• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. saling dijelaskan melalui aktivitas kehidupan masyarakat (Clements, 1996;

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. saling dijelaskan melalui aktivitas kehidupan masyarakat (Clements, 1996;"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 PERNYATAAN MASALAH

Matematika dan budaya merupakan dua hal yang berhubungan erat dan bisa saling dijelaskan melalui aktivitas kehidupan masyarakat (Clements, 1996; Orey&Rosa, 2006, 2007; Pais, 2013). Masyarakat menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-harinya sehingga matematika telah menyatu dengan budaya. Oleh karena itu, matematika selalu ada dalam kegiatan sosial dan aktivitas manusia (Schoenfeld; 1992, Gravemeijer; 1994).

Keterlibatan matematika dalam aktivitas keseharian manusia tidak hanya terdapat di budaya masyarakat modern atau kalangan akademisi saja, tetapi matematika juga hadir dalam kehidupan masyarakat tradisional atau masyarakat adat. Misalnya di Tasikmalaya, Jawa Barat, masyarakat tradisional Kampung Naga (Muzdalipah&Yulianto, 2015), mereka mampu merancang bangun-bangun geometri, aktivitas bermain, membuat peralatan berburu, kerajinan-kerajinan berbentuk geometris secara naluriah tanpa pernah mengikuti pendidikan formal tentang konsep-konsep geometri. Hal ini juga terjadi di beberapa masyarakat adat lainnya seperti Baduy (Setyawan, dkk, 2014), Cirebon (Asnawatis, dkk, 2014), Dayak (Hartoyo, 2012; Tandililing, 2013), dan Sidoarjo (Rachmawati, 2012), juga di dunia seperti yang dilaporkan di Akiachak, Alaska (Engblom-Bradley, 2006), Aborigin (Barta&Shockey, 2006), Afrika (Sharp&Stevens, 2007; Chahine&Kinuthia, 2013), Liberia (Sternstein, 2008), Mexico (Gilsdorf, 2009, Hirsch-Dubin, 2009), Iceland Eropa (Bjarnadottir, 2010), Suku Inca di Peru (Leonard&Shakiban, 2010), Papua New Guinea (Owens, 2010), Micronesia

(2)

(Goetzfridt, 2010), India (Naresh, 2010; Noblitt&Richter, 2013), Portugal (Palhares&Sousa, 2015).

Peneliti memandang bahwa konsep etnomatematika seperti yang dilaporkan para peneliti di atas juga terdapat di budaya masyarakat Sunda. Peneliti yang telah lama hidup di budaya Sunda melihat ada satu konsep berhitung masyarakat yang belum terekspose oleh publikasi ilmiah, yakni teknik berhitung para peternak ikan khususnya dalam menghitung benih Ikan Gurame yang menggunakan basis bilangan enam yang dibaca dengan menggunakan konsep aritmetika jam (enam). Menghitung benih ikan dalam jumlah ribuan akan sangat tidak efektif jika dibaca dengan pelafalan biasa (umum), selain memerlukan kecermatan juga memerlukan waktu yang lama. Namun mereka memiliki cara tersendiri bagaimana menghitung jumlah ikan secara efektif tanpa alat bantu teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat secara matematis telah mahir menggunakan konsep bilangan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep basis bilangan merupakan bagian dari topik teori bilangan yang dipelajari di sekolah maupun perguruan tinggi. Namun dalam praktiknya, konteks basis bilangan jarang ditemukan siswa secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Teknik berhitung benih ikan orang Sunda merupakan bagian dari budaya yang bisa didekati dari kajian matematika. Rosa (2000) menerangkan bahwa matematika pada budaya masyarakat bisa dikaji dari perspektif etnomatematika, baik dari pemodelan matematis maupun dari pendekatan antropologi budaya. Dari aspek pemodelan matematis bisa digali bagaimana proses mereka menggambarkan cara berpikir matematis. Pemodelan matematis yang diangkat dari cara berpikir masyarakat inilah yang akan menambah kekayaan kajian pendidikan matematika.

(3)

Dari konsep atropologi, peneliti bisa mengkaji epistimological studies bagaimana asal-usul mereka memperoleh teknik berhitung tersebut padahal kebanyakan dari mereka tidak lulus Sekolah Dasar.

Di sisi lain, Morris Kline berpendapat bahwa matematika sekolah saat ini berdiri sendiri dengan begitu formal dam seakan terlepas dari budaya (Francois&Kerkhove, 2010:123). Bahkan, matematika dianggap sebagai sesuatu yang netral dan terbebas dari budaya (culturally-free) (Rosa&Orey, 2011). Hal inilah yang ditegaskan oleh Turmudi (2009:4) bahwa matematika yang jauh dari kehidupan sehari hari ini adalah buah dari paradigma absolut yang berkembang di masyarakat yaitu suatu pandangan yang menganggap bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang sempurna dengan kebenaran objektif, jauh dari urusan kehidupan manusia. Akibatnya, siswa kurang merasakan manfaat dari belajar matematika (Karnilah, dkk, 2012).

Padahal jika dikembangkan lebih dalam ada banyak cara mengajarkan matematika dari budaya atau lingkungan sekitar. Beragam aktivitas masyarakat sehari-hari mengandung unsur-unsur matematika seperti membilang, mengukur, membuat rancang bangun bahkan permainan tradisional yang masih digemari anak-anak sampai saat ini (Muzdalipah & Yulianto, 2015), termasuk teknik menghitung benih ikan seperti yang digunakan oleh para peternak ikan di masyarakat Sunda. Hal ini didukung oleh Clements (Karnilah, 2013: 2) bahwa permasalahan yang terkait dengan budaya mau tidak mau akan mengelilingi proses belajar mengajar matematika, bahkan mengelilingi pula semua bentuk-bentuk matematika (selain pendidikan matematika).

(4)

Sunda menyediakan konsep yang bisa dikembangkan dalam kurikulum dan pembelajaran untuk menyadari keberadaan matematika yang sesungguhnya. Konteks budaya inilah yang akan melatih cara berpikir siswa yang mampu memberikan pengalaman belajar lebih nyata (Hadi, 2005; Stathopoulou, dkk, 2014). Pengalaman belajar yang nyata harus menjadi perhatian penting agar siswa tidak merasa bosan dalam belajar dan memperoleh motivasi yang lebih berarti di sekolah (Kohn, 1993; Appelbaum&Clacrk, 2001).

Salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk menggali keterkaitan budaya dan matematika adalah dengan etnomatematika. Penelitian etnomatematika dalam pendidikan bisa digunakan untuk mengungkap ide-ide pada aktivitas budaya atau kelompok sosial sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kurikulum dari, oleh dan untuk kelompok tersebut (Borba, 1990; Barton, 1996; Gerdes, 1996; Alangui, 2010). Borba (Peared, 1996: 42) mengemukakan bahwa “ethnomathematics as a field of knowledge intrinsically linked to a cultural group and its interest, being in this way tightly linked to its reality ... and being expressed by a language, usually different from the one used by mathematics”, dengan demikian melalui pendekatan etnomatematika maka kurikulum tidak hanya mengajarkan matematika sebagai sebuah kemampuan yang biasa diukur dengan ‘menghitung’ melainkan mengajarkan bagaimana memandang matematika sebagai bahasa.

Bishop (Gerdes, 1996: 927) berpendapat bahwa asumsi dasar dan ekstrem perlu dikemukakan dalam penelitian etnomatematika yang memang masih seumuran bayi. Secara spesifik, asumsi tersebut berbunyi “semua bentuk formal pendidikan matematika adalah proses interaksi budaya, sehingga setiap siswa (juga

(5)

guru) memiliki pengalaman berupa konflik-konflik budaya di dalam proses tersebut. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan matematika yang digagas oleh pencetus etnomatematika D’Ambrosoi (Gerdes, 1996: 912) yang mengatakan bahwa

“pada masa sebelum sekolah dan (juga) luar sekolah hampir semua anak di dunia telah menjadi 'matherate' artinya mereka mampu mengembangkan kemampuan untuk menggunakan bilangan, menghitung, dan menggunakan beberapa pola inferensi, namun sekolah menyediakan pendekatan yang formal mengenai fakta-fakta tersebut yang mengakibatkan penyumbatan psikologis”.

Teori yang berkembang di pendidikan matematika belum berdasar pada asumsi tersebut. Oleh karena itu, penelitian etnomatematika ini perlu mendapatkan ruang dari pendidikan matematika.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melawan kolonialisasi dalam pendidikan matematika dengan pendekatan etnomatematika dengan cara mengeksplorasi teknik menghitung benih ikan yang dilakukan oleh masyarakat Sunda yang tergolong khas. Selain itu, peneliti memandang bahwa penelitian ini merupakan upaya untuk melawan kolonialisasi antara pendidikan matematika dan real mathematics pendidikan matematika yang saat ini terkesan sangat formal, berdiri sendiri, kaku dan terpisah dari budaya dan kehidupan sehari-hari. Hasil dari studi ini bisa dijadikan sebagai konteks pembelajaran yang bisa dikaji oleh siswa maupun mahasiswa sebagai konteks matematis yang menjembatani mereka kepada kesadaran bermatematika.

1.2 FOKUS PENELITIAN

Fokus penelitian ini adalah konsep etnomatematika pada teknik menghitung benih ikan di masyarakat Sunda.

(6)

1.3 PERNYATAAN TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana teknik menghitung benih ikan di masyarakat Sunda dan mengaitkannya ke dalam konsep-konsep matematika. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk menggali bagaimana proses pembentukan pengetahuan berhitung mereka.

1.4 PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan yang diajukan dalam rencana penelitian ini antara lain: 1) Bagaimana teknik peternak Sunda menghitung benih ikan?;

2) Konsep matematika apa saja yang terdapat dalam teknik peternak Sunda menghitung benih ikan?;

3) Bagaimana peternak Sunda memperoleh pengetahuan tentang cara menghitung benih ikan?

1.5 BATASAN-BATASAN PENELITIAN

Peneliti melakukan observasi terhadap beberapa peternak ikan di masyarakat Sunda di beberapa daerah Jawa Barat yakni dengan cara mengambil sampel secara purposif di daerah Banjar, Ciamis, Tasik, Garut dan Majalengka. Kemudian topik yang digali juga meliputi bagaimana teknik menghitung, proses memperoleh pengetahuan dan mengaitkannya ke dalam konsep-konsep matematika.

(7)

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 ETNOMATEMATIKA DAN PERKEMBANGANNYA

Konsep etnomatematika lahir sebagai pendekatan matematika dari sisi budaya yang memandang matematika sebagai sebuah kajian ilmu yang lebih luas dan luwes dibanding sekedar yang diajarkan di sekolah. Etnomatematika dipopulerkan D’Ambrosio (1990) dalam tulisannya “ethnomathematics” yang kemudian dikembangkan oleh Barton (1996) dalam tulisannya “ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in Mathematics” dan Gerdes (1996) dengan tulisannya “ethnomathematics and mathematics education”. Hasil-hasil penelitian etnomatematika secara cepat berkembang dengan beragam pendekatan yang salah satunya secara intens diteliti oleh Rosa&Orey (2000-2016).

2.1.1 Sejarah Pendekatan Matematika dari Sisi Budaya dan Lahirnya Etnomatematika

Upaya untuk melihat matematika dengan pendekatan lain telah dimulai sejak tahun 1911-1917 yang digagas oleh Spengler. Spengler menulis bahwa matematika adalah bagian dari budaya dan menunjukkan bahwa budaya dan matematika bisa saling dijelaskan melalui segala aktivitas sehari-hari manusia (Spengler, 1926). Kemudian tahun 1980-an mulai banyak matematikawan yang juga mulai melirik matematika dari pendekatan budaya, namun dalam skala yang terbatas yakni hanya dilakukan oleh forum-forum pendidikan yang mencoba melihat pendidikan matematika dari aspek sosial saja. Akhirnya, D’Ambrosio mulai menggagas konsep yang disebut “etnomatematika” pada tahun 1984 yang diseminasikan pada The 5th Internasional Conference on Mathematics Education (ICME-5) (Barton, 1996).

(8)

Salah satu yang mendasari lahirnya konsep etnomatematika sebagai upaya mengurangi kolonialisasi kajian matematika yang awalnya dipandang bebas dari budaya (culturally-free). Pandangan ini telah berkembang sejak abad ke 19 dimana saat itu pengaruh budaya barat sangat kuat terhadap negara-negara di dunia, termasuk Indonesia (Gerdes, 1996). Hal ini juga berpengaruh terdapat kurikulum pendidikan matematika di sekolah yang mengakibatkan matematika di sekolah dipandang sangat formal. Bahkan D’Ambrosio (Gerdes, 1996) menyatakan bahwa sekolah telah menyediakan pendekatan yang begitu formal dalam membentuk pola berpikir matematis siswa sehingga mengakibatkan hambatan-hambatan psikologis. Sejak saat itu, etnomatematika mulai dipandang sebagai pendekatan yang penting sebagai bagian dari ranah penelitian dibidang matematika.

Barton (1996) mendefinisikan etnomatematika sebagai sebuah kajian penelitian yang mengamati tentang bagaimana kelompok masyarakat memahami, mengartikulasikan, dan menggunakan konsep atau ide-ide matematis. Barton menjelaskan bahwa sesuatu yang matematis tidak selalu telah menjadi bagian dari matematika, kadang karena belum bisa diterima oleh para matematikawan. Misalnya kasus jembatan Konigsberg, selama berabad-abad hanya merupakan teka-teki sebelum menjadi bagian dari teori graph dalam matematika. Baru setelah ramai dikaji oleh para matematikawan permasalahan ini bisa menjadi bagian dari matematika. Berdasarkan uraian yang dikemukakan Barton (1996) tersebut, jelas bahwa etnomatematika bukanlah matematika melainkan sebuah wilayah studi atau kajian penelitian yang kemudian berpotensi menjadi ranah dari pendidikan matematika.

(9)

pendidikan matematika. Hal ini ditandai dengan munculnya matematikawan yang intens dalam penelitian etnomatematika yang kemudian memberikan beragam definisi dari etnomatematika, antara lain etnomatematika merupakan teori yang membangun pemeriksaan radikal terhadap pendidikan (Ascher, M. & Ascher, R., 1986), etnomatematika dapat menyediakan bahan-bahan untuk meningkatkan motivasi dan pengorganisasian kembali matematika (Zaslavsky, 1988), etnomatematika adalah sebuah bangunan teoretis untuk meningkatkan pendididkan dan pembelajaran (Bishop, 1994), etnomatematika merupakan pendekatan secara ideologis untuk pengembangan kurikulum (Pompeu 1994), etnomatematika merupakan alat untuk menghidupkan kembali politik dari matematika dan pendidikan matematika di negara berkembang (Gerdes, 1996).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat disintesis bahwa etnomatematika merupakan studi tentang antropologi, budaya atau sejarah yang bisa dikaji dari sudut pandang matematika; definisi etnomatematika bergantung pada siapa yang menyatakannya dan praktik-praktik yang lebih spesifik; ranah kajian yang digunakan sangat bergantung pada budaya; etnomatematika mengakibatkan suatu konsep yang relatif.

2.1.2 Perkembangan Etnomatematika

Begg&Hamilton (2001) menjelaskan ada beberapa alasan pentingnya mengkaji etnomatematika setidaknya dari dua pendekatan, yakni pendekatan budaya dan pendidikan. Dari pendekatan budaya, bisa jadi dalam suatu aktivitas yang sama pada masyarakat yang berbeda pola pikir matematis yang digunakan juga berbeda sehingga dengan dikaji mendalam bisa saja menjadi referensi mendasar untuk perkembangan matematika. Hal ini telah banyak dibuktikan oleh

(10)

fakta bahwa sebagian besar pola matematika diawali dengan induksi yang merupakan hasil pengamatan sebuah fenomena di lapangan. Pendekatan ke dua yaitu dari segi pendidikan, bahwa pendidik matematika sebaiknya mempertimbangkan ethno-education sehingga siswa benar-benar merasakan kebermanfaatan dari matematika itu sendiri.

Kemudian Bishop (2004) menjelaskan beberapa aktivitas pada budaya masyarakat yang sangat memungkinkan memuat ide-ide matematis, salah satunya adalah Counting atau membilang. Membilang merupakan aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan yang bisa ditanya dengan “berapa banyak?”. Biasanya ini bisa dideskripsikan oleh benda-benda di sekitar seperti batu, tongkat, tali atau bahkan anggota tubuh seperti jari.

2.1.3 Kerangka Etnomatematika: Matematika, Pemodelan Matematis, dan Antroplogi Budaya

Etnomatematika sebagai paradigma penelitian lebih luas dari sekedar konsep matematika, etnis, atau ras pada multikulturalisme. Etnomatematika digambarkan sebagai seni dan teknik yang dikembangkan oleh anggota dari latar belakang budaya dan bahasa yang beragam untuk memahami masalah sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi (mathema) (D'Ambrosio, 1990). Etnomatematika mengacu kepada kelompok-kelompok yang memilik budaya, kode, simbol, mitos, dan cara-cara tertentu dalam penalaran matematis yang berkaitan dengan fenomena manusia dalam budaya. Oleh karena itu, kajian etnomatematika bisa didekati melalui tiga aspek yaitu, matematika, pemodelan matematis pada cara berpikirnya, dan antropologi pada perilaku manusianya (Rosa&Orey, 2013), yang mana ketiganya ada pada suatu budaya atau kebiasaan atau ritual tertentu.

(11)

Gambar 2.1 Kerangka Etnomatematika Rosa (2000)

Etnomatematika sebagai titik temu antara antropologi budaya, matematika, dan pemodelan matematis, yang digunakan untuk membantu kita memahami dan menghubungkan ide-ide matematika yang beragam pada praktik yang ditemukan di masyarakat untuk dikaji secara akademik ( Rosa, 2000).

Etnomatematika sangat berkaitan erat dengan pendidikan. Etnomatematika merupakan program yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana siswa mengerti, memahami, mengartikulasikan, memproses, melakukan prosedur matematis, dan secara praktis mencoba memecahkan masalah yang mereka temui dalam kehidupan sehari- hari (Rosa, 2000). Sebagai seorang pendidik, guru harus mampu memediasi hadirnya pengetahuan etnografi siswa dalam belajar matematika (Borba, 1990).

2.2 Teknik Menghitung Ikan Masyarakat Sunda

Salah satu ciri khas bangsa Indonesia adalah kekayaan alam dan keberagaman hayati maupun hewaninya yang melimpah. Hal ini menjadikan bangsanya kreatif dan melahirkan beragam budaya dalam mengelola sumber daya alam yang ada, salah satunya pembudayaan ikan. Budidaya ikan menjadi perhatian pemerintah untuk ditingkatkan produksinya dalam rangka mengimbangi permintaan produksi

(12)

masyarakat (Putra, 2011). Oleh karena itu, tidak heran jika usaha peternakan ikan menjadi maestro di bidang wirausaha masyarakat Sunda yang berada di daerah tropis.

Salah satu hal menarik yang ada di bisnis budidaya ikan tentunya adalah teknik menghitung ikan oleh peternak dalam transaksi jual beli benih ikan. Ada beberapa cara teknik jual beli benih ikan diantaranya dengan cara menghitung jumlah benih ikan (satuan) atau dengan cara dikilo. Teknologi terbaru yang ditemukan peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) diberi nama “Fry Counter” (Rakhmat, 2010). Lebih lanjut rakhmat menjelaskan bahwa “produk Fry Counter merupakan jawaban atas masalah-masalah yang sering dikeluhkan oleh para pengusaha benih ikan pada proses penanganan pascapanen di bidang perikanan”. Di masyarakat Sunda sendiri, penjualan ikan dengan teknik satuan (menghitung jumlah benih ikan) masih populer dibanding dikilo, fenomena khususnya berlaku pada penjual ikan Gurame dan Tambak yang relatif tinggi harganya. Dari sudut pandang etnomatematika, teknik menghitung benih ikan yang dilakukan para peternak ikan di Sunda mengandung banyak konsep-konsep matematika. Namun secara leterasi belum banyak peneliti yang menggali etnomatematika ini, terutama mengaitkannya ke dalam konsep-konsep matematika.

(13)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 TEMPAT PENELITIAN DAN PURPOSIVE SAMPLING 3.1.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini akan mengkaji teknik menghitung benih ikan di masyarakat Sunda yang tersebar di wilayah Priangan Timur seperti Banjar, Ciamis, Tasikmalaya, Garut dan Majalengka.

3.1.2 Purposive Sampling

Pemilihan sampel (partisipan) pada penelitian ini berdasarkan teknik pusposive sampling, yakni teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan dan maksud tertentu sesuai dengan tujuan penelitian ini dilaksanakan. Pertimbangan tersebut antara lain karena peneliti memiliki akses untuk melaksanakan penelitian kepada partisipan yang dipilih sehingga diharapkan partisipan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti dan dapat menjawab pertanyaan dalam penelitian ini. Peneliti telah memiliki pengalaman penelitian dengan fokus yang berbeda sehingga sudah memperoleh akses yang mempermudah rencana penelitian ini.

3.2 METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan observasi etnografi yang akan dilakukan oleh peneliti sendiri sebagai instrumen utama kepada setiap subjek. Pedoman wawancara disusun berdasarkan fenomena sentral yang ditetapkan peneliti, sedangkan observasi etnografi adalah metodenya, yakni peneliti harus tinggal berbaur dengan kehidupan masyarakat dari awal sampai penelitian dianggap selesai.

(14)

3.3 PROSEDUR ANALISIS DATA

Teknik analisis data yaitu untuk menganalisis data yang telah diperoleh untuk menarik kesimpulan. Metode analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan sejak awal dan sepanjang proses penelitian berlangsung. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan empat prosedur sebagai berikut:

3.4 PENGUMPULAN DATA

Data-data yang diperoleh di lapangan dicatat atau direkam dalam bentuk deskriptif yaitu uraian data yang diperoleh dari lapangan apa adanya dari hasil wawancara dan observasi pada partisipan. Dari catatan deskriptif tersebut kemudian dibuat catatan refleksif yaitu catatan yang berisi komentar, pendapat, atau penafsiran peneliti yang ditemui di lapangan.

3.5 REDUKSI DATA

Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, mengklasifikasi, mengarahkan, dan atau membuang data yang tidak perlu, serta mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Dalam mengorganisasikan data, peneliti akan menggunakan software HyperRESEARCH supaya penyimpanan data lebih aman serta proses coding lebih mudah.

3.6 PENYAJIAN DATA

Penyajian data adalah penyampaian informasi berdasarkan data yang dimiliki dan disusun secara baik, runtut sehingga mudah dilihat, dibaca dan dipahami tentang suatu kejadian dan tindakan atau peristiwa dalam bentuk teks naratif. Tahap penyajian data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

(15)

1) Menyajikan hasil wawancara yang telah tersusun dengan baik dan rapi; 2) Menyajikan data dengan memperhatikan alur penelitian agar data tersebut

jelas; dan

3) Menganalisis hasil wawancara sehingga dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

3.7 PENARIKAN KESIMPULAN

Langkah akhir dari proses analisis data dalam penelitian ini adalah menarik kesimpulan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan. Kesimpulan yang diperoleh melalui analisis data tersebut dijadikan pedoman untuk menyusun teori atau temuan.

3.8 PERAN PENELITIAN DAN PERSOALAN ETIS YANG POTENSIAL

Penelitian ini memiliki urgensi yang sangat tinggi dalam pengembangan pendidikan matematika yang lebih luwes dengan sudut pandang baru sebagai antisipasi terhadap pandangan matematika yang terlalu formal yang telah menjadi bagian dari isu global. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh D’Ambrosio (Gerdes, 1996) bahwa sebenarnya setiap orang sejak kecil sudah bersifat “matherate” yakni berpikir matematis, namun sekolah menyediakan matematika dengan sangat formal yang mengakibatkan penyumbatan psikologis, sehingga matematika dipandang terlalu jauh dari kehidupan nyata manusia (culturally-free) (Rosa&Orey, 2011).

Selain itu, Indonesia memiliki keberagaman budaya paling tinggi di dunia sebagai negara kepulauan Multi-Etnik sehingga perlu ekspose sebagai upaya eksistensialisasi budaya. Namun, kajian etnomatematika tentang budaya di nusantara tidak sebanyak keberagaman yang ada. Padahal perkembangan

(16)

etnomatematika di dunia telah menjadi isu global seperti di Akiachak, Alaska (Engblom-Bradley, 2006), Aborigin (Barta&Shockey, 2006), Afrika (Sharp&Stevens, 2007; Chahine&Kinuthia, 2013), Liberia (Sternstein, 2008), Mexico (Gilsdorf, 2009, Hirsch-Dubin, 2009), Iceland Eropa (Bjarnadottir, 2010), Suku Inca di Peru (Leonard&Shakiban, 2010), Papua New Guinea (Owens, 2010), Micronesia (Goetzfridt, 2010), India (Naresh, 2010; Noblitt&Richter, 2013), Portugal (Palhares&Sousa, 2015).

Kebaruan penelitian ini terlihat dari kajian yang akan dilakukan peneliti yang tidak hanya dilihat dari aspek matematika, melainkan dari aspek pemodelan matematis dan antropologi budaya yang akan menunjang program pendidikan matematika dan pendidikan karakter. Oleh karena itu, peneliti memandang bahwa penelitian ini memiliki kebaruan metode analisis, topiknya merupakan isu global dan memiliki urgensi yang tinggi dalam membawa visi pendidikan matematika.

Adapun fishbone diagram yang menggambarkan ide dari penelitian in digambarkan pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2.

(17)

FISHBONE DIAGRAMS PENELITIAN ETNOMATEMATIKA

(18)
(19)

Validitas data dalam penelitian ini ditentukan melalui teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut bagi keperluan pengecekan atau sebagai bahan pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2016: 327-332). Prosedur triangulasi data dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3.3 Prosedur Triangulasi Data 3.10 Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2017 sampai dengan Oktober 2017. Secara rinci, langkah-langkah yang dilakukan peneliti dapat dilihat pada tabel berikut:

(20)

Tabel 3.1 Rincian Rencana Jadwal Penelitian Tahapan WAKTU JAN – FEB 2017 FEB - MAR 2017 MAR –APR 2017 APR-MEI 2017 MEI-JUN 2017 JUN-JUL 2017 JUL-AGS 2017 AGS-SEP 2017 1. Perencanaan - Studi Literatur - Penyusunan Proposal - Koordinasi dengan Subjek Penelitian 2. Pelaksanaan 3. Analisis Data 4. Penyusunan Laporan 5. PUBLIKASI

(21)

Tabel 3.2 Rincian Anggaran Biaya 70%

No. Jenis Pengeluaran Biaya yang diusulkan (Rp)

1. Bahan habis pakai dan peralatan 2.905.000

2. Perjalanan 6.000.000

(22)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(23)

Alangui, W.V. (2010). Stone Walls and Water Flows: Interrogating Cultural Practice and Mathematics. (Disetasi). University of Auckland, Auckland. Appelbaum, P., & Clacrk, S. (2001). Science! Fun? A Critical Analysis of

Design/Content/Evaluation. Journal of Curriculum Studies, 33(5), 583-600. Ascher, M., & Ascher, R. (1986). Ethnomathematics. History of science, 24(2),

125-144. Tersedia Online:

http://articles.adsabs.harvard.edu//full/1986HisSc..24..125A/ 0000125.000.html [Diakses pada 26 Des 2016]

Asnawati, S., Liliana, I.K.D., & Muhtarulloh, F. (2014). Penerapan Pembelajaran Inkuiri dengan Etnomatematik pada Materi Bidang Datar Terhadap

Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa. Jurnal Euclid, ISSN: 2355-1712. Vol. 2 No. 2 p. 251-365

Barta, J. & Shockey, T. (2006). The Mathematical Ways of an Aboriginal People: The Northen Ute. Journal of Mathematics and Culture V.1 No.1 ISSN. 1558-5336 p.79-89.

Barton, W.D. (1996). Ethnomathematics: Exploring Cultural Diversity in

Mathematics. A Thesis for Doctor of Philosophy in Mathematics Education University of Auckland: Unpublished.

Begg, A. & Hamilton,. (2001). Ethnomathematics: Why and What Esle?. ZDM, 33(3), p.1-4

Bjarnadottir, K. (2010). Ethnomathematics at the Margin of Europe – A Pagan Calendar. Journal of Mathematics and Culture V.5 No.1 ISSN. 1558-5336 p.21-42.

Borba, M. C. (1990). Ethnomathematics and Education. For the learning of mathematics 10(1), 39-43.

Bishop, A. (1994). Cultural Conflicts in Mathematics Education: Developing a Research Agenda. For the Learning of Mathematinl4. FLM Publishing Association, Vancouver, British Columbia, Canada

Bihsop, A. (2004). The Relationship Between Mathematics Education and Culture. Iranian Mathematics Education Conference in Kermanshah, Iran. Chahine, I. & Kinuthia, W. (2013). Juxtaposing Form, Function, and Social

Symbolism: An Ethnomathematical Analysis of Indigenous Technologies in The Zulu Culture. Journal of Mathematics and Culture V.7 No.1 ISSN. 1558-5336 p.1-30

Clements, K. (1996). Historical Perspective, dalam Internasional Handbook of Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.

(24)

Brazil: Editora Ática.

Engblom-Bradley, Claudette. (2006). Learning The Yup’ik Way of Navigation: Studying Time, Position, and Direction. Journal of Mathematics and Culture V.1 No.1 ISSN. 1558-5336 p.90-126.

Francois, K & Kerkhove, B.V. (2010). Ethnomathematics and Philosopy of Mathematics (Education). Dalam Philosophy of Mathematics: Sociological Aspectsand Mathematical Practice (hlm. 121-154). London: College Publication.

Gerdes, P. (1996). "Ethnomathematics and Mathematics Education”, dalam Internasional Handbook of Mathematics Education. . Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.

Gilsdorf, T.E. (2009). Mathematics of The Hnahnu: The Otomies. Journal of Mathematics and Culture V.4 No.1 ISSN. 1558-5336 p.84-105.

Goetzfridt, N.J. (2010). Pacific Ethnomathematics: The Richness of Environment and Practice. Journal of Mathematics And Culture. ICEM 4 Focus Issue . ISSN 1558-5336. p.223-252.

Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht, The Netherlands: Freudenthal Institute

Hadi, S. (2005). Pendidikan Matematika Realistik Banjarmasin: Penerbit Tulip Hartoyo, A. (2012). Eksplorasi Etnomatematika pada Budaya Masyarakat Daya

Perbatasan Indonesia-Malaysia Kabupaten Sanggar Kalbar. Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol. 13 No.1 ISSN: 1412-565X p.14-23

Hirsch-Dubin, F.P. (2009). Mayan Elders, Mayan Mathematics, and The Weaving of Resistance in Maguey Bag Production. Journal of Mathematics and Culture V.4 No.1 ISSN. 1558-5336 p.63-83.

Karnilah, N. (2013). Study Ethnomathematics: Pengungkapan Sistem Bilangan Masyarakat Ada tBaduy. (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Karnilah, N, Turmudi, & Juandi (2012). Eksplorasi Etnomatematika Dalam Produk Masyarakat Baduy. Makalah pada Seminar Pendidikan Matematika UPI, Bandung

Kohn, A. (1993). Punished by Rewards: The Trouble With Gold Stars, Incentive Plans, A’s, Praise, and Other Bribes. New York: Houghton Mifflin. Leonard, M. & Shakiban, C. (2010). The Incan Abacus: A Curious Counting

Device. Journal of Mathematics and Culture V.5 No.2 ISSN. 1558-5336 p.81-106.

(25)

Matematika untuk Siswa SD Berbasis Budaya dan Permainan Tradisional Masyarakat Kampung Naga. Jurnal Siliwangi. Seri Pendidikan. Vol. 1 No. 1. Tahun 2015

Naresh, N. (2010). Bus Conductors’ Use of Mental Computation in Everyday Settings – Is it Their Ethnomathematics? Journal of Mathematics And Culture. ICEM 4 Focus Issue . ISSN 1558-5336. p.308-332.

Noblitt, B. & Richter, B. (2013). Using Vedic Mathematics to Make Sense of The Finger Algorithm. Journal of Mathematics And Culture. V.7 No.1 ISSN 1558-5336. p.58-73

Orey, D.L. & Rosa, M. (2006). Ethnomathematics: Cultural Assetions and Challenges Toward Pedagogical Action. The Journal of Mathematics and Cultural Issue. ISSN: 1558-5336

Orey, D.L. & Rosa, M. (2007). Cultural Assetions and Challenges Toward Pedagogical Action of An Ethnomathematics Program. FLM Publishing Association Edmonton, Alberta. Canada.

Orey, D.L. & Rosa, M. (2013). Ethnomodeling As A Research Theoretical Framework on Ethnomathematics and Mathematical Modeling. Journal of Urban and Mathematics Education. V.6 No. 2. p.62-80.

Owens, K. (2010). Papua New Guinea Indigenous Knowledges about

Mathematical Concepts. Journal of Mathematics And Culture. ICEM 4 Focus Issue . ISSN 1558-5336. p.20-50.

Rosa, M. (2000). From reality to mathematical modeling: A proposal for using ethnomathe-matical knowledge. (Master thesis). College of Education. California State Universi-ty, Sacramento.

Rosa, M. &Orey, D. C. (2011).Ethnomathematics: The Cultural Aspects Of Mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática, 4(2). hlm. 32-54.

Pais, Alexandre. (2013). Ethnomathematics and The Limitation of Culture. FLM Publihsing Association, Frederiction, New Brunswicle. Canada.

Palhares, P. & Sousa, F. (2015). The Ethnomathematics of A Fishing Community at Camara de Lobos Portugal. Journal of Mathematics And Culture. V.9 No.1 ISSN 1558-5336. p.12-29.

Peared, R. (1996). Ethnomathematics. Dalam Review of Mathematics Education in Australia 1992-1995 Bill Atweh, Ed. (hlm. 41-49). Washington, D.C: ERIC Clearinghouse.

Pompeu, G.Jr. (1994). Another Definition of Ethnomathematics? Newsletter of The Intenational Study Group of Ethnomathematics, 9(2). p.3

(26)

yang Diberi Protein Rekombinan GH melalui Perendaman dengan Dosis Berbeda. Skripsi Mahasiswa IPB. Tidak Dipublikasikan.

Rachmawati, I. (2012). Eksplorasi Etnomatematika Masyarakat Sidoarjo. FMIPA UNESA.

Rakhmat, A. (2010). IPB Temukan Teknlogi Hitung Cepat Benih Ikan. Koran Antara News. Tersedia online:

http://www.antaranews.com/berita/220347/ipb-temukan-teknologi-hitung-cepat-benih-ikan. Diakses pada [9/2/2017].

Schoenfeld, A. H. (1992). Learning to Think Mathematically: Problem Solving, Metacognition, and Sense-Making in Mathematics. In D. Grouws (Ed.) Setyawan, A., etc. (2014). Study of Ethnomathematics: A Lesson from The Baduy

Culture. Internasional Journal of Education and Research. ISSN: 201-6333 (Print) ISSN: 2201-6740 (Online). Vol. 2 No. 10 p.681-688.

Spengler, O. (1926). The decline ofthe west. Trans. Charles Francis Atkinson. New York: Knopf.

Sharp, J. & Stevens, A. (2007). Culturally-Relevant Algebra Teaching: The Case of African Drumming. Journal of Mathematics and Culture V.2 No.1 ISSN. 1558-5336 p.37-57.

Stathopoulou, C., Kotarinou, P., & Appelbaum, P. (2014). Ethnomathematical Research and Drama in Education Techniques: Developing A Dialogue in A Geometry Class of 10th Grade Students. Revista Latinoamericana de

Etnomatematica, 8(2), 105-135

Sternstein, M. (2008). Mathematics and The Dan Culture. Journal of Mathematics and Culture V.3 No.1 ISSN. 1558-5336 p.1-13.

Tandililing, Edy. (2013). Pengembangan Pembelajaran Matematika Sekolah dengan Pendekatan Etnomatematika Berbasis Budaya Lokal sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Matematika Sekolah. Prosiding FMIPA UNY 9 Novembver 2013. ISBN: 978-979-1653-9-4.

Turmudi.(2009). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika berparadigma Eksploratif dan Investigatif. Jakarta: Leuser Cipta Pustaka WBI Evaluation Group. (2007). Fishbone Diagrams. [Online]. Tersedia:

http://siteresources.worldbank.org/WBI/resources/213798-1194538727144/9Final-Fishbone.pdf [3 Desember 2016].

Zaslavsky, C. (1988). Integrating Mathematics with the Study of Cultural Traditions. Tersedia Onlie:

ftp://ftp.math.ethz.ch/hg/EMIS/journals/ZDM/zdm013a4.pdf. [26 Desember 2016].

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Etnomatematika Rosa (2000)
Gambar 3.1 Frame of Fishbone Diagrams (WBI Evaluation Group, 2007)
Gambar 3.2 Fishbone Diagrams of Ethnomathematics Research
Gambar 3.3 Prosedur Triangulasi Data  3.10  Jadwal Penelitian
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pembinaan narapidana adalah suatu sistem dimana didalam hal tersebut mempunyai yang saling bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. Jika dilihat dari tujuan

a) Diharapkan bagi pihak rumah sakit Raden Mattaher Jambi untuk lebih memperhatikan tingkat kepuasan kerja perawat PNS dengan cara lebih memperbaiki sistem

– Scanning Kolom:deteksi tombol yg ditekan dilakukan mulai dari kolom pertama, dicek apakah pada kolom tsb ada tombol yg ditekan, jika ya, baris yg mana pada kolom tersebut yg ditekan,

ADHIMIX PRECAST INDONESIA PLANT SERPONG NDONESIA BSD - Serpong SOUNDNESS OF AGGREGATE ASTM C 88 ~.

Data lapangan tersebut sebenarnya sudah menjadi bukti bahwa pelaksanaan konseling dengan Terapi Rasional Realitas dapat merubah diri klien menuju ke arah yang lebih baik,

Dapat disimpulkan bahwa senyawa yang dilepaskan dari proses dekomposisi serasah kedua tumbuhan invasif tersebut tidak mengganggu kesintasan benih tumbuhan asli

Rancang Bangun Alat Pendeteksi Banjir Menggunakan Sistem Komunikasi Wireless; Djefry Himawanda Hentris; 111903102013, 2014; 39 halaman; Jurusan Teknik Elektro

Sampaikan kepada peserta bahwa mereka akan berpartisipasi dalam kegiatan satu komputer yang terakhir dalam portofolio ini – kegiatan yang sangat berpusat pada siswa,