• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN KESIAPAN PEMERINTAH DAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM MELAKSANAKAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN KESIAPAN PEMERINTAH DAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM MELAKSANAKAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN PENELITIAN

KESIAPAN PEMERINTAH DAN APARAT PENEGAK HUKUM DALAM MELAKSANAKAN UU NO. 11 TAHUN 2012

TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

Oleh:

Kelompok Penelitian Bidang Hukum Dengan Ketua Tim

Puteri Hikmawati

PUSAT PENGKAJIAN PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

JAKARTA 2014

(2)

2

EXECUTIVE SUMMARY

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia, bangsa, dan negara, yang memiliki keterbatasan dalam memahami dan melindungi diri dari berbagai pengaruh sistem yang ada. Atas dasar keterbatasan tersebut maka anak harus mendapatkan perlindungan dari segala pihak demi menjaga proses tumbuh kembangnya.

Banyaknya peristiwa Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) menimbulkan keprihatinan.

Terlebih ketika anak-anak tersebut diajukan ke pengadilan atas kejahatan ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Ketika berhadapan dengan kasus hukum baik dalam posisi sebagai pelaku, saksi, maupun korban, anak harus mendapatkan perlindungan, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial sesuai dengan prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak (KHA).

Kesadaran akan perlunya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum baik dalam posisi sebagai pelaku, saksi maupun korban membawa gerakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Perubahan tersebut diwujudkan dengan diundangkannya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). UU SPPA diharapkan dapat menjadi solusi terbaru dalam menjamin perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, baik dalam posisi sebagai pelaku, saksi, maupun korban. UU SPPA memuat banyak asas, prinsip, konsep dan pemikiran terkait dengan perlindungan anak, sebagaimana telah diamanatkan oleh KHA dan pedoman lain seperti Beijing Rules yang dikeluarkan oleh PBB namun tidak diatur dalam UU Pengadilan Anak sebelumnya. Karena banyaknya perubahan yang terdapat dalam UU SPPA, maka Pemerintah dan DPR selaku pembentuk UU memberikan jangka waktu selama 2 (dua) tahun sampai dengan UU SPPA dinyatakan berlaku, yaitu pada tanggal 30 Juli 2014. Hal tersebut karena sebelum UU SPPA benar-benar diberlakukan, instrumen pendukung dalam pemberlakuan sistem peradilan pidana anak harus sudah dipersiapkan sehingga upaya perlindungan bagi ABH dapat tercapai.

B. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian

UU SPPA merupakan terobosan legislasi yang mutakhir bagi sistem peradilan pidana.

Selain membutuhkan infrastruktur tersendiri yang tidak bisa digabungkan dengan sistem pidana lainnya, UU SPPA juga membutuhkan paradigma dari aparat penegak hukum serta pegawai pemerintahan yang juga turut bertanggung jawab dalam SPPA. Oleh karena itu,

(3)

3

permasalahan pokok yang akan diteliti adalah bagaimana kesiapan Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum dalam melaksanakan UU SPPA?

Untuk menjawab permasalahan pokok tersebut, pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

1. Bagaimana pengaturan mengenai kelembagaan yang ada dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?

2. Bagaimana kesiapan anggaran, sumber daya manusia (SDM), serta sarana dan prasarana Pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menghadapi pemberlakuan UU No.11 Tahun 2012 tersebut?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang ”Kesiapan Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum dalam Melaksanakan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” ini bertujuan untuk mengkaji:

1. pengaturan mengenai kelembagaan yang ada dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. kesiapan anggaran, SDM, serta sarana dan prasarana Pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menghadapi pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2012 tersebut.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkuat khazanah ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi DPR RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan legislasi, khususnya terkait dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

D. Metode Penelitian

Penelitian tentang “Kesiapan Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum dalam Melaksanakan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak” merupakan penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan metode pendekatan kualitatif.

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dimaksudkan terdiri dari bahan hukum primer (primary sources), dan bahan hukum sekunder (secondary sources). Sedangkan data primer didapat dengan melakukan wawancara, dengan pihak-pihak yang berkompeten di instansi terkait, baik di tingkat pusat maupun di daerah yaitu Kementerian Hukum dan HAM (Kanwil Hukum dan HAM), LPKA (sebelumnya LAPAS Anak), LPAS (sebelumnya Rutan), Kementerian Sosial, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, LSM/LBH, dan akademisi yang memiliki kompetensi dalam masalah anak.

(4)

4

Adapun waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan November 2014. Penelitian ke daerah dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 24 s.d. 30 Maret 2014 dan Jawa Timur tanggal 11 s.d. 17 Agustus 2014. Pemilihan Provinsi Sumatera Selatan dan Jawa Timur didasarkan pada pertimbangan bahwa kedua Provinsi tersebut termasuk dalam lima provinsi dengan jumlah napi dan tahanan anak yang besar. Di samping itu, kedua daerah tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Dengan perbedaan karakteristik dua provinsi tersebut diharapkan para peneliti dapat membandingkan persiapan lembaga pemangku kebijakan dalam menyambut pemberlakuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia yang dilakukan di dua daerah tersebut. Selanjutnya, data yang terkumpul disajikan secara kualitatif (uraian teks/penelitian kualitatif) dan dianalisis secara deskriptif dan preskriptif.

II. KERANGKA PEMIKIRAN

A. Hak Anak berdasarkan Konvensi Anak dan Beijing Rules 1. Hak Anak Berdasarkan Konvensi Hak Anak

Konvensi Hak Anak (KHA) yang menjadi dasar pijakan secara internasional mengenai pengakuan hak anak, mengatur mengenai hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh pihak yang meratifikasi KHA. Materi hukum mengenai hak anak dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu:1 Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights); Hak untuk berkembang (development); Hak terhadap perlindungan (protection right); dan Hak untuk berpartisipasi (participation right). KHA juga mengatur beberapa hal terkait dengan keadaan dimana seorang anak berkonflik dengan hukum.

2. Hak Anak Berdasarkan Beijing Rules

Beijing Rules dikenal sebagai instrumen internasional yang pertama kali mengatur dengan detail ketentuan-ketentuan minimal bagaimana memperlakukan anak-anak yang berhadapan dengan hukum. Beijing Rules memuat sembilan prinsip umum, yaitu Perspektif- perspektif dasar; ruang lingkup peraturan-peraturan dan definisi yang digunakan;

perluasan peraturan; usia pertanggung jawaban pidana; tujuan pengadilan anak; ruang lingkup kebebasan membuat keputusan; hak anak; perlindungan privasi dan klausul penyelamatan. Selain sembilan prinsip umum yang telah disebutkan, Beijing Rules juga mengatur mengenai tahapan proses peradilan pidana bagi anak-anak.

1 Unicef Perwakilan Indonesia, Guide to Convention on the Rights of the Child (CRC), Jakarta, tt., hal. 4.

(5)

5 B. Sistem Peradilan Pidana

Istilah Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Komponen yang bekerja dalam sistem peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.2 Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk “integrated criminal justice administration”. Dalam SPP yang dianut oleh KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) telah ditentukan suatu garis pemisah yang tegas terhadap wewenang masing-masing lembaga guna menjaga tidak adanya tumpang tindih wewenang antara satu lembaga dengan lembaga yang lain dalam menangani proses suatu perkara pidana. Kepolisian (polisi) memegang peranan penting dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan; Kejaksaan (jaksa) mempunyai tugas utama melakukan penuntutan; Pengadilan sebagai institusi yang mengadili; dan lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana.

Dalam SPPA, di samping penyidik Anak, penuntut umum Anak, dan hakim Anak yang menangani perkara Anak, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya juga terlibat dan wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak.

C. Penegakan Hukum

Hukum mengatur masyarakat dan bermanfaat dengan menetapkan apa yang diharuskan atau dibolehkan dan sebaliknya. Dengan demikian, hukum dapat dikualifikasi sebagai perbuatan sesuai dengan hukum atau didiskualifikasi sebagai melawan hukum. Terhadap perbuatan yang melawan hukum dikenakan sanksi.3

Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.4 Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, tetapi penegakan hukum yang mengandung nilai-nilai yang sesuai

2 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, 2005, hal. 2.

3 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hal. 111.

4 Satjipto Rahardjo dalam Masalah Penegakan Hukum sebagaimana dikutip dalam Riduan Syahrani, ibid.

(6)

6

dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5 Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah6:

1. Faktor hukum. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah undang-undang dalam arti materiel, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.

Ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” adalah luas sekali, karena mencakup mereka yang secara langsung dan tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum.

5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasanya yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Faktor kebudayaan sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum serta menjadi tolok ukur efektivitas penegakan hukum.7

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penjabaran Konvensi tentang Hak-hak Anak dalam Hukum Nasional terkait dengan Peradilan Anak

1. Konvensi Hak Anak terkait dengan Peradilan Anak

Prinsip utama Konvensi Hak Anak (CRC/KHA) adalah “kepentingan terbaik anak”.

Menurut CRC, anak berhak atas hak dan kebebasan yang sama dengan orang dewasa. Hak-hak fundamental tertentu, seperti hak hidup, kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan berpikir dan berekspresi, dan hak berkumpul secara damai dan berserikat dengan tegas diatur dalam Konvensi. Konvensi berusaha memberikan tambahan perlindungan terhadap penyalahgunaan, penelantaran dan eksploitasi anak.8 CRC juga menetapkan alasan dan kondisi- kondisi yang mendasari dapat dicabutnya kebebasan mereka secara sah serta hak anak yang

5 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 7.

6 Ibid., disarikan dari hal. 11 sampai dengan hal. 59.

7 Ibid., hal. 8-9.

8 Pasal 32 sampai Pasal 36 CRC.

(7)

7

didakwa telah melakukan pelanggaran hukum pidana.9 Ketentuan tersebut diatur lebih rinci dengan judul “Penangkapan dan Penahanan”.

Terkait dengan administrasi peradilan anak, melalui sejumlah instrumen hukum, masyarakat internasional telah mengeluarkan beberapa konvensi terkait dengan kedudukan khusus ABH. Instrumen internasional tersebut, yaitu Konvensi tentang Hak-hak Anak (CRC), Peraturan standar minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk administrasi peradilan anak (Beijing Rules), Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pencegahan pelanggaran hukum anak (Riyadh Guidelines), Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi perlindungan anak yang dicabut kebebasan mereka (UNRPJ), dan Peraturan standar minimum bagi tindakan non-penahanan (Tokyo Rules).

2. Penjabaran Konvensi Hak Anak dalam Hukum Nasional

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990. Pemerintah juga menetapkann UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 5 Tahun 1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Terkait dengan peradilan anak, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) diundangkan untuk menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1997, karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, dan belum memberikan perlindungan kepada ABH secara komprehensif.

B. Peran Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana Anak 1. Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS

Dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), peran dan fungsi Balai Kemasyarakatan (Bapas) dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK). Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan anak.10 UU SPPA telah menempatkan posisi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas pada peran yang sangat strategis, dimana PK Bapas bersama-sama dengan aparat penegak hukum lainnya mengupayakan melaksanakan proses peradilan anak dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif berdasarkan kepentingan yang terbaik bagi anak. Salah satu tugas PK Bapas adalah membuat laporan penelitian kemasyarakatan (litmas) untuk kepentingan diversi, melakukan pendampingan, pembimbingan,

9 Pasal 37 dan Pasal 40 CRC.

10 Pasal 1 angka 13 UU SPPA.

(8)

8

dan pengawasan terhadap anak selama proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan, termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila diversi tidak dilaksanakan. Litmas dibuat juga untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara anak, baik di dalam maupun di luar sidang.

2.Kementerian Sosial

Berkaitan dengan kelembagaan, UU SPPA mewajibkan Kemensos membangun LPKS.

LPKS adalah lembaga atau tempat pelayanan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi anak dan tidak dibatasi dengan milik swasta maupun pemerintah.

LPKS juga bukan merupakan suatu lembaga baru karena telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (UU No. 11 Tahun 2009). Dalam UU SPPA, LPKS tidak hanya untuk anak yang melakukan tindak pidana tetapi juga bagi anak yang diduga melakukan tindak pidana. LPKS juga bisa menjadi tempat penahanan sementara bagi anak, dan berfungsi sebagai lembaga rehabilitasi medis dan sosial bagi anak korban dan anak saksi.

3. Kepolisian Republik Indonesia

UU SPPA memperbaiki cara anak diperlakukan oleh sistem peradilan pidana di Indonesia. Kepolisian merupakan salah satu sub-sistem yang terdapat dalam SPPA. Dalam SPPA, kepolisian memiliki fungsi melakukan penyelidikan dan penyidikan.11 Dalam SPPA model penyelesaian perkara yang didahulukan adalah Diversi. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan anak, polisi, jaksa, atau hakim. Oleh karena tidak semua perkara ABH mesti diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif maka atas perkara ABH dapat dilakukan Diversi demi kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi korban.12 Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan. Keadilan restoratif adalah suatu proses penyelesaian yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana, secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan dan bukan pembalasan.13

11 Pasal 5 ayat (2) UU SPPA.

12 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang SPPA.

13 Ibid.

(9)

9 4. Kejaksaan Republik Indonesia

Kejaksaan merupakan sub-sistem dalam UU SPPA. Dalam SPPA Kejaksaan khususnya Jaksa yang melaksanakan fungsi penuntutan dalam penanganan perkara anak dalam SPPA.14 Selain itu, jaksa juga memiliki tugas melaksanakan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam tahapan penuntutan tersebut, jaksa wajib mengupayakan Diversi terhadap perkara anak. Dalam hal Diversi gagal pada tahap penuntutan, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.

5. Pengadilan Anak

Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap anak, perkara ABH wajib disidangkan di pengadilan khusus pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.15 Dalam memeriksa perkara anak di pengadilan, hakim sangat membutuhkan penelitian kemasyarakatan (litmas), namun litmas tidak merupakan satu- satunya pertimbangan hakim, ada tuntutan, pledoi, dan lain-lain.

C. Kesiapan Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum dalam Menghadapi Pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS

Kesiapan yang dilakukan oleh PK Bapas Kota Palembang guna menindaklanjuti persiapan pelaksanaan UU SPPA tersebut, yaitu PK Bapas Kota Palembang telah melaksanakan beberapa pelatihan, di antaranya pelatihan kode etik PK, pelatihan pedoman wawancara; dan pelatihan mekanisme prosedur pembuatan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas). Namun, tidak semua PK Bapas telah mengikuti pelatihan-pelatihan guna menyambut pelaksanaan UU SPPA. PK Bapas Jember dan Bapas Malang belum mengikuti pelatihan-pelatihan khusus guna mendukung pelaksanaan UU SPPA, tetapi Bapas Kota Palembang dan Bapas di wilayah Jawa Timur siap melaksanakan UU tersebut. Lebih lanjut pihak Bapas sudah menyiapkan format Litmas sidang pidana anak, yang mencantumkan hasil pelaksanaan proses Diversi di tingkat Pengadilan, dimana Litmas tersebut nantinya akan berisi uraian singkat hasil proses Diversi (waktu, tempat,

14 Pasal 41 UU SPPA.

15 Penjelasan Umum UU SPPA.

(10)

10

pihak-pihak yang terlibat di dalam proses Diversi tersebut) dan penyebab kegagalan proses Diversi.

Terkait dengan ketentuan UU SPPA yang belum sepenuhnya dilaksanakan, pihak Bapas ternyata telah lama menerapkan proses mediasi terhadap pihak korban maupun pelaku. Dalam upaya tersebut biasanya peran PK Bapas akan mencoba untuk duduk bersama dengan kedua belah pihak (baik korban maupun pelaku) untuk mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut (mediasi).

2. Kementerian Sosial dan Dinas Sosial

UU SPPA menegaskan, bahwa kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial (Kemensos) wajib membangun LPKS, sehingga berdasarkan UU ini kewajiban untuk membentuk LPKS berada di tangan Kemensos. Apabila dihubungkan dengan UU Pemerintahan Daerah masalah kesejahteraan sosial merupakan urusan yang dapat dilimpahkan ke daerah. Oleh karena itu, urusan pembangunan LPKS dapat dilimpahkan oleh Kemensos kepada Pemda.

Saat ini Kemensos memiliki 4 UPT Pusat Panti Sosial Marsudi Putera (PSMP) yang melaksanakan tugas fungsi Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH, yaitu Toddopuli (Makasar), Handayani (Jakarta), Antasena (Malang), dan Paramita (NTB). Semula terdapat 8 UPT yang dikelola Kemensos, akan tetapi dengan munculnya aturan tentang otonomi daerah maka 4 UPT diserahkan pada daerah. Adapun yang telah diserahkan ke daerah itu adalah BRSMP Harapan Cileungsi (Pemda Jawa Barat), PSMP Andika Surabaya (Pemda Jawa Timur), PSMP Tengkuyuk Riau (Pemda Riau) dan PSMP Dharmapala Palembang (Pemda Sumsel).

Setelah diserahkan ke daerah, pengelolaan beberapa panti mengalami kemunduran, karena keterbatasan dana dan SDM. Masalah SDM terkait keterbatasan tenaga peksos, keberadaan peksos seringkali berasal dari daerah yang berbeda, akibatnya tidak semua peksos dapat bekerja efektif karena kadang terkendala oleh ketidakmampuan beradaptasi. Kemampuan beradaptasi dari peksos sangat dibutuhkan sehingga dapat berkomunikasi dengan ABH, keluarga, dan masyarakat. Dengan berkomunikasi inilah peksos dapat memperkenalkan norma- norma baru yang terdapat dalam UU SPPA.

Permasalahan lain yang dihadapi adalah terkait pendanaan. Apabila berbagai sarana dan prasarana pendukung tidak segera dibangun pada beberapa panti, maka penegakan hukum UU SPPA dapat terganggu.

3. Kepolisian

Hal pertama yang harus disiapkan oleh kepolisian dalam pelaksanaan SPPA adalah mempersiapkan Penyidik Anak yang bersertifikat, dalam arti harus memiliki sertifikasi

(11)

11

penanganan perkara anak. Untuk mendapatkan sertifikasi tersebut penyidik harus mengikuti pelatihan tentang peradilan anak. Sampai saat ini untuk menjadi penyidik perkara anak tidak harus mendapatkan SK penunjukan langsung dari atasan, biasanya penyidik yang menjadi penyidik perkara anak ditempatkan di Unit PPA dan melakukan penyidikan perkara anak.16

Sangat sulit memenuhi kebutuhan penyidik anak dalam jumlah yang ideal. Polres sebagai pintu masuk pelaporan perkara pidana anak di Indonesia berjumlah kurang lebih 13.000, tetapi tidak semua polisi yang ada di Polres memiliki pemahaman terhadap konsep yang ada di SPPA karena pelatihan masih terbatas untuk polisi/penyidik yang ada di kepolisian yang tingkatnya lebih tinggi. Selain itu, pola penanganan perkara di Kepolisian masih belum sepenuhnya sejalan dengan konsep UU SPPA. Hal tersebut dibuktikan dengan formasi penyidik anak yang banyak diduduki oleh polisi wanita dan dikatakan dalam wawancara bahwa kepolisian masih memiliki keterbatasan jumlah personil Polisi Wanita.17 Permasalahan tersebut kemudian diatasi dengan adanya koordinasi antara penyidik perkara anak yang tidak di Unit PPA dengan penyidik yang ada di Unit PPA selama perkara anak tersebut diperiksa.18 Penyidik dari unit lain akan mendapatkan arahan khusus dari penyidik anak yang ada di Unit PPA tentang bagaimana memperlakukan anak dalam penyidikan dan bantuan dalam upaya Diversi.19

4. Kejaksaan

Dalam menjalankan sistem peradilan pidana anak, jaksa telah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan UU SPPA, antara lain dengan pemerintah daerah, PK Bapas, dinas sosial dan tentu saja dengan kepolisian selaku penyidik. Hasil Litmas Bapas disertakan dalam berkas penuntutan sebagai bukti adanya penelitian masyarakat dalam proses penuntutan perkara anak.20 Berkaitan dengan infrastruktur, di Kejaksaan belum terdapat ruang tersendiri untuk menempatkan tahanan anak yang sedang dalam proses penuntutan maupun untuk tahanan sementara ketika akan dibawa ke persidangan. Selain itu, belum tersedia ruangan khusus mediasi, karena biasanya perkara yang ada di Kejaksaan merupakan perkara pidana yang secara prinsip di dalamnya tidak dikenal mediasi. Apalagi penyediaan ruangan mediasi untuk perkara anak. Kejaksaan belum memiliki mata anggaran tersendiri untuk mempersiapkan berlakunya UU SPPA.

16 Hasil Wawancara dengan Kompol Retno Kanit V Subdit IV Renakta Ditreskrimum Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, tanggal 28 Maret 2014.

17 Ibid.

18 Ibid.

19 Ibid.

20 Hasil Wawancara dengan Nurhayati, Fungsional Jaksa di Kejaksaan Negeri Tanjung Perak, 13 Agustus 2014.

(12)

12 5. Pengadilan

Persiapan dalam melaksanakan UU SPPA seharusnya tidak hanya dilakukan oleh PN, tetapi juga pihak sekolah dan pemuka agama. Hal ini dimaksudkan, apabila Diversi berhasil ABH harus bisa diterima di masyarakat dan anak boleh melanjutkan sekolahnya lagi. Sementara itu, ada kendala bagi hakim dalam melaksanakan UU SPPA, seperti masa penahanan yang terlalu singkat. Selain masa penahanan, kendala yang dihadapi hakim adalah sarana prasarana dan belum adanya persamaan persepsi antara diknas, APH, dan media bahwa masalah anak perlu penanganan khusus.

IV. PENUTUP A. Kesimpulan

Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dan menetapkan berbagai UU untuk melindungi ABH. Salah satu UU yang memberikan jaminan perlindungan ABH adalah UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. SPPA menekankan upaya Diversi dalam penyelesaian perkara Anak. Aparat penegak hukum dalam setiap tahapan pemeriksaan anak wajib mengupayakan Diversi. Diversi dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan.

Di tangan kepolisian mediasi guna mencapai diversi harus dioptimalkan. Ketika perdamaian tidak tercapai dalam proses penyidikan maka, perkara tersebut akan diteruskan pada tahapan selanjutnya yaitu tahapan penuntutan oleh Jaksa. Dalam tahapan penuntutan, Jaksa juga wajib mengupayakan diversi sebagai metode penyelesaian perkara. Ketika Diversi tidak dapat dicapai maka berkas perkara akan dilanjutkan pada tahapan selanjutnya yaitu pengadilan. Penerapan Diversi dalam penanganan perkara anak dimaksudkan untuk menghentikan pemeriksaan, dengan penetapan oleh Ketua PN dan pelaksanaannya diawasi oleh Bapas.

Banyak pihak yang terkait dalam SPPA, antara lain Balai Pemasyarakatan (Bapas), Dinas Sosial dan Kementerian Sosial, Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim (Pengadilan). Aparat penegak hukum yang menangani perkara anak harus bekerjasama dengan pihak lain yang juga bertanggung jawab dalam UU SPPA, seperti dengan PK Bapas karena dalam ketentuan UU SPPA hasil penelitian masyarakat (litmas) yang dilakukan PK Bapas merupakan dokumen penting yang harus menjadi pertimbangan aparat penegak hukum dalam SPPA. Hakim sangat membutuhkan penelitian kemasyarakatan (litmas), namun litmas tidak merupakan satu- satunya pertimbangan hakim, ada tuntutan, pledoi, dan lain-lain.

Dalam SPPA, aparat penegak hukum yang menangani perkara anak, harus aparat yang ditunjuk khusus menangani perkara anak, yaitu penyidik anak, jaksa anak, dan hakim anak.

Aparat penegak hukum tersebut harus mengikuti pelatihan khusus dan memperoleh sertifikasi untuk menangani perkara anak. Namun, karena dana penyelenggaraan pelatihan terkait dengan

(13)

13

SPPA masih sangat minim, maka aparat yang khusus menangani perkara anak dalam setiap tahapan sistem peradilan pidana anak masih kurang.

UU No. 11 Tahun 2012 telah mengamanatkan kepada Pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaannya, yaitu 6 Peraturan Pemerintah (PP) dan 2 Peraturan Presiden (Perpres). Namun, sampai penelitian dilakukan belum ada satu peraturan pelaksanaanpun yang ditetapkan. Ketiadaan peraturan pelaksanaan menghambat pembuatan peraturan pelaksanaan di tingkat pelaksana.

Berdasarkan hasil penelitian di daerah, pihak PK Bapas baik di Kota Palembang maupun di Jawa Timur sudah siap menyambut dan menjalankan UU SPPA yang akan diberlakukan.

Bentuk kesiapan tersebut terlihat di mana PK Bapas telah melakukan berbagai macam pelatihan-pelatihan khusus ataupun melakukan sosialisasi terkait dengan keberadaan UU SPPA.

Dari segi anggaran, SDM, serta sarana dan prasarana, Pemerintah dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya siap dalam menghadapi pemberlakuan UU No. 11 Tahun 2012. Kondisi ini terlihat dari terbatasnya jumlah anggaran sehingga daerah berusaha mendapatkan anggaran dari pusat. Namun, pusat belum dapat memenuhi kebutuhan anggaran tersebut dengan alasan belum adanya PP dari UU SPPA.

Persiapan lain yang belum dapat dilakukan adalah persiapan infrastruktur yang mendukung SPPA. Walaupun di dua daerah yang menjadi objek penelitian telah memiliki ruangan khusus untuk penahanan anak selama masa penyidikan, namun dua instansi kepolisian tersebut belum memiliki ruangan tersendiri untuk melakukan mediasi dalam perkara anak.

B. Rekomendasi

Pemerintah harus segera menerbitkan peraturan pelaksanaan UU SPPA, agar mempunyai dasar hukum dalam melaksanakan penanganan ABH secara tepat dan standardisasi secara nasional. Selain itu, perlu adanya sosialisasi secara menyeluruh mengenai UU SPPA, tidak hanya pada Pemerintah dan aparat penegak hukum saja melainkan juga pihak media massa dan masyarakat. Bagi masyarakat perlu ada sosialisasi, agar tercipta kesamaan paradigma mengenai konsep diversi.

Berkaitan dengan permasalahan kurangnya anggaran, alokasi biaya untuk melaksanakan SPPA oleh pihak terkait perlu ditingkatkan. Peningkatan anggaran dibutuhkan untuk membiayai pelatihan yang harus diikuti oleh aparat penegak hukum yang khusus menangani perkara anak. Biaya untuk infrastruktur juga perlu ditingkatkan untuk mendukung pelaksanaan SPPA, seperti ruang khusus anak, dan lain-lain. Selain itu, koordinasi antar semua pihak yang bertanggung jawab dalam UU SPPA dalam menjalankan ketentuan yang ada dalam UU SPPA perlu ditingkatkan. Paradigma masyarakat sehubungan dengan ABH harus diubah dari represif menjadi restoratif dengan melibatkan seluruh elemen dalam masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Brigham & Houston (2006:155) mengatakan bahwa suatu perusahaan dengan tingkat pengembalian atas investasi yang tinggi cenderung menggunakan proporsi hutang yang

Plugins not installed from the Plugin Directory can also be updated using the auto - update functionality of WordPress. The plugin author must defi ne where WordPress can download the

• Ketika dianalisis secara lebih rinci pada empat kriteria utama yang harus dimiliki oleh capres-cawapres, pemilih menyebut menyebut SBY-Boediono yang paling punya integritas

Merupakan suatu anugerah yang tak ternilai bagi penulis bisa memperoleh ilmu dan berkesempatan menerapkannya dalam sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “

Pengenalan akan berbagai macam model disiplin spiritual kepada pendeta GKJW dalam program Khalwat tersebut diharapkan dapat menemukan disiplin spiritual yang cocok

[r]

nulis leuwih hadé. Bisa ngajembaran pangaweruh siswa dina nyieun karangan déskripsi. Pikeun méré gambaran ka siswa ngeunaan tipe kasalahan éjahan. Pikeun nyangking informasi naon

But for some words, younger deaf children convey more variations because they imitated the hand signal which already exist among them.. Several variations occuring among deaf