya, Op. Cit. 25).

Kepercayaan ini kemudian menimbulkan ketakutan pada manusia, sehingga manusia sebagai ”babinya” dewa, akan mempersembahkan babi yang sesungguhnya sebagai gantinya. Oleh karena dewa lature sobawi sihono merupakan ”pemilik babi”, maka kadang-kadang orang tua bila menegur anaknya akan mengatakan: ”Böi faudu,

mofönu dania sobawi” (Jangan bertengkar, pemilik babi nanti marah).

2.5.1.3. Uwu Gere

Uwu gere merupakan dewa pelindung dan penguasa para Ere yaitu imam

agama Sanömba Adu. Dalam arti bahwa para ere dalam melakukan aktivitasnya ditentukan atau dikendalikan oleh Uwu Gere, sehingga segala tindakan ere tidaklah ditentukan atas keinginan pribadinya saja.

(24)

2.5.1.4. Uwu Wakhe

Uwu wakhe adalah dewa penguasa tanam-tanaman, khususnya padi. Dahulu

dewa ini disembah dengan tujuan memperoleh pemberkatan pada tanaman padi. Pada saat panen tiba, hasil tuaian yang terbaik akan dipersembahkan kepada dewa uwu

wakhe sebagai ucapan terima kasih sekaligus mengharap hasil yang baik untuk panen

yang akan datang.

2.5.1.5. Gözö Tuha Zangaröfa

Gözö merupakan salah seorang putera Sirao Simeziwa Tuha yakni salah

seorang nenek moyang orang Nias yang menurut kepercayaan diturunkan dari langit ke Gomo (kecamatan Gomo sekarang). Gözö dipercaya sebagai dewa penguasa air dengan nama Gözö Tuha Banidanö atau Laowö Dödö Nidanö. Kaum nelayan dan masyarakat yang bermukim di tepi laut atau pinggir sungai percaya bahwa dewa ini dapat memberi rejeki dari isi laut yaitu berjenis-jenis ikan yang menjadi konsumsi penduduk, sebagai salah satu sumber bahan makanan yang penting.

Disamping dewa-dewa tersebut di atas, orang Nias juga percaya bahwa roh manusia tidak mati, namun berubah dalam bentuk lain yaitu bekhu dan matiana.

Bekhu adalah roh orang mati biasa dan matiana adalah roh wanita yang mati ketika

melahirkan atau sekarang sering disebut dengan kuntilanak, roh ini hanya keluar di malam hari dan hanya mengganggu kaum wanita. Menurut kepercayaan matiana suka memakan daging udang, sehingga bila ada terlihat kulit udang pada aliran mata

(25)

air (idanö gumbu), penduduk percaya bahwa matiana telah memakan daging udang tersebut.

Bermacam-macam ciptaan dan makhluk yang dipersonifikasikan lalu disembah oleh orang Nias. Ciptaan (benda-benda alam) dan makhluk tersebut antara lain: matahari, bulan, pohon-pohon besar, buaya, cecak, dan sebagainya. Menurut Laiya, sistem religi sanömba adu bukan hanya politeistis (menyembah banyak dewa) namun juga animistis (menyembah benda-benda alam).

Dalam alam pikiran orang Nias jaman dulu, banua merupakan keseluruhan alam semesta. Banua dapat berarti langit, sorga, dunia dan seluruh alam semesta.

Banua menjadi tempat bemukim manusia dan dewa-dewa menempati alam yang

tidak nyata. Setelah manusia mati, ia akan menuju dunia atau alam yang tidak nyata tadi. Bila semasa hidupnya manusia memiliki derajat (bosi) tinggi maka derajat tadi tetap berlaku di alam yang tidak kelihatan. Berdasarkan hal ini manusia berusaha mencapai gelar setinggi mungkin melalui beberapa tahapan pesta sebagaimana telah disebutkan pada bagian terdahulu. Untuk mengadakan pesta ini harus dengan kerja keras mengumpulkan biaya keperluan pesta selama bertahun-tahun.

Konsep berdasarkan kepercayaan Nias di atas merupakan pemberi semangat langsung. Bila seseorang menginginkan kebahagiaan setelah ia mati, maka ia harus bekerja keras selama hidup, menghemat penghasilannya sebaik mungkin. Konsep tadi kemudian berubah akibat munculnya agama asing dari luar pulau Nias. Perubahan ini mengakibatkan penduduk seolah-olah kehilangan semangat mengolah alam.

(26)

Kenyataan menunjukkan bahwa secara ekonomis, penduduk Nias tidak menunjukan kemajuan berarti hingga saat ini.10

Walaupun mayoritas orang Nias telah beralih agama, namun beberapa kepercayaan lama tidaklah hilang seluruhnya. Sebagian penduduk masih percaya pada dukun terutama untuk jenis penyakit yang tidak dapat sembuh secara medis, masih mempercayai bekhu (hantu), matiana dan masih menggunakan jimat-jimat penangkal ilmu hitam. Kejadian alam seperti hujan sesaat di tengah hari (teu

soloi-loi)11

10

Sebagai contoh, Nias pada than 50-an mengirim beras ke Sibolga. Sedangkan akhir 70-an keadaan menjadi terbalik (Nias mendatangkan beras dari Sibolga). Demikian pula halnya dengan urbanisasi (khususnya 3 tahun terakhir) mulai terjadi dari Nias ke berbagai tempat lain seperti Sibolga, Medan Jakarta dan lain-lain. Hal ini adalah akibat kesulitan ekonomi di daerah asal disamping untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik di tempat tujuan.

11

Ketika penulis sedang di rumah salah seorang penduduk, hujan gerimis turun selama 10 menit. Waktu itu hari cerah. Seorang ibu langsung berkata sambil tertawa: ”Ah, pasti ada orang yang mohoro. Sore harinya (mungkin kebetulan) penulis mendengar ada orang yang hamil di luar nikah, dua desa di atas kelurahan Ilir.

dipercaya sebagai tanda ada wanita hamil diluar nikah (mohorö atau berzinah), burung hantu yang berbunyi di malam hari dipercaya sebagai pesan kematian atau penyakit, burung towi-towi (kepodang) yang berkicau di di dekat rumah dipercaya sebagai pembawa kabar gembira, bila kupu-kupu memasuki rumah dipercaya sebagai tanda tamu akan datang.

Kekepercayaan lama di atas tetap berlangsung, meskipun penduduk sudah memeluk agama baru. Inilah yang disebut dengan istilah sinkretisme. Sianipar 1989; 7 menulis:

Apabila suatu generasi suka mempraktekkan percampuran nilai-nilai kepercayaan yang saling bertentangan, maka generasi selanjutnya sangat mungkin mengacaukan pengertain-pengertian dalam agama aslinya”.

(27)

Agama asli yang dimaksud Sianipar barangkali bukan agama suku, tetapi agama baru setelah agama suku. Kepercayaan secara turun-temurun, apalagi bila menyangkut soal adat seperti perkawinan, tentu tidak dapat hilang begitu saja walaupun bertentangan dengan agama baru12

2.6. Sesudah Kekristenan

Mengenai hal ini gulö Op. Cit. 203-204 menulis:

Di dalam seluruh upacara adat dalam proses perkawinan, ... selalu ada tempat bagi acara gerejawi dalam bentuk nyanyi dan doa ..., walaupun demikian bukanlah berarti bahwa adat perkawinan sudah seluruhnya dijiwai oleh Injil (kitab suci agama Kristen). Bahkan kelihatannya seolah-olah upacara-upacara gerejawi itu merupakan adat tambahan terhadap adat yang lama”.

Jadi dapat dikatakan bahwa pada satu sisi orang Nias memeluk agama Kristen, dan pada sisi lain masih mempertahankan adat istiadat (dalam konteks adat perkawinan).

Misionaris pertama yang datang ke Nias adalah Denninger pada tahun 1865 di Kota Gunung Sitoli. Sebelumnya beliau sudah bergaul dan belajar bahasa Nias dari orang-orang Nias yang bermukim di padang. Orang Nias yang berjumlah sekitar 3000 jiwa di Padang ini, merupakan pendatang. Dari merekalah Denninger mempelajari kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, dan kebudayaan Nias hingga ia tertarik untuk datang ke Nias.

12

Mislanya fanefe idano yakni pemberkatan dengan air yang dilakukan saat pengantin akan dibawa ke rumah pengantin pria.

(28)

Denninger mula-mula mengumpulkan beberapa orang pemuda dan mengajar mereka menulis dan membaca. Pemuda-pemuda ini yang kemudian menjadi pembantunya mengajar anak-anak disekitar Gunung Sitoli pada tahun 1866 (Zega, 1986; 2). Pada tahun 1873 Thomas datang ke Nias dan belajar dari Denninger. Denninger menterjemahkan Injil Yohanes dan Injil Lukas ke dalam bahasa Nias yang di gunakan untuk mengajar penduduk dan sebagai sarana untuk belajar bahasa Nias bagi misionaris yang datang kemudian. Sesudah Thomas fasih berbahasa Nias, ia mulai menterjemahkan beberapa buah buku, diantaranya: Kamus Nias-Melayu dan

Belanda, Katekismus Dr. Marthin Luther, Alkitab dan Buku Nyanyian.

Usaha penyebaran agama Kristen lambat laun semakin berkembang ke seluruh pulau Nias. Beberapa misionaris menyusul kemudian. Namun dalam masa 25 tahun sejak kedatangan Denninger, agama Kristen belum menunjukkan hasil yang memuaskan, menurut Gulö hambatan itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) Tidak ada jaminan keamanan di seluruh pulau Nias.

Perang saudara antara golongan dengan golongan, öri (lihat catatan kaki no. 1 hal 23) dengan öri masih sering terjadi. Lagi pula pengayauan masih merupakan suatu segi kebudayaan yang masih berjalan dalam lingkungan masyarakat. Jaminan keamanan bertambah sukar karena belum ada suatu kekuasan yang dapat menguasai dan menyatukan seluruh penduduk di pulau itu.

2) Penduduk yang terpencar-pencar dalam kesatuan-kesatuan kampung yang tersebar di seluruh Nias, sukar dapat dicapai karena belum ada jalan yang dapat dilalaui (dengan jalan kaki) yang menghubungkan kampung ke kampung.

(29)

3) Kepercayaan penduduk dalam ”agama suku”, seperti terlihat dalam penyembahan terhadap berbagai patung ukiran (lihat halaman 39), masih sangat kuat. Tidak begitu mudah bagi mereka untuk melepaskan kepercayaan itu, karena disamping telah begitu lama dan ”dalam” menguasai kehidupan mereka, telah banyak pula harta mereka yang dikorbankan untuk itu.

Masa penting dalam perkembangan agama kristen adalah antara tahun 1915-1930, antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan masal (fangesa dödö sebua). Pada masa inilah mulai terjadi perubahan sikap. Patung-patung mulai dibakar dan dihancurkan, poligami, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan, penyembahan patung, penyembuhan penyakit melalui fo’ere dan sebagainya sudah semakin berkurang.

Dalam masa ini nyanyian gereja mulai berkembang yang kemudian menjadi bagian penting dalam ibadah pada setiap kebaktian. Nyanyian yang digunakan dalam kebaktian ini menggunakan buku nyanyian yang dibuat oleh Thomas (lihat halaman 3). Thomas menterjemahkan teks nyanyian berbahasa Belanda kedalam bahasa Nias, tanpa merubah melodi lagu. Lambat laun masyarakat Nias, melalui lagu-lagu gereja dapat mengenal tradisi musik barat.

Musik tradisi Nias pada satu sisi dihadapkan dengan munculnya tradisi musik lain di luar kebudayaannya. Musik tradisi dilandasi oleh kepercayaan ”asli” dan musik ini selalu hadir dalam setiap aspek penting dalam kehidupan mereka. Salah satu aspek penting ini adalah sistem religi yang mendapat pengruh dari luar yaitu agama Kristen yang diperkenalkan oleh misionaris. Eksistensi musik tradisi dalam

(30)

lingkungan tradisinya kemudian ”melemah” seiring dengan hilangnya kepercayaan terhadap kepercayaan asli suku Nias. Namun meskipun demikian, bukan berarti secara keseluruhan musik Nias tidak ada lagi. Musik tradisi Nias, khususnya di Nias Utara masih terdapat dalam perkawinan yang menjadi topik utama dalam tulisan ini. Sedangkan musik pada upacara lain seperti owasa, fo’ere dan sebagainya, pada saat ini sudah jarang dipertunjukkan. Usaha rekonstruksi mungkin saja dapat dilakukan, tergantung kepada fihak mana yang merasa memerlukan.

Tradisi musik dalam upacara perkawinan di Nias Utara masih tetap terpelihara meskipun tidak dilandasi dengan kepercayaan suku Nias Pra-Kristen. Tradisi ini dapat terpelihara karena pesta perkawinan merupakan upacara penting dalam kehidupan orang Nias, disamping upacara ini sudah menjadi kewajiban adat istiadat yang dijunjung tinggi, menurut masyarakat Nias. Bila seseorang sudah menjalankan kewajiban adat, maka ia akan memperoleh hak-haknya dalam adat pula seperti hak menyatakan pendapat dalam rapat adat, ikut menyelesaikan masalah dan dapat turut serta dalam kegiatan adat istiadat.

Referensi

Dokumen terkait

Diberit ahukan bahwa set el ah diadakan penel it ian ol eh Kel ompok Kerj a (Pokj a) Lel ang Fisik Perl uasan Gedung Pembimas (Lanj ut an) di Kanwil Kemenag Prov Jambi menurut ket

[r]

WIB, Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pembangunan Data Center Haji Tahun 20123. melalui http://lpse.kemenag.go.id , berdasarkan jadual pembukaan file

[r]

[r]

[r]

Konsep dasar dari penulisan ini adalah menerangkan bagaimana pembuatan sebuah Website sebagai salah satu sarana untuk promosi, dalam hal ini Penulis mengangkat tema Paduan Suara

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan hubungan pekerjaan, peran PMO, pelayanan kesehatan, dukungan keluarga dan diskriminasi terhadap ketidakteraturan