DILEMA PERSOALAN ANTARA NEGARA DENGAN KAUM BURUH Oleh: GPB Suka Arjawa
Buruh paling populer pada akhir abad ke-20 boleh jadi Lech Wallesa. Dia adalah bekas Presiden Polandia, yang sebelumnya menjabat sebagai ketua buruh solidaritas.
Sebelumnya, Wallesa berprofesi sebagai tukang las galangan kapal di Gdanks, sebuah kota pelabuhan di Polandia. Tetapi protesnya kepada pemerintah berhasil menggulingkan penguasa negara itu sekitar tahun 1981 dan kemudian menjadi presiden. Ia menduduki jabatan tertinggi di negara tersebut sekaligus meningkatkan status kelompok solidaritas menjadi yang paling berpengaruh di Polandia. Tanggal 1 Mei yang lalu adalah hari buruh internasional dan dilihat sebagai momentum bagus untuk memperlihatkan perjuangan buruh dengan berbagai kondisinya di seluruh dunia. Di Indonesia gerakan ini memancing perhatian publik ketika puluhan ribu buruh dari bebagai kota yang berdekatan, ngluruk Jakarta untuk berunjuk rasa.
Secara sosial, kelas ini pasti merupakan kelompok yang tidak akan bisa hilang di Indonesia. Bahkan di dunia. Strukstur masyarakat relatif tidak pernah berubah, selalu menampilkan kelas pemilik modal dan kelas pekerja. Mereka yang memiliki modal banyak selalu mampu menghimpun kekuatan untuk kembali menumpuk modalnya dengan memanfaatkan mereka yang kurang (tidak) memiliki modal. Kelas yang tidak memiliki modal inilah disebut sebagai kelas pekerja. Kaum buruh, merupakan salah satu dari mereka yang disebut kelas pekerja. Pemahaman pengertian buruh lebih mengacu kepada kelas pekerja kasar, dengan upah harian, tidak tetap, mempunyai sifat
ketergantungan kepada majikan, dan pemutusan ”kontraknya” sering datang tiba-tiba. Melihat perkembangan buruh akhir-akhir ini, memperlihatkan gejala bahwa gejolak yang terjadi itu sering diakibatkan oleh bergesernya cara pandang pemilik modal terhadap indikator-indikator yang sangat melekat pada kaum buruh seperti upah, jaminan kesehatan, waktu kerja, dan kontinuitas kontrak.
Gejolak buruh, paling sering terjadi di dua wilayah kritis, yakni negara dengan penduduk besar dan negara berkembang. Pada negara yang berpenduduk besar, kemunculan kaum buruh disebabkan oleh disparitas antara penduduk yang kaya dengan penduduk miskin, terlalu tinggi. Tidak meratanya pembangunan antara di wilayah kota dengan desa, tidak sebandingnya pertumbuhan kota dengan desa, menyebabkan terjadinya kelompok urban yang membanjiri kota dengan kaum miskin. Fakta demikian menyebabkan begitu
banyaknya jumlah kaum buruh di perkotaan. Di negara seperti ini, upah buruh sangat ditentukan oleh kaum majikan. Luberan migran ke kota membuat pemilik modal seperti bebas memilih pekerja dan ”bebas” pula memberikan upah kepada para pekerja. Bagi pemerintah, sulit mengontrol perilaku majikan yang memberikan upah rendah kepada kaum buruh. Sebaliknya keperluan akan pekerjaan membuat para pekerja bersedia dibayar dengan harga yang lebih rendah.
Di negara sedang berkembang, problema buruh muncul sebagai akibat pilihan
persoalan yang muncul disini terletak pada pola pilihan pembangunan itu. Jika negara memilih pembangunan dengan pola industrialisasi, yang nota bene basis dari negara Barat, maka pola pembangunan itu akan menghasilkan dua hal. Yang pertama, pada awalnya akan menimbulkan pengangguran karena instrumen yang dipakai untuk
melaksanakan pembangunan berbasis pada mesin. Tenaga manusia digantikan oleh mesin yang kemudian membuat banyak pengangguran. Kedua, akan mampu menyerap tenaga kerja apabila pola pembangunan itu lebih mengutamakan kegiatan perdagangan atau industri. Pengangguran yang terjadi pada saat pembangunan segala macam konstruksi pasar dan industri ini akan bisa ditampung sebagai pekerja perdagangan dan industri tersebut. Akan tetapi celakanya, bentuk pekerja yang dihasilkan dari model seperti ini adalah para pelayan (buruh). Disamping karena keterampilan manajerial yang jauh berbeda, kelas seperti ini juga mempunyai pendidikan yang tidak profesional. Maka semakin banyaklah kelas pekerja yang berpredikat sebagai kaum buruh tersebut.
Munculnya tenaga outsourching (penggunaan tenaga alih daya) tidak bisa dilepaskan dari fenomena ini. Praktik pembangunan yang mengadopsi budaya Barat, lebih menonjolkan diffrensiasi peran, yang merupakan cikal bakal dari profesionalisme. Diffrensiasi inilah yang melahirkan peran khusus seperti instansi yang khusus mempunyai peran dan fungsi sebagai perekrut karyawan. Ini adalah lembaga yang profesional. Banyaknya buruh yang melamar pekerjaan membuat lembaga seperti ini penting agar fungsi dan peran insitusi lain (misalnya pabrik atau perbankan), bisa lebih terkosentrasi. Dari sinilah hukum ekonomi akan berlaku. Perusahan jelas tidak mau rugi. Sebagai ongkos untuk mengganti biaya ”menyewa” lembaga perekrut karyawan, atau sebagai ganti biaya perekrut
karyawan bagi lembaga outsourching tersebut, upah karyawan pasti akan ditekan (dikurangi). Berbagai macam protes dari para karyawanterhadap lembaga ”tukang rekrut” tersebut, berawal dari hal seperti ini.
Dalam sejarah perkembangan kapitalisme internasional, negara-negara kawasan Amerika Latin menjadi ”korban” dari upaya peniruan pembangunan model Barat, yang dalam hal ini adalah Amerika Serikat. Model pembangunan seperti itu memudahkan Amerika Serikat melebarkan pengaruh ekonominya di Amerika Latin. Tetapi dalam konteks masyarakat, pola pembangunan seperti itu ternyata banyak mendapat tantangan dari masyarakat karena budaya, kesiapan mental, dan tingkat pendidikan yang tidak nyambung di masyarakat. Akhirnya pola pembangunan ini menimbulkan protes pada tingkat masyarakat. Dan pada tataran politik negara menimbulkan kelompok-kelompok oposisi penentang pemerintah, bahkan dari penguasa negara. Presiden Hugo Chavez dari Venezuela boleh dikatakan sebagai hasil dari dialektika sosial politik antara pengaruh Barat dan tradisi di Amerika Latin. Dia memiliki kesamaan pendapat dengan Bolivia, dan Nikaragua.
orang. Percabangan perusahan yang semakin menggurita itu adalah perspektif yang gamblang bagaimana satu orang semakin mampu menguasai banyak orang. Memang benar ini memberikan lapangan pekerjaan. Akan tetapi juga berpotensi mengurangi penghasilan buruh demi tujuan-tujuan ekonomis sang majikan.***