• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Situ dan manfaatnya

Danau-danau kecil dan dangkal didaerah Jawa Barat dikenal dengan nama situ sedangkan di Jawa Timur dikenal dengan nama telaga (Sulastri, 2003). Secara ekologi, situ termasuk perairan dengan ekosistem terbuka. Perairan ini sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Sementara itu, dalam ilmu perairan (hidrologi) danau atau situ termasuk perairan yang menggenang. Suatu perairan dikatakan bertipe danau apabila perairan tersebut dalam dan memiliki tepian yang curam. Air perairan danau umumnya jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas di pinggiran perairan (Suwignyo,2003).

Menurut Suwignyo (2003), setiap perairan menggenang yang terbentuk akibat pembendungan aliran sungai disebut waduk (reservoir). Berdasarkan pada tipe sungai yang dibendung dan kegunaan airnya maka dikenal tiga sub-tipe waduk yakni waduk lapang (field reservoir), waduk irigasi (irrigation reservoir) dan waduk serbaguna (multiporpose reservoir). Waduk lapang hanya mampu berair 6 hingga 7 bulan dan pada musim kemarau akan mengering. Waduk irigasi dapat menyimpan air 9 hingga 12 bulan dan waduk ini sewaktu-waktu dapat dikeringkan. Waduk serbanguna akan berair sepanjang tahun dan tidak mungkin dikeringkan.

Menurut KLH (2007), situ merupakan genangan air dalam satu cekungan dipermukaan tanah yang terbentuk secara alami maupun buatan yang airnya bersumber dari air permukaan atau air tanah, berukuran relatif lebih kecil dibanding danau, tergolong kedalam ekosistem perairan tawar terbuka dan dinamis. Kuantitas dan kualitas airnya berhubungan dengan tata air dan drainase wilayah serta dipengaruhi oleh tipe pemanfaatan badan air situ dan pemanfaatan lahan di dalam wilayah tangkapannya.

Lebih lanjut KLH (2007) juga mengungkapkan manfaat situ. Secara ekologis situ bermanfaat sebagai sistem penyerapan air dan tendon air serta keberlangsungan proses ekologis didalamnya. Manfaat sosioekonomis antara lain sebagai cadangan sumber air bersih, pengendali banjir, irigasi, sumber penyedia

(2)

protein dari sektor perikanan darat, sebagai sarana rekreasi dan sebagainya.

2.2 Kondisi Situ di Jabotabek

Menurut Hamid (1999), pada tahun 1997 jumlah situ di Botabek sebanyak 184 buah dengan luas keseluruhan sekitar 1.483 Ha. Dewasa ini, telah terjadi penyusutan sebesar 35% dan dapat dikatakan bahwa sekitar 65% situ-situ di Botabek telah berubah fungsinya. Dari 184 Situ yang mengalami sendimentasi berjumlah 69 buah dan yang mengalami eutrofikasi sebanyak 9 buah. Sedangkan situ yang mengalami konversi lahan (perubahan peruntukan lahan) sebesar 60 buah. Situ yang berubah menjadi sawah sebanyak 44 buah, menjadi pemukiman/perkantoran/industri sebanyak 8 buah, menjadi fasilitas umum sebanyak 5 buah dan menjadi tempat buang sampah sebanyak 3 situ. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi situ di Botabek 1997

Wilayah Kondisi situ

Sedi-menta -si Eutro -fikasi Konversi Sawah/ kebun Pemukiman/ perkantoran/ industri Fasilitas umum Tempat buang sampah/limbah industri Bogor 49 6 26 4 2 2 Tangerang 16 3 12 3 2 - Bekasi 4 - 6 1 1 1 Botabek 69 9 44 8 5 3 Sumber: Hamid, 1999

Hamid (1999), mengungkapkan pula ancaman terhadap situ-situ. Secara umum ancaman terhadap situ dibagi menjadi tiga kelompok yakni terjadinya konversi lahan, pendangkalan dan pencemaran lingkungan. Pada saat ini, cukup banyak terjadi areal situ yang direklamasi menjadi pemukiman, industri dan pusat pertokoan. Selain itu, juga berubah menjadi lahan sawah dan empang. Konversi lahan situ yang paling besar terjadi di Bekasi 90%, Kabupaten Tangerang 27% dan Bogor sekitar 20 %.

(3)

Konversi lahan ini dapat menyusutkan luas lahan situ. Secara umum letak situ berada dekat dengan pemukiman, tidak sedikit penduduk dengan sengaja memanfaatkan bagian situ yang kering dan dangkal menjadi lahan pertanian dan perikanan. Selain konversi lahan penyusutan luas situ dapat juga di debabkan oleh faktor alam yakni pada musim kemarau yang berkepanjangan, suplai air ke situ-situ akan minimal sehngga sering kali bagian tepi yang cukup dangkal tidak terairi sama sekali (Wardiantno et.al.,2003)

Tingginya proses pendangkalan pada situ-situ di Botabek juga menjadi ancaman bagi keberadaan situ. Pendangkalan ini dipengaruhi oleh lumpur akibat erosi tanah, sampah, meluasnya gulma dan tertutupnya saluran air. Selain itu, pencemaran lingkungan seperti masuknya limbah rumah dan indrustri ke dalam situ akan mengurangi kualitas air dalam situ yang mengakibatkan berkurangnya fungsi situ secara baik. Oleh karena itulah pencemaran lingkungan juga dapat mengancam kelestarian situ (Hamid, 1999).

2.3 Situ Gintung

Menurut Bappeda (2009), Situ Gintung di masa lalu merupakan danau kecil buatan yang dibagun pada tahun 1932-1933 dengan luas awal 31 ha. Situ Gintung memiliki tanggul selebar 30 meter, ketinggiannya 6 m dan mampu menampung air hingga 2,1 juta meter kubik. Di tengah-tengah situ terdapat sebuah pulau kecil yang menyambung sampai ke tepi daratan seluas kurang lebih 1,5 ha yang bernama Pulau Situ Gintung beserta hutan tanaman yang berada sekitarnya. Pada mulanya situ (danau) ini berfungsi sebagai tempat penampungan air dan untuk perairan ladang pertanian disekitarnya. Namun semenjak tahun 1970-an kawasan pulau dan salah satu tepi Situ Gintung dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam dan perairan berupa restoran, kolam renang dan outbound.

Filandari (2009) mengatakan bahwa tempat wisata tersebut bernama Pulau Situ Gintung-3 Wisata Alam dan Outbound. Pembangunan tempat wisata ini mulai dilakukan sejak tahun 1953, diawali dengan pembelian lahan pertanian di sekitar situ. Selanjutnya dilakukan penanaman pohon seperti pinus, kelapa, jambu mete, akasia, palem dan sengon. Di tahun 1980-an dilakukan penambahan fasilitas jalan, wisma dan lapangan tenis. Pada tahun 1990, tempat ini dibuka untuk umum

(4)

dengan nama Taman Wisata dan Sport Area. Pada tahun 2001, Taman Wisata dan Sport Area mengalami perubahan manajemen kemudian dibuatlah nama baru yakni Pulau Situ Gintung-3 Wisata Alam dan Outbound.

Pada tanggal 27 Maret 2009 Situ Gintung mengalami keruntuhan dan airnya membanjiri pemukiman yang terletak dibawah tanggul. Korban yang terkena bencana ini berjumlah 614 orang. Menurut Departemen Pu (2009), keruntuhan Situ Gintung ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah:

1. Tanggul situ runtuh karena tidak kuat menahan debit air yang besar akibat hujan deras 3 hari dengan intensitas curah hujan yang tinggi. 2. Terjadinya curah hujan yang tinggi sebagai akibat adanya global

warming (perubahan iklim).

3. Luas situ menyusut sehingga daya tampung berkurang

4. Terjadi perubahan lingkungan di DAS hulunya situ sehingga run-off membesar

5. Lingkungan sempadan situ telah banyak bangunan permukiman dan lain-lain.

Menurut Laksono (2010), bencana Situ Gintung menimbulkan kerusakan dan kerugian terhadap sumber daya manusia (korban jiwa dan pendapatan), terhadap sumber daya alam (ekosistem situ yakni hilangnya jasa ekologi, hilangnya pendapatan), terhadap sumber daya buatan yakni dalam sektor perumahan, sektor infrakstruktur ( jalan dan drainase), sektor ekonomi (perikanan dan pariwisata), sektor sosial ( pendidikan dan keagaaman).

Laksono (2010) juga mengungkapkan besar estimasi nilai kerusakan dan kerugiannya. Estimasi nilai kerusakan dan kerugian terhadap sumberdaya alam sebesar 77,72 % yakni Rp. 116,32 miliar dan terhadap sumber daya buatan sebesar 22,28 % yakni Rp. 33,35 miliar. Total nilai keseluruhan kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 149,68 miliar.

(5)

2.4 Lanskap Sejarah

Lanskap sejarah merupakan suatu kawasan geografis yang menjadi objek atau susunan atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia. Lanskap ini terbentuk melalui perpaduan antara unsur-unsur alam dan unsur-unsur budaya. Dalam kenyataan umum, setiap lanskap dapat dinyatakan sebagai lanskap sejarah karena bentukan lanskap dapat merefleksikan makna sejarah dari suatu periode atau waktu tertentu. Hal ini merefleksikan perbedaan dalam rasa, tehnologi dan berbagai kebutuhan masyarakat dalam periode yang berbeda di masa lampau termasuk juga perbedaanya antar wilayah (Nurisjah & Pramukanto, 2001).

Selanjutnya Nurisjah dan Pramukanto (2001), juga menyatakan bahwa suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah bila memiliki minimal satu kriteria atau alasan sebagai berikut:

1. Kriteria umum

a. Etnografis, merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok atau suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini adalah rural landscape (lanskap pedesaan) dan urban landscape (lanskap perkotaan).

- Rural landscape (lanskap pedesaan) merupakan suatu model atau bentuk lanskap yang dapat mencerminkan aspek ekonomi pedesaan dan berbagai kehidupan pedesaan.

- Urban landscape (lanskap perkotaan) adalah bentuk lanskap yang berhubungan dengan pembangunan kota dan kehidupan perkotaaan.

b. Associative yakni suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika dan sebagainya.

c. Adjoining, bentukan lanskap yang merupakan bagian dari suatu unit tertentu, bagian monumen, atau bagian struktur bangunan tertentu. 2. Kriteria khusus:

a. Lanskap tersebut merupakan suatu contoh penting dan harus dihargai dari suatu tipe sejarah.

(6)

b. Mengandung bukti-bukti peristiwa penting.

3. Terdapat kaitannya dengan masyarakat atau peristiwa sejarah yang penting dengan berbagai alasan atau latar belakang:

a. Peranan sejarah, suatu tempat merupakan lokasi peristiwa penting sebagai bentuk ikatan simbolis antara peristiwa dahulu dan sekarang dalam kehidupan kita.

b. Kejamakan. Melestarikan suatu karya sebagai wakil dari suatu kelas, contoh, tipe lanskap tertentu.

c. Kelangkaan. Lanskap tersebut merupakan satu-satunya contoh atau perwakilan dari tipe budaya tertentu bahkan mungkin merupakan satu-satunya perwakilan di dunia.

d. Keistimewaan. Suatu karya yang memiliki keistimewaan.

e. Estetik. Pelestarian karena suatu karya merupakan prestasi khusus dalam suatu gaya sejarah tertentu.

f. Memperkuat kedudukan (silsilah sejarah) kawasan di dekat atau sekitarnya.

4. Mengandung nilai-nilai yang terkait dengan bagunan-bangunan bersejarah, monumen-monumen bangunan dan taman-taman.

2.5 Benda Cagar Budaya

Lanskap sejarah merupakan bagian dari lanskap budaya sehingga lanskap ini juga disebut sebagai benda cagar budaya. Berdasarkan Undang-undang No 5 Tahun 1992, benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Selain itu, benda cagar budaya dapat berupa benda alam yang dianggap mempunyai arti penting bagi sejarah, ilmu penghetahuan dan kebudayaan.

Undang-undang No 5 Tahun 1992 ini juga mengatur tentang penguasaaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan,

(7)

pemafaatan, pengawasan, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. Penguasaan dan pemilikan diatur dalam bab 6 bagian pertama pasal 4 sebagai berikut:

a. Semua benda cagar budaya dikuasai oleh Negara.

b. Penguasaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi benda cagar budaya yang terdapat di wilayah hukum Republik Indonesia.

c. Pengembalian benda cagar budaya yang pada saat berlakunya Undang-undang ini berada di luar wilayah hukum Republik Indonesia, dalam rangka penguasaan oleh Negara, dilaksanakan Pemerintah sesuai dengan konvensi internasional.

Di pasal 6 Undang-undang No 5 tahun 1992 dikatakan bahwa benda cagar budaya dapat juga dimiliki atau dikuasai oleh setiap orang dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang. Benda cagar budaya yang dimaksud adalah benda cagar budaya yang telah dimiliki atau dikuasai secara turun-temurun atau merupakan warisan, atau benda yang jumlahnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh Negara.

Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya diatur dalam bab 4 pasal 13 Undang-undang No 5 Tahun 1992 yakni:

a. Setiap orang yang memiliki atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya.

b. Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya.

Pemilik benda cagar budaya yang tidak melakukan perlindungan dan pemeliharaan terhadap benda cagar budaya akan mendapat teguran dari pemerintah dan apabila dalam 90 hari setelah teguran dikeluarkan pemilik tidak berupaya untuk melindungi dan memelihara benda cagar budaya maka pemerintah

(8)

dapat mengambil alih kewajiban untuk melindungi benda cagar budaya yang bersangkutan.

Pengelolaan benda cagar budaya di atur dalam pasal 18 Undang-undang No 5 Tahun 1992. Pengelolaan benda cagar budaya dan situs adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, kelompok atau perorangan berperan serta dalam pengelolaan benda cagar budaya dan situs. Menurut undang-undang No. 5 Tahun 1992 pasal 19, benda cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Pelaksanaan Undang-undang No. 5 Tahun 1992 diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1993. Pelaksanaan tersebut meliputi aturan tentang kepemilikan, perlindungan, serta pembinaan dan pengawasan benda cagar budaya.

Kepemilikan benda cagar budaya siatur dalam bab 2 pasal 2 yakni:

a. Perlindungan dan pelestarian benda cagar budaya, benda yang diduga benda cagar budaya, benda berharga yang tidak diketahui pemilikanya baik bergerak maupun tidak bergerak dan situs yang berada di wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh Negara.

b. Penguasaan sebagaimana yang termasuk dalam ayat 1 meliputi pengaturan terhadap kepemilikan, pendaftaran, perlindungan, pemeliharaaan, penemuan, pencarian, pemanfaatan, pengelolaan, perizinan dan pengawasan.

c. Pengaturan dalam ayat 2 diselengarakan berdasarkan ketentuan dalam PP atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sementara itu, perlindungan dan pemelihara benda cagar budaya diatur dalam Bab 4 pasal 23 sebagai berikut:

a. Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan dan pemugaran.

b. Kepentingan perlindungan benda cagar budaya diatur batas-batas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan.

c. Batas-batas situs dalam ayat 2 ditetapkan dengan sistem pemintakatan yang terdiri dari mintakat inti, penyangga dan pengembang.

(9)

Hal-hal mengenai pembinaan dan pengawasan benda cagar budaya diatur dalam bab 6 pasal 41 sebagai berikut:

a. Menteri bertanggung jawab atas pembinaan terhadap pengelolaan benda cagar budaya.

b. Pembinaan pengelolaan sebagaimana yang dimaksud ayat 1 meliputi: • Pembinaan terhadap pemilik yang meguasai benda cagar budaya

berkenaan dengan tata cara perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan.

• Pembinaan peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian. c. Pembinaan dapat dilakukan melalui:

• Bimbingan dan penyuluhan • Pemberian bantuan tenaga ahli • Peningkatan peran serta masyarakat

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan pengelolaan benda cagar budaya diatur oleh menteri.

 

2.6. Pelestarian lanskap Sejarah

Menurut Nurisjah & Pramukanto (2001) terdapat beberapa pilihan tindakan teknis pelestarian benda bersejarah yang bisa diupayakan yakni:

a. Adaptif use, penggunaan adaptif yakni upaya pelestarian lanskap sejarah dengan mengakomodasikan penggunaan kebutuhan dengan kondisi saat ini. Cara ini dapat mempertahankan dan memperkuat arti sejarah dan juga mempertahankan warisan-warisan sejarah. Selain itu, dapat juga mengintegrasikan lanskap dengan kepentingan penggunaan saat ini. Namun model ini membutukan pengajian yang cermat dan teliti terhadap sejarah penggunaan, pengelolaan, dan faktor-faktor yang berperan dalam lanskap tersebut.

b. Rekonstruksi, rekonstruksi merupakan pembangunan kembali suatu lanskap baik secara keseluruhan maupun secara sebagian dari tapak asli. Pembangunan ini dilakukan jika:

• Tapak tidak dapat bertahan lebih lama lagi pada kondisi asli atau mulai hancur karena faktor alam.

(10)

• Lanskap hancur dan kondisi aslinya tidak dapat terlihat • Ada kondisi kesejarahan yang harus ditampilkan.

c. Rehabilitas. Rehabilitas adalah upaya pelestarian yang dilakukan dengan mempertimbangkan kenyamanan, lingkungan, sumber daya dan adminitratisi. Kegiatan pelestariannya berupa perbaikan utilitas, fungsi penampilan suatu lanskap, struktur dan sebagainya.

d. Restorasi merupakan tindakan pelestarian yang mengembangkan penampilan lanskap pada kondisi aslinya. Restorasi dilakukan dengan pengadaan elemen-elemen yang hilang dan menghilangkan elemen-elemen yang mengganggu kesejarahaan situs.

e. Stabilitas, yakni tindakan strategis dengan memperkecil nilai negatif terhadap tapak. Nilai negatif ini dapat berupa gangguan iklim, deteriorientasi dan suksesi alam.

f. Konservasi. Konservasi merupakan kegiatan pelestarian yang bertujuan untuk melestarikan apa yang ada pada saat ini, mencegah penggunaan tapak yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung lahan, menggarahkan perkembangan lahan dimasa depan. Tindakan ini dapat memperkuat karakteristik spesifik yang menjiwai lingkungan atau tapak dan menjaga keselarasan antara lingkungan lama dengan pengembangan yang baru yang mendekati perkembangan apresiasi masyarakat.

g. Interpretasi adalah upaya pelestarian lanskap secara terpadu dengan mempertimbangkan berbagai kebutuhan dan kepentingan yang akan dihadapi dimasa kini dan mendatang. Interpretasi membutuhkan pengkajian terhadap tujuan desain dan penggunaan lanskap sebelumnya. Desain baru yang dibuat harus bisa memperkuat integrasi nilai historis lanskap dan juga dapat mengintegrasikannya dengan program-program kegiatan tapak yang baru di introduksikan.

h. Period setting adalah penciptaan suatu tipe lanskap pada tapak tertentu yang bukan merupakan tapak original atau asli. Usaha ini memperlukan adanya data dan dokumentasi yang dikumpulkan dari tapak dulu yang sama serta pengkajian akan sejarah tapak sebagai pembangunan lanskap

(11)

tersebut akan sesuai dengan suatu periode yang telah ditentukan sebelumnya.

i. Realease adalah tindakan pelestarian yang memperbolehkan adanya suksesi alam dalam lanskap bersejarah. Tindakan pelestarian ini dapat mengurangi dan menghapus arti sejarah dalam lanskap tersebut.

j. Replacement yakni pelestarian dengan melakukan subtitusi atas suatu komuniti biotik lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

pokok-pokok masalah yang akan dibahas secara terperinci, dan c) prosedur pemecahan masalah; (2) dengan metode ceramah dan tanya jawab, guru diberi pengertian

(2) Pemanfaatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan izin Pemerintah Daerah sesuai dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat

(2) Cagar Budaya atau benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis efektivitas program DPM-LUEP terhadap stabilitas harga gabah di tingkat petani di Propinsi Jawa Barat; menganalisis dampak kebijakan

Memberi kesempatan pada kelompok yang tidak sedang melakukan presentasi untuk mengajukan pertanyaan kepada kelompok yang sedang presentasi.. Mengidentifikasi kesulitan

Pada website ini disediakan sebuah aplikasi pendaftaran peserta kerja praktek berbasis web yang dapat membantu bagi para mahasiswa yang ingin mendaftarkan diri

Jika dikaitkan dengan kemampuan mereduksi Cr(VI) (Tabel 2) tampak bahwa konsentrasi Cr(VI) pada tanah yang tidak diinokulasi bakteri, relatif tetap (sekitar 90

Pada tahapan ini akan melanjutkan proses yang ada dalam tahap komunikasi, yaitu membuat perencanaan dan permodelan dari alat sistem iot timbangan digital